Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

KEPERAWATAN GERONTIK
“Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Gangguan Sistem Integumen”

Dosen Pengampu :
Ns. Didi Kurniawan, M.Kep.Sp.Kom

Disusun Oleh :
Kelompok 4 (A 2018 2)

Ivan Dzaki Rif’at (1811125273) Tania Sepriani (1811113334)


Shasa Mirdana (1811125316) Tarikah Amalia (1811113615)
Shisi Gusnita (1811111717) Tasya Darmatatya (1811113102)
Silva Friscilla S (1811113153) Tasya Syahfa Islamic (1811113733)
Siska Afrilya Diartin (1811125091) Ulandari (1811110841)
Siska Aprianti (1811111314) Yanni Rizkia Amlina (1811112407)
Siti Nurjannah (1811110255) Yosheilla Nur Ishmah (1811125317)
Sonia Dewita (1811112485) Yossy Ramadhani (1811110734)
Suci Dwi Hidayanti (1811112507) Yurike Afriani (1811125312)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
Rahmat dan Karunia-Nya, kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan makalah
ini dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Gangguan
Sistem Integumen” untuk memenuhi tugas kuliah pakar yang diberikan oleh
dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Gerontik. Selain itu juga, makalah ini
diharapkan mampu menjadi sumber pembelajaran bagi kita semua untuk mengerti
lebih jauh tentang Asuhan Keperawatan Pada Lansia Dengan Gangguan Sistem
Integumen.
Makalah ini dibuat dengan meninjau beberapa sumber dan menghimpunnya
menjadi kesatuan yang sistematis. Terima kasih kami ucapkan kepada semua
pihak yang menjadi sumber referensi bagi kami. Terimakasih juga kepada dosen
pengampu dan semua pihak yang terkait dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca sekalian. Kami sebagai
penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Pekanbaru, 10 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Perubahan Sistem Integumen Pada Lansia..........................................
1. Definisi Sistem Integumen Pada Lansia............................................3

2. Etiologi Sistem Integumen Pada Lansia............................................3

B. Gangguan Integumen Xeroxis Pada Lansia........................................4


1. Definisi Xeroxis Pada Lansia............................................................4

2.Etiologi Xeroxis Pada Lansia..............................................................4

3. Patofisiologi Xeroxis Pada Lansia.....................................................7

4. Klasifikasi Xeroxis Pada Lansia........................................................7

5. Manifestasi Xeroxis Pada Lansia.......................................................8

6. Komplikasi Xeroxis Pada Lansia......................................................9

7. Pencegahan Xeroxis Pada Lansia......................................................9

8. Pemeriksaan Xeroxis Pada Lansia...................................................10

9. Penatalaksanaan Xeroxis Pada Lansia.............................................12

10. Asuhan Keperawatan Xeroxis Pada Lansia...................................13

ii
C. Gangguan Integumen Dermatitis Pada Lansia.................................22
1. Definisi Dermatitis Pada Lansia....................................................22

2. Etiologi Dermatitis Pada Lansia......................................................23

3. Patofisiologi Dermatitis Pada Lansia...............................................25

4. Klasifikasi Dermatitis Pada Lansia..................................................27

5. Manifestasi Dermatitis Pada Lansia.................................................28

6. Komplikasi Dermatitis Pada Lansia................................................28

7. Pencegahan Dermatitis Pada Lansia................................................29

8. Pemeriksaan Dermatitis Pada Lansia...............................................28

9. Penatalaksanaan Dermatitis Pada Lansia.........................................30

10. Asuhan Keperawatan Dermatitis Pada Lansia...............................31

BAB III PENUTUP............................................................................................44


A. Kesimpulan..........................................................................................44
B. Saran......................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................46

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh yang membungkus otot-otot dan organ-
organ dalam tubuh manusia dan kulit juga merupakan organ terluar yang terdapat pada
seluruh pemukaan tubuh. Oleh karena itu, kulit akan tersentuh oleh lingkungan eksternal
dan merupakan pertahanan terdepan begi tubuh. Kulit yang paling pertama terpengaruh oleh
perubahan-perubahan lingkungan. Perubahan pada kulit dapat terjadi karena perubahan
lingkungan, gangguan sistemik, dan gangguan dari kulit (integumen) itu sendiri (Brunner &
Suddarth, 2012)Lansia pada umumnya banyak mengalami penurunan akibat proses alamiah
dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi.
Permasalahan yang berkembang memiliki keterkaitan dengan perubahan kondisi fisik yang
menyertai lansia.

Perubahan kondisi fisik pada lansia yang turut menyertai menurunnya kesehatan
kulit terkait dengan semakin menurunnya kemampuan fungsional sehingga menjadi
tergantung kepada orang lain dalam kebiasaan higiene perorangan. Aktifitas sehari-hari
yang harus dilakukan oleh lansia ada lima macam yaitu makan, mandi, berpakaian,
mobilitas dan toiletif. Untuk memenuhi kebutuhan, lansia memerlukan pengetahuan dan
sikap yang dapat mempengaruhi kesehatan dan perilakunya dalam kemandirian pemenuhan
kebutuhan activity daily living (ADL) karena proses penuaan (aging). Kebiasaan tidak
bersih menyebabkan berbagai penyakit terutama pada kulit diantaranya dermatitis suatu
penyakit radang kulit yang kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel dan
luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi)
dan distribusi lesi spesifik.

Pada lansia dikarenakan terjadinya penurunan hidrasi kulit maka kejadian dermatitis
lebih banyak dialami oleh lansia daripada yang berusia lebih muda. Karena gejalanya yang
sangat mengganggu maka, dermatitis pada lansia dapat menurunkan kualitas hidup orang
tersebut. 1 Penurunan kadar hidrasi disebabkan karena penurunan produksi sebum,
penurunan produksi keringat, proses keratinisasi melambat, serta buruknya vaskularisasi.2,6
Salah satu dampak klinis yang ditimbulkan dari perubahan dan penurunan fungsi pada kulit
lansia ialah kekeringan kulit atau Xerosis. 6 Xerosis terjadi karena adanya penurunan kadar
air di stratum korneum pada lapisan epidermis kulit yang membuat deskuamasi yang
abnormal pada korneosit sehingga kulit menjadi kering, kasar, gatal dan juga bersisik.7,8
Kandungan air pada stratum korneum sangat penting dalam menjaga penampilan dan
tekstur kulit yang normal. Kadar hidrasi kulit pada stratum korneum dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu laju pengangkutan air dari dermis ke stratum korneum dan laju
kehilangan kadar air pada permukaan kulit. Hilangnya integritas fungsi dari sawar kulit
merupakan faktor utama yang membuat kondisi kulit yang kering.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Sistem Integument Pada Lansia?
2. Bagaimana Etiologi Sistem Integument Pada Lansia?
3. Apa Definisi Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia?
4. Bagaimana Patofisiologi Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia?
5. Bagaimana Klasifikasi Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia?
6. Bagaimana Manifestasi Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia?
7. Apakah Komplikasi Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia?
8. Bagaimana Pencegahan Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia?
9. Bagaimana Pemeriksaan Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia?
10. Bagaimana Penatalaksanaan Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia?
11. Bagaimana Asuhan Keperawatan Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Definisi Sistem Integument Pada Lansia
2. Mengetahui Etiologi Sistem Integument Pada Lansia
3. Mengetahui Definisi Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia
4. Mengetahui Patofisiologi Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia
5. Mengetahui Klasifikasi Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia
6. Mengetahui Manifestasi Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia
7. Mengetahui Komplikasi Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia
8. Mengetahui Pencegahan Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia
9. Mengetahui Pemeriksaan Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia
10. Mengetahui Penatalaksanaan Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia
11. Mengetahui dan Memahami Asuhan Keperawatan Xeroxis dan Dermatitis Pada Lansia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perubahan Sistem Integumen pada Lansia


1. Definisi Sistem Integumen pada Lansia

Perubahan pada sistem integument lansia meningkatkan kerentanan lansia


mengalami masalah kulit. Masalah kulit pada kaki yang umum terjadi pada lansia
diantaranya xerosis, pruritus, infeksi jamur (Voegeli, 2012).Menurut Reichel (2009),
penuaan pada kulit dikategorikan menjadi dua, yaitu penuaan instriknsik dan penuaan
ekstrinsik. Penuaan instrinsik adalah perubahan kulit yang terjadi akibat proses penuaan
secara kronologis atau normal. Sedangkan penuaan ekstrinsik merupakan perubahan kulit
yang disebabkan oleh faktor-faktor lain, seperti gaya hidup, diet radikal bebas, paparan
sinar UV, dan kebiasaan lainnya. Secara struktural, kulit yang tersusun atas tiga lapisan,
diantaranya epidermis, dermis dan jaringan subkutan akan mengalami perubahan akibat
bertambahnya usia. Selain itu, rambut, kuku, dan kelenjar keringat sebagai aksesoris kulit
juga mengalami perubahan.

Secara fungsional kulit juga akan mengalami perubahan akibat degradasi sel-sel
kulit. Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas tonjolan-
tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis tangan dan kaki.
Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi abnormal pada
terjadinya sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi pada area tubuh yang terpajan
sinar mata hari, biasanya permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah. Sedikit
kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan jaringan elastik,
mengakibatkan penampiln yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar
eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar eksokri dan kelenar sebasea.

2. Etiologi Sistem Integumen pada Lansia

Perubahan kulit yang terjadi pada lansia dapat disebabkan dari faktor instrinsik
dan ekstrinsik. Faktor instrinsik yang menyebabkan terjadinya perubahan kulit pada
lansia karena adanya proses penuaan dan perubahan biologis yang terprogram, sedangkan
faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi perubahan kulit pada lansia adalah

3
lingkungan seperti terpapar matahari dan polusi, gaya hidup dan kebersihan diri (Frage et
al, 2010 dalam voegeli, 2012).
Faktor instrinsik pada lansia dapat disebabkan karena adanya perubahan pada
fungsi dan struktur sistem integument. Hal ini terjadi karena adanya penurunan melanin
pada lapisan epidermis, sehingga terjadi penurunan respons perlindungan kulit terhadap
sinar matahari. Oleh karena itu, lansia berisiko tinggi untuk mengalami kerusakan kulit
akibat terpajan sinar matahari yang berlebihan.Sementara faktor ekstrinsik dapat
bersumber dari lingkungan dan kebersihan diri. Ketika kulit menjadi kering seiring
dengan penuaan, kelembaban yang rendah merupakan faktor predisposisi bagi lansia
mengalami pruritus yang diakibatkan oleh kulit yang kering.

B. Gangguan Integumen Xeroxis Pada Lansia

1. Definisi Gangguan Xeroxis pada Lansia

Xerosis cutis adalah istilah medis untuk kulit kering. Nama ini berasal dari kata
Yunani "Xero" yang berarti kering. Hal ini ditandai secara klinis dengan kulit yang kasar,
bersisik, dan kulit sering terasa gatal. Kulit kering disebabkan oleh kurangnya
kelembapan pada stratum korneum akibat penurunan kadar air. Kerusakan pada stratum
korneum menyebabkan kadar air dibawah 10% (Harinda, 2017).Kulit kering merupakan
keadaan stratum korneum yang kurang lembap akibat penurunan kandungan air. Kulit
tampak kasar, pecah-pecah, bersisik, dan gatal. Penyebab kulit kering tidak dipahami
dengan paripurna, sedangkan perubahan fisiologis kulit dan pengaruh lingkungan
diyakini menyebabkan kulit kering pada usia lanjut (Bianti, 2016).
Perubahan penting di epidermis terjadi pada lapisan paling superfisial, yaitu
stratum korneum. Stratum korneum terdiri atas korneosit dan substansi interseluler yang
tersusun seperti “batu bata dan semen”. Lipid interseluler yang berperan pada
pembentukan intercellular lamellar bilayer antara lain sfingolipid, sterol bebas, dan
fosfolipid. Lipid ini penting untuk memerangkap air dan mencegah kehilangan air
berlebih. Pada usia lanjut, lipid interseluler berkurang, mengakibatkan fungsi sawar
terganggu sehingga meningkatkan kerentanan usia lanjut terhadap bahan-bahan seperti
pelarut dan deterjen (Bianti, 2016)

2. Etiologi Gangguan Xeroxis pada Lansia

Penyebab kulit kering dipengaruhi oleh faktor endogen dan faktor eksogen.
a) Faktor endogen
4
1) Genetik
Sebagian besar kasus kulit kering disebabkan karena faktor herediter. Jika
keluarga memiliki garis keturunan kulit kering maka kemungkinan besar generasi
selanjutnya akan mengalami kulit kering.
2) Usia
Kulit kering dapat terjadi pada semua golongan usia. Namun, insidens dan
keparahan kulit kering meningkat dengan bertambahnya usia. Seiring
bertambahnya usia, kulit mengalami perubahan yang mengakibatkan berkurangnya
elastisitas, peningkatan kerapuhan dan perubahan respon imun. Pada usia lanjut,
penurunan deskuamasi dari korneosit dan retensi keratin menyebabkan kulit
menjadi kasar dan kering.
3) Jenis kelamin
Kulit kering sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki. Hal ini
disebabkan karena wanita memiliki kulit yang lebih tipis dan wanita lebih sering
menggunakan bahan-bahan iritatif serta melakukan perawatan kulit yang dapat
mengiritasi kulit. Sedangkan kulit pada laki-laki lebih tebal sehingga laki-laki
terlindungi dari paparan sinar UV.
Selain itu, keseimbangan hormon testosteron, estrogen dan progesteron pada
perempuan dan laki-laki juga berperan dalam produksi sebum. Pada wanita
menopause, produksi estrogen akan menurun sehingga kualitas kulit juga menurun
menjadi mudah rusak dan kering karena menurunnya kolagen pada dermis.
4) Penyakit kulit
Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi kulit kronis yang disebabkan
multifaktorial dengan kelainan genetik yang menyebabkan ketidakseimbangan
imunologi. Gejala awalnya adalah kulit kering dan pruritus yang parah. Selain itu,
penyakit kulit seperti psoriasis dan iktiosis vulgaris memberikan gambaran kulit
yang kering, bersisik dan mudah mengelupas.
5) Penyakit sistemik
Kulit merupakan gejala umum dari penyakit sistemik kronis termasuk
diabetes melitus, gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik, hipotiroid, keganasan,
dan infeksi HIV.
Pada hipotiroid mensintesis lipid yang abnormal dan dapat mengurangi
aktivitas kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Prevalensi kulit kering pada
diabetes melitus sekitar 30% dan dianggap sebagai akibat dari perubahan saraf dan
pembuluh darah dan bila terjadi neuropati, kelenjar keringat akan atrofi.
5
Kulit kering dan gatal merupakan salah satu gejala dari gangguan penyakit
hati dan ginjal. Telah dilaporkan prevalensi kulit kering pada penderita yang
mengalami hemodialisis pada gagal ginjal sekitar 66% dan sebanyak 50% orang
yang mengidap HIV mengalami kulit kering.
b) Faktor eksogen
1) Suhu dan kelembapan udara
Udara dingin menyebabkan elastisitas stratum korneum berkurang karena
lilin kulit diantara keratin lebih keras dan kokoh serta sekresi sebum berkurang.
Namun, ketika udara panas, kelenjar sebasea aktif mensuplai permukaan kulit
dengan minyak dan air sehingga tidak mudah mengering.
2) Pajanan bahan kimia
Terlalu sering terpapar bahan kimia seperti deterjen, sabun cuci dan cairan
pembersih lantai dapat mengakibatkan struktur lipid keratin dapat mengalami
proses denaturasi yang abnormal.
3) Radiasi sinar UV
Radiasi sinar UV yang tinggi dapat menyebabkan kulit kering, penuaan dini,
keriput dan kanker kulit. Hal ini disebabkan karena selsel kulit menyerap radiasi
dan memproduksi reactive oxygen species (ROS) yang dapat merusak DNA dan
dinding sel.
4) Polusi udara
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa polusi udara juga mempengaruhi
integritas kulit. Polusi udara seperti asap kendaraan bermotor akan memicu proses
kimia kompleks seperti proses oksidasi berupa radikal bebas yang bersifat
oksidatif. Radikal bebas ini akan memacu kerusakan DNA pada inti sel serta
memacu proses autoimun yang menyebabkan peradangan pada kulit sehingga kulit
menjadi kering.
5) Nutrisi
Kurangnya nutrisi seperti sayur, buah, suplemen dan kurangnya minum air
putih dapat mempengaruhi kondisi kulit. Protein yang terdiri dari asam amino
membantu pembentukan keratin dan kolagen. Kekurangan protein dapat
mempengaruhi kelembapan kulit. Air menjaga kelembapan kulit dari dehidrasi.
Bersama dengan vitamin E, vitamin C dapat membantu melindungi kulit dari
berbagai kerusakan akibat sinar matahari. Vitamin C juga berfungsi membentuk
kolagen untuk membentuk struktur kulit.

6
3. Patofisiologi Gangguan Xeroxis pada Lansia

Pada prinsipnya ada tiga mekanisme terjadinya kulit kering yaitu:


a) Kadar air menurun pada stratum korneum
Pada keadaan normal, air mengalir secara difusi dari dermis menuju ke
epidermis melalui dua cara yaitu melalui stratum korneum dan ruang interseluler.
Kulit secara terus-menerus akan kehilangan cairan secara difusi kemudian akan
menguap melalui stratum korneum dan ruang interseluler, keadaan ini dikenal dengan
transepidermal water loss (TEWL).
Stratum korneum merupakan barier hidrasi yang sangat penting dalam
mempertahankan kelembapan kulit. Bila daya pengikat air pada stratum korneum
menurun maka stratum korneum akan mengandung sedikit air sehingga menyebabkan
timbulnya skuama dan kulit kering.
b) Menurunnya faktor pelembap alami (Natural Moisturizing Factor)
Kulit mempunyai kemampuan untuk menyimpan kelembapan air sendiri yang
disebut dengan pelembap alami atau Natural Moisturizing Factor (NMF). Stratum
korneum terdiri dari 58% keratin, 30% NMF dan 11% lipid. NMF terdiri dari asam
amino bebas, urea, elektrolit garam dan fraksi gula. NMF memiliki peran yang penting
dalam mengatur kelembapan kulit. Jika NMF menurun akan mengurangi elastisitas
serta kelembapan kulit sehingga kulit menjadi kering.
c) Gangguan keratinisasi
Gangguan keratinisasi menyebabkan perubahan struktur dan kohesi korneosit.
Penurunan kadar air dalam stratum korneum pada kulit kering akan menyebabkan
gangguan deskuamasi abnormal pada korneosit

4. Klasifikasi Gangguan Xeroxis pada Lansia

Kulit kering dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :


a). Acquired dry skin
Ini dapat timbul pada kulit normal atau kulit berminyak yang menjadi kering
sementara dan bersifat lokal yang disebabkan oleh faktor faktor luar, diantaranya :
1). Radiasi matahari ( UV )
2). Pemaparan pada iklim yang ekstrim : panas, dingin, angin, dan kekeringan
3). Pemaparan pada bahan kimia : detergen, solvent
4). Terapi obat misalnya: retinoid
7
b). Constitutional Dry Skin
Tipe ini meliputi banyak jenis kulit kering yaitu dipengauhi oleh non patologik
dan patologik, di mana bentuk yang parah adalah bentuk patologik
1). Non Pathological skin
Tipe kulit kering konstitutional ini juga dipengaruhi oleh fakttor eksternal
yang telah disebutkan.
 Fragile Skin : adalah bentuk antara kulit kering dengan kulit normal dan
kebanyakan dijumpai pada wanita atau pada orang -orang dengan kulit
lembut, struktur baik. Sering dijumpai eritema, rosasea dan lebih sensitif
terhadap bahan bahan dari luar.
 Senile Skin : kekeringan terjadi pada kulit menua, dimana terjadi perubahan
pada semua level
 Minor dry skin ( xerosis vulgaris ) : hal ini mungkin berasal dari genetik,
umumnya dijumpai pada wanita dengan tampilan pucat. Xerosis terjadi
khsususnya pada wajah, punggung, tangan dan badan
2). Pathological skin
 Ichtyosis : pada kulit ini terjadi kerusakan keratinisasi secara genetik, dimana
bermanifestasi berupa deskuamasi abnormal, perubahan fungsi barier. Bentuk
lanjut penyakit ini mirip ichtyosis vulgaris
 Kulit kering pada dermatitis atopik : pada penyakit ini terjadi defek secara
genetik pada metabolisme dari asam lemak esensial (d-6 desaturase ), terlihat
xerosis yang luas disertai inflamasi, plaque like, dan rasa gatal.

5. Manifestasi Klinis Gangguan Xeroxis pada Lansia

Kulit kering memberikan beberapa gambaran karakteristik.


a) Karakteristik yang terlihat: kemerahan, permukaan yang kusam, kering, bercak putih,
gambaran berlapis-lapis, pecah-pecah dan juga fisura.
b) Karakteristik yang dapat diraba: kusam dan tidak rata.
c) Karakteristik sensori: terasa kering tidak nyaman, nyeri dan gatal.
Tanda-tanda objektif xerosis kutis meliputi kulit kering, bersisik, kasar, pudar dan
agak keabu-abuan (Gambar 1a). Selain itu, kulit ditandai dengan penurunan elastisitas,
tekstur kasar dan kerutan (Gambar 1b); eritema (Gambar 1c) dan celah (Gambar 1d) juga
dapat terjadi. Gejala subjektif termasuk perasaan sesak dan pruritus, yang juga dapat
dirasakan sebagai nyeri atau sensasi terbakar oleh beberapa pasien.
8
Xerosis kutis, khususnya bila dikaitkan dengan pruritus, menyebabkan penurunan
yang cukup besar pada kualitas hidup pasien. Sementara semua area tubuh umumnya
dapat terpengaruh, situs dengan kelenjar sebaceous yang lebih sedikit, seperti kaki bagian
bawah, lengan bawah, tangan dan kaki, biasanya lebih sering terkena (Augustin et al.,
2019).

6. Komplikasi Gangguan Xeroxis pada Lansia

a) Eczema xerotic
Dapat terjadi jika kulit menjadi sangat kering dan pecah -pecah dan menjadi inflamasi
b) Dermatitis numularis atau eczema discoid umumnya/cenderung pada kulit yang
xerosis.
c) Superinfeksi dengan bakteri akibat garukan.

7. Pencegahan Gangguan Xeroxis pada Lansia

Adapun pencegahan yang dapat dilakukan pada gangguan xeroxis pada lansia adalah

a) Pelembap adalah bahan topikal yang mengandung beberapa komponen dan berfungsi
mencegah atau memperbaiki kulit kering.
b) Perawatan kulit dasar yang terdiri dari 4 fungsi dasar utama, yaitu membersihkan
kulit, mempertahankan hidrasi kulit, melembabkan kulit, dan proteksi kulit.
c) Penanganan utama untuk melindungi kulit dan mencegah kerusakan kulit adalah
dengan penggunaan skin cleanser (pembersih kulit) dan cara mengeringkan kulit
yang tepat, serta penggunaan pelembap.
d) Proteksi terhadap sinar ultraviolet dari pajanan matahari berperan penting pada
perawatan serta pencegahan kulit menua.

9
8. Pemeriksaan Penunjang Gangguan Xeroxis pada Lansia

a) Tidak diperlukan pemeriksaan khusus

b) Pengukuran derajat kekeringan dapat dilakukan secara objektif dengan alat


pengukuran trans epidermal water loss guna follow up terapi

c) Penilaian terhadap kulit kering

Penilaian terhadap kulit kering dapat dilakukan secara objektif dan subjektif.

 Penilaian terhadap kulit kering secara objektif


Penilaian kulit kering secara objektif dilakukan dengan alat korneometer dan
moisture checker. Alat korneometer merupakan pengukuran non invasif kuantitatif untuk
mengevaluasi kadar air dalam stratum korneum (dinyatakan dalam satuan arbitrary
units/AU). Prinsip dasar pemeriksaan ini adalah mengukur muatan listrik yang mampu
dialirkan oleh air di stratum korneum untuk disimpan ke dalam probe korneometer. Hal
ini dapat terjadi karena sifat air sebagai konduktor yang mampu mengalirkan muatan
listrik. Penilaian dengan menggunakan alat korneometer lebih akurat namun mahal.

Interpretasi pembacaan korneometer CM825

SKOR INTERPRETASI

<35 Kulit sangat kering

35-50 Kulit kering

>50 Kulit terhidrasi dengan baik

Moisture checker dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pemeriksaan penunjang


lain pada xerosis cutis. Moisture checker Scalar MY-808S dirancang berdasarkan
pengukuran kadar hidrasi dari stratum korneum. Fungsinya memberikan korelasi positif
antara kadar air dan persentase dielektrik. Oleh karena itu, dengan mengukur dielektrik
maka persentase kelembapan kulit dapat diukur. Moisture checker Scalar MY-808S
memiliki akurasi pengukuran yang tinggi sehingga memberikan korelasi yang tinggi,
sesuai dengan kadar air pada kulit. Penggunaannya relatif lebih murah jika dibandingkan
dengan pemeriksaan menggunakan korneometer atau dermoskopi. Penilaian

10
menggunakan moisture checker memberikan hasil yang lebih beragam dalam bentuk
persentase (%) tercantum pada tabel di bawah.

Nilai dan interpretasi pemeriksaan moisture checker

Lokasi Kering Normal Lembab

Dahi <37% 37-54% >54%

Sekitar mata <40% 40-54% >54%

Lengan bagian dalam <37% 37-45% >45%

 Penilaian terhadap kulit kering secara subjektif

Penilaian terhadap kulit kering secara subjektif berdasarkan Overall Dry Skin
Score (ODS) yang diadaptasi dari European Group on Efficacy Measurement of
Cosmetics and other Topical Products Guidance (EEMCO) dengan menilai tanda mayor
dan minor kulit kering pada area tertentu. Efektivitas pelembab didapatkan bila terjadi
penurunan skor ODS.

Overall Dry Skin Score (ODS)

Skor Karakteristik

0 Tidak terdapat kulit kering (xerosis)

1 Sisik halus, kulit kering dan kusam minimal

2 Sisik halus dan sedang, kulit kasar ringan dan tampilan warna
kulit keputihan

3 Sisik halus-kasar terdistribusi seragam, kulit kasar tampak jelas,


kemerahan ringan dan beberapa retakan superfisial

4 Didominasi oleh skuama kasar, kulit kasar tampak jelas,


kemerahan, perubahan eksematosa dan tampak kulit retak

11
Dermoskopi merupakan pemeriksaan non invasif yang dapat memvisualisasikan
lapisan epidermis dan struktur yang mendasarinya dengan gambaran yang lebih besar.
Dikenal juga dengan mikroskop epiluminesen atau mikroskop kulit. Awalnya
dermoskopi digunakan untuk mengevaluasi dan membedakan kanker kulit melanoma
dan non-melanoma. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian-penelitian yang ada telah
menunjukkan bahwa dermoskopi merupakan pemeriksaan non invasif yang dapat
membantu menegakkan diagnosis dari berbagai kelainan kulit, seperti kelainan pada
rambut (trikoskopi), kelainan pada kuku onikoskopi), penyakit infeksi (entodermoskopi)
dan pada dermatosis inflamasi (inflamoskopi).
Kebanyakan dermoskopi non polarisasi yang ada saat ini telah memiliki light-
emitting diodes sebagai sumber penerangan (iluminasi) dengan lensa pembesar 10 kali.
Pemeriksaan dengan dermoskopi non polarisasi memerlukan kontak langsung antara
lempeng cahaya dermoskopi dengan kulit sehingga diperlukan adanya cairan imersi (air,
minyak mineral, alkohol, gel ultrasonografi dan gel antibakteri). Alkohol 70%
dinyatakan sebagai minyak imersi terbaik karena yang jarang menimbulkan gelembung
udara dengan gambaran yang lebih jelas dan bersifat anti bakteri.

9. Penatalaksanaan Gangguan Xeroxis pada Lansia


Untuk memperbaiki kulit kering, harus mengurangi hilangnya air lewat
epidermis (TEWL) dengan jalan memberikan bahan yang bersifat hidrasi (moisturizer )
yang larut dalam air atau pelumas ( lumbricating) dan penutup (oclution) yang tidak larut
dalam air.Istilah pelembab dan emolien sering dikacaukan sehingga timbul bermacam
definisi. Istilah pelembab menggambarkan terjadinya penambahan air ke kulit, sehingga
menurunkan kekasaran kulit atau peningkatan kadar air secara aktif ke kulit. Pengertian
emolien adalah bahan oklusif yang membantu hidrasi kulit dengan cara mengoklusi
permukaan kulit dan menahan air di stratum corneum.
a) Modifikasi Gaya Hidup
1) Asupan cairan. Pada usia lanjut risiko dehidrasi meningkat karena perubahan sistem
kontrol fisiologis rasa haus dan kenyang. Jumlah cairan minimal yang
direkomendasikan adalah 8-9 gelas atau 1,5 liter per hari; mereka yang mengonsumsi
1 liter lebih banyak dari jumlah yang dianjurkan, hidrasi kulitnya akan meningkat.
2) Kelembapan udara memegang peranan penting. Tingkat kelembapan udara kurang
dari 10% menyebabkan stratum korneum kehilangan kelembapannya dan tingkat
kelembapan di atas 70% mengembalikan kelembapan ke dalam stratum korneum.
Akan tetapi, bukan berarti pasien harus tinggal di lingkungan dengan kadar
12
kelembapan 70%. Menggunakan air humidifier dengan pengaturan luaran
kelembapan udara sebesar 45-60% cukup untuk mencegah kelembapan udara turun
kurang dari 10%.Selain kelembapan, suhu rendah juga memperberat kondisi kulit
kering. Penggunaan air conditioner harus memperhatikan keamanan dan
kenyamanan.
3) Kebiasaan mandi terlalu lama atau berendam di air panas menyebabkan kulit kering.
Lebih disarankan mandi dengan pancuran air hangat selama 10 menit.
4) Sabun menghilangkan emolien alami kulit, memperberat kondisi kulit kering, dan
dapat mengiritasi. Disarankan menggunakan sabun yang mengandung pelembap dan
tidak mengandung pewangi. Sabun dengan pH alkali akan merusak lapisan lipid
protektif kulit melalui pemutusan ikatan antar komponen lipid menjadi komponen
larut air. Akibatnya, terjadi peningkatan transepidermal water loss (TEWL) dan kulit
kering Jika kekeringan kulit sangat berat, penggunaan sabun dibatasi hanya di bagian-
bagian yang kotor seperti leher, ketiak, dan daerah genital. Penggunaan bath oil tidak
disarankan karena risiko terpeleset dan cedera serius.
5) Efek photoaging juga dapat menyebabkan kulit kering. Paparan sinar matahari
berintensitas radiasi ultraviolet tinggi, terutama pukul 10.00-16.00, harus dihindari.
Sel-sel kulit menyerap radiasi dan memproduksi reactive oxygen species (ROS), yang
dapat merusak DNA dan dinding sel. Proses photoaging ini juga menyebabkan
rusaknya kolagen oleh enzim matrix metalloproteinase (MMP) dan akumulasi
struktur elastin yang tidak teratur. Pelembap
Pelembap adalah bahan topikal yang mengandung beberapa komponen dan
berfungsi mencegah atau memperbaiki kulit kering. Beberapa sediaan pelembap
berdasarkan kandungan airnya, antara lain losion, krim, salep, dan pasta. Selain
merehidrasi korneosit di stratum korneum, pelembap memiliki fungsi mengembalikan
struktur dan fungsi sawar kulit.
Jumlah pelembap yang dioleskan disarankan tidak terlalu sedikit. Setidaknya 50
gram pelembap dioleskan ke seluruh tubuh, kecuali wajah dan lipatan kulit. Pengolesan
sebaiknya diulang dua hingga tiga kali sehari untuk mencukupi hidrasi stratum
korneum.Pengolesan setelah mandi, saat kulit masih lembap, akan membantu penyerapan
sehingga hidrasi jaringan lebih baik

10. Asuhan Keperawatan Gangguan Xeroxis pada Lansia

a. Pengkajian

13
1). Wawancara riwayat kesehatan

a) Riwayat kesehatan lansia sebelumnya


b) Pandangan lansia tentang kesehatannya
c) Kegiatan yang mampu dilakukan lansia
d) Kebiasaan lansia dalam merawat diri
e) Kebiasaan makan, minum, istirahat, tidur BAB/BAK
f) Kebiasaan menggerakkan badan atau olahraga
g) Perubahan- perubahan fungsi tubuh
h) Kebiasaan lansia dalam memperhatikan kesehatannya
2). Pemeriksaan fisik
a) Amati kulit lansia
b) Adakah jaringan parut
c) Keadaan rambut, kuku
d) Kebersihan lansia secara umum
e) Gangguan lain pada kulit
3). Analisa Data

No Data Etiologi Masalah

14
1 Data subjektif : Fakor resiko suhu Resiko gangguan
Pasien mengatakan lingkungan yang ektrim, integrasi kulit
kakiknya kering, bahan kimia iritatif,
gatal dan pecah- kelembaban, proses
pecah penuaan
Data objektif :
-Kulit kaki pasien
tampak kering
-Kuliti kaki pasien
tampak pecah-pecah
-Pasien tampak
menggaruk kakinya
-Jari kuku kaki
pasien tampak
panjang

2 Data subjektif : Gangguan stimulus Gangguan rasa nyaman


Paien mengatakan lingkungan
kakinya tersa gatal

Data obejktif :
-Pasien tampak
menggaruk kakinya
-Kuliti kaki pasien
tampak pecah-pecah

15
3 Data subjektif : Faktor resiko kerusakan Resiko infeksi
Pasien mengatakan integritas kulit
kakinya kering dan
gatal
Data objektif :
-Kulit kaki pasien
tampak kering
-Kuliti kaki pasien
tampak pecah-pecah
-Pasien tampak
menggaruk kakinya
-Jari kuku kaki
pasien tampak
panjang

b. Diagnosa keperawatan
1. Resiko gangguan integrasi kulit berhubungan dengan faktor suhu lingkungan
yang ektrim, bahan kimia iritatif, kelembaban, proses penuaan
2. Gangguan rasa nyaman Gangguan stimulus lingkungan
3. Resiko infeksi berhubungan dengan Faktor resiko kerusakan integritas kulit

c. Intervensi keperawatan
1. Resiko gangguan integrasi kulit berhubungan dengan faktor suhu lingkungan
yang ektrim, bahan kimia iritatif, kelembaban, proses penuaan
Intervensi : perawatan kaki
a) Identifikasi perawatan kaki yang biasa dilakukan
b) Periksa adanya iriasi, retak, lesi, kapalan atau edema
c) Monitor tingkat kelembaban kaki
d) Keringkan sela-sela jari kaki
16
e) Berikan pelembab kaki sesuai kebutuhan
f) Bersihkan atau potong kuku kaki jika perlu

2. Gangguan rasa nyaman Gangguan stimulus lingkungan


Intervensi : kompres dingin
a) Identifikasi kondisi kulit yang akan dilakukan kompres dingin
b) Pilih metode kompres yang nyaman dan mudah didapat
c) Pilih lokasi kompres
d) Balut alat kompres dengan kain pelindung
e) Lakukan kompres dingin pada daerah yang cedera

3. Resiko infeksi berhubungan dengan Faktor resiko kerusakan integritas kulit


Intervensi : pencegahan infeksi
a) Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
b) Cuci tangan sebelum kontak dengan pasien dan lingkungan pasien
c) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
d) Anjurkan meningkatkan asupan cairan
e) Jelaskan tanda dan gejala infeksi

d. Implementasi Keperawatan

Implementasi merupakan suatu bentuk dari tindakan keperawatan yang


dilakukan oleh perawat sesuai dengan rencana yang telah disusun, yang dalam
pelaksanaannya meliputi respon klien selama dan sesudah tindakan, serta
menilai data baru(Budiono, 2016). Pada asuhan keperawatan ini yaitu
perawatan kaki akan dilakukan dengan cara direkam menggunakan handphone

17
C. Gangguan Integumen Dermatitis Pada Lansia

1. Definisi Gangguan Dermatitis pada Lansia

Dermatitis kontak ( dermatitis venenata ) merupakan reaksi


inflamasi kulit terhadap unsur– unsur fisik, kimia atau biologi.
Penyakit ini adalah kelainan inflamasi yang sering bersifat
ekzematosoa dan disebabkan oleh reaksi kulit terhadap sejumlah
bahan yang iritatif atau alergenik. Dermatitis kontak adalah
peradangan oleh kontak dengan suatu zat tertentu, ruamnya terbatas
pada daerah tertentu dan seringkali memiliki batas yang tegas.

2. Etiologi Gangguan Dermatitis pada Lansia

Zat – zat yang dapat menyebabkan dermatitis kontak melalui 2 cara


yaitu :
a. Iritasi ( dermatitis iritan )
b. Reaksi alergi ( dermatitis kontak alergika )  Sabun detergen dan
logam – logam tertentu bisa mengiritasi kulit setelah beberapa kali
digunakan.
c. Penyebab dermatitis kontak alergika
1) Kosmetika : Cat kuku, penghapus cat kuku, deodorant, pelemban
lotion sehabis bercukur, parfum, tabir surya.
2) Senyawa kimia ( dalam perhiasan ) : nikel
Tanaman : Racun IVY ( tanaman merambat ) racun pohon ek,
sejenis rumput liar, primros.
3). Obat – obat yang terkandung dalam kritim kulit : antibiotic
( penisilin, sulfonagnid, neomisin ), autihistamin ( defenhidramin )
4). Zat kimia yang digunakan dalam pengelolaan pakaian.

22
3. Patofisiologi Gangguan Dermatitis pada Lansia

a. Dermatitis Kontak Iritan


Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat
kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja
kimiawi maupun fisik. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, dalam
beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan tersebut akan
berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria dan
komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid
keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam
arakidonik akan membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor
sirkulasi dari komplemen dan system kinin. Juga akan menarik
neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel mast yang akan
membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin. PAF akan
mengaktivasi platelets yang akan menyebabkan perubahan vaskuler.
Diacil gliserida akan merangsang ekspresi gen dan sintesis protein.
Ada dua jenis bahan iritan yaitu :
1) Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama
pada hampir semua orang,
2) Iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami
kontak berulang-ulang. Faktor  kontribusi, misalnya kelembaban
udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada
terjadinya kerusakan tersebut.

b. Dermatitis Kontak Alergi


Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya
respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis
ini yaitu :
1.  Fase Sensitisasi

23
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen.
Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula
belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak
atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-
24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau
endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk
mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di
epidermis, menjadi komplek hapten protein. Protein ini terletak
pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan produk
gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji
antigen (antigen presenting cell).
2.  Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan
kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah
tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan
mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-
2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-
1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi
ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi
dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid
akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan
histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang
meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit
seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai
dermatitis.
Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui
beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim
dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan
Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF
gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah
kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut

24
berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam
paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+)
yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B
dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan
peradangan.  

4. Klasifikasi Gangguan Dermatitis pada Lansia

a. Dermatitis foto kontak

Dermatitis ini merupakan reaksi iritasi / alergi yang terjadi pada


daerah yang terpajan sinar matahari. Keluhan pasien yang mengalami
inflamasi ini adalah rasa gatal dan pedih. Biasanya terjadi di wajah, lengan
dan tempat lain yang terkena sinar matahari. Pada pemeriksaan fisik,
nampak lesi eksematosa,esikel, bulla, skuama, krusta, eksimatosa, dan lesi
kronik ( likenifikasi ).

b. Dermatitis atopik

Dermatitis atopik adalah penyakit yang sangat spesifik yang


diakibatkan oleh ambang rendah yang ditetapkan secara genetik terhadap
pruritus dan dikarakteristikkan oleh gatal yang intens. Peradangan kulit
dengan penyebab endapan endogen.Terdapat pada individu yang
mempunyai Ig E dalam darah dengan kadar tinggi. Hal ini disebabkan oleh
hipersensitivitas bawaan.

Bentuk dermatitis atopik

a) Dermatitis atopik / infantil


 Umur 2 bulan – 2 tahun ( 2 minggu )
 Lesi : eritema, vesikel, papul bergerombol yang terdapat pada pipi,
lengan, dahi, dan terdapat secara simetris
 Sifat hhilang timbul ( kambuhan )
b) Dermatitis atopik pada anak – anak

25
 Sebagai lanjutan dari dermatitis infantil diselingi ehat beberapa tahun
 Umur : 3 tahun – 10 tahun
 Lesi : gerombolan papul, eritema, kadang – kadang sudah terjadi
ekskoriasis ( likenifikasi )
 Keluhan gatal yang digaruk dan hilang timbul
c) Dermatitis atopik dewasa
 Lanjutan dari anak – anak
 Tempat lesi : wajah, leher, dada, tengkuk, lengan
 Lesi berupa gerombolan papul, likenifikasi
 Tanda khas berupa while dermografisme
c. Dermatitis numularis
Adalah suatu dermatitis yang bentuknya seperti uang logam yang
lokasinya di tempat tertentu dengan penyebab yang belum jellas.sinonim
untuknya adalah neurodermatitis numular.karena dalam bahasa latin
numular berarti bundar seperti uang logam.
d. Dermatitis statis
Dermatitis statis atau dermatitis hipostatik ialah salah satu jenis
dermatitis sirkulatorius. Biasanya dermatitis statis merupakan dermatitis
varikosum. Sebab kausa utamanya ialah insufisiensi vena.

e. Dermatitis seboroik
Seborrhea atau Dermatitis seboroik yaitu kelainan kulit berupa
peradangan superfisial dengan papuloskuamosa yang kronik dengan tempat
predileksi di daerah-daerah seboroik yakni daerah yang kaya akan kelenjar
sebasea, seperti pada kulit kepala, alis, kelopak mata, naso labial, bibir,
telinga, dada, axilla, umbilikus, selangkangan dan glutea. Pada dermatitis
seboroik didapatkan kelainan kulit yang berupa eritem, edema, serta skuama
yang kering atau berminyak dan berwarna kuning kecoklatan dalam
berbagai ukuran disertai adanya krusta.

26
5. Manifestasi Klinis Gangguan Dermatitis pada Lansia

Gejala dermatitis kontak mencakup keluhan :


a. Gatal – gatal
b. Rasa terbakar
c. Lesi kulit ( vesikel )
d. Edema yang diikuti oleh pengeluaran secret 
e. Pembentukan krusta serta akhirnya mengering dan mengelupas
kulit.
Reaksi yang berulang – ulang dapat disertai penebalan kulit dan
perubahan pigmentasi. Invasi sekunder oleh bakteri dapat terjadi pada
kulit yang mengalami ekskoriasis karena digosok atau digaruk. Biasanya
tidak terdapat gejala sistemik kecuali jika erupsinya tersebar luas.

1. Fase akut.
Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya
kontak dengan bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul
bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat. Pada yang ringan
mungkin hanya berupa eritema dan edema, sedang pada yang berat selain
eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula vesikel atau bula yang
bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung menyebar dan
batasnya kurang jelas. Keluhan subyektif berupa gatal.
2. Fase Sub Akut
Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah tidak ada
maka proses akut akan menjadi subakut atau kronis. Pada fase ini akan
terlihat eritema, edema ringan, vesikula, krusta dan pembentukan papul-
papul.
3.Fase Kronis
Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase akut
yang hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung

27
simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula,
skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi, krusta
serta eritema ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat
dihindari, bentuk kronis ini sulit sembuh spontan oleh karena umumnya
terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak dikenal.

6. Komplikasi Gangguan Dermatitis pada Lansia

Dermatitis yang tidak ditangani dengan tepat dapat menimbulkan


komplikasi, seperti:

a. Infeksi bakteri atau jamur, terutama bila ruam sering digaruk


b. Selulitis

c. Luka terbuka

d. Perubahan pada teksktur kulit atau terbentuknya jaringan parut

e. Perubahan warna kulit.

7. Pencegahan Gangguan Dermatitis pada Lansia

Cara terbaik untuk mencegah dermatitis adalah dengan


mengidentifikasi dan menghindari zat penyebab alergi dan iritasi,
misalnya dengan mengganti produk perawatan tubuh yang diketahui
menyebabkan alergi atau iritasi.:

a. Membersihkan kulit segera setelah terpapar zat yang menimbulkan


iritasi atau reaksi alergi
b. Mengenakan pakaian pelindung atau sarung tangan untuk mengurangi
kontak langsung dengan zat penyebab alergi dan iritasi

c. Menggunakan pelembap untuk memperbaiki kondisi lapisan terluar


kulit, sehingga kulit lebih sehat dan tidak terlalu sensitif terhadap zat
penyebab alergi atau iritasi

28
d. Menghindari stress

8. Pemeriksaan Penunjang Gangguan Dermatitis pada Lansia

Adapun pemeriksaan penunjang gangguan dermatitis pada lansia


adalah :

a. Tes alergi, dengan cara menempelkan zat yang diduga memicu


dermatitis kontak alergi pada kulit selama 2 hari, lalu melihat reaksi
pada kulit
b. ROAT test atau tes iritasi, dengan cara mengoleskan zat tertentu pada
bagian kulit yang sama, 2 kali sehari, selama 7 hari, dan melihat
reaksinya

9. Penatalaksanaan Gangguan Dermatitis pada Lansia

29
a. Menghindari Alergen

Tatalaksana utama dermatitis kontak alergi (Dermatitis KA)


yakni menghindari kontak dengan alergen pemicu. Edukasi
berperan sangat penting dalam keberhasilan terapi. Edukasi harus
mendetail, secara lisan maupun tulisan, meliputi penjelasan
mengenai alergen pemicu yang positif pada uji tempel, area dengan
risiko paparan alergen tersebut, serta menghindari paparan
terhadap alergen.

b. Medikamentosa

Terapi medikamentosa pada dermatitis kontak alergi


(Dermatitis KA) meliputi terapi kortikosteroid topikal, antagonis
calcineurin, terapi ultraviolet, serta terapi sistemik. Umumnya,
terapi sistemik jarang diperlukan pada pasien Dermatitis KA, tetapi
pada keadaan dimana lesi sangat luas (melibatkan >20%
permukaan tubuh), dapat diberikan obat oral.
c. Menjaga Hidrasi Kulit

Menjaga hidrasi kulit sangat penting dalam penanganan


DA, di antaranya dengan cara mandi air hangat, menggunakan
pelembab kulit, dan wet dressing. Hidrasi kulit juga harus
diperhatikan dalam pemilihan bahan pakaian, diet, dan aktivitas.

d. Mandi

Mandi bahkan berendam dengan air yang hangat selama 5‒


10 menit, 1‒2 kali sehari  dapat menghidrasi kulit. Frekuensi mandi
disesuaikan dengan tingkat keparahan DA. Prosis ini dianjurkan
untuk membantu membersihkan kulit, membantu dalam
debridement kulit yang terinfeksi, dan meningkatkan penetrasi
terapi topikal. Harus dihindari penggunaan sabun mengandung

30
pengharum maupun zat lain yang dapat mengiritasi kulit. Setelah
mandi, kulit jangan digosok dengan handuk, sebaiknya dikeringkan
dengan pelan dan tetap sedikit basah.

10. Asuhan Keperawatan Gangguan Dermatitis pada Lansia

a. Pengkajian
1. Anamnesa
a) Data umum (identitas) : nama, umur, agama, jenis kelamin, suku,
pendidikan terakhir, diagnosa medis, no telefon, alamat , dan
pekerjaan.
b) Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama : pasien akan mengeluhkan rasa gatal, radang
bengkak, kemerahan, terdapat papul/ bulla (tojolan) berisi air,
perih, rasa terbakar, bintik mera, perih/nyeri.
2) Riwayat penyakit sekarang : kronologi keluhan seperti faktor
pencetus (kurangnya kebersihan diri atau faktor alergi),
timbulnya keluhan, lamanya keluhan, upaya mengatasi keluhan
(farmakologi atau non farmakologi)
3) Riwayat kesehatan dahulu: riwayat alergi, riwayat hospitalisasi
(pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit kulit
lainnya), riwayat pengobatan, riwayat infeksi menular.
4) Riwayat kesehatan keluarga : kaji riwayat kesehatan yang
pernah dialami keluarga baik dengan penyakit yang sama atau
berbeda, apakah anggota keluarga juga memiliki riwayat alergi
yang sama atau tidak, catat minimal 3 generasi .
c) Komposisi keluarga (genogram)
d) Riwayat psikososial dan spiritual: : kaji orang terdekat pasien,
masalah yang mempengaruhi pasien ( rasa tidak nyaman atau malu
karena sakitnya), mekanisme koping terhadap stress, persepsi
pasien akan penyakitnya ( hal-hal yang mempengaruhi dan harapan
pasien akan sakitnya).

31
e) Sistem nilai keercayaan: kebiasaan ibadah, harapan pasien akan
ibadahnya, dan kepercayaan akan kematian.
f) Riwayat kebiasaan sehari-hari
1) Nutrisi: pola makan, frekuensi, jenis makanan, kebiasaan
sebelum makan, nafsu makannya, makanan yang dilarang,
makanan yang disukai, frekuensi minum dalam sehari, tinggi
dan berat badan.
2) Eleminasi: berkemih/ bak (frekuensi, warna,keluhan, bau) dan
defekasi/ bab (frekuensi, warna,keluhan, bau, dan konsistensi).
3) Personal hygine: kebiasaan mandi, oral hygine, cuci rambut,
dan gunting kuku.
4) Istirahat dan tidur: durasi tidur siang dan malam dan keluhan
saat tidur.
5) Aktivitas dan latihan: apakah pasien melakukan olahraga, jenis
olahraganya, frekuensi, kegiatan diwaktu senggang, keluhan
saat beraktivitas, kebiasaan merokok, minuman keras, dan
ketergantungan obat.
g) Status mental: penampilan, pembicaraan, afek, persepsi, memori.
c) Pemeriksaan fisik
a) Tanda-tanda vital : td, hr, rr, suhu
b) Kepala : bentuk, kebersihan, kerontokan, keluhan.
c) Mata : konjungtiva, sclera, starbisium, penglihatan, lapang
pandang, penggunaan kacamata, peradangan, riwayat katarak,
keluhan.
d) Hidung : bentuk, peradangan, penciuman, keluhan.
e) Telinga : kebersihan, peradangan, pendengaran, keluhan.
f) Mulut dan bibir : kebersihan, mukosa, peradangan/stomatitis,
radang gusi, kesulitan mengunyah/menelan, keluhan.
g) Leher : pembesaran kelenjar tiroid, kaku kuduk, keluhan.
h) Intigumen : apakah terdapat bulla, lesi, pus.
i) Dada

32
1) Inspeksi : kesimetrisan, retraksi, pola nafas, penggunaan otot
bantu pernafasan.
2) Palpasi : fremitus kiri dan kanan teraba atau tidak, ada
nyeri/tidak.
3) Perkusi : sonor/ tidak.
4) Auskutasi : vesikuler/ tidak.
j) Abdomen
1) Inspeksi : kesimetrisan, asites ya/ tidak.
2) Palpasi : ada pembekakan abdomen, perbesaran limfa, nyeri
abdomen.
3) Perkusi : timpani/tidak
4) Auskutasi : bising usus
k) Genetalia
l) Ekstermitas
1) Atas : kesimetrisan, edema, crt, akral teraba hangat/ dingin
2) Bawah : kesimetrisan, edema, crt, akral teraba hangat/ dingin,
3) Kekuatan otot.
4) Postur tubuh.
5) Rentang gerak.
6) Deformitas.
7) Tremor
8) Edema
9) Penggunaan alat bantu berjalan.
Pemeriksaan fisik ada lansia berfokus pada:
a) Pernafasan : bentuk dada, adanya suara nafas tambahan atau tidak,
gejala timbul keluhan sesak nafas, perubahan pola nafas saat
aktivitas.
b) Kardiovaskular: tekanan darah nadi perifer teraba, irama jantung,
distensi vena jugularis ada/tidak.

33
c) Kulit: ada atau tidak bintik kemerahan yang bersisik, turgor kulit
buruk, rasa gatal (biasanya hilang timbul, dapat timbul saat santai
atau tidur, rasa gatal memburuk setelah digaruk.
d) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboraturium
a) Darah : hb, leukosit, hitung jenis, trombosit, elektrolit, protein
total, albumin dan globulin.
b) Urin: pemeriksaan histopatologi (susanti, 2018)
Pemeriksaan histopatologi tidak memberikan gambaran khas,
karena dapat terlihat pada semua jenis dermatitis.
e) Pemeriksaan status kemandirian lansia: indeks kartz, indeks barthel,
dll.
f) Pemeriksaan status psikososial lansia: gds (geriatic depression scale),
dll.

2. Analisis data
No Analisa data Etiologi Masalah

1 Do: zat iritan, bakteri, alegi,dll Kerusak


 Terlihat bintik/ Kerusakan sel an
bercak kemerahan integrita
Reaksi peradangan
dan bersisik pada s kulit
kulit
 Terdapat lesi Gatal, rubor, calor,dolor,
Pelepasan mediator kimia
 Teraba dan tumor
berlebihan
hangat ,bengkak,
Reaksi menggaruk

34
dan nyeri
 Tampak
Merusak jaringan
bulla/pustulla epidermis
Ds: Kerusakan integritas
 Pasien mengatakan kulit
kulit terasa gatal.
 Pasien mengatakan
selalu menggaruk
saat timbul rasa
gatal
2 Do: Dermatitis Nyeri
 Terdapat lesi Pelepasan mediator akut
peradangan
tampak merah pada
kulit pasien Prostaglandin
 Raut muka pasien
meringis menahan
Memediator syaraf
nye
Ds: Timbul rasa nyeri terbakar
Pasien mengatakan
nyeri pada sekitar Nyeri Akut
lesi

3 Do: zat iritan, bakteri, alegi,dll Risiko


 Kulit terlihat Kerusakan sel infeksi
memerah dan
mengelupas Memicu proses
degranulasi lapisan
 Terlihat pus di
tanduk
daerah lesi
Pelepasan
Reaksi mediator
peradangankimia
 Leukosit berlebihan
meningkat Gatal, rubor, calor,dolor,
dan tumor

35
Ds:
Pasien mengatakan
ada luka terbuka Reaksi menggaruk

Merusak jaringan
epidermis

Lapisan epidermis terbuka

Resiko infeksi

4 Do: Dermatitis Ganggu


 Pasien terlihat Pelepasan mediator an pola
peradangan
sering menggaruk tidur
Histamine
 Pasien terlihat
lemas
Ds:
Peningkatan histamine di
Pasien mengatakan
darah
tidak bisa tidur
karena rasa gatal. Reaksi menggaruk
Timbul rasa gatal
berlebihan

Gangguan pola tidur

36
5 Do: zat iritan, bakteri, alegi,dll Ganggu
 Tampak pasien Kerusakan sel an rasa
sering menggaruk nyaman
 Terdapat banyak Memicu proses
degranulasi lapisan
lesi
tanduk
Ds: Reaksi peradangan
Pelepasan mediator kimia
 Pasien mengatakan berlebihan
Gatal, rubor, calor,dolor,
rasa gatal di daerah
dan tumor
yang sakit.
 Pasien mengatakan Reaksi menggaruk
terganggu dengan berlebih
Gangguan rasa nyaman
kondisi gatalnya
 Pasien mengatakan
sulit untuk tidur
karena rasa
gatalnya

6 Do: Dermatitis Ganggu


Pelepasan mediator an citra
Kulit pasien tampak peradangan
tubuh
kering, terkelupas, Prostaglandin
bersisik, pus, dan
lecet. Dilatasi pembuluh
darah
Ds:
Kulit kemerahan/ eritema
Pasien mengatakan
malu dengan kondisi Gangguan citra tubuh
kulitnya.

37
b. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan sirkulasi akibat lesi pada kulit
2. Nyeri akut b.d lesi kulit
3. Risiko infeksi b.d peningkatan paparan organisme pathogen
lingkungan
4. Gangguan pola tidur b.d pruritus
5. Gangguan rasa nyaman b.d gejala penyakit
6. Gangguan citra tubuh b.d iritasi yang terjadi pada kulit

c. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Rencana Keperawatan


No
Keperawatan NOC NIC

1 Kerusakan Setelah dilakukan asuhan 1. Lakukan inspeksi lesi


integritas kulit keperawatan, kulit klien setiap hari
b.d perubahan dapat kembali normal 2. Pantau adanya tanda-
sirkulasi akibat dengan kriteria hasil: tanda infeksi
lesi pada kulit 3. Ubah posisi pasien
1. Kenyamanan pada
tiap 2-4 jam
kulit meningkat
4. Bantu mobilitas
2. Derajat
pasien sesuai
pengelupasan kulit
kebutuhan
berkurang
5. Pergunakan sarung
3. Kemerahan
tangan jika merawat
berkurang
lesi
4. Lecet karena
6. Jaga agar alat tenun
garukan berkurang
selau dalam keadaan
5. Penyembuhan area
bersih dan kering
kulit yang telah

38
rusak 7. Libatkan keluarga
dalam memberikan
bantuan pada pasien
8. Gunakan sabun yang
mengandung
pelembab atau sabun
untuk kulit sensitif
9. Oleskan/berikan salep
atau krim yang telah
diresepkan dua atau
tiga kali per hari.
2 Nyeri akut b.d Setelah diberikan Manajemen Nyeri:
lesi kulit tindakan keperawatan
1. Kaji nyeri secara
klien merasa nyeri hilang
komprehensif (lokasi,
dan berkurang dengan
karakteristik, durasi,
kriteria hasil:
frekuensi, faktor
1. Klien melaporkan presipitasi)
nyeri berkurang 2. Gunakan teknik
2. Mampu mengenali kmunikasi terapeutik
nyeri (skala, untuk mengetahui
intensitas dan pengalaman nyeri
frekuensi) klien sebelumnya
3. Menyatakan rasa 3. Kontrol faktor
nyaman setelah nyeri lingkungan yang
berkurang memengaruhi nyeri
4. Ekspresi wajah seperti suhu ruangan,
tenang pencahayaan
5. Klien dapat istirahat 4. Pilih dan lakukan
dan tidur penanganan nyeri
6. TTV dalam rentang (farmakologis/non

39
normal farmakologis)
5. Kolaborasi pemberian
analgetic untuk
mengurangi nyeri
6. Ajarkan teknik non
farmakologis
(relaksasi, distraksi,
dll) untuk mengatasi
nyeri
7. Evaluasi tindakan
pengurang nyeri/
kontrol nyeri
8. Monitor TTV
3 Risiko infeksi b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Lakukan teknik
peningkatan keperawatan diharapkan aseptic dan antiseptic
paparan tidak terjadi infeksi dalam melakukan
organisme dengan kriteria hasil: tindakan pada pasien
pathogen 2. Ukur tanda vital tiap
1. Hasil pengukuran
lingkungan 4- 6 jam
tanda vital dalam
3. Observasi adanya
batas normal.
tanda-tanda infeksi
a. RR: 16-20 x/menit
4. Batasi jumlah
b. N: 70-82 x/menit
pengunjung
c. T: 37,5 C
5. Kolaborasi dengan
d. TD: 120/85mmHg
ahli gizi untuk
2. Tidak ditemukan
pemberian diet TKTP
tanda-tanda infeksi
6. Libatkan peran serta
(kalor,dolor, rubor,
keluarga dalam
tumor, infusiolesa)
memberikan bantuan
3. Hasil pemeriksaan
pada klien
laborat dalam batas
7. Kolaborasi dengan

40
normal Leuksosit dokter dalam terapi
darah: 5000- obat
10.000/mm3
4 Gangguan pola Setelah dilakukan asuhan 1. Menjaga kulit agar
tidur b.d pruritus keperawatan diharapkan selalu lembab
klien bisa istirahat tanpa 2. Determinasi efek-
adanya pruritus dengan efek medikasi
kriteria hasil: terhadap pola tidur
3. Jelaskan pentingnya
1. Mencapai tidur yang
tidur yang adekuat
nyenyak
4. Fasilitasi untuk
2. Melaporkan gatal
mempertahankan
mereda
aktifitas sebelum
3. Mengenali tindakan
tidur
untuk meningkatkan
5. Ciptakan lingkungan
tidur
yang nyaman
4. Mempertahankan
6. Kolaborasi dengan
kondisi lingkungan
dokter dalam
yang tepat
pemberian obat tidur
5 Gangguan rasa Setelah tindakan 1. Kaji keluhan gatal,
nyaman b.d keperawatan selama lokasi, frekuensi,
gejala penyakit 2X24 jam klien dapat intensitas (skala dan
mengurangi rasa tidak waktu).
nyaman yang dirasakan 2. Observasi petunjuk
sampai dengan hilang non verbal gatal,
(klien tidak lagi misalnya menggaruk,
menggaruk kulitnya dan ekspresi wajah
tidak ditemukan rubor 3. Ajarkan klien untuk
pada kulit) melakukan Teknik
mengurangi gatal:
relaksasi dan

41
distraksi, terutama
bila keluhan gatal
timbul
4. Berikan tentang efek
menggaruk dengan
benar daerah yang
gatal, misalnya
dengan tidak
menggaruk dengan
ujung jari kuku dan
garukan yang keras,
melainkan dengan
permukaan kuku-
kuku jari dan garukan
perlahan
5. Anjurkan pada klien
untuk   menggunakan
sarung tangan kain
lembut
6. Kolaborasi dalam
pemberian obat
antipruritus (anti
gatal)
6 Gangguan citra Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji adanya
tubuh b.d iritasi keperawatan diharapkan gangguan citra diri
yang terjadi pada pengembangan (menghindari kontak
kulit peningkatan penerimaan mata, ucapan
diri pada klien tercapai merendahkan diri
dengan kriteria hasil: sendiri).
2. Identifikasi stadium
1. Mengembangkan
psikososial terhadap

42
peningkatan perkembangan.
kemauan untuk 3. Berikan kesempatan
menerima keadaan pengungkapan
diri. perasaan.
2. Mengikuti dan turut 4. Nilai rasa
berpartisipasi dalam keprihatinan dan
tindakan perawatan ketakutan klien, bantu
diri. klien yang cemas
3. Melaporkan mengembangkan
perasaan dalam kemampuan untuk
pengendalian menilai diri dan
situasi. mengenali
4. Menguatkan masalahnya.
kembali dukungan 5. Dukung upaya klien
positif dari diri untuk memperbaiki
sendiri. citra diri, seperti
merapikan diri.
6. Mendorong
sosialisasi dengan
orang lain.

43
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya
dapatkita ambil sebuah kesimpulan bahwa perubahan-perubahan sistem
integumen pada lansia seperti peradangan kulit epidermis dan dermis sebagai
respon terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen, menimbulkan
kelainan klinis padakulit.Kemudian asuhan keperawatan dilakukan sebagai
upaya untuk memenuhikebutuhan dasar klien dan mengembalikan kondisi
klien seoptimal mungkindengan cara memberikan beberapa tindakan dan
perawatan secara profesional.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari dosen dan pembaca sungguh kami harapkan
agar makalah ini bisa lebih baik dan bisa menjadi perbaikan untuk makalah
selanjutnya

44
DAFTAR PUSTAKA

Simandjuntak, Ramayanti Boru. 2019. Kesesuaian Gambaran Dermoskopi Dan


Moisture Checker Dalam Menilai Tingkat Kelembapan Kulit Pada Pasien
Sindroma Nefrotik Anak. Tesis. Departemen Dermatologi Dan
Venereologi : FK USU.

45

Anda mungkin juga menyukai