Anda di halaman 1dari 10

Budha dan Keyakinannya

Keyakinan Dalam Agama Buddha


Oleh: Willy Yandi Wijaya
Pentingnya Keyakinan

Sebagai umat Buddha, kita


tentunya mempunyai keyakinan terhadap Buddha, Dharma dan
Sangha. Namun, dalam Agama Buddha, keyakinan yang harus
dimiliki tidak sama dengan keyakinan dalam agama lain.
Sebelum membahas lebih lanjut bagaimana keyakinan (saddha)
dalam agama Buddha, kita harus tahu bahwa keyakinan sangat
penting bagi pengembangan dan pelatihan batin sehingga
membawa kebahagiaan. Di dalam Anguttara Nikaya III, 206
disebutkan bahwa keyakinan terhadap agama Buddha
merupakan salah satu dari lima ‘kekayaan’ yang dimiliki oleh
seorang umat Buddha. Di dalam Anguttara Nikaya III, 127 juga
disebutkan bahwa umat Buddha harus mengembangkan
keyakinan terhadap ajaran Buddha.
Mengapa keyakinan penting? Sesuai dengan Jalan Mulia
Berunsur Delapan, keyakinan atau Saddha dapat membentuk
pikiran benar dengan pengembangan ke dalam diri. Sedangkan
pengembangan pikiran cinta kasih (metta), pikiran melepas dan
memberi (dana) dan pikiran welas asih (karuna) adalah
pengembangan pikiran benar secara aktif seperti yang disebutkan
di dalam Samyutta Nikaya 45.8 dengan objek pelatihan ke luar
yang melibatkan orang lain. Jadi Saddha (keyakinan) merupakan
suatu bentuk pelatihan pikiran benar yang dikembangkan hanya
dengan pikiran sendiri tanpa melibatkan orang lain. Jadi
keyakinan merupakan salah satu aspek yang mendukung pikiran
benar.
Keyakinan sangat penting karena mendorong kita untuk
membuktikan sendiri ajaran Buddha. Dilukiskan oleh Nagarjuna
bahwa keyakinan mendahului pemahaman karena tanpa
keyakinan bagaimana bisa memahami. Namun, keyakinan dalam
agama Buddha bukan sekedar keyakinan terhadap suatu makhluk
tertinggi yang akan menyelamatkan kita jika meyakininya. Untuk
mencapai pencerahan sebagai makhluk suci (arahat), keragu-
raguan juga perlu dilenyapkan dengan keyakinan terhadap
kebenaran realitas dunia ini (Dharma).
Keyakinan Sudut Pandang Buddhis
Keyakinan dalam agama Buddha disebut Saddha. Objek
keyakinan dalam agama Buddha ada tiga, yaitu:
1. Buddha
2. Dharma
3. Sangha
Perlu diingat bahwa keyakinan terhadap Buddha, Dharma
maupun Sangha bukanlah keyakinan terhadap bentuk objeknya,
seperti patung, kitab suci, atau biksu. Namun, keyakinan yang
benar adalah keyakinan terhadap makna dibalik simbol tersebut,
seperti keyakina terhadap Buddha mewakili keyakinan terhadap
seorang guru (Buddha) yang perlu diteladani. Beliau
mencontohkan bagaimana perilaku-perilaku yang baik (sila),
ucapan yang bermanfaat, pikiran yang positif. Keyakinan
terhadap Dharma juga bukanlah keyakinan buta terhadap ajaran
yang tertulis dalam kitab suci. Keyakinan terhadap Dharma
adalah keyakinan terhadap ajaran Buddha yang diwujudkan
melalui praktik nyata dan langsung. Keyakinan terhadap Sangha
mewakili keyakinan terhadap kemampuan setiap orang untuk
mencapai tahap pencerahan seperti Buddha. Keyakinan terhadap
Sangha juga mempunyai makna bahwa kita perlu menyebarkan
kebenaran kepada orang lain agar berada di dalam jalan
pelatihan spiritual.
Ciri-ciri Keyakinan Dalam Buddhis
Seperti yang telah disebutkan, keyakinan dalam Agama Buddha
mempunyai bentuk yang berbeda dengan keyakinan dalam
agama lain. Ada 2 ciri keyakinan dalam buddhis, yakni:
1. Membuka pandangan; meliputi keterbukaan dan
keingintahuan
2. Praktik; meliputi ritual (puja) dan pelaksanaan moralitas (sila)
yang benar
Membuka pandangan adalah ciri yang membedakan keyakinan
dalam buddhis dengan yang lain. Umat Buddha berkeyakinan
dengan mendasarkan pikiran yang terbuka terhadap ajaran lain.
Bila tidak disertai dengan keterbukaan, keyakinan dalam Agama
Buddha akan sama dengan agama lain. Membuka pandangan
dengan kebijaksanaa akan menghindari kefanatikan umat
Buddha. Keyakinan menghindari kebijaksanaan berkembang
menjadi skeptisme berlebihan yang bersumber dari ego. Jadi
dalam keyakinan dibutuhkan suatu pandangan benar yang
sejalan dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Pandangan benar
yang akhirnya akan membuka wawasan kebijaksanaan yang
murni dan tidak ternoda yang akan membawa kepada
pencerahan sejati.
Pratik adalah bentuk keyakinan dalam buddhis. Praktik berdasar
keyakinan dapat diwujudkan melalui tindakan nyata. Bentuknya
adalah implementasi ajaran Buddha dalam perbuatan, ucapan
dan pikiran yang benar. Moralitas dilaksanakan sebagai wujud
keyakinan. Selain itu, praktis keyakinan bisa diwujudkan melalui
ritual (puja). Tentunya ritual yang dilaksanakan dilakukan
dengan pemahaman yang benar. Ritual dapat meningkatkan
keyakinan, namun jangan menjadi ikatan dan salah pengertian.
Ritual yang baik adalah perenungan terhadap perbuatan yang
dilakukan selama ini dan pengembangan pikiran penuh cinta
kasih, welas asih, dan kebijaksanaan.
Daftar Pustaka
Dhammika, Ven. S. 2004. Dasar Pandangan Agama Buddha.
Surabaya: Yayasan Dhammadipa Arama.
Sangharakshita, Ven. 2004. Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Jakarta: Karaniya.
Wijaya, Willy Yandi. 2008. Pandangan Benar. Yogyakarta:
Insight Vidyasena Production.
Saddhā – Keyakinan dalam Agama Buddha
Saddha (Pali: saddhā; Skt: śraddhā)  adalah keyakinan berdasarkan
pengetahuan dari hasil verifikasi atau pemeriksaan atau
penyelidikan awal berupa hipotesis (anggapan benar) terhadap
ajaran (konsep, gagasan, dll.) yang terbentuk karena keterbatasan
bukti dan merupakan titik awal yang perlu ditindaklanjuti.
Kata saddhā memiliki makna dan pengertian yang tidak sederhana,
dan tidak memiliki padanan kata yang tepat dan sesuai dalam
kosakata bahasa lain untuk menggantikannya.  Untuk
itu saddhā tidak bisa hanya sekedar diartikan sebagai
“keyakinan”. Saddhā bukanlah keyakinan membuta yaitu
kepercayaan terhadap sesuatu sebagai kebenaran tanpa verifikasi
dan yang tidak memicu tindak lanjut berupa usaha membuktikan
sesuatu itu.
Saddhā juga bukanlah iman (Inggris: faith) dalam agama atau
kepercayaan lain, karena saddhāmemerlukan penindakan
selanjutnya berupa pembuktian dan tidak berdasarkan pada
kepercayaan membuta serta rasa takut. Untuk itu
menerjemahan saddhā sebagai iman (Inggris: faith) dipertanyakan
dan ditentang para sarjana bahasa Pāli Agama Buddha.[1] Dan
alih-alih diterjemahkan sebagai iman, saddhā diterjemahkan sebagai
kepercayaan diri (Inggris: confidence).

Iman dalam agama atau kepercayaan lain adalah rasa percaya


yang berdasarkan pada ketakutan terhadap apa yang dianggap
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dan juga tanpa diawali
dengan verifikasi serta tidak memerlukan penindakan selanjutnya
berupa pembuktian. Dalam iman, apa yang dipercaya dianggap
sebagai kebenaran, dan cenderung berkeyakinan membuta.

Sebagai contoh mengenai iman: dalam suatu agama tertentu


menyatakan bahwa seseorang harus memiliki iman kepada tuhan
dan utusannya agar ia dapat memperoleh keselamatan, jika tidak,
ia akan masuk neraka setelah ia meninggal. Karena rasa takut tidak
diselamatkan dan masuk neraka, seseorang memilih percaya
kepada keberadaan tuhan dengan segala perintahnya tanpa
mempertanyakan, tanpa memeriksa pernyataan tersebut dan tanpa
menindaklanjuti dengan usaha membuktikan kebenaran
keberadaannya. Dan karenanya pemikiran untuk mengkritisi
menjadi terhenti.

Sebaliknya, pengertian saddhā secara panjang adalah sikap batin


yang yakin dan menerima hasil verifikasi atau pemeriksaan atau
penyelidikan awal berupa anggapan benar (hipotesis) terhadap
ajaran (konsep, gagasan, dll.), yang pada tahap pengembangan diri
seseorang saat sekarang ini belum dapat dibuktikan karena
keterbatasan bukti yang ada, dan merupakan titik awal tindak lanjut
berikutnya berupa usaha pengujian untuk pembuktian menuju
terwujudnya kebenaran.
Secara singkat, saddhā adalah keyakinan berdasarkan atau bersifat
hipotesis. Digunakannya kata “hipotesis” ini dikarenakan kata ini
memiliki makna atau pengertian yang mendekati dengan pengertian
dari saddhā.
Hipotesis sendiri adalah sesuatu yang dianggap benar untuk alasan
atau pengutaraan pendapat (teori, proposisi, dsb.) meskipun
kebenarannya masih harus dibuktikan.[2] Hipotesis juga berarti
anggapan atau penjelasan yang diusulkan dibuat atas dasar bukti
yang terbatas sebagai titik awal untuk penyelidikan lebih lanjut.
[3] Hipotesis juga disebut sebagai dasar penyelidikan, dan dalam
berbagai penelitian sebuah hipotesis akan berdasarkan pada
penelitian atau pengamatan sebelumnya.[4]
Sebagai contoh mengenai saddhā: seorang umat disebut
memiliki saddhā terhadap Buddha meskipun belum bertemu terlebih
dahulu, karena sebelumnya ia telah melakukan verifikasi,
pemeriksaan, penyelidikan terhadap ajaran-Nya untuk selama
beberapa waktu, serta setiap saat dapat melihat dan memastikan
adanya hal-hal positif (seperti belas kasih, berkurangnya nafsu,
dsb.) yang ada pada diri orang lain yang telah mempraktikkan
ajaran-Nya secara benar. Sehingga setelah melihat itu semua
akhirnya menimbulkan sukacita, inspirasi dan muncul keyakinan
pada diri umat tersebut dengan menganggap benar apa yang telah
ia verifikasi, periksa, selidiki sebagai ajaran dari seseorang yang
telah tercerahkan (Buddha) dan sesuai untuk dirinya. Dan untuk
selanjutnya ia akan berusaha membuktikannya dengan
mempraktikkan ajaran tersebut.
Saddhā merupakan salah satu dari lima hal yang dapat
menghasilkan dua hal yang berbeda, yaitu menghasilkan hal yang
benar atau hal yang salah.[5] Dengan kata lain sesuatu yang
diterima berdasarkan saddhā nantinya bisa benar atau salah, bisa
merupakan fakta atau sebaliknya. 
Karena kondisi saddhā yang dapat menghasilkan dua hal yang
berbeda tersebut, maka tidak selayaknya bagi seorang bijaksana
yang melestarikan atau menjaga kebenaran, untuk menyimpulkan
secara pasti apa yang diterimanya melalui saddhā tersebut dengan
mengatakan, “Hanya ini yang benar, yang lainnya adalah salah“,
hingga ia membuktikan kebenarannya. Namun ia berhak untuk
menyatakan, “Demikianlah keyakinan saya“.
Terdapat dua jenis saddhā, yaitu: saddhā yang memiliki pokok
alasan/berdasar (Pali: mūlikā saddhā; Skt: mūlakā śraddhā)
dan saddhā yang tidak memiliki pokok alasan/tidak berdasar
(Pali: amūlikā saddhā; Skt: amūlakā śraddhā).[6]
Mūlikā saddhā adalah keyakinan yang muncul dari penilaian yang
hati-hati dari hasil verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan
(ehipassiko) yang memiliki alasan atau dasar (hakikat) terhadap
sebuah pernyataan, ajaran, dsb. Sedangkan, amūlikā saddhā adalah
keyakinan yang muncul tanpa didahului dengan penilaian yang hati-
hati dari hasil verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan yang
juga tanpa memiliki alasan atau dasar (hakikat) terhadap sebuah
pernyataan, ajaran, dsb.
Keyakinan atau saddhā yang mengakar secara dalam pada
wawasan yang beralasan/berdasar (Pali: ākāravatā saddhā
dassanamūlika) adalah keyakinan yang kokoh yang tidak terkalahkan
oleh siapa pun.[7] Keyakinan ini merupakan keyakinan yang
didasari oleh kebijaksanaan (Pali: pañña; Skt: prajñā). Dengan
kebijaksanaan atau disebut indria kebijaksanaan (Pali: paññindriya)
maka saddhā pada diri seseorang akan stabil.[8]
Itulah jenis keyakinan atau saddhā yang dianjurkan dalam
meyakini Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha),
karena saddhā seperti itu bermanfaat untuk mengokohkan,
menguatkan, memfokuskan, dan sebagai pedoman sebuah niat
untuk mencapai tujuan, yang dalam konteks Agama Buddha tujuan
tersebut adalah Kebebasan Sejati (Nibbana).
Untuk itu, saddhā terhadap Tiratana merupakan hal yang penting
pada awal perkembangan batin, dan
karenanya saddhā diperumpamakan sebagai benih.[9] Dan untuk itu
juga saddhāperlu dikembangkan dengan cara berlatih dan
mempraktikkan ajaran Buddha sambil mengujinya, agar seseorang
dapat lebih menguatkan dan memfokuskan diri mencapai tujuan.
Pada tingkat akhir, pada diri mereka yang telah melihat,
mengetahui, menembus, mewujudkan, dan mencapai Kebenaran
oleh dirinya sendiri secara langsung terhadap sesuatu (misalnya
salah satu ajaran Buddha), maka saddhā terhadap Tiratana tersebut
tidak diperlukan lagi[10][11]sehingga mereka menjadi
tanpa saddhā (Pali: assaddha; Skt: aśraddhā).[12][13] Hal ini sama
seperti seseorang yang telah membuktikan kebenaran, melihat
sebuah fakta yang nyata ada dan teruji, maka ia tidak memerlukan
sebuah hipotesis (anggapan benar) lagi.
Dari pengertian di atas, maka saddhā memiliki ciri-ciri, yaitu:
merupakan hasil verifikasi berupa hipotesis, bukan kebenaran final
atau akhir tetapi merupakan titik awal perjalanan menuju
perwujudan kebenaran melalui pengujian, dan perlu diiringi dengan
kebijaksanaan.

– Selesai –

Catatan:

SADDHA (keyakinan) UMAT BUDDHA

Saddha artinya keyakinan. Keyakinan disini bukan berarti kepercayaan yang


membabi buta, atau asal percaya saja, akan tetapi keyakinan yang
berdasarkan pada fakta dan kebenaran. Yang dimaksud kebenaran adalah
kesunyataan (Paramatha Sacca). Agama Buddha mempunyai keyakinan
(Saddha) akan adanya :

1. Tuhan Yang Maha Esa


2. Tiratana atau Tri Ratna (Tiga Permata/Mustika)
3. Tipitaka/Tripitaka (Kitab Suci)
4. Bodhisatta/Bodhisatva (Calon Buddha)
5. Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
6. Cattari Ariya Saccani (Empat Kesunyataan Mulia)
7. Kamma dan Punabhava (Perbuatan dan Kelahiran Kembali)
8. Paticcasamuppada (Hukum Sebab Akibat yang Saling bergantungan)
9. Nibbana/Nirvana(Kebahagiaan Tertinggi)

Dalam Kitab Suci Tipitaka yaitu pada Sutta Pitaka terdapat 4 keyakinan, al:
1. Keyakinan terhadap hukum kamma/karma (Kamma Saddha)
2. Keyakinan terhadap akibat dari kamma/karma (Vipaka Saddha)
3. Keyakinan bahwa semua makhluk mempunyai karma masing-masing dan
bertanggung jawab terhadap perbuatannya (Kammassakata Saddha)
4. Keyakinan terhadap pencapaian penerangan sempurna dari Sang Buddha.

KEYAKINAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

Setiap agama apapun bersendikan Ketuhanan YME, meskipun makna dan


pengertian yang diberikan oleh setiap agama terhadap Tuhan berlainan
antara agama yang satu dengan agama yang lain. Demikian juga agama
Buddha meyakini Tuhan YME tidak sama dengan meyakini benua atau hal
yang lain.
Keyakinan terhadap Tuhan YME melalui proses decara penalaran (akal)
melalui penerangan sempurna. Dalam agama Buddha telah di ajarkan
Ketuhanan YME sejak Sang Buddha membabarkan Dhammanya yang pertama
kali di Taman Rusa Isipatana, yang memungkinkankita terbebas dari Samsara
(lingkaran kelahiran kembali).
Tidak benar sama sekali seandainya ada sementara orang yang beranggapan
bahwa agama Buddha tidak ber-Tuhan. Mungkin sementara orang tersebut
menuntut adanya suatu nama sebutan untuknya, seperti apa yang mereka
ketahui dalam agama mereka. Akam tetapi mereka itu kalau mau
mempelajari Kitab Suci Tipitaka, maka akan menemukan sabda Sang Buddha
tentang Ketuhanan YME.
Dalam Kitab Udana VIII,3 Sang Buddha bersabda sebagai berikut :
“ Para bhikkhu ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta,
yang Mutlak. Dan Para bhikkhu, bila tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak
menjelma, tidak tercipta, yang Mutlak, maka tidak dapat tergambarkan
dalam bentuk apapun”. 
Kitab Udana VIII,3 terdapat dalam Sutta Pitaka bagian Khuddhaka Pitaka
(buku yang kelima).
Sesuai dengan sabda Sang Buddha tersebut diatas jelaslah bagi kita bahwa
Sang Buddha juga mengajarkan tentang Ketuhanan YME. Hanya saja konsep
Ketuhanan dalam agama Buddha tidak sama dengan konsep Ketuhanan dari
agama lain. Setelah mengetahui konsenya lalu timbul pertanyaan :
“siapakah nama Tuhan dalam agama Buddha ? “ Tuhan dalam agama Buddha
bukan pribadi yang bisa diberi nama oleh karena itu agama Buddha
menyebut Tuhan Yang Mutlak “. Namun Tuhan juga dapat disebut Sang
Hyang Adi Buddha, Parama Buddha, Sang Tattagatha.
Dalam agama Buddha yang mutlak/Tuhan tidak dipandang sebagai suatu
pribadi, yang kepada-Nya umat Buddha memanjatkan doa dan
menggantungkan hidupnya, akan tetapi agama Buddha mengajarkan bahwa
nasib, penderitaan, kebahagiaan, keberuntungan, kerugian, adalah hasil dari
perbuatannya sendiri dimasa lampau.

KITAB SUCI TIPITAKA/TRIPITAKA

Kitab Suci agama Buddha bernama Tipitaka (Pali) atau Tripitaka


(Sansekerta). Tipitaka atau Tripitaka artinya tiga keranjang atau tiga
kelompok. Setiap keranjang atau kelompok terdiri dari masing-masing
bagian Kitab Suci. Kitab Suci berhasil ditulis kembali 400 tahun setelah Sang
Buddha Parinibbana (meninggal) dengan tidak mengurangi keasliannya oleh
bhukkhu BUDDHAGOSA. Tipitaka atau Tripitaka terdiri dari : 
1. Vinaya Pitaka : buku yang berisi peraturan para bhikkhu dan bhikkhuni. 
Peraturan bhikkhu berjumlah 227 latihan, dan bhikkhuni berjumlah 311
latihan. Vinaya Pitaka terbagi menjadi 3 bagian, al: Vibhanga, Khandaka,
Parivara
2. Sutta Pitaka : buku yang berisi khotbah Sang Buddha. 
Sutta ini terdiri dari 5 nikaya (kumpulan), al:
• Digha Nikaya : buku yang berisi 34 sutta panjang
• Majjhima Nikaya : buku yang berisi 152 sutta
• Anguttara Nikaya : buku yang berisi 9.557 Sutta
• Samyutta Nikaya : buku yang berisi 7.762 sutta
• Kuddhaka Nikaya : buku yang berisi 15 kitab.
3. Abhidhamma Pitaka : buku yang berisi filsafat ajaran Buddha.
Buku ini terdiri dari 7 kitab, al:
• Dhammasangani, berisi perincian Paramatha Dhamma (etika/keadaan
batin)
• Vibhanga, menguraikan pembagian paramatha dhamma dalam bentuk yang
berbeda
• Dhatukatha, menguraikan unsur batin yang terdiri dari 14 bagian
• Puggalapannati, menguraikan pannati, puggala, dan paramatha
• Kathavatthu, menguraikan paramatha dalam bentuk tanya jawab, terdiri
dari 23 bab, menguraikan kumpulan dan sanggahan terhadap pandangan
salah tang berhubungan dengan teologi dan metafisika
• Yamaka, menguraikan paramatha secara berpasangan (berpasangan)
terdiri dari 10 bab (Mula, Khanda, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara,
Anusaya, Citta, Dhamma, dan Indriya).l
• Patthana, menguraikan 24 pacaya (hubungan antara batin dan jasmani).

Anda mungkin juga menyukai