Anda di halaman 1dari 40

“STUDI KASUS KEPERAWATAN PALIATIF PADA PASIEN DEWASA KRITIS:

“Pendekatan Berfokus Komunikasi”

Dosen Pembimbing : Elis Hartati, S.Kep.M.Kep

Disusun Oleh Kelompok 5 :

1. Riska Dewi Ariyanti (22020117120009)


2. Mauludina Putri S (22020117140042)
3. Intan Mariska Putri Sena (22020117130091)
4. Zulfa Qothrun Nada (22020117130052)
5. Ummi Tika Lailatunnisa (22020117140002)
6. Desty Puji Trihastuti (22020117130084)
7. Oktaviani Nur Shinta (22020117130064)
8. Tamara Bella Santika (22020117130085)
9. Aini Saadah (22020117120027)

A17.1

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan ”Makalah Studi Kasus
Keperawatan Paliatif Pada Pasien Dewasa Kritis: Pendekatan Berfokus Komunikasi”
untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan paliatif.
Kami telah menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya
berkat kerjasama dan kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karenanya kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak atas kerjasama dan kontribusi
dalam penyusunan makalah ini.
Dalam makalah ini kami menyadari masih ada kekurangan baik dalam segi isi
makalah ataupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan lapang dada kami menerima
kritik dan saran agar menjadi evaluasi kami dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga Makalah Studi Kasus
Keperawatan Paliatif Pada Pasien Dewasa Kritis: Pendekatan Berfokus Komunikasi”
semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Semarang, 26 September 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan penulisan...............................................................................................................1


BAB II TINJAUN PUSTAKA 3

2.1 Kasus.................................................................................................................................3
2.2 Craniotomy.......................................................................................................................3
2.3 ICH...................................................................................................................................4
2.4 Ventilator..........................................................................................................................6
2.5 Aspek Etik Legal..............................................................................................................7
2.6 Berduka...........................................................................................................................10
2.7 End Of Life.....................................................................................................................12
2.8 Management Symptomp.................................................................................................15
2.9 Support Group dan Holistic Care...................................................................................18
3.0 Komunikasi.....................................................................................................................20
BAB III PEMBAHASAN 26

4.1 Gambaran Kasus 26


4.2 Pengembangan Kasus.....................................................................................................26
4.3 Teknik Komunikasi 27
BAB IV PENUTUP................................................................................................................31
5.1 Kesimpulan....................................................................................................................31
5.2 Saran...............................................................................................................................31
LAMPIRAN............................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................38

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang bertujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan
dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan
melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan
masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (Kemenkes RI Nomor : 812,
2007 dalam Fitria C, 2010)
The National Coalition for Hospice and Palliative Care (2018) dalam
National Consensus Project Clinical Practice Guidelines for Quality Palliative
Care, 4 th Edition menyatakan bahwa perawatan paliatif adalah pendekatan yang
berpusat pada orang dan keluarga untuk merawat orang dengan penyakit serius.
Perawatan paliatif, dalam penerapannya memperhatikan beberapa aspek,
diantaranya adalah aspek etik legal, manajemen gejala, persiapan tahapan
berduka, perawatan end of life, support group dan holistic care serta komunikasi.
Komunikasi menjadi hal yang esensial guna pencapaian tujuan perawatan paliatif
(Ferrell B et al, 2018).
Pusat dari perawatan paliatif interdisiplinier adalah perawat, hal itu
dikarenakan keterlibatannya yang intens dengan pasien dan keluarga. Maka dari
itu perawat dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, baik
antar perawat, interdisipliner maupun dengan pasien dan keluarga (Ferrell B et al,
2018).
Komunikasi yang efektif menciptakan kepercayaan, dan harapan pada saat
terjadi krisis dan ancaman terkait pelaksanaan perawatan paliatif. Studi kasus ini
membahas keterampilan komunikasi perawat dalam penyelesaian masalah terkait
kasus perawatan paliatif (Ferrell B et al, 2018).
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat memahami aspek etik legal dalam perawatan paliatif

2. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian aspek berduka pada perawatan


paliatif

3. Mahasiswa dapat memahami aspek end of life dalam palliative care

1
4. Mahasiswa dapat menjelaskan management symptom pada palliative care

5. Mahasiswa dapat memahami aspek support group dan holistic care pada
perawatan paliatif

6. Mahasiswa dapat memahami aspek komunikasi pada palliative care

7. Mahasiswa dapat mengetahui teknik komunikasi yang baik dalam menangani


kasus dalam perawatan paliatif

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Kasus
Tn. C umur 35 tahun dirawat di ruang ICU, post kraniotomi hari ke-1 akibat ICH
karena kecelakaan lalu lintas. Tn. C terpasang ventilator dengan mode SIMV.
Perawat belum menerima program pada Tn. C. Dokter PJP belum bisa dihubungi,
hanya ada residen anastesi. Keluarga selalu bertanya pada perawat apakah akan
sembuh. Istri pasien selalu menangis ingin sekali berada disamping pasien
sepanjang hari.
2.2 Operasi Craniotomy
Craniotomy adalah tindakan pembedahan dengan membuka tulang
tengkorak untuk memberikan akses secara langsung ke otak (Garret & Spetzler,
2014). Tindakan bedah tersebut bertujuan untuk membuka tengkorak sehingga
dapat mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang ada di dalam otak.
Kraniotomi dapat dilakukan pada tumor otak, perdarahan otak seperti subdural
hematoma, epidural hematoma, aneurisma serebri, malformasi arteriovenous,
infeksi otak seperti abses serebri serta trauma otak (Luc & Ray, 2017). Sekitar
30% perdarahan intraserebral akan terus membesar selama 24 jam pertama,
paling sering dalam waktu 4 jam, lokasi dan volume gumpalan adalah indikator
yang paling penting. Pada kasus kemungkinan lesi ada di kapsula eksternal,
hemisfer non dominan, dan serebelum dengan diameter hematoma adalah >4 cm
sehingga dilakukan tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan ini dilakukan
karena untuk menghindari adanya gangguan neurologis. Komplikasi operasi
craniotomy antara lain:
a) Sistem Kardiovaskuler
Craniotomy bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung. Akibat
adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi Pribadi
& Pujo (2012). Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa
menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan
atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan
tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri
adalah terjadinya edema paru.
b) Sistem Pernafasan

3
Menurut Pribadi & Pujo (2012) edema paru dan vasokonstriksi
paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho
kontriksi. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri
mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah
bertambah karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan
karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi
vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan
karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan
menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan
penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.
Tingginya TIK dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan
batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan pada medulla
oblongata menyebabkan pernafasan ataksia (kurangnya koordinasi dalam
gerakan bernafas).
c) Sistem Eliminasi
Menurut Pribadi & Pujo (2012) pada pasien dengan post
craniotomy terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Setelah tiga sampai 4
hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan dapat timbul
hiponatremia.
d) Sistem Muskuloskeletal
Menurut Suryawan (2015) pada pasien post craniotomy akan
terjadi penurunan lingkup gerak sendi, dan potesial terjadinya atrofi,
kontraktur, dan spastisitas dan Gangguan terkait integument pasien tirah
baring mengakibatkan pressure shore pada bagian tubuh atau kulit yang
menempel langsung pada bed sehingga potensial terjadinya ulkus
decubitus.
2.3 ICH (intraserebral Hemorrhage) atau Perdarahan Intraserebral
A. Pengertian
Perdarahan intraserebral (ICH) adalah jenis perdarahan intrakranial yang
terjadi di dalam jaringan otak atau ventrikel (Thomas , 2012). Perdarahan
yang terjadi di dalam otak biasanya terjadi akibat akibat robekan pembuluh
darah yang ada dalam jaringan otak. Jika perdarahan yang timbul kecil, maka
massa darah hanya dapat merusak dan menyela diselaput akson white matter

4
tanpa merusaknya. Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi
massa otak, peningkatan tekanan intrakranial, ataupun herniasi batak otak.
B. Etiologi
Menurut Suyono (2011) dalam Astuti & Wahyuni (2018) penyebab terjadinya
perdarahan intraserebral (ICH) adalah sebagai berikut :

- Kecelakaan yang menyebakan cidera kepala

- Fraktur depresi tulang tengkorak

- Gerak akselerasi dan deselarasi tiba-tiba

- Cidera penetrasi peluru

- Jatuh

- Kecelakaan kendaraan bermotor

- Hipertensi

- Malformasi arteri venosai

- Aneorisma

- Distrasia darah

- Obat

- Perokok

C. Tanda dan Gejala


Menurut Corwin (2009) dalam Astuti & Wahyuni (2018) berikut ini
merupakan tanda dan gejala yang dapat muncul pada perdarahan intraserebral
yaitu :
- Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan
membesarnya hematom.
- Pola pernafasan dapat secara progresif menjadi abnormal
- Respon pupil menjadi abnormal.
- Dapat timbul muntah-muntah akibat penekanan intra kranial.
- Perubahan prilaku kognitif dan perubahan fisik pada saat berbicara dan
gerakan motorik dapat timbul dengan segera atau secara lambat.

5
- Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan
peningkatan intra kranial.

D. Lama Perawatan Pasien di Ruang ICU


Menurut Tanriono dkk (2017) lama rawat pasien rata-rata di ruang
ICU adalah 7-14 hari, tetepi juga bisa tergantung kondisi pasien.
E. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan radiologi
- CT scan : didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk
ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
- MRI : untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik.
Angiografi serebral : untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler.
- Pemeriksaan foto thorax : dapat memperlihatkan keadaan jantung,
apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu
tanda hipertensi kronis pada penderita stroke.
b) Pemeriksaan laboratorium
- Pungsi lumbal : pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai
pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil.
biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari
pertama
- Pemeriksaan darah lengkap : untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri.
2.4 Ventilator
Ventilator memiliki beberapa mode yaitu :
a. Mode Control, mesin secara terus menerus membantu pernafasan pasien.
Mode ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat buruk,
lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien,
pernafasan diberikan ke pasien pada frekuensi dan volume yang telah
ditentukan pada ventilator , tanpa menghiraukan upaya pasien untuk
mengawali inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas
tinggi dan ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi
fighting (tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru
meningkat dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh
mode control antara lain Intermitten Positive Pressure Ventilation (IPPV),

6
Controlled Respiration (CR), dan Controlled Mandatory Ventilation (CMV)
(Mbaubedari, 2011).
b. Mode IMV/SIMV (Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized Intermitten
Mandatory Ventilation) merupakan mode ventilator yang memberikan
bantuan nafas secara selang seling dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode
IMV pernafasan mandatory diberikan pada frekuensi yang di set tanpa
menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa
terjadi fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator
generasi terakhir mode IMV-nya disinkronisasi (SIMV), sehingga pernafasan
mandatory diberikan sinkron dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV
diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal
sehingga masih memerlukan bantuan (Mbaubedari, 2011).
c. Mode ASB/PS (Assisted Spontaneus Breathing/Pressure Support) diberikan
pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau pasien yang masih bisa
bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena nafasnya dangkal. Pada
mode ini pasien harus mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak
mampu untuk memicu trigger maka udara pernafasan tidak diberikan.
d. CPAP (Continuos Positive Air Pressure) mesin hanya memberikan tekanan
positif dan diberikan pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat.
Tujuan pemberian mode ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih
otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari ventilator (Mbaubedari,
2011).
Pada kasus tersebut, pasien sudah mampu untuk bernafas spontan
namun belum normal sehingga memerlukan bantuan ventilator dengan mode
SIMV. Bantuan tersebut diberikan secara bergantian antara nafas pasien dan
ventilator sehingga tidak terjadi tumpang-tindih.
2.5 Aspek Etik Legal
A. Autonomy
Konsep otonomi didasari oleh penilaian kebenaran manusia untuk memilih apa
yang terbaik untuk dirinya sendiri. Perawat menghargai dan menghormati
keputusan pasien, serta melindungi pasien yang tidak bisa memberikan
keputusan bagi dirinya sendiril (Utami, N.dkk, 2016). Namun, perawat harus
tahu siapa saja yang bisa atau kompeten dalam mengambil keputusan. Praktek
professional merefleksikan otonomi yaitu saat tim perawatan paliatif
menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan

7
dirinya. Didalam kasus istri Tn.C berhak memutuskan apakah suaminya
dilakukan perawatan selanjutnya atau tidak. Dan sebagai perawat harus
menghargai apa yang telah menjadi keputusan istri Tn.C.
B. Justice
Prinsip justice berdasarkan pada konsep keadilam ( fairness ). Yang dimaksudkan
adalah pemberian pelayanan harus sama dan seimbang baik manfaat maupun
kerugiannya dan tidak berat sebelah ( Efendi, F.M,2016) Dalam praktik
professional nilai ini dapat diwujudkan dengan misalnya, pemberian terapi
yang benar sesuai hukum, standar praktik dan keyakinan yang benar dalam
memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. Dalam kasus Tn.C harus mendapat
perawatan dan pengobatan yang sesuai standar, tidak boleh membeda-
bedakan antara pasien satu dengan yang lainnya.
C. Beneficience
Beneficence artinya “berbuat baik” perawat diwajibkan untuk berbuat baik.
( Utami, N.dkk, 2016). Maksudnya yaitu untuk melaksanakan tindakan yang
menguntungkan klien dan dukungan buat mereka. Namun, berbuat baik juga
dapat menimbulkan risiko merugikan. Dalam kasus perawat dan tenaga medis
lain harus berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan perawatan
kepada Tn.C, meskipun DPJP belum bisa dihubungi, pelimpahan tanggung
jawab pasien harus dialihkan kepada residen anastesi demi kebaikan Tn.C
untuk mencapai perawatan yang optimal.
D. Non maleficience
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya atau cedera fisik dan psikologis
pada klien. Prinsip tidak merugikan ini dapat diartikan bahwa perawat
berkewajiban untuk tidak merugikan orang lain, tidak menyebabkan
kerusakan, dan tidak menempatkan seseorang pada risiko bahaya (Utami dkk,
2016). Dalam kasus Tn.C terdapat di ruang ICU jadi harus dipantau secara
intensive selama 24 jam, dalam melakukan pemantauan tersebut ataupun
pemberian tindakan jangan sampai perawat salah dalam memberikan tindakan
karena bisa membahayakan pasien.
E. Confidentiality
Confidentiality atau kerahasiaan ini berarti bahwa informasi tentang pasien harus
dijaga privasinya (Efendi, 2016). Dalam prinsip ini perawat dalam membaca
dokumen kesehatan pasien hanya boleh dilakukan saat akan membaca dalam
rangka pengobatan pasien. Seseorang lain apabila menginginkan informasi
tersebut harus disertai ijin oleh pasien dengan buktinya. Diskusi tentang

8
pasien diluar pelayanan kesehatan , menyampaikan kepada teman ataupun
keluarga juga harus dicegah. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agak tidak
ada kebocoran informasi. Dalam kasus perawat tidak boleh memberikan
informasi tekait dengan kondisi medis yang dialaminya yait ICH (perdarahan
intraserebal) kepada orang lain, karena hal tersebut merupakan privacy, tetapi
karena pasien tidak sadar maka, informasi mengenai kondisi pasien bisa
diberitahukan kepada keluarga untuk menentukan perawatan selanjutnya.
F. Veracity
Prinsip veracity atau kejuran dibutuhkan dalam penyampaian informasi (Efendi,
2016). Dalam pemberian informasi tentang keadaan pasien juga dibutuhkan
prinsip ini dengan menyatakan kebenaran, akurat, komperehensif, dan
objektif dalam memfasilitasi pasien. Dalam kasus tersebut Tn.C mengalami
penurunan kesadaran, oleh karena itu segala kondisi tentang Tn.C dapat
disampaikan kepada istri Tn.C. Penyampaian informasi kepada kelurga pasien
tersebut harus jujur dan akurat.
G. Accountability
Accountability atau yang dimaksud dengan tanggung jawab sangat berhubungan
dengan prinsip fidelity (Kurniawan, 2017) Hal ini dikarenakan tindakan
seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali. Dalam kasus ini perawat harus bertanggung jawab terhadap pasien
dalam memberikan setiap intervensi yang telah diberikan.
H. Fidelity
Prinisp ini dibutuhkan perawat untuk menghargai janji dan komitmen terhadap
pasien mengenai kewajiban untuk selalu setia pada kesepakatan dan tanggung
jawab yang telah dibuat. Dalam kasus ini perawat harus bertanggung jawab
dan setia kepada Tn.C untuk memberikan intervensi dan menjaga
kerahasiannya mengnai diagnosa penyakitnya kecuali pada keluarga karena
Tn.C mengalami penurunan kesadaran.

2.6 Berduka dan Kehilangan


A. Pengertian Berduka
Dukacita adalah proses kompleks yang normal yang mencakup
respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual
ketika individu, keluarga, dan komunitas menghadapi kehilangan aktual,

9
kehilangan yang diantisipasi, atau persepsi kehilangan ke dalam
kehidupan pasien sehari-hari (NANDA, 2011). Berduka merupakan suatu
reaksi psikologis sebagai respon kehilangan sesuatu yang dimiliki yang
berpengaruh terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, maupun
intelektual seseorang. Berduka sendiri merupakan respon yang
normal yang dihadapi setiap orang dalam menghadapi kehilangan
yang dirasakan.
B. Tahapan Proses Kehilangan Dan Berduka
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan yaitu penyangkalan
(denial), marah(anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan
penerimaan (acceptance). Setiap individu akan melalui setiap tahapan
tersebut, tetapi cepat atau lamanya sesorang melalui bergantung pada koping
individu dan sistem dukungan sosial yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada
satu fase marah atau depresi. (Yusuf, Rizki, Hanik, 2015).
1. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan
adalah tidak percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari
kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti
tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin
muncul antara lain sebagai berikut :
- “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
- “Diagnosis dokter itu salah.”
- Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas
dalam, panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia,
serta merasa tak nyaman.
2. Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan
kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang
diproyeksikan kepada orang lain atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik
menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur,dan tangan
mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut :
- Emosional tak terkontrol
- “Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
- Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap
orang atau lingkungan.
- Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik

10
3. Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan
memasuki tahap tawar menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah
:
- “Seandainya saya tidak melakukan hal tersebut, mungkin semua
tidak akan terjadi” atau “misalkan dia tidak memilih pergi ke tempat
itu, pasti semua akan baik-baik saja”, dan sebagainya.
- Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah
pada masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
4. Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan.
Pasien sadar akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi.
Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang lain, dan tampak
putus asa. Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih, dan
penurunan libido. Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai
misalnya “Apa yang terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau
“Dapatkah keluarga saya mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran
saya?”. Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan
tahap yang penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam
tahap penerimaan dan damai.
5. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan.
Fokus pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang.
Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan, sehingga
sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan
dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu akan mengungkapkan
- “Saya sangat mencintai anak saya yang telah pergi, tetapi dia lebih
bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus berkonsentrasi
kepada pekerjaan saya.........”.
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan
mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di
satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap
penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila
terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu untuk

11
mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah
proses yang disfungsional.
Dalam kasus tersebut keluarga pasien atau istri Tn.C berada pada
tahap depresi. Hal ini dikarenakan istri Tn.C selalu menangis dan ingin
selalu ingin berada di samping Tn.C setiap hari.
2.7 End Of Life
A. Pengertian Perawatan end of life
Perawatan end of life merupakan perawatan yang membantu pasien
dengan penyakit lanjut, progresif, dan tidak dapat disembuhkan untuk dapat
bertahan hidup sebaik mungkin sampai menghadapai kematian (Suhamdan,
2018). Perawatan end of life mengacu pada perawatan tentang tahap akhir
dari kehidupan dan berfokus pada perawatan pasien menjelang ajal dan
keluarganya (Setyawan & Kusuma, 2016). Dalam memberikan perawatan end
of life, tenaga kesehatan profesional harus memahami tanda dan gejala fisik
yang dialami pasien. Hal tersebut dikarenakan pasien pada fase end of life
cenderung lebih takut terhadap tanda gejala kematian itu sendiri dibandingkan
dengan kematiannya.
B. Tujuan perawatan end of life
Tujuan perawatan end of life adalah :
a) Memaksimalkan perawatan bagi pasien dengan penyakit terminal dan
menurunkan penderitaan yang tidak diperlukan agar memiliki
pengalaman yang bermakna positif (Setyawan & Kusuma, 2016).
b) Membuat pasien penyakit terminal mencapai kualitas hidup yang optimal
dan membuat pasien penyakit terminal mengalami kematian dengan
penuh kedamaian (Suhamdan, 2018).

C. Teori perawatan end of life


Teori keperawatan peaceful end of life yang disampaikan oleh Ruland
& Moore (1998) menyebutkan bahwa dalam perawatan end of life tidak bisa
dipisahkan dengan sistem keluarga (Suhamdan, 2018). Perawatan yang
dilakukan harus melibatkan pasien dengan keluarga atau orang yang dianggap
penting dalam hidupnya. Hal tersebut dilakukan dalam Perawatan end of life
untuk meningkatkan hasil postif terkait dengan:
- Terbebas dari nyeri
Bebas dari penderitaan yang disebabkan oleh nyeri merupakan hal utama
dalam perawatan end of life karena nyeri dianggap sebagai sensori atau

12
emosi yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan
(Alligood, 2014).
- Mendapat kenyamanan
Dalam perawatan end of life, pasien harus mendapatkan kondisi yang
damai, puas, bebas dari rasa tidak nyaman, dan mendapat hal apapun yang
membuat hidup lebih mudah dan menyenangkan (Alligood, 2014).
- Bermatabat dan merasa terhormat
Setiap pasien dalam fase end of life harus dihormati dan dihargai sebagai
manusia. Setiap tindakan harus didasarkan oleh prinsip etika dan otonomi
pasien dan berhak atas perlindungan (Alligood, 2014).
- Merasa damai
Pasien harus merasa damai yaitu perasaan tenang, harmonis, puas, bebas
dari kecemasan, kegelisahan, kekhawatiran, dan ketaktan. Keadaan damai
meliputi dimensi fisik, psikologis dan spiritual (Alligood, 2014).
- Kedekatan dengan orang yang disayang
Kedekatan adalah sebuah perasaan saling terhubung dengan orang lain
yang peduli. Hal ini melibatkan kedekatan fisik dan emosional yang
diungkapkan dengan kehangatan dan hubungan yang intim (Alligood,
2014).
D. Peran tim paliatif dalam perawatan end of life antara lain:
a) Mencegah pasien mengalami rasa nyeri:
- Memonitor dan mengelola untuk menghilangkan rasa nyeri.
- memberikan intervensi farmakologi dan nonfarmakologi berupa
terapi musik untuk menghilangkan nyeri.
b) Memenuhi rasa kenyamanan pasien:
- Mencegah, memonitor, dan menurunkan ketidaknyamanan fisik.
- Memfasilitasi kebutuhan istirahat, relaksasi dan kesenangan.
- Mencegah komplikasi.
c) Membuat pasien merasa dihargai dan bermartabat:
- Melibatkan pasien dan keluarga dalam pengambilan keputusan.
- Merawat pasien dengan tulus, empati, dan menghormati.
- Perhatian tehadap kebutuhan, harapan, dan kesukaan pasien.
d) Membuat pasien merasa damai:
- Memberikan dungan emosional.
- Menumbuhkan kepercayaan.
- Menyediakan orang yang bermakna bagi pasien.
- Menyediakan bimbingan rohani dan tokoh agama jika pasien
menginginkan.
e) Membuat pasien merasa dekat dengan orang yang bermakna:
- Memfasilitasi keikutsertaan orang yang bermakna dalam perawatan
pasien.
- Memfasilitasi kedekatan dengan keluarga
E. Peran tim palitif sesuai kasus

13
a) Dalam kasus Tn.C mengalami post craniotomy hari ke 1 dan untuk
menghilangkan rasa nyeri akibat luka post craniotomy perawat
memberikan intervensi farmakologis berupa analgesik yang berklaborasi
dengan dokter dan intervensi non farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri dengan terapi musik.
b) Selain itu untuk mencegah berbagai komplikasi akibat post craniotomy
dilakukan intervensi farmakologis dengan berkolaborasi dengan dokter.
c) Keluarga Tn.C dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai
perawatan selanjutnya kepada pasien. Perawat juga harus tulus, empati
serta menghormati pasien dalam memberikan perawatan meskipun pasien
mengalami penurunan kesadaran.
d) Keluarga bisa dihadirkan disamping pasien dan memberikan dukungan
emosional kepada Tn.C tetapi juga harus memperhatikan aturan-aturan
mengenai kunjungan pasien di ruang ICU.

2.8 Management Symptomp


Tata laksana gejala (Kemenkes, 2013) :
A. Prinsip tata laksana gejala ICH (Perdarahan Intraserebral)
Gejala yang muncul pada pasien dengan penyakit stadium lanjut bervariasi.
Prinsip tata laksananya adalah sebagai berikut
1) Evaluasi
a) Evaluasi terhadap gejala yang ada :
- Apa penyebab gejala tersebut?
Beberapa gejala klinis ICH, yaitu :
 Onset pendarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu
melakukan aktivitas dan dapat didahului oleh gejala
prodomral berupa peningkatan tekanan darah yaitu nyeri
kepala, mual dan muntah, gangguan memori, bingung,
pendarahan retina dan epistaksis.
 Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertasi
hemiplegia/hemiparase dan dapat disertasi kejang
fokal/umum.
 Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral,
refleks pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi.
 Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TIK),
misalnya papiledema dan pendarahan subhialoid (Yayan,

14
2008).
- Mekanisme apa yang mendasari gejala yang muncul? (misalnya:
muntah karena tekanan intrakranial yang meningkat berlainan
dengan muntah karena obstruksi gastrointestinal).
- Adakah hal yang memperberat gejala yang ada (cemas, depresi,
kelelahan).
- Apakah dampak yang muncul akibat gejala tersebut? (misalnya:
tidak dapat beraktifitas normal, hiperventilasi, takipnea, tradikardi,
tidak sadarkan diri).
- Pengobatan atau tindakan apa yang telah diberikan? Mana yang tidak
bermanfaat?
 Step 1 : Pasien harus dirawat dan distabilisasi menurut ATLS
Pasien dengan GCS dibawah 9 dilakukan pemasangan ETT
 Step 2 : Kaji riwayat penyakit dan pengobatan.
 Step 3 : Penilaian gejala dengan menggunakan skala ROSIER
(skor > 0.90% berpotensi untuk stroke).
 Step 4 : Tes laboratorium (pemeriksaan darah rutin,
elektrolit, INR, PT, tes kehamilan, tes toksikologi, matrix
metalloproteinase, foto thorax, dan ECG).
 Step 5 : Pemeriksaan radiologi, CT Scan dan MRI.
 Step 6 : Terapi potensial (menghentikan atau memperlambat
perdarahan dini pada awal kejadian setelah onset dengan
farmakoterapi, pembedahan, coiling endovaskular) dan
penatalaksanaan terhadap gejala, tanda dan komplikasi dari
peningkatan intrakranial, penurunan perfusi otak, dan terapi
supportif untuk pasien dengan trauma kepala berat.
- Tindakan apa saja yang dapat dilakukan untuk mengatasi
penyebabnya? Pemeriksaan dini (MRI, CT Scan, X-ray),
pembedahan, farmakoterapi.
b) Evaluasi terhadap pasien:
- Seberapa jauh progresifitas penyakit ? Apakah gejala yang ada
merupakan gejala terminal atau sesuatu yang bersifat reversible?
- Apa pendapat pasien terhadap gejala tersebut?
- Bagaimana respon pasien?
- Bagaimana fungsi terkini tubuh?
2) Penjelasan

15
Penjelasan terhadap penyebab keluhan yang muncul sangat bermanfaat
untuk mengurangi kecemasan pasien. Jika dokter tidak menjelaskan,
mungkin pasien bertambah cemas karena menganggap dokter tidak tahu
apa yang telah terjadi dalam dirinya.
3) Diskusi
Diskusikan dengan pasien pilihan pengobatan yang ada, hasil yang dapat
dicapai dengan pilihan yang tersedia, pemeriksaan yang diperlukan, dan
apa yang akan terjadi jika tidak dilakukan pengobatan.
4) Pengelolaan secara individu
a) Pengobatan bersifat individual, tergantung pada pilihan yang tersedia,
manfaat dan kerugian pada masing masing pasien dan keinginan
pasien dan keluarga. Pengobatan yang diberikan terdiri dari:
- Atasi masalah berdasarkan penyebab dasar : atasi penyebabnya bila
memungkinkan. Misalnya pusing hebat yang dirasakan pasien terjadi
karena adanya peningkatan tekanan intrakranial.
- Prinsip pengobatan : setiap obat opioid dimulai dengan dosis terendah,
kemudian lakukan titrasi, untuk mendapatkan efek yang optimal.
- Penderitaan dan penurunan kualitas hidup akibat efek samping obat.
- Terapi fisik : selain dengan obat, modalitas lain diperlukan untuk
mengatasi gejala misalnya relaksasi, pengaturan posisi, penyesuaian
lingkungan dll.
5) Perhatian khusus
6) Walaupun gejala yang ada tidak dapat diatasi penyebabnya, mengatasi
keluhan secara simtomatis dengan memperhatikan hal hal kecil sangat
bermanfaat.
7) Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien, gejala yang ada dan dampak pengobatan
yang diberikan sangat diperlukan untuk meminimalisir gejala yang
dirasakan.
B. Tata laksana Gejala Post Craniotomy Surgery
a) Terapi non farmakologis
- Pada pasien yang masih memiliki rambut, bantu pasien mencuci
rambutnya dengan pijatan yang sangat lembut menggunakan sampo
ringan tanpa parfum yang kuat kemudian bilas menggunakan handuk
basah.

16
- Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam ketika pasien sudah sadar untuk
mengurangi intensitas nyeri (Nursing Interventions Clasifications
edisi keenam.
- Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran bisa digunakan
terapi musik untuk mengurangi rasa nyeri akibat post craniotomy.
b) Intervensi farmakologis

- Oles salep antibiotik topikal pada daerah sayatan untuk menghindari


infeksi sesuai anjuran dokter.

- Antibiotik untuk menekan proses infeksi.

- Analgesik seperti morfin untuk mengurangi nyeri.

- Paracetamol intravena untuk mengurangi intensitas nyeri.

(Nursing Interventions Clasifications edisi keenam)

- Manitol untuk meningkatkan serum osmolalitas dan


mengeluarkan/menarik cairan yang bebas dari area otak.
2.9 Support Group dan Holistic Care
A. Holistic Care
Prof. Dr. Liu Guiying dari Nursing College of Guangxi Medical
University China menjelaskan bahwa holistic care merupakan asuhan
keperawatan menggunakan pendekatan komprehensif dengan
mengintegrasikan konsep keperawatan komplementari, yakni alternatif dan
spiritual. Ada beberapa cara mengembangkan konsep Holistic care,
diantaranya dengan membangun sistem pertanggung jawaban perawatan
Holistic, menetapkan sumberdaya perawatan yang baik, serta melakukan
reformasi dengan melakukan pembagian divisi perawat. Selain itu, juga
mewajibkan tugas-tugas perawat harus jelas dan mengurangi perawat yang
tidak melakukan pekerjaan seorang perawat serta menugaskan perawat
berdasarkan tanggung jawab yang mereka miliki. Intervensi keperawatan
holistik yang bisa dilakukan pada pasien di ICU salah satunya adalah terapi
musik. Terapi musik merupakan terapi non farmakologis yang memiliki
pengaruh pada perubahan respon fisiologis terhadap kecemasan yang
dilihat dari tekanan darah, respirasi dan nadi, dan pengurangan tingkat
nyeri (Suhartini, 2008).

17
Jenis musik yang memiliki tempo lambat dengan kecepatan 60-80
denyut permenit memiliki efek yang paling posistif terhadap pasien (Nilsson,
2008). Musik yang digunakan adalah musik yang tidak diketahui oleh pasien
atau tidak tau mengenai liriknya karena kalau lirik diketahui oleh pasien.
Waktu optimum untuk intervensi terapi musik pada pasien dengan dukungan
ventikator adalah minimal 20 menit selama 2 kali dalam sehari. Didalam kasus
pasien mengalami nyeri akibat post craniotomy, oleh karena itu pemberian
terapi musik dapat figunakan sebagai intervensi norn farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri pada Tn.C.
b) Support Group
Keluarga berperan penting dalam upaya penyembuhan dan pemulihan
kesehatan pasien untuk itu pihak rumah sakit juga perlu memperhatikan aspek
kebutuhan keluarga pasien. Memenuhi kebutuhan keluarga pasien kritis
merupakan hal yang sangat penting dikarenakan jika keluarga tidak
mendapatkan apa yang dibutuhkan keluarga selama menunggu di ICU terkait
informasi perkembangan penyakit pasien, dukungan mental dari staf ICU,
rasa nyaman yang dirasakan selama menunggu pasien, kedekatan dengan
pasien, serta jaminan pelayanan. Hal ini dapat meningkatkan kecemasan yang
dirasakan oleh keluarga sehingga keadaan ini memungkinkan keluarga tidak
dapat melakukan peraannya dengan maksimal sebagai support sistem pasien,
serta sebagai pengambil keputusan yang akan dilakukan pada pasien.
Beberapa aspek kebutuhan keluarga pasien :
1. Kebutuhan informasi

Dalam memberikan informasi, salah satunya bisa dilakukan dengan


cara berkomunikasi dengan pasien maupun keluarga, perawat sebaiknya
perlu memahami perasaan dan perilaku keluarga dengan memperhatikan
latar belakang keluarga, budaya dan keunikan setiap individu, agar tercipta
komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dengan klien maupun
keluarga. Didalam kasus perawat dapat memberikan penjelasan mengenai
penyakit ICH (perdarahahan intraserrebral) dan dampak operasi
craniotomy pada keluarga pasien.
2. Dukungan mental

18
Kebutuhan dukungan mental merupakan kebutuhan akan dukungan
spiritual yang dimana dapat mengurangi kecemasan yang dialami oleh
keluarga pasien (Koenig, 2001 dalam Firdaus, W. 2018). Hal ini juga
memungkinkan untuk dilakukan kepada keluarga pasien dengan
meningkatkan dukungan spiritual salah satunya dengan mendatangkan
pemuka agama diharapkan dapat mengurangi kecemasan yang dirasakan
oleh keluarga pasien kritis. Didalam kasus istri Tn.C dapat mengatasi
kecemasannya terhadap suaminya dengan dukungan dari anggoa kelurga
lain atau dengan lebih mendekatkan diri dengan Tuhannya, untuk
memperoleh ketenangan misal seperti membaca Al-Quran dan lain-lain.
3. Kedekatan dengan pasien

Kedekatan keluarga dengan pasien merupakan salah satu peran dari


keluarga yang dapat memberikan manfaat bagi keluarga, pasien maupun
tenaga kesehatan. Manfaat tersebut meliputi dapat memberikan dukungan
emosional, kenyamanan, serta memberikan keintiman antara keluarga dan
pasien selama perawatan di ICU seperti membantu memandikan, menyeka,
menyisir rambut dan memberikan sentuhan, kehadiran keluarga juga dapat
menurunkan tekanan intracranial pasien apabila pasien beresiko
mengalami komplikasi pengkatan tekanan intracranial (Mc Adam, Arai,
Puntillo, 2008 dalam Firdaus, W. 2018). Begitu penting dan bermanfaatnya
kedekatan dengan pasien seharusnya pihak rumah sakit atau staf ICU ikut
melibatkan keluarga dalam beberapa hal yang akan dilakukan pada pasien.
Dalam kasus, istri Tn.C dapat memberikan dukungan emosional
kepada suaminya dengan cara memberi semangat, memberikan sentuhan,
dan hadir di samping suaminya, tetapi juga harus diperhatikan mengenai
batasan kunjungan ke ruangan ICU karena masih membutuhkan perawatan
intensive sehingga harus mendapat persetujuan dari dokter atau perawat.
4. Jaminan pelayanan

Hak pasien merupakan mendapatkan pelayanan yang bermutu


sesuai standar serta mendapat pelayanan yang jujur dari petugas kesehatan
dan kewajiban dari rumah sakit adalah memberikan informasi yang jujur,
benar serta valid (Undang-undang Republik Indonesia no. 44 tahun 2009

19
tentang rumah sakit). Sesuai dengan kasus, Tn.C berhak mendapat
perawatan yang bermutu dari berbagai masing-masing tenaga kesehatan
untuk mencapai kondisi stabil dan bisa dipindah ke ruang rawat inap,
sehingga bisa dilakukan perawatan dan pengobatan secara optimal untuk
mencapai kesembuhan.
3.0 Komunikasi
Komunikasi yang efektif merupakan sebuah proses yang penting dalam
menunjang keberhasilan pada asuhan keperawatan. Kunci dari terciptanya
hubungan yang baik antara perawat dan klien ataupun dengan tenaga kerja
kesehatan lain adalah kemampuan seorang perawat dalam berkomunikasi.
Perawat yang memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi akan mudah
menumbuhkan kepercayaan klien, sehingga klien bisa lebih terbuka untuk
berbicara mengenai masalah atau rasa sakit yang berhubungan dengan
penyakitnya. Komunikasi yang baik juga akan menunjang performa kinerja
perawat baik berkomunikasi dengan sejawat maupun dengan interprofesional
(Syagitta et al, 2017).
A. Komunikasi antar perawat
Sebagai sesama anggota profesi keperawatan, perawat harus dapat bekerja
sama dengan sesama perawat dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
asuhan keperawatan terhadap pasien. Untuk menjalankan tugasnya, perawat
diwajibkan dapat membina hubungan baik dan membangun komunikasi
efektif dengan sesama perawat yang ada di lingkungan tempat kerjanya.
Dalam membangun hubungan dan komunikasi tersebut, sesama perawat harus
mempunyai rasa saling menghargai, saling toleransi yang tinggi dan
ketrampilan berkomunikasi yang baik untuk menghindari terjadi sikap saling
curiga dan kesalahpahaman. (Pratika, 2017).
B. Komunikasi perawat dengan interprofessional
Penyelenggaraan pelayanan dilakukan oleh berbagai kelompok profesi.
Para profesional utama yang memberikan asuhan kepada pasien di rumah
sakit adalah staf medis baik dokter maupun dokter spesialis, staf klinis
keperawatan (perawat dan bidan), nutrisionis dan farmasis yang rutin dan
yang pasti selalu berkontak dengan pasien, akan tetapi tidak kalah pentingnya
profesional lain yang berfungsi melakukan asuhan penunjang berupa analis
laboratorium, penata rontgen, fisioterapis. Penyediaan pelayanan yang paling
sesuai di suatu rumah sakit untuk mendukung dan merespon setiap kebutuhan

20
pasien yang unik, memerlukan perencanaan dan koordinasi tingkat tinggi
(Rokhmah & Anggorowati, 2017).
Kolaborasi interprofesional merupakan sebuah strategi untuk mencapai
kualitas hasil yang dinginkan secara efektif dan efisien dalam pelayanan
kesehatan. Komunikasi dalam kolaborasi merupakan unsur penting untuk
peningkatan kualitas perawatan dan keselamatan pasien. Kemampuan untuk
bekerja dengan profesional dari disiplin lain untuk memberikan kolaboratif,
patient centred care dianggap sebagai poin penting dari praktek profesional..
Kompetensi profesional dalam praktek keperawatan tidak hanya kecekatan
psikomotor dan keterampilan diagnostik klinis, tetapi juga kemampuan dalam
keterampilan interpersonal dan komunikasi. Perawat diharapkan untuk
berkomunikasi dalam berbagai format di semua bidang praktek (Rokhmah &
Anggorowati, 2017).
C. Komunikasi perawat-keluarga
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara komunikator
dengan seorang komunikan, dalam hal ini antara perawat dengan pasien.
Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah
sikap, pendapat, dan perilaku seseorang, karena sifatnya dialogis, berupa
percakapan. Pentingnya komunikasi interpersonal bagi perawat ialah karena
perawat dapat mengetahui diri pasien selengkap-lengkapnya. Perawat dapat
mengetahui nama pasien, pekerjaannya, pendidikannya, agamanya,
pengalamannya, cita-citanya, dan sebagainya, yang penting adalah dapat
mengubah sikap, pendapat, dan perilakunya. Dengan demikian perawat dapat
mengarahkan pasien ke suatu tujuan sebagaimana pasien inginkan, dengan
begitu pasien akan merasa puas dan terpenuhi harapannya (Arumsari et al,
2016).
Perawat yang mempunyai kemampuan dan keterampilan baik dalam
berkomunikasi akan mudah menjalin hubungan dengan pasien maupun
keluarga. Komunikasi yang baik juga benar merupakan hal penting yang
harus dimiliki oleh setiap perawat. Komunikasi dibutuhkan oleh perawat
dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan baik kepada pasien
maupun keluarga. Kemampuan seperti ini patut untuk dijadikan sebagai suatu
kebiasaan dalam setiap menjalankan tugasnya saat memberikan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit (Arumsari et al, 2016).
D. Komunikasi perawat dengan pasien post craniotomy

21
Post craniotomy yaitu operasi neurologis umum yang sering dilakukan
untuk menghilangkan tumor otak, memperbaiki lesi dan mengurangi tekanan
intrakranial. Salah satu indikasi dilakukan kraniotomi yaitu adanya subdural
hematoma yang disebabkan oleh cedera kepala. Komplikasi pasca operasi
yang sering terjadi yaitu peningkatan tekanan intrakranial, perdarahan, syok
hipovolemik, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, Infeksi, kejang dan
gangguan dalam berbicara atau penurunan kesadaran (Savitri, 2012).
Gangguan dalam berbicara atau penurunan kesadaran ini bisa menjadi
hambatan komunikasi pasien dengan orang lain termasuk perawat, jika
komunikasi terhambat maka akan berdampak kurang baik pada pasien yang
dapat menimbulkan misinterpresepsi pada pasien dengan perawat sehingga
menyebabkan ketidaknyamanan di pasien dan beresiko pada melambatnya
kesembuhan. Karena hal tersebut, penggunaan komunikasi terapeutik
dibutuhkan oleh perawat untuk membina hubungan dengan pasien post
craniotomy (Savitri, 2012).
E. Teknik komunikasi
Teknik komunikasi kepada pasien, keluarga, maupun sesama perugas
kesehatan dapat menggunakan model komunikasi COMFORT. COMFORT
merupakan singkatan dari Communication, Orientation, Mindfulness, Family,
Ongoing, Reiterative, dan Team. Awalnya model komunikasi ini dibentuk
oleh mahasiswa kesehatan saat menyampaikan berita buruk pada pasien,
kemudian diadaptasi oleh perawat untuk komunikasi paliatif.
1. Communication

Communication merujuk pada cara perawat dalam menyampaikan


informasi pada pasien maupun keluarganya. Penggunaan komunikasi
secara verbal dan nonverbal sangat dibutuhkan. Dalam aspek verbal kita
harus menyamakan bahasa yang dapat saling dimengerti satu sama lain,
sehingga informasi yang disampaikan sesuai. Sedangkan nonverbal
menggunakan kontak mata, memajukan tubuh ke depan untuk
menunjukkan perhatian, self-awareness untuk menghindari tindakan yang
menyebabkan konsentrasi terganggu, serta mengangguk untuk
menunjukkan pemahaman atau kesetujuan saat pasien atau keluarga
berbicara (Villagran et al, 2010).

22
2. Orientation

Pemahaman serta orientasi pasien dan keluarga tergantung pada


tingkat kesehatan, pandangan mereka, serta imajinasi atau harapan
terhadap informasi yang akan disampaikan. Pasien maupun keluarga akan
meminta panduan atau orientasi terhadap petugas kesehatan dalam
menentukan pengobatan yang akan dijalani sesuai dengan harapan dan
keinginan. Sehingga dalam memberikan informasi, petugas kesehatan tidak
memberikan harapan yang nantinya tidak bisa pasien dapatkan (Villagran
et al, 2010).

3. Mindfulness

Mindfulness dibutuhkan petugas kesehatan untuk hadir dalam


interaksi medis secara fisik, psikologi, dan emosional. Hal ini dibutuhkan
untuk menunjukkan empati serta kehadiran kita dalam menjalin hubungan
dengan pasien dan keluarga dalam memahami serta menerima kondisinya.
Mindfulness sendiri memiliki tiga komponen, yaitu: mengurangi self-talk
dan mengingat script yang telah disiapkan sebelumnya, mengurangi
prasangka buruk terhadap jalannya interaksi dengan pasien dan keluarga,
serta kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan dinamis dalam
interaksi (Villagran et al, 2010).
4. Family

Fokus utama penyampaian informasi terdapat pada pasien. Namun,


keluarga menjadi aspek penting sebagai support pasien dalam menerima
informasi yang telah diberikan. Pasien akan lebih memahami dan
mengingat hal yang telah disampaikan oleh petugas kesehatan, serta dapat
lebih bekerjasama selama perawatan. Sehingga posisi keluarga sangat
penting dalam interaksi (Villagran et al, 2010).
5. Ongoing

Petugas kesehatan harus menjelaskan bahwa pasien tidak akan


diabaikan setelah di diagnosis dan keluarga tidak akan diabaikan selama
dan setelah kepergian pasien. Tindakan yang dilakukan petugas kesehatan

23
harus mencakup support dan comfort selama masa sakit untuk
memaksimalkan quality of life dari pasien beserta keluarga. Komunikasi
yang dilakukan memberi kesempatan untuk klarifikasi. Inti dari perawatan
yang dilakukan adalah walaupun harapan dan keinginan pasien akan
kesembuhan total mungkin tidak dapat tercapai, namun petugas kesehatan
tidak akan mengabaikan pasien dan keluarga (Villagran et al, 2010).
6. Reiterative

Komunikasi yang diulang memudahkan petugas pelayanan


kesehatan, keluarga dan pasien untuk mendiskusikan diagnosis secara jelas
dan tepat. Teknik pengulangan menjadi aspek yang penting dalam
memahami atau menjelaskan sebuah diagnosis dan bisa pula untuk
menentukan level pemahaman pasien dan keluarga terhadap prognosis
(Wittenberg-Lyles, Goldsmith, Sanchez-Reilly, & Ragan, 2008 dalam
Villagran et al 2010).
7. Team

Sebagian besar pasien mendapatkan perawatan dari TIM yang


terdiri dari berbagai spesialis, perawat, tenaga medis dan petugas kesehatan
yang lain. Tim dapat terdiri dari sekelompok ahli yang memang sudah rutin
bekerja bersama atau bisa juga dari beberapa ahli yang sengaja
dikumpulkan bersama untuk memenuhi kebutuhan pasien (Wittenberg-
Lyles, 2005 dalam Villagran, 2010).
Pertemuan antar anggota tim adalah sebuah cara yang bagus untuk
membentuk pendekatan yang konsisten, terkoordinir dan tepat secara
budaya dalam menyampaikan berita buruk namun, kondisi geografidan
waktu terkadang menghalangi pelaksanaan pertemuan tim yang rutin
(Wittenberg-Lyles et al, 2008 dalam Villagran, 2010).

24
BAB III

PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Kasus


Tn. C umur 35 tahun dirawat di ruang ICU, post kraniotomi hari ke-1 akibat ICH
karena kecelakaan lalu lintas. Tn. C terpasang ventilator dengan mode SIMV.
Perawat belum menerima program pada Tn. C. Dokter PJP belum bisa dihubungi,
hanya ada residen anastesi. Keluarga selalu bertanya pada perawat apakah akan
sembuh. Istri pasien selalu menangis ingin sekali berada disamping pasien
sepanjang hari.
4.2 Pengembangan kasus
- Dalam kasus DPJP belum bisa dihubungi sehingga pelimpahan wewenang
atau penanggung jawab pasien dapat dilakukan oleh residen anastesi, residen
saraf, Dokter spesialis penyakit dalam, Dokter spesialis bedah. Perawat bisa
melakukan diskusi mengenai rencana perawatan yang akan diberikan pada
pasien post craniotomy.
- Pasien terjadi penurunan kesadaran yaitu dengan GCS Dalam kasus
menunjukkan nilai GCS pasien adalah E1M4V2. Eye (E) menunjukkan nilai 1
bahwa respon pasien tidak bisa membuka mata terhadap rangsangan apapun.
Respon motorik (M) menunjukkan nilai 4 menunjukkan bahwa respon pasien
fleksi atau menghindari saat dirangsang nyeri. Verbal (V) 2 menunjukan
respon verbal pasien adalah suara yang tidak jelas.
- Tindakah operasi craniotomy pada pasien bisa mengakibatkan terjadinya
resiko infeksi .

25
- Pemasangan NGT dilakukan pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
- Pemasangan ventilator mode SIM V pada pasien dapat menyebabkan sel
goblet menyekresi mukus sebagai respon adanya benda asing yang masuk
sehingga akan terdengar suara gurgling.
4.3 Teknik Komunikasi
a) Komunikasi antar perawat
- Komunikasi antar perawat bisa dilakukan untuk mengevaluasi dari hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan dan kemudian hasilnya akan
didiskusikan bersama tenaga kesehatan lain untuk proses perawatan
selanjutnya.
b) Komunikasi interprofessional
Komunikasi ini bisa dilakukan antara perawat dengan petugas kesehatan lain
untuk memberikan intervensi yang terbaik bagi pasein dengan post
craniotomy :
- Tindakan pemasangan NGT yang dilakukan oleh perawat pada pasien
post craniotomy dapat dikomunikasikan dengan dokter spesialis penyakit
dalam.
- Pemberian nutrisi enteral melalui NGT dapat di kmunikasikan dengan
ahli gizi untuk menentukan nutrisi pada pasien post craniotomy untuk
bisa membantu proses penyembuhan luka post craniotomy atau
mencegah adanya infeksi akibat post craniotomy.
- Untuk mencegah adanya peningkatan TIK yang berlebihan akibat post
craniotomy bisa dilakukan kolaborasi pemberian obat bersama dokter.
- Pemasangan kateter pada Tn.C yang mengalami penurunan kesadaran
bisa dikomunikasikan antara perawat dengan dokter spesialis penyakit
dalam.
c) Komunikasi pada keluarga pasien post craniotomy
Standar Operasional Prosedur Komunikasi Perawat pada Keluarga Pasien
Post Craniotomy
Pengertian Komunikasi antara perawat dan keluarga pasien yang bertujuan
untuk memberikan informasi mengenai kondisi pasien dengan
post craniotomy ataupun intervensi-inetrvensi yang akan
diberikan kepada pasien.
Prosedur A. PERSIAPAN
1. Review terkait kondisi pasien bersama tim kesehatan lain.
2. Pilih ruangan yang menjamin privacy, dan usahakan baik
perawat maupun kelurga pasien bisa duduk dalam posisi

26
yang nyaman.
3. Matikan telepon atau alat-alat lain yang bisa mengganggu
diskusi.

B. Orientasi
1. Ucapkan salam dan perkenalkan diri
2. Menjelaskan tujuan
3. Kontrak waktu
C. Kerja
1. Mencari tahu seberapa banyak informasi yang diketahui
pasien
- Menanyakan pemahaman keluarga tentang kondisi yang
dialami oleh pasien.
- Menjelaskan kondisi pasien kepada keluarga apabila
kelurga belum mengetahui secara sepenuhnya atau
belum mengetahui sama sekali.
- Perhatikan respon dari pasien.
- Berikan waktu untuk keluarga pasien mengekspresikan
kesedihannya.
- Tunjukkan sikap empati kepada keluarga.
2. Mencari tahu seberapa banyakkah informasi yang
ingin diketahui pasien
- Tanyakan pada keluarga pasien seberapa detil informasi
yang ingin didengarnya tentang penyakit yang dialami
oleh pasien.
3. Berbagi informasi
- Memberikan informasi mengenai pemeriksaan-
pemeriksaan yang telah dilakukan.
- Menanyakan kepada keluarga mengenai pemahaman
penyakit ICH atau perdarahan intraserebral.
- Menjelaskan penyakit ICH kepada keluarga jika
keluarga belum mengetahui secara sepenuhnya atau
belum mngetahui sama sekali.
- Menanyakan pemahaman keluarga tentang dampak
operasi craniotomy.
- Menjelaskan dampak operasi craniotomy pada keluarga
pasien jika belum diketahui secara sepenuhnya atau
belum diketahui sama sekali.
- menjelaskan intervensi yang akan diberikan atau yang

27
telah diberikan.
- Menjelaskan prognosa (kemungkinan yang terjadi)
kepada keluarga pasien.
4. Menanggapi perasaan pasien
- Perhatikan respon dari keluarga pasien.
- Berikan waktu kelurga untuk mengeskpresikan
kesedihannya.
- Tunjukkan sikap empati dan supportif pada keluarga.
5. Perencaan dan tindak lanjut
- Menanyakan kekhawatiran yang dirasakan keluarga
setelah mendapat penjelasan tentang kondisi pasien
- Menjelaskan kepada keluarga tentang apa yang harus
dilakukannya
- Tawarkan kepada keluarga mengenai bantuan yang
dapat diberikan jika hal yang tidak diinginkan terjadi
D. Terminasi
- Evaluasi perasaan keluarga setelah mendapat informasi.
- Tanyakan kepada keluarga mengenai informasi yang telah
Diberikan.
- Atur kontrak waktu lagi dengan keluarga untuk
mendiskusikan kondisi pasien jika diperlukan.
- Salam.

d) Komunikasi Perawat dengan Pasien post craniotomy


Setiap tindakan yang akan dilakukan pada pasien dengan post craniotomy
harus dikomunikasikan terlebih dahulu kepada pasiennya, meskipun pasien
mengalami penurunan kesadaran. Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara
verbal ataupun non verbal. Komunikasi dapat dilakukan dengan cara bicara
didekat pasien dan bisa sambil menyentuh tangan pasien. Contoh :
“Assalamualaikum pak, saya perawat Lina, saya yang bertugas pada sift siang
ini. Untuk hari ini saya akan melakukan tindakan pemberian nutrisi melalui
selang yang terpasang di hidung bapak, untuk prosedurnya saya akan
memasukkan makanan yang sudah dihaluskan melalui selang ini pak, untuk

28
kontrak waktunya sekitar 20 menit.” (sambil berbicara didekat pasien/sambil
menepuk secara pelan di bagian tubuh pasien (komunikasi non verbal).

BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Komunikasi merupakan proses sosial di mana individu-individu menggunakan
simbol-simbol untuk menciptakan serta menginterpretasikan makna dalam
lingkungan mereka. Melakukan komunikasi kepada pasien paliatif dapat
menggunakan model komunikasi COMFORT (Communicate, Orientation and
Opportunity, Mindfulness, Family, Opening, Relating, Team). Selain itu, dalam
memberikan informasi perawat harus memperhatikan hal-hal seperti ruangan yang
memberikan kenyamanan dan privacy bagi klien, meminimalkan gangguan seperti

29
suara telepon, mempersiapkan dan mempelajari semua informasi tentang pasien
yang akan disampaikan, menanyakan kesediaan klien untuk menerima informasi
yang akan disampaikan, memahami perasaan klien dengan empati, serta
menanyakan rencana tindak lanjut klien setelah mendapatkan informasi.
5.2 Saran
Perawat sebagai komunikator atau penyampai informasi kepada pasien, keluarga,
maupun sesama petugas kesehatan hendaknya dapat menyesuaikan dengan situasi
yang ada dengan komunikan. Agar tidak terjadi kesalahpahaman antar
komunikaror dan komunikan.

LAMPIRAN

Standar Operasional Prosedur Komunikasi Perawat pada Keluarga Pasien


Post Craniotomy
Pengertian Komunikasi antara perawat dan keluarga pasien yang bertujuan
untuk memberikan informasi mengenai kondisi pasien dengan post
craniotomy ataupun intervensi-inetrvensi yang akan diberikan
kepada pasien.
Prosedur B. PERSIAPAN
1. Review terkait kondisi pasien dilakukan oleh tim kesehatan yaitu
antar perawat, perawat dengan dokter spesialis penyakit dalam,
residen anastesi, residen spesialis saraf dokter penyakit dalam,
dan ahli gizi.
- Komunikasi antar perawat :

30
“ Sesuai dengan hasil pemeriksaan yang sudah saya
lakukan ners, Tn.C adalah pasien post craniotomi dengan
kondisi penurunan kesadaran GCS E1M4V2, terpasang
ventilator mode SIM V, luka bekas operasi post
craniotomi masih terlihat basah, TTV TD 142/98 mmHg,
frekuensi pernafasan 20x/menit, Suhu 370C, frekuensi
nadi 102x/menit.”
“Ners untuk memberikan kenyaman pada pasien kita
dapat memberikan posisi semi fowler yaitu 15-30
derajad.”
“Nah untuk selanjutnya kita akan mendiskusikan
perencanaan intervensi yang akan kita lakukan kepada
Tn.C bersama dengan tim kesehatan lain.”
- Komunikasi perawat dengan dokter Penyakit Dalam:
“Dok, dikarenakan pasien mengalami penurunan
kesadaran maka diperlukan tindakan pemasangan NGT
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, bagaimana dok?”
“Dok karena sesuai dengan pemeriksaan terdapat suara
gurgling, maka intrvensi yang akan kami lakukan adalah
suction, bagaimana menurut dokter?”
- Komunikasi perawat dengan dokter spesialis bedah
“ Sesuai dengan pemeriksaan, luka post craniotomy pada
pasien masih terlihat basah, maka dilakukan perawatan
luka untuk mencegah terjadinya infeksi, lalu untuk
agenda perawatan lukanya dapat dilakukan kapan saja ya
dok?”
- Komunikasi perawat dengan ahli gizi
“Dikarenakan pasien baru saja mengalami post
craniotomy, untuk pemenuhan gizinya bisa anda tentukan
untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya terutama bisa
bermnafaat untuk membantu pemulihan post luka operasi
dan mencegah adanya resiko infeksi akibat luka pos
operasi craniotomy.”
“Dok untuk memudahkan eliminasi BAK pasien akan
kami pasang kateter, bagaimana dok?”
- Komunikasi perawat dengan dokter spesialis dalam,
residen spesialis saraf dan farmasis
“ Untuk mencegah terjadinya, perluasan PTIK akibat
31
post craniotomy dan pengurangan nyeri jenis obat apa
yang sesuai untuk diberikan kepada pasien dok?”
“lalu untuk dosisnya berapa?” nanti akan diresepkan
farmasis yang ada disini.”
2. Pilih ruangan yang menjamin privacy, dan usahakan baik
perawat maupun kelurga pasien bisa duduk dalam posisi yang
nyaman.
3. Matikan telepon atau alat-alat lain yang bisa mengganggu
diskusi.
B. Orientasi
1. Ucapkan salam dan perkenalkan diri
“Assalamualaikum bu, selamat pagi, perkenalkan nama saya
perawat Lina.”
2. Menjelaskan tujuan
“Tujuan pertemuan hari ini dengan ibu adalah untuk
mendiskusikan tentang kondisi suami ibu.”
3. Kontrak waktu
“Bagaimana kalau diskusi berlangsung sekitar 30 menit, apakah
ibu bersedia?”
C. Kerja
1. Mencari tahu seberapa banyak informasi yang diketahui
pasien
- Menanyakan pemahaman keluarga tentang kondisi yang
dialami oleh pasien
“ Apakah ibu sudah mengetahui bagaimana kondisi suami
ibu?”
- Menjelaskan kondisi pasien kepada keluarga apabila
keluarga belum mengetahui secara sepenuhnya atau belum
mengetahui sama sekali.
“Jadi suami ibu saat ini masih dalam kondisi memerlukan
perawatan yang intensive di ruang ICU ya bu, dikarenakan
kemarin baru dilakukan operasi di otak nya.”
- Perhatikan respon dari pasien.
- Berikan waktu untuk keluarga pasien mengekspresikan
kesedihannya.
- Tunjukkan sikap empati kepada keluarga (komunikasi
verbal dan non verbal)
“Ibu, harus tetap semangat, dan terus berusaha untuk
kesembuhan suami ibu.”

32
2. Mencari tahu seberapa banyakkah informasi yang ingin
diketahui pasien
- Tanyakan pada keluarga pasien seberapa detail informasi
yang ingin didengarnya tentang penyakit yang dialami oleh
pasien.
“Sebelumnya mohon maaf, mengenai informasi kondisi
suami ibu, apakah ibu ingin mengetahui secara detail atau
gambaran besarnya saja bu?”
3. Berbagi informasi
- Memberikan informasi mengenai pemeriksaan-pemeriksaan
yang telah dilakukan.
“Jadi begini bu dari hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang
telah dilakukan suami ibu mengalami perdarahan diotaknya,
dikarenakan kecelakaan lalu lintas, dan berdasarkan
pemeriksaan tersebut suami ibu mengalami ICH atau
perdarahan intraserebral.”
- Menanyakan kepada keluarga mengenai pemahaman
penyakit ICH atau perdarahan intraserebral.
“Apakah ibu sebelumnya pernah mengetahui tentang ICH
atau perdarahan intraserebral?”
- Menjelaskan penyakit ICH kepada keluarga jika keluarga
belum mengetahui secara sepenuhnya atau belum
mengetahui sama sekali.
“Jadi perdarahan intraserebral atau ICH itu merupakan
perdarahan yang terjadi di dalam otak biasanya terjadi
akibat akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam
jaringan otak bu.”
“Salah satu penanganan yang dapat dilakukan adalah
dengan operasi craniotomy atau operasi otak yang kemarin
dilakukan oleh suami ibu.”
- Menanyakan pemahaman keluarga tentang dampak operasi
craniotomy
“Apakah ibu sudah mengetahui bagaimana dampak operasi
craniotomy?”
- Menjelaskan dampak operasi craniotomy pada keluarga
pasien jika belum diketahui secara sepenuhnya atau belum
diketahui sama sekali
“Dampak operasi craniotomy yang bisa terjadi pada suami

33
diantaranya ada terjadi penurunan kesadaran, kelemahan
otot, dan resiko infeksi akibat dari operasi craniotomy.”
- menjelaskan tindakan keperawatan yang akan diberikan
“Tindakan keperawatan yang akan saya berikan kepada
suami ibu dintaranya ada pemasangan selang NGT untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi, terus nanti juga akan
dilakukan penyedotan lendir di trakea karena adanya
pemasangan alat bantu nafas, melakukan perawatan luka,
dan kolaborasi dengan ahli kesehatan lain untuk
memberikan tindakan kepada suami ibu agar bisa cepat
sembuh, untuk posisinya kami memberikan posisi tidur di
bed bagian kepala di naikkan sedikit ya bu, agar bapak
nyaman berbaringnya, lalu untuk pencegahan agar tidak
terjadi peningaktan TIK di otak akibat operasi kami
memberikan obat ini (obat sesuai instruksi dokter), lalu
untuk mempermudah untuk BAK bapak kami melakukan
pemasangan kateter melalui alat kelamin suami ibu.”
- Menjelaskan prognosa (kemungkinan yang terjadi) kepada
keluarga pasien.
“Biasanya lama perawatan pasien di ICU rata-rata 7-14
hari, jadi ibu berdoa saja ya, dan karena suami ibu
dilakukan tindakan operasi otak kemungkinan untuk
kedepannya suami ibu tidak bisa melakukan pergerakan
sesuai dengan normal untuk makan, jalan dan juga aktivitas
lain.”
4. Menanggapi perasaan pasien
- Perhatikan respon dari keluarga pasien.
- Berikan waktu keluarga untuk mengeskpresikan
kesedihannya.
- Tunjukkan sikap empati dan supportif pada keluarga.
“Meskipun begitu ibu harus tetap tabah dan kuat, karena
suami ibu butuh dukungan dari ibu untuk sembuh.”
5. Perencaan dan tindak lanjut
- Menanyakan kekhawatiran yang dirasakan keluarga setelah
mendapat penjelasan tentang kondisi pasien
“Mungkin dari ibu apakah ada yang masih dikhawatirkan
terkait kondisi suami ibu setelah mendapat penjelasan dari
saya?”
34
- Menjelaskan kepada keluarga tentang apa yang harus
dilakukan
“Jadi ibu harus tetap semangat, ibu juga jangan menangis
terus ya karena ibu harus memberikan dukungan kepada
suami ibu.”
“Selain itu ibu juga harus membatasi untuk bertemu suami
ibu di ruang ICU karena suami ibu masih dalam perawatan
intensif, apabila ibu ingin menemui harus mendapat
peretujuan dari dokter atau perawat.”
- Tawarkan kepada keluarga mengenai bantuan yang dapat
diberikan jika hal yang tidak diinginkan terjadi
“ Apabila ibu menemui tanda-tanda apapun pada suami ibu
ketika menemani suami di ruangan, ibu bisa hubungi saya
atau perawat lain.”
D. Terminasi
- Evaluasi perasaan keluarga setelah mendapat informasi.
“Bagaimana perasaan ibu setelah mendapat informasi tentang
kondisi suami ibu?”
- Tanyakan kepada kelurga mengenai informasi yang telah
diberikan.
“Mungkin ibu bisa jelaskan kepada saya apa saja dampak operasi
craniotomy?”
- Atur kontrak waktu lagi dengan keluarga untuk mendiskusikan
kondisi pasien jika diperlukan.
“Mungkin jika ibu ingin diskusi lagi mengenai kondisi suami
ibu, kita bisa bertemu lagi ya bu untuk mendiskusikannya.”
- Salam
“Baik terimakasih atas waktu diskusinya, saya pamit dulu
assalamualaikum bu.”

DAFTAR
PUSTAKA
Astuti, J., & Wahyuni, T. (2018). Analisis Praktek Klinik Keefektifan Massage Punggung
Menggunakan Nigella Sativa Oil terhadap Pencegahan Resiko Dekubitus pada Pasien
ICH Post Craniotomi di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD Abdul
WahabSjahranie Samarinda Tahun 2018.

35
Efendi, F. M. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Firdaus, W. (2018). Pemenuhan Kebutuhan Keluarga Pasien Kritis Di Ruang Intensive


Care Unit (Icu) Rsud Dr. Dradjat Prawiranegara Serang. Jurnal Ilmu Keperawatan
dan Kebidanan, 9(1), 104-110
Garland A, Fransoo R, Olafson K, et al. The Epidemiology and Outcomes of Critical
Illness in Manitoba. Manitoba Centre for Health Policy, University of Manitoba.
2012 [updated 2012 Apr; cited 2014 Feb 23]. Available from: http://mchpappserv.
cpe.umanitoba.ca/deliverablesList.html
Hidayah, M., Tugasworo, D., & Belladonna, M. (2015). Faktor–Faktor Yang
Berhubungan Dengan Outcome Pasien Stroke Yang Dirawat Di Icu Rsup Dr
Kariadi Semarang (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Indonesian Society of Intensive Care Medicine. Pedoman Penyelenggaraan Intensive
Care Unit (ICU) di Rumah Sakit [internet]. 2014 [cited 2015 Jan 20]. Available from:
http://perdici.org/pedoman-icu/
Kurniawan, D. E. (2017). Penyelesaian Masalah Etik Dan Legal Dalam Penelitian
Keperawatan. Jurnal Ilmiah Kesehatan Rustida, 3(2), 408-414.

Kementrian Kesehatan RI (2013). Pedoman Teknis Perawatan Paliatif Kanker[internet].


Retrieved from : https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/2016/10/Pedoman-
Teknis-Pelayanan-Paliatif-
Kanker.pdf&ved=2ahUKEwjy2u76_vXkAhXainAKHcftCegQFjAHegQIBBAB&usg
=AOvVaw2A95N2X0cKE_IGPQnteLRi
Mbaubedari, S.(2011).Formula penilaian resiko operasional ventilator mekanik bagi
perawat. Tesis. Universitas Indonesia.
Naidich, Thomas P., Castillo Mauricio Cha., Soonmaee., Smirniotopolus & James G.
(2012) Pencitraan otak Seri radiologi Pakar. Ilmu Kesehatan Elsevier. hal.387. ISBN
978-1416050094)
Pribadi, H. T., & Pujo, J. L. (2012). Angka Kematian Pasien Kraniotomi Di Icu Dan Hcu
Rsup Dr. Kariadi (Doctoral dissertation, Fakultas Kedokteran).
SURYAWAN, D. M. B. (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Post Craniotomy
Intracranial Hemorrhage Di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta)

36
Suhartini, S. (2010). Effectiveness of music therapy toward reducing patient’s anxiety in
intensive care unit. Nurse media journal of nursing, 2(1).
Suryani. (2012). Aspek Psikososial Dalam Merawat Pasien Kritis. Unpad
Savitri, N. C. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Post Craniotomy Dengan
Diagnosa Cedera Kepala Berat (CKB) Di Intensive Care Unit (ICU) Rsud Dr.
Moewardi Di Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).
Tanriono, C., Laleno, D. C., & Laihad, M. L. (2017). Profil Pasien Pasca Kraniotomi Di ICU
RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado Periode Juli 2016-Juni 2017. E-Clinic, 5(2)
Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah sakit
Utami, N., Agustine, U., Endah, H.R. 2016. Etika Keperawatan dan Keperawatan
Profesional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Villagran, M. (2010). Creating COMFORT: A Communication-based model for Breaking


Bad News. Communication education. 59(3).
Yusuf, Rizky FS, Hanik EN. 2015.Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Medika
Yayan (2008). Stroke. Artikel of Riau Arifin Achmad General Hospital of Pekanbaru
Univeristy[Internet]
Zazulia A. Critical Care Management of Acute Ischemic Stroke [internet]. 2009:15
[cited 2015 Jan 20]. Available from: American Academy of Neurology

37

Anda mungkin juga menyukai