Anda di halaman 1dari 31

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

fenomenologi. Desain fenomenologi dipilih agar dapat dieksplorasi lebih

mendalam pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke di

RSUD Dr. Pirngadi Medan. Pendekatan fenomenologi adalah suatu ilmu yang

memiliki tujuan untuk mejelaskan fenomena dalam bentuk pengalaman hidup.

Penggunaan desain penelitian dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk

memperoleh data yang lebih komprehensif, mendalam, kredibel, dan bermakna

(Saryono & Anggraeni, 2013).

Bogdan dan Taylor (1975 dalam Moleong, 2012) menjelaskan metode

kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang maupun

perilaku yang dapat diamati. Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller

(1986 dalam Moleong, 2012) mendefinisikan metode kualitatif adalah tradisi

tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari

pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam

peristilahannya.

2. Partisipan

Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 8 orang (Polit, Beck &

Hungler, 2001). Jumlah partisipan ditentukan berdasarkan pada asas kesesuaian

28
Universitas Sumatera Utara
29

dan kecukupan informasi sampai mencapai saturasi data, yaitu peneliti tidak lagi

memperoleh informasi baru dari partisipan.

Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive

sampling, yaitu metode pemilihan partisipan dalam suatu penelitian dengan

menentukan terlebih dahulu kriteria yang dimasukkan dalam penelitian, dimana

partisipan yang diambil dapat memberikan informasi yang berharga bagi

penelitian (Saryono & Anggraeni, 2013).

Adapun kriteria partisipan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Keluarga (ayah/ibu, suami/istri, abang/kakak, dan anak) dari pasien stroke

yang mengalami gangguan komunikasi.

2. Merawat pasien selama di rumah sakit.

3. Bersedia menjadi partisipan yang dinyatakan secara verbal atau dengan

menandatangani surat pernyataan persetujuan penelitian.

4. Mampu menceritakan pengalamannya sehingga diperoleh informasi yang

lebih kaya (rich information).

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan

pertimbangan, yang pertama adalah pengurangan biaya dalam penelitian karena

merupakan rumah sakit terdekat dari rumah peneliti dan yang kedua adalah

banyak masyarakat yang menggunakan layanan kesehatan di rumah sakit tersebut.

Universitas Sumatera Utara


30

3.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari September 2014 sampai Juli 2015, yaitu

mulai penyusunan proposal sampai dengan selesai penelitian, sedangkan untuk

pengumpulan data dilakukan pada Maret 2015 sampai April 2015.

4. Pertimbangan Etik

Dalam penelitian ini dilakukan pertimbangan etik, yaitu memberikan

penjelasan kepada calon partisipan penelitian tentang tujuan dan prosedur

pelaksanaan penelitian. Pengambilan data dilakukan setelah peneliti mendapatkan

ethical clearence dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara. Setelah mendapatkan izin, selanjutnya peneliti

mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

Selanjutnya, jika calon partisipan setuju menjadi partisipan dalam

penelitian ini maka peneliti memberikan informed consent untuk ditandatangani.

Peneliti tidak memaksa jika partisipan tidak setuju karena dalam penelitian ini

partisipan bersifat sukarela dan tidak dipaksa.

Untuk menjaga kerahasiaan identitas partisipan maka peneliti tidak

mencantumkan nama dari partisipan (anonymity). Nama partisipan dibuat dengan

inisial. Selanjutnya identitas partisipan juga dirahasiakan (confidentiality), hanya

informasi yang diperlukan yang akan dituliskan dan dicantumkan dalam

penelitian.

Peneliti juga meminimalisasi dampak yang merugikan bagi partisipan

(nonmaleficence), yaitu ketidaknyamanan yang mungkin terjadi selama proses

wawancara seperti kelelahan, bosan, diantisipasi peneliti dengan memberitahukan

Universitas Sumatera Utara


31

hak partisipan terkait dengan kebebasan memilih waktu dan tempat, bebas untuk

berhenti sewaktu-waktu apabila ada urusan, untuk kemudian dilanjutkan lagi

wawancara sesuai kesepakatan.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dua bagian.

Instrumen pertama merupakan Kuesioner Data Demografi (KDD) yang berisikan

data umum partisipan (inisial, usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan

terakhir dan pekerjaan) dan hubungan partisipan dengan pasien (lihat lampiran 3).

Instrumen kedua merupakan panduan wawancara yang berisikan empat

butir pertanyaan, yaitu cara berkomunikasi dengan pasien, kendala dan hambatan

dalam berkomunikasi, cara mengatasi kendala dan hambatan, dan usaha yang

dilakukan untuk membantu klien dapat berbicara (lihat lampiran 4). Panduan

wawancara telah divalidasi terlebih dahulu sebelum digunakan dalam penelitian

ini.

6. Pengumpulan Data

Setelah mendapat izin dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara dan memperoleh ethical clearance dari Komisi Etik

Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara,

selanjutnya peneliti meminta izin kepada direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan

untuk memperoleh data calon partisipan melalui rekam medik.

Selanjutnya peneliti melakukan pilot study. Pilot study adalah suatu cara

untuk melakukan studi awal dalam skala kecil atau suatu tes yang digunakan

sebagai persiapan untuk penelitian kualitatif (Polit, Beck, & Hungler, 2001). Pilot

Universitas Sumatera Utara


32

study dilakukan untuk menguji apakah peneliti sebagai instrumen sudah cukup

baik dalam melakukan wawancara dan melakukan analisa data kualitatif.

Sebelum dilakukan wawancara mendalam, peneliti melakukan pendekatan

kepada partisipan dengan pertemuan 1-2 kali untuk meningkatkan hubungan

saling percaya antara peneliti dan partisipan dengan cara peneliti memperkenalkan

diri, menjelaskan maksud, tujuan dan pengumpulan data yang dilakukan terhadap

partisipan. Jika partisipan bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini,

maka partisipan menandatangani informed consent dan mengisi kuesioner data

demografi.

Selanjutnya penelit melakukan wawancara mendalam (in-depth interview),

yaitu salah satu cara pengumpulan data melalui percakapan dan proses tanya

jawab antara peneliti dengan partisipan yang bertujuan untuk memperoleh

pengetahuan tentang makna-makna subjektifitas yang dipahami oleh individu

(Poerwandari (1998) dalam Saryono & Anggraeni, 2013).

Wawancara mendalam (in-deph interview) dilakukan sekitar 45 menit

selama satu kali pertemuan. Peneliti menggunakan panduan wawancara yang telah

divalidasi untuk memandu peneliti dalam pengumpulan informasi. Peneliti juga

menggunakan alat perekam suara (tape recorder) untuk merekam wawancara dan

catatan lapangan (field note) untuk mencatat bahasa non verbal partisipan selama

wawancara.

Kemudian peneliti membuat transkrip hasil wawancara setiap kali selesai

dilakukannya wawancara dengan partisipan dan jika ada hal-hal yang kurang jelas

dilakukan wawancara ulang. Pengumpulan data dilakukan sampai saturasi data,

Universitas Sumatera Utara


33

dalam arti bahwa dengan dilakukan wawancara dengan partisipan lain tidak akan

ditemukan informasi yang baru (Sugiono, 2010).

7. Analisa Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan

cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan

yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh

diri sendiri dan orang lain (Sugiyono, 2010).

Teknik analisa data dalam penelitian kualitatif didasarkan pada pendekatan

yang digunakan. Analisa data dilakukan sepanjang penelitian dan dilakukan

secara terus menerus dari awal sampai akhir penelitian (Saryono & Anggraeni,

2013).

Dalam menganalisis data penelitian, peneliti menggunakan metode

Colaizzi. Proses analisa data menurut Colaizzi (1978 dalam Polit & Beck, 2012)

yaitu: (1) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan dari

partisipan, (2) meninjau setiap transkrip dan menarik kesimpulan dari setiap

pernyataan yang signifikan, (3) menguraikan arti dari pernyataan yang signifikan,

(4) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema,

(5) mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskriptif, (6) membuat deskripsi

lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas

mungkin, (7) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai

tahap validasi akhir.

Universitas Sumatera Utara


34

8. Tingkat Keabsahan Data (Thrusthworhiness of Data)

Lincoln dan Guba (1985 dalam Polit & Beck, 2012) menyatakan bahwa

penelitian kualitatif termasuk fenomenologi perlu ditingkatkan kualitas dan

integritas dalam proses penelitian melalui tingkat keabsahan data

(thrusthworhiness of data). Tingkat keabsahan data yang dilakukan pada

penelitian ini yaitu, credibility dengan teknik prolonged engagement. Prolonged

engagement yang dilakukan peneliti adalah mengadakan pertemuan dengan

partisipan sebelum dilakukannya penelitian untuk menjalin hubungan yang baik

yaitu dengan cara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian.

Dengan demikian peneliti dan partisipan semakin akrab, terbuka, dan saling

mempercayai sehinga informasi yang diperoleh lebih lengkap.

Cara lain yang dilakukan untuk memperoleh tingkat kepercayaan hasil

penelitian ini antara lain: 1) mencatat hal-hal penting serinci mungkin mencakup

catatan pengamatan obyektif terhadap setting, partisipan maupun hal lain yang

terkait; 2) mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul,

proses pengumpulan data maupun strategi analisisnya; 3) menyertakan pihak yang

dapat memberikan kritik dan saran yang memberi pertanyaan kritis terhadap

peneliti yaitu pembimbing peneliti; dan 4) melakukan pengecekan data kembali

(Sugiyono, 2010).

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Bagian ini menjelaskan tentang hasil penelitian yang telah dilakukan.

Bagian ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama menceritakan secara singkat

gambaran kerakteristik partisipan yang ikut dalam penelitian ini. Bagian kedua

adalah analisis dari masing-masing tema yang muncul dari pengalaman keluarga

dalam berkomunikasi dengan pasien stroke.

1.1 Karakteristik Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah anggota keluarga dari pasien stroke

yang mengalami gangguan dalam berkomunikasi. Jumlah partisipan 8 orang.

Hasil penelitian berdasarkan karakteristik partisipan yang akan dipaparkan

mencakup usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan

hubungan dengan pasien. Dari data yang diperoleh (tabel 4.1.1) menunjukkan

mayoritas partisipan berjenis kelamin perempuan 5 orang (62,5%), usia partisipan

24-35 tahun 3 orang (37,5%) dan 48-59 tahun 3 orang (37,5%), agama Islam 6

orang (75%), suku mandailing 3 orang (37,5%), pendidikan terakhir SMA 3 orang

(37,5%) dan Sarjana 3 orang (37,5%), pekerjaan wiraswasta 5 orang (62,5%), dan

hubungan dengan pasien sebagai anak 5 orang (62,5%).

35
Universitas Sumatera Utara
36

Tabel 1.1
Karakteristik Partisipan

Data Demografi Partisipan Frekuensi Persentase


(%)
Usia
24-35 tahun 3 37,5
36-47 tahun 2 25
48-59 tahun 3 37,5
Jenis Kelamin
Perempuan 5 62,5
Laki-laki 3 37,5
Agama
Islam 6 75
Kristen Protestan 2 25
Suku
Jawa 2 25
Mandailing 3 37,5
Batak Toba 2 25
Minang 1 12,5
Pendidikan Terakhir
SLTP 2 25
SMA 3 37,5
Sarjana 3 37,5
Pekerjaan
IRT 1 12,5
Wiraswasta 5 62,5
Pegawai Swasta 1 12,5
PNS 1 12,5
Hubungan dengan pasien
Anak 5 62,5
Kakak 1 12,5
Istri 2 25

1.2 Pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke di

RSUD Dr. Pirngadi Medan

Berdasarkan hasil analisis ditemukan 4 tema yaitu: (1) Cara keluarga

berkomunikasi dengan klien, (2) Hambatan saat berkomunikasi dengan klien, (3)

Usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi

Universitas Sumatera Utara


37

dengan klien, (4) Perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien. Tema-tema

ini dibahas secara terperinci untuk memaknai pengalaman keluarga dalam

berkomunikasi dengan pasien stroke di RSUD Dr. Pirngadi Medan.

1. Cara berkomunikasi dengan klien

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan didapatkan

ada dua jenis cara komunikasi yang dilakukan, yaitu berkomunikasi secara lisan

dan menggunakan gerakan tubuh.

a. Berkomunikasi secara lisan

Sebanyak dua dari delapan partisipan menyatakan bahwa cara

berkomunikasi yang dilakukan adalah secara lisan. Hal ini tergambar dari kategori

yaitu tidak menuliskan kata yang diucapkan kepada klien. Hal ini dapat dilihat

dari pernyataan partisipan berikut ini:

“Yah nggak ada. Ngomong ya ngomong aja kayak biasa...”

(Partisipan 2)

“Kalau saya ngomong biasa aja paling bapaklah yang menjawabnya pake
isyarat. Kalau nulis kan dia juga sulit, kasian juga..”
(Partisipan 8)

b. Menggunakan gerakan tubuh

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, gerakan

tubuh verbal yang digunakan terdiri atas dua kategori yaitu memberikan sentuhan

dan mendekat saat berkomunikasi dengan klien.

Universitas Sumatera Utara


38

Seorang dari delapan partisipan mengatakan cara berkomunikasi yang

dilakukan yaitu dengan cara memberikan sentuhan. Hal ini dapat dilihat dari

pernyataan berikut :

“Kalau pegang tangannya selalu, cium tangannya, cium kaki..”

(Partisipan 2)

Dua dari delapan partisipan mengungkapkan cara berkomunikasi yang

dilakukan yaitu mendekat saat berkomunikasi dengan klien. Hal ini dapat dilihat

dari pertanyaan berikut ini :

“Yah cara berkomunikasi, kita berbicara dekatkan ke telinga lah..”

(Partisipan 4)

“Saya pun gak pernah jauh dari dia. Jadi dia pun bisa dengarkan saya..”
(Partisipan 5)
2. Hambatan saat berkomunikasi dengan klien

Hasil wawancara yang dilakukan dengan delapan partisipan terdapat tiga

hambatan dalam berkomunikasi. Hambatan tersebut tidak hanya berasal dari

keluarga tetapi juga faktor dari klien. Hambatan tersebut yaitu kurangnya

pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien, gangguan fisik yang dialami

klien, dan gangguan psikis yang dialami klien.

a. Kurangnya pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien

Dari pernyataan partisipan, terdapat tiga kategori untuk kurangnya

pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien yaitu tidak mengerti dengan

ucapan klien, salah mengartikan maksud klien, dan mengalami kesulitan saat

berkomunikasi dengan klien.

Universitas Sumatera Utara


39

Empat partisipan mengatakan tidak mengerti dengan ucapan klien. Hal ini

dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut:

“Tapi yah ada juga yang saya gak ngerti maksudnya, sewaktu dia cuma
bisa ngasih kode. Ntah apa lah. Terakhir “eeehh” “eeeehh” jadi bingung
juga kita..”
(Partisipan 3)

“Kadang ngerti kadang nggak lah..”


(Partisipan 4)

“Kalau bapak ini ngomongnya kadang saya nggak ngerti. Anak-anak pun
gak ngerti juga.”

(Partisipan 6)

“Adalah. Itu tadi “eh..” katanya, ntah apa maksudnya. Ntah mau berak
dia, gak tahu lah.”

(Partisipan 7)

Empat dari delapan partisipan mengatakan hambatan yang dialami yaitu

salah mengartikan maksud klien. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan berikut :

“Pernah jugalah. Minta koran kemaren itu. “kola..kola..” katanya saya


pikir minta kolak, saya beli kolak ternyata nyuruh beli koran.”
(Partisipan 6)

“Tapi pernahlah macam ada yang mau dibilangnya, “ehh..ehh..” katanya


sambil dipegangnya itu bahunya. Terus saya bilang, yang mana sakit
bang? “eh..eh..” katanya lagi. Ternyata ada bedak di punggungnya, lupa
saya ambil..”
(Partisipan 7)

Universitas Sumatera Utara


40

Seorang partisipan mengungkapkan bahwa mengalami kesulitan saat

berkomunikasi dengan klien. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan:

“Kalau kesulitan yah pasti ada dek, soalnya kan gak bisa berbicara,
setelah pindah ke ruang inap bicaranya baru satu-satu bisa diucapkan..”

(Partisipan 1)

b. Gangguan fisik yang dialami klien

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, terdapat

empat kategori yaitu klien sulit mengucapkan kata-kata, klien tidak bisa menulis,

klien tidak bisa membaca, dan klien merasa sakit saat berkomunikasi.

Dari hasil wawancara terhadap delapan partisipan, ada delapan partisipan

mengatakan bahwa yang menjadi hambatan saat berkomunikasi yaitu klien sulit

mengucapkan kata-kata. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan partisipan

sebagai berikut :

“Mamak ini kalau mau bilang nabil susah kali. Awaknya mikir-mikir terus
apalah yang mau dibilang mamak ini. Terus saya bilang nabil mak?”

(Partisipan 1)

“Cuma bisa bilang “eehh..ehh..” gak ada kata yang keluar cuma suara
aja lah yang keluar..”

(Partisipan 3)

“Dia macam mau bilang apa tapi ntah apa. Makanya saya suruh tulis,
mau apa. Soalnya kita kan gak ngerti maksudnya..”

(Partisipan 5)

“Kalau kita ajarin ngomong, dia bisa cuma gak jelas. Cuma bisa bilang
“iya”, “aa” itu lah jelas. Kebanyakan cuma bisa bilang “eee”..”

(Partisipan 8)

Universitas Sumatera Utara


41

Tiga partisipan mengatakan bahwa klien tidak bisa menulis sehinggga

menjadi hambatan bagi keluarga untuk dapat mengerti ucapan klien. Hal ini dapat

dilihat dari beberapa penyataan partisipan berikut :

“Gak mau nulis dia. Udah saya kasih pulpen sama buku..”
(Partisipan 5)

“Tapi mau nulis gak bisa lemas, sekarang pun masih lemas juga
tangannya. Itulah saya bilang, bang kalau warga minta tanda tangan
abang gimana. Dia minta lah pulpen mau nulis, tapi tetap nggak bisa.”

(Partisipan 6)

Seorang partisipan mengatakan bahwa klien tidak dapat membaca.

Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan :

“Nggak. Sewaktu sakit itu nggak bisa lah. Apalagi mau nulis nggak bisa.
Cuma hanya bahasa isyarat-isyarat ajalah..”
(Partisipan 3)

Seorang partisipan mengungkapkan bahwa klien merasa sakit saat

berkomunikasi. Adapun pernyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut :

“Kadang dia bilang pedih kalau kebanyakan ngomong.”


(Partisipan 2)

c. Gangguan psikis yang dialami klien

Hasil wawancara terhadap delapan partisipan, terdapat dua kategori

gambaran gangguan psikis yang dialami klien yaitu klien mudah marah dan klien

mudah menangis. Gangguan psikis yang dialami klien menjadi hambatan saat

keluarga berkomunikasi dengan klien. Hal ini dapat dilihat dari beberapa

pernyataan partisipan sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


42

“Tapi dia tuh bawaannya emosi aja “ehh..ehh..” keg gitu lah cemana lah
mau dibilang macam mau marah gitu. Cuma karena sejak sakit ini lah
gampang marah dia padahal waktu sehat dulu dia jarang kali marah..”
(Partisipan 3)

“Tapi pernah juga gitu kan, tanpa sebab keluar air matanya. Gak tahu
juga lah kenapa.”
(Partisipan 3)

“Orang stroke ini sensitif perasaannya, cengeng. Nanti tiba-tiba mau


nangis…Misalnya pernah juga kan tiba-tiba aja dia nangis, kita tanya
karena ini itu. Nggak juga. Jadi apa gitu yakan, gak ngerti kita. Dia tetap
aja nangis doang..”
(Partisipan 8)

3. Usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan saat

berkomunikasi dengan klien

Hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, didapatkan

usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan berkomunikasi dengan

klien yaitu meminta klien untuk menunjuk, meminta klien menggunakan bahasa

verbal, dan sering berkomunikasi dengan klien.

a. Meminta klien untuk menunjuk

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, lima

partisipan mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk mengatasi hambatan yaitu

meminta klien untuk menunjuk yang tergambar dari kategori yaitu meminta klien

untuk memberitahu dengan mengarahkan kepada yang ingin diucapkan. Hal ini

dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

“Coba tunjuk, mamak mau apa? Apa yang sakit mak? Seperti itu saya
tanya.”

Universitas Sumatera Utara


43

(Partisipan 1)

“Kalau saya nggak ngerti, saya tanya terus saya suruh dia tunjuk…Cuma
saya tanya lah, abang mau apa? Dia liatin itu disekitar dia terus kalau dia
minta sesuatu ditunjuknya lah itu. “ehh..” katanya sambil ditunjuk nya
kan, jadi tahu lah apa mau nya.”

(Partisipan 6)

“Nggak ada. Sulit pun nggak. Gimana ya, kalau misalnya abang gak
ngerti gitu abang ajak jalan bapak, abang tuntun dia nunjukin apa yang
dia mau. Bapak ini main nunjuk aja. Kalau mau nonton gitu, ditunjuknya
tv. Yah itu ajalah gak ada yang sulit juga, karena juga udah terbiasa.”

(Partisipan 8)

b. Meminta klien menggunakan bahasa verbal

Dari hasil wawancara yang dilakukan, terdapat dua kategori yang

menggambarkan cara keluarga meminta klien menggunakan bahasa verbal yaitu

meminta mengulangi ucapan yang disampaikan klien dan meminta klien untuk

berbicara pelan-pelan.

Dua partisipan mengungkapkan bahwa cara partisipan dapat mengerti

ucapan klien yaitu meminta mengulangi ucapan yang disampaikan klien. Hal ini

dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

“Kalau nggak ngerti maksud mamak yah, disuruh ulang.”

(Partisipan 2)

“Kadang pun saya gak ngerti maksudnya. Saya bilang apa? “uang”
katanya, terus saya bilang mau uang?”

(Partisipan 4)

Universitas Sumatera Utara


44

Seorang partisipan mengatakan bahwa cara untuk mengatasi hambatan

dalam berkomunikasi yaitu meminta klien untuk berbicara pelan-pelan.

Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan :

“Jadi kalau dia mau cakap saya suruh pelan-pelan saya dengarkan.
Misalnya mau bilangkan jangan lupa kunci rumah, “angan eeh..ehh.. mah
unci” lama-lama saya ngerti juga apa maksudnya. Anaknya lah yang
sama sekali gak ngerti apa cakapnya. Kalau saya karena saya suruh
pelan-pelan cakapnya bang, jadi akhirnya saya tahu juga jadinya.”

(Partisipan 6)

c. Sering berkomunikasi dengan klien

Salah satu cara untuk mengatasi hambatan dalam berkomunikasi yaitu

sering berkomunikasi dengan klien yang tergambar dari dua kategori yang

didapatkan dari hasil wawancara yaitu sering bertemu dengan klien dan sudah

terbiasa berkomunikasi dengan klien.

Seorang dari delapan partisipan mengatakan karena sering bertemu dengan

klien sehingga partisipan dapat mengerti bahasa yang digunakan klien. Hal ini

dapat dilihat dari pernyataan partisipan berikut :

“Karena sudah setiap hari jumpa jadi ngertilah apa saja kegiatan ayah
ini. Belajar dari pengalaman aja. Karena sering jumpa itu sering
berkomunikasi juga jadi ngerti lah mau ayah ini. Misalnya kalau orang
gak pernah jumpa sama dia, mana tahu lah dia apa seleranya. Ini ayah
awak, jadi gak adalah yang sulit.”
(Partisipan 3)

Seorang partisipan mengatakan tidak merasa sulit berkomunikasi dengan

klien karena sudah terbiasa berkomunikasi dengan klien. Pernyataan ini sesuai

dengan ungkapan:

Universitas Sumatera Utara


45

“Awalnya kita gak ngerti maksud bapak ini, tapi yah lama-lama ngerti
juga… Yah itu ajalah gak ada yang sulit juga, karena juga udah
terbiasa.”
(Partisipan 8)

4. Perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap delapan partisipan,

ada tiga perasaan yang dirasakan oleh keluarga saat berkomunikasi dengan klien

yaitu merasa kelelahan, merasa khawatir kepada klien dan merasa kasihan kepada

klien.

a. Merasa kelelahan

Partisipan merasa kelelahan saat berkomunikasi dengan klien tergambar

dari dua kategori yaitu putus asa saat klien hanya diam ketika diajak

berkomunikasi dan kesal saat klien memberi respon tidak sesuai dengan yang

diharapkan.

Satu dari delapan partisipan mengatakan putus asa saat klien hanya diam

ketika diajak berkomunikasi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan

berikut :

“Sudah saya ancam-ancam juga dia supaya mau ngomong tapi tetap aja
diam dia, udah capek lah. Paling cuma diliatin aja kita. Ujungnya nangis
lah dia. Keluar air mata dia.”

(Partisipan 7)

Dua partisipan mengungkapkan bahwa partisipan merasa kesal saat klien

memberi respon tidak sesuai dengan yang diharapkan. Adapun pernyataan

tersebut diungkapkan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


46

“Cemanalah ya, terkadang ayah itu mau lah pula marah. Kesal juga ada
lah menjaganya. Sudah kita capek begadang, dimarahi lagi. Dia macam
mau merepet tapi nggak bisa “ehh..ehh..” macam gitulah.”
(Partisipan 3)

“Awalnya emosi juga kita dibuatnya, karena diam aja terus dia sampe
pernah itu saya pukul mulutnya supaya mau ngomong.”

(Partisipan 7)

b. Merasa khawatir kepada klien

Perasaan khawatir yang dirasakan partisipan tergambar dari kategori yaitu

merasa takut saat klien tidak bisa berbicara.

Seorang dari delapan partisipan mengungkapkan bahwa merasa takut saat

klien tidak bisa berbicara. Adapun pernyataan tersebut diungkapkan sebagai

berikut :

“Bingungnya yah, tadi suara jelaskan tapi kok tiba-tiba lidahnya mereng
mulutnya juga gitu. “aahh..aahh” katanya gak bisa ngomong gitu jadi
cemas jugalah saya. Saya suruh juga coba ngomong tapi gak bisa.”
(Partisipan 6)

c. Merasa kasihan kepada klien

Partisipan merasa kasihan kepada klien tergambar dari dua kategori yaitu

sedih saat klien tidak bisa mengucapkan kata-kata dan tetap sabar saat berbicara

dengan klien.

Dari hasil wawancara terhadap delapan partisipan, ada lima partisipan

yang merasa sedih saat klien tidak bisa mengucapkan kata-kata. Hal ini dapat

dilihat dari beberapa pernyataan partisipan berikut :

Universitas Sumatera Utara


47

“Sedihlah kita ya kek manalah orangtua ya kan. Apalagi kita hidup sama
orangtua. Tiap hari di rumah biasa tiba-tiba gini dia gak bisa komunikasi.
Sakit dia gak bisa dibilangnya. Diam aja dia. Sedih aja lah paling.”
(Partisipan 4)

“Kalau sedih pun pasti ada. Tapi yah kita jangan nampakkan dengan dia.
Makin sedih dia nanti.”
(Partisipan 5)

“Yah pasti sedih lah. Udah lain caranya sekarang..”


(Partisipan 8)

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, ada tiga

partisipan yang tetap sabar saat berbicara dengan klien. Hal tersebut dapat dilihat

dari pernyataan pastisipan berikut :

“Namanya juga orangtua awak, sabar-sabar juga lah.”


(Partisipan 3)

“Pokoknya kalau dah kayak gitu dia saya gak mau marah. Nanti kan
kalau saya bentak, makin lemah pula dia. Pokoknya kalau menghadapi
pasien sabar aja lah.”

(Partisipan 5)

“…Sabar aja lah. Paling awal waktu dia sakit lah dek, agak jelas lah
ngomongnya, sekarang gak jelas sama sekali.”
(Partisipan 7)

Universitas Sumatera Utara


48

Tabel 1.2
Matriks Tema

No Tema 1: Cara keluarga berkomunikasi dengan klien


1. Sub Tema : Kategori :
1. Berkomunikasi a. Tidak menuliskan kata yang
secara lisan diucapkan kepada klien

2. Menggunakan a. Memberikan sentuhan


gerakan tubuh b. Mendekat saat berkomunikasi dengan
klien

Tema 2 : Hambatan saat berkomunikasi dengan klien


2. Sub Tema : Kategori :
1. Kurangnya a. Tidak mengerti dengan ucapan klien
pengetahuan tentang b. Salah mengartikan maksud klien
berkomunikasi c. Mengalami kesulitan saat
dengan klien berkomunikasi dengan klien

2. Gangguan fisik yang a. Klien sulit mengucapkan kata-kata


dialami klien b. Klien tidak bisa menulis
c. Klien tidak bisa membaca
d. Klien merasa sakit saat
berkomunikasi

3. Gangguan psikis a. Klien mudah marah


yang dialami klien b. Klien mudah menangis

Tema 3 : Usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan


saat berkomunikasi dengan klien
3. Sub Tema : Kategori :
1. Meminta klien untuk a. Meminta klien untuk memberitahu
menunjuk dengan mengarahkan kepada yang
ingin diucapkan

2. Meminta klien a. Meminta klien untuk mengulangi


menggunakan ucapan yang disampaikan klien
bahasa verbal b. Meminta klien untuk berbicara pelan

3. Sering a. Sering bertemu dengan klien


berkomunikasi b. Sudah terbiasa berkomunikasi dengan
dengan klien klien

Tema 4 : Perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien


4. Sub Tema : Kategori :
1. Merasa kelelahan a. Putus asa saat klien hanya diam

Universitas Sumatera Utara


49

ketika diajak berkomunikasi


b. Kesal saat klien memberi respon yang
tidak sesuai dengan yang diharapkan

2. Merasa khawatir a. Takut saat klien tidak bisa berbicara


kepada klien

3. Merasa kasihan a. Sedih saat klien tidak bisa


kepada klien mengucapkan kata-kata
b. Tetap sabar saat berbicara dengan
klien

4.2 Pembahasan

Pada bagian ini diuraikan tentang pembahasan hasil penelitian dengan

literatur yang berhubungan dengan pengalaman keluarga dalam berkomunikasi

dengan pasien stroke yang meliputi cara keluarga berkomunikasi dengan klien,

hambatan saat berkomunikasi dengan klien, usaha yang dilakukan keluarga untuk

mengatasi hambatan saat berkomunikasi dengan klien, dan perasaan keluarga saat

berkomunikasi dengan klien.

1. Cara keluarga berkomunikasi dengan klien

Hasil penelitian terhadap delapan partisipan menyebutkan bahwa ada dua

cara dalam berkomunikasi dengan klien. Cara berkomunikasi tersebut adalah

berkomunikasi secara lisan dan menggunakan gerakan tubuh. Jenis komunikasi

sebagaimana disampaikan oleh Widjaja (2000 dalam Mundakir, 2006) dibedakan

menjadi lima macam, yaitu komunikasi tertulis, komunikasi verbal, komunikasi

satu arah, dan komunikasi dua arah.

1.1 Berkomunikasi secara lisan

Dua partisipan mengatakan cara berkomunikasi dengan klien yaitu

berkomunikasi secara lisan atau yang sering disebut dengan bahasa verbal. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


50

sesuai dengan pernyataan Mundakir (2006) bahwa komunikasi verbal adalah

komunikasi yang disampaikan secara lisan dan dapat dilaksanakan secara

langsung dengan percakapan tatap muka. Pada saat wawancara terhadap

partisipan, peneliti juga memperhatikan teknik komunikasi verbal yang dilakukan

oleh partisipan. Teknik yang dilakukan oleh partisipan sesuai dengan literatur cara

berkomunikasi dengan pasien afasia. Teknik komunikasi verbal tersebut yaitu

berbicara dengan kalimat pendek dan lambat agar pasien mempunyai waktu untuk

mengerti, mengakui jika partisipan tidak mengerti, tidak berbicara dengan suara

dan nada keras, memandang klien saat berbicara, dan berbicara seperti klien

sebelum sakit (Kusumoputro & Sidiarto, 2009).

1.2 Menggunakan gerakan tubuh

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, gerakan

tubuh yang partisipan lakukan yaitu memberikan sentuhan dan mendekat saat

berkomunikasi dengan klien. Menggunakan gerakan tubuh atau disubut dengan

komunikasi non verbal merupakan komunikasi yang tidak melihatkan bicara dan

tulisan (Musliha & Fatmawati, 2010). Partisipan mengungkapkan perhatian,

empati dan kasih sayang melalui sentuhan kepada klien (Mundakir, 2006).

Partisipan juga mendekat dengan klien saat berbicara, hal ini dilakukan agar klien

dapat mendengar apa yang partisipan katakan kepada klien.

2. Hambatan saat berkomunikasi dengan klien

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan terdapat

tiga hambatan saat berkomunikasi dengan klien. Hambatan tersebut yaitu

kurangnya pengetahuan tentang berkomunikasi dengan klien, gangguan fisik yang

Universitas Sumatera Utara


51

dialami klien dan gangguan psikis yang dialami klien. Gangguan fisik dan psikis

yang dialami klien menjadi hambatan bagi keluarga untuk dapat berkomunikasi

dengan klien. Dengan kata lain bahwa klien yang sebagai komunikan, menjadi

penghambat dalam proses komunikasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan

oleh Kariyoso (1994 dalam Nurhasanah, 2010) bahwa faktor yang mempengaruhi

komunikasi dapat ditinjau dari komunikator dan komunikan.

2.1 Kurangnya pegetahuan tentang berkomunikasi dengan klien

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, terdapat

tiga kategori yang menggambarkan kurangnya pegetahuan tentang berkomunikasi

dengan klien yaitu tidak mengerti dengan ucapan klien, salah mengartikan maksud

klien, dan mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan klien. Salah satu jenis

hambatan dalam berkomunikasi yaitu berhubungan dengan kemampuan

pengetahuan (Nurhasanah, 2010). Secara umum hambatan yang terjadi selama

komunikasi yaitu kurangnya pengetahuan, perbedaan persepsi, dan perbedaan

bahasa (Mundakir, 2006). Hal ini dialami oleh parisipan yaitu tidak mengerti

dengan ucapan klien dengan kata lain bahwa partisipan tidak memahami

bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien stroke yang mengalami gangguan

komunikasi sehingga antara partisipan dan klien mengalami perbedaan persepsi

saat berkomunikasi.

2.2 Gangguan fisik yang dialami klien

Gangguan fisik yang dialami klien menjadi hambatan bagi partisipan

untuk berkomunikasi dengan klien. Hambatan fisik yang didapatkan dari beberapa

partisipan, tergambar dari empat kategori yaitu klien sulit mengucapkan kata-kata,

Universitas Sumatera Utara


52

klien tidak bisa menulis, klien tidak bisa membaca, dan klien merasa sakit saat

berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mundakir (2006) bahwa salah

satu penghambat proses komunikasi yaitu kondisi fisik yang tidak baik atau

adanya indara yang rusak. Empat kategori yang didapatkan juga sesuai dengan

literatur gangguan komunikasi yang dialami pasien stroke yaitu sering pasien

sukar atau tidak mampu mengeluarkan kata-kata yang hendak dituturkan dan juga

kemampuan membaca dan menulis pasien menjadi kurang (Kusumoputro &

Sidiarto, 2009).

2.3 Gangguan psikis yang dialami klien

Kondisi psikis yang kurang baik dari klien menjadi penghambat bagi

partisipan untuk berkomunikasi dengan klien. Hal ini tergambar dari dua kategori

yang didapatkan dari hasil wawancara yaitu klien mudah marah dan klien mudah

menangis. Psikis merupakan hambatan yang menyangkut faktor kejiwaan,

emosional, tidak saling percaya, dan penilaian menghakimi (Nurhasanah, 2010).

Emosi seperti marah, sedih, dan senang akan dapat mempengaruhi seseorang

dalam berkomunikasi dengan orang lain (Priyanto, 2009).

Menurut Mundakir (2006) salah satu hambatan dalam proses komunikasi

yaitu kondisi mental yang kurang baik yang dialami oleh komunikator ataupun

komunikan, hal ini sesuai dengan yang dirasakan oleh partisipan saat

berkomunikasi dengan klien. Masalah yang dihadapi pasien stroke dalam

berkomunikasi yaitu pasien sulit mengontrol emosi, pasien dapat pula cepat

marah, mudah tersinggung dan murung (Kusumoputro & Sidiarto, 2009)

Universitas Sumatera Utara


53

3. Usaha yang dilakukan keluarga untuk mengatasi hambatan saat

berkomunikasi dengan klien

Dari hasil wawancara terhadap delapan partisipan didapatkan ada tiga

usaha yang dilakukan partisipan untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi,

yaitu meminta klien untuk menunjuk, meminta klien menggunakan bahasa verbal,

dan sering berkomunikasi dengan klien.

3.1 Meminta klien untuk menunjuk

Menurut Mulyatsih & Ahmad (2010), salah satu upaya yang dapat

dilakukan untuk mengetahui apa yang pasien inginkan adalah menyediakan papan

komunikasi yang berisi gambar atau simbol aktifitas kegiatan harian pasien yang

dapat menjadi media komunikasi sehingga pasien dapat menunjuk apa yang

pasien inginkan. Hal ini sejalan dengan upaya yang dilakukan partisipan untuk

mengatasi hambatan saat berkomunikasi yaitu meminta klien untuk menunjuk apa

yang klien inginkan. Contohnya seperti pada saat klien ingin minta minum,

akhirnya partisipan tahu karena klien menunjuk botol minuman. Hal ini juga

mempermudah klien mengingat bahwa klien sulit untuk mengucapkan kata-kata

dan tidak bisa menulis.

3.2 Meminta klien menggunakan bahasa verbal

Salah satu upaya yang dilakukan partisipan adalah meminta klien

menggunakan bahasa verbal yang tergambar dari dua kategori yaitu meminta

klien untuk mengulangi ucapan yang disampaikan klien dan meminta klien

berbicara pelan. Walaupun membutuhkan waktu cukup lama untuk mengerti

maksud klien, tetapi akhirnya partisipan dapat mengerti ucapan klien. Usaha yang

Universitas Sumatera Utara


54

dilakukan partisipan juga dapat melatih klien berbicara dan mempercepat

pemulihan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Mulyatsih & Ahmad (2010)

bahwa untuk mempercepat pemulihan, pasien stroke yang mengalami gangguan

komunikasi dianjurkan untuk berlatih dengan terapis wicara secara tetatur.

3.3 Sering berkomunikasi dengan klien

Dua partisipan mengatakan bahwa mereka tidak lagi merasa kesulitan

karena sering berkomunikasi dengan klien yang tergambar dari dua kategori yaitu

sering bertemu dengan klien dan sudah terbiasa berkomunikasi dengan klien.

Dapat disimpulkan bahwa partisipan belajar dari pengalaman untuk dapat

mengatasi hambatan dalam berkomunikasi dengan klien. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Mundakir (2006) bahwa ketepatan komunikan dalam menafsirkan

pesan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, dan fungsi indra yang

digunakan.

4. Perasaan keluarga saat berkomunikasi dengan klien

Berkomunikasi dengan pasien stroke tidak lah mudah, terutama dengan

pasien stroke yang mengalami gangguan komunikasi (afasia). Hasil dari

penelitian pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke

mengungkapkan tentang berbagai perasaan yang dialami oleh keluarga. Berbagai

macam perasaan yang muncul ketika keluarga berkomunikasi dengan klien dan

perasaan itu dipengaruhi oleh bagaimana klien memberi respon kepada keluarga.

Dari hasil penelitian yang dilakukan wawancara terhadap delapan partisipan

terdapat tiga perasaan saat berkomunikasi dengan klien yaitu merasa kelelahan,

merasa khawatir kepada klien dan merasa kasihan kepada klien.

Universitas Sumatera Utara


55

4.1 Merasa kelelahan

Merasa kelelahan yang diungkapkan partisipan tergambar dari dua

kategori yaitu putus asa saat klien hanya diam ketika diajak berkomunikasi dan

kesal saat klien memberi respon tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kelelahan

yang diekspresikan oleh partisipan saat berkomunikasi yaitu dalam bentuk

perasaan putus asa dan kekesalan kepada klien.

Kelelahan adalah kondisi akut yang dimulai dari rasa letih yang kemudian

mengarah pada kelelahan mental maupun fisik. Perasaan lelah ini lebih dari

sekedar perasaan letih dan mengantuk, perasaan lelah ini terjadi ketika seseorang

telah sampai kepada batas kondisi fisik atau mental yang dimilikinya (Australian

Safety and Compentation Counsil, 2006)

4.2 Merasa khawatir kepada klien

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap delapan partisipan, ada

yang seorang partisipan yang merasa khawatir yang tergambar dari kategori yaitu

takut saat klien tidak bisa berbicara. Pada dasarnya, khawatir atau kecemasan

merupakan hal yang pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan sudah

dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Kecemasan adalah suatu

perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau

kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya (Sutardjo

Wiramihardja, 2005).

4.3 Merasa kasihan kepada klien

Perasaan kasihan yang dirasakan oleh partisipan tergambar dari ungkapan

mereka yang menyatakan bahwa sedih saat klien tidak bisa mengungkapkan kata-

Universitas Sumatera Utara


56

kata dan tetap sabar saat berbicarai dengan klien walaupun klien memberikan

respon yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Partisipan juga menyadari

keterbatasan klien dalam berkomunikasi sehingga partisipan merasa kasihan dan

tidak marah jika klien tidak bisa memberikan umpan balik kepada partisipan.

Kasihan merupakan emosi manusia yang muncul akibat penderitaan oranglain,

perasaan ini biasanya memunculkan usaha untuk mengurangi penderitaan orang

lain.

Universitas Sumatera Utara


BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap delapan keluarga

dari pasien stroke yang mengalami gangguan komunikasi di RSUD Dr. Pirngadi

Medan, peneliti mendapatkan empat tema disertai dengan masing-masing subtema

dalam bagian-bagiannya yang terkait dengan pengalaman keluarga dalam

berkomunikasi dengan pasien stroke. Tema tersebut adalah cara berkomunikasi

dengan klien, hambatan saat berkomunikasi dengan klien, usaha yang dilakukan

untuk mengatasi hambatan saat berkomunikasi dengan klien, dan perasaan

keluarga saat berkomunikasi dengan klien.

2. Saran

2.1 Bagi praktek keperawatan keluarga

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber

pengetahuan dan informasi bagi perawat keluarga untuk mengajarkan keluarga

bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien stroke yang mengalami gangguan

komunikasi.

2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Dalam pendidikan keperawatan perlu ditingkatkan pemahaman materi

mengenai gangguan komunikasi yang dialami pasien stroke sehingga perawat

yang di rumah sakit dapat membantu keluarga dalam berkomunikasi dengan

pasien stroke.

57
Universitas Sumatera Utara
58

2.3 Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat berguna bagi peneliti lainnya atau penelitian

selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana

cara keluarga dalam merawat pasien stroke yang mengalami gangguan

komunikasi.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai