Anda di halaman 1dari 15

USAHA INTEGRASI TERNAK PADA PERKEBUNAN YANG MENJADI

SUATU KEHARUSAN DI SUMATERA UTARA


OLEH :
KHAIRINA FAKHRY PARINDURY
170301203
AGROTEKNOLOGI

DOSEN PENGAMPU:
Ir. R. Edhy Mirwandhono, M.Si.

MATAKULIAH INTEGRASI TERNAK DAN PERKEBUNAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang berarti negara yang
mengandalkan sektor pertanian baik sebagai sumber mata pencaharian, sumber
utama pangan maupun sebagai penopang pembangunan dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang ditinjau dari : (i) cakupan komoditasnya, meliputi
berbagai jenis tanaman berupa tanaman tahunan dan tanaman semusim, (ii) hasil
produksinya, merupakan bahan baku industri atau ekspor, sehingga pada dasarnya
telah melekat adanya kebutuhan keterkaitan kegiatan usaha dengan berbagai
sektor dan sub-sektor lainnya, dan (iii) pengusahaannya, sebagian besar
dikelola/dikerjakan oleh masyarakat menengah ke bawah yang tersebar di
berbagai daerah (Didiek Goenadi, 2005).
Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat dominan dalam
pendapatan masyarakat di Indonesia (Dimas, 2009). Pernyataan ini terbukti dari
mayoritas penduduk Indonesia bekerja pada sektor pertanian pada tahun 2019
yaitu sebesar 35,54 % yang merupakan persentase lapangan pekerjaan utama
tertinggi di Indonesia yang dapat dilihat pada Tabel 1, dan Dimas menambahkan
bahwa produktivitas pertanian masih jauh dari harapan, dimana salah satu faktor
penyebab kurangnya produktivitas pertanian ini adalah sumber daya manusia dan
minat di bidang pertanian yang masih sangat rendah dalam mengolah lahan
pertanian dan hasilnya. Mayoritas petani di Indonesia masih menggunakan sistem
manual dalam pengolahan lahan pertanian sehingga mengakibatkan kalah
bersaing. Didiek Goenadi (2005) dalam Info Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian menambahkan bahwa peranan sektor ini di
Indonesia masih dapat ditingkatkan lagi apabila dikelola dengan baik walaupun
belum optimalnya penggarapan sampai saat ini.
Tabel 1. Persentase Penduduk yang Berusia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja
Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2017-2019 (dalam satuan
persen)
Lapangan Pekerjaan Utama 2017 2018 2019
Pertanian, kehutanan, perkebunan,
37,52% 35,53% 35,54%
perikanan, peternakan
Pertambangan dan Penggalian 0,63% 0,61% 0,61%
Industri Pengolahan 9,03% 9,82% 9,91%
Listrik, Gas dan Air Minum 0,33% 0,43% 0,56%
Bangunan 5,37% 5,25% 5,61%
Perdagangan, Hotel dan Rstoran 22,16% 22,91% 17,68%
Pengangkutan dan Komunikasi 5,23% 5,50% 4,66%
Bank dan Lembaga Keuangan 2,47% 2,13% 2,13%
Jasa Kemasyarakatan 17,26% 17,82% 17,82%
Lainnya - - -
Jumlah 100% 100% 100%
Sumber: BPS Indonesia, 2017-2019
Salah satu subsektor pertanian yang berkembang pesat saat ini dan cukup
besar potensinya adalah subsektor perkebunan. Kontribusi subsektor perkebunan
ini telah menduduki urutan pertama dalam penyumbang PDB pada tahun 2013
diikuti subsektor tanaman pangan dan peternakan dan selalu mengalami
peningkatan setiap tahunnya yang dapat dilihat pada Tabel 2. Di masa yang akan
datang, besar “harapan” pemerintah dari perkebunan-perkebunan ini dapat
terwujud pembangunan wilayah terutama di luar pulau Jaawa seperti yang
tercantum dalam “TRIDHARMA” perkebunan yaitu: 1) menghasilkan devisa
yang sebesar-besarnya, 2) membantu menciptakan kesempatan kerja, dan 3)
melestarikan sumber-sumber alam (Mubyarto, 1989: 235). Di samping itu dapat
sebagai penopang pembangunan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
yang ditinjau dari : (i) cakupan komoditasnya, meliputi berbagai jenis tanaman
berupa tanaman tahunan dan tanaman semusim, (ii) hasil produksinya, merupakan
bahan baku industri atau ekspor, sehingga pada dasarnya telah melekat adanya
kebutuhan keterkaitan kegiatan usaha dengan berbagai sektor dan sub-sektor
lainnya, dan (iii) pengusahaannya, sebagian besar dikelola/dikerjakan oleh
masyarakat menengah ke bawah yang tersebar di berbagai daerah (Didiek
Goenadi, 2005).
Tabel 2. Data jumlah usaha pertanian di Sumatera Utara
Rasio Rasio
Lapangan Usaha/Sub
2003 terhadap 2013 terhadap
Sektor Pertanian
total (%) total (%)
Tanaman Pangan 834.394 25% 741.068 27%
Hortikultura 616.636 19% 397.214 14%
Perkebunan 858.655 26% 938.843 34%
Peternakan 728.722 22% 534.625 19%
Perikanan 94.090 3% 75.928 3%
Kehutanan 64.968 2% 56.133 2%
Jasa pertanian 85.558 3% 51.750 2%
Jumlah 3.283.023 100% 2.795.561 100%
Sumber: BPS Indonesia 2020 (data diolah)
Perkembangan tanaman perkebunan di Sumatera Utara berjalan dengan sangat
baik. Dapat dilihat dari jumlah luas areal dan produksi tanaman perkebunan yang tidak
sedikit jumlahnya. Meskipun begitu, kelapa sawit merupakan komoditi tanaman
perkebunan yang memiliki luas areal dan produksi tertinggi diantara tanaman perkebunan
lainnya (Tabel 3 dan 4). Dapat kita ketahui bahwa kelapa sawit memiliki cukup banyak
peminat di daerah Sumatera Utara, hal ini dapat disebabkan oleh karena lingkungan yang
ada di Sumatera Utara sangat sesuai dengan syarat tumbuh kelapa sawit.
Tabel 3. Luas Areal Tanaman Perkebunan di Sumatera Utara (ribu ha) Tahun
2018 dan 2019
Tahun
Komoditi
2018 2019
Kelapa sawit 434,36 439,08
kelapa 109,63 109,83
karet 369,41 369,45
kopi 76,28 76,97
kakao 17,61 17,62
tebu 53,67 54,35
teh 0,81 0,81
tembakau 1,87 1,9
Sumber: BPS Indonesia 2020
Tabel 4. Produksi Tanaman Perkebunan di Sumatera Utara (ribu ton) Tahun 2018
dan 2019
Tahun
Komoditi
2018 2019
Kelapa sawit 1.682,29 7.006,99
kelapa 97,02 98,14
karet 309,76 310,09
kopi 63,24 64,04
kakao 7,84 8,13
tebu 33,95 34,82
teh 0,94 0,95
tembakau 1,41 1,42
Sumber: BPS Indonesia 2020
Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara juga
menunjukkan trend pertumbuhan yang selalu positif, hingga pada tahun 2020 luas
areal kelapa sawit di Sumatera Utara sudah mencapai 1.630.744 ha dengan jumlah
produksi 6.601.399 ton (seperti yang telah dipaparkan pada Tabel 5 dan 6).
Sumatera Utara sebagai salah satu sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia,
luas perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara setiap tahun mengalami
peningkatan yang dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Sehingga kehadiran
perkebunan kelapa sawit (Perusahaan Perkebunan Sawit) yang telah lama ada di
Indonesia dan tidaklah berlebihan jika Sumatera Utara mempunyai perhatian yang
paling besar, karena merupakan tempat kelahiran komoditas kelapa sawit di
Indonesia.
Tabel 5. Luas areal kelapa sawit Sumatera Utara (Ha)
Tahun PR % PBN % PBS % Jumlah

2018 691.475 44,57% 306.135 19,73% 553.993 35,70% 1.551.603


2019 723.798 45,18% 312.253 19,49% 565.850 35,32% 1.601.901
2020 730.410 44,79% 320.445 19,65% 579.889 35,56% 1.630.744
Sumber: BPS Indonesia, 2018-2020 (data diolah)
Ket: PR=Perkebunan Rakyat, PBN=Perkebunan Negara, PBS=Perkebunan Swasta

Tabel 6. Produksi perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara (Ton)


Tahun PR % PBN % PBS % Jumlah

2018 2.364.026 41,20% 1.237.231 21,56% 2.136.014 37,23% 5.737.271


2019 2.539.764 41,20% 1.329.205 21,56% 2.294.802 37,23% 6.163.771
2020 2.720.087 41,20% 1.423.579 21,56% 2.457.733 37,23% 6.601.399
Sumber: BPS Indonesia, 2018-2020 (data diolah)
Ket: PR=Perkebunan Rakyat, PBN=Perkebunan Negara, PBS=Perkebunan Swasta

Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu kawasan industri penting di


Indonesia. Perkembangan berbagai industri penting di wilayah ini, seperti
peternakan, pertanian dan perkebunan (terutama kelapa sawit dan karet)
menyebabkan peningkatan secara nyata pendapatan domestik regional.
Peningkatan ekonomi tersebut berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat
setempat, terutama kaitannya dengan meningkatnya permintaan terhadap bahan
pangan asal ternak seperti daging, telur dan susu. Sebagai konsekuensinya,
penyediaan produk ternak termasuk daging sapi di wilayah Sumatera Utara
dituntut untuk terus meningkat. Menurut Yusdja et al. (2001), yang disitasi oleh
Winarso (2004) mengemukakan bahwa pertumbuhan subsektor peternakan sangat
sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi, karena sebagian besar produk yang
dihasilkan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
Tabel 7. Konsumsi daging segar perkapita berdasarkan komoditas ternak di
Sumatera Utara tahun 2014-2018
Tahun (kg/kapita/tahun) Jumlah
Daging (kg/kapita/
2014 2015 2016 2017 2018 5 tahun)
Sapi 0,261 0,417 0,417 0,469 0,469 2,033
Kerbau 0,000 - - 0 - 0
Kambing,
0,000 - - 0,052 0 0,052
domba
Babi 0,156 0,209 0,261 0,261 0,261 1,148
Ayam ras 3,963 4,797 5,110 5,683 5,579 25,132
Ayam kampung 0,521 0,626 0,626 0,782 0,730 3,285
Bebek - - - 0,052 - 0,052
Unggas lainnya 0,052 - - 0 - 0,052
Daging lainnya 0,052 - - 0,052 0,052 0,156
Sumber: BPS Indonesia, 2014-2018

Konsumsi daging ayam ras, ayam kampung, serta sapi mengalami jumlah
konsumsi terbesar dalam kurun waktu 5 tahun (Tabel 7). Tingginya peningkatan
konsumsi daging ayam dan sapi setiap tahunnya dengan sendirinya perlu diikuti
dengan upaya peningkatan produksi daging antara lain dengan mendorong
berkembangnya usaha peternakan ayam dan sapi.
Kondisi populasi dan produktivitas sapi di Indonesia masih rendah belum
dapat memenuhi kebutuhan permintaan daging dan saat ini masih harus diimpor
daging dan sapi bakalan sekitar 30% dari total konsumsi nasional
(Diwyanto, 2006). Data impor sapi mencapai 380 ribu ekor sapi bakalan dan
daging/jeroan sebanyak 50 ribu ton pertahun (Boediyana, 2007 dan Quierke, D.
at. al, 2003). Kondisi Provinsi Sumatera utara konsumsi daging sapi baru
mencapai 0,47 kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik, 2018). Menurut Dinas
Peternakan Provinsi Sumatera Utara, untuk memenuhi kebutuhan tersebut masih
harus mengimpor sapi dari Australia sekitar 7790 ekor setiap tahunnya.
Tersedianya lahan untuk perkebunan dapat memberikan kontribusi yang
positif untuk pengembangan ternak sapi secara sistem integrasi antara sektor
perkebunan dan peternakan. Nilai manfaat yang diperoleh untuk sektor
perkebunan diantaranya menyediakan pupuk organik yang berasal dari kotoran
sapi, mengurangi biaya tenaga kerja untuk pembersihan gulma, mengurangi
penggunaan herbisida berarti akan mendukung keselamatan lingkungan
(Survey, 2005).
Integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit sangat dibatasi oleh
rendahnya hijauan yang eksis di lahan perkebunan kelapa sawit. Keinginan
mengintegrasikanproduksiternakdenganmengandalkan hanya hijauan yang
tumbuh di lahan perkebunan kelapa sawit, bisa dilakukan oleh peternak kecil saja.
Hartley (1988), melaporkan pada perkebunan sawit di daerah tropik basah dan
dataran rendah jarang sekali dilakukan pemeliharaan sapi, kecuali di Amerika
Latin dimana banyak perkebunan yang pohon kelapa sawitnya masih muda, sapi
dipelihara secara penggembalaan. Di Nigeria, suplai hijauan yang ditanam di
antara baris (rumput gajah) menunjukkan produksi sawit turun sangat kecil oleh
karena perubahan jarak tanam yang lebih besar, tetapi memberikan kontribusi
suplai daging yang cukup berarti, dan biaya pemeliharaan kebun sawit dapat
dikurangi.
Di Sumatera Utara, sapi penduduk yang digembalakan di areal perkebunan
kelapa sawit pada umumnya tidak terkontrol, mengakibatkan kerusakan pada
tanaman muda, sehingga pertumbuhannya lambat akibat daunnya dimakan sapi;
pemadatan lahan; menekan pertumbuhan akar; drainase rusak; sehingga
membutuhkan biaya perbaikan. Bagaimanapun agar integrasi secara
penggembalaan dapat sukses memerlukan manajemen yang sangat ketat.
Percobaan di Malaysia “Cote d’Ivore and Columbia” dengan penggembalaan
terkontrol secara rotasi yang ringan, memberikan daya tampung 1–2 ha/ekor sapi
pada hijauan penutup kacang-kacangan dan rumput alam (Hartley,1988).
Ternak ruminansia (kambing, domba dan sapi) pakan utamanya berupa
hijauan. Ternak ruminansia mampu merubah hijauan yang berkualitas lebih
rendah dari biji-bijian menjadi daging secara efisien. Potensi tersebut sebagai
dasar pertimbangan mengintegrasikan ternak ruminansia dengan perkebunan
kelapa sawit. Vegetasi hijauan di antara pohon kelapa sawit yang merupakan
gulma dan yang harus disiangi secara rutin, dapat digantikan oleh ternak sebagai
penyiang biologis. Integrasi ini memberikan efek saling menguntungkan
(complementary) yakni hijauan diubah oleh ternak menjadi daging dan pihak
perkebunan dapat menghemat biaya penyiangan 25–50% dan meningkatkan
produksi rendemen buah segar 16,7% (Harun dan Chen, 1994). Potensi pasar
lokal di beberapa kota besar di Sumatera Utara menunjukkan bahwa kebutuhan
daging baru terpenuhi sekitar 45% (Karo-Karo et al., 1993). Berdasarkan rata-rata
pemotongan, serta perkiraan jumlah yang dibutuhkan maka untuk Propinsi
Sumatera Utara saja masih kekurangan domba/kambing ± 7900 ekor/bulan,
merupakan peluang yang masih sangat potensial. Peluang ekspor juga cukup
terbuka ke Singapore dan Malaysia serta Timur Tengah sekitar 3 juta ekor/tahun
dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar lokal (Karo-Karo et al., 1993).
Daun dan pelepah sawit. Setiap hektar kebun sawit dapat dihasilkan
sebanyak 486 ton pelepah kering dan 17,1 ton daun sawit kering/tahun
(Sianipar et al., 2003). Dengan sistem pemberian pakan intensif (30−40%
hijauan), maka kebutuhan BK seekor domba dengan bobot badan 30 kg adalah
3% x 30 kg x 30% x 365 hari yakni sekitar 100 kg bahan kering/ekor/tahun.
Dengan demikian daya tampung limbah pelepah sawit sekitar 4500 ekor
domba/tahun dan daun sawit 170 ekor domba/ha/tahun. Untuk sapi dengan bobot
badan sekitar 300 kg, maka daya tampung limbah pelepah sawit + 450
ekor/ha/tahun dan limbah daun sawit sekitar 17 ekor/ha/tahun.
Lumpur sawit dan bungkil inti sawit. Lumpur sawit dan bungkil inti sawit
merupakan hasil ikutan pengolahan minyak sawit. Pada proses pengolahan
diperoleh rendemen sebanyak 4–6% lumpur sawit dan 45% bungkil inti sawit dari
tandan buah segar. Untuk setiap hektar kebun kelapa sawit, maka akan diperoleh
limbah lumpur sawit sebanyak 840–1260 kg dan 567 kg bungkil inti sawit
(Sianipar et al., 2003 ). Sebuah pabrik minyak sawit yang kapasitas mesinnya
dapat memproses 800 ton buah sawit segar/hari akan menghasilkan 5 ton lumpur
sawit kering dan 6 ton bungkil inti sawit kering/hari (Horne et al., 1994). Bila
dikonversikan terhadap kebutuhan ternak (20– 70% dalam ransum), maka daya
dukung satu pabrik (PKS) dapat memenuhi kebutuhan ± 15.000 ekor domba atau
+1500 ekor sapi/tahun. Lumpur sawit boleh dikatakan limbah, belum
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada beberapa perkebunan lumpur sawit
ditebarkan di areal perkebunan sebagai pupuk, sedangkan bungkil inti sawit pada
umumnya di ekspor ke Eropa untuk pakan ternak. Harga bungkil inti sawit cukup
murah, pada saat ini harga DO pabrik sekitar Rp. 325/kg, dibanding bungkil
kelapa (kopra) Rp. 1.000/kg.
Limbah dan hasil ikutan perkebunan kelapa sawit yang dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak ruminansia meliputi daun sawit, daging pelepah
sawit, lumpur sawit, bungkil inti sawit, serat perasan buah, isi batang sawit dan
tandan buah kosong. Hasil analisis komposisi kimia hasil ikutan perkebunan
kelapa sawit di atas disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Komposisi kimia hasil ikutan perkebunan kelapa sawit (%bahan kering)

Hasil ikutan BK PK SK NDF ADF KL Abu Lignin ME ET

Bungkil inti
89,0 17,2 17,1 74,3 52,9 1,5 4,3 - 2,65 2,6
sawit*
Solid decanter* 35,0 12,5 20,1 63,0 51,8 8,7 19,5 - 2,01 2,4
Daun sawit** 45,2 11,2 - 63,1 46,1 3,2 - 13,8 - -
Daging pelepah
21,9 2,3 - 72,2 63,9 0,5 - 2,7 - -
sawit**
Daun + pelepah
25,5 4,7 38,5 78,7 55,6 2,1 3,2 - - -
sawit*
Serat perasan
91,2 5,4 41,2 84,5 69,3 3,5 5,3 - - -
buah*
Tandan buah
- 3,7 48,8 81,8 61,6 3,2 - - - -
kosong*
Batang kelapa
27,3 2,8 37,6 79,8 52,4 1,1 2,8 - - -
sawit*
BK = Bahan kering
PK = Protein kasar
SK = Serat kasar
NDF = Neutral detergent fibre
ADF = Acid detergent fibre
KL = Kadar lemak
EM = Energi metabolis
ET = Energi tercerna
*Wong dan Zahari (1992); **Sudaryanto et al. (1999)

Bungkil inti sawit (palm kernel cake). Hasil ikutan yang paling tinggi nilai
gizinya untuk pakan ternak. Kandungan protein kasar bervariasi 15–17%, selain
dipengaruhi kualitas buah sawit juga dipengaruhi sistem pengolahan. Sistem
pengolahan dengan menggunakan “Solvent” lebih baik mutunya (palm kernel
meal), dibanding dengan sistem “expeller” diperas (palm kernel cake). ADF 52%
menunjukkan bungkil inti sawit mengandung komponen dinding sel yang sulit
dicerna; terutama bagi non-ruminant. Dinding sel bungkil inti sawit relatif tebal,
terutama merupakan polysaccharida berupa a-gel like matrix yang keras oleh
adanya lignin dan silika sehingga sukar dicerna enzim. Komponen terbesar
lainnya adalah sellulosa yang resisten terhadap degradasi biologis dan hidrolisa
asam. Hidrolisis sellulosa dapat ditingkatkan dengan perlakuan penggilingan
untuk memperluas bidang permukaan material; pengukusan atau perlakuan zat
kimia. Protein bungkil inti sawit dapat dikategorikan “medium degradability”, dan
bungkil inti sawit diketahui defisien akan lysine, methionine, leucine dan
isoleucine (Daud, 1995).
Lumpur sawit (solid ex decanter), merupakan hasil ikutan proses
pengolahan minyak sawit menggunakan alat mesin ex-decanter yang produksinya
dalam bentuk semi padat. Kandungan proteinnya juga bervariasi sekitar 11–14%.
Ditinjau dari kandungan protein dan lemaknya yang relatif tinggi, lumpur sawit
merupakan sumber energi, protein dan mineral. Batubara et al. (1995a.)
melaporkan kandungan protein lumpur sawit 14%, daya cerna bahan kering 65%
dan DE 3,0 Mcal/kg. Penggunaan lumpur sawit dalam ransum ternak dibatasi oleh
tingginya kadar abu dan tembaga (Cu: 20–50 ppm). Secara umum babi dapat
mentoleransi 10–20%, unggas 5–10%, sapi 66%, domba 30%
(Wong dan Zahari, 1992).
Sutardi (1997), melaporkan kandungan protein kasar lumpur sawit setara
dengan dedak padi, tetapi kandungan ME-nya lebih tinggi (2,65 vs 2,10 Mcal/kg)
dan kecernaan in-vitro 42,2%. Lumpur sawit lebih unggul dari dedak padi,
sehingga dalam penelitian 30% dedak padi dalam ransum sapi dapat digantikan
oleh lumpur sawit. Ketersediaan dedak padi berfluktuasi, sehingga hargapun
berubah-ubah. Saat ini harga dedak padi Rp. 1.000/kg. Sedangkan solid decanter
berupa limbah, sehingga harganya tergantung dari biaya pengangkutan dari
pabrik, ke lokasi peternakan. Mengingat potensinya lumpur sawit sebagai bahan
pakan dapat menggantikan dedak padi.
Daun sawit (palm oil leaf). Kandungan protein kasar daun sawit 14,8%
dan lignin 27,6% dilaporkan oleh Jalaludin (1991), lebih tinggi dari yang
dilaporkan oleh Sudaryanto et al. (1999) (Tabel 1). Winugroho dan Maryati
(1999) melaporkan kecernaan in-vitro daun sawit kurang dari 50% (kualitas
biologis medium). Selanjutnya disarankan pemberian daun sawit kepada ternak
jangan melebihi 20% dari ransum. Penggunaan daun sawit lebih dari 20%,
sebaiknya diberi pre-treatment lebih dahulu. Penggunaan daun sawit dibatasi oleh
tinggi kadar lignin, sehingga perlu dilakukan pengolahan untuk meningkatkan
daya cerna melalui perlakuan fisik, senyawa kimia, biologis atau kombinasi. Abu
Hasan et al. (1995), mengatakan bahwa pemberian daun sawit dan pelepah sawit
dalam bentuk segar atau silase, tidak memberikan hasil yang berbeda dibanding
hijauan sebagai ransum basal.
Usaha ternak tidak bisa terlepas dari konsep “segitiga emas”, yaitu
breeding, feeding, and management, termasuk usaha ternak sapi perah di era
modern. Pembibitan sapi perah menjadi pilar penting dalam usaha ternak
mengingat pembibitan adalah suatu kegiatan pemeliharaan ternak dengan tujuan
utama pembibitan ternak. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
100/Permentan/OT.140/7/2014 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah yang
Baik menyebutkan bahwa bibit merupakan salah satu faktor yang menentukan
dalam upaya pengembangan sapi perah. Pembibitan adalah kegiatan budidaya
yang menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau diperjualbelikan.
Firman et al. (2010) menyatakan bahwa usaha perbibitan pada peternakan
sapi perah memegang peranan penting dalam penyediaan stock bibit sapi perah.
Perbibitan atau breeding merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus
breeding, feeding, and management. Ketiga faktor tersebut sangat penting dalam
usaha ternak sapi perah. Peningkatan produktivitas ternak dapat dicapai melalui
perbaikan genetik, pakan, manajemen, dan modifikasi lingkungan
(Anggraeni dan Mariana, 2016).
Pakan sebagai salah satu pilar utama usaha ternak mempunyai peranan
penting mengingat tinggi dan rendahnya biaya produksi sangat dipengaruhi oleh
besar dan kecilnya biaya pakan. Agustono et al. (2017) menyebutkan bahwa
pakan merupakan salah satu aspek terpenting dalam pengelolaan peternakan.
Ketersediaan pakan di musim hujan dan musim kemarau harus tetap ada.
Mariyono dan Krishna (2009) menambahkan bahwa pakan yang bersumber dari
hasil ikutan pertanian bersifat terbatas dengan harga yang fluktuatif.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan menyebutkan bahwa pakan adalah bahan
makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah,
yang diberikan pada hewan (ternak) untuk kelangsungan hidup, berproduksi, serta
berkembangbiak. Syam et al. (2016) menyatakan bahwa pakan ternak ruminansia
terdiri dari pakan hijauan dan pakan konsentrat (penguat). Upaya peningkatan
produksi susu sapi perah yang sedang laktasi ialah melalui pemberian rumput
yang dikombinasikan dengan jerami jagung fermentasi serta penambahan pakan
konsentrat (Nurhayu et al., 2017).
Manajemen merupakan salah satu pilar utama usaha ternak. Manajemen
usaha ternak yang buruk dan masih bersifat tradisional merupakan salah satu
penyebab rendahnya produktivitas sapi perah (Sulistyati et al., 2013). Sehingga,
dengan adanya manajemen yang baik seperti dengan melaksanakan integrasi
ternak dengan perkebunan dan menjalankan tahapan breeding dan feeding yang
tepat, maka akan terwujud usaha pertanian baik dari subsektor perkebunan
maupun peternakan yang baik dan sukses.
Sistem integrasi sawit-sapi yang berjalan dengan baik dapat memberikan
banyak keuntungan antara lain: a) mendukung tercapainya program swasembada
sapi, b) memberikan keuntungan finansial dengan biodiversitas usaha tani, c)
membuka peluang usaha dan lapangan kerja untuk pengolahan limbah industri
perkebunan kelapa sawit dan biogas dari kotoran ternak, d) memberikan
keuntungan bagi lingkungan dengan sumbangan bahan organik dan nutrisi bagi
tanah, mengurangi pencemaran lingkungan, dan e) fungsi mitigasi gas rumah
kaca.
Sumber bahan organik yang berlimpah dalam sistem integrasi sawit-sapi
dapat berupa kotoran ternak (padat, cair dan sludge biogas), limbah tanaman sawit
(pelepah, daun sawit) dan limbah industri sawit (TBS, DDS, POME, fly ash).
Bahan organik tersebut sangat bermanfaat untuk memperbaiki kualitas tanah baik
secara fisik, kimia dan biologi. Penggunaan pupuk kandang (organik) pada sistem
integrasi tanaman ternak telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas dan
pendapatan petani, serta mengurangi biaya produksi. Di sisi lain, produk pertanian
organik mempunyai prospek pasar yang lebih cerah dibanding produk pertanian
yang sarat dengan bahan anorganik.
Disarankan agar pemanfaatan hasil ikutan tanaman sawit sebagai sumber
pakan ternak, pemanfaatan kotoran sapi sebagai pupuk organik tanaman
perkebunan, serta kegiatan integrasi ternak dan perkebunan lainnya perlu terus
disosialisasikan kepada masyarakat, stakeholder, dan pihak yang terkait yang
berada di sentra perkebunan Sumatera Utara.
DAFTAR RUJUKAN

BPS. 2018. Statistik Peternakan 2014-2018. BPS Sumatera Utara.


BPS. 2020. Statistik Indonesia 2017-2019. Badan Pusat Statistik: Jakarta.
BPS. 2020. Statistik Pertanian 2020. BPS Indonesia.
BPS. 2020. Statistik Kelapa Sawit Sumatera Utara. BPS Sumatera Utara.
Bamualim, A. M., F. Madarisa., Y. Pendra., E. Mawardi., dan Asmak. 2015.
Kajian Inovasi Integrasi Tanaman–Ternak melalui Pemanfaatan Hasil
Ikutan Tanaman Sawit untuk Meningkatkan Produksi Sapi Lokal
Sumatera Barat. Universitas Andalas.
Batubara, L.P., J. Sianipar dan E. Simon. 1995a. Penggunaan solid sawit dalam
pakan tambahan untuk domba. Jurnal Penelitian Peternakan Sei Putih, 1
(5) Januari. Sub Balitnak Sei Putih, Sumut, Indonesia.
Daud, M.J. 1995. Technical innovation in the utilization of local feed resources
for more efficient animal production. Towards Corporizing the Animal
and Feed Industries. Proc. Of the 17th MSAP. Ann. Conf. 28-30 May,
Penang.
Didiek, Goenadi.H. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa
Sawit di Indonesia. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian: Jakarta.
Harun, O. and C.P. Chen. 1994. Proc. International Congres on Quality Veterinary
Services for the 21st Century. 15-17 November. Kualalumpur, Malaysia.
Hartley, C.W.S. 1988. The Oil Palm. Longman, London.
Husnain dan D. Nursyamsi. 2015. Peranan Bahan Organik dalam Sistem Integrasi
Sawit-Sapi. ISSN 1907-0799
Jalaluddin, S. 1994. Feeding system based oil palm byproducts. improving animal
production systems based on local feed rresources. Proc. Of Symp. Held
Conjuction With 7th AAAP, Animal Sci. Congres, Bali, Indonesia. July
11−16,1994.
Kariyasa. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak dalam Perspektif Reorientasi
Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Bogor.
Sianipar, J., L.P. Batubara; Simon P. Ginting, Kiston Simanuhuruk dan ANDI
TARIGAN. 2003. Analisis potensi ekonomi limbah dan hasil ikutan
perkebunan kelapa sawit sebagai pakan kambing potong. Laporan Hasil
Penelitian. Loka Penelitian Kambing Potong Sungai Putih, Sumatera
Utara.
Sutardi, T. 1997. Peluang dan tantangan pengembangan ilmu-ilmu nutrisi ternak.
Orasi Ilmiah. Guru besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak, Fak. Peternakan.
IPB. Bogor.
Winarso. B. 2004. Prospek Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong di
Kalimantan Timur. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Working Paper No. 27. Pebruari 2004.
Winugroho dan S. Maryati. 1999. Kecernaan daun kelapa sawit sebagai pakan
ternak ruminansia. Laporan Penelitian, Balai Penelitian Ternak,
Ciawi−Bogor.
Wong, H. K and Wan Zahari, W.M. 1992. Oil palm by products as animal feed.
Proceedings of th MASP Ann. Conf. Kuala Trengganu pp. 58−61.
Yusdja, Y., H. Malian, B. Winarso, Sayuti dan A.S. Bagyo. 2001. Analisis
Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan
Peternakan. Laporan Hasil Penelitian Puslitbang Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai