Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

BIOETIKA

KLONING

OLEH :

KELOMPOK 6

AULYA NOVITA
FADHILA HUMAIRA
NURUL ‘IZZATI

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
KLONING

1. Pengertian Kloning

Kloning berasala dari kata Klon (Yunani) yang berarti: tunas. Dari bahasa

Yunani, kemudian masuk ke bahasa Inggris menjadi Clone (kata kerja: mengklon).

Kata kloning selama ini sudah dipergunakan dalam banyak bidang yang secara umum

dipergunakan untuk menunjukkan cara reproduksi aseksual (reproduksi tanpa

hubungan seks), misalnya cara menanam singkong dengan setek (menyetek), atau

cara reproduksi sel dengan membelah diri. Selain itu kata kloning juga dipergunakan

untuk menunjukkan rekayasa genetika, ada juga yang menggunakannya dalam proses

yang disebut dengan ”twinning” (kembar), yakni bilamana sebuah sel telur yang

dibuahi opleh sebuah sela sperma dan dalam perkembangannya memecah diri menjadi

dua embrio atau lebih.

Dalam bioetika istilah kloning dipergunakan secara umum untuk menunjukkan

segala macam prosedur yang menghasilkan replika genetik yang sama persis dari

induk biologis, termasuk DNA sequence, sel atau organisme.

2. Sejarah Kloning

Seiring dengan kemajuan teknologi DNA, para ilmuwan telah mengembangkan

dan memperbaiki metode-metode untuk mengklon organisme multiseluler utuh dari

satu sel. Penggunaan teknologi kloning dapat menghasilkan satu atau lebih organisme

yang secara genetis identik dengan ‘induk’ yang mendonorkan sel tunggal. Ini sering

disebut dengan ‘kloning organisme’ (organismal cloning). Kata klon bermula dari

kata Yunani klon, yang berarti ‘ranting’. Percobaan pertama untuk mengklon

tumbuhan dan hewan telah dilakukan lebih dari 50 tahun lalu dalam sejumlah

percobaan yang dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan biologi yang


mendasar yang intinya adalah “apakah kloning organisme mungkin dilakukan?”

(Campbell & Reece, 2010).

Keberhasilan kloning tumbuhan utuh dari sel-sel tunggal yang telah

terdiferensiasi dicapai pada tahun 1950-an oleh F.C. Steward dan mahasiswa-

mahasiswanya di Cornell University yang meneliti tumbuhan wortel. Mereka

menemukan bahwa sel-sel terdiferensiasi yang diambil dari akar wortel dan

diinkubasi dalam medium kultur dapat tumbuh menjadi tumbuhan wortel dewasa

normal, yang identik secara genetis dengan tumbuhan induk (Campbell & Reece,

2010). Dalam kloning hewan, para peneliti dahulu harus menggunakan pendekatan

yang berbeda untuk menjawab pertanyaan “apakah sel-sel hewan yang telah

terdiferensiasi bisa menghasilkan organisme (hewan) utuh?” Pendekatannya adalah

dengan cara membuang nukleus (inti sel) sel telur yang belum maupun sudah

terfertilisasi dan menggantinya dengan nukleus dari sel yang sudah terdiferensiasi.

Prosedur ini disebut dengan transplantasi nukleus (nucleus transplantation). Jika

nukleus dari sel donor yang telah terdiferensiasi tetap menunjukkan kemampuan

genetik penuh, maka seharusnya nukleus itu mampu mengarahkan perkembangan sel

penerima menjadi semua jaringan dan organ organisme. Percobaan-percobaan

semacam itu dilakukan terhadap katak oleh Robert Brigg dan Thomas King pada

1950-an dan John Gurdon pada 1970-an (Campbell & Reece, 2010).

Selain mengklon katak, para peneliti juga telah mampu mengklon mamalia

dengan menggunakan nukleus atau sel dari berbagai embrio awal. Namun, saat itu

belum diketahui apakah nukleus dari sel yang telah terdiferensiasi penuh dapat

diprogram-ulang agar bisa bertindak sebagai nukleus donor. Akan tetapi, pada 1997,

sejumlah peneliti Skotlandia menyita perhatian media ketika mengumumkan

kelahiran Dolly, anak domba yang diklon dari domba dewasa melalui transplantasi
nukleus dari sel yang telah terdiferensiasi. Analisis yang dilakukan setelahnya

menunjukkan bahwa DNA kromosom Dolly memang identik dengan induk yang

mendonorkan nukleus. Pada 2003, saat berusia 6 tahun, Dolly menderita komplikasi

akibat penyakit paru-paru yang biasanya hanya terjadi pada domba yang jauh lebih

dewasa, dan akhirnya dieutanasia. Kematian prematur Dolly dan juga artritis (radang

paru-paru) yang dideritanya, menimbulkan spekulasi bahwa sel-selnya tidak sesehat

sel domba yang normal (Campbell & Reece, 2010).

Pada tahun 1997 itu para peneliti telah mengklon banyak mamalia lain, antara

lain mencit, kucing, sapi, kuda, bagal, babi, dan anjing. Pada sebagian besar kerja

kloning tersebut, tujuannya adalah pembuatan individu baru. Prosedur ini dikenal

sebagai kloning reproduktif (reproductive cloning). Dari hasil-hasil percobaan itu,

ditemukan bahwa hewan hasil klon dari jenis (species) yang sama tidak selalu terlihat

atau berperilaku identik, misalnya ditemukan pada sapi dan kucing.


Kucing pertama hasil kloning di China

Selain itu, jika kita perhatikan manusia yang kembar identik, yang merupakan

‘klon’ yang terjadi secara alamiah, sifatnya selalu agak berbeda. Jelaslah, pengaruh

lingkungan dan fenomena acak pada kromosom dapat memainkan peranan yang

signifikan selama fase perkembangan. Selanjutnya, dalam sebagian besar penelitian

transplantasi nukleus ini, hanya ada sebagian kecil embrio hasil klon yang

berkembang secara normal sampai lahir. Seperti Dolly, banyak hewan hasil klon

tersebut yang menunjukkan kecacatan. Misalnya mencit hasil klon rentan obesitas,

pneumonia, gagal hati, dan kematian prematur. Para ilmuwan menyatakan bahwa

hewan klon yang tampaknya normal sekali pun kemungkinan memiliki cacat yang

samar (Campbell & Reece, 2010).


3. Macam-Macam Kloning

1. Kloning DNA (DNA Cloning)

Dikenal dengan sebutan molecular cloning, recombinant DNA technology, dan

gene cloning. Materi biologi yang di-clone dalam proses DNA cloning adalah DNA

itu sendiri. DNA cloning adalah jenis cloning yang paling sederhana
2. Kloning Kesehatan (Terapeutic Cloning)

Proses kloning jaringan (tissue) maupun organ, di mana hasil clone tissue/organ

tersebut hanya akan digunakan untuk keperluan terapi medis.Diawali dengan proses

somatic cell nuclear transfer (SCNT), di mana nukleus (inti sel) dari ovum (sel telur)

diganti dengan nucleus dari sel somatik yang akan di-clone (induk). SCNT terdiri dari

3 tahap, yakni melenyapkan/membuang nukleus ovum, mengambil nukleus somatik,

menaruh nukleus somatik tersebut ke dalam ovum yang telah tak bernukleus.

3. Kloning Reproduksi (Reproductive Cloning)

Proses membuat organisme baru (clone) di mana DNA clone tersebut memiliki

identitas yang sama dengan DNA induknya. Proses yang digunakan dalam

reproductive cloning adalah sama dengan proses therapeutic cloning, akan tetapi

embrio yang terbentuk tersebut dibiarkan berkembang di dalam rahim (surrogate

mother).

4. Manfaat Kloning

Ada beberapa manfaat kloning bagi dunia bioteknologi, yakni:

1. Memproduksi organ tubuh untuk keperluan transplantasi

Permasalahan suplai organ yang kurang untuk transplantasi menjadi sangat mendesak

untuk diselesaikan pada masa sekarang ini. Kekurangan organ transplantasi menjadi

perhatian serius para ahli. Misalnya, jenis penyakit leukimia tertentu yang hanya

dapat disembuhkan secara total dengan cangkok sumsum tulang belakang. Kloning,

karenanya menjadi sumber alternatif yang cukup memungkinkan untuk produksi

sekaligus suplai organ tubuh.

2. Menghindarkan atau menolak penyakit

Terdapat banyak sekali penyakit keturunan yang diturunkan dari orang tua ke anak

yang diakibatkan oleh tidak normalnya gen yang dimiliki oleh orang tuanya. Baik
yang terkandung di dalam nukleus (inti sel) maupun diluarnya, misalnya mitokondria

– struktur-struktur kecil yang berfungsi sangat krusial di luar nukleus. Problem

penyakit keturunan akibat gen yag tidak normal ini dapat dipecahkan dengan praktek

kloning. Melalui cara membuang mitokondria dari sel telur yang mengandung

abnormalitas gen tersebut dan memasukkannya nukleusnya ke dalam sel telur yang

sehat, mitokondrianya dikembangkan didalamnya sebelum akhirnya diimplantasikan

ke dalam rahim.

3. Menciptakan manusia unggul

Tujuan ini lebih didasarkan pada keinginan atau impian untuk memperoleh

ras/manusia unggul. Contoh keinginan untuk mengklon Einstein. Meskipun demikian,

hingga saat ini banyak para ahli sangat meragukan efektivitas dari dari metode ini,

seandainya Einstein dapat diklon, apakah klonnya dapat memiliki kejeniusan

layaknya Einstein? Sebab, hingga saat ini otak tidak dapat diklon. Terlebih, pengaruh

lingkungan, pendidikan, gizi dan sebagainya, sangat mempengaruhi tingkat

kecerdasan manusia.

4. Seleksi jenis kelamin

5. Memecahkan masalah reproduksI (tidak dapat memiliki keturunan)

6. Menyediakan bahan riset

7. Immortalitas (ingin tetap abadi)

8. Bisnis para ahli bioteknologi

5. Persepsi Masyarakat terhadap Kloning Manusia


Pada saat maraknya isu kloning manusia sekitar tahun 1997, berbagai reaksi

masyarakat Indonesia terungkap dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh

KONPHALINDO di Jakarta pada Juni 1997. Dr. dr. Theodorus Immanuel Setiawan

dalam makalahnya tentang “Perkembangan Teknologi Kloning dan Kaitannya dengan

Etika Kedokteran” mengemukakan bahwa tujuan kloning manusia terutama untuk

mengabadikan atau melahirkan manusia unggul baik secara fisik dan mental. Namun,

Setiawan memperingatkan sisi negatif teknologi kloning pada manusia bisa menjadi

berbahaya, jika jatuh ke tangan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab terhadap

aspek kemanusiaan dan lingkungan (Lani dalam Widayanti dan Krishnayanti, 2003).

Etika kedokteran tidak menghalangi seseorang yang ingin mengkloning dirinya.

Akan tetapi seorang dokter harus menyediakan informasi yang adekuat dan

pertimbangan yang tidak mengikat kepada pasiennya agar dapat mengambil

keputusan yang bijaksana bagi dirinya. Bagaimana dengan perlindungan terhadap

manusia hasil kloning yang kelak akan lahir? Etika biomedik dengan tegas
menyatakan bahwa manusia hasil kloning adalah sama kedudukan dan martabatnya

dengan manusia hasil reproduksi seksual. Karena itu, tindakan mengeksploitasi

manusia hasil kloning untuk kepentingan manusia lain harus dikecam (Lani dalam

Widayanti dan Krishnayanti, 2003).

Hari Hartiko, Ph.D. dalam makalahnya “Kloning pada Tumbuhan, Hewan dan

Manusia dan Kaitannya dengan Etika Lingkungan” mempertanyakan landasan yuridis

jika kloning manusia diperkenankan. Ia mencemaskan jika penggandaan manusia

secara massal yang semula diharapkan dapat meningkatkan kualitas manusia justru

mengubah perilaku suatu bangsa menjadi tidak terkendali.

Semiawan, dkk. (1988) berpendapat bahwa teknologi kloning manusia memiliki

aspek postif, yaitu:

a) dapat mempertahankan eksistensi manusia-manusia “super” dalam berbagai

bidang keahlian dan keilmuan yang juga dilengkapi dengan sifat-sifat luhur terhadap

kesejahteraan sesama manusia,

b) .munculnya kembali makhluk-makhluk yang sudah musnah atau baru saja

mati. Sedangkan aspek negatifnya adalah: akan muncul manusia-manusia yang

seragam, dan keseragaman bukanlah ciri makhluk hidup yang tinggi tingkatannya,

c) terdapat keseragaman daya tahan tubuh pada manusia hasil kloning yang dapat

terancam punah jika berjangkit wabah penyakit.

6. Kloning Menurut Pandangan Ulama

Pada tanggal 28 Juni–3 Juli 1997, ulama sedunia bertemu di Makkah al-

Mukarramah dalam kegiatan seminar bertemakan “Islamic Fiqh Academy” dengan

topik utama meninjau kedudukan dan hukum kloning dalam syariat Islam. Seminar

tersebut dihadiri oleh 125 orang meliputi para fuqaha dan pakar bioetik dari penjuru

dunia. Secara aklamasi diputuskan bahwa kloning terhadap hewan dan tumbuhan
diperbolehkan, sedangkan kloning terhadap manusia diharamkan (Daulay, 2012).

Selanjutnya larangan tentang kloning manusia dikeluarkan oleh jawatan kuasa Fatwa

Majelis Kebangsaan Malaysia pada 11 Maret 2002 melalui keputusan mudzakarah

yang ke 51 yang menetapkan bahwa: (1) Untuk tujuan apapun kloning manusia adalah

haram, karena bertentangan dengan fitrah kejadian manusia, sebagaimana yang

ditentukan oleh Allah SWT, dan (2) Penggunaan stem cells dengan tujuan medis

diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan hukum syara’ (Sudjana, 2015).

7. Problem Etis Kloning

1. Manusia adalah manusia (memiliki hak hidup tanpa proses artifisial)

Dalam satu dasawarsa ini, banyak sekali perdebatan tentang kapan sebuah embrio

dapat dikatakan sebagai manusia dan mendapatkan perlindungan hukum dan moral.

Beberapa berpendapat bahwa manusia itu dibedakan dengan ciptaan lain karena

otaknya, maka sebuah embrio dapat diklasifikasikan ke dalam golongan manusia dan

oleh karenanya emndapatkan perlindungan hukum dan moral ketika telah terbentuk

jaringan pada otaknya tersebut (Kusmaryanto, 2001: 33) Sebagian lain berpendapat

bahwa embrio baru dmemperoleh perlindungan hukum dan moral ketika telah

menjadi individu manusia yang sempurna. Berdasarkan pada pengertian individu dari

bahasa latin: in + dividere (membagi), yang berarti tidak dapat dibagi lagi ke dalam

bagian-bagian lebih kecil. Kemanusiaan manusia bukanlah sesuatu yang ditambahkan

dari luar, melainkan sebagai sesuatu yang intrinsik, yang ada bersama adanya

manusia. Ia ada dan hilang bersama dengan ada dan hilangnya (matinya) manusia.

Singkat kata: Anak domba adalah anak domba dan anak manusia adalah anak

manusia. Tanpa merujuk terlebih dahulu kepada ajaran suatu agama tertentu pun, kita

telah mengetahui bahwa sel telur yang sudah dibuahi adalah manusia utuh, yang telah
ada informasi dan aspek-aspek genetisnya dan tinggal memerlukan waktu untuk

proses perkembangan lebih lanjut.

2. Martabat kehidupan manusia

Apa konsekuensi dari hak hidup sebagai hak mendasar bagi manusia? Dalam kloning,

kita berhadapan dengan embrio yang juga merupakan ”manusia” sehingga ia tidak

dapat dikorbankan dengan dalih apa pun tanpa persetujuan dari orang yang

mempunyai hidup itu, yakni tanpa izin dari si embrio itu sendiri.

3. Persinggungan dengan masalah teknik (teknologi)

Problematika teknik yang selalu berhubungan dengan harkat dan martabat manusia

adalah: tidak semua teknik yang mungkin selalu valid secara moral.Jangan sampai

teknik (teknologi) yang keberadaannya dimaksudkan untuk meningkatkan harkat dan

martabat manusia justru merusaknya. Salah satu keberatan terhadap kloning dalam hal

ini adalah masalah teknik. Sampai saat ini, teknik yang dipakai sangat tidak aman

untuk manusia dan sangat tidak efektif. Terdapat banyak kemungknan kegagalan

dalam proses kloning, seperti kasus yang terjadi pada kloning domba Dolly. Dengan

kata lain dapat dikatakan kloning adalah tidak etis karena hasil yang akan dicapai

melaluinya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kerusakan yang akan

dihasilkan oleh teknik kloning tersebut.

4. Risiko kesehatan

Karena teknik (teknologinya) yang belum aman, maka akan sangat berimplikasi

terhadap kesehatan olah orang yang lahir melalui praktek kloning ini. Kesalahan fatal

yang dapat diakibatkan oleh kloning dapat mengakibatkan cacat atau penyakit

keturunan seumur hidup. Tidak sebanding dengan upaya untuk menghindari penyakit

dengan melakukan proses kloning tersebut.

5. Hak manusia untuk lahir secara natural


6. Identitas individu dan keunikannya

7. Kebebasan manusia vis a vis kesalahannya

Manusia yang diklon adalah manusia yang tidak memiliki kebebasan secara utuh,

dalam arti kebebasan bertindak menurut pertimbangan akal budi dan kehendaknya.

Manusia hasil klon tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.

Karena ia bertindak tidak atas kehendaknya sendiri, melainkan ia dipakas untuk

bertindak demikian.

8. Masalah ketidakadilan sosial

DAFTAR PUSTAKA

Campbell, N. A., & Reece, J. B. (2010). Biologi (ed. ke-8, jilid 1). Jakarta : Penerbit

Erlangga

Daulay, S. (2012). Kloning Manusia Dalam Perspektif Etika dan Agama. Diakses dari

http://salehdaulay.com/index.php/riset/item/131-kloning-manusia-dalam-perspekt

if-etika-dan-agama (Diakses pada tanggal 21 Maret 2020).

Semiawan, C. R. (2005). Panorama Filsafat Ilmu: Landasan Perkembangan Ilmu

Sepanjang Zaman. Bandung : Teraju.


Semiawan, C. R., Putrawan, I. M., & Setiawan, T. I. (1988). DimensiKkreatif dalam

Filsafat Ilmu. Bandung : Remadja Karya.

Sudjana. (2015). Aspek hukum penggunaan deoxyribonucleic acid (DNA) pada

proses kloning embrio manusia. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 6(3):145-

159.

Suhartono, S. (2008). Filsafat ilmu pengetahuan: Persoalan eksistensi dan hakikat I

lmu pengetahuan. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.

Suryanti, Evi. 2011. Tinjauan Etika terhadap Kloning Manusia. Jurnal Ilmiah Multi

Sciences, Vol. 11 No. 1.

Widayanti, H., & Krishnayanti, I. N. 2003. Bioteknologi: Imperialisme modal &

kejahatan globalisasi. Yogyakarta : INSIST Press

Anda mungkin juga menyukai