Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Neural Tube Defects (NTDs) merupakan kelainan kongenital yang terjadi pada
saat pembentukan system saraf pada trimester pertama kehamilan. NTDs dapat berdiri
sendiri maupun sebagai bagian dari kelainan sindrom genetik.

Penyebab pasti kelainan ini belum dapat dipastikan. Faktor yang diperkirakan
sebagai penyebab adalah genetic, lokasi geografik, lingkungan, maupun factor diet
(asupan nutrisi), dan obat-obatan.

Insiden NTDs telah lama diketahui sangat dipengaruhi oleh letak geografik, latar
belakang etnis, factor maternal dan pengaruh sosio-ekonomi. Negara dengan insiden
tertinggi yaitu Ukraina, China dan India. Insiden di Inggris menurun secara drastis dalam
30 tahun terakhir yaitu 0,5 per 1000 kelahiran hidup. Di Jordan dijumpai 1,4 per 1000
kelahiran hidup. Di Indonesia sendiri belum ada angka pasti, namun diperkirakan
berkisar antara 1-2 per 1000 kelahiran hidup.

Frekuensi NTDs di seluruh dunia menunjukkan penurunan yang signifikan. Hal


ini mungkin dipengaruhi oleh peningkatan status sosio-ekonomi. Pada beberapa Negara
yang melegalkan aborsi<frekuensi NTDs menurun secara drastic oleh pemeriksaan
antenatal dan terminasi kehamilan. Hasil penelitian meta-analisis menunjukkan peranan
suplementasi asam folat pada ibu hamil dalam menurunkan insiden NTDs sekitar 72%.

Pada penelitian ini, kami mencoba menelti angka frekuensi NTDs diantara semua
kelahiran hidup di RS Wahidin Sudirohusodo.

1
1.2. Tujuan Evaluasi
1.3. Manfaat Evaluasi
a. Memperoleh informasi mengenai karakteristik penderita Neural Tube Defects di RS
Dr. Wahidin Sudirohusodo periode tahun 2009-2010
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi data bagi RS Dr. Wahidin
Sudirohusodo
c. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan masukan bagi instansi
kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan di masa mendatang
d. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu data awal bagi penelitian
selanjutnya

1.4. Metode Evaluasi


Penelitian ini bersifat retrospektif deskriptif dengan mengambil data rekam medis
dan mengumpulkan data penelitian mengenai Neural Tube Defects.

1.5. Tempat Evaluasi


Bagian rekam medik Rumah sakit Wahidin Sudirohusodo

1.6. Waktu Evaluasi


Waktu evaluasi periode Januari 2010 s/d Desember 2011

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Neural tube defects (NTDs) merupakan suatu kelainan pada otak dan medula spinalis
1,2,3
yang ditemukan sejak lahir. Kelainan ini muncul sejak awal kehamilan yang akan
mempengaruhi perkembangan janin dan menyebabkan komplikasi dengan tingkat keparahan
yang bervariasi. Pada 3-4 minggu pertama kehamilan, akan terjadi pembentukan neural tube,
suatu prekursor embrionik dari otak dan medula spinalis, yang biasanya akan selesai pada usia
gestasi 28 hari. NTDs akan terjadi jika neural tube tidak tertutup sempurna. 1,2,4

Dalam keadaaan normal, medula spinalis dan otak akan dikelilingi oleh cairan
cerebrospinal, dan bagian luarnya akan dilindungi lagi oleh meninges. Otak akan dilindungi lagi
oleh tulang tengkorak, sedangkan medula spinalis oleh tulang-tulang vertebra. Ketika seseorang
menderita NTDs, terdapat satu atau lebih celah pada perlindungan otak maupun medula spinalis
tersebut. Hal ini akan menyebabkan terganggunya perkembangan otak dan memudahkan
terjadinya kerusakan pada medula spinalis. Oleh karena di dalam medula spinalis terdapat nervus
yang mengontrol pergerakan tubuh, maka kelainan apapun yang terjadi akan menyebabkan
terjadinya paralisis pada otot dan organ. Tipe kelainan NTDs yang terjadi, keparahan, dan
komplikasinya pada tubuh tergantung pada lokasi pembukaan dan jaringan yang terkait.2

2.2. EMBRIOLOGI SISTEM SARAF

Tuba neural merupakan struktur embrionik yang akan berkembang membentuk otak dan
medulla spinalis. Tuba neural biasanya akan melipat ke dalam dan menutup sekitar hari ke 28
setelah fertilisasi terjadi. Apabila tuba neural gagal menutup dengan sempurna ini akan
menyebabkan defek pada medulla spinalis dan tulang belakang.4

3
Differensiasi sel pada embrio
Sel embrio yang pertama adalah identik dan setiap darinya bisa membentuk embrio lain
yang komplit. Fasa differensiasi yang pertama terjadi ketika pre-implantasi embrio yang terdiri
dari delapan hingga enam belas sel. Ini terjadi karena proses mitosis membentuk dua sel anak
yang secara komposisi genetikanya sama. Secara ringkas, differensiasi yang terjadi pada sel
ialah1:
i. Dari satu sel yang telah difertilisasi, lebih dari dua ratus lima puluh sel yang
berbeda tipe akan dibentuk.
ii. Sel induk pertama tidak mengalami differensiasi.
iii. Proses yang terjadi adalah mitosis.
iv. Mitosis menyebabkan duplikasi sel induk kepada dua sel anak yang identik pada
komposisi genetikanya.

Pada manusia, jaringan saraf muncul ketika induksi minggu ketiga kehamilan terjadi.
Pada akhir minggu kedua kehamilan, embrio manusia terbentuk dari disk dengan dua lapisan.
Lapisan pertama adalah lapisan superfisial (atau epiblast yang mengarah kepada kaviti amniotik)
dan lapisan dalam (atau visceral endoderm yang mengarah kepada yolk sac). Definitif embrio
eksklusif terhasil dari lapisan epiblast.1

Sel pada fasa gastrulasi

Gastrulasi adalah formasi sel kepada tiga lapisan germinal dari epiblast. Proses ini
mempunyai kepentingan untuk perkembangan embrio seterusnya. Jika proses gastrulasi
terganggu bisa mengakibatkan embrio gagal ke peringkat seterusnya pada perkembangan sel
serta mati. Tiga lapisan germinal sel terdiri dari:

i. Ectoderm – jaringan yang paling luar


ii. Mesoderm – jaringan yang berada di tengah
iii. Endoderm – jaringan yang paling dalam

4
Gambar 1: Perkembangan primitive streak pada spesies burung.

Gastrulasi pada amniotes bermula dengan formasi primitive streak, yang mana
merupakan zona kepada perkembangan sel mesoderm nanti dan menjadi tanda kepada axis
antero-posterior. Primitive streak ini dibentuk dari caudal ke rostral yaitu bermula dari bawah
dan memanjang ke bagian atas. Studi telah dilakukan pada spesies burung untuk mengetahui
unsur-unsur yang terlibat pada pemkembangan primitive streak. Embrio membentuk satu disk
terletak di sisi atas pada telur sebelum berlaku gastrulasi. Disk embryonik ini dikenali sebagai
area pellucida, dan daerah ekstra-embryonik dikenali sebagai area opaca. Zona marginal terletak
di antara area opaca dan area pellucida. Zona posterior marginal menginduksi pembentukan
primitive streak dan tidak terlibat pada formasi struktur embryonik seterusnya.1

Claudio Stern dan rakan-rakannya mengatakan pada zona marginal terdapat dua gen yang
mengekspresi kode untuk faktor sekresi yaitu Vg1 dan Wnt8C (ini hanya terbatas pada daerah
caudal pada struktur ini). Kewujudan dua gen ini mengakibatkan induksi kepada perkembangan
Nodal (gen yang mengkode transforming growth factor beta [TGF-beta]- terkait dengan protein).
Sel yang mengekspresikan Nodal akan migrasi dari daerah caudal ke tengah disk tersebut. Sel ini
akan membentuk node, homologous amniotic pada perkembangan amfibian. Ketika migrasi, sel
ini akan mengenerasi pergerakan yang akan membantu formasi primitive streak. Sistem

5
molekular seperti ini juga dipercayai untuk terlibat pada pembentukan primitive streak spesies
mammalia.1

Gambar 2 Embrio manusia sebelum gastrulasi

Embrio pada manusia terdiri dari dua lapisan utama. Epiblast yang terletak superfisial
dan akan berkembang untuk pembentukan embrio kepada struktur seterusnya. Visceral
endoderm (hypoblast) bertindak sebagai induktor kepada epiblast. Definitif endodermal sel
terbentuk dari node dan bagian anterior pada primitive streak. Sel pada bagian anterior primitive
streak bisa membentuk mesoderm (axial dan paraxial) dan endoderm. Sel ini dikenali juga
sebagai mesendodermal.1

Pergerakan Gastrulasi

Sel pada node dan primitive streak akan membentuk derivatif mesodermal. Sel pada node
invaginasi ke atas (rostrally) untuk membentuk axial mesoderm yang ditutupi oleh neural plate.
Formasi ini yang menentukan perkembangan axial organ dari telencephalon hingga hindbrain.
Setelah tempoh ini, pergerakan morfogenik berubah arah berlawanan dari atas (rostral) ke bawah

6
(caudal). Impairmen pada pergerakan pemanjangan ke caudal ini akan menjelaskan kepada
sindrom caudal agenesis pada penyakit tertentu.1

Gambar 3: Pembentukan medulla spinalis

Proses Neurulasi

Proses neurulasi adalah peringkat embrionik yang menentukan transformasi dari flat
neural plate kepada tuba neural. Ini terjadi pada beberapa siri pergerakan morphogenetik. Proses
neurulasi sangat kompleks karena mekanisma yang berbeda terjadi pada peringkat antero-
posterior yang berbeda neural primordium. Dua tipe neurulasi yang didapatkan terdiri dari
primer dan sekunder.1

1. Primer neurulasi

7
i. Pembentukan neural plate
ii. Penebalan apicobasal
iii. Penyempitan transversal (melintang)
iv. Pemanjangan longitudinal
v. Pembengkokan pada neural plate (penkerutan dan pelipatan)
2. Sekunder neurulasi
Proses neurulasi berkembang lebih cepat berbanding pemanjangan pada axis
embrionik. Sebagai akibat, tuba neural akan tertutup sebelum ektensi pada axis
selesai. Posterior neuropore bertanggungjawab pada bagian akhir penutupan primer
neural plate. Setelah penutupan posterior neuropore, jaringan caudal (sebagian dari
Hensen’s node dan primitive streak) akan membentuk tail-bud atau caudal eminence.
Peringkat penutupan posterior neuropore bergantung pada jenis spesies. Pada
manusia, peringkat 21-29 somites (kira-kira 26 hari setelah fertilisasi). Bagian caudal
pada medulla spinalis dikembangkan dari tail-bud.

Bagian caudal pada medulla spinalis dibentuk dari tail-bud. Pada daerah ini,
proses neurulasi diteruskan dengan morfologik yang berbeda dikenali sebagai
sekunder neurulasi. Sel pada tail bud ini bergabung di garis tengah dan membentuk
seperti cord (yang dikenali sebagai medullary cord). Cord mengalami kavitasi
dengan multiple lumen yang berhubung dengan lumen terbentuk dari proses neurulasi
primer. Semua lumen ini kemudiannya membentuk tuba neural dengan hanya satu
lumen. Proses ini mengakibatkan sekunder neurulasi juga dikenali sebagai kavitasi.

2.3. EPIDEMIOLOGI

NTDs merupakan kelainan pada susunan saraf pusat yang menginfeksi 0,5 – 2 dari 1000
kehamilan di seluruh dunia.4 Angka kejadian NTDs pada ras Amerika-Kaukasia adalah 1 dari
1000 kelahiran, yang menempati urutan kedua penyebab kematian pada bayi setelah kelainan
jantung kongenital, dan 300.000 kejadian yang pernah dilaporkan dari seluruh dunia. 5,6
Sementara pada ras Asia, pernah dilaporkan kejadian kasus di Cina Utara sebanyak 3,7 dari 1000
kelahiran. Menurut variasi geografi, angka insiden meningkat di Inggris dan rendah di Jepang,

8
sedangkan berdasarkan populasi kulit putih, angka tertinggi didapatkan di Inggris-terutama
Irlandia-, dan terendah di Eropa. Angka kejadian NTDs juga meningkat berdasarkan jenis
kelamin bayi terutama yang lahir prematur, dengan ratio terjadinya NTDs pada bayi perempuan :
laki-laki = 3:1.7

Gambar 4. Variasi Internasional pada kejadian spina bifida dan anencephaly6

Dua macam kelainan NTDs yang paling sering ditemui adalah spina bidifa dan
anencephaly. Pada spina bifida, kolumna spinalis pada fetus tidak tertutup sempurna pada bulan
pertama kehamilan, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan pada medula spinalis yang
sedang berkembang.1,3 Penderita spina bifida mengalami paralisis pada nervus di bawah spine
yang terinfeksi.3 Biasanya terdapat kerusakan nervus yang menyebabkan sedikitnya paralisis
pada ekstremitas inferior.1 Masalah lain yang dapat terjadi adalah peningkatan tekanan pada otak
dan kurangnya kontrol pada kandung kemih dan usus, dan penderita ini dapat berujung pada
kematian.3 Pada kasus anencephaly, terdapat bagian dari otak yang tidak berkembang dengan
sempurna, sehingga neonatus dengan keadaan seperti ini biasanya akan meninggal pada saat
1,3
lahir atau sesaat setelah kelahiran Kasus NTDs yang lebih parah, yaitu craniorachischisis,
hampir seluruh neural tube terbuka, mulai dari midbrain sampai tulang belakang bagian bawah.4

9
2.4. ETIOLOGI

Penyebab pasti dari NTDs tidak diketahui, namun faktor genetik dan lingkungan
merupakan hal yang paling berpengaruh akan terjadinya kasus ini. 1,3,4 Adanya faktor genetik
yang berpengaruh terhadap kasus ditandai dengan tingginya resiko untuk terjadi kasus yang sama
pada saudara dari penderita NTDs.4

2.5. FAKTOR RESIKO

Selain faktor genetik dan lingkungan, faktor non-genetik yang dikatakan berpengaruh
akan terjadinya NTDs adalah kurangnya asupan asam folat pada ibu hamil. Wanita obesitas juga
memiliki resiko tinggi untuk hamil dengan anak NTDs, terutama spina bifida. Pada kehamilan
NTDs juga didapatkan jumlah serum B12 yang rendah.8 Berdasarkan studi pada rumah sakit di
Tehran dan Taiwan, didapatkan bahwa faktor resiko yang paling berperan penting adalah usia
ibu <18 tahun, bayi perempuan, kelahiran pada musim semi dan panas, kurangnya konsumsi
asam folat, kunjungan antenatal <5 kali, dan kemiskinan. Di antara faktor resiko tersebut, yang
paling bermakna secara statistik adalah jumlah konsumsi asam folat selama kehamilan.9,10

Gambar 5. Jalur Metabolisme Asam Folat

10
Setelah memasuki sel, asam folat, kemungkinan dengan bantuan reseptor folat, terlibat
dalam transfer atom karbon yang digunakan untuk mensintesis nukleotida atau, melalui konversi
homosistein menjadi methionine, untuk methylasi dari berbagai substrat. Proses ini diregulasi
oleh sejumlah molekul, termasuk enzim dan vitamin lain selain asam folat (seperti Vitamin B6
dan B12). Aktivitas dari beberapa enzim, seperti methionin sintase, dapat dipengaruhi oleh
enzim lainnya, seperti methionine synthase reductase. Enzim dan faktor yang memiliki peran
penting dalam perkembangan neural tube, ditunjukkan dalam kotak.

2.6. KLASIFIKASI

Neural tube defects (disrafisme) dapat diklasifikasikan menjadi kejadian yang berkaitan
langsung dengan neurulasi primer (craniorachischis) dan yang berlangsung sesudahnya
(encephalocele). Dibagi atas gangguan penutupan neuropore anterior (cranial: anenphaly) dan
posterior (spinal: spina bifida).

2.6.1. Disrafisme Spinal (Spina Bifida)

Lesi yang disebabkan gangguan dari penutupan neurospore posterior. Terdapat defek
dimana satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Menurut
bentuk permukaaannya spina bifida terbagi atas :

1. Spina bifida aperta: aperta dalam bahasa latin berarti terbuka. Terbuka disini berarti defek
pada vertebra cukup menyebabkan herniasi system saraf. Bila terdapat penutup berupa
selaput tipis atau kulit disebut juga spina bifida sistika.
2. Spina bifida okulta/ occulta: defek vertebra tanpa terlihatnya secara fisik kelainan
meninges atau jaringan saraf. Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh karena tethered
cord syndrome (sindrom medulla spinalis tertambat).

11
Klasifikasi menurut kelainan anatomi, spina bifida terbagi atas:

1. Myelomeningokel: meningen beserta cairan LCS dan medulla spinalis herniasi melalui
defek dan membentuk kantung. Terjadi akibat medulla spinalis gagal bersatu ke arah
dorsal saat neurulasi primer, menyebabkan terpaparnya lempeng jaringan saraf. Lokasi
myelomeningokel 85% torakolumbal, 10% torakal dan 5% cervical.
2. Meningokel: medulla spinalis terbentuk namun dura gagal terbentuk, menyebabkan lsei
kistik yang dapat melibatkan jaringan saraf. Lokasi terbanyak pada lumbal dan sacral,

12
biasanya tertutup oleh kulit. Kantung meningokele terdiri dari arachnoid,dura dan berisi
LCS.
3. Radiculomyelomeningocele; terdapat lebih dorsal dengan terdapatnya herniasi radix,
medulla spinalis dan meningen.
4. Lipomyelomeningocele: conus medularis tertanam pada medulla hingga menyebabkan
tertambat. Biasa disertai lipoma subkutis
5. Myelocystokel: kanalis sentralis berhubungan dengan defek seperti bentuk terompet dan
dapat menyebabkan tertambat
6. Split cord malformation:
a. Diastetomyelia: terdapatnya dua medulla spinalis mesing-masing dilapisi
duramater, dibatasi keduanya olehh tulang, tulang rawan, atau jaringan fibrosa
b. Diplomyelia: dua medulla spinalis dalam satu duramater tanpa pembatasan oleh
tulang
7. Sinus dermal: kelainan congenital yang menghubungkan kulit dengan medulla spinalis
melalui suatu rongga tipis yang dilapasi epitel.

Gambaran Klinis

Gejala dan tanda klinis spina bifida dapat berupa kelainan neurologi, ortopedik, urologi,
dan kulit. Kelainan kulit berupa lipoma, hemnagioma, dimple, sinus tract atau hipertrikosis.

Kelainan ortopedik berupa: kelainan bentuk sumbu tubuh (kifosis, skoliosis), deformitas
panggul dan CTEV. Defisit neurologis yang dapat timbul berupa kelemahan hingga kelumpuhan
tungkai bawah, gangguan sensoris atau perabaan. Manifestasi gangguan urologic berupa retensi
urin atau akibat gangguan sfingter, inkontinensia, infeksi saluran kemih. Retensi urine tersebut
bila berlanjut dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis yang berujung pada gagal ginjal.

13
Kelainan yang dapat menyertai pada spina bifida

1. Tethered Cord Syndrome


Merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan medulla spinalis tertambat pada
tulang belakang. Pertumbuhan tulang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan medulla
spinalis. Bila medulla spinalis tertambat, dengan pertumbuhan tulang medulla spinalis
akan teregang dan menyebabkan kelainan neurologis, urologi dan ortopedik.

 Gejala Urologi
Disfungsi saluran kemih terapinya dimulai saat periode neonatal sampai
sepanjang hidup. Tujuan utamanya adalah :
 Mengontrol inkotinensia
 Mensegah dan mengontrol infeksi
 Mempertahankan fungsi ginjal

Intermiten kateterisasi dapat dimulai pada residual urin > 20 cc dan kebanyakan
anak umur 5 atau 6 tahun dapat melakukan Clean intermittent catheterization
(CIC) dengan mandiri. Bila terapi konservatif gagal mengontrol inkontinensia,
prosedur bedah dapat dipertimbangkan. Untuk mencegah refluk dapat dilakukan
ureteral reimplantasi, bladder augmentation, atau suprapubic vesicostomy.

 Gejala Ortopedi
Gangguan berupa deformitas tulang belakang dan ekstremitas bisa saja terjadi
menyertai kelainan ini. Tujuan terapi ortopedi adalah memelihara stabilitas dan
koreksi tulang belakang untuk mencapai alignment yang baik. Dislokasi panggul
sering diikuti skoliosis paralitik. Terapi skoliosis paralitik dapat dengan
pemberian protesa body jacket atau Milwaukee brace. Fusi spinal dan fiksasi
internal juga dapat dilakukan untuk memperbaiki deformitas tulang belakang dan
kaki.

14
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada spina bifida memfokuskan pada komplikasi yang dialami, ini bisa
dilakukan pembedahan, pemberian obat-obatan dan fisioterapi. Tujuannya adalah
memaksimumkan keupayaan dan abiliti yang dipunyai oleh bayi dan anak-anak ketika berada di
rumah maupun bersama komuniti.2

Tujuan dari pengobatan awal adalah:

1. mengurangi kerusakan saraf akibat spina bifida


2. meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi)
3. membantu keluarga dalam menghadapi kelainan ini

Kelainan pada tulang belakang serta medulla spinalis terjadi pada awal waktu kehamilan.
Ini tidak bisa dikoreksi dengan operasi dan bisa menyebabkan disabiliti yang dialami
memerlukan pengurusan yang panjang dan lama yaitu seumur hidup. Namun, penting untuk
pasien terutamanya anak-anak untuk sentiasa melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala
di rumah sakit. Apabila terdapat tanda-tanda yang menurun serta kelainan pada fungsi sistem
pencernaan dan pergerakan dan sebagainya, tindakan operasi bisa dilakukan untuk membebaskan
saraf yang terjepit yang menyebabkan penurunan fungsi tersebut.11

1. Spina bifida occulta: kondisi ini biasanya tidak memerlukan perawatan khusus.
Kebanyakan individu tidak mengetahui bahwa mereka mengalami spina bifida occulta,
sehingga defek ini didiagnosa untuk penyebab yang lain. Walaupun begitu, perlu untuk
dievaluasi jika terdapat sebarang kelainan pada medulla spinalis yang akhirnya
mengakibatkan komplikasi seperti gangguan pada sistem kernih. Keadaan ini bisa diatasi
dengan operasi.4
2. Meningocele: bayi dengan kelainan ini biasanya tidak mengalami paralisis. Operasi
merupakan pilihan untuk membaiki kondisi pada meningocele.4
3. Myelomeningocele: kelainan ini memerlukan tindakan operasi dalam jangka waktu 24-48
jam setelah lahir. Operasi dilakukan untuk memasukkan kembali medulla spinalis dan
jaringan saraf yang menonjol ke dalam canalis spinalis dan menutupi dengan otot dan
lapisan kulit. Jika ditangani dengan cepat bisa mengelakkan dari kerusakan saraf yang

15
semakin bertambah serta infeksi. Walaupun kerusakan saraf yang telah terjadi tidak bisa
dikoreksi lagi. Setelah operasi, fisioterapi diperlukan untuk membantu anak-anak dengan
myelomeningocele berjalan tanpa atau dengan alat bantuan untuk berjalan.4

Intervensi Bedah

Pembedahan dilakukan untuk menutup lubang yang terbentuk dan untuk mengobati
hidrosefalus, kelainan ginjal dan kandung kemih serta kelainan bentuk fisik yang sering
menyertai spina bifida. Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk
memperkuat fungsi otot.13,14

Prosedur yang digunakan adalah laminektomi dan penutupan pada lesi yang terbuka atau
pengangkatan kantong, biasanya dilakukan setelah bayi lahir. Tujuan dilakukan intervensi bedah
adalah untuk mengelakkan kerusakan yang semakin bertambah pada fungsi neural dan
meminimalkan efek ruptur dan infeksi kepada bayi terutamanya meningitis. Selain itu intervensi
bedah juga untuk memudahkan pengurusan bayi dan bisa dilakukan atas dasar keperluan sosial
seperti efek kosmetik.13,14,15

Untuk mengobati atau mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan infeksi lainnya,
diberikan antibiotik. Untuk membantu memperlancar aliran air kemih bisa dilakukan penekanan
lembut diatas kandung kemih. Pada kasus yang berat kadang harus dilakukan pemasangan
kateter. Diet kaya serat dan program pelatihan buang air besar bisa membantu memperbaiki
fungsi saluran pencernaan.13,14,15

Untuk mengatasi gejala muskuloskeletal (otot dan kerangka tubuh) perlu campur tangan dari
ortopedi (bedah tulang) maupun fisioterapi. Kelainan saraf lainnya diobati sesuai dengan jenis
dan luasnya gangguan fungsi yang terjadi.

16
2.6.2. Disrafisme Kranial

Pembahasan disrafisme cranial akan dimulai dengan klasifikasi dari malformasi sererbral
secara umum

1. Anensefali: Anencephaly merupakan suatu kelainan kongenital dimana tidak


terbentuknya calvaria, dengan hilangnya hemisfer serebri atau mengecil menjadi suatu
massa yang terhubung dengan basis cranii.11 Bagian frontal dari serebri dan sebagian
besar serebelum tidak terbentuk.12 Dapat juga ditemukan keadaan serebrum atau
serebelum mengecil atau tidak terbentuk, tapi hindbrain tetap ada. 13

Gambar 6. Anencephaly

Anencephaly memiliki berbagai macam variasi klinis. Chourasia (1984)


mengklasifikasikan anencephaly menjadi dua bagian berdasarkan pada lokasi defek, yaitu
apakah defek berada pada bagian occipito-vertebral atau parieto-occipito-vertebral.
Sekarang ini, jika defek terbatas pada daerah calvaria, maka kelainan disebut sebagai
anencephaly, sedangkan bila defek terletak sampai ke bawah kranium makan kelainan
disebut sebagai craniorachischisis.14

Craniorachischisis memiliki defek pada vertebra dan cranial vault, mata yang menonjol,
hidung kecil, dan telinga yang terlipat. Kelainan ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan
ultrasound pada usia kehamilan 13 minggu. Anencephaly sering juga berhubungan
dengan rachischisis dan kelainan kongenital lainnya.14

17
2. Ensefalokel: adanya defek atau celah pada tabung neural cenderung menyebabkan
kelainan penonjolan isi cranium melalui celah tersebut. Terbagi atas:

 Meningokele: bila yang herniasi meningens dan LCS didalamnya


 Meningoensefalokel: meningen dan system saraf (otak) herniasi melalui defek
 Hydroensefalomeningokel: meningoensefalokel dengan system ventrikel herniasi
melalui defek

Hampir seluruh kasus sefalokel terjadi pada daerah dekat garis tengah mulai dari bagian
anterior sampai posterior bahkan juga basis kranii, namun adapula yang dijumpai menonjol
keluar melalui sutura dan foramen-foramen yang ada pada tulang tengkorak. Berdasarkan
lokasinya, ensefalokel terbagi atas:

1. Basal ensefalokel yaitu ensefalokel yang terdapat pada basis cranii


a. Sphenopharyngeal, terdapat pada titik pertemuan os sphenoid dengan epipharynx.
Tampak sebagai massa pada mulut yang berdenyut.
b. Intranasal, defek terdapat pada fosa cribiformis. Dapat mengobstruksi rongga
hidung. Dapat juga menyebabkan deviasi septum dengan gejala sumbatan rongga
hidung unilateral. Disertai hipertelorisme.
c. Spheno-orbital, melalui fisura orbital superior ke dalam rongga orbita.
d. Sphenomaksila, melalui fisura orbita inferior dan memasuki fsa pteriglopalatin.
2. Sincipital yaitu ensefalokel yang terletak pada dahi
a. Nasofrontal, terletak antara os frontal dan os nasal pada glabella
b. Frontoethmoidal, ekstensi melalui os frontal, nasal dan etmoid. Massa dapat
terlihat jelasyang berasal dari nsamping hidung. Massa tertutup kulit dab harus
dibedakan dengan kista dermoid.
c. Nasoethmoidal, terletak antara os nasal dan kartilago nasal yang terdorong ke
bawah. Dapat berekstensi ke lateral, kantus interna kedua mata.
d. Naso-orbital, ekstensi melalui os frontal, lakrimal dan etmoid. Dapat melibatkan
orbita anterior.

18
3. Oksipital yaitui ensefalokel yang terletak antara lambda dengan foramen magnum.
a. Supratortular
b. Infratortular
4. Oksipitoservical
5. Parietal, terletak antara bregma dan lambda.
a. Interfrontal
b. Interparietal
c. Anterior frontanella
d. Posterior frontanella
6. Atretik
a. Parietal (alopecia), lesi garis tengah kistik dengan kulit tanpa rambut diatasnya.
Seringkali diikutu kelainan congenital lain.
b. Occipital (nodular), lesi noduler dan tidak diikuti kelainan lain.

Gambaran klinis

Kejadian ensefalokel anterior terbanyak pada daerah regional asia tenggara, sementara
ensefalokel posterior lebih banyak pada wilayah barat. Pasien dengan ensefalokel secara klinis
terlihat jelas sejak lahir. Sementara ensefalokel basal atau sinsipital dapat terlambat didiagnosa
atau terdiagnosa melalui gejala klinis lain (hipertelorisme, sumbatan jalan napas unilateral,dll).
Masalah terutama timbul bila kulit yang menutupi kele tipis, apalagi bila disertai kebocoran
cairan serebrospinal sehingga terdapat hubungan dengan dunia luar dan meningkatkan resiko
infeksi yang dapat memperburuk keadaan dan fungsi system saraf pasien.

Bila tekanan dari dalam otak meningkat pada meningoensefalokel, jaringan otak yang
hernisai makin rusak. Sementara pada meningokel, resiko kebocoran juga semakin meningkat.

Penanganan

Tindakan operasi dilakukan sedini mungkin setelaj penderita laik untuk menjalaninya.
Pada penderita dengan sefalokel dengan tanda-tanda infeksi (ada luka yang terbuka), maka perlu
dilakukan perawatan local dan pemberian antibiotika dosis tinggi. Pada kasus yang disertai
dengan gejala oeningkatan tekanan intracranial, memerlukan tindakan drainase atau pemasangan
pipa pintas ventrikuloperitoneal terlebih dahulu sebelum dilakukan reseksi sefalokelnya.

19
Teknik operasi disesuaikan per-individu berdasarkan hasil evaluasi pemeriksaan
diagnostic. Pada kasus yang mempunyai defek tulang relative kecil dan tanpa disertai adanya
gejala peningkatan tekanan intracranial maupun infeksi, biasanya dapat dilakukan reseksi
langsung. Demikian pula teknik ini berlaku untuk sefalokel di daerah parietal dan oksipital.
Operasi reseksi transkranial ditujukan bagi kasus-kasus sefalokel anterior dan anterobasal dengan
maksud menutup duramater secara lebih sempurna untuk menghindari resiko kebocoran likuor
pasca pembedahan. Setelah selang beberapa waktu, baru dilakukan operasi tahap kedua untuk
rekonstruksi wajah dari eksternal.

Prognosa

Prognosa sefalokel sangat bervariasi. Berdasarkan literature, 53% sefalokel tanpa disertai
kelainan intracranial prognosa perkembangan fisik dan mentalnmya cukup baik, 28%
perkembangan mentalnya normal walaupun ada gangguan fisik dan sisanya 19% mengalami
retardasi mental. Adanya hidrosefalus juga berpengaruh dalam menentukan prognosa keadaan
mentalnya di masa mendatang. Hampir separuh dari kasus sefalokel didapati hidrosefalus (terjadi
pascaoperasi reseksi penutupan defek). Mortaliatas meningokel berkisar antara 1-10%, dengan
komplikasi tersering infeksi dan komplikasi shunt. Ukuran dan isi sefalokel ikut pula berperan
dalam prognosa kasus.

Kelainan fisik yang sering muncul adalah epilepsy, gangguan visus sampai buta,
gangguan pendengaran, strabismus, gangguan penciuman, gangguan motorik dan gangguan
bicara.

2.7. PENCEGAHAN

NTDs dapat dicegah dengan mengkonsumsi suplemen asam folat selama usia reproduksi,
terutama bagi wanita yang berencana untuk hamil. 8,9,14 Hubungan antara NTDs dan asam folat
terlihat dari adanya penelitian yang menyatakan bahwa agen antagonis asam folat, seperti
methotrexate, asam valproat, karbamazepine, dan trimethoprime dapat meningkatkan resiko
terjadinya NTDs.9,14 Mekanisme mengenai bagaimana asam folat dapat mencegah terjadinya
NTDs masih belum diketahui secara pasti. Asam folat penting untuk sintesis asam nukelat dan

20
asam amino yang dibutuhkan untuk pembelahan sel. Asam folat mungkin tidak dapat mencegah
terjadinya NTDs pada ras/etnis tertentu, yang berarti ada komponen genetik berperan pada
terjadinya NTDs. Salah satu faktor genetik yang diketahui berperan dalam etiologi NTDs adalah
variasi genetik dalam enzim yang diperlukan dalam siklus metabolisme homosistein (Gambar 5).
Dalam situasi ini, suplementasi asam folat dapat membantu meningkatkan fungsi enzim.9

Dosis asam folat yang dianjurkan oleh Centers for Disease Control (CDC) and
Prevention untuk setiap wanita usia reproduksi adalah 0,4 mg/hari. CDC memperkirakan bahwa
peningkatan konsumsi asam folat dapat mengurangi insiden NTDs sebanyak 50%.9 Suatu studi
yang dilakukan di China bahkan menyebutkan bahwa suplementasi asam folat dapat mengurangi
resiko terjadinya NTDs hingga 85%.15 Studi lain di Australia juga mendukung hipotesis yang
menyatakan bahwa konsumsi asam folat perikonsepsional atau pada awal kehamilan dapat
mengurangi resiko terjadinya NTDs.16

Tabel 1. Metode untuk meningkatkan asupan asam folat yang dilakukan di Amerika Serikat6

Skrining test seperti AFP dan USG juga dapat mendiagnosis kondisi ini lebih awal dan
keputusan untuk terminasi kehamilan dapat dilakukan sedini mungkin. Orangtua yang memiliki
bayi dengan NTDS harus diberi penyuluhan untuk mencegah hal serupa di kehamilan
berikutnya, dan tindakan yang dapat bermanfaat adalah dengan konseling genetika.9,14

21
Tabel 2. Metode skrining yang dilakukan pada studi di Peshawar

22
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
Dari hasil evaluasi kasus Neural Tube Defects ditemukan 50 kasus dirawat di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Januari 2010 – Desember 2011.

Tabel 1. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Tahun yang Dirawat
di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Januari 2010 – Desember 2011

Tahun Jumlah (n) Persentase (%)


2010 26 52,0
2011 24 48,0
Total 50 100
Sumber : Data Primer

Tabel 1. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Tahun yang dirawat di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Januari 2010 – Desember 2011

120

100

80 jumlah (n)
persentase (%)
60

40

20

0
2010 2011 Total

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kasus Neural Tube Defects pada pasien
yang dirawat di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dimana pada tahun 2010 terdapat 26 kasus
(52%) dan pada tahun 2011 menurun menjadi 24 kasus ( 48%)

Tabel 2. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Jenis Diagnosa yang Dirawat
di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

23
Periode Januari 2010 – Desember 2011
Jenis Diagnosa Jumlah (n) Persentase (%)
Spina Bifida 10 20,0
Spina Bifida + Hydrocephalus 4 8,0
Meningocele 5 10
Meningocele + Hydrocephalus 2 4,0
Encephalocele 4 8,0
Meningoencephalocele 9 18,0
Meningoencephalocele + Hydrocephalus 7 14,0
Lypomyelocele 4 8,0
Anencephali 5 10,0
Total 50 100
Sumber : Data Primer

Tabel 2. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Jenis Diagnosa yang Dirawat
di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Januari 2010 – Desember 2011
25
20
15
10
5
0 jumlah (n)
a lu
s le s le le s le li
ifid h a oce halu
oce o ce h alu
o ce p ha persentase (%)
aB al al l e
ce
p ng ce
p
ce
p ye nc
p in r o eni r o e ph eph r o m ne
S d M d En
c nc d po A
+ Hy + Hy g oe + Hy Ly
a le in le
i fid o ce en o ce
B g M l
in
a in ha
Sp en c ep
M en
n go
i
en
M

Dari tabel 2 didapatkan bahwa jenis kasus Neural Tube Defects didominasi oleh kasus Spina
Bifida sebesar 10 kasus ( 20 %), menyusul Meningoencephalocele sebesar 9 kasus ( 18%)
dan Meningoencephalocele + Hydrocephalus sebesar 7 kasus ( 14 %). Untuk kasus
Meningocele dan Anencephali didapatkan jumlah yang sama yaitu 5 kasus ( 10%) demikian
juga untuk kasus Spina Bifida + Hydrocephalus, Encephalocele dan Lypomyelocele yaitu
masing-masing sebesar 4 kasus (8%)

24
Tabel 3. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Jenis Kelamin yang Dirawat di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Januari 2010 – Desember 2011

Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Total


Jenis Diagnosa
Spina Bifida 6 4 110
Spina Bifida + Hydrocephalus 2 2 4
Meningocele 2 3 5
Meningocele + Hydrocephalus 1 1 2
Encephalocele 1 3 4
Meningoencephalocele 4 5 9
Meningoencephalocele+
Hydrocephalus 1 6 7
Lypomyelocele 2 2 4
Anencephali 3 2 5
Total 22 28 50
Sumber : Data Primer

Tabel 3. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Jenis Kelamin yang Dirawat di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar
Periode Januari 2010 – Desember 2011
12
10
8
6
4
2
Laki-laki
0
Perempuan
fid
a
alu
s
c ele alu
s
c ele c ele alu
s
cele hali
i p Total
aB ph go ph lo lo ph ylo e
in ce n in ce pha p ha ce m enc
Sp r o e r o ce ce r o po n
yd M yd En en yd Ly A
+ H + H g o + H
n
da ele en
i
ce
le
Bifi oc M lo
g
in
a in ha
Sp en cep
M en
ngo
i
en
M

Dari Tabel 3 didapatkan bahwa kasus Neural Tube Defects lebih banyak didapatkan pada
perempuan yaitu sebesar 28 kasus dibandingkan pada laki-laki yaitu sebesar 22 kasus. Dari
penjabaran diagnosa didapatkan bahwa pada laki-laki paling sering didapatkan kasus spina

25
bifida yaitu sebesar 6 kasus sedangkan pada perempuan yaitu kasus Meningoencephalocele +
Hydrocephalus juga sebesar 6 kasus.

Tabel 4. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Umur yang Dirawat
di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
periode Januari 2010 – Desember 2011

Umur 0–6 7–12 1–5 6-10 >10 Total


Jenis Diagnosa bulan bulan tahun tahun tahun
Spina Bifida 2 1 4 1 2 110
Spina Bifida + Hydrocephalus 4 0 0 0 0 4
Meningocele 1 0 2 1 1 5
Meningocele + Hydrocephalus 2 0 0 0 0 2
Encephalocele 1 0 3 0 0 4
Meningoencephalocele 3 0 0 3 3 9
Meningoencephalocele+
Hydrocephalus 4 2 1 0 0 7
Lypomyelocele 2 0 2 0 0 4
Anencephali 5 0 0 0 0 5
Total 24 3 12 5 6 50
Sumber : Data Primer

26
Tabel 4. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Umur yang Dirawat
di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
periode Januari 2010 – Desember 2011
12
10
8
6
4 0-6 bulan
2 7-12 bulan
0 1-5 tahun
a lu
s le s le le s le li
ifid h a oce halu
oce oce h alu
o ce pha 6-10 tahun
aB ce
p ng ce
p al al
ce
p yl ce > 10 tahun
p in r o e ni r o eph e ph r o o m
n en
S d d c nc d p A Total
Hy
M
Hy En Hy Ly
+ + goe +
a le in le
i fid o ce en o ce
aB ng
M al
pin eni eph
S M nc
goe
in
en
M

Dari tabel 4, dapat dilihat bahwa kasus Neural Tube Defects didapatkan terbanyak pada usia
0 – 6 bulan sebanyak 24 kasus menyusul umur 1 – 5 tahun sebanyak 12 kasus. Dapat dilihat
bahwa kasus anencephali paling banyak didapatkan pada usia 0 -6 bulan sebesar 5 kasus,
Meningoencephalocele + Hydrocephalus pada usia 7 -12 bulan sebesar 2 kasus, Spina bifida
pada usia 1 – 5 tahun sebesr 4 kasus, Meningoencephalocele pada usia 6 – 10 tahun dan > 10
tahun masing-masing sebesar 3 kasus.

Tabel 5. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Tindakan yang Diperoleh yang
Dirawat di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Januari 2010 – Desember 2011

Tindakan VP VP Shunt + Rekonstruksi Meningo- Menolak Konser Total


Shunt Rekonstruksi Spina Bifida colektomi TIndakan -vatif

Jenis Diagnosa Spina Bifida


Spina Bifida 0 0 9 1 0 0 10
27
Spina Bifida
+ Hydrocephalus 0 4 0 0 0 0 4
Meningocele 1 0 0 4 0 0 5
Meningocele
+ Hydrocephalus 2 0 0 0 0 0 2
Encephalocele 1 0 0 2 1 0 4
Meningoencephalocele 1 0 0 7 1 0 9
Meningoencephalocele+
Hydrocephalus 5 0 0 2 0 0 7
Lypomyelocele 0 0 2 1 1 0 4
Anencephali 0 0 0 0 0 5 5
Total 10 4 11 17 3 5 50
Sumber : Data Primer

Tabel 5. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Tindakan yang Diperoleh yang Dirawat di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Januari 2010 – Desember 2011
12
10
8
6 VP shunt
4 VP shunt + Rekonstruksi Spina
2 Bifida
0 Rekonstruksi Spina Bifida
a s le s le le s le li Meningocolektomi
ifid halu oce halu oce oce halu oce pha
aB p g p al al p yl ce Menolak Tindakan
p in roce enin roce eph eph roce om nen Konservatif
S c c p A
Hyd M
H yd En oen H yd Ly
+ + g + Total
n
da ele i
en oce
le
Bifi oc M l
g
in
a in ha
Sp en cep
M en
ngo
i
en
M

Dari Tabel 5 didapatkan bahwa tindakan yang paling sering dilakukan pada pasien dengan
Neural Tube Defects yaitu Meningocolektomi sebesar 17 kasus terbanyak dilakukan pada
kasus Meningoencephalocele, disusul rekonstruksi spina bifida sebesar 11 kasus terutama
pada kasus Spina bifida dan VP Shunt sebesar 10 kasus terutama pada kasus
Meningoencephalocele + Hydrocephalus. Tindakan lain yang juga dilakukan yaitu VP Shunt

28
+ Rekonstruksi Spina Bifida sebesar 4 kasus yang dilakukan pada kasus spina bifida +
Hydrocephalus. Didapatkan juga bahwa tindakan konservatif dilakukan sebanyak 5 kasus
yaitu pada anencephali dan yang menolak tindakan sebesar 3 kasus.

Tabel 6. Distribusi Kasus Neural Tube Defects Menurut Lama Perawatan


di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
Periode Januari 2010 – Desember 2011

Umur 0 – 10 11 – 20 21–30 >30 hari Total


Jenis Diagnosa hari Hari hari
Spina Bifida 5 4 0 1 10
Spina Bifida + Hydrocephalus 0 2 2 0 4
Meningocele 3 1 1 0 5
Meningocele + Hydrocephalus 1 0 0 1 2
Encephalocele 3 1 0 0 4
Meningoencephalocele 2 3 3 1 9
Meningoencephalocele+
Hydrocephalus 1 3 1 2 7
Lypomyelocele 1 1 1 1 4
Anencephali 5 0 0 0 5
Total 21 15 8 6 50
Sumber : Data Primer

29
12
10
8
6
4
2 0-10 hari
0 11-20 hari
a s le s le le s le li 21-30 hari
i fid alu ce alu ce ce alu ce ha
h o h o o h o p > 30 hari
aB ce
p ng ce
p al al
ce
p yl ce
pin r o e ni r o eph e ph r o om
n en Total
S d d c nc d p A
Hy
M
Hy En Hy Ly
+ + g oe +
a le in le
ifid o ce en o ce
aB ng
M al
p in eni eph
S M nc
g oe
in
en
M

Dari tabel 6 didapatkan distribusi lama perawatan pasien dengan kasus Neural Tube Defects
yaitu lama perawatan 0 – 10 hari sebesar 21 kasus, 11 – 20 hari sebesar 15 kasus, 20 – 30
hari sebesar 8 kasus dan > 30 hari sebesar 6 kasus.

B. PEMBAHASAN

Jumlah penderita Neural Tube Defects yang dirawat di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
pada tahun 2010 – 2011 sebanyak 50 orang dengan kasus paling banyak didapatkan yaitu pada
tahun 2010 sebanyak 26 orang.

Pada studi ini didapatkan bahwa kasus Neural Tube Defects yang terdapat di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo terbanyak pada kasus spina bifida yaitu sebesar 10 kasus (20%) diikuti
oleh meningoencephalocele sebesar 9 kasus (18%), meningoencephalocele + hydrocephalus
sebesar 7 kasus (14%) dan anencephali serta meningocele masing-masing sebesar 5 kasus (10%).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Jordan oleh Aqrabawi ( 2002-2003) yaitu
didapatkan kasus spina bifida terbanyak sebesar 30 kasus (91%) diikuti dengan
meningomyelocele sebesar 28 kasus ( 85% ) dan meningocele sebesar 2 kasus (6%). Demikian

30
pula hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Houcher dkk di Algeria ( 2004-2006)
yaitu didapatkan kasus spina bifida terbanyak sebesar 122 kasus ( 56,67%) diikuti dengan
anencephali sebesar 69 kasus ( 32,1%).

Pada penelitian kali ini didapatkan sebanyak 4 kasus (8%) spina bifida yang disertai
hydrocephalus. Penyebab hydrocephalus congenital adalah heterogen dan sekunder dari NTDS
terbuka. Pada umumnya, pasien dengan spina bifida mempunyai kemungkinan sebesar 80 – 85
% disertai hydrocephalus.

Berdasarkan distribusi jenis kelamin pada penelitian kali ini didapatkan kasus NTDS
terbanyak pada perempuan yaitu sebesar 28 kasus (56%) dibandingkan pada laki-laki yaitu
sebesar 22 kasus (44 %). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Houcher, dkk di
Algeria ( 2004-2006) dimana mereka juga mendapatkan kasus NTDS terbanyak pada perempuan
sebesar 126 kasus ( 58,6%) dibandingkan pada laki-laki.

Pada studi kali ini didapatkan bahwa kasus yang paling banyak ditemukan pada laki-laki
yaitu spina bifida sebesar 6 kasus sedangkan pada perempuan yaitu meningoencephalocele +
Hydrocephalus juga sebesar 6 kasus. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Al-
Qudah,dkk di Irbid-Jordan ( 2005-2007) dimana mereka mendapatkan rasio kasus spina bifida
pada laki-laki dan perempuan yaitu sebesar 1,5 :1 tetapi berbeda dengan penelitian oleh Houcher
dkk di Algeria ( 2004 – 2006 ) dimana pada penelitiannya didapatkan kasus spina bifida lebih
banyak pada perempuan sebesar 65 kasus dibandingkan pada laki-laki sebesar 59 kasus serta
penelitian oleh Kulkarni di India (1985 – 1987). Untuk kasus meningoensefalokel belum
didapatkan data dari penelitian lain.

Untuk kasus anencephali pada studi kali ini didapatkan lebih banyak pada laki-laki
sebesar 3 kasus dibandingkan pada perempuan yaitu sebesar 2 kasus. Hal ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Houcher dkk di Algeria, oleh Kulkarni di India dan oleh Al-
Qudah di Irbid-Jordan dimana pada penelitian mereka semua mendapatkan kasus anencephali
lebih banyak pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Houcher mendapatkan 44 kasus
anencephali pada perempuan dan 25 kasus pada laki-laki. Kulkarni mendapatkan 10 kasus pada

31
perempuan dan 8 pada laki-laki serta Al-Qudah mendapatkan rasio laki-laki : perempuan =
0,8 : 1.

Untuk kasus Encephalocele pada penelitian ini didapatkan lebih banyak pada perempuan
yaitu 3 kasus dibandingkan pada laki-laki yaitu 1 kasus. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh
Houcher di Algeria dan Kulkarni di India yaitu 1 kasus pada perempuan dan tidak ada pada laki-
laki, serta Al-Qudah di Irbid- Jordan dengan rasio laki-laki : perempuan = 0,5 : 1.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Ditemukan sebanyak 50 kasus Neural Tube Defects ( NTDs) selama periode Januari 2010
– Desember 2011 dengan kasus terbanyak yaitu Spina Bifida sebesar 10 kasus ( 20 %). Neural
Tube Defect ditemukan lebih banyak pada perempua n yaitu sebesar 28 kasus, pada usia 0 – 6
bulan sebanyak 24 kasus. Tindakan yang paling sering dilakukan pada pasien dengan NTDS
yaitu Meningocolektomi sebesar 17 kasus dan lama perawatan terbanyak yaitu pada lama
perawatan 0 – 10 hari sebesar 21 kasus.

Neural Tube Defects merupakan suatu kelainan pada otak dan medula spinalis yang
ditemukan sejak lahir. Dua hal penting untuk mencegah terjadinya NTDs yaitu asupan asam

32
folat yang adekuat sejak merencanakan kehamilan dan skrining antenatal. Oleh karena itu
sebaiknya diberikan pengertian dan pemahaman kepada ibu-ibu yang merencanakan kehamilan
mengenai NTDs sehingga dapat dilakukan pencegahan dan menurunkan insidens NTDs.

Untuk penelitian lanjutan, sebaiknya dilakukan anamnesis terpimpin mengenai riwayat


kehamilan ibu mencakup usia ibu, paritas, keadaan gizi ibu, penyakit-penyakit yang diderita
selama kehamilan, obat-obat yang dikonsumsi selama kehamilan dan asupan asam folat selama
kehamilan sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang paling sering menyebabkan NTDs di
Makassar.

DAFTAR PUSTAKA

1. National Institute of Child Health and Human Development, diunduh dari


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/neuraltubedefects.html, pada 2 Agustus 2012 22:22
WIB

2. American Association for Clinical Chemistry, diunduh dari


http://labtestsonline.org/understanding/conditions/neural-tube pada 2 Agustus 2012
15:00 WIB

3. Eunice Kennedy Shriver, National Institute of Child Health & Human Development,
diunduh dari http://www.nichd.nih.gov/health/topics/neural_tube_defects.cfm pada 2
Agustus 2012 18:00

4. Greene, N.D., Stanier, P., dan Copp, A.J. (2009) . Genetics of Human Neural Tube
Defects. Human Molecular Genetics Oxford Journal. Diunduh dari
http://hmg.oxfordjournals.org/content/18/R2/R113.full

33
5. Detrait, E.R., George, T.M. (2005). Human Neural Tube Defects: Developmental
Biology, Epidemiology, and Genetics. Neurotoxicol. Teratol. Epub.

6. Botto, L.D., Moore, C.A., Khoury, M.J., Erick


http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199911113412006

7. Jallo, G.I. (2011). Neural Tube Defects. Emedicine. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/1177162-overview#a0199

8. Khattak, S.T., Naheed, T., Akhtar, S., Jamal, T., (2008) Incidence and Risk Factors for
Neural Tube Defects in Peshawar. Gomal Journal of Medical Sciences. Epub.

9. Nili,F., Jahangiri, M., (2006). Risk Factors for Neural Tube Defects: A Study at
University-Affiliated Hospitals in Tehran. Archives of Iranian Medicine. Epub

10. Chen, C.P., (2008). Syndromes, Disorders and Maternal Risk Factors Associated with
Neural Tube Defects. Taiwan Journal of Obstetrics and Gynaecology. Epub

11. Kamus Kedokteran Dorland

12. Noname, diunduh dari :http://neuraltubedefect.com/2011/05/27/types-of-neural-tube-


defects/

13. Best, R.G. (2011). Anencephaly. Medscape. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/1181570-overview#aw2aab6b9

14. Deopujari, R., Mangalgiri, A., Dixit, A., Longia, G.S. (2011). Neural Tube Defect son,
J.D. (1999). Neural Tube Defects. New England Journal of Medicine. Diunduh dari
Spectrum – Study of Craniorachischisis. People’s Journal of Scientific Research. Epub

15. Zhu, L., Ling, H., (2008). National Neural Tube Defects Prevention Program in China.
Food and Nutrition Bulletin. Diunduh dari http://ukpmc.ac.uk/abstract/MED/18709893

16. Bower, C., Stanley, F.J.,(1989). Dietary Folate as a Risk Factor for Neural Tube Defects:
Evidence from a Case-Control Study in Western Australia. Diunduh dari
http://ukpmc.ac.uk/abstract/med/2725375

34

Anda mungkin juga menyukai