Anda di halaman 1dari 5

Contoh Kasus Budaya Bisnis Internasional

Strategi Budaya KFC di Pasar Tiongkok (China)

Introduction

Salah satu dimensi globalisasi adalah ekonomi. Dimensi yang lebih berorientasi atau menekankan pada
profit atau keuntungan yang terjadi di dunia bisnis internasional. Adapun aktor yang terlibat atau memiliki
peran penting dalam perkembangannya adalah perusahaan multinasional (MNC). Selain mencari keuntungan
atau profit, perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) juga harus bisa bersaing atau bahkan mampu
menguasai pasar dibandingkan kompetitornya di era yang semakin kompetitif ini. Oleh karena itu, untuk
menghadapi persaingan tersebut dibutuhkan sebuah strategi yang menglobal (global strategy) agar bisa
mewujudkan keinginan tersebut. Seperti tesis yang disampaikan oleh Ghemawat (2007) yaitu pentingnya
sebuah strategi yang lebih luas dan besar, yang kemudian menggambarkan suatu keadaan dunia yang cross-
border dan terdapat strategi-strategi efektif di dalamnya yang kemudian dikenal dengan semiglobalization.
Selanjutnya, Ghemawat menekankan pentingnya cross-border di era globalisasi yang kemudian
memunculkan berbagai strategi dalam dunia bisnis internasional yang dikenal dengan istilah triple A (AAA);
Pertama, strategi Adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan perbedaan (Adaptation Strategy). Kedua, strategi
Agregasi untuk mengatasi perbedaan (Aggregation Strategy). Ketiga, strategi Arbitrase untuk mengeksploitasi
perbedaan (Arbitrage Strategy).

Selanjutnya, penulis akan memaparkan tentang korelasi strategi triple A, dengan memilih salah satu
dari ketiganya yaitu Strategi Adaptasi (Adaptation Strategy) dengan studi kasus yang diangkat yang berjudul
Strategi Adaptasi Budaya KFC di pasar Tiongkok atau Tionghoa (China). Adapun adaptasi budayanya terdiri
dari Innovasi produk untuk rasa, Target dan nilai-nilai, Kebiasaan makan, Adat-adat, terakhir Bahasa dan
terjemahan.

Strategi Budaya KFC di Pasar Tiongkok (China)

Persaingan dunia bisnis internasional di era globalisasi semakin berkembang pesat. Ini dibuktikan
dengan adanya persaingan yang kompetitif diantara para aktornya yaitu perusahaan-perusahaan multinasional
(MNCs). Salah satunya adalah perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan makanan dan minuman yaitu
KFC (Kentucky Fried Chicken). KFC merupakan salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang
restoran cepat saji yang berpusat di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. KFC adalah rantai restoran cepat
saji terbesar di dunia dengan produk khasnya ayam goreng (Deng, 2011). KFC merupakan salah satu anak
cabang dari perusahaan Yum! Brands Inc, dalam hal unit-unit sistem memiliki sekitar 38.000 cabang restoran
yang tersebar ke seluruh dunia, lebih dari 110 negara dan kawasan (Website Yum! Brands, 2012). Dari ke 110
negara tersebut yang menjadi salah satu tujuan ekspansi KFC adalah negara Tiongkok (China). Pada tahun
1990-an, industri makanan cepat saji di pasar Tiongkok mengalami pertumbuhan dengan peningkatan
pendapatan sebesar 20 persen per tahun. Setidaknya selama kurun waktu 10 tahun kemudian di pasar industri
Tiongkok munculnya 800 kelompok atau grup yang melayani makanan cepat saji, diantaranya 400.000
restoran (Wen, 2007). Dan setelah selama satu dekade (10 tahun) tersebut, layanan makanan cepat saji telah
membagi pendapatan pasar sebesar 20 persen terhadap industri jasa makanan (Li, 2007).

Penyebaran atau ekspansi KFC di Tingkok terjadi pada sekitar tanggal 12 November 1987 bertempat
di Beijing. Negara Tiongkok yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia menyebabkan ekspansi
semakin berkembang. Menurut data Website KFC, pada lima tahun pertama di Beijing (1987-1992), mereka
telah membangun 11 restoran. Dan pada tanggal 25 Juni 1996, KFC membuka restoran yang ke-100 di Beijing
dan pada hari pertama dari bulan yang sama restoran mereka yang terletak di Taman Rakyat Shanghai
mendapatkan omset harian sebesar 400.000 RMB (Renminbi) yang menjadi rekor omset tertinggi satu hari
diantara restoran-restoran KFC di seluruh dunia. Dan saat ini, restoran KFC sudah melayani sekitar 10 juta
konsumen per hari di Tiongkok (Website KFC, 2012). Pada akhir tahun 2007, KFC telah memperkerjakan
lebih dari 160.000 orang Tiongkok sebagai staf pegawai dan bersikeras untuk memperkerjakan orang-orang
lokal dengan tingkat persentase 100 persen (Website KFC, 2012). KFC juga membangun kemitraan dengan
kelompok masyarakat lokal, setidaknya selama 24 tahun keberadaannya, mereka telah membeli lebih dari
700.000 ton ayam dan restoran akan menyediakan bahan sebesar 90 persen berasal dari ayam pedesaan, sayur
mayur untuk paketan dan peralatan-peralatan yang tetap (Bian, 2009).

Keberhasilan-keberhasilan KFC pada pasar industri jasa makanan di Tiongkok tidak bisa terlepas dari
pilihan strategi yang telah mereka diterapkan. KFC menggunakan strategi adaptasi, dalam hal ini adaptasi
melalui sisi budaya. Selanjutnya, mengambil definisi budaya dari Becker (2005) kebudayaan adalah segala
sesuatu punya, pikir, dan mereka lakukan sebagai anggota masyarakat.[3] Becker juga menjelaskan terdapat
tiga komponen dalam budaya yaitu; Pertama, objek-objek material. Kedua, Ide-ide, nilai-nilai, sikap dan
keyakinan. Ketiga, perilaku yang ditentukan atau diharapkan (Becker, 2005). Beberapa langkah yang
dilakukan oleh KFC terkait strategi adaptasi budaya yang ada di pasar Tiongkok (China) sebagai berikut;

Pertama, Inovasi Produk untuk rasa orang Tiongkok. Upaya untuk melakukan adaptasi budaya sudah
terlihat ketika kemunculan KFC pertama kali pada pertengahan tahun 1990-an di Tiongkok, menyesuaikan
keadaan dan bekerja untuk membangun merk Tiongkok (Website KFC, 2012). Agar terlaksananya program
penyesuaian tersebut maka pada sekitar tahun 2000, KFC mengajak sekitar 40 orang ahli gizi yang tersebar di
dalam negeri Tiongkok. Kemudian terbentuknya Komite Penasihat Makanan Sehat KFC – Tiongkok (China).
Adapun program kerja dari komite yang terbentuk ini adalah adanya konvensi yang diselenggarakan setiap
tahun, untuk mendukung innovasi produk dan mengalahkan sebuah gagasan atau ide yang menyatakan bahwa
“makanan cepat saji adalah semua juck food”. Pada sekitar tahun 2004, KFC mencoba melakukan innovasi
produk dengan strategi adaptasi di Tiongkok yaitu dengan cara menggunakan produk lokal sekitar 20 persen
untuk kesemua produk yang ada di KFC. Contoh beberapa produk terkenal diambil dari bahan-bahan masakan
lokal Tiongkok seperti telur, sup sayur, naga twister (Chicken roll old Beijing), teh susu jeli rumput dan lain
sebagainya (Website KFC, 2012). Kemudian produk-produk tersebut dikembangkan lagi dengan
menambahkan bumbu khusus dari bahan-bahan Tiongkok untuk memenuhi rasa orang-orang Tiongkok
tersebut. Akhirnya, ditahun yang sama KFC mengeluarkan produk atau menu baru bernama teh herbal Wong
Lo Kat (merk tertua teh herbal di Guandong) hanya ada di provinsi Guandong, dan benar-benar merupakan
produk lokal pertama KFC (Li, 2007). Sampai dengan saat ini KFC terus meluncur setidaknya sekitar 20
produk atau menu baru setiap tahun dan menyediahkan berbagai macam pilihan yang disesuaikan dengan
selera pelanggan.

Kedua, Target dan nilai-nilai orang Tiongkok. Target-target atau pangsa pasar dari KFC adalah untuk
semua anggota keluarga, mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua. Adaptasi ini untuk membangun
lingkungan gaya makan keluarga dimana para pelanggan bisa merasakan kehangatan rumah (Website KFC,
2012). Elemen-elemen yang ada di dalam reuni keluarga seperti peduli terhadap generasi-generasi berbeda,
cinta dan benci antara suami dan istri, bisa dilihat pada iklan-iklan dan tata dekorasi ruangan. Berbagai macam
daftar menu disesuaikan dengan selera pelanggan. Dalam hal promosi pada iklan, KFC memperlihatkan alur
cerita atau adegan lucu agar lebih mudah dan lebih dekat dengan kehidupan normal atau apa adanya (Zhang
et al, 2009). Bahkan film-film kartun lokal Tiongkok (China) dan Jepang yang terkenal pada anak-anak seperti
Astro Boys, Detective Conan, Doraemon dan lain-lainnya, menjadi tawaran hadiah ketika makan di KFC
(Website KFC, 2012).

Ketiga, Kebiasaan makan orang Tiongkok. Bagi orang-orang Tiongkok (China), pergi ke sebuah
restoran tidak hanya untuk makan malam, tetapi kondisi itu merupakan suatu kesempatan untuk
berkomunikasi dengan orang lain, bertemu dengan teman-teman yang jarang ketemu. Orang-orang Tiongkok
ketika ingin bertemu dengan teman koleganya lebih memilih pergi ke sebuah restoran daripada pergi ke rumah
teh atau bar, bahkan mengajak pergi ke rumah mereka sendiri (Chen, 2006). Secara umum restoran-restoran
KFC dibangun di pusat kota dimana masyarakatnya terkondensasi (ramai) dan hampir setiap restoran memiliki
taman bermain untuk anak-anak seperti papan geser dan duduk-duduk santai untuk para orang tua agar tinggal
lebih lama di dalam restoran tersebut (Website KFC, 2012). Tiongkok merupakan salah satu negara yang
mempunyai tingkat mobilitas yang tinggi maka untuk itulah KFC beradaptasi dengan membuat konsep drive-
thru restoran. Pada tahun 2006 konsep ini diterapkan dimana pesanan umumnya menggunakan mikropon dan
mengambilnya sendiri melalui jendela mobil dan pelanggan tetap dapat memakannya ketika berada di dalam
parkiran mobil. Di negara Tiongkok, tepatnya di Shanghai, konsep drive-thru memberikan omset sebesar 30
persen dari total penjualan yang ada di restoran (Euromoniter Internasional, 2012).

Keempat, Adat-adat orang Tiongkok. Adaptasi budaya yang lainnya adalah terhadap adat-adat yang
ada di Tiongkok. Contohnya, Festival Musim Semi yang merupakan salah satu festival paling penting di
negara tersebut. Dan selama festival musim semi tersebut KFC melakukan penyesuaian terhadap dekorasi
yang ada di restoran, misalnya penambahan hewan yang sesuai terhadap event yang sedang berlangsung,
penambahan simbol-simbol Tiongkok seperti “Tiongkok (China) Merah” dan iklan serta kemasan atau
paketan produk, pakaian dan lagu-lagu tradisional Tiongkok dengan perasaan senang dan gembira. Contoh
lainnya, di Urumqi ibukota Xinjiang yang merupakan mayoritas tempat orang muslim Uyghur, KFC
melakukan penyesuaian terhadap pesta untuk anak-anak yang menjalani ritual keagamaan sunat (Bloomberg,
2011).

Kelima, Bahasa dan terjemahan. Hal yang sama dilakukan oleh KFC untuk melakukan penyesuaian
budaya yang ada di Tiongkok yaitu bahasa dan terjemahan. Di Tiongkok (China) penamaan terhadap brand
atau merk sebuah produk di dasarkan pada penamaan yang menunjukkan arti atau makna keberuntungan,
pengucapan yang lucu dan mudah agar dengan mudah bagi mereka untuk mengingatnya (Li, 2007).

Contohnya, ”Yum! Brands Inc” diterjemahkan ke dalam bahasa Tiongkok menjadi “Baisheng” (百胜) yang

berarti "We’ll always win the Victory". Selanjutnya, pada daftar menu KFC, beberapa nama makanan atau
produk telah disesuaikan dengan bahasa lokal. Contoh, ember atau bucket dalam bahasa Inggris berubah

menjadi Quanjiatong (全家 桶) yang mencakup beberapa jenis produk ayam di dalam satu paketnya. Adapun

maknanya berdasarkan budaya Tiongkok (China) adalah “menekankan betapa pentingnya reuni keluarga dan
berbagi kebahagian bersama-sama”. Untuk produk innovasi di Pasar Tiongkok (China), KFC selalu

memberikan nama yang mempunyai makna dan indah (Li, 2007). Contohnya “Jus 8 keindahan” (八 娇 果汁

) yang artinya jus dengan bahan-bahan 8 buah-buahan, “Jus 9 harta” (九 珍 果汁) yang artinya jus dengan

bahan-bahan 9 buah-buahan, “sebuah ruangan yang penuh dengan emas dan batu giok (金玉满堂)" padahal

sebenarnya adalah sebuah kotak jagung goreng dan seledri (Website KFC, 2012).

Conclusion

Berdasarkan pemaparan singkat di atas dapat diambil sebuah kesimpulan sederhana bahwa
kemunculan globalisasi sudah tidak bisa dihindari lagi. Sebuah ruang tanpa batas dan terciptanya kompetisi
yang kompetitif tercipta di dalamnya. Dibutuhkan sebuah strategi yang mengglobal (global strategy) yang
berguna untuk menghadapi persaingan tersebut. Kondisi tersebut bisa diamati pada studi kasus yang telah
diangkat oleh penulis pada paper ini yaitu tentang strategi perusahaan multinasional dalam hal ini adalah KFC
(Kentucky Fried Chicken). Sebuah strategi adaptasi budaya yang diterapkan KFC untuk melakukan ekspansi
terhadap pasar Tiongkok (China). Adaptasi budaya terdiri dari Innovasi produk untuk rasa, Target dan nilai-
nilai, Kebiasaan makan, Adat-adat, terakhir Bahasa dan terjemahan.
Referensi

Becker, K. (2005). Cultural and International Business. Jaico Publishing House.

Bloomberg (2011). McDonald’s No Match for KFC in China as Colonel Rules Fast Food.
http://www.bloomberg.com/news/2011-01-26/mcdonald-s-no-match-for-kfc-in-china-where-colonel-
sanders-rules-fast-food.html (Juny 30, 2014).

Deng, J. (2011). Analysis of KCF and McDonald’s Competitive Strategy.

KFC Website. (2012 - Chinese Version) http://www.kfc.com.cn/kfccda/About/ (Juny 30, 2014).

Pankaj, Ghemawat. (2007). Semiglobalization and Strategy in Redefining Global Strategy: Crossing Border
in a Wolrd Where Differences Still Matter. Boston: Harvard Business School Press.

S, Chen. (2006). The Comparison Analysis of the Development of Chinese and Western Restaurants Chains.
Business Culture.

T, Zhang & C. Yu. (2009). American Fast Food in Chinese Market: A Cross-Cultural Perspective: The Case
of KFC and McDonald’s. University of Halmstad.

Wen, X. (2007). Study on the Cross-Culture Management of KFC (China) Co.

Y, Li. (2007). The Internationalization Strategies of KFC and McDonald’s in China. North East University of
Finance.

Anda mungkin juga menyukai