Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KODE ETIK
ETIKA DAN PROFESI
Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Kode Etik

Dosen Pengampu: Rizka Alyna, S.Psi., M.Psi

Disusun oleh:

1. Fahmi Noveanto (201760063)


2. Nur Meita Istiqomah (201760088)
3. Anik Nur Khasanah (201760095)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2020
A. Etika dan Profesi
Etika berasal dari kata Yunani Kuno “thica” yang artinya filsafat moral. Kata
ethica juga berasal dari kata sifat “thos” yang berarti adat atau kebiasaan. Etika
mencakup analisis dan fungsi berbagai konsep, seperti benar atau salah, baik atau jahat,
serta tanggung jawab seorang manusia.
Profesi berasal dari kosa kata Latin “professus” yang maknanya adalah
“menyatakan diri” (to declare) bahwa seseorang memiliki suatu profesi dengan segala
kewenangan, hak, dan kewajiban yang melekat padanya.
Dibandingkan dengan para professional dari disiplin ilmu yang lain, psikolog
diharuskan untuk terus-menerus mengasah kepekaan dan kesadaran bahwa penerapan
Profesi Psikologi akan menjangkau diri dan memasuki aspek kejiwaan kliennya. Profesi
dalam keilmuan psikologi pada hakekatnya juga merupakan suatu pelayanan pada
manusia atau masyarakat. Oleh karena itu, Profesi Psikologi termasuk dalam officium
nobile atau profesi yang luhur.
Motivasi utama profesi yang luhur adalah kesediaan untuk melayani sesama
manusia dengan dua prinsip umum yang wajib dijalankan oleh suatu profesi yaitu:
1. Prinsip agar menjalankan profesinya secara bertanggung jawab baik terhadap
profesi yang dijalankan, yaitu menjalanakan profesinya sebaik mungkin, dan
juga bertanggung jawab untuk selalu menunjukkan hasil yang berkualitas.
2. Prinsip untuk menghormati hak-hak orang lain, baik klien, keluarganya,
lingkungan sekitar maupun rekan sejawat.
Kode Etik Psikologi juga diperkenalkan untuk melatih kepekaan terhadap aspek
kolegialitas, etika dalam pemberian layanan psikologis, mampu memahami etika dalam
hubungan dengan profesi terkait, serta etika kerja sama dalam hubungan intra dan
interprofesi, sesuai standar yang ditetapkan oleh HIMPSI.
Kode Etik Psikologi harus dipahami sebagai penghayatan moral terhadap
falsafah yang menjadi landasan prinsip-prinsip etika individual dan sosial, dan bukan
semata-mata mengenai rumusan kalimat, pasal, dan ayat yang tertuang didalamnya.
Penghayatan moral akan mengarahkan seorang psikolog untuk memahami baik
buruknya tindakannya sesuai kata hari nuraninya, terlepas dari bagaimana kode etik
psikologi merumuskannya.
B. Kode Etik Psikologi
Kode Etik Psikologi adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan
dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan
psikologi di Indonesia.
Psikologi merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan prosses mental yang
melatarbelakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Ahli dalam ilmu Psikologi
dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu profesi atau yang berkaitan dengan praktik
psikologi dan ilmu psikologi termasuk dalam hal ini ilmu murni atau terapan.
Psikolog adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik
psikologi dengan atar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program
pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti
pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi
atau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki
kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang praktik
klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan, layanan
masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan
instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi
organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program;
serta administrasi. Psikolog diwajibkan memiliki izin praktik psikologi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Ilmuan Psikologi adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar belakang
pendidikan strata 1 dan/atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang psikologi. Ilmuwan
psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi
bidang-bidang penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat;
pengembangan kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen
psikologi; pengadministrasian asesmen; konseling sederhana; konsultasi organisasi;
perancangan dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu
murni (sains) dan terapan.
Layanan Psikologi adalah segala aktifitas pemberian jasa dan praktik psikologi
dalam rangka menolong individu dan/atau kelompok yang dimaksudkan untuk
pencegahan, pengembangan dan penyelesaian masalah-masalah psikologis. Layanan
psikologi dapat berupa praktik konseling dan psikoterapi; penelitian; pengajaran;
supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi
sosial dan klinis; pengembangan instrument asesmen psikologi; penyelenggaraan
asesmen; konseling karir dan pendidikan; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam
bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; dan administrasi.

C. Peristiwa Besar yang Menginspirasi Pembentukan Kode Etik Psikologi

1. Percobaan Watson
Percobaan kontroversial yang cukup populer dikalangan behaviorsm.
Watson dan Rayner (1920) melakukan percobaan terhadap Albert anak lelaki
Watson yang berumur 11 bulan. Dalam percobaannya ia ingin membuktikan
bahwa rasa takut sebagai bagian dari emosi yang merupakan suatu proses
terkondisi.
Awalnya Watson mendekatkan tikus putih ke Albert, ia tidak takut dan
penasaran. Kemudian Watson menciptakan kondisi dengan memukul gong
sehingga terdengar bunyi yang keras setiap kali tikus diberikan padanya. Hanya
dengan tujuh kali Albert mengembangkan rasa takutnya dan bertahan hingga
setelah satu bulan pasca percobaan. Parahnya rasa takut Albert berkembang pada
berbagai objek berbulu yang berwarna putih, seperti anjing, kelinci bahkan topi
santa.

2. The Doctor’s Trial


Terjadi di Nuremberg, Jerman 1946-1947 melibatkan 23 dokter yang
dituntut karena merencanakan dan berpartisipasi dalam kejahatan perang yang
merampas hak atas hidup orang lain melalui eksperimen medis. Ketua tim
dokter ialah Karl Brandt, dokter senior asal Jerman, disangkakan lebih dari 14
eksperimen medis untuk mengetahui autoimun dalam berbagai kondisi seperti,
ketinggian, membeku, malaria, gas beracun, dsb. Para korban dipaksa untuk
menjadi subjek penelitian berbahaya yang tidak mereka inginkan. Pada akhir
eksperimen, hampir semua korban mengalami penderitaan parah seperti
mutilasi, luka yang sangat parah dan kematian (Hasan, 2009). Pengadilan
akhirnya memutuskan hukuman mati dan hukuman penjara seumur hidup.
Peristiwa ini tidak melibatkan peran psikolog namun peristiwa ini
mengisnpirasi terbentuknya Nuremberg Code 1947 yang mengatur penanganan
eksperimen terhadap manusia. Pada pasca perumusan Nuremberg Code,
psikolog turut menerima dan mengikuti aturan tersebut. Berbagai deklarasi dan
perumusan kode etik muncul setelah berbagai asosiaasi termasuk APA tahun
1953 (Hasan, 2009)

3. Studi Kepatuhan Milgram


Stanlay Milgram adalah seorang psikolog sosial yang tertarik meneliti
lebih lanjut peristiwa pembantaian serta kejahatan perang yang terjadi secara
massal semata-mata disebabkan oleh kepatuhan orang-orang didalam
kelompoknya atau tidak.
Milgram (1963) mengumpulkan 40 partisipan yang memberitahukan
bahwa penelitiannya tentang efek hukuman terhadap daya ingat. Dalam setiap
sesi, partisipan diminta berperan sebagai guru yang memberikan hukuman kejut
listrik terhadap siswa (rekan peneliti) setiap kali menjawab salah. Siswa duduk
terikat dikursi kejut dimana efek kejut tersebut adalah efek yang palsu. Namun,
tidak ada partisipan yang menyadarinya. Jika ada yang salah, efek kejut listrik
diberi kenaikan secara bertahap 15 volt lebih tinggi (maksimum 450 volt).
Pada awal sesi partisipan diberitahukan bahwa boleh mengakhiri
eksperimen kapanpun mereka mau, namun dalam pelaksanaan setiap partisipan
ragu-ragu, peneliti sangat mendorong partisipan untuk bertahan bahkan
memaksa melakukan penelitian sampai 4 kali. Ada beberapa partisipan yang
menunjukkan gejala stres yang ekstrem ketika mendengar teriakan sakit dari
siswa, walaupun mengetahui hal tersebut Millgram tetap mempertahankan
eksperimennya.

4. Studi “Tearooms” Humphreys


Pada tahun 1975 Humphreys (dalam Youngpeter, 2008) melakukan
analisis mendalam dalam proyek penelitiannya tentang “tearooms” (toilet umum
di mana para laki-laki saling bertemu dan melakukan aktivitas seksual). Tujuan
utama dari penelitiannya untuk mengetahui perilaku para lelaki yang melakukan
aktivitas tearooms, kehidupannya dirumah tangga serta informasi lainnya.
Tearooms merupakan sesuatu yang illegal, namun Humphreys tidak melaporkan
para pelaku dan berbagai bukti yang dimilikinya ke polisi.
Humphreys berpura-pura berperan sebagai penjaga yang memberitahu
jika polisi datang. Ia berperan mengumpulkan banyak data tentang para pelaku
aktivitas seksual itu.
Dari analisanya ia menemukan bahwa pelaku yang terlibat rata-rata
memiliki pernikahan yang bahagia dan berpeluang besar akan hancur ketika
keluarga mereka mengetahui data aktivitas seksual mereka yang dimiliki oleh
Humphreys. Humphreys berusaha menjaga kerahasiaan dengan menyimpan
dokumen dibrankas dan menghancurkan dokumen yang tidak diperlukan.
Namun fakta bahwa Humphreys masih dapat mengunjungi para pelaku satu
tahun pasca pengumpulan data membuka celah kemungkinan bocornya data.

5. Eksperimen Penjara Standford


Percobaan ini mirip dengan Milgram. Zimbardo, dibantu oleh asistennya
Haney dan Banks, ingin mengetahui apakah perilaku penjaga dan narapidana
dalam sebuah penjara disebabkan karena karakteristik kepribadiannya atau
karena pengondisian lingkungan. Zimbardo menciptakan sebuah kondisi mirip
penjara di Universitas Standford sebagai labolatorium penelitiannya. Ia lalu
memilih 24 mahasiswa kulit putih yang kepribadiannya stabil, dewasa serta
paling sedikit memiliki catatan criminal sebagai partisipan. Mereka ditentukan
secara acak untuk berperan sebagai penjaga maupun narapidana. Mereka
dijanjikan uang setiap satu hari yang dihabiskan dalam prcobaan itu. Percobaan
direncanakan berlangsung selama 2 minggu. Tidak ada instruksi khusus, kecuali
tidak diperbolehkan melakukan kekerasan fisik dalam kondisi apapun.
Dalam rentang dua hari partisipian sudah mulai menginternalisasikan
perannya. Para penjaga mulai berperan sebagai orang kasar, kejam, dan
intimidatif. Sementara para narapidana mulai mengembangkan learned-
helplessness. Percobaan dihentikan setelah 6 hari karena reaksi emosional yang
sangat ekstrem dari partisipan yang berperaan sebagai narapidana.
D. Perkembangan Kode Etik Psikologi

Di Amerika Serikat, APA memformulasikan kode etik pertama kali pada tahun
1953 yang kemudian direvisi pada tahun 1959, 1963, 1968, 1977, 1979, 1981, 1990,
1992, dan 2002.

Kode etik yang ditetapkan oleh APA dikenal dengan istilah Ethical Principles of
Psychlogists and Code of Conduct. Ethical Principles dibedakan dengan Code of
Conduct karena etika merupakan pandangan yang lebih umum, bersifat deskriptif dan
berisi prinsip-prinsip yang naturnya meningkatkan kesejahteraan peradaban; sedangkan
Code of Conduct lebih bersifat spesifik, direktif (berupa aturan), dan lebih ditujukan
untuk menyeragamkan perilaku dan penulaiannya.
Di Indonesia, Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia (ISPSI) didirikan pada 11 juli
1959. IPSI kemudian merumuskan Kode Etik Sarjana Psikologi Indonesia dalam
kongres pertamanya pada 1979. Lalu pada 1998, ISPSI berubah menjadi Himpunan
Psikologi Indonesia (HIMPSI).
Dalam kongres HIMPSI ke-8 pada 22 oktober 2000, HIMPSI kemudian
merumuskan Kode Etik Psikologi Indonesia kemudian diperbarui pada kongres HIMPSI
ke-9 yg diselenggarakan pada juni 2010.
Kode Etik Psikologi Indonesia yang ditetapkan oleh HIMPSI terdiri atas 14 bab
dan 80 pasal yang mengatur berbagai praktik psikologi, seperti kompetensi, kerahasiaan
rekam dan hasil pemeriksaan psikologi, hubungan antar manusia, penelitian dan
publikasi, dsb.
Pada awalnya, belum ada kode etik psikologi yang bersifat internasional.
Namun, dengna semakin tingginya kesadaran untuk membentuk jaringan ogganisasi
profesi psikologi yang berskala global, maka usaha kea rah itu mulai dilakukan.
International Union of Psychological Science (IUPsyS), International Association of
Applied Psychology (IAAP), dan International Association for Cross-Cultural
Psychology (IACCP) telah membentuk panitia adhoc untuk merumuskan Universal
Declaration of Ethical Principles for Psychologists sejak tahun 2004.
E. ANALISIS KASUS
ANALISIS KASUS I

Kasus : Psikolog Mengeluarkan Hasil Rekam Medis Tanpa Izin

Permasalahan :

(WN) Australia bernama Denis Anthony Michael Keet menggugat sherle dan
ICAC selaku klinik yang mengeluarkan rekap medis, Pengaduan tersebut disebabkan
pihak tergugat telah mengeluarkan rekam medis dari proses konseling perceraian antara
pihak tergugat dan penggugat Denis beserta istrinya Yeane Sailan.

Analisis :

Apa yang dilakukan pihak klinik penyedia layanan psikologi dengan


mengeluarkan hasil rekam medis tanpa Izin dari klien sehingga klien merasa dirugikan
karena merusak nama baiknya, seharusnya apa yang dilakukan oleh pihak klinik musti
dengan sepengetahuan klien karena dalam prinsip-prinsip (HIMPSI, 2010), Terdapat
poin yang jelas menyatakan, Menjaga Harkat dan Martabat Manusia.

ANALISIS KASUS II

Kasus : Pemaparan kondisi psikis Jessica oleh Antonia Ratih di Depan Publik

Permasalahan :

Metodologi yang digunakan kurang selaras dengan tujuan dan kesimpulan yang
diungkapkan oleh Antonia Ratih. Antonia Ratih yang membuka hasil tes psikologi
secara publik.

Analisis :

Antonia Ratih membuka rahasia di depan umum bertentangan dengan kode etik
profesi psikolog. Apalagi ahli psikologi ini hadir di persidangan secara volunteer, bukan
atas perintah pengadilan. Melanggar Kode Etik Psikologi Bab V kerahasiaan Pasal 24
dan Pasal 26 Ayat 1.
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Aliah B Purwakania. 2009. Kode Etik Psikolog dan Ilmuwan Psikologi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

Himawan, Karel K., Dewi, Wiwit Puspita. Sitorus, Kartika Shanti. 2016. Kode Etik
Psikologi dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Salemba Humanika.

Sutojo, Nani N., dan Lidia Laksana Hidajat. 2018. Etika Psikoligi Menilik Nurani
Psikolog Indonesia. Jakarta: Buku Kompas.

Anda mungkin juga menyukai