Laporan Baf Babadotan Fix PDF
Laporan Baf Babadotan Fix PDF
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bahan Alam Farmasi
Disusun Oleh:
Kelompok 4
31117082 Rani Rahmawati
31117083 Rara Amiati
31117084 Rika Zahara Dewi
31117085 Rizka Dinda Novalan
31117086 Septiana Erdi Nugraha
31117087 Shilvy Dhiya Aulia
31117088 Shintya Dewi Purnama
31117089 Sifa Nurjanah
31117090 Silmy Mutiarani Iswandi
TASIKMALAYA
2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA
sehingga penyusunan Laporan Pengujian Aktivitas Antioksidan Lotion Daun
Babadotan (Ageratum conyzoides L) Dengan Metode DPPH ini dapat tersusun
hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih atas bantuan dari pihak
yang telah berkontibusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Kami pun menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan
karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Oleh karena itu, kami siap
menerima segala kritik dan saran dari berbagai pihak demi menyempurnakan
laporan ini. Dan harapan kami semoga laporan penelitian ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Lampiran ........................................................................................................ 58
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Ekstrak daun babadotan (Ageratum conyzoides L) kami formulasi
dalam bentuk lotion, sehingga lebih praktis dan mudah digunakan. Lotion
yang baik adalah tidak terlalu greasy (berminyak) saat digunakan dan dapat
menyerap dengan cepat saat dioleskan di kulit. Lotion merupakan pilihan
paling tepat jika membutuhkan pelembab yang ringan atau bila digunakan
untuk seluruh tubuh. (Zulkarnain et al., 2013).
Salah satu metode yang digunakan dalam penentuan aktivitas
antioksidan adalah metode DPPH (1,1diphenyl-2-picrylhydrazyl). DPPH
merupakan pereaksi yang bersifat radikal bebas. Mekanisme metode ini
adalah mereaksikan antioksidan yang terdapat pada sampel dengan DPPH.
Antioksidan akan mendonorkan atom hidrogennya sehingga akan
menghambat aktivitas dari radikal bebas (Sitorus et al., 2013).
2
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat digunakan untuk menambah ilmu dan wawasan
mengenai lotion ekstrak etanol daun babadotan (Ageratum conyzoides L)
sebagai antioksidan.
3
10-11 Evaluasi sediaan
Evaluasi
12-13 aktivitas
farmakologi
sediaan (in-vitro)
dan analisis data
14 Laporan Akhir
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
yang telah mengering, pinggir sungai/kali, dan daerah yang banyak
semak belukar.
2.1.2 Klasifikasi dan Morfologi Babadotan (Ageratum conyzoides L)
Tumbuhan gulma babadotan Ageratum conyzoides L. memiliki
klasifikasi sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi: Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Ageratum
Spesies : Ageratum Conyzoides L.
Babadotan (Ageratum conyzoides L) merupakan tumbuhan
berasal dari Amerika tropis dan banyak hidup di daerah tropis.
Babadotan termasuk gulma berdaun lebar batang babadotan berbentuk
bulat yang ditumbuhi rambut panjang dan memiliki cabang. Apabila
bagian batang menyentuh tanah maka mengeluarkan akar dan baru
tumbuh (Kardinan, 1999).
Daun babadotan berbentuk bulat telur dengan daun sebuku
dengan pangkal membulat dan baggian bagian tepi ujung runcing,
tepi, bergerigi. Panjang daun babadotan 5-13 cm dan lebar 0,5-6 cm.
Kedua permukaan daun ditumbuhi bulu atau rambut (trichome)
(Dalimartha, 2002).
Bunga babadotan berada di ketiak daun (aksiler), bongkol
menyatu menjadi karangan dengan panjang 6-8 mm dengan tangkai
berambut, kelopak berbulu, mahkota berbentuk lonceng dengan warna
putih atau ungu. Bunga merupakan bunga majemuk yang berkumpul
lebih dari 3 kuntum (Dalimartha, 2002).
Buah babadotan berbentuk bulat panjang persegi lima dan
berwarna hitam. Pada buah kering akan membentuk struktur sayap
sehingga mudah diterbangkan angin (Kardinan, 1999).
6
Biji babadotan berbentuk ramping dan kecil memiliki panjang
1,5-2 mm berwarna hitam. Bersifat fotoblastik positif dengan
viabilitas mencapai 12 bulan dengan temperatur optimum 20-25oC
(Ming, 1999) dalam (Darmayanti, 2006).
Babadotan (Ageratum conyzoides L) merupakan gulma yang
banyak tumbuh di Indonesia. Babadotan berasal dari Amerika tropik
karena itulah pada daerah tropis mampu hidup dan berkembang
menjadi banyak sekali. Persebaran babadotan dimulai dari Amerika
Utara hingga ke-Amerika Tengah meskipun awalnya gulma ini berasal
dari Amerika Tengah dan Karibia.Untuk di Indonesia menemukan
gulma ini sangat mudah karena hampir setiap daerah ada dan gulma
ini masih kurang termanfaatkan. Gulma ini mudah ditemukan di
ladang, kebun, pekarangan tepi, jalan atau saluran air pada ketinggian
1-2.100 m dpl (Dalimartha, 2002).
2.1.3 Kandungan Kimia
Babadotan (Ageratum conyzoides L) selama ini dianggap
sebagai gulma ternyata bermanfaat sebagai insektisida botani.
Teknologi yang semakin berkembang kini penggunaan pestisida alami
mampu menjaga keamanan dan ramah lingkungan yang berasal dari
bahan tumbuhan babadotan. Babadotan memiliki senyawa bioaktif
yang berfungsi sebagai insektisida dan nematisida. Kandungan
senyawa bioaktif di antaranya saponin, flavonoid, polifenol, dan
minyak atsiri yang mampu mencegah hama mendekati tumbuhan
(penolak) dan penghambat pertumbuhan larva menjadi pupa. A.
conyzoides mengandung senyawa kimia dari golongan recocene 1,
prepocene 2, senyawa saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri
(Kinasih, 2013).
Berikut ini merupakan bahan aktif kimia yang ditemukan
didalam ekstrak babadotan.
2.1.3.1 Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa yang di dalam tumbuhan
menjadi garam berbagai senyawa organik. Alkaloid dapat
7
melindungi tumbuhan dari serangan parasit atau pemangsa
tumbuhan. Di dalam alkaloid terdapat senyawa toksik yang
mampu membunuh serangga dan fungi.
2.1.3.2 Kumarin
Kumarin merupakan senyawa yang dapat mempengaruh
proses metabolisme pada hewan. Kumarin menghasilkan efek
toksik terhadap mikroorganisme sehingga mampu membunuh
serangga (Robinson, 1999 dalam Darmayanti, 2006).
2.1.3.3 Tanin
Tanin dapat bereaksi dengan protein dan menimbulkan
masalah pada aktivitas enzim sehingga semakin tinggi tanin
dapat membantu mengusir hewan (Robinson, 1999 dalam
Darmayanti, 2006).
2.1.3.4 Saponin
Saponin yang termasuk senyawa glikosida memiliki sifat
khas apabila diaduk/kocok menghasilkan busa. Saponin dapat
merusak saraf hama dan mengakibatkan nafsu makan
berkurang dan akhirnya hama mati (Marfuah, 2005 dalam
Darmayanti, 2006).
2.1.3.5 Minyak Atsiri
Minyak atsiri merupakan bahan terpenoid yang mudah
menguap dan menghasilkan bau sesuai tanamanya aslinya.
Senyawa ini mampu menghambat tumbuhan lain dan
membunuh hama dengan toksik yang tinggi (Robinson, 1999
dalam Darmayanti, 2006).
2.1.3.6 Flavonoid
Flavonoid termasuk golongan fenol terbesar yang
memiliki sifat khusus berupa bau yang tajam. Flavonoid
sebagai bahan antimikrob, antivirus dan pembunuh serangga
dengan mengganggu/menghambat pernapasan.
8
2.1.4 Khasiat Tanaman Bandotan dalam Pengobatan Tradisional
Bandotan / babadotan secara luas digunakan dalam pengobatan
tradisional di berbagai belahan dunia, walaupun cara penggunaannya
mungkin berbeda-beda. Berikut adalah sejumlah cara penggunaan
tradisional dari tanaman bandotan di beberapa negeri: Afrika Tengah.,
bandotan digunakan untuk mengobati pneumonia, tapi paling sering
untuk menyembuhkan luka dan luka bakar. India, bandotan digunakan
untuk membunuh bakteri (bakterisida), mengobati disentri
(kemampuan anti-disentri), dan mengobati pembentukan endapan
keras (seperti batu ginjal) dalam tubuh (kemampuan anti-litik). Asia,
Amerika Selatan, dan Afrika pada umumnya, Ekstrak air dari
bandotan digunakan untuk membunuh bakteri. Kamerun dan Kongo,
Bandotan digunakan untuk mengatasi demam, rematik, sakit kepala,
dan kolik. Reunion (pulau di Samudra Hindia), Seluruh bagian
tanaman bandotan digunakan untuk mengobati disentri. Brasil,
Ekstrak air dari seluruh tanaman atau daun bandotan digunakan untuk
mengatasi kolik, pilek dan demam, diare, rematik, kejang,
menyembuhkan luka bakar, atau sebagai tonik. Melihat luasnya
penggunaan bandotan di berbagai wilayah di dunia, tak heran bila
sampai sekarang pun tanaman ini terus dikenal sebagia herbal
berkhasiat. Apalagi sekarang telah dilakukan berbagai riset dan
penelitian ilmiah yang turut meyakinkan kita akan manfaatnya.
Bagian berikut ini akan secara khusus membahas khasiat dari masing-
masing bagian tanaman babadotan.
2.1.5 Efek Samping Tanaman Bandotan
Tanaman bandotan memiliki kandungan bioaktif yang
menghasilkan aktivitas insektisida (bersifat racun seperti pestisida).
Tanaman ini juga mengandung senyawa alkaloid dari kelompok
pirrolizidinic, yang adalah bagian dari mekanisme pertahanan dari
tanaman itu untuk melawan serangga pemakannya.
Berdasarkan info dari situs web HERBSIA, senyawa alkaloid
tersebut bersifat hepatotoksik, yang artinya dapat menganggu fungsi
9
hati. Senyawa itu juga bisa memicu penyakit hati dan bahkan kanker
hati.
2.1.6 Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat
aktif dan bagian tumbuhan obat, hewan dan beberapa jenis ikan
termasuk biota laut. Zat-zat aktif tersebut terdapat di dalam sel, namun
sel tumbuhan dan hewan memiliki perbedaan begitu pula
ketebalannya sehingga diperlukan metode ekstraksi dan pelarut
tertentu untuk mengekstraksinya ( Tobo F, 2001).
Ekstraksi adalah pemurnian suatu senyawa. Ekstraksi cairan-
cairan merupakan suatu teknik dalam suatu larutan (biasanya dalam
air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya
organik), yang pada dasarnya tidak saling bercampur dan
menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut (solut) ke dalam
pelarut kedua itu. Pemisahan itu dapat dilakukan dengan mengocok-
ngocok larutan dalam sebuah corong pemisah selama beberapa menit
(Shevla, 1985).
Ada beberapa metode sederhana yang dapat dilakukan untuk
mengambil komponen berkhasiat ini; diantaranya dengan melakukan
perendaman, mengaliri simplisia dengan pelarut tertentu ataupun yang
lebih umum dengan melakukan perebusan dengan tidak melakukan
proses pendidihan (Makhmud, 2001).
Umumnya zat aktif yang terkandung dalam tumbuhan maupun
hewan lebih mudah tarut dalam petarut organik. Proses
terekstraksinya zat aktif dimulai ketika pelarut organik menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga set yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan terlarut sehingga terjadi perbedaan konsentrasi
antara larutan zat aktif di dalam sel dan pelarut organik di luar sel,
maka larutan terpekat akan berdifusi ke luar sel, dan proses ini akan
berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi zat
aktif di dalam dan di luar sel (Tobo F, 2001).
10
2.1.7 Proses Ekstrak bahan alam
2.1.7.1 Pengeringan dan perajangan
Pengeringan merupakan proses pengawetan simplisia
sehingga simplisia tahan lama dalam penyimpanan. Selain itu
pengeringan akan menghindari teruainya kandungan kimia
karena pengaruh enzim. Pengeringan yang cukup akan
mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan kapang (jamur).
Jamur Aspergilus flavus akan menghasilkan aflatoksin yang
sangat beracun dan dapat menyebabkan kanker hati, senyawa
ini sangat ditakuti oleh konsumen dari Barat. Menurut
persyaratan obat tradisional tertera bahwa Angka khamir atau
kapang tidak Iebih dari 104. Mikroba patogen harus negatif dan
kandungan aflatoksin tidak lebih dari 30 bagian per juta (bpj).
Tandanya simplisia sudah kering adalah mudah meremah bila
diremas atau mudah patah. Menurut persyaratan obat
tradisional pengeringan dilakukan sampai kadar air tidak lebih
dari 10%. Cara penetapan kadar air dilakukan menurut yang
tertera dalam Materia Medika Indonesia atau Farmakope
Indonesia. Pengeringan sebaiknya jangan di bawah sinar
matahari langsung, melainkan dengan almari pengering yang
dilengkapi dengan kipas penyedot udara sehingga terjadi
sirkulasi yang baik. Bila terpaksa dilakukan pengeringan di
bawah sinar matahari maka perlu ditutup dengan kain hitam
untuk menghindari terurainya kandungan kimia dan debu. Agar
proses pengeringan berlangsung lebih singkat bahan harus
dibuat rata dan tidak bertumpuk. Ditekankan di sini bahwa cara
pengeringan diupayakan sedemikian rupa sehingga tidak
merusak kandungan aktifnya (Dijten POM, 1990).
Banyak simplisia yang memerlukan perajangan agar
proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Perajangan dapat
dilakukan “manual” atau dengan mesin perajang singkong
dengan ketebalan yang sesuai. Apabila terlalu tebal maka
11
proses pengeringan akan terlalu lama dan kemungkinan dapat
membusuk atau berjamur. Perajangan yang terlalu tipis akan
berakibat rusaknya kandungan kimia karena oksidasi atau
reduksi. Alat perajang atau pisau yang digunakan sebaiknya
bukan dan besi (misalnya “stainless steel” eteu baja nirkarat)
(Ditjen POM, 1990).
2.1.7.2 Pemilihan pelarut
Dalam memilih pelarut yang akan dipakai harus
diperhatikan sifat kandungan kimia (metabolit sekunder) yang
akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah sifat kepolaran,
dapat dilihat dari gugus polar senyawa tersebut yaitu gugus
OH, COOH. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut
polar, dan senyawa non polar akan lebih mudah larut dalam
pelarut non polar. Derajat kepolaran tergantung kepada
ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar
pelarut tersebut (Ditjen POM, 1992).
Syarat-syarat pelarut adalah sebagai berikut (Ditjen
POM, 1992): Kapasitas besar, selektif, volabilitas cukup rendah
(kemudahan menguap/titik didihnya cukup rendah) Cara
memperoleh penguapannya adalah dengan cara penguapan
diatas penangas air dengan wadah lebar pada temperature
60oC, destilasi, dan penyulingan vakum, harus dapat
diregenerasi, relative tidak mahal, non toksik, non korosif,
tidak memberikan kontaminasi serius dalam keadaan uap,
viskositas cukup rendah.
2.1.7.3 Pemilihan metode ekstraksi
Pemilihan metode ekstraksi tergantung bahan yang
digunakan, bahan yang mengandung mucilago dan bersifat
mengembang kuat hanya boleh dengancara maserasi.
sedangkan kulit dan akar sebaiknya di perkolasi. untuk bahan
yang tahan panas sebaiknya diekstrasi dengan cara refluks
sedangkan simplisia yang mudah rusak karna pemanasan dapat
12
diekstrasi dengan metode soxhlet. Hal-hal yang
dipertimbangkan dalam pemilihan metode ekstraksi (Agoes,
2007): Bentuk/tekstur bahan yang digunakan, kandungan air
dari bahan yang diekstrasi, jenis senyawa yang akan
diekstraksi, sifat senyawa yang akan diekstraksi.
2.1.8. Pembagian Jenis Ekstraksi.
2.1.8.1 Ekstraksi Secara Dingin
Proses ektraksi secara dingin pada prinsipnya tidak
memerlukan pemanasan. Hal ini diperuntukkan untuk bahan
alam yang mengandung komponen kimia yang tidak tahan
pemanasan dan bahan alam yang mempunyai tekstur yang
lunak. Yang termasuk ekstraksi secara dingin adalah Metode
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam
cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar
dan terlindung dari cahaya. Metode ini digunakan untuk
menyari simplisia yang mengandung komponen kimia yang
mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang
mudah mengembang seperti benzoin, stiraks dan lilin.
Penggunaan metode ini misalnya pada sampel yang berupa
daun, contohnya pada penggunaan pelarut eter atau aseton
untuk melarutkan lemak/lipid. Maserasi umumnya dilakukan
dengan cara: memasukkan simplisia yang sudah diserbukkan
dengan derajat halus tertentu sebanyak 10 bagian dalam bejana
maserasi yang dilengkapi pengaduk mekanik, kemudian
ditambahkan 75 bagian cairan penyari ditutup dan dibiarkan
selama 5 hari pada temperatur kamar dan terlindung dari
cahaya sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari, cairan
penyari disaring ke dalam wadah penampung, kemudian
ampasnya diperas dan ditambah cairan penyari lagi
secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi sehingga
diperoleh sari 100 bagian. Sari yang diperoleh ditutup dan
13
disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya selama 2
hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya
dipekatkan (Ditjen POM, 1986).
2.3 Hipotesa
Hipotesa pada penelitian ini adalah ekstrak daun babadotan (Ageratum
conyzoides L) mengandung senyawa antioksidan yang tinggi.
14
BAB III
METODE PENELITIAN
15
penyerbukan hingga halus. Serbuk yang telah halus diayak kemudian
ditimbang dan dimasukkan dalam wadah, diberi label. Menghitung
rendemen serbuk kering.
3.2.2 Karakteristik fisika simplisia
3.2.2.1 Makroskopik
Uji makroskopik dilakukan dengan menggunakan
kaca pembesar atau tanpa menggunakan alat. Cara ini
dilakukan untuk mencari ciri khas simplisia dengan
pengamatan secara langsung bentuk, bau, warna dan
rasa simplisia yang diuji.
3.2.2.2 Mikroskopik
Uji mikroskopik dilakukan dengan menggunakan
mikroskop yang derajat pembesarannya disesuaikan
dengan keperluan. Simplisia yang diuji berupa serbuk
simplisia yang diletakkan di atas objek gelas yang ditetesi
kloralhidrat 70% atau air dan diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran yang sesuai untuk melihat
fragmen pengenal dalam bentuk sel, isi sel atau jaringan
secara jelas. Hasilnya difoto dengan menggunakan
kamera HD, dan didokumentasikan.
3.2.3 Ekstraksi
Ekstraksi daun babadotan dilakukan menggunakan metode
maserasi yaitu merendam simplisia dalam pelarut penyari yang sesuai.
Pada penelitian ini digunakan etanol 96% sebagai pelarut penyari
karena sifatnya yang mampu melarutkan hampir semua zat, baik yang
bersifat polar, semipolar, maupun yang non polar serta kemampuan
untuk mengendapkan protein dan menghambat kerja enzim sehingga
dapat menghindari proses hidrolisis dan oksidasi. Kemudian selama 6
jam sambil sesekali di aduk tiap 30 menit dengan lama pengadukan
minimal 5 menit diamkan selama 3×24 jam. Setiap 24 jam sekali
pelarut diganti dengan pelarut yang baru, kemudian ekstrak tersebut
disaring. Hasil ekstrak encer dipekatkan mengguanakan rotay
16
evaporator sampai diperoleh ekstrak pekat kemudian hitung
rendemen ekstrak. Ekstrak disimpan dalam wadah tertutup rapat
pada ruang yang terhindar cahaya matahari.
3.2.4 Penapisan fitokimia ekstrak
3.2.4.1 Alkaloid
Simplisia dibasakan dengan amonia kemudian
ditambahkan kloroform, lalu digerus kuat-kuat.
Kemudian filtrat ditambahkan asam klorida 2 N.
Campuran dikocok kuat-kuat hingga terdapat dua
lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian dibagi menjadi
tiga bagian: Filtrat 1: Diteteskan larutan pereaksi mayer.
Adanya endapan atau kekeruhan berwarna putih
menunjukkan adanya senyawa kimia golongan alkaloid.
Filtrat 2: Diteteskan larutan pereaksi Dragendorff.
Adanya endapan atau kekeruhan berwarna kuning jingga
menunjukkan adanya senyawa kimia golongan alkaloid.
Filtrat 3: Digunakan sebagai blanko.
3.2.4.2 Flavonoid
Simplisia didalam air, dipanaskan, kemudian
disaring. Filtrat yang diperoleh dimasukkan kedalam
tabung reaksi lalu ditambahkan serbuk magnesium dan
asam klorida 2 N. Campuran dipanaskan diatas pengangas
air, lalu disaring. Filtrat ditambahkan amil alkohol, lalu
dikocok kuat-kuat. Adanya flavonoid ditandai dengan
terbentuknya warna kuning hingga merah pada lapisan
amil alcohol.
3.2.4.3 Senyawa Tanin
Simplisia didalam air, dipanaskan dan disaring,
kemudian filtrat dibagi 3 bagian: Filtrat 1: Diteteskan
larutan pereaksi besi (III) klorida. Adanya warna biru
hingga hitam menunjukkan adanya senyawa golongan tanin.
Filtrat 2: Diteteskan larutan gelatin 1%. Adanya
17
senyawa tanin ditandai dengan terjadinya endapan
berwarna putih.Filtrat 3: Diteteskan larutan steasny.
Adanya senyawa tanin ditandai dengan terjadinya
endapan berwarna merah muda.
3.2.4.4 Karotenoid
Simplisia diekstraksi dengan pelarut n-heksana,
kemudian disaring. Filtrat diteteskan pada cawan penguap
dan diuapkan diatas penangas air. Hasil pengeringan
ditetesi dengan anisaldehid 10% kemudian dipanaskan.
Terbentuknya warna kemerahan menunjukkan adanya
karotenoid.
3.2.4.4 Steroid/triterpenoid
Simplisia diekstraksi dengan eter. Filtrat
ditempatkan dalam cawan penguap, dibiarkan menguap
hingga kering. Hasil pengeringan ditambahkan pereaksi
Liebermann-Burchard. Terjadinya warna
hijau/biru/merah/ungu menunjukkan adanya senyawa
steroid/triterpenoid.
3.2.4.5 Saponin
Simplisia didalam air, diapanaskan, kemudian
disaring. Filtrat dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu
dikocok kuat-kuat secara vertikal kurang lebih 5 menit.
Terbentuknya busa yang mantap dan tidak hilang selama 10
menit denga tinggi busa minimum 1 cm menunjukkan
adanya saponin.
3.2.4.6 Kuinon
Simplisia didalam air, dipanaskan, kemudian
disaring. Kepada filtrat ditambahkan larutan KOH 5%.
Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terbentuknya
warna kuning sampai merah.
18
3.2.5 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Plat KLT diaktivasi terlebih dahulu dengan oven pada suhu 105o
selama 10 menit. Jenuhkan chamber dengan eluen yaitu n-heksan dan
etil asetat dengan perbandingan 7:3. Dibuat garis pada plat KLT 0,5
cm dari atas dan 0,5 cm dari bawah dan dibuat titik pada plat dengan
pensil atau benda yang runcing untuk posisi sampel yang akan
ditotolkan. Kemudian ditotolkan sampel pada titik tersebut. Setelah
noda tersebut kering, dimasukan plat kedalam wadah atau chamber
tertutup yang sebelumnya telah dijenuhkan. Biarkan pelarut menaiki
plat perlahan-lahan, tunggu sampai eluen pada plat KLT hingga batas
atas. Kemudian dikeluarkan plat dan dibiarkan pelarut mongering di
udara dan hasilnya membentuk beberapa komponen. Untuk melihat
jelas noda yang terbentuk dan jarak yang ditempuh pelarut dan noda
maka dilakukan dengan cara menyinari plat tersebut dengan sinar ultra
violet.
3.2.6 Penetapan Bobot Jenis
Ditimbang piknometer dengan volume tertentu dalam
keadaan kosong. Kemudian piknometer diisi penuh dengan air
dan ditimbang, sehingga kerapatan air dapat ditetapkan. Kemudian
piknometer dikosongkan dan diisi penuh dengan ekstrak, lalu
ditimbang, sehingga kerapatan ekstrak dapat ditetapkan. Bobot jenis
ditetapkan dengan rumus:
BJ (ekstrak) =
19
Kadar air (%) = x 100%
20
sebanyak 2 ml dan etanol p.a sampai 10 ml. Diamkan di tempat
gelap selama 30 menit. Setelah operating time, sampel dibaca
absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang maksimal yang diperoleh yaitu 519 nm. pengukuran
aktivitas antioksidan dilakukan dengan cara menghitung % inhibisi
(% aktivitas hambatan) yang ditentukan dengan rumus:
% Absorbansi: x 100%
3.2.12 Preformulasi
3.2.12.1 Bentuk sediaan: Lotion
3.2.12.2 Formula sediaan lotion daun babandotan
Bahan Komposisi (%) Formula I
Ekstrak daun babandotan 0,055
Asam Stearat 2,5
Trietanolamin 1
Parafin cair 8
Setil alcohol 6
Gliserin 8
Metil paraben 0,1
Vanili essence 3 tts
Aquadest Add 100
21
dimasukkan ke dalam campuran pada suhu 35 ºC kemudian
dilakukan pengadukan selama kurang lebih satu menit.
3.2.13 Evaluasi Sediaan
3.2.13.1 Uji organoleptik
Pengamatan secara langsung dengan melihat bentuk,
warna, dan mencium bau dari lotion.
3.2.13.2 Uji homogenitas
Sampel lotion dioleskan pada sekeping kaca atau
bahan transparan lain yang cocok, sediaan tersebut harus
menunjukan susunan yang homogen dan tidak terlihat
adanya partikel kasar
3.2.13.3 Uji daya lekat
Uji daya lekat digunakan dengan cara meletakkan
lotion (secukupnya) di atas objek glass yang telah
ditentukan luasnya. Letakkan objek glass yang lain di atas
lotion tersebut, tekan dengan bebas 1 kg selama 5 menit.
Objek glass dipasang pada alat. Lepas beban seberat 100 g
dan catat waktunya hingga kedua objek glass tersebut lepas.
3.2.13.4 Uji daya sebar
Sejumlah zat tertentu diletakkan diatas kaca berskala
kemudian bagian atasnya diberi kaca yang sama, dan
ditingkatkan bebannya, dan diberi rentang waktu 1-2 menit.
Kemudian diameter penyebaran diukur pada setiap
penambahan beban, saat sediaan berhenti ( dengan waktu
tertentu secara teratur). Lotion memenuhi syarat jika daya
sebar berada pada rentang 5-7 cm
3.2.13.5 Uji pH
Pengujian pH dilakukan dengan mencelupkan pH
meter ke dalam sediaan lotion, lalu diukur dengan pH
meter. Lotion memenuhi syarat pH produk pelembab kulit
jika berkisar antara 4,5-8,0
22
3.2.14 Evaluasi aktivitas farmakologi sediaan lotion daun babadotan (in
vitro) dan analisis data.
Sampel yang telah dipreparasi diambil 3 ml dimasukkan ke
dalam labu ukur 10 ml. pada labu ditambahkan larutan DPPH
sebanyak 2 ml dan etanol p.a sampai 10 ml. Diamkan di tempat
gelap selama 30 menit. Setelah operating time, sampel dibaca
absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang maksimal yang diperoleh yaitu 519 nm. pengukuran
aktivitas antioksidan dilakukan dengan cara menghitung % inhibisi
(% aktivitas hambatan) yang ditentukan dengan rumus:
% Absorbansi: x 100%
23
3.3 Diagram Alir Penelitian
Preparasi Sampel:
pengumpulan bahan
baku, sortasi basah,
pencucian, Karakteristik Fisika
Ekstraksi
perajangan, Simplisia
pengeringan, sortasi
kering, pengepakan,
penyimpanan.
Uji aktivitas
Preformulasi,
farmakologi ekstrak
bentuk sediaan,
daun babadotan (in Evaluasi sediaan
formulasi dan
vitro) dan analisis
pembuatan sediaan.
data
Evaluasi aktivitas
farmakologi sediaan
lotion daun
babadotan (in vitro)
dan analisis data.
24
BAB IV
Sortasi Basah
Perajangan
Pengeringan
25
Sortasi kering
Serbuk simplisia
26
3. Mikroskopik serbuk babadotan (Ageratum conyzoides L)
a. Rambut penutup
4.1.2.2 Ekstraksi
2. Proses penyaringan
27
4. Proses evaporasi
% Rendemen:
% Rendemen:
28
4.1.3.2 Kromatografi Lapis Tipis
Rf9 = = 0,93
Rf6 = = 0,78
Rf10 = = 0,97
Rf7 = = 0,96
4.1.4 Bobot Jenis, Kadar Sari Larut Etanol, Kadar Sari Larut Air, Kadar
Air, dan Susut Pengeringan
Parameter Pengujian
Sampel Kadar K.S.Larut K.S.Larut Susut
Bobot Jenis
Air Etanol Air Pengeringan
Simplisia √
Ekstrak √ √ √ √
Keterangan 22% 62,87% 38,40% 80, 9108 % 0,11%
Perhitungan
1. Kadar Air
x 100 = 24 %
x 100 = 20 %
Rata-rata : = 22 %
29
Massa ekstrak 1 = W1 – W0
Massa ekstrak 2 = W1 – W0
W1 = 38,8250 g
Cawan 2 : W0 = 59,4882 g
W1 = 59,6476 g
Massa ekstrak 1 = W1 – W0
Massa ekstrak 2 = W1 – W0
4. Bobot Jenis
Piknometer kosong = 12,6133 g
Piknometer + air = 23,9103 g
30
Piknometer + ekstrak = 21,7538 g
Bobot Jenis = x 100%
= x 100% = 80,9108 %
5. Susut Pengeringan
Botol timbang 1 : W0 = 34,2775 g
W1 = 34,2441 g
Botol timbang 2 : W0 = 28,5567 g
W1 = 28,5218 g
% SP 1 = x 100%
= x 100% = 0,09744 %
% SP 2 = x 100%
= x 100% = 0,12221 %
Rata-Rata SP : = 0,109825 %
Replikasi 1
31
60%
50%
40% y = 0,001x + 0,3285
% Antioksidan
R² = 0,979
30%
20%
10%
0%
0 50 100 150 200 250
Kadar Ekstrak (µg/mL)
Replikasi 2
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
225 0,322 56,55%
175 0,371 49,93% 0,0010
150 0,382 48,45% Intercept
125 0,406 45,21% 166,035
100 0,412 44,40% 0,3355
Correlation (r²)
0,9698
60%
50%
40%
% Antioksidan
Replikasi 3
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
225 0,321 56,68%
175 0,371 49,93% 0,0010
150 0,382 48,45% Intercept
125 0,406 45,21% 166,367
100 0,416 43,86% 0,3282
Correlation (r²)
0,9791
32
60%
50%
40% y = 0,001x + 0,3282
% Antioksidan
30% R² = 0,9791
20%
10%
0%
0 50 100 150 200 250
Kadar Ekstrak (µg/mL)
Replikasi 1
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
4 0,309 63,60%
3,5 0,345 59,36% 0,1074
3 0,396 53,36% Intercept
2,5 0,443 47,82% 2,690
2 0,488 42,52% 0,2111
Correlation (r²)
0,9976
70%
y = 0,1074x + 0,2111
60% R² = 0,9976
50%
% Antioksidan
40%
30%
20%
10%
0%
0 1 2 3 4 5
Kadar Vitamin C (µg/mL)
33
Replikasi 2
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
4 0,302 64,43%
3,5 0,345 59,36% 0,1107
3 0,396 53,36% Intercept
2,5 0,443 47,82% 2,684
2 0,488 42,52% 0,2028
Correlation (r²)
0,9994
70%
y = 0,1107x + 0,2028
60% R² = 0,9994
50%
% Antioksidan
40%
30%
20%
10%
0%
0 1 2 3 4 5
Kadar Vitamin C (µg/mL)
Replikasi 3
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
4 0,296 65,14%
3,5 0,345 59,36% 0,1131
3 0,396 53,36% Intercept
2,5 0,443 47,82% 2,676
2 0,487 42,64% 0,1974
Correlation (r²)
0,9993
70%
y = 0,1131x + 0,1974
60% R² = 0,9993
50%
% Antioksidan
40%
30%
20%
10%
0%
0 1 2 3 4 5
Kadar Vitamin C (µg/mL)
34
Kontrol Negatif Rekapitulasi
Rep 1 0,849 2,690
Rep 2 0,849 2,684
Rep 3 0,849 2,676
Rata-rata 0,849 rata2 2,683
SD 0,007
CV 0,256%
35
4.1.6 Preformulasi, Bentuk Sediaan, Formulasi dan Pembuatan Suatu
Sediaan
36
6. Aseptabilitas sediaan
Nama Kelembutan Kemudahan
pencucian
Melia 3 3
Widdy 2 2
Nisa 3 3
Keterangan :
1= Kurang lembut, kurang mudah dicuci
2= Lembut dan mudah dicuci
3= Sangat lembut dan sangat mudah dicuci
7. Stabilitas sediaan Warna Bau Tekstur
Hari ke-1 Hijau tua mint dan rosae Lembut dan hangat
Hari ke-2 Hijau tua mint dan rosae Lembut dan hangat
Hari ke-3 Hijau tua mint dan rosae Lembut dan hangat
Hari ke-4 Hijau tua mint dan rosae Lembut dan hangat
Hari ke-5 Hijau tua mint dan rosae Lembut dan hangat
Hari ke-6 Hijau tua mint dan rosae Lembut dan hangat
Hari ke-7 Hijau tua mint dan rosae Lembut dan hangat
Replikasi 1
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
250 0,478 59,87%
245 0,545 54,24% 0,0105
240 0,618 48,11% Intercept
235 0,671 43,66% 240,998
230 0,728 38,87% -2,0334
Correlation
(r²)
0,9962
70%
60%
50% y = 0,0105x - 2,0334
% Antioksidan
40% R² = 0,9962
30%
20%
10%
0%
225 230 235 240 245 250 255
Kadar Lotion Daun Babadotan (µg/mL)
37
Replikasi 2
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
250 0,478 59,87%
245 0,545 54,24% 0,0105
240 0,618 48,11% Intercept
235 0,671 43,66% 240,998
230 0,728 38,87% -2,0334
Correlation
(r²)
0,9962
70%
60%
50%
% Antioksidan
Replikasi 3
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
250 0,478 59,87%
245 0,545 54,24% 0,0105
240 0,618 48,11% Intercept
235 0,671 43,66% 240,998
230 0,728 38,87% -2,0334
Correlation (r²)
0,9962
70%
60%
50%
y = 0,0105x - 2,0334
% Antioksidan
40%
R² = 0,9962
30%
20%
10%
0%
225 230 235 240 245 250 255
Kadar Lotion Daun Babadotan (µg/mL)
38
Kontrol Negatif Rekapitulasi
Rep 1 1,191 240,998
Rep 2 1,191 240,998
Rep 3 1,191 240,998
Rata-rata 1,191 rata2 240,998
SD 0,000
CV 0,000%
39
4.1.8.2 Uji Aktivitas Antioksidan Vitamin C
Replikasi 1
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
4 0,309 63,60%
3,5 0,345 59,36% 0,1074
3 0,396 53,36% Intercept
2,5 0,443 47,82% 2,690
2 0,488 42,52% 0,2111
Correlation (r²)
0,9976
40
70%
y = 0,1074x + 0,2111
60% R² = 0,9976
50%
% Antioksidan
40%
30%
20%
10%
0%
0 1 2 3 4 5
Kadar Vitamin C (µg/mL)
Replikasi 2
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
4 0,302 64,43%
3,5 0,345 59,36% 0,1107
3 0,396 53,36% Intercept
2,5 0,443 47,82% 2,684
2 0,488 42,52% 0,2028
Correlation (r²)
0,9994
70%
y = 0,1107x + 0,2028
60% R² = 0,9994
50%
% Antioksidan
40%
30%
20%
10%
0%
0 1 2 3 4 5
Kadar Vitamin C (µg/mL)
Replikasi 3
Kadar Abs %Antioksidan Slope ES50 (µg/mL)
4 0,296 65,14%
3,5 0,345 59,36% 0,1131
3 0,396 53,36% Intercept
2,5 0,443 47,82% 2,676
2 0,487 42,64% 0,1974
Correlation (r²)
0,9993
41
70%
y = 0,1131x + 0,1974
60% R² = 0,9993
50%
% Antioksidan
40%
30%
20%
10%
0%
0 1 2 3 4 5
Kadar Vitamin C (µg/mL)
42
4.2 Pembahasan
4.1.2 Pengumpulan Bahan Tanaman dan Preparasi simplisia
Praktikum kali ini yaitu melakukan pengumpulan bahan
tanaman dan preparasi simplisia Tanaman yang digunakan ialah
tanaman babadotan. Menurut keterangan jurnal Ageratum
Conyzoides A teopical source of Medicinal and Agricultutar
43
Products, dimana tumbuhan ini berasal dari wilayah sekitar Amerika
Serikat Tenggara sampai Amerika Tengah, tetapi pusat asalnya
adalah di Amerika Tengah dan Kepulauan karibia. Menurut catatan
buku weeds of Rice in Indonesia tanaman babadotan di datangkan ke
pulau jawa sebelum tahun 1860 dan sekarang sudah menyebar luas
di berbagai wilayah Indonesia. Babadotan sering tumbuh
dipekarangan pinggir jalan, ladabg, sawah yang telah mengering,
dipinggir sungai atau dipinggir kali, dan daerah yang banyak semak
belukar. Berdasarkan keterangan jurnal Ageratum Conyzoides A
Tropical Source Of Medical and Agricultural Products tanaman ini
mengandung flavonoid, alkaloid, kumarin, minyak esensial dan tanin
Dalam pembuatan simplisia dilakukan beberapa tahapan yang
pertama yaitu pengumpulan bahan baku tanaman babadotan di
dapatkan disekitaran kampus. Selanjutnya babadotan di ukur dan
diamati, ukuran daun babadotan hasilnya lebar 4cm dan panjangnya
3,5cm. Selanjutnya yaitu sortasi basah, sortasi basah ini dilakukan
untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan asing lainnya setelah
dilakukan pencucian dan perajangan pada daun babadotan. Setelah
itu dilakukan pencucian yang dilakukan untuk menghilangkan tanah
dam zat pengotor lainnya yang melekat pada bahan simplisia.
Pencucian ini menggunakan air bersih yang mengalir. Selanjutnya
yaitu perajangna yang tujuannya untuk memudahkan dalam proses
pengeringan, penggilingan maupun pengepakan. Tahapan
selanjutnya pengeringan, tahapan ini dilakukan agar mengurangi
kadar air dan untuk menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah
menurunan mutu atau perusakan simplisia. Setelah proses
pengeringan maka dilakukan lagi sortasi kering yang tujuannya
untuk memisahkan benda-nemda asing yang tidak diinginkan
ataupun pengotor lainnya. Selanjutnya untuk mendapatkan serbuk
simplisia daun babadotan maka simplisia tadi dihaluskan
menggunakan alat blender, setelah hancur lalu ayak simplisia sampai
44
mendapatkan simplisia yang baik. Lalu simpan serbuk simplisia
dalam wadah tertutup rapat.
45
untuk menghindari jenuhnya pelarut sehingga apabila terjadi
kejenuhan pelarut, pelarut tidak bias melarutkan senyawa metabolit
sekunder yang terdapat dalam daun babadotan (Ageratum conyzoides
L). setelah didapatkan ekstrak cair kemudian dilakukan pemekatan
dengan rotary evaporator untuk emndapatkan ekstrak kental daun
babadotan (Ageratum conyzoides L) dan % rendemen ektrak kental
daun babadotan (Ageratum conyzoides L) didapatkan sebesai 7,2%.
46
darah merah. Pada pengujian ini sampel simplisia dimasukan pada
tabung lalu kocok kuat dan lihat busa yang terbentuk menunjukan
positif saponin pada ekstrak kental juga perlakuannya sama hanya
saja hasilnya tidak terbentuk busa.
Ketiga golongan alkaloid merupakan senyawa nitrogen yang
sering terdapat pada tumbuhan. Uji ini dilakukan dengan cara
ditambahkan pereaksi dragendorf dan mayer. Pada simplisia
didapatlkan hasil positif karena terbentuk endapan putih saat
ditambahkan reaksi mayer dan pada penambahan pereaksi
dragendorf tidak terbentuk merah bata. Sedangkan pada ekstrak
kental hasilnya negatif.
Keempat ialah kuinon, pada percobaan kuinon pereaksi yang
diberikan ialah ketika filtrat simplisia ditambahkan KOH 5%
terbentuk warna kuninggn (+) sedangkan ekstrak kental berwarna
hijau (-).
Kelima senyawa tanin, tsnin dilakukan dengan cara sampel
ditambah FeCl3, gelatin dan steassy. Pada sampel simplisia
didapatkan hasil yang negatif karena tidak terbentuk warna biru
ataupun hitam. Begitupun dengan ekstrak kental.
Keenam ialah stroid, steroid pada sampel simplisia dan ekstrak
kental babadotan tidak menganddung senyawa steroid.
Ketujuh polifenol, pada pengujian ini sampel simplisia
menunjukan positif.
Pengujian kedua ialah penetapan senyawa metabolit skunder
ekstrak babadotan dengan metode KLT.Kromatografi adalah prinsip
pemisahan campuran senyawa atas komponen-komponen
berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi masing-masing komponen
di antara dua fase yaitu fase diam dan fasa gerak. Perbedaan
kecepatan perpindahan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan
kemampuan masing-masing komponen untuk diserap (adsorpsi) atau
perbedaan distribusi di antara dua fasa yang tidak bercampur
(partisi).
47
Fase diam (stationary phase) merupakan salah satu komponen
yang penting dalam proses pemisahan dengan kromatografi karena
adanya interaksi dengan fase diamlah terjadi perbedaan waktu
retensi (tR) dan terpisahnya komponen senyawa analit. Fase diam
dapat berupa bahan atau porous (berpori) berbentuk molekul kecil
atau cairan yang umumnya dilapisi pada padatan pendukung.
Fase gerak (mobile phase) merupakan pembawa analit dapat
bersifat inert maupun berinteraksi dengan analit tersebut. Fase gerak
ini tidak hanya dalam bentuk cairan tapi juga dapat berupa gas inert
yang umumnya dapat dipakai sebagai carrier gas senyawa mudah
menguap.
Dari hasil KLT ini didapat hasil nilai rf dari masing masing
penyemprot diantaranya ialah H2SO4 : 0.17 , 0.28 , 0.36 , 0.5 , 0.93 ,
Sitroborat : 0.1 , 0.18 , 0.24 , 0.3 , 0.4 , 0.71 , 0.81 , 0.86 , 0.95 , 0.97
, DPPH : 0.07 , 0.14 , 0.28 , 0.36 , 0.971 , keseluruhan 0.14 , 0.2 ,
0.43 , 0.51 , 0.67 , 0.78 , 0.96 .
4.1.5 Bobot Jenis, Kadar Sari Larut Etanol, Kadar Sari Larut Air, Kadar
Air, dan Susut Pengeringan
Pada praktikum ini melakukan penetapan nilai-nilai parameter
dari ekstrak kental maupun simplisia dari daun babadotan (Ageratum
Conyzaides L.) yang meliputi pengujian bobot jneis, susut
pengeringan, kadar air, kadar sari larut dalam air dan kadar sari larut
dalam etanol yang harus memenuhi persyaratan dari nilai
standarnya.
Pada pengujian pertama yaitu kadar air. Kadar air merupakan
banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang dinyatakan dalam
satuan persen. Penetapan kandungan air dapat dilakukan dengan
beberapa cara, hal ini tergantung pada sifat bahannya. Pada
umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan
bahan dalam oven pada suhu 105-110°C selama 3 jam atau sampai
didapat berat yang konstan. Pengujian kadar air dalam praktikum ini
48
dilakukan dua kali pengulangan dengan menggunakan sampel dari
ekstrak kental daun babadotan sebanyak 2,5 gram. Pada pertama
didapat hasil kadar air sebanyak 24% dan pada percobaan kedua
sebanyak 20% sehingga didapatkan rata-rata sebesar 22%.
Berdasarkan syarat FHI kadar air <10%, namun kadar air yang
melebihi 10% dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan
mikroba.
Pada pengujian kedua yaitu kadar sari larut etanol. Pengujian ini
dilakukan pengujian duplo dengan menggunakan sampel dari ekstrak
kental daun babadotan sebanyak 2,5 gram. Pada cawan 1 didapat
hasil %kadar sari larut etanol sebanyak 58,42% dan pada cawan ke-2
didapat hasil % kadar sari larut etanol sebesar 62,87%. Menurut FHI
parameter kadar sari yang larut dalam etanol harus >17,5%. Maka
hal ini kadar sari larut etanol ekstrak kental daun babadotan hasilnya
baik karena melebihi dari 17,5% dan memenuhi syarat.
Pada pengujian ketiga yaitu kadar sari larut dalam air. Pengujian
ini hamper sama dengan pengujian kedua hanya saja percobaan ini
menggunakan pelarut air. Pengujian dilakukan duplo dengan
menggunakan sampel ekstrak kental daun babadotan sebanyak 2,5
gram. Pada cawan 1 didapat hasil % kadar sari larut dalm air
sebanyak 44,92% dan pada cawan ke-2 didapat hasil sebanyak
31,88% sehingga didapatkan hasil rata-rata sebesar 38,4%. Hal ini
kadar sari larut dalam air hasilnya baik karena memenuhi
persyaratan FHI yaitu >11,4%.
Pada pengujian keempat yaitu pengujian parameter bobot jenis
dari ekstrak daun babadotan. Adapun hasil dari pengujian bobot
jenis ini didapat hasil yaitu 80,9108%. Bobot jenis dipengaruhi oleh
besar atau kecilnya nilai kerapatan, semakin besar kerapatan maka
berat jenisnya juga semakin besar.
Pada pengujian terakhir yaitu pengujian parameter susut
pengeringan. Pengujian ini dilakukan duplo dengan menggunakan
sampel simplisia sebanyak 1 gram dari simplisia daun babadotan.
49
Pada percobaan pertama didapat hasil % susut pengeringan sebanyak
0,09744% dan pada percobaan kedua didapat % susut pengeringan
sebanyak 0,12221% sehingga didapatkan rata-rata sebesar
0,109825%. Berdasarkan hasil, hasil susut pengeringan yang didapat
sesuai dengan literature.
50
layak digunakan sebagai bahan pembuatan lotion karena nilai
antrioksidannya sangat jauh dibandingkan dengan vitamin C.
Nilai IC50 dari vitamin C yaitu 2,6833 menunjukan bahwa nilai
tersebut adalah nilai antioksidan vitamin C yang sangat kuat
dibandingkan nilai IC50 ekstrak daun babadotan yaitu 166,45 yang
menunjukan nilai antioksidan ekstrak babadotan lemah.
51
dimasukan dalam beker glass atau cawan uap (fase minyak),
selanjutnya gliserin dan aquadest dimasukan juga dalam beker glass
(fase air). Setelah itu campurkan antara kedua fase tersebut lalu
panaskan pada suhu 10⁰-20⁰ C kemudian aduk homogen sambil
ditambahkan parfume, pengawet dan yang terakhir ekstrak daun
babadotan dan aduk hingga rata serta homogen agar mendapatkan
sediaan lotion yang baik dan bisa digunakan. Setelah itu masukan
kedalam kemasan agar lotion tetap bagus dan baik.
52
Pada uji daya sebar dilakukan dengan cara meletakkan sejumlah
sediaan lotion pada kaca objek dan ditutup bagian atasnya dengan
kaca objek lain dan diberi beban sebesar 50 gram dan setelah 2 menit
dilakukan pengukuran diameter penyebaran lotion. Hasil yang
diperoleh adalah 5,6 cm dan 2,6 cm.
Pada uji viskositas dilakukan dengan menggunakan alat
viscometer dengan spindle no. 7 dan kecepatannya 100 rpm
sehingga diperoleh nilai viskositas sebesar 960,0.
Selanjutnya uji homogenitas dilakukan dengan dengan cara
pengamatan hasil daya sebar yaitu pada kaca objek yang terdapat
sediaan lotion. Hasilnya lotion terlihat rata atau homogeny dan tidak
ada partikel kasar yang terasa.
Pengujian aseptabilitas sediaan dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kriteria sediaan lotion yang sudah dibuat. Hasil yang
diperoleh baik yaitu sediaan lembut, mudah dicuci dan memberikan
sensasi hangat yang dapat menenangkan.
Pengujian stabilitas sediaan lotion daun babadotan dilakukan
selama 7 hari. Menurut penelitian yang kami lakukan bahwa tidak
terdapat perubahan yng signifikan terhadap warna, bau, dan tekstur
sediaan lotion daun babadotan jadi dapat dikatakan lotion daun
babadotan stabil selama 7 hari.
53
dasarnya semakin besar konsentrasi ekstrak yang ditambahkan,
maka semakin baik aktivitas antioksidan sediaannya.
Pada uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH.
Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) adalah metode yang
sederhana, cepat, mudah untuk skrining aktivitas penangkapan
radikal bebas beberapa senyawa dan hanya memerlukan sedikit
sampel dibandingkan dengan metode lain. Metode ini dapat
mengukur efektivitas total antioksidan baik dalam pelarut polar
ataupun nonpolar. Metode ini mengukur semua komponen
antioksidan, baik yang larut dalam lemak ataupun dalam air (Hassan
et al., 2013; Rajan and Bhat, 2016). Konsentrasi larutan DPPH yang
digunakan sebesar 50 ppm dengan nilai absorbansi 1,191.
Data hasil uji aktivitas antioksidan sediaan lotion ekstrak etanol
daun babandotan, menunjukkan konsentrasi ekstrak yang dapat
menghambat 50% absorbansi DPPH adalah pada konsentrasi 175
ppm dengan nilai IC50 sebesar 166,367 µg/mL, sedangkan
konsentrasi sediaan yang dapat menghambat 50% absorbansi DPPH
adalah pada konsentrasi 240-245 ppm dengan nilai IC50 sebesar
240,998 µg/mL. Hasil tersebut menunjukkan bahwa persen
peredaman ekstrak lebih besar sediaan lotion. Nilai persen
peredaman sediaan lotion ekstrak etanol daun babandotan tidak
berbeda signifikan dengan ekstrak etanol daun bababdotan. Hal ini
berarti bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi sediaan lotion
tidak berpengaruh signifikan terhadap aktivitas antioksidan ekstrak
etanol daun babandotan.
54
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa sediaan lotion daun babadotan tidak layak
untuk digunakan hal ini dikarenakan IC50 antioksidan daun babadotan
sangat lemah.
55
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen POM, 1992, Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.
Hassan, S.H.A., Fry, J.R. and Bakar, M.F.A., 2013. Antioxidant and
phytochemical study on pengolaban (Litsea garciae), an edible
underutilized fruit endemic to Borneo. Food Science and Biotechnology.
http://obatherbal2014.blogspot.com/2018/02/manfaat-daun-babadotan-untuk-
kesehatan.html?m=1
56
Makhmud, AI. 2001. Metode Pemisahan. Departemen Farmasi Fakultas Sains
Dan tekhnologi, Universitas Hasanuddin : Makassar.
Redha, A., 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidan, dan Peranannya dalam
Sistem Biologis, Jurnal Belian, 9 (2):196202
Sitorus, E., Momuat, L.I. and Katja, D.G., 2013. Aktivitas Antioksidan Tumbuhan
Suruhan (Peperomia pellucida [L.] Kunth). Jurnal Ilmiah Sains, 13(1),
pp.80-85
Zulkarnain, A. K., Susanti, M. & Lathifa, A. N., 2013. Stabilitas Fisik Sediaan
Lotion O/W dan W/O Ekstrak Buah Mahkota Dewa Sebagai Tabir Surya
Dan Uji Iritasi Primer pada Kelinci. Traditional Medicine Journal, 18(3).
pp. 141–150.
57
LAMPIRAN
Saponin Steroid
58