Anda di halaman 1dari 3

Jadi jurnal tersebut membahas Studi Farmakoepidemiologi mengenai pengetahuan wanita hamil

tentang penggunaan NSAID pada kehamilan. Intervensinya adalah pengetahuan wanita hamil tentang
penggunaan NSAID pada kehamilan. Jumlah subjeknya sebanyak 250 wanita hamil yang masuk ke dalam
persyaratan penelitian. Studi desain yang digunakan adalah deskriptif melalui survei wawancara, karena
hanya ingin melihat tingkat pengetahuan ibu hamil terhadap penggunaan NSAID pada kehamilan.

Untuk hasilpenelitiannya yaitu sebanyak 2% wanita hamil menggunakan aspirin atau ibuprofen sebagai
pengobatan sendiri. Kemudian lebih dari 10% berpikir bahwa aspirin atau ibuprofen aman untuk
dikonsumsi pada akhir kehamilan. Dan mayoritas berpikir bahwa aspirin dan ibuprofen bukan NSAID.

Temen-temen bisa lihat di bagian latar belakang bahwa penggunaan NSAID


dapat meningkatkan risiko prematur atau konstriksi ductus arteriosus, hipertensi paru janin
persisten, perdarahan intrakranial dan toksisitas ginjal pada janin. Sehingga perlu dilakukan penelitian
tentang pengetahuan ibu hamil tentang penggunaan NSAID pada kehamilan.

Kesimpulannya dari kasus ini adalah oke untuk mengingatkan kembali yang sudah kita pelajari
bahwa Farmakoepidemiologi itu sendiri adalah ilmu mengenai penggunaan obat dan efek obat dalam
populasi besar. Nah studi ini menunjukkan bahwa banyak wanita hamil tidak dapat mengidentifikasi
NSAID. Lebih dari sepertiga wanita hamil tidak tahu bahwa efek samping neonatal yang serius dapat
terjadi setelah konsumsi NSAID pada akhir kehamilan. Ini menggarisbawahi informasi yang
memadai harus diberikan tidak hanya kepada praktisi medis dan apoteker tetapi juga untuk wanita
hamil terutama untuk obat-obatan tanpa resep. Profesional kesehatan harus memastikan bahwa
informasi kehamilan yang mereka berikan dipahami dengan baik oleh wanita hamil, menggunakan
daftar obat yang dikontraindikasikan jika perlu.

Sehingga dari studi farmakoepidemiologi ini banyak sekali manfaatnya untuk pihak pelayanan kesehatan
baik itu Rumahsakit atau pelayanan kesehatan lainnya untuk lebih memberikan informasi dan edukasi
kepada wanita hamil terkait resiko yang dapat terjadi ketika penggunaan NSAID pada kehamilan, perlu
mempertimbangkan risk and benefitnya. Kemudian bisa digunakan juga sebagai informasi untuk industri
terkait efek samping dari NSAID. Dan lain sebagainya.

Oke, jadi untuk kasus 2 ini jurnal tersebut membahas mengenai Studi Farmakoepidemiologi Vitamin
Penambah Darah Pada Ibu Hamil Di Kecamatan Jatinangor. Intervensinya adalah adalah penggunaan
vitamin penambah darah pada ibu hamil. Jumlah subjeknya adalah 110 ibu hamil yang memenuhi syarat
penelitian. Studi desain yang digunakannya yaitu studi desain deskriptif melalui wawancara dengan
kuesioner, karena hanya ingin mengetahui prevalensi penggunaan vitamin penambah darah pada ibu
hamil.
 
Hasil penelitiannya adalah dari 110 ibu hamil terdapat 96 ibu hamil yang mengonsumsi vitamin
penambah darah, diantaranya asam folat, tablet zat besi, Vitamin B12, vitamin B6. Sedangkan 14 ibu
hamil tidak mengonsumsi vitamin dengan alasan merasa sehat, merasa keluhan ringan sehingga tidak
perlu vitamin, takut efek samping yang ditimbulkan obat.

Kesimpulannya dari kasus ini adalah Farmakoepidemiologi itu sendiri merupakan ilmu mengenai
penggunaan obat dan efek obat dalam populasi besar. Nah studi ini berguna untuk mengetahui pola
penggunaan suplemen penambah darah pada ibu hamil. Dari hasil penelitian farmakoepidemiologi ini
maka dapat diperoleh manfaatnya untuk pihak Rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya yaitu dari
hasil diperoleh bahwa dengan penggunaan penambah darah maka kadar hemoglobin akan meningkat
sehingga ibu hamil akan terhindar dari anemia atau masih banyak ibu hamil yang suka lupa minum obat
penambah darahnya dan juga karna efek samping yang dirasakan yaitu mual maka disini peran
Rumahsakit atau pelayanan kesehatan lainnya dapat memberikan informasi dan edukasi kepada ibu
hamil terkait pentingnya penambah darah untuk ibu hamil sehingga ibu hamil dapat meningkatkan
kepatuhan minum obatnya atau edukasi dan informasi terkait cara penggunaan tablet Fe yang benar
misal diminum pada malam hari pada saat akan tidur dan dengan air putih. Atau hasil penelitian ini bisa
dimanfaatkan oleh industri atau bagian pemasaran terkait bentuk sediaan yang lebih disukai yaitu
sediaan tablet dibandingkan bentuk sediaan yang lainnya, dan manfaat yang lainnya.

Jadi untuk kasus 3 ini jurnal tersebut membahas mengenai Obat Anti-Tuberkulosis lini kedua dan Risiko
Alopecia: Studi kohort Retrospektif. Intervensinya adalah mengukur risiko, mengidentifikasi
kemungkinan faktor risiko dan menjelaskan hubungan sebab akibat antara alopecia dan obat anti-TB lini
kedua. Jumlah subjeknya adalah 152 pasien TB-MDR yang memenuhi syarat penelitian ini dilihat dari
rekam medis.

Studi desainnya adalah studi desain analitik berupa kohort retrospektif. Jadi kohort retrospektif itu
temen-temen bisa buka materi yang saya berikan disana ada penjelasannya. Jadi pasien pada
studi cohort diambil berdasarkan ada tidaknya paparan (konsumsi obat anti-TB lini kedua), kemudian
diteliti muncul tidaknya penyakit (efek samping alopecia). Dengan cara ditelusuri dari rekam medis
apakah subjek penelitian mengkonsumsi obat anti-TB lini kedua atau tidak, jika mengkonsumsi maka
ditelusuri efek samping alopecia tersebut terjadi atau tidak. Karna ini retropspektif jadi data yang
digunakan adalah penelusuran rekam medis dimana paparan obat dan efek samping ini dicari /
ditelusuri ke waktu sebelumnya (seperti flash back). Untuk melihat faktor risikonya apa dan dicari
hubungan sebab akibatnya antara obat anti-TB lini kedua dengan alopecia. Nah rata-rata waktu
pengamatannya itu 23 bulan, namun mayoritas dari kasus sekitar 18 bulan terpapar/konsumsi TB-MDR
sekitar 35 pasien sudah mengalami alopecia.

Hasil ini didapatkan dengan cara penelusuran ke belakang pada rekam medis. Apalagi jika pasiennya
tersebut terpapar pengobatan untuk jangka waktu yang lebih lama (> 23 bulan) maka kemungkinan
lebih besar kejadian alopecia dibandingkan dengan mereka yang terpapar pengobatan untuk waktu yang
lebih singkat dan secara statistik signifikan (p = 0,001). Kemudian dihasilkan juga bahwa kelompok
pasien dengan usia < 45 tahun memiliki risiko alopecia 9,4 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok usia yang lebih tua dan secara statistik signifikan (OR = 9,4; 95% CI: 2,41-36,86, p =
0,001). Dan wanita memiliki risiko alopecia 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dan secara
statistik signifikan (OR = 3; 95% CI: 1,24 - 7,34, p = 0,015).

Temen-temen bisa buka dilatar belakang jurnal tersebut dimana menyebutkan bahwa baru-baru
ini terdapat penelitian yang dilakukan pada pasien TB-MDR di Eritrea yang mengungkapkan bahwa
92% pasien mengalami setidaknya satu reaksi obat merugikan (ADR)
saat memakai obat anti-TB lini kedua dan 2% di antaranya meninggal karena ADR (namun data tidak
dipublikasikan). Nah studi tersebut menemukan alopecia sebagai salah satu dari sepuluh
besar ADR. Alopecia itu sendiri yaitu kerontokan rambut yang abnormal yang terjadi sebelum siklus
hidup rambut selesai. Makanya kenapa penelitian ini dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai