Anda di halaman 1dari 26

KOLITIS ULSERATIF

(Farina Dwinanda, Novita, Isdiana Kaelan)


I. PENDAHULUAN

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang


melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum jelas.
Secara garis besar IBD terdiri dari 3 jenis, yaitu kolitis ulseratif (KU, Ulcerative
Colitis), penyakit Crohn (PC, Crohn’s disease), dan bila sulit membedakan kedua
hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori inderteminate colitis.1
Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit inflamasi pada usus besar, ditandai
oleh kerusakan mukosa yang difus yang disertai ulserasi. Reaksi inflamasi
terbatas pada mukosa dan submukosa. Keadaan autoimun tampaknya merupakan
faktor penyebab, namun etiologi pasti dari penyakit ini tetap belum diketahui.2
Penyakit ini terjadi di rektum pada 95% kasus dan mungkin dapat meluas
ke arah proksimal dan melibatkan beberapa bagian atau seluruh bagian dari usus
besar. Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen.3

II. INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI

Insidensi kejadian kolitis ulseratif bervariasi antara 0,5 dan 24,5 per
100.000 penduduk dan prevalensi penyakit ini dilaporkan hingga 246 per 100.000
penduduk. Angka insidensi yang tinggi dilaporkan di Eropa Utara dan Barat serta
Amerika Utara, sedangkan angka insidensi yang lebih rendah tercatat di Afrika,
Amerika Selatan dan Asia. Terjadinya kolitis ulseratif paling umum antara 15 dan
40 tahun, dengan puncak insiden kedua antara 50 dan 80 tahun. Penyakit ini
menyerang pria dan wanita pada rasio yang sama.4-6
Di Indonesia belum dapat dilakukan studi epidemiologi. Disini diperlukan
suatu konsensus profesi agar kasus IBD di Indonesia dapat teridentifikasi secara
lebih baik dan mendapat pengobatan lebih optimal. Di lain pihak proses
pencatatan dan pelaporan akan lebih seragam dan dapat lebih dipertanggung
jawabkan untuk suatu penilitian epidemiologik, baik dalam populasi maupun data
Rumah Sakit.1

  1  
III. ANATOMI

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan


panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani.
Kaliber kolon berubah secara perlahan, mulai dari sekum (±8,5 cm) sampai
sigmoid (±2,5 cm). Panjang kolon sangat bervariasi untuk tiap individu, berkisar
antara 91-125cm, bahkan lebih. 6,7
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Normal sekum
menunjukkan kontur yang rata dan licin. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan
apendiks yang melekat pada ujung sekum. Katup ileosekal mengendalikan aliran
kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan
fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi menjadi kolon asenden,
transversum, desenden, dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam
pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut sebagai fleksura hepatika
dan fleksura linealis. Kolon desenden dimulai dan fleksura linealis ke arah bawah
sampai persambungannya dengan sigmoid. Batas yang tegas antara kolon
desenden dengan sigmoid sukar ditentukan, namun krista iliaka mungkin dapat
dianggap sebagai batas peralihannya. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka
dan membentuk lekukan berbentuk S. Bentuknya yang demikian itu seringkali
menyukarkan penilaian radiografik proyeksi antero-posterior. Proyeksi oblik dan
lateral merupakan cara terbaik untuk mengatasinya. Lekukan bagian bawah
membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, dan hal ini
merupakan alasan anatomis mengapa memosisikan penderita ke sisi kiri saat
pemberian enema. Pada posisi ini, gaya gravitasi membantu mengalirkan air dari
rektum ke fleksura sigmoid. Bagian utama usus besar yang terakhir disebut
sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke
bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan
dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum kanalis
6,7
ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).
Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul
dalam tiga pita yang disebut sebagai taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid

  2  
distal, sehingga rektum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap.
Panjang taenia lebih pendek dari usus, sehingga usus tertarik dan berkerut
membentuk kantong-kantong kecil yang disebut sebagai haustra. Apendises
apiploika adalah kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan
melekat di sepanjang taenia. 6
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan
berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika superior
mendarahi belahan kanan (sekum, kolon asendens, dan duapertiga proksimal
kolon transversum), dan arteria mesenterika inferior mendarahi belahan kiri
(sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian
proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri
hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteria iliaka inerna dan
aorta abdominalis. 6
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena
mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan vena hemoroidalis superior
(bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media
dan inferio mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi
sistemik. 6
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
pengecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum,
dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal.
Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf splangnikus.
Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian
serabut pascaganglion menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi
dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan. 6

  3  
Gambar 1. Anatomi normal pada usus besar (diambil Gambar 2. Gambaran pemeriksaan Colon in
dari kepustakaan no.8) Loop pada kolon normal dengan metode kontras
ganda (diambil dari kepustakaan no.9)

IV. ETIOLOGI

Etiologi kolitis ulseratif tidak diketahui namun telah ada beberapa teori
mengenai penyebab kolitis ulseratif, namun tidak ada yang terbukti. Teori yang
paling terkenal adalah teori reaksi sistem imun tubuh terhadap virus atau bakteri
yang menyebabkan terus berlangsungnya peradangan dalam dinding usus.
Penderita kolitis ulseratif memang memiliki kelainan sistem imun, tetapi tidak
diketahui hal ini merupakan penyebab atau akibat defek ini; kolitis ulseratif tidak
disebabkan oleh distres emosional atau sensitifitas terhadap makanan. Tetapi
faktor-faktor ini mungkin dapat memicu timbulnya gejala pada beberapa orang.5,6

V. PATOGENESIS

Penyebab pasti dari kolitis ulseratif tidak diketahui, tetapi penyakit ini
tampaknya multifaktor dan poligenik. Terdapat beberapa usulan penyebab

  4  
diantaranya genetik, kecenderungan intoleransi terhadap mikrobiologik, dan
disfungsi kekebalan tubuh.10

1. Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh genetik terhadap
kolitis ulseratif. Suatu meta-analisis dari 6 penelitian membenarkan adanya
47 lokus yang terkait dengan kolitis ulseratif, dengan 19 lokus yang spesifik
untuk ulseratif kolitis dan 28 lokus yang dapat juga berpengaruh pada
10,11
penyakit Crohn .
Lokus ECM1, HNF4A, CDH1, dan LAMB1 terlibat pada disfungsi
pertahanan epitel; asosiasi dengan DAP (death associated protein)
menunjukkan hubungan apoptosis dan autofagi; dan asosiasi dengan PRDM1,
IRF5 (interferon regulatory factor-5), dan NKX2-3 menunjukkan adanya
kelainan pada regulasi transkripsi.10

2. Karakteristik mikrobiologik
Sistem imun pada usus biasanya mempunyai toleransi terhadap kumpulan
mikroba, namun jika toleransi ini terganggu maka ini bisa menjadi penyebab
patogenesis Inflammatory Bowel Disease (IBD), sehingga flora normal pun
dianggap sebagai patogen. Telah dikemukakan juga bahwa kemungkinan
perubahan komposisi dari mikrobiota usus dan adanya kelainan pada imunitas
mukosa atau kombinasi dari dua faktor ini dapat menyebabkan kolitis ulseratif,
namun bukti yang mendukung belum banyak ditemukan.10,11
Pada suatu konsensus juga dikemukakan bahwa kepadatan mikrobiota
pada pasien kolitis ulseratif lebih banyak dibanding subyek kontrol yang sehat.
Fakta bahwa terapi antibiotik tidak memiliki efek klinis pada kolitis ulseratif
membantah teori peranan penting dari bakteria pada penyakit ini.10

3. Respon imun pada mukosa10


Saat ini, tidak ada bukti yang spesifik, adanya kelainan pada sistem imun
natural (innate immune system). Produksi sitokin pro-inflamasi, seperti

  5  
interleukin-1β, interleukin-6, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan tumor
necrosis factor-like ligand 1 (TL1A), secara universal meningkat pada pasien
dengan IBD tetapi hal ini tidak memungkinkan untuk membedakan antara
kolitis ulseratif dan penyakit Crohn.
Abnormalitas imunitas humoral dan adaptif selular terjadi pada kolitis
ulseratif. Peningkatan nilai IgM, IgA, IgG sangat umum terjadi pada IBD,
namun pada ulseratif kolitis ada peningkatan yang tidak proporsional dalam
antibodi IgG1. Pada kolitis ulseratif , glikolipid dari sel epitel, bakteria atau
dari keduanya dapat meningkatkan regulasi dari Interleukin-13 receptor α2 (IL-
13 α 2) dan juga dapat terjadi respon Th2, seperti yang ditunjukkan oleh
kehadiran sel T sitotoksik pada usus besar, kedua hal ini dapat merangsang
pembentukan interleukin-13 yang berlimpah, yang kemudian memediasi
epithelial-cell cytotoxicity, apoptosis dan epithelial barrier dysfunction.

4. Sel epitel dan Autoimun10


Abnormalitas yang terjadi pada kolitis ulseratif termasuk kelainan pada
pertahanan epitel dan gangguan pada ekspresi peroxisome proliferator
activated receptor y (PPAR-Y), suatu reseptor nuklear yang mengatur gen-gen
inflamasi. Pada ulseratif kolitis dan penyakit crohn, sel epitel mengalami
penurunan kemampuan untuk mengaktifkan supresor sel T CD8+.
Autoimunitas mungkin memilki peran pada kolitis ulseratif. Selain P-anca,
penyakit ini juga ditandai dengan sirkulasi antibodi IgG1 terhadap antigen
epitel kolon.

Beberapa teori diatas kemungkinan akan menyebabkan terjadinya lesi


patologis awal yang terbatas pada lapisan mukosa berupa pembentukan abses
dalam kriptus, yang berbeda dengan lesi pada penyakit Crohn yang menyerang
seluruh tebal dinding usus, pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti
mukosa. Edema dapat mengakibatkan kerapuhan hebat sehingga dapat terjadi
pendarahan akibat trauma ringan, seperti gesekan pada permukaan.6

  6  
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kripte pecah menembus
dinding kripte dan menyebar dalam lapisan submukosa, menimbulkan terowongan
dalam mukosa. Mukosa kemudan terkelupas menyisakan area yang tidak
bermukosa (tukak atau ulkus). Tukak mula-mula tersebar dan dangkal, tetapi pada
stadium lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi luas sekali sehingga
mengakibatkan hilangnya jaringan, protein, dan darah dalam jumlah banyak.6

Gambar 3. Konsep mengenai patogenesis pada ulseratif colitis (diambil dari kepustakaan no.10)

  7  
VI. DIAGNOSIS

1. Manifestasi klinis
Diare berdarah dengan atau tanpa lendir merupakan ciri khas dari kolitis
ulseratif. Onset biasanya bertahap, sering diikuti oleh periode remisi yang spontan
dan dapat kambuh. Penyakit ini diawali dengan peradangan mukosa yang dimulai
di rektum (proktitis) dan pada beberapa kasus dapat menyebar ke seluruh usus
besar. Walaupun proktitis sering dikaitkan dengan urgensi defekasi dan adanya
darah segar pada feses, konstipasi dapat juga terjadi.10
Proktosigmoiditis, kolitis pada sisi kiri, kolitis yang ekstensif dan
pankolitis dapat menyebabkan diare, adanya darah dan mukus pada feses, urgensi
atau tenesmus, sakit perut, demam, malaise dan penurunan berat badan,
tergantung pada luas dan keparahan penyakitnya.10
Derajat klinis kolitis ulseratif dapat dibagi atas ringan, sedang, berat
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang
terjadi dan laju endap darah. Pada derajat ringan, frekuensi diare kurang dari 4
perhari, dengan darah atau tidak, tidak ada tanda-tanda toksisitas sistemik, dan
laju endap darah dalam batas nomal. Derajat sedang ditandai dengan frekuensi
diare lebih dari 4 kali perhari dan dengan tanda-tanda toksisitas minimal. Derajat
berat ditandai dengan adanya frekuensi diare yang berdarah lebih dari 6 kali
perhari, dan adanya bukti dari toksisitas yang dilihat dari adanya demam,
takikardi, anemia dan peningkatan LED.1,5

Tabel 1. Derajat klinis pada ulseratif klinis. 5

  8  
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pasien dengan suspek kolitis ulseratif, pemeriksaan yang penting
adalah pemeriksaan tinja untuk melihat parasit dan ova dan kultur tinja untuk
mengeliminasi penyebab lain yang bisa menyebabkan diare kronik. Terdapat juga
beberapa tes yang mendukung adanya inflamasi sistemik, seperti erythrocyte
sedimentation rate dan C-Reactive protein yang mungkin meningkat.
Pemeriksaan darah lengkap mungkin menunjukkan adanya anemia dari
kehilangan darah kronik dan pemeriksaan basic metabolic profile (BMP) bisa
menunjukkan adanya abnormalitas kadar elektrolit seperti hipokalemia karena
diare yang persisten.5

3. Pemeriksaan radiologi
a) AXR (abdominal X ray)
Foto polos mungkin menunjukkan adanya : 12,13
o Keterlibatan rektum yang kemudian menyebar secara kontinu kearah
proksimal.
o Dinding usus yang udem dan menunjukkan gambaran "thumbprinting".
o Adanya pseudopolip yang terlihat karena penebalan mukosa yang
menonjol ke dalam lumen.

Gambar 4. Pasien dengan ulseratif kolitis


dengan edema mukosa yang dilihat pada AXR
sebagai "thumbprinting" (diambil dari
kepustakaan no.13)
Gambar 4. Pasien dengan ulserative
kolitis dengan edema mukosa yang
dilihat pada AXR sebagai
"thumbprinting" (diambil dari
kepustakaan no.12)
  9  
b) Colon in loop (barium enema)
Barium enema dapat digunakan untuk mendiagnosis kolitis ulseratif,
membedakannya dengan penyakit Crohn, dan untuk melihat perluasan dan
fase penyakitnya.
1. Fase akut : mungkin menunjukkan penyempitan dan pengisian yang tidak
komplit hingga spasme. Tipe-tipe ulkus yang bervariasi mungkin terlihat,
ulkus yang dalam, ulkus yang dangkal atau ulserasi submukosa yang
"longitudinal" yang memperlihatkan barium dua traktus. Pada ulkus yang
dangkal, tampak kumpulan barium yang terlihat padat , seperti titik-titik
(stippling pattern) yang terbatas pada mukosa . Ulkus yang meluas ke arah
lateral dan ke dalam daerah submukosa akan membentuk gambaran "collar
button"Edema pada haustra mungkin mengakibatkan "thumb printing".
Pseudopolips mungkin terjadi karena adanya area edema dari mukosa.12, 14
2. Fase kronik : mungkin memperlihatkan kaliber lumen yang menyempit
atau yang biasa disebut sebagai kolon "Hose pipe". Pembentukan
12
malignan mungkin terlihat.

Gambar 5. Kolitis ulseratif fase akut yang Gambar 6. Pemeriksaan barium enema pada
melibatkan rektosigmoid. Pada bagian distal kolitis ulseratif yang menunjukkan ulkus yang
rektosigmoid, mukosa terlihat bergranular (panah seperti titik-titik (stippling ulcers) (diambil dari
putih) dibandingkan dengan mukosa normal kepustakaan no.14)
(panah hitam) pada bagian proksimal. (diambil
dari kepustakaan no.15)

  10  
Gambar 7. Pemeriksaan barium enema pada
kolitis ulseratif dengan pseudopolyps. (diambil Gambar 8. Kolitis ulseratif fase kronik. Single-
dari kepustakaan no.14) contrast enema memperlihatkan hilangnya haustra
yang ekstensif pada kolon, penyempitan lumen,
dan mukosa yang iregular pada kolon
transversum. (diambil dari kepustakaan no.12)

c) Computed Tomography (CT) Scan


CT adalah alat diagnosis yang paling baik digunakan untuk evaluasi kolitis
ulseratif karena kemampuannya untuk memperlihatkan lesi pada mukosa,
penebalan dinding kolon, komplikasi intraperitoneal (abses dan fistula) dan
limfadenopati. Pemeriksaan ini bisa dilakukan jika diduga adanya perforasi
pada usus. Penemuan yang paling penting pada ulseratif kolitis adalah : 12,16,17
o Penebalan dinding kolon yang simetris dan berlanjut. Biasanya
sikumferensial kolon >10 mm.
o Distribusi ulkus yang berlanjut dari rektum mengacu pada kolitis ulseratif.
o Stratified appearance pada loop usus yang terkena, terlihat seperti target
atau halo sign, dengan lapisan mukosa dan muskularis propria
mengelilingi submukosa yang hipodens.
o Adanya striktur yang jinak (fibrosis) atau ganas (seperti apple core).

  11  
Gambar 9. Penebalan dinding kolon pada ulseratif kolitis
(diambil dari kepustakaan no.12)

Gambar 10. Ulseratif kolitis akut. Pada CT terlihat


ulserasi yang dalam. (diambil dari kepustakaan
no.17)

d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI sangat berguna sebagai alat untuk mengevaluasi IBD karena memiliki
resolusi jaringan yang tinggi. MRI colonography dapat menunjukkan
karakteristik perubahan kolon pada stadium akut dan kronis IBD, ulkus,
edema, penebalan dinding, fistula dan juga komplikasi ekstraluminal. Hasil
penemuan gambaran dari MRI, membagi kolitis ulseratif menjadi tiga
stadium yaitu:18
o Stadium aktif ringan
Penebalan dari dinding usus yang ringan, perubahan jaringan mukosa yang
jarang, dan distensibilitas dinding usus yang menurun.
o Stadium sedang- berat
Dinding dalam usus yang terlihat bergelombang, penebalan dari dinding
usus yang sedang atau edema mural, ulkus, hilangnya haustra, dan dilatasi
vaskular.
o Stadium kronik inaktif
Tidak ada perubahan mukosa, hilangnya haustra, penyempitan dan
kekakuan lumen.

  12  
Gambar 11 : Gambaran kolonogram MR yang Gambar 12 : Gambaran kolonogram MR yang
diperoleh setelah pemberian kontras intravena diperoleh setelah pemberian kontras intravena
menunjukkan perubahan mukosa, penebalan dari menunjukkan menunjukkan dinding dalam usus
dinding usus yang ringan, dan lipatan haustra yang yang terlihat bergelombang karena ulkus
memendek. (diambil dari kepustakaan no. 18) superfisial dan adanya pseudopolip pada mukosa
kolon. (diambil dari kepustakaan no. 18)

4. Kolonoskopi
Pemeriksaan endoskopi mempunyai peran penting dalam diagnosis dan
penatalaksanaan kasus IBD. Proktosigmoidoskopi atau kolonoskopi akan
memperlihatkan perubahan mukosa pada kolitis ulseratif, yang terdiri atas
hilangnya pola vaskular yang khas, granularitas, dan ulserasi. Perubahan ini
melibatkan rektum bagian distal dan dapat berlanjut ke arah proksimal dengan
pola simetris dan melingkar hingga semua bagian dari usus besar terlibat.1,4
Dari gambaran pemeriksaan kolonoskopi, kolitis ulseratif terbagi menjadi
tiga stadium yaitu:18
o Stadium aktif ringan : terlihat eritem, mukosa yang rapuh, hilangnya pola
vaskular mukosa.
o Stadium sedang-berat : mukosa yang bergranular, ulkus dengan kedalaman
yang bervariasi (collar button configuration), eritem dan eksudat purulent.
o Stadium kronik inaktif : tidak ada perubahan mukosa, hilangnya haustra,
penyempitan dan kekakuan lumen, pseudopolips.

  13  
Gambar 13. Pada pemeriksaan kolonoskopi, Gambar 14. Gambaran kolonoskopi
tampak eritem yang difuse, granularitas, dan menunjukkan adanya ulkus, eritem, dan mukosa
hilangnya pola vaskular kolon pada penyakit yang rapuh dari rektum hingga ke fleksura
kolitis ulseratif. (diambil dari kepustakaan no. 18) splenik. (diambil dari kepustakaan no. 17)

5. Histopatologi
Pada kolitis ulseratif peradangan terbatas pada lapisan mukosa dengan
infiltrat yang kepadatan dan komposisinya bervariasi selama tahap aktif dan
remisi penyakit ini. Infiltrat terutama terdiri dari limfosit, sel plasma dan
granulosit, granulosit umumnya sangat menonjol pada tahap aktif dan
terakumulasi pada abses kripte.10
Fitur yang khas lainnya adalah deplesi dari sel-sel goblet, kripte yang
terdistorsi, kepadatan kripte yang berkurang dan ulserasi. Namun, granuloma
epiteloid yang khas dari penyakit Crohn, tidak ditemukan pada kolitis ulseratif.
Mencari displasia epithel sangat penting, mengingat adanya resiko kanker dengan
kolitis ulseratif yang lama, namun, displasia dapat juga terjadi tanpa menunjukkan
transformasi maligna. 10.20

Gambar 15. A. Terlihat proses inflamasi pada


ulseratif kolitis yang melibatkan mukosa, submukosa
dan muskularis propria. B. Terlihat lamina propria
yang membesar dan beberapa abses kripte. C.
Tampak adanya distorsi dan atrofi kripte pada kronik
ulseratif kolitis (diambil dari kepustakaan no.19)

  14  
VII. DIAGNOSIS BANDING

1. Penyakit Crohn
Kondisi inflamasi yang dapat menyerang daerah mana saja sepanjang
traktus gastrointestinal dan dapat merusak semua lapisan-lapisan penyusun traktus
GI. Terdapat skip lesions atau daerah sehat yang terputus-putus diantara
lesi/daerah inflamasi yang dapat membantu untuk membedakannya dengan
penyakit kolitis ulseratif. Penyakit Crohn ini paling sering menyerang area ileum
terminal. Gejala klinis dari penyakit Crohn adalah diare yang rekuren, anemia,
penururan berat badan, nyeri pada perut, abses dan malabsorpsi.12

Ada beberapa pemeriksaan radiologi pada penyakit crohn :12


• AXR : memperlihatkan adanya penebalan pada dinding usus, yang berkaitan
dengan proses inflamasi, perforasi dan toksik megakolon pun dapat terlihat.
• Pemeriksaan barium : 12
1. Pada gambaran awal penyakit crohn dapat ditemukan ulser apthoid yang
dangkal , pembesaran dari nodul limfoid dan penebalan dan distorsi dari
valvula conniventes dari usus kecil
2. Gambaran lanjut penyakit crohn dapat dijumpai adanya cobble-stoning
pada mukosa, ulkus serpiginosa, loop usus kecil yang menjadi kaku dan
lurus, hal-hal ini disebabkan karena spasme dan udem. pseudopolip bisa
juga terlihat. Penetrasi fisura yang lebih dalam dan melewati submukosa
akan menghasilkan gambaran duri mawar "rose thorns" yang tampak pada
bagian tepi dari mukosa.
3. Pada gambaran stadium akhir, bagian-bagian stenosis akan terlihat seperti
senar dengan barium yang mengalir di dalamnya. Biasanya ini ditemukan
pada daerah ileum terminal dan bagian proximal dari loops biasanya
terlihat dilatasi.

  15  
Gambar 16. Penyakit Crohn fase awal. Adanya Gambar 17. Penyakit Crohn fase kronis.
beberapa ulkus yang dangkal pada cecum. Terlihat adanya striktur yang panjang dan
(diambil dari kepustakaan no.12) irregular pada ileum terminalis. (diambil dari
kepustakaan no.12)

Gambar 18. Tampak penyakit crohn dengan fisure dan ulkus yang panjang dan linear pada
pemeriksaan barium enema. (diambil dari kepustakaan nomor. 14)  

  16  
• CT : penebalan dinding usus mungkin memperlihatkan adanya double-halo
configuration, halo adalah daerah yang dikeliling oleh densitas rendah dari
mukosa yang udem, yang kemudian dikelilingi oleh densitas yang lebih tinggi
karena penebalan dan fibrosis dari jaringan muskularis. Dapat juga terlihat
adanya striktur dan abses.

Gambar 19. Pemeriksaan CT pada penyakit Crohn Gambar 20. Penebalan dan hiperemik pada ileum
terlihat adanya striktur pada ileum terminalis. terminalis pada penyakit Crohn. (diambil dari
(diambil dari kepustakaan no.12) kepustakaan no.12)

3. Kolitis Iskemik
Kolitis iskemik disebabkan oleh gangguan terhadap suplai darah ke kolon.
Etiologinya termasuk trombosis, obstruksi usus dan trauma. Manifestasi klinis
yang dapat ditemukan pada kolitis iskemik adalah nyeri perut. Nyeri perut yang
kemudian diikuti dengan keinginan untuk berdefekasi dan biasanya dalam waktu
24 jam, feses akan bercampur darah yang merah terang atau merah tua. Mual
muntah, distensi abdomen, anoreksia dan ileus mungkin dapat ditemukan.
Biasanya menyerang bagian sisi kiri dari kolon, khususnya pada bagian
arteri mesentrika superior dan inferior.12

Pemeriksaan radiologi :12,21


• AXR dan barium enema : Kegunaan foto polos sangat terbatas untuk
mendiagnosis iskemik kolitis. Foto polos biasanya terlihat normal. Pada
20% pasien , dapat ditemukan tanda-tanda spesifik seperti

  17  
"thumbprinting", penebalan mural dan adanya pneumatosis coli.
Pemeriksaan barium enema dapat digunakan pada kolitis iskemik tetapi
biasanya sangat sulit untuk mengeklusi bentuk-bentuk kolitis yang lain
seperti IBD dan kolitis pseudomembran. Pada barium enema bisa terlihat
penebalan (thumbprinting) dari dinding kolon, kadang bisa ditemukan
adanya striktur.



Gambar 21. Perhatikan adanya "thumb printing", Gambar 22. Stadium lanjut kolitis iskemik. Barium
edema pada lipatan-lipatan pada bagian distal enema single-contrast menunjukkan adanya zona
kolon tranversum. (diambil dari kepustakaan transisi antara kolon normal dan abnormal pada
no.12) pertemuan tranversum kolon)media dan 1/3 distal.
Mukosa dan haustra yang normal pada kolon
proksimal dan pada bagian distal terlihat
penyempitan pada segmen kolon. (diambil dari
kepustakaan no.12)

• CT scan : CT bisa menjadi tes yang sangat berguna digunakan untuk


menyingkirkan kondisi-kondisi lain yang dapat menyebabkan gejala yang
mirip dengan kolitis iskemik, namun belum terlalu efektif untuk
mendiagnosis kolitis iskemik. Namun CT dapat memberikan bukti tidak
langsung adanya iskemik kolitis seperti penebalan mural dan asites. Area
kolon yang abnormal terlihat menebal dan menunjukkan peningkatan
kontras.

  18  
Gambar 24. Nekrosis pada usus. Adanya vena
Gambar 23. Trombosis vena mesentrika pada porta gas karena nekrosis yang terjadi (diambil
penyakit iskemik kolitis (diambil dari dari kepustakaan no.12)
kepustakaan no.12)

• USG (Ultrasonography) : Color doppler ultrasound juga berguna


membedakan IBD dan iskemik kolitis. Ketika sinyal arterial atau aliran
color doppler tidak terdeteksi, iskemik kolitis menjadi pertimbangan
diagnosis yang kuat dan proses inflamasi dapat dieksklusi. Namun hanya
50% pasien iskemik kolitis yang mempunyai gambaran seperti ini,
walaupun USG memiliki spesifisitas yang adekuat, namun dari
sensitivitas , ini tidak boleh menjadi suatu alat diagnostik primer.

Gambar 25. Sonogram menunjukkan penebalan nonstratified dari


dinding usus desenden dan sigmoid (S) dan perubahan lemak
perikolik (tanda panah putih). Aliran warna doppler nyaris tak
terlihat(hanya satu piksel warna) terlihat (panah hitam). Juga
perhatikan pembengkakan pembuluh darah (ujung panah).
(diambil dari kepustakaaan no. 22)

  19  
VIII. PENATALAKSANAAN

1.Medikamentosa
Tidak ada pengobatan spesifik untuk kolitis ulseratif. Tujuan terapi adalah
untuk mengurangi pendarahan dan mempercepat penyembuhan klinis. Pengobatan
yang paling utama adalah pemberian obat 5-aminosalicylic acid (5-ASA), yang
bekerja secara topikal pada lumen kolon dan menekan pembentukan mediator
proinflamasi. Pasien yang tidak bisa mentoleransi adanya iritasi anus karena
penggunaan 5-ASA topikal maka dapat diberikan preparat oral. Dosis rata-rata 5-
ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram perhari, yang kemudian dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan sesuai dengan kondisi pasien. 1,5,6
Predsnison diberikan pada pasien dengan dosis 40-60 mg/ hari,
pengobatan dengan dosis penuh diteruskan sampai gejala benar-benar terkontrol
(biasa 10 sampai 14 hari) dosis pun kemudian diturunkan 5 mg per minggu dan di
berhentikan secepatnya bila memungkinkan. Jika pasien tidak berespon terhadap
pemberian steroid oral, maka pasien harus dirujuk ke rumah sakit untuk
mendapatkan pemberian kortikosteroid secara intravena, seperti metil
5
prednisolone sodium (solu-medrol), 40 mg perhari.

Obat Dosis Harian Efek Samping


5-aminosalicylic acid Agranulositosis, diare,
Sulfasalazine 2 sampai 6 g sakit kepala, ,nausea,
Mesalamine Asacol, 2.4 sampai 4.8 dan gangguan ginjal
Mesalamin Enema g
2 sampai 4 g
Prednisone 40 sampai 60 mg Insufiensi adrenal,
hiperglikemia,
osteoporosis

Steroid enema 100 mg Diare


Azathioprine 1.5 sampai 25 mg per Sakit kepala, diare,
kg hepatotoksisitas ,
leukopenia, mialgia
Mercaptopurine 0.75 samapai 1.5 mg Sakit kepala, diare,
per kg hepatotoksisitas,
leukopenia, mialgia
Tabel 2. Pengobatan pada pasien dengan ulseratif kolitis

  20  
Pemberian steroid oral jangka panjang tidak di rekomendasikan karena
adanya efek samping yang signifikan. Pasien yang tidak berespon terhadap
kortikosteroid dapat diberikan infliximab(ramicade), obat ini menetralisasikan
pro-inflammatory cytokine tumor necrosis factor-a .5

2.Pembedahan

Bila tindakan medis tidak berhasil dan penyakit tidak dapat teratasi, maka
diindikasikan pembedahan. Operasi yang paling sering dilakukan adalah
kolektomi total dan pembuatan ileostomi permanen. Beberapa ahli juga
menganjurkan kolektomi pada semua pasien yang seluruh kolonnya telah terkena
selama beberapa tahun. Ada beberapa indikasi untuk pembedahan selain hal yang
disebutkan diatas, seperti adanya toksik megakolon, perforasi , pendarahan yang
tidak terkontrol, striktur, kanker dan petumbuhan yang terhambat pada anak.6,10

3.Non Medikamentosa

Diet residu rendah menyebabkan berkurangnya masa feses sehingga


membuat pasien merasa lebih nyaman. Diet juga harus mengandung protein tinggi
untuk mengkompensasi kehilangan protein dalam lesi eksudatif, dan juga harus
tinggi kandungan vitamin dan mineral dengan pembatasan laktosa untuk
menghindari terjadinya intoleransi laktosa yang berkaitan dengan diare. Pasien
malnutrisi membutuhkan pemberian nutrisi parenteral total (TPN). Dukungan
emosional dan menentramkan hati penderita merupakan aspek pengobatan yang
penting.6

IX. KOMPLIKASI
1.Keterlibatan usus10
• Pendarahan: suatu komplikasi yang umum, dapat menjadi parah pada sekitar
10% dari pasien, tersering menyebabkan anemia defisiensi besi.
• Kolitis beracun atau fulminant: Biasanya berkembang pada kolitis ekstensif
dengan peradangan yang parah, dapat menyebabkan ileus paralitik dengan
distensi perut, perforasi juga mungkin terjadi.

  21  
• Megakolon toksik : Distensi pada kolon yang parah (6 cm atau lebih) disertai
demam, leukositosis, nyeri, perforasi dapat terjadi, dengan risiko kematian
yang tinggi, dapat disebabkan oleh endoskopi pada pasien dengan kolitis
berat atau fulminan
• Displasia atau kanker kolorektal: dikhawatirkan terjadi pada pasien dengan
durasi penyakit lebih dari 8 tahun, terutama pada mereka dengan kolitis luas
dan pankolitis.

2.Keterlibatan ekstraintestinal10
• Musculoskeletal sistem: artritis peripheral, paling sering bermigrasi, arthritis
nondestruktif sendi yang besar, yang biasanya sejajar aktivitas penyakit,
arthritis aksial: ankylosing spondylitis dan sakroiliitis (sering HLAB27-
positif), yang biasanya independen dari aktivitas penyakit, osteoporosis,
osteopenia, osteonekrosis, fraktur
• Pada kulit: eritema nodosum, pioderma gangrenosum, ulkus pada mulut
• Sistem hepatobiiliari: sklerosing cholangitis (risiko cholangiocarcinoma),
infiltrasi lemak, penyakit hati autoimun
• Pada mata : kondisi yang paling umum terjadi di ruang anterior mata seperti
episkleritis, skleritis, uveitis, iritis, konjungtivitis
• Sistem hematopoietik: anemia dari penyakit kronis, dan anemia dengan
defisiensi besi.
• Koagulasi sistem: kelainan pembekuan, abnormal fibrinolisis, trombositosis,
kelainan endotel, kejadian tromboemboli, terutama di pembuluh darah
perifer.

X. PROGNOSIS
Prognosis untuk pasien dengan kolitis ulseratif telah sangat berubah
selama beberapa dekade terakhir. Pada awal 1900-an kolitis ulseratif dianggap
sebagai penyakit yang fatal karena lebih dari 75% pasien meninggal dalam waktu
beberapa tahun setelah onset akut. Pada tahun 1950, angka kematian dilaporkan
menjadi 22% pada tahun pertama setelah diagnosis. Adanya terapi steroid sangat

  22  
meningkatkan prognosis yang baik pada pasien dengan ulseratif kolitis yang
berat.20
Studi epidemiologi saat ini menunjukkan bahwa pasien yang menderita
ulseratif kolitis memiliki harapan hidup yang sama dengan masyarakat umum,
prognosis pada pasien dengan kolitis ulseratif umumnya baik pada dekade
pertama setelah diagnosis walaupun masih ada beberapa penilitian yang
menunjukkan ada sedikit peningkatan angka mortalitas. Kolitis ulseratif dapat
mengancam nyawa saat terjadi serangan yang berat karena adanya komplikasi
pada kolon dan sistemik dan penyakit ini pun dapat berkembang menjadi kanker
kolorektal.10,23

  23  
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D. Inflammatory bowel disease alur diagnosis dan
pengobatannya di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setyohadi W, Alwi K,
Setiadi S,editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: Interna
publishing; 2004. p. 591-7
2. Patel PR. Saluran pencernaan. In : Umami V, Safitri A, editors. Lecture
notes radiologi. Edisi kedua. Indonesia : Penerbit erlangga; 2007. p.123
3. Kornbluth A, Sachar DB. Ulcerative colitis practice guidelines in adults
(update): american college of gastroenterology, practice parameters
committee. Am. coll of gastroenterology. 2004.
4. Zhang Z, Kennedy H. Ulcerative colitis: current medical therapy and
strategies for improving medication adherence. Eur J Gastroenterol
Hepatol. 2009.21:1–8 .Wolters kluwer health | Lippincott williams &
wilkins.
5. Langan RC, Gotsch PB, Krafczyk MA. Ulcerative Colitis: Diagnosis and
Treatment. American Family Physician. 2007: 76:9.
6. Lindseth GN. Gangguan usus besar. In: Price SA, WIlson LM, editors.
Patofisiologi : konsep klinis dasar-dasar penyakit 1. 6 ed. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran ECG; 2003. p. 456-64.
7. Tony KS. Kolon. In: Radiologi diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit
FKUI; 2005. p. 256-63.
8. Abdomen. In: Netter FH, editor. Atlas of human anatomy. 5 ed.
Philadelphia: Saunders elsevier; 2011. p. 262-3.
9. Putz R & Pabst R. In: Suryo J.Atlas Anatomi Manusia Sobotta jilid 2.
Jakarta: ECG. 2005. p. 141
10. Danese S, Fiocchi C. Ulcerative colitis.N Engl J Med. 2011;365:1713-25.
11. Fauci SA, Longo DL. Inflammatory bowel disease. In: Fauci SA, Kasper
DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et. al. Harrison's
principles of internal medicine. 17th ed. New york: Mcgraw-hill
companies; 2008. p. 5122-47

  24  
12. Conder G, Rendle J, Kidd S, Misra RR. In: Misra RR, editor. A-Z
abdominal radiology. Cambridge: Cambridge university press; 2009.p.
96-103.
13. Chowdury R, Wilson L, Rofe C, Lloyd-Jones G. AXR classic cases II. In:
Chowdury R, Wilson L, Rofe C, Lloyd-Jones G., editors. Radiology at a
glance. Oxford: Blackwell publishing; 2010. p. 44-5
14. Mutch MG, Binbaum EH, Menias CO. Diagnostic evaluation- radiology,
nuclear, scans,PET, CT colography. In: Fleshman JW, Wolff BG, editors.
The ASCRS textbook of colon and rectal surgery. Springer: New york;
2007. p.69-100.
15. Eisenberg RL. Ulcerative lesion in colon. In : Eisenberg RL, editor.
Gastrointestinal radiology: a pattern approach. Philadelphia: Lippincott
william & wilkins; 2003. p. 587-624.
16. Harisinghani MG, Mueller PR. Ulcerative colitis. In: Harisinghani MG,
Mueller PR, Heffes AM. Teaching atlas of abdominal imaging. New York:
Thieme; 2009. p. 305-8.
17. Stooker J, Gore RM. Imaging of the colon and rectum: Inflammatory and
infectious disease. In: Hodler J, Schulthess GV, Zolikofer CL, editors.
Diseases of the abdomen and pelvis 2010-2013. Italia : Springer; 2010. p.
37-46.
18. Rinola F, Rodriquez S, Garcia-Bosch O, Ricart E, Pages M, Pellise M, et
al. Role of 3.0-T MR Colonography in the Evaluation of Inflam- matory
Bowel Disease. RadioGraphics 2009; 29:701–719
19. Differentiating ulcerative colitis from crohn disease in children and young
adults: report of a working group of the north american society for
pediatric gastroenterology, hepatology, and nutrition and the crohn’s and
colitis foundation of america. Journal of pediatric gastroenterology and
nutrition. 2007;44:653–674.
20. Mitros FA, Rubin E. The gastrointestinal tract. In : Rubin E, Reisner HM,
editors. Essential of rubin's pathology. Philadelphia: Lippincot williams &
wilkins; 2009. p. 274-340.

  25  
21. Sun MY, Maykel JA. Ischemic Colitis. Clin Colon Rectal Surg. 2007
February; 20(1): 5–12.
22. Ripolles T, Simo L, Perez MJ, Pastor MR, Igual A, Lopez A. Sonographic
findings in ischemic colitis in 58 patients. American Journal of
Roentgenology. 2005;184:777-785
23. Caprilli R, Viscido A, Latella G. Current management of severe ulcerative
colitis. Nature clinical practice gastroenterology & hepatology. 2007;4;2.
 

  26  

Anda mungkin juga menyukai