Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH MODUL XVII : KULIT DAN

JARINGAN PENUNJANG

SKENARIO 1 “SAKIT KULIT”

Oleh :

Indah Quadri Novela (71180811139)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA

2018/2019
Lembar Penilaian Makalah

NO Bagian yang Dinilai Skor Nilai


1 Ada Makalah 60
2 Kesesuaian dengan LO 0 – 10
3 Tata Cara Penulisan 0 – 10
4 Pembahasan Materi 0 – 10
5 Cover dan Penjilidan 0 – 10
TOTAL

NB : LO = Learning Objective Medan, 19 November 2020


Dinilai Oleh :

Tutor

(Prof. Dr. dr. H. M. Thamrin Tanjung, Sp.OG (K))


KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama ALLAH SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Saya ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah “Modul 17 penglihatan skenario
1”. Makalah ini telah saya susun dengan semaksimal mungkin dan juga dapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Atas dukungan moral
dan materi yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. dr. Dewi Pangestuti, M.Biomed yang telah memberikan fasilitas materi Prinsip Dasar
Penatalaksanaan Kelainan Sistem Integumen.
2. dr. Siska Anggreni Lubis, Sp.KK, MPdKed, FINSDV yang telah memberikan materi
pembelajaran Diagnose and Treatment of Skin Pigmentosus.
3. dr. Suryani Eka Mestika, Sp. PA yang telah memberikan materi pembelajaran
Histopatologi Kelainan Kulit.
4. dr. Ira Cinta Lestari, M.Sc yang telah memberikan materi pembelajaran Histologi
Kulit dan Jaringan Penunjang .
5. Prof. Dr. dr. H. M. Thamrin Tanjung, Sp.OG (K) selaku tutor yang membimbing
jalannya SGD 3.
Saya menyadari sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan baik
dari susunan kalimat, tata bahasa, maupun pembahasannya dan hanya kepada Allah kita harus
memohon petunjuk karena Ialah yang mencukupi akal dan pikiran serta daya dan upaya untuk
membentuk sebuah makalah ini. Akhirnya penulis berharap banyak agar makalah ini bisa
bermanfaat untuk seluruh pembaca atau kalangan umum lainnya. Baik pelajar, mahasiswadan
umum. Maka dari itu, saya dari kelompok SGD 3 sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari teman-teman dan pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki
kesalahan-kesalahan dalam makalah selanjutnya. Atas perhatian pembaca saya ucapkan
terimakasih. Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat bagi kita semua. “Aamiin!”

Medan, 19 November 2020


DAFTAR ISI

Lembar Penilaian Makalah ......................................................................................... i


Kata Pengantar .................................................................................................................... ii
Daftar Isi ........................................................................................................................ iii

BAB 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 1
1.4 Skenario ................................................................................................................... 2

BAB II
PEMBAHASAN...................................................................................................................... 3
2.1 Definisi urtikaria ...................................................................................................... 3
2.2 Epidimiologi urtikaria .............................................................................................. 3
2.3 Etiologi urtikaria ...................................................................................................... 3
2.4 klasifikasi urtikaria ................................................................................................... 4
2.5 Patogenesis urtikaria ................................................................................................. 9
2.6 Manifestasi klinis urtikaria ........................................................................................ 10
2.7 Diagnosis urtikaria .................................................................................................... 11
2.8 Diagnosis banding urtikaria ...................................................................................... 11
2.9 Pemeriksaan penunjang ............................................................................................. 13
2.10 penatalaksanaan urtikaria ........................................................................................ 14
2.11 Prognosis urtikaria ................................................................................................... 18
BAB III
PENUTUP...................................................................................................................... 24
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 25
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Urtikaria (biduran) adalah lesi kult yang banyak dikenal, yang menyerang setidaknya 25%
populasi. Urtikaria merupakan respon kulit dengan batas yang tegas, terjadi pada epidermis
superfisial, berupa urtika, yaitu lesi eritematous dan menonjol (1- 2 mm sampai beberapa cm) yang
timbul dan hilang dalam beberapa jam disertai rasa gatal yang hebat (Kabulrachman, 2002).
Data dari 7 rumah sakit di 5 kota besar di Indonesia pada tahun 2000 didapatkan 7 %
penderita urtikaria dari 7.638 kunjungan baru (Sundaru, 2001)). Urtikaria merupakan kelainan yang
sering dijumpai bahkan faktor yang dapat mempengaruhinya bermacam-macam. Urtikaria akut
berlangsung selama kurang dari 6 minggu, sedangkan urtikaria kronik berlangsung lebih dari atau
sama dengan 6 minggu, tetapi ada yang lebih dari satu tahun bahkan beberapa individu mengalami
gejala yang mengganggu seperti gatal selama berpuluh–puluh tahun (Wibowo, 2006).
Urtikaria baik akut maupun kronik yang disebabkan dan dipengaruhi oleh banyak faktor
memiliki angka kejadian yang cukup tinggi. Pasien dengan urtikaria akut dan kronik mengalami
penurunan kualitas hidup pasien akibat gatal yang berulang, kurang tidur, allergen dan kerugian dari
segi estetika. Sangat penting bagi peran apoteker dalam memantau terapi pengobatan pasien
urtikaria untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan melakukan pencegahan penyakit urtikaria.

1.2 Rumusan Masalah


1. Jelaskan definisi urtikaria ?
2. Bagaimana epidimiologi urtikaria ?
3. Bagaimana etiologi urtikaria ?
4. Jelaskan klasifikasi urtikaria ?
5. Bagaimana patogenesis urtikaria ?
6. Jelaska manifestasi klinis urtikaria ?
7. Bagaimana diagnosis urtikaria ?
8. Jelaskan diagnosis banding urtikaria ?
9. Jelaskan pemeriksaan penunjang urtikaria ?
10. Jelaskan penatalaksanaan urtikaria ?
11. Bagaimana prognosis urtikaria ?
1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan pembuatan makalah yaitu untuk mengetahui pengertian urtikaria dan
bentuk-bentuk dari urtikaria, dan juga agar dapat mengetahui penyebab gejala urtikaria dan
system pengobatan yang dapat dilakukan kepada penderita urtikaria
1.4 Skenario

SKENARIO –1
SAKIT KULIT

Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan gatal pada
daerah tangan dan kaki sejak 1 minggu ini. Pada awalnya keluhan berupa bercak merah yang
menyebar kemudian menjadi bentol merah. Bentol merah menjadi benjolan berisi cairan dan
nanah yang terasa sangat gatal 2 hari berikutnya. Setelah itu digaruk sehingga berubah
menjadi luka. Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai makula eritem, papula eritem,
vesikula, pustula dan ekskoriasi pada regio manus dan pedis. Dokter memberikan obat berupa
salep racikan dan tablet.
BAB II
ISI

2.1 Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai
dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat
dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.2

2.2 Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria (kronis, akut,
atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam hidup mereka. Chronic
idiopatic urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya. Insiden
urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden urticaria kronis tidak meningkat
pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria berdasarkan usia menunjukkan bahwa
urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering
terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya.4
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%) daripada laki-
laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi
urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota.
Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000 orang
mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada wilayah
dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000.8

2.3 Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab
urtikaria bermacam-macam, antara lain: 2
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun
non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan
urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik
langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat
kontras.2
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi
imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang,
udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.2
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih banyak
diperantarai oleh IgE ( tipe I ) dan tipe seluler ( tipe IV ).2
4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan
sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.2
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan
aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).2
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent
(penangkis serangga), dan bahan kosmetik.2
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan emosi
menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Dapat
timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam
kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.2
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus,
jamur, maupun infestasi parasit.2
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .2
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan
penurunan autosomal dominant.
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih
sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.2
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis daripada etiologi
karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau patogenesis urtikaria dan banyak
kasus karena idiopatik.3 Terdapat bermacam-macam klasifikasi urtikaria, berdasarkan
lamanya serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Klasifikasi urtikaria yang
lain tampak pada tabel 1.3,9
Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria
Ordinary urticarias
Acute urticaria
Chronic urticaria
Contact urticaria
Physical urticarias
Dermatographism
Delayed dermatographism
Pressure urticaria
Cholinergic urticaria
Vibratory angioedema
Exercise-induced urticaria
Adrenergic urticaria
Delayed-pressure urticaria
Solar urticaria
Aquagenic urticaria
Cold urticaria
Special syndromes
Schnitzler syndrome
Muckle-Wells syndrome
Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy
Urticarial vasculitis

1. Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau berlangsung
selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.2 Lesi individu biasanya hilang dalam <24 jam,
terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan atopi. Sekitar 20%-30%
pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau rekuren.3
2. Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu 2, pengembangan
urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6 minggu dengan
setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat mengganggu
kesehatan terkait dengan kualitas hidup.3
3. Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di tempat di mana
agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa. Urtikaria kontak dapat dibagi
lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau non-alergi (IgE-independen).3
4. Urtikaria Fisik
a. Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan merupakan suatu
edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang tepinya eritem yang
muncul beberapa detik setelah kulit digores.9,10 Dermographism tampak sebagai garis
biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang sementara muncul secara cepat
dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi, kulit biasanya mengalami pruritus
sehingga bekas garukan dapat muncul.9

Gambar 1. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.9

b. Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa
immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul eritema
linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.9
c. Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering disertai
nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit. Episode spontan
terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah
berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan.9

Gambar 2. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.11


d. Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat berhubungan
dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena paparan vibrasi
okupasional seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena getaran-getaran
gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal dominan yang diturunkan dalam
keluarga. Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing pada wajah. 9,10
e. Cold urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter).
Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan dalam
temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Jarak antara paparan
dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi
episode adalah 12 jam.9

f.Cholinergic urticaria
Gambar 3. Cold Urticaria. 9
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic urticaria
terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan biduran bentuk
papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema sedikit
atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.9,10

Gambar 4. Cold Urticaria. 9

g. Local heat urticaria


Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam beberapa
menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul 5 menit setelah kulit
terpapar panas diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti terbakar, tersengat, dan
menjadi merah, bengkak dan indurasi. 9,10
h. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-kadang
angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar matahari atau
sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat
ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar
atau cahaya yang terlihat.9

Gambar 6. Solar Urticaria. 13

i. Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari pruritus,
urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang berbeda dari
cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise
sebagai stimulusnya. 9

Gambar 7. Exercise-induced anaphylaxis.14

j.Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo yang terjadi
selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran norepinefrin. Biasanya
muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus seperti emosional (rasa sedih),
kopi, dan coklat.9,10
k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria dan atau
pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa antigen-antigen
epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan
cholinergic urticaria.9,10

2.5 Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga
terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara
klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin,
slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau
basofil.2
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau
basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik mungkin
sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan
mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan
seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan
kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya
belum diketahui langsung.
Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat
langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan
alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas.2
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik;
biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc
bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga
mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis),
misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen
secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang
mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan
kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak
dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik,
dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema
angioneurotik yang herediter.

2.6 Manifestasi Klinis


a. Gejala
Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4
 Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.
 Biduran berwarna merah muda sampai merah.
 Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul seterusnya.
 Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare, muntah dan
nyeri kepala.
b. Tanda
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 2,4
 Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang bagian
tengah tampak lebih pucat.
 Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
 Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi, respiratory
distress, stridor, dan gastrointestinal distress.
 Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan, maka
merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan perubahan
pigmentasi.
 Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek tumpul dan
diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.
 Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.

2.7 Diagnosis
Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal dapat
bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik. 9
Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-alergi adalah sebagai
berikut: 4
 Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada makanan baru yang
ditambahkan dalam menu makanan?
 Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan obat baru? Jika iya,
apakah jenis obat tersebut?
 Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit kronik?
 Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas, dingin, tekanan, vibrasi?
 Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup atau kontak dengan kulit yang
mungkin timbul pada tempat kerja?
 Apakah biduran berhubungan dengan gigitan atau sengatan serangga?

Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi: 2, 9,18
 Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
 Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit, kadang-
kadang bagian tengah tampak pucat.
 Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.
 Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
 Dermographism.
2.8 Diagnosis Banding
1. Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan submukosa yang terjadi
pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat disebabkan oleh mekanisme
patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada angioedema mengenai lapisan dermis
yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus. Karakteristik dari angioedema meliputi
vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam daripada yang tampak pada
urtikaria, pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada
permukaan mukosa dari saluran nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus
menyebabkan nyeri abdomen berat), serta suara serak yang merupakan tanda paling awal
dari edema laring.9
2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai. Morfologi
khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipatan
kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat tersebar di seluruh tubuh,
terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa makula eritroskuamosa
anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian
sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan
kadang-kadang menyerupai gambaran pohon cemara. Lesi inisial (herald patch =
medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular, berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat
lebih dari 1 herald patch.7
3. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang
berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.
Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi
dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-
kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat juga berupa
nodula-nodula atau bahkan vesikel.7
4. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat atopi pada
dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis alergika, dan
reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi
faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit. Gejala utama
dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih
hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul papul,
likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi
harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.2
5. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang
menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu
alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada
yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosindan
eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan
mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.2,17

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada alat dalam. 2 Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat
untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan
seperti komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan
urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4
komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria. 19
Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.2
2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.2
3. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan tes kulit
invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent test-RASTs).
Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri (autologous serum skin test-
ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui
adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies. 20
4. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi memberi
hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini dipertimbangkan
secara hati-hati untuk menjamin keamanannya.18
a. Tes eleminasi makanan
Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk
beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.2
b. Tes foto tempel
Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.18
c. Suntikan mecholyl intradermal
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.2
d. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai adanya
alergi pada suhu tertentu. 2
5. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.2 Pada urtikaria
perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat perubahan epidermis. Pada
dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabut-serabut kolagen karena
dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di
papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu terdapat suatu
infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat
jumlahnya pada kulit yang bersangkutan.10
Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik. Beberapa
lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran limfosit,
polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.
Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon alergi fase
akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal memiliki
vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat keparahan
penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).4

2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line therapy, dan
third-line therapy.3
1. First-line therapy
First-line therapy terdiri dari: 3,4
a. Edukasi kepada pasien:
 Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak mengancam
nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika penyebab urtikaria
terkadang tidak dapat ditemukan.
b. Langkah non medis secara umum, meliputi:
 Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol, dan
agen fisik.
 Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
 Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
 Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2%.
c. Antagonis reseptor histamin
Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap. Pengobatan
dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah
diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Secara
klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek
antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali
berkaitan dengan efek samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya
terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H 1
tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.2
Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin,
aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan
mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai
efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan aztemizol dalam
waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung lebih lama
dibandingkan dengan AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah
pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai
antihistamin yang long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai
efek sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak.2
Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada beberapa
kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe H 2. Antagonis
reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya yang minimal pada
pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan
famotidine.3
2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line therapy harus
dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.
a. Photochemotherapy
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy, psoralen plus UVA (PUVA)
telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan peningkatan efektivitas
PUVA hanya dalam mengelola urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.
2. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis reseptor H 1 dan H2
dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai efek sedasi daripada
diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik. Doxepin dapat sangat berguna
pada pasien dengan urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin
untuk pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30
mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang
menunjukkan efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah
dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-pressure
urticaria pada dosis 30 mg/hari.3
3. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin gagal, bahkan
pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah. Dalam situasi seperti itu,
terapi urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak
berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya,
keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam
urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus
singkat dari kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa
tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan untuk
episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin. Kortikosteroid harus
dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan urtikaria kronis karena efek
samping kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan
hipertensi.3,4
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone, methylprednisolone,
dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi prednisolone untuk menghasilkan
efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2
dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari.
Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa
40-60 mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-anak
0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis). Methylprednisolone dapat
membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 4-48
mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4
dosis.4
4. Leukotriene Receptor Antagonist
Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan mempunyai respon
terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria kronis atau pada individu yang
sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton
menunjukkan keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan
pasien dengan urtikaria kronik.3
5. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan whealing pada pasien
dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan antihistamin.
Mekanisme nifedipin berhubungan dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast
kutaneus.3

3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon terhadap
first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen
immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate,
cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG).
Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun dari
urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone,
albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine,
dan warfarin.3
a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam mengobati pasien
dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari
menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik yang tidak
berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL setiap hari dapat
mengobati pasien dengan corticosteroid-dependent urticaria.3
Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen pasien
dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang terlibat tidak
jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang
bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan histamin atau
memperbanyak klirens IgG endogen.3
b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan urtikaria
autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk mencegah
akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan harus diselidiki dalam
hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy.3
c. Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola urtikaria
ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin paling berguna untuk
urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang
menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan dengan
respon yang baik pada hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun ß2-
adrenoceptor agonist terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik,
penggunaannya umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan
insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.3
Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal, namun
sayang sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun demikian, faktor
pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Kami menganjurkan bahwa pasien
dengan urtikaria akut ringan seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin H 1 non
sedatif. Pada pasien dengan urtikaria akut sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif
seharusnya juga menjadi terapi pilihan utama. Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan
secara adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka pendek seharusnya ditambahkan. Pada
pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang berat dengan gejala distress pernapasan, asma,
atau edema laring, pengobatan yang mungkin diberikan berupa epinefrin subkutan,
kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan antihistamin H1 intramuskuler.11

2.11 Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi, sedangkan
urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.2
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Pengobatan urtikaria dilakukan dengan pemberian antihistamin sebagai terapi utama dan
digunakan Cetirizin, kemudian digunakan kortikosteroid sebagai terapi tambahan pada pasien
dengan respon lemah terhadap antihistamin, pada contoh ini digunakan Prednox tab dan
Dexteem Plus. Terapi lain yang digunakan sebagai terapi tambahan adalah Caladine Lotion
dan Surbex Z.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 1 Mei 2012, dari
http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print
2. Djuanda, A. (2010). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.
4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 1 Mei 2012, dari
http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit. Surabaya
Plastic Surgery, Artikel. Diakses 2 Mei 2012, dari
http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-dan-
penyembuhan.html
6. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J
Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220.
7. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep,
Gambar. Diakses tanggal 1 Mei 2012, dari http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php
%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg
8. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal 1 Mei
2012, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf
9. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 1 Mei
2012, http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf
10. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
11. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema
dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.

Anda mungkin juga menyukai