Anda di halaman 1dari 14

Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila melalui Pendidikan Kewarganegaraan 12 Berdasarkan kajian

Pancasila dalam politik pendidikan di atas, kita menemukan bahwa proses pembudayaan nilai-
nilai Pancasila dapat dilakukan melalui pembelajaran PKn. Secara umum hasil-hasil penelitian
tentang PKn di berbagai negara sesungguhnya menyimpulkan bahwa PKn mengarahkan warga
negara itu untuk mendalami kembali nilai-nilai dasar, sejarah, dan masa depan bangsa
bersangkutan sesuai dengan nilai-nilai paling fundamental yang dianut bangsa bersangkutan.
Dari perspektif teori fungsionalisme struktural, sebuah negara bangsa yang majemuk seperti
Indonesia membutuhkan nilai bersama yang dapat dijadikan nilai pengikat integrasi (integrative
value), titik temu (common denominator), jati diri bangsa (national identity) dan sekaligus nilai
yang dianggap baik untuk diwujudkan (ideal value). Nilai bersama ini tidak hanya diterima tetapi
juga dihayati. Dalam pandangan teori kewarganegaraan communitarian, sebuah komunitas
politik bertanggung jawab memelihara nilai-nilai bersama (common values) tersebut dalam
rangka mengarahkan individu (Winarno, 2010). Melalui PKn nilai-nilai bersama yang
merupakan komitmen sebuah komunitas diinternalisasikan sehingga tumbuh penghayatan
terhadapnya. Dalam kepustakaan asing ada dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi
pendidikan kewarganegaraan yakni civic education dan citizenship education. Cogan (1999:4)
mengartikan civic education sebagai “...the foundational course work in school designed to
prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives”, atau suatu
mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar
kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Sedangkan citizenship
education atau education for citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang
memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “...both these in-school experiences as well
as out-of school or nonformal/informal learning which takes place in the family, the religious
organization, community organizations, the media,etc which help to shape the totality of the
citizen”. 13 Di sisi lain, David Kerr (1999) mengemukakan bahwa Citizenship or Civics
Education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and
responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching
and learning) in that preparatory process. (Kerr, 1999:2) atau PKn dirumuskan secara luas
mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya
sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan,
pengajaran, dan belajar dalam proses penyiapan warganegara tersebut. Dari pendapat di atas,
dapat dikemukakan bahwa istilah citizenship education lebih luas cakupan pengertiannya
daripada civic education. Dengan cakupan yang luas ini maka citizenship education meliputi di
dalamnya PKn dalam arti khusus (civic education). Citizenship education sebagai proses
pendidikan dalam rangka menyiapkan warga negara muda akan hak-hak, peran dan tanggung
jawabnya sebagai warga negara, sedang civic education adalah citizenship education yang
dilakukan melalui persekolahan. Untuk konteks di Indonesia, citizenship education atau civic
education dalam arti luas oleh beberapa pakar diterjemahkan dengan istilah pendidikan
kewarganegaraan (Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau pendidikan kewargaan (Azra, 2002).
Secara terminologis, PKn diartikan sebagai pendidikan politik yang yang fokus materinya
peranan warga negara dalam kehidupan bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka
untuk membina peranan tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi
warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara (Cholisin, 2000 dalam Samsuri,
2011). Dilihat secara yuridis, kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi wajib memuat
PKn yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 37 ayat (1)
dan (2) dinyatakan bahwa “kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a)
Pendidikan Agama, b) Pendidikan Kewarganegaraan, c) Bahasa…” dan “kurikulum pendidikan
tinggi wajib memuat: a) Pendidikan Agama; b) Pendidikan 14 Kewarganegaraan; c) Bahasa.”
Dengan demikian, secara yuridis, pendidikan kewarganegaraan memiliki landasan yang kuat
untuk dibelajarkan kepada setiap warga negara. Sekaitan dengan penanaman nilai-nilai Pancasila
melalui pendidikan kewarganegaraan, Arief Rahman, Duta UNESCO untuk Indonesia sekaligus
pengamat pendidikan mengemukakan bahwa penanaman ideologi Pancasila saat ini dapat
diterapkan melalui Pendidikan Kewarganegaraan (anonim, 2011). Namun lebih lanjut ia
mengemukakan bahwa agar ideologi tersebut dapat berjalan maksimal maka perlu diperhatikan
proses pembelajarannya. Dalam setiap proses pembelajaran harus meliputi tiga aspek, yakni
kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (pengalaman). Begitu pula dengan
penanaman ideologi Pancasila dalam pelajaran pendidikan Kewarganegaraan, ketiga aspek
tersebut harus dijalankan secara seimbang (anonim, 2011).
Pembudayaan Nilai Dasar Negara Pancasila
Semua komponen bangsa bersama Pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi negara
berkewajiban untuk membendung pengaruh, tantangan dan ancaman globalisasi-liberalisasi dan
postmodernisme di atas, demi penyelamatan masa depan bangsa dalam integritas sistem
kenegaraan Pancasila.
Kewajiban demikian merupakan amanat nasional dan amanat moral, karena ajaran paham
dari sistem ideologi mereka tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan ajaran sistem ideologi kita
(ideologi negara Pancasila). Karena, secara mendasar dan mendesak negara berkewajiban
meningkatkan pendidikan nasional sebagai kelembagaan pembudayaan nilai dasar negara
Pancasila.
Tegaknya asas dan fungsi Pembudayaan dalam Fungsi Kelembagaan Negara di atas
mutlak dilandasi, dipersiapkan dan dididikkan bagi SDM warga negara sebagai subyek
pengelola sistem kenegaraan Pancasila, melalui pendidikan nilai dasar negara Pancasila + UUD
45 secara signifikan.
            Sebaliknya, terlaksananya pendidikan nilai dasar negara Pancasila, berkat mantapnya
kebijaksanaan kepemimpinan dan kelembagaan nasional yang mengemban amanat sistem
kenegaraan Pancasila + UUD 45.    
Mulai konsepsi sistem nasional yang terpercaya (berkembang dinamis),
sampaipelaksanaan atau prakteknya, sesungguhnya adalah proses  p e m b u d a -y a a n yang
efektif dan berdaya guna.
Thema Pembudayaan Nilia Filsafat Pancasila, mengandung makna:
1.      Mendidikkan nilai-nilai filsafat moral Pancasila bagi generasi penerus sebagai manusia dan
warga negara RI (supaya dengan sadar mampu mengamalkan); untuk menjamin tegaknya
kemerdekaan, kedaulatan dan integritas NKRI; sebagai sistem kenegaraan Pancasila. Bagi
generasi penerus perlu ditingkatkan pendidikan PKn, ketahanan nasional, ideologi Pancasila; IPS
dan sejarah nasional.
2.      Membudayakan (moral filsafat Pancasila) yang secara filosofis-ideologis terjabar
secara konstitusional di dalam sistem kenegaraan NKRI berdasarkan Pancasila - UUD
45; dikembangkan dan ditegakkan dalam N-sistem nasional.
Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan
mewujudkan asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagaikaidah
fundamental dan asas kerokhanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa(nation state).
            Juga bagi masyarakat pada umumnya, terutama kader orsospol dan tenaga-tenaga
pelaksana aparatur negara; bahkan juga kelembagaan nasional seyogyanya diberikan program
pembudayaan nilai dasar negara Pancasila, secara melembaga yang dikelola oleh lintas
kelembagaan (departemental dan nondepartemental). Kelembagaan dimaksud supaya lebih
mantap dan representatif, dapat diusulkan alternatif berikut: Depdiknas, Depag, LIPI, Komnas
HAM, Lemhannas, Dewan Ketahanan Nasional; Menegpora, Dekominfo, dan berbagai
komponen kelembagaan keagamaan: MUI, DGI dsb.
            Diharapkan pembudayaan nilai dasar negara Pancasila dapat meningkatkan kesadaran
nasional dan Ketahanan Nasional sebagai benteng penangkal degradasi wawasan
nasional yang kita rasakan dalam era reformasi.

E.      Pokok-pokok Pikiran
Berdasarkan uraian ringkas yang terkandung dalam thema Seminar Nasional ini,
maupun sub-thema dalam makalah ini, diharapkan beberapa pokok pikiran berikut dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi tantangan yang makin meningkat, baik
internasional (global, eksternal) maupun nasional (internal).  
Adanya keyakinan bangsa atas keunggulan sistem kenegaraan Pancasila – UUD
45 menjamin bangsa untuk menegakkan kepemimpinan nasional dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara dengan asas budaya dan moral luhur sebagaimana diamanatkan pendiri
negara (PPKI) dalam UUD Proklamasi seutuhnya. 
Pokok-pokok pikiran berikut mendorong kepemimpinan nasional, kelembagaan negara
maupun komponen bangsa; termasuk berbagai partai politik dan elite reformasi untuk
merenungkan (refleksi) demi masa depan bangsa dan NKRI, serta generasi muda bangsa sebagai
potensi dan generasi penerus.
1.            Keunggulan sistem filsafat Pancasila sebagai ideologi nasional secara fundamental terpancar
dalam integritas martabatnya sebagai sistem filsafat theisme-religius. Artinya, sistem ideologi
Pancasila menjamin integritas moral SDM dan kepemimpinan nasional untuk ditegakkan dalam
moral dan budaya sosial politik dan ekonomi dalam NKRI.
2.            Dasar negara Pancasila terjabar dalam UUD 45 seutuhnya secara valid dan orisinal berkat
dirumuskan oleh PPKI dengan jiwa pengabdian, dan kearifan kenegarawanan yang tulus ---tanpa
interest dan kepentingan golongan; bahkan dari mayoritas atas minoritas---; bukan sebagai yang
kita saksikan dalam praktek budaya politik era reformasi.
Keabsahan nilai mendasar ini menjadi landasan dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan
dalam NKRI.
3.            UUD Proklamasi (Pembukaan-Batang Tubuh-Penjelasan) adalah perwujudan dan pedoman
sistem kenegaraan yang  unggul terpercaya; sebagai negara berkedaulatan rakyat (demokrasi)
dan negara hukum dalam integritas NKRI sebagai nation stateyang ditegakkan
dengan asaswawasan nasional, wawasan nusantara dan asas kekeluargaan. Asas fundamental
ini menjadi landasan konstitusional membangun bangsa dalam NKRI yang adil dan sejahtera,
jaya dan bermartabat.
4.            Integritas nilai dasar negara Pancasila sebagai filsafat hidup, dasar negara dan ideologi
nasional secara konstitusional menjamin masa depan bangsa dalam dinamika dan kompetisi antar
ideologi yang berjuang merebut supremasi. Artinya, bagaimanapun gejolak dunia
postmodernisme (cermati isi nilai dalam skema 7), insya Allah bangsa dan NKRI tegak dalam
integritas sebagai kenegaraan Pancasila. Untuk tujuan ini negara berkewajiban
melaksanakan visi-misi nation and character buildingmelalui pendidikan dan pembudayaan
dasar negara Pancasila (secara melembaga dan lintas lembaga).
5.            Kondisi reformasi dan amandemen UUD 45 (= UUD 2002) secara fundamental dan
konstitusional cukup mengandung distorsi filosofis-ideologis dan konstitusional. Karenanya,
berdampak langsung terhadap proses degradasi wawasan nasional, sosial politik dan ekonomi
bangsa. Kondisi demikian bermuara kepada disintegrasi nasional dan NKRI.... yang pada
gilirannya tercengkeram oleh neo-imperialisme!
6.            Reformasi yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM mengancam integritas
nasional dan integritas NKRI; bahkan integritas mental dan moral SDM Indonesia, mulai
pemimpin sampai generasi penerus.
7.            Kebebasan atas nama HAM dengan praktek demokrasi liberal melanda budaya sosial
ekonomi bangsa termasuk dunia dan lembaga kependidikan nasional. Peluang kebebasan cukup
dimanfaatkan untuk kebangkitan neo-PKI/KGB yang memperjuangkan marxisme-komunisme-
atheisme sebagai wujud separatisme ideologi. Proses degradasi mental dan moral demikian
meruntuhkan moral dan martabat manusia Indonesia dan integritas sistem kenegaraan Pancasila.

Bagaimana tantangan dan ancaman ini dihadapi oleh MPR RI dalam menegakkan Tap
MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan UU RI No. 27 tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang
Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (terutama
pasal 107a – 107f)     
            UUD 45 amandemen (= UUD 2002) menyimpang dari asas kerokhanian
bangsadan kaidah fundamental negara (Pembukaan UUD 45) menjadi demokrasi liberal dan
praktek negara federal! Kondisi demikian tidak dijiwai asas moral dan budaya politikdemokrasi
Pancasila dan ekonomi Pancasila. Fenomena elite reformasi dapat dianggap mengkhianati asas
moral dan dasar negara Pancasila. Karenanya, kondisi bangsa dan NKRI dalam era reformasi
makin memprihatinkan dalam semua bidang kehidupan!
Semoga bangsa dan NKRI berdasarkan Pancasila – UUD 45 senantiasa dalam
pengayoman Tuhan Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Kuasa, Yang menganugerahkan dan
mengamanatkan kemerdekaan nasional dalam integritas NKRI. Amien.
http://vickriirawan.blogspot.com/2015/04/makalah-pembudayaan-nilai-nilai.html

Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila


Pembudayaan mempunyai arti setingkat lebih tinggi dari
pemasyarakatan,dapat dikatakan pemeliharaan dan menjaga nilai-nilai tetap
dipertahankan serta dilaksanakan sebagai mana mestinya. Pemasyarakatan adalah
mensosialisasikan kepada seluruh warga masyarakat tentang nilai-nilai yang
perlu diketahui,sekaligus berbagai masalah yang mungkin muncul dalam
melaksanakan nilai-nilai yang demikian foundamental bagi kehidupan
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.Pembudayaan sebagaimana diajarkan
dalam psikologi pendidikan ,boleh dikata lebih maju lagi karena adanya dorongan
memberikan motivasi.Dilihat dari segi motoriknya nuansa pada pembudayaan
lebih tinggi dari pemasyarakatan yang lebih banyak pada tingkat koqnitif dan
affektif.Dalam pemasyarakatan juga mengandung tuntutunan bagaimana
membudayakannya,namun dapat dirasakan bahwa orientasi pada pembudayaan ini
sekaligus juga menyangkut pelembagaannyadi masyarakat.
Secara etimologi ,istilah kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “
budhayah “yang merupakan bentukjamak dari kata budhi yang berarti budi atau
akal,dalam kamus besar bahasa Indonesia ( Balai Pustaka,1995 ) dikatakan bahwa
budaya adalah 1),pikran;akal budi;2).adat istiadat;3).sesuatu mengenai
kebudayaan yang sudah berkembang(beradab,maju );4).sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sukar diubah.Sementara definisi kebudayaan yang sudah
cukup lama dikenal adalah dari E.B.Tylor (1971) yang merumuskan bahwa

“Kebudayaan memiliki pengertian kompleks yang mencakup pengetahuan


,kepercayaan,kesenian,moral hukum, adat istiadat,kemampuan serta kebiasaan
yang didapatkan manusia sebagai anggoata masyarakat “. Sedangkan menurut
Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan ,tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan melalui belajar.Kebudayaan dibedakan wujudnya sebagai berikut
: 1). Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks gagasan,nilai,norma,peraturan
,2). Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tidakan berpola
dari manusia dalam masyarakat.3).wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya manusia.
Berdasarkan pengertian diatas,maka jikakita berbicara tentang pembudayaan
nilai-nilai Pancasila yang merupakan sumber dari karakter bangsa , berarti kita
berbicara tentang perwujudan nilai-nilai Pancasila tsb.1).dalamgagasann nilai
,norma dan peraturan.2). dalam aktivitas serta tindakan terpola dari manusia
Indonesia,dan,3).wujud hasil cipta manusia.
Pembudayaan nilai-nilai Pancasila ,merupakan peningkatan secara kualitatif
dari pemasyarakatan,sehingga mencakup pengertian yang dalam ,karena
tidaknsekedar memahami,akan tetapi juga harus dihayati dan diwujudkan dalam
pengamalannya oleh setiap diriri pribadi dan seluruh lapisan masyarakat sehingga
menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan,mempertajam perasaan,meningkatkan
daya tahan ,daya tangkal dan daya saing bangsa yang kesemuanya tercermin pada
sikap tanggap dan sikap perilaku.Pembudayaan berarti mengusahakan agar
sesuatu itu menjadi budaya di masyarakat luas.Berkaitan dengan hal tersebut
diatas,maka yang ingin dicapai dalam adalah pembudayaan karakter bangsa yang
bersumber pada nilai-nilai luhur Pancasila yaitu:
1). Masyarakat yang memiliki kesadaran yang tinggi akan hak dan kewajiban
sebagai pribadi,anggota keluarga/masyarakat dan sebagai warga negara.
2). Sebagai pribadi dapat bersikap dan bertingkahlaku sebagai insan hamba
Tuhan,yang mampu mempergunakan cipta,rasa dan karsanya secara
tepat,sehingga dapat bersikap adil.Ia adalah seorang yangberiman dan
bertaqwa tetrhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
3). Sebagai anggota keluarga dan masyarakat ia mampu mendudukkan dirinya
secara tepat sesuai dengan fungsu dan tugasnya.
4). Sebagai warga negara diharapkan fahammakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,patuh
melaksanajan segala ketentuan peraturan perundangan yang didasarkan
atas kesadaran.Sebagai warga negara mampu membawa diri secara tepat
dalammberhubungan dengan sesama warganegara dan dengan lembagalembaga
kenegaraan
5). Sebagai tenaga pembangunan maka ia memahami prinsip-prinsip dasar
program dan pelaksanaan pembangunan,baik pembangunan di daerah
maupun pembangunan nasional.Ia paham apa yang selayaknya dikerjaakan
dan diutaamakan dalam menciptakan masyarakat yang adil sejahtera dan
bahagia.
file:///C:/Users/USER/Downloads/1185-Article%20Text-1604-1-10-20160716%20(1).pdf
1. MATERI
Dari aspek materi, strategi yang tepat bukan mengembangkan materi pembudayaan yang
akademis dan berat, tetapi materi yang ringan, komunikatif, mendudukkan generasi muda
sebagai subjek, yang pada satu sisi memiliki jangkar pada budaya dan sejarah bangsa, namun
pada sisi lain tanggap terhadap dinamika dan tuntutan perkembangan ekonomi, sosial, politik,
dan budaya. Hal tersebut tampak dalam hasil penelitian berikut ini:
• Generasi muda di era informatika cenderung pragmatis. Dengan demikian pendekatan teoretis
dengan argumentasi ilmiah yang ketat tidak tepat. Materi yang meski diajarkan sebaiknya
berorientasi pada praktek dan aplikasi butir-butir nilai Pancasila. Materi yang terlalu universal
sebagaimana dikembangkan dalam PPKn yang tidak fokus pada Pancasila, sudah saatnya
ditinjau kembali. Namun demikian seyogyanya ketika berbicara tentang Pancasila tidak secara
eksplisit menggunakan istilah Pancasila.
• Sila Pertama menjadi dasar sila-sila lainnya, namun jangan terjebak pada satu sistem nilai,
karena Pancasila ada lima sila. Nilai ketuhanan dan kejujuran perlu diangkat. Pengembangan
nilai Pancasila mesti bergayut dengan nilai-nilai lokal, namun juga tidak dilepaskan dari konteks
ekonomi dan sosial politik saat ini. Pancasila menjadi titik konvergensi bagi umat Islam.
• Adanya pergeseran pemahaman tentang Pancasila, terlihat tidak ada kebanggaan sebagai orang
Indonesia dengan Pancasila-nya. Perlu menjadikan kearifan lokal sebagai dasar pemahaman
Pancasila, yang dikembangkan melalui dialog interaktif dan komprehensif dan
berkesinambungan, mendudukkan generasi muda sebagai subjek, dengan materi dikemas dalam
media populer (film, lomba, diskusi). Materi yang dikembangkan sebaiknya memperhatikan
stratifikasi materi sesuai dengan jenjang usia dan usia pendidikan. Pemberian contoh penting dan
dikemas secara baik.

2. METODE
Media (sarana, alat) untuk pembudayaan Pancasila secara garis besar dapat digolongkan menjadi
dua macam: formal dan non-formal. Formal melalui jalur pendidikan formal (sekolah) dari
tingkat terendah sampai yang tertinggi. Non-formal lewat jalur apa saja di luar pendidikan formal
—media massa, jejaring sosial, seni, lembaga sosial, lembaga adat, dan lembaga keagamaan.
a. Pembudayaan Pancasila melalui Pendidikan Formal
Pembudayaan Pancasila melalui lembaga pendidikan formal, bagaimanapun juga, sebagai sarana
yang paling efektif, karena pendidikan lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perubahan
perilaku manusia. Pendidikan formal sejauh ini sebagai satu sistem organisasi yang lebih teratur
dibandingkan dengan lembaga lain yang bersentuhan dengan pengubahan perulaku manusia.
Pendidikan formal, entah yang dikelola oleh negara maupun oleh lembaga swasta, tentu memiliki
organisasi, kurikulum, guru, tenaga administratif yang merupakan satu sistem yang bersentuhan
langsung dengan anak didik. Pancasila sejauh ini sudah dibudayakan lewat pendidikan formal,
yaitu melalui PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), namun mata pelajaran PPKN
ini dirasa masih sangat kurang untuk penanaman nilai-nilai Pancasila lewat jalur pendidikan
formal. Berbagai pihak merasakan ada mata rantai yang putus selama ini antara generasi sebelum
Zaman Reformasi dengan generasi sesudah Zaman Reformasi. Kerinduan kepada Pancasila
untuk dapat diajarkan kembali dari strata pendidikan yang paling rendah hingga yang paling
tinggi terungkap di setiap tempat FGD dilaksanakan.
Dalam penelitian ini juga ditemukan data bahwa Guru di dalam mentransfer pengetahuan kepada
anak didiknya, tentunya harus menggunakan media yang bervariatif: pelajaran di kelas, pelajaran
di lapangan, memutar film yang kesemuanya untuk mengurangi rasa kejenuhan. Karena dalam
kejenuhan orang sulit untuk diajak mengingat, menghafal apalagi untuk berpikir. Jadi dapat
disimpulkan bahwa Pendidikan formal lah sebagai sarana, cara, wahana, metode yang paling
memungkinkan untuk penanaman nilai-nilai Pancasila. Hanya saja diperlukan kreativitas guru,
tentunya desuaikan dengan prasarana yang tersedia, agar pembelajaran moralitas Pancasila dapat
berlangsung sesuai dengan yang diharapkan.

b. Pembudayaan Pancasila melalui Media di Luar Pendidikan Formal


Generasi muda sekarang sangat akrab dengan teknologi komunikasi: internet dan hand phone.
Banyak sekali keuntungan positif yang diperoleh dengan pemakaian dua alat komunikasi
tersebut: informasi dapat diakses dengan mudah kapan saja dan di mana saja. Namun alat
tetaplah alat, yang penting adalah “the man behind the gun”, sarana tetaplah sebagai sarana
seandainya pun dapat menjadi tujuan hanyalah tujuan antara, bukan tujuan akhir. Internet dan
hand phone dengan segala fungsinya, tidak diragukan, dapat digunakan sebagai sarana yang
efektif bagi pembudayaan nilai-nilai Pancasila bagi generasi muda.
Di samping kedua alat tersebut di atas, masih ada alat komunikasi lain yang relatif lebih tua:
koran, majalah, tabloid, jurnal, radio, televisi, pertunjukan seni live, yang lebih cenderung ke
“one way traffic communication”, komunikasi satu arah. Generasi muda selain menggunakan
internet dan hand phone masih “banyak” juga yang membaca koran, majalah, tabloid, jurnal;
masih ada banyak yang mendengarkan radio, menonton televisi; melihat pertunjukan seni.
Ada lagi yang tidak dapat dinafikan eksistensi dan perannya: pemuka masyarakat, tokoh agama,
tokoh adat, lembaga kepemudaan, lembaga sosial masyarakat, paguyuban seni tradisional
maupun kelompok kesenian modern. Mereka masing-masing dapat diikutsertakan di dalam
pembudayaan Pancasila untuk generasi muda. Karena, setiap individu manusia dilahirkan dalam
lingkungan budaya tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung akan bersentuhan
dengan individu dan lembaga yang ada di sekitarnya.

3. MEDIA
Dalam penelitian ini tidak ada perbedaan yang signifikan pada pembudayaan Pancasila baik di
desa maupun di Kota. Artinya bahwa generasi muda di desa dan kota memiliki kecenderungan,
pemahaman, dan akses yang sama “mudah” terhadap teknologi. Dari hasil penelitian diperoleh
data pemanfaatan media sebagai berikut:
a. Media Massa
Sebagian besar data menunjukkan bahwa media pembudayaan Pancasila melalui media
elektronik, yang paling diinginkan adalah melalui televis dengan bentuk yang bermacam-macam
seperti: Program dengan kemasan serius, santai dan hiburan, advertorial: Iklan yang kreatif, iklan
layanan masyarakat yang disesuaikan dengan isyu-isyu kepemudaan. Meski demikian ada pula
yang mengusulkan agar pembudayaan pancasila juga melalui media Cetak.

b. Media Budaya
Pemanfaatan media budaya juga bisa dijadikan alernatif pembudayaan misalnya dengan
menumpang pada budaya-budaya lokal yang sedang dipertunjukkan,kesenian namun semuanya
harus dibuat simple dan sesuai dengan minat generasi muda saat ini, melalui lagu semisal Garuda
di dadaku.

c. Media Agama
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religious, untuk itu media/lembaga
keagamaan bisa dimaksimalkan. Contohnya adalah kunjungan ke pesantren/greja moderat, Jika
di Bali ada Megibung, metirta yadva (sembahyang ditempat suci)

d. Internet
Internet merupakan salah satu media pembudayaan yang paling favorit dibandingkan dengan
media yang lain. Disamping itu diinternetpun banyak alternative pilihan yang bisa dimanfaatkan,
misalnya: (1) Menggunakan social media seperti YM, Facebook, Twitter, blog; (2) Game online
seperti “revolution” atau game-game simple seperti yahoo games, google chrome, facebook, dll.
Game ini muatannya bisa diganti dengan nilai-nilai Pancasila sehingga tidak membosankan dan
mudah dicerna

f. Komunitas
Keberadaan komunitas/kelompok masyarakat juga bisa dijadikan alternatif pembudayaan,
Misalnya organisasi pemuda, pramuka , kelompok hobi, semuanya dapat digunakan sebagai
sarana penanaman nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda. Bahkan ada yang mengutarakan
perlu diadakan penataran Pncasila pada ormas pemuda yang ada.

h. Media Lokal
Potensi lokal yang sangat beragam yang dimilikioleh masyarakat Indonesia juga layak
menadapatkan perhatian. Ada beberapa jalan yang bisa di tempuh yakni dengan
merekonstruksi/menggali cerita rakyat/dongeng/mitos-mitos nusantara, lalu menarik benang
merahnya pada nilai-nilai Pancasila, menggunakan bahasa dan nilai-nilai lokal lebih cocok untuk
pembudayaan Pancasila, kegiatan bakti social.
Salah satu temuan di makasar adalah:
Tudang Sipulung (Musyawarah Tudang Sipulung merupakan budaya asli masyarakat Sidenreng
Rappang yang telah mentradisi sejak jaman dulu. Menurut pallontara (tokoh tani tradisional),
Tudang Sipulung dimulai sejak abad ke-15 yang dibudayakan oleh La Pagala Nene’ Mallomo,
legenda orang Sidrap. Sedangkan Tudang Sipulung modern (era teknologi), mulai dikembangkan
di daerah tahun 1974. Makna tudang sipulung, urainya, mencari kesepakatan secara terpadu,
yang tak lain bertujuan sebagai bagian dari upaya meningkatkan produktivitas pertanian,
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam usaha pertaniannya.)

Selain berbagai media di atas masih ada pula beberapa media yang bisadijadikan sarana yakni
melalui spanduk, baliho, maupun banner. Akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah peran
dan dukungan pemerintah dalam membudayakan Pancasila. Misalnya perlu adanya political will
dari pemerintah melalui pembuatan dan pengaturan kelembagaan untuk mempertahankan
Pancasila yang disesuaikan dengan kondisi dan membuat perangkat dan kesepakatan politik yang
di elementasikan melalui undang-undang, perda dan peraturan-peraturan, sebagai bentuk
legalisasi

4. LINGKUNGAN KOMUNIKASI
Beberapa temuan penting yang menyangkut gambaran lingkungan komunikasi yang dapat
mempengaruhi persepsi dan penerimaan generasi muda terhadap Pancasila, sebagai berikut:
Pertama, generasi muda memandang bahwa lingkungan komunikasi berperan penting untuk
menentukan keberhasilan materi dan metode pembudayaan nilai Pancasila. Pilihan materi dan
metode yang digunakan haruslah dikaitkan dengan konteks realitas lingkungan kehidupan dan
penghidupan generasi muda.
Kedua, generasi muda memiliki persepsi bahwa lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
sering menjadi referensi yang efektif bagi mereka untuk mengadopsi nilai-nilai, termasuk
kemungkinan nilai Pancasila.
Ketiga, terlepas dari daerah tempat tinggalnya, generasi muda cenderung menghindari
lingkungan yang mengungkung atau mendikte; sebaliknya atmosfir kebebasan untuk
memberikan interpretasi atas nilai bersama menjadi tuntutan di dalam proses pembudayaan
Pancasila.
Keempat, lingkungan yang mampu memproduksi dan mereproduksi keteladanan menjadi
harapan sekaligus tuntutan generasi muda untuk menarik minat dan kesetiaan mereka
menjalankan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Kelima, lingkungan primer (keluarga), sekunder (sekolah) dan tersier (masyarakat) memainkan
peran penting di dalam proses pembudayaan Pancasila. Pada setiap lingkungan ini terjadi
penurunan derajat peran strategis untuk menampilkan nilai Pancasila sebagai anutan bersikap
dan bertindak.
Keenam, lingkungan komunikasi yang efektif untuk membudayakan nilai Pancasila harus
mampu memadukan fungsi-fungsi pendidikan pada tiga pilar (keluarga-sekolah-masyarakat),
yang didukung oleh kebijakan, keteladanan, dan kejujuran.
Ketujuh, lingkungan komunikasi tidak steril dari pengaruh globalisasi dan teknologisasi yang
secara dramatis mengubah gaya hidup. Generasi muda berhadapan dengan, namun tidak mampu
membendung daya tarik nilai kedua elemen ini, sehingga sulit menginternalisasi nilai Pancasila
dalam hidup sehari-hari.
https://heroidyel.wordpress.com/2012/01/05/pembudayaan-pancasila-pembangunan-karakter-
bangsa/

Anda mungkin juga menyukai