Anda di halaman 1dari 12

Home 
 Manajemen Qolbu 
 Letak Kebahagiaan adalah Di Hati

Letak Kebahagiaan adalah Di Hati


Jul 16, 2009Muhammad Abduh Tuasikal, MScManajemen Qolbu0 Komentar

       
“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan
dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia. Namun banyak orang yang menempuh jalan
yang salah dan keliru. Sebagian menyangka bahwa kebahagiaan adalah dengan memiliki mobil
mewah, Handphone sekelas Blackberry, memiliki rumah real estate, dapat melakukan tur wisata
ke luar negeri, dan lain sebagainya. Mereka menyangka bahwa inilah yang dinamakan hidup
bahagia. Namun apakah betul seperti itu? Simak tulisan berikut ini.
Kebahagiaan untuk Orang yang Beriman dan Beramal Sholeh
Saudaraku … Orang yang beriman dan beramal sholeh, merekalah yang sebenarnya merasakan
manisnya kehidupan dan kebahagiaan karena hatinya yang selalu tenang, berbeda dengan orang-
orang yang lalai dari Allah yang selalu merasa gelisah. Walaupun mungkin engkau melihat
kehidupan mereka begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan harta. Namun jika engkau
melihat jauh, engkau akan mengetahui bahwa merekalah orang-orang yang paling berbahagia.
Perhatikan seksama firman-firman Allah Ta’ala berikut. 
Allah Ta’ala berfirman,
ً‫صالِحًا ِم ْن َذ َك ٍر أَوْ أُ ْنثَى َوه َُو ُم ْؤ ِم ٌن فَلَنُحْ يِيَنَّهُ َحيَاةً طَيِّبَة‬
َ ‫َم ْن َع ِم َل‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An
Nahl: 97). Ini adalah balasan bagi orang mukmin di dunia, yaitu akan mendapatkan kehidupan
yang baik.
َ‫م أَجْ َرهُ ْم بِأَحْ َس ِن َما َكانُوا يَ ْع َملُون‬jُْ‫َولَنَجْ ِزيَنَّه‬
“Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97). Sedangkan dalam ayat ini adalah balasan
di akhirat, yakni alam barzakh. 
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
َ‫م فِي ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوأَل َجْ ُر اآْل َ ِخ َر ِة أَ ْكبَ ُر لَوْ َكانُوا يَ ْعلَ ُمون‬jُْ‫ فِي هَّللا ِ ِم ْن بَ ْع ِد َما ظُلِ ُموا لَنُبَ ِّوئَنَّه‬j‫َوالَّ ِذينَ هَا َجرُوا‬
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan
memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat
adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS. An Nahl: 41)
ِ ‫ إِلَ ْي ِه يُ َمتِّ ْع ُك ْم َمتَاعًا َح َسنًا إِلَى أَ َج ٍل ُم َس ّمًى َوي ُْؤ‬j‫ َربَّ ُك ْم ثُ َّم تُوبُوا‬j‫َوأَ ِن ا ْستَ ْغفِرُوا‬
ُ‫ت ُك َّل ِذي فَضْ ٍل فَضْ لَه‬
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu,
mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus)
kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3). Kedua ayat ini
menjelaskan balasan di akhirat bagi orang yang beriman dan beramal sholeh. 
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
ِ ‫قُلْ يَا ِعبَا ِد الَّ ِذينَ آَ َمنُوا اتَّقُوا َربَّ ُك ْم لِلَّ ِذينَ أَحْ َسنُوا فِي هَ ِذ ِه ال ُّد ْنيَا َح َسنَةٌ َوأَرْ ضُ هَّللا ِ َو‬
َ‫ الصَّابِرُون‬j‫اس َعةٌ إِنَّ َما ي َُوفَّى‬
ٍ ‫أَجْ َرهُ ْم بِ َغي ِْر ِح َسا‬
‫ب‬
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-
orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa
batas.” (QS. Az Zumar: 10) 
Inilah empat tempat dalam Al Qur’an yang menjelaskan balasan bagi orang yang beriman dan
beramal sholeh. Ada dua balasan yang mereka peroleh yaitu balasan di dunia dan balasan di
akhirat. Itulah dua kebahagiaan yang nantinya mereka peroleh. Ini menunjukkan bahwa mereka
lah orang yang akan berbahagia di dunia dan akhirat.
Salah Satu Bukti
Seringkali kita mendengar nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Namanya begitu harum di
tengah-tengah kaum muslimin karena pengaruh beliau dan  karyanya begitu banyak di tengah-
tengah umat ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, nama aslinya adalah Ahmad bin Abdul Halim
bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin
Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau adalah Abul
‘Abbas. 
Berikut adalah cerita dari murid beliau Ibnul Qayyim mengenai keadaannya yang penuh
kesusahan, begitu juga keadaan yang penuh kesengsaraan di dalam penjara. Namun di balik itu,
beliau termasuk orang yang paling berbahagia.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, 
“Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia
hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau
sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan.
Ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala, yaitu
berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Namun
bersamaan dengan itu semua, aku dapati bahwa beliau adalah termasuk orang yang paling
bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya.
Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami (murid-murid
Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami
prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera
mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya memandang wajah beliau dan
mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan
berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”. 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun sering mengatakan berulang kali pada Ibnul Qoyyim, “Apa
yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya
ada di hatiku.” 
Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan tatkala beliau berada di dalam
penjara, padahal di dalamnya penuh dengan kesulitan, namun beliau masih mengatakan,
“Seandainya benteng ini dipenuhi dengan emas, tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku
berada di sini.” 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah mengatakan, “Sebenarnya orang yang dikatakan
dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari mengenal Allah ‘azza wa jalla. Sedangkan
orang yang ditawan adalah orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada
kesesatan). ” 
Bahkan dalam penjara pun, Syaikhul Islam masih sering memperbanyak do’a agar dapat banyak
bersyukur pada Allah, yaitu do’a: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni
‘ibadatik (Ya Allah, aku meminta pertolongan agar dapat berdzikir, bersyukur dan beribadah
dengan baik pada-Mu). Masih sempat di saat sujud, beliau mengucapkan do’a ini. Padahal beliau
sedang dalam belenggu, namun itulah kebahagiaan yang beliau rasakan. 
Tatkala beliau masuk dalam sel penjara, hingga berada di balik dinding, beliau mengatakan,
ُ‫ُور لَهُ بَابٌ بَا ِطنُهُ فِي ِه الرَّحْ َمةُ َوظَا ِه ُرهُ ِم ْن قِبَلِ ِه ْال َع َذاب‬
ٍ ‫ب بَ ْينَهُ ْم بِس‬ ِ ‫فَض‬
َ ‫ُر‬
“Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada
rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al Hadid: 13)
Itulah kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan yang kokoh. Kenikmatan
seperti ini tidaklah pernah dirasakan oleh para raja dan juga pangeran. 
Para salaf mengatakan,
ِ ْ‫ك َوأَ ْبنَا ُء ال ُملُو‬
ِ ْ‫ك َما نَحْ نُ فِ ْي ِه لَ َجلِ ُدوْ نَا َعلَ ْي ِه بِال ُّسيُو‬
‫ف‬ ُ ْ‫لَوْ يَ ْعلَ ُم ال ُملُو‬
“Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu
mereka akan menyiksa kami dengan pedang.”
Mendapatkan Surga Dunia
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di dunia itu terdapat surga. Barangsiapa yang
tidak memasukinya, maka dia tidak akan memperoleh surga akhirat.” 
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga dunia adalah mencintai Allah, mengenal Allah,
senantiasa mengingat-Nya, merasa tenang dan thuma’ninah ketika bermunajat pada-Nya,
menjadikan kecintaan hakiki hanya untuk-Nya, memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap
kepada-Nya, senantiasa bertawakkal pada-Nya dan menyerahkan segala urusan hanya pada-Nya. 
Inilah surga dunia yang dirindukan oleh para pecinta surga akhirat. 
Itulah saudaraku surga yang seharusnya engkau raih, dengan meraih kecintaan Allah, senantiasa
berharap pada-Nya, serta dibarengi dengan rasa takut, juga selalu menyandarkan segala urusan
hanya kepada-Nya.
Penutup
Inti dari ini semua adalah letak kebahagiaan bukanlah dengan memiliki istana yang megah,
mobil yang mewah, harta yang melimpah. Namun letak kebahagiaan adalah di dalam hati. 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ َولَ ِك َّن ْال ِغنَى ِغنَى النَّ ْف‬، ‫ض‬
‫س‬ ِ ‫ْس ْال ِغنَى ع َْن َك ْث َر ِة ْال َع َر‬
َ ‫لَي‬
“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan
dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kita surga dunia yaitu dengan
memiliki hati yang selalu bersandar pada-Nya.
Hati yang selalu merasa cukup itulah yang lebih utama dari harta yang begitu melimpah.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi  wa sallam.
Sumber rujukan: Shahih Al Wabilush Shoyyib, 91-96, Dar Ibnul Jauziy
*** 
Pogung Kidul, 24 Jumadits Tsani 1430 H, selesai di waktu ‘Ashar
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/335-letak-kebahagiaan-adalah-di-hati.html

Suatu hari ia pernah ditanya oleh para tabi’in tentang mengenai apa yang dimaksud dengan
kebahagiaan dunia.

Ibnu Abbas menjawab, ada 7 indikator mengenai kebahagiaan dunia:

Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.


Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada
ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur.
Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT,
sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan
keputusan Allah.

Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu :
“Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi
kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun
akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan
terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.

Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.


Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh
pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta
pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan.
Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan
bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian
pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa
dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka
berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.
Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.
Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda
yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak
muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari
Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan
saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat,
ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu
anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang
sudah berbakti kepada orang tua ?”
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho
kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta
orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran
bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua
kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa
anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila
memiliki anak yang sholeh.

Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.


Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun
tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang
mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah
menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang
yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita
berbuat salah.

Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat
Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut
menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.

Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.

Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.


Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak
berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.

Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu
dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”,
kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya
didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang
hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan
menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga
memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu
dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.


Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama
Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu
mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya.
Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin
cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah
yang akan memberi cahaya bagi hatinya.

Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati
yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang
yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.


Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap
detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan
dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan)
tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power
syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa
hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia
sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang
diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan
diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu
dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha
Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap
untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan
Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah
orang-orang yang umurnya baroqah.

Eramuslim.com

11 Ciri Orang Bahagia Menurut Rasulullah [1]


Senin, 8 Juni 2015 - 09:53 WIB

Rasul membahasakan bahagia dengan kata 'thuba' yang berarti beruntung, bahagia, dan sukses
Terkait

 Jangan Cela Pewaris Nabi [1]


 Ada Berkah pada Daging Kambing
 Keutamaan Amal Shalih di Awal Dzulhijjah
 Ilmu Diangkat, Kebodohan Merata
Oleh: Ali Akbar bin Aqil
SETIAP orang pasti ingin bahagia. Sayangnya, sebagian orang menilai
kebahagiaan terletak pada harta dan materi. Artinya seseorang memandang
dirinya dan dipandang oleh orang lain sebagai orang yang bahagia kalau
memiliki harta melimpah, deretan mobil, hamparan tanah yang luas dan seabrek
fasilitas dunia lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam memiliki kriteria tersendiri untuk menilai
apakah seseorang masuk sebagai golongan yang bahagia atau tidak. Beliau
berpandangan bahwa bahagia itu bukan sebuah kondisi tapi pilihan. Kita bisa
memilih untuk menjadi orang yang bahagia meski pun kita bukan termasuk orang
yang kaya.
Rasul membahasakan bahagia dengan kata ‘thuba’ yang berarti beruntung,
bahagia, dan sukses. Dari kata thuba inilah kita bisa menemukan jejak-jejak
orang yang bahagia untuk kita jadikan sebagai evaluasi diri apakah diri kita
sudah termasuk di dalamnya atau belum.
Pertama, orang yang bahagia adalah orang yang asing dalam kesalehan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Beruntunglah orang
yang asing.” Sahabat bertanya, “Siapakah orang-orang asing itu?” Nabi
menjawab, “Orang asing (yang beruntung itu) adalah orang-orang shalih yang
berada di tengah masyarakat yang banyak melakukan keburukan, yang
melakukan kemaksiatan lebih banyak daripada yang melakukan ketaatan.”
Inilah kriteria orang bahagia menurut Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Yakni
orang yang tetap istiqamah mengerjakan kebajikan, meski di sekelilingnya lebih
pro kepada keburukan. Orang asing seperti ini tidak ambil pusing dan peduli,
apakah ia dinilai negatif atau positif oleh orang-orang yang hanyut dalam sungai
kemaksiatan. Yang ia pedulikan adalah meraih ridha Allah Subhanahu Wata’ala.
Ia tidak ikut hanyut ke dalam arus keburukan yang sedang mengaliri kehidupan
di suatu zaman.
Orang yang asing dalam kesalehan selalu berupya memiliki pendirian yang kuat,
tidak berubah-ubah layaknya bunglon yang berubah kulit pada masa tertentu.
Pagi dan sore, siang dan malam, ia tetap konsisten dalam mengabdi kepada
Allah sembari terus berusaha memperbaiki diri dan orang lain untuk menjadi
pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Kedua, orang yang beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wassallam meski tidak menjumpainya.
Jumlah manusia yang beriman kepada Rasul dan semasa dengan beliau tidak
sebanding dengan jumlah umat Islam yang hidup sepeninggalnya. Jarak waktu
yang begitu panjang telah memisahkan antara kehidupan kita dengan masa
Rasul. Di sinilah letak keistimewaannya. Meski tidak berjumpa secara langsung
namun tetap beriman terhadap risalah yang disampaikan oleh Nabi. Orang-orang
ini masuk dalam golongan kaum yang beruntung. Seperti sabda Rasul
Shallallahu ‘Alaihi Wassallam,
“Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku dan berbahagialah
dan (beruntunglah) orang yang tidak melihatku dan beriman kepadaku (7x
menyebut).” (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, kita harus mati-matian mempertahankan iman dalam hati kita
sampai akhir hayat. Godaan dan tantangan di depan semakin kuat dan keras.
Kita memohon kepada Allah agar menjadikan umur kita berakhir dalam keadaan
iman, dalam keadaan husnul khatimah.
Ketiga, orang yang beramal berdasar ilmu
Kita pernah bahkan sering mendengar ungkapan yang artinya, Ilmu tanpa amal
seperti pohon tanpa buah. Ilmu , sedikit atau banyak, yang sudah kita raih harus
kita amalkan. Mengamalkan suatu perbuatan harus didasari ilmu agar tahu mana
yang benar dan yang salah. Imam Bukhari pernah berkata, Ilmu sebelum
beramal dan berucap. Ucapan ini menunjukkan pentingnya ilmu sebagai dasar
dalam melakukan suatu tindakan.
Oleh karenanya, menjadi sangat penting untuk mengamalkan ilmu dan
mengamalkan sesuatu berdasarkan ilmu. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam
bersabda, “Berbahagialah orang yang beramal dengan ilmunya.” (HR. Bukhari)
Keempat, orang yang ikhlas
Ikhlas artinya bersih, suci, murni. Orang yang ikhlas (mukhlis) adalah orang yang
melakukan amal kebaikan karena Allah (Lillaahi ta`ala), tanpa embel-embel,
tanpa mengharap imbalan, pujian, dan penghargaan dari selain-Nya. Beramal
dengan ikhlas tidak akan membuat seseorang mabuk kepayang oleh pujian pun
juga tidak melemah karena hardikan dan cacian dari manusia.
Orang yang ikhlas dikategorikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wassallam sebagai orang yang beruntung, orang yang sukses, orang yang
berhasil. Sabda beliau, “Berbahagialah orang-orang yang ikhlas, mereka adalah
pelita-pelita hidayah yang dari mereka setiap fitnah yang gelap menjadi terang.”
(HR. Abu Nu`aim).
Kelima, orang yang mampu menahan lidahnya
Ada bunyi pepatah, Lidahmu Harimaumu yang pas menggambarkan betapa
besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh lisan. Ucapan yang terlontar dari lisan
tidak lagi bisa ditarik. Ucapan itu menjadi catatan dalam kehidupan seseorang.
Lidah memang bentuknya kecil namun akibat yang ditimbulkan begitu besar,
lebih besar dari bentuk lidah itu sendiri. Karenanya, Rasul memerintahkan
kepada kita untuk berkata baik. Kalau kita tidak mampu, maka diam adalah
pilihan terbaik. Di zaman penuh fitnah seperti sekarang ini, sangat penting untuk
mengendalikan ucapan. Tidak melapas dan melempar ucapan dengan begitu
mudah.
Perhatikan dan lihat baik-baik apakah pada ucapan yang akan kita sampaikan,
mengandung manfaat atau sebaliknya. Jika bermanfaat, sampaikanlah. Jika
tidak, tahan dan ini jauh lebih selamat.
Siapa yang mampu mengendalikan lidahnya ia akan tergolong sebagai orang
yang beruntug. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda,
“Berbahagialah orang yang dapat menahan lidahnya…” (HR. Baihaqi).*
(bersambung)
Penulis adalah wakil Ketua MIUMI Malang Raya

Keenam, orang yang banyak beristighfar


Beristighfar berasal dari bahasa arab: istaghfara, yastaghfiru, istighfaaran. Artinya memohon
ampunan atas segala perbutan dosa kepada Allah Subhanahu Wata’al. Beristighfar adalah bentuk
pertaubatan seseorang atas segala noda dosa dan kesalahan yang ia lakukan.
Setiap hari, Rasul beristighfar kepada Allah tidak kurang 100 kali. Padahal, beliau sudah diampuni
oleh Allah. Namun, beliau tahu diri dan tetap mengharap ampunan Allah yang tidak terbatas.
Selama hayat masih dikandung badan, selama nyawa masih belum sampai di kerongkongan,
permohonan ampun seorang hamba tidak akan diabaikan oleh Allah Subhanahu Wata;ala. Allah
Maha Pengampun atas segala dosa, dosa besar atau kecil.
Semakin banyak memohon ampun semakin besar kesempatan menjadi orang yang bahagia, secara
lahir maupun batin. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Berbahagialah orang yang
dalam catatan amalnya terdapat banyak istighfar.” (HR. Ibnu Majah).
Ketujuh, orang yang hidup Sederhana
Hidup sederhana tidak berarti membeci harta dan lari dari kekayaan. Dalam Islam, harta bukan
menjadi tujuan tapi perantara untuk memuluskan langkah kehidupan dalam mengabdi kepada Allah.
Titik tekannya adalah bagaimana menjalani kehidupan di dunia yang sementara dengan tidak
sombong, boros dan berlebih-lebihan.
Hidup sederhana adalah hidup yang bersahaja. Memuji Allah atas segala nikmat yang diberikan-
Nya. Tidak mengeluh dan putus asa atas apa yang belum didapatkan dari keinginan. Bersyukur
kepada Allah merupakan kunci orang yang ingin hidup sederhana. Menurut Nabi Subhanahu
Wata’ala, Orang kaya bukanlah orang banyak harta. Demikian orang miskin bukanlah orang yang
tidak berharta. Orang kaya adalah orang yang hatinya diisi dengan rasa syukur. Orang miskin
adalah orang yang sempit jiwanya karena tidak memiliki rasa syukur.
Berbahagialah orang yang hidup sederhana, bersahaja, pandai mensyukuri nikmat Allah, sedikit
atau banyak. “Berbahagialah orang yang diberi petunjuk kepada Islam, hidupnya sederhana, dan ia
rela atasnya.” (HR. Turmudzi).
Kedelapan, orang yang panjang umur dan beramal baik
Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata dalam Kitabul Hikam, “Sesungguhnya modalmu
hanyalah umur. Maka isilah ia dengan perbuatan terpuji dan kemuliaan amal shalih.”
Ada tiga golongan manusia dalam mengisi umurnya. Pertama, orang yang diberi umur (modal) yang
ia manfaatkan dengan berhati-hati. Ia sadar benar bahwa modal ini hanya sementara maka ia
gunakan sebagai sarana melakukan amal shalih. Inilah orang yang akan memeroleh keuntungan.
Kedua, orang yang malas dalam menjalankan dan memanfaatkan modalnya. Ia mendiamkan
modalnya begitu saja. Tidak memanfaatkannya sebagaimana mestinya sehingga ia menjadi orang
yang rugi, tanpa memeroleh manfaat.
Ketiga, golongan yang gemar menghambur-hamburkan modalnya. Baginya, modal hanya
diperuntukkan untuk kepuasaan dan kesenangan. Dalam pandangannya, modal umur hanya
bermanfaat jika digunakan untuk hal-hal yang mengasyikkan hingga menyeretnya kepada kerugian
yang besar.
Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menyampaikan, “Berbahagialah orang yang panjang umurnya
dan baik amalnya.” (HR. Thabrani).*/(bersam

Kesembilan, orang yang menangisi kesalahan yang dilakukannya


Siapakah manusia yang bebas dari kesalahan? Tidak satu orang pun yang lepas dari jerat-jerat
kesalahan dan kekhilafan. Disengaja atau tidak, manusia pasti pernah berbuat kesalahan. Manusia
tempatnya salah dan lupa. Dua sifat ini selalu berada pada diri manusia. Tinggal bagaimana
seseorang berhati-hati agar tidak jatuh dalam kesalahan dan segera bertaubat sembari menangisi
kesalahan yang sudah ia lakukan.
Seorang ulama, Syaqiq Al-Balakhi pernah berkata, “Tanda taubat adalah menangisi perbuatan dosa
di masa lalu, takut terjatuh ke dalam perbuatan dosa, meninggalkan teman-teman yang buruk, dan
selalu membersamai orang-orang shalih.”
Menangisi kesalahan termasuk tanda kebahagiaan. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam
bersabda, “Berbahagialah orang yang menangisi kesalahannya.” (HR. Thabrani).
Kesepuluh, orang yang sibuk dengan sib sendiri
‘Aib adalah bentuk masdar dari kata kerja `Aaba, Ya`iibu, `Aib artinya cacat, cela, rusak, buruk,
salah, dan lemah. Sayidina Umar bin Khattab RA pernah berdoa, “Semoga Allah merahmati orang
yang menunjukkan aib-aibku kepadaku.” Ketika Salman mengunjunginya, beliau berkata, “Coba
sebutkan perilakuku yang tidak kausukai.” Salman menolak dengan halus, namun beliau terus
mendesak. Akhirnya Salman berkata, “Kudengar kaumakan dengan dua lauk, dan memiliki dua
pakaian, satu kaukenakan di siang hari dan satu lagi kaukenakan di malam hari.”
“Selain itu, adakah hal lain yang tidak kausukai?,” Tanya sahabat Umar lebih lanjut. “Tidak.”
“Sesunguhnya dua perbuatan yang kausebutkan tadi telah kutinggalkan, ucap beliau.”
Di waktu lain, beliau juga pernah bertanya kepada Hudzaifah, Engkau adalah Shahibus Sirri (orang
yang mengetahui berbagai rahasia) Rasulullah saw yang dapat mengenali orang munafik. Apakah
kaumelihat tanda-tanda kemunafikan pada diriku?
Kisah Sayidina Umar menjadi pelajaran berharga tentang sikap seorang arif dan bijaksana dalam
mengenali serta menyadari kekurangan pada diri sendiri. Sebuah sikap yang menggambarkan
betapa beliau sibuk dengan kecacatan dan kelemahan diri, tanpa melihat kecacatan dan cela pada
diri orang lain.
Sikap ini harus menjadi alur kehidupan kita sehari-hari. Jangan sampai kita menjadi seperti bunyi
peribahasa, Kuman di seberang lautan, tampak. Sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak.
Contoh nyata dari sikap sibuk dengan aib sendiri, antara lain, meninggalkan tayangan infotaiment
yang mengumbar aib orang lain, terkait perselingkuhan, perceraian, pengkhianatan dan sebagainya.
Siapa yang sibuk dengan aibnya sendiri dan tidak melihat aib pada diri orang lain adalah sikap
orang yang bahagia. “Berbahagialah orang yang disibukkan oleh aib sendiri daripada menyibukkan
diri dengan aib orang lain,” sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh
Dailami.
Kesebelas, orang yang rendah hati
Sikap rendah hati adalah lawan sikap takabbur (sombong). Sombong merupakan sikap tercela,
sementara rendah hati adalah sikap terpuji. Rendah hati yang dalam bahasa arab
disebut tawadhu` menjadi hiasan para salafus shalih. Mereka bersikap baik kepada siapa saja, baik
kepada orang kaya atau miskin.
Sikap tawadhu` itu tercermin, salah satunya pada diri Sayidina Hasan putra Ali bin Abi Thalib. Suatu
saat beliau menaiki kuda lalu melewati sekelompok orang miskin yang akan makan. Beliau diundang
tiba-tiba. Diajak untuk makan bersama yang tentunya dengan sangat sederhana. Tanpa banyak pikir
lagi, Sayidina Hasan langsung memenuhi undangan mereka tanpa memandang status sosialnya.
Usai makan, beliau mengundang orang-orang miskin datang ke rumahnya pada keesokan hari.
Keesokan harinya, beliau menjamu orang-orang miskin ini dengan jamuan yang sangat lezat
sebagai bentuk penghormatan kepada mereka.
Setali tiga uang, Umar bin Abdul Aziz yang kala itu telah menjadi Amirul Mukminin pernah suatu
malam didatangi seorang tamu. Saat itu beliau sedang menulis sesuatu. Lampu minyak yang beliau
gunakan sebagai penerang nyaris meredup. Si tamu berkata, “Izinkan saya untuk memperbaikinya.”
Umar berkata, “Tidaklah termasuk dari kemuliaan seseorang jika ia membiarkan tamunya bekerja
membantu.” “Kalau begitu, saya panggilkan pembantu saja.” Jawab Umar, “Jangan engkau
bangunkan. Ia sedang tidur setelah lama tidak beristirahat.”
Kata tamu, “Berarti, engkau sendiri yang akan mengerjakannya, wahai Amirul Mukminin?” Umar
mengatakan, “Ketika aku keluar rumah, aku adalah Umar. Ketika aku kembali ke rumah, aku juga
tetap Umar seperti ini. Tidak ada sesuatu pun yang berkurang dari diriku. Sebaik-baik manusia
adalah manusia yang bersikap rendah diri di hadapan Allah.”
Berbahagialah orang yang bersikap rendah hati. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam
bersabda,“Berbahagialah orang yang rendah hati bukan karena kekurangan..” (HR. Bukhari).
Itulah golongan orang-orang yang beruntung. Mereka terdiri dari berbagai kalangan sesuai amal
perbuatannya. Bahagia atau tidak, beruntung atau tidak, tidak diukur dari harta, tahta, dan jabatan
serta seabrek aksesoris materi yang nisbi. Orang-orang yang bahagia, pada intinya, orang-orang
yang dekat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.*

Al Hasan al-Bashri mengatakan, “Carilah kenikmatan dan kebahagiaan dalam


tiga hal, dalam sholat, berzikir dan membaca Al Quran, jika kalian dapatkan
maka itulah yang diinginkan, jika tidak kalian dapatkan dalam tiga hal itu maka
sadarilah bahwa pintu kebahagiaan sudah tertutup bagimu.”

Malik bin Dinar mengatakan, “Tidak ada kelezatan selezat mengingat Allah.”

Ada ulama salaf yang mengatakan,  “Pada malam hari orang-orang gemar
sholat malam itu merasakan kelezatan yang lebih daripada kelezatan yang
dirasakan oleh orang yang bergelimang dalam hal yang sia-sia. Seandainya
bukan karena adanya waktu malam tentu aku tidak ingin hidup lebih lama di
dunia ini.”

Anda mungkin juga menyukai