Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH TENTANG

“ Komunikasi Dalam Pelayanan Kesehatan

(Komunikasi Dalam Organisasi / Dalam Konteks Manajemen)“

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Komunikasi

Disusun Oleh :

Dini Ariyani 2214401087

Fajrin Rizki Ananda 2214401091

Rafika Trisna 2214401108

Sevi Meiliana 2214401111

Yuliana Patriecia Peling 2214401117

D3 – Keperawatan / Tingkat I

STIKES PAMENTAS JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
Rahmat-Nya kami dapat menulis makalah ini yang berjudul “Komunikasi Dalam
Pelayanan Kesehatan (Komunikasi Dalam Organisasi / Dalam Konteks
Manajemen)“ hingga selesai. Meskipun dalam makalah ini pasti terdapat berbagai macam
kesalahan dan kekurangan namun kami telah berusaha menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik mungkin yang di bantu dari berbagai pihak. Maupun pihak antara anggota
kelompok yang saling berkerja sama maupun narasumber-narasumber dari internet
maupun buku-buku.

Oleh karena itu, kami menghanturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan sumbangan dan saran atas selesainya penulisan makalah ini. Di dalam
penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan-kekurangan
mengingat keterbatasannya pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh sebab itu,
sangat di harapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk
melengkapkan makalah ini dan berikutnya

Depok, 30 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................
Daftar Isi.....................................................................................................................
Daftar Istilah...............................................................................................................
Daftar Tabel...............................................................................................................
Komunikasi dan Kesehatan Masyarakat....................................................................
Komunikasi Dalam Kesehatan...................................................................................
Health Dalam Komunikasi.........................................................................................
Komponen Dalam Proses Komunikasi Kesehatan.....................................................
2.1.2 Menurut Para Ahli.............................................................................................
2.1.3 Menurut Alkitab................................................................................................
2.1.4 Menurut Kamus Hukum....................................................................................
2.2 Sejarah Euthanasia............................................................................................
2.2 Jenis-Jenis Euthanasia.......................................................................................
2.2.1 Dilihat dari Segi Pelakunya...............................................................................
2.2.2 Dilihat dari Segi Caranya..................................................................................
2.2.3 Ditinjau dari Sudut Pemberian Ijin...................................................................
2.2.4 Pandangan Para Ahli Terhadap Euthanasia......................................................
2.2.5 Pandangan Berbagai Ajaran Agama Terhadap Euthanasia...............................
2.2.6 Pandangan Hukum diberbagai Negara Mengenai Euthanasia..........................

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Penyebab Terjadinya Euthanasia......................................................................
3.2 Kasus-Kasus Euthanasia...................................................................................
3.3 Aspek-Aspek Euthanasia..................................................................................
3.3.1 Aspek Hukum....................................................................................................
3.3.2 Aspek Hak Asasi...............................................................................................
3.3.3 Apek Ilmu Pengetahuan....................................................................................
3.3.4 Aspek Agama....................................................................................................
3.4 Terminologi Euthanasia.......................................................................................
3.5 Faktor yang Mempengaruhi Euthanasia...............................................................

ii
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................
4.2 Saran.....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

iii
1.1 Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan salah satu bentuk interaksi sosial di dalam
kehidupan manusia. melalui komunikasi dapat terjalin suatu hubungan dan kepercayaan
antar individu. Pengaruh komunikasi akan berdampak pada pembentukan sikap,
kepercayaan, nilai dan keyakinan. Komunikasi dianggap memiliki peranan besar dalam
kehidupan sosial karena setiap manusia harus dapat berkomunikasi sekalipun dalam
bentuk nonverbal. Keterampilan berkomunikasi dipastikan akan melibatkan aktivitas
fisik, psikologis, dan sosial.
Dinamika dan fenomena komunikasi seseorang sangat dipengaruhi oleh latar
belakang budaya, sosial, ras, pengalaman, usia, pendidikan dan tujuan komunikasi. Setiap
individu berkomunikasi secara konstan dari lahir sampai meninggal dunia. Semua proses
kehidupan berfokus pada komunikasi. Komunikasi yang baik dan efektif akan
menentukan keberhasilan penyampaian pesan, termasuk dalam hubungan komunikasi
antara tenaga medis dan pasien.
Komunikasi dalam bidang kesehatan merupakan proses untuk menciptakan
hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien untuk mengenal kebutuhan pasien dan
menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan
tersebut.Komunikasi yang baik akan menciptakan kedekatan hubungan antara tenaga
medis dan pasien. Dalam praktis medis, komunikasi merupakan sarana dalam membina
hubungan terapeutik dan komunikasi merupakan sarana untuk mempengaruhi orang lain
dalam upaya mencapai kesuksesan hasil tindakan medis. Komunikasi diklaim sebagai
fondasi dari semua pelayanan kesehatan

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, masalah dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
1. Apa pengertian Euthanasia dari berbagai sudut pandang?
2. Bagaimanakah sejarah Euthanasia?
3. Apa sajakah jenis-jenis Euthanasia?
4. Bagaimanakah pandangan para ahli terhadap Euthanasia?
5. Bagaimana pandangan dari berbagai ajaran agama terhadap Euthanasia?
6. Bagaimana pandangan hukum diberbagai negara Euthanasia?

iv
7. Apakah penyebab terjadinya Euthanasia?
8. Apa contoh kasus-kasus Euthanasia?
9. Aspek-aspek apa sajakah yang ada di dalam Euthanasia?
10. Apa termonologi dari Euthanasia?
11. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Euthanasia?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari pembuatan atau penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian Euthanasia dari beberapa sudut pandang
2. Untuk mengetahui contoh kasus-kasus Euthanasia
3. Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia
4. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Euthanasia

1.4 Metode Penulisan


Metode penelitian merupakan langkah penting di dalam penyusunan laporan riset
khususnya bagi perancangan sistem. Di dalam kegiatan penelitian, kami melakukan
pengumpulan data melalui cara:
1. Pengamatan (Observation)
Kami melakukan pengamatan-pengamatan langsung terhadap kegiatan yang
berhubungan dengan masalah yang diambil. Hasil dari pengamatan tersebut
langsung dicatat oleh kami dan dari kegiatan observasi dapat diketahui permasalahan
atau proses dan kegiatan tersebut.
2. Studi Pustaka
Selain melakukan kegiatan observasi diatas, kami juga melakukan studi kepustakaan
melalui literatur-literatur atau referensi-referensi yang ada di buku-buku perpustakaan
dan juga internet.

v
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Euthanasia

Didalam makalah ini, kita akan membahas suatu tindakan yang disebut Euthanasia. Dalam
kasus ini terdapat banyak pro dan kontra yang membingungkan dan masih dicari jalan
kebenarannya apakah tindakan Euthanasia adalah suatu tindakan yang bijaksana atau suatu
pembunuhan. Akan tetapi, dalam perkembangan Euthanasia lebih menunjukan kegiatan
membunuh karena belas kasihan.

Maka menurut pengertian umum sekarang ini, Euthanasia dapat diterangkan sebagai
pembunuhan yang sistematis karena kehidupan penderita yang dianggap sebagai suatu
kesengsaraan bagi penderita. Jadi, dianggap bahwa kematian diatas dasar pilihan rasional
seseorang , yang dapat dianggap meringankan beban penderita atau malah menghilangkan
nyawa penderita tanpa persetujuan dari penderita itu sendiri. Berikut adalah berbagai pengertian
dari sudut pandang pihak-pihak tertentu.

2.1.1. Secara Etimologis


Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata “eu”
berarti baik, dan “thanatos” berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup
dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut
juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang).
Jadi, Euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati
ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi
yang setuju menganggap Euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi,
sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai
moral, etika dan agama.

2.1.2. Menurut Para Ahli


Ada beberapa pengertian Euthanasia yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Diantaranya sebagai berikut:
1. Philo. Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik.
2. Suetonis. Penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul “Vita Ceasarum”
mengatakan bahwa Euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.

1
3. Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia adalah suatu
kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan
dokter.

2.1.3. Menurut Alkitab


Kasih merupakan alasan bagi orang Kristen untuk mendasari segala sesuatu,
tetapi bukan belas kasihan yang menghalalkan segala cara demi orang yang kita
kasihi. Menghentikan kehidupan demi alasan kasih merupakan sebuah hal yang
sangat keliru. Kasih menuntut agar orang yang sakitnya tidak tersembuhkan
diperlakukan dengan semua belas kasihan yang mungkin diberikan, tetapi bukan
supaya kita mengambil nyawa orang itu bahkan atas permintaannya sendiri. Belas
kasihan menurut Alkitab adalah menenangkan orang yang akan binasa dengan zat
penenang atau minuman keras dan bukan membantunya bunuh diri (Ams.31:6-7).
Dalam Alkitab, penderitaan mempunyai fungsi yang positif dan konstruktif
dalam
hidup manusia (Yakobus 1:2-4; Roma 5:3-4), penderitaan melahirkan ketekunan dan
pengharapan dan kesempurnaan hidup. Jika pro Euthanasia mengatakan bahwa
mengakhiri penderitaan seseorang adalah sikap murah hati, berarti penderitaan
dijadikan sebagai alat pembenaran praktek. Walaupun Euthanasia dapat mengakhiri
penderitaan, Euthanasia tetaplah suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri
dengan Euthanasia, itu sama artinya menghalalkan segala cara untuk tujuan tertentu.
Hidup adalah pemberian Tuhan (Kejadian 2:7). Manusia menjadi makhluk hidup
setelah Tuhan Allah menghembuskan napas kehidupan kepadanya (band. Yehezkiel
37:9-10). Napas kehidupan diberikan Tuhan sehingga manusia memperoleh
kehidupan. Tugas manusia tidak lain kecuali memelihara kehidupan yang diberikan
oleh Tuhan (band. Perumpamaan dalam Efesus 5:29). Bukan hanya kehidupan yang
sehat, tetapi juga hidup yang dirundung oleh penderitaan, hidup yang sakit, harus
dipelihara. Maka penderitaan harus dapat diterima sebagai bagian kehidupan orang
percaya (Roma 5:3) termasuk penderitaan karena sakit. Manusia lebih berharga
daripada materi. Maka, materi harus melayani kepentingan manusia (band. Matius 6,
tentang khotbah di Bukit).
Maka melakukan Euthanasia demi untuk kepentingan apapun, termasuk
penghematan ekonomi tidak dibenarkan secara moral, terutama moral Kristen.

2
Mencabut hidup manusia memang secara moral adalah sangat keliru apapun
motifnya. Apalagi membantu seseorang untuk mengakhiri hidupnya, bagi orang
Kristen memang itu adalah kesalahan yang melawan Hukum Allah, tetapi tidak
selalu salah untuk mengizinkan seseorang mati, khususnya jika ini merupakan
kematian yang wajar. Jika kita mengizinkan kematian seseorang berlangsung dengan
menghentikan suplai makanan atupun air, maka ini disebut pembunuhan. Akan
tetapi, ketika menolak atau menghentikan alat-alat yang tidak wajar seperi jantung
buatan ataupun alat bantu ginjal itu tidak selalu salah, inilah yang disebut dengan
Euthanasia Pasif yang wajar.
Etika Kristen merupakan etika deontologi, yaitu suatu etika yang berpusat pada
kewajiban sehingga dalam hal ini Euthanasia yang dilakukan adalah mengacu pada
kewajiban atau hukum yang lebih tinggi berdasarkan peraturan-peraturan yang telah
dipertimbangkan secara rasional. Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan
sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Orang yang menghendaki
Euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam
keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan
dihadapan Tuhan. Demikian juga para dokter yang melakukan Euthanasia bisa
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan, yaitu
memperpendek umur.

Berikut ini adalah contoh-contoh isi berbagai macam ayat alkitab atau penjelasan
yang mengarah tentang benar atau salahnya Euthanasia:
1. Tak ada orang yang mempunyai hak moral untuk membunuh manusia tak
bersalah. Kata Alkitab, “Jangan membunuh” (Kel. 20:30). “..dan seorangpun
tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku” (Ul. 32:29). Ayub
mengatakan, ”Tuhan memberi, Tuhan yang mengambil” (Ayb. 1:21) dan Dia
saja yang berhak mengambilnya (Ibr 9:27). Kesalahan Euthanasia Aktif adalah
memainkan peranan sebagai Allah dan bukan manusia. Bahkan Alkitab
mengatakan bahwa kita bukanlah pencipta hidup kita. hidup kita bukanlah milik
kita (Kis. 14:17; 17:24-25).
2. Bukan belas kasihan jika membunuh penderita. Membunuh bayi belum
lahir sama saja dengan Child Abuse. Membunuh bayi cacat atau kaum dewasa

3
yang menderita bukan menghindarkan dari kesengsaraan manusia, melainkan
menyebabkan penderitaan kematian. Bahkan Alkitab mengatakan, membunuh
orang yang tak bersalah bukan perbuatan baik, melainkan kejahatan (Kel 20:13).
3. Jika Euthanasia memperbolehkan membunuh dengan tujuan yang baik, maka
dengan membunuh pendukung Euthanasia dan aborsi, jutaan nyawa bisa
terselamatkan. Tetapi tidak akan ada pendukung Euthanasia yang
memperbolehkannya.
4. Dari penderitaan banyak dapat dipelajari. “Kita tahu bahwa kesengsaraan
itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji
mienimbulkan pengharapan” (Rm. 5:3-4). Yakobus berkata, “..anggaplah
sebagai suatu kebahagiaan , apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai
pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan
ketekunan”. Penderitaan membentuk karakter, “tiap-tiap pada waktu ia diberikan
tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan
buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya”
(Ibr. 12:11).
5. Tidak ada label harga pada hidup manusia. Yesus berkata, “Apa gunanya
seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Mrk.
8:36). Suatu nyawa manusia lebih berharga daripada apapun di dunia ini (Mat.
6:26). Pandangan membunuh untuk menghemat uang adalah materialistis.
6. Tujuan tidak membenarkan cara.
7. Manusia bukanlah hewan. “..sebab Allah membuat manusia itu menurut
gambar-Nya sendiri” (Kej. 9:6).
Salah satu contoh kasus dalam Perjanjian Lama yang hampir menjadi kasus
Euthanasia adalah kasus Saul yang meminta kepada pembawa senjatanya untuk
menikamnya. Tetapi pembawa senjatanya tidak mau, karena segan. Kemudian Saul
mengambil pedang itu dan menjatuhkan dirinya ke atasnya (1 Samuel 31:4). Raja
Saul berada pada ambang keputus-asaan dan merasa sudah tidak ada jalan keluar
selain mengakhiri penderitaannya. Euthanasia diminta atau dilakukan karena alasan
tidak tahan menderita, baik karena penyakit (rasa sakit) maupun oleh penghinaan di
medan perang (rasa malu). Kasus Saul mirip dengan kasus Abimelekh (Hakim 9:54);
takut disiksa dan dipermalukan adalah alasan melakukan Euthanasia.

4
Kasus euthanasia adalah kasus kematian yang dipaksakan, dan hal ini masuk
dalam kategori pembunuhan. Dalam Keluaran 20:13, dengan tegas firman Tuhan
berkata “Jangan membunuh.” Dengan demikian, tidak ada alasan moral apapun yang
mengijinkan pembunuhan, dan manusia itu sendiri tidak memiliki hak untuk
menentukan kematiannya, karena kematian adalah hak Tuhan (Ulangan 32:39; Ayub
1:21; Ibrani 9:27). Jadi, dalam pedalaman alkitab sekalipun Euthanasia di pandang
sebagai pembunuhan yang di larang di alkitab dan di larang di dalam 10 perintah
Allah.
2.1.4. Menurut Kamus Hukum
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan Euthanasia menjadi beban tersendiri bagi
komunitas hukum. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan
regulasi/pengaturan terhadap persoalan Euthanasia akan sangat membantu masyarakat di
dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena
munculnya pro dan kontra tentang kegiatan ini. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis
formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk Euthanasia, yaitu
Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sebagaimana secara eksplisit
diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan “Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” Bertolak dari
ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul bahwa pembunuhan atas permintaan korban
sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya.
Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia Euthanasia tetap dianggap
sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di
Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun
atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan
tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir perlu dicermati secara
hukum. Secara yuridis formal kualifikasi kasus ini adalah pembunuhan biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP
secara tegas dinyatakan, “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam,
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara
dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan

5
dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan
untuk menjerat pelaku Euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga
mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga
diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan
Pasal 306 (2).
Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan
sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan
kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. Dua
ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks
hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga
dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang
terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
2.2. Sejarah Euthanasia
Dari zaman Yunani kuno sudah dikenal tentang Euthanasia. Pada zaman
Yunani Romawi, penekanan Euthanasia ditekankan pada kehendak manusia untuk
melepaskan diri dari penderitaan terutama yang mengalami penyakit parah. Selain
itu, ada kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya Euthanasia yaitu tradisi
kurban, alasannya yaitu motivasi pribadi untuk berkurban dan pribadi yang mau
memberikan dirinya untuk sesamanya. Tapi tidak semua pemikir zaman ini sepakat
dengan Euthanasia seperti Pytagoras yang melawan tindakan ini yang berpendapat
bahwa hidup manusia mempunyai nilai keabadian, dan Euthanasia merupakan
tindakan yang tidak menanggapi arti hidup manusia. Sama halnya dengan Aristoteles
yang bertentangan dengan gurunya yang bersimpati terhadap Euthanasia dengan
alasan bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.
Pada tahun 1920, ada sebuah buku yang sangat popular dengan judul “The
Permision to Destroy Life unworthy of life”. Ditulis oleh seorang psikiatri dari

6
Freiburg bernama Alfredn Hoche dan seorang profesor hukum dari Universitas
Leipsig yang bernama Karl Binding. Mereka berpendapat bahwa tindakan membantu
seseorang yang mengalami kematian adalah masalah ketika tingkat tinggi yang
membutuhkan pertimbangan yang tepat, yang merupakan solusi belas kasihan atas
masalah penderitaan.
Di Inggris pada tahun 1935, seorang Dokter membentuk The Voluntary
Euthanasia Legislation Society, untuk melegalisasi Euthanasia bersama dengan
dokter-dokter terkenal lainnya. Namun, rancangan ini kemudian ditolak oleh Dewan
Lord setelah melalui perdebatan di House Of Lord pada tahun 1936. Di Jerman,
kekuasaan Adolf Hitler memeritahkan untuk melalukan tindakan Mercy killing
secara luas yang dikenal dengan “Action T4” untuk menghapus kehidupan orang
yang dianggap tak berarti dalam kehidupan (Life Under Worty of Life). Di Australia
tahun 1995, Australia Northem Territority menyetujui RUU Euthanasia dan berlaku
pada tahun 1996 dan dijatuhkan oleh parlemen Australia pada tahun 1997.
Sedangkan di Oregon, negara bagian AS mengeluarkan Death with Dignity
Law satu undang-undang yang memperbolehkan dokter menolong pasien yang dalam
kondisi terminally ill untuk melakukan bunuh diri, sampai pada tahun 1998 sudah
ada 100 orang mendapatkan Assisten Suicide. Hal in terus diperdebatkan di Amerika
dan pada tahun 1998 Oregon melegalisis Asisten Suicide dan itu satu-satunya di
negara bagian Amerika yang melegalkan Euthanasia.
Di Belanda pada tahun 2000 melegalkan Euthanasia Aktif Voluntir ini
mendapat berbagai sorotan dari organisasi anti Euthanasia dan juga dari organisasi
pro Euthanasia. Seperti Rita Marker dari ADIWIDIA edisi Desember 2010 No. 1
“Internasional Againts Euthanasia task force” “apakah sekarang sebuah kejahatan
akan diganti dengan perawatan”, sedangkan Tamara Langley dari The UK voluntary
Euthanasia Society menganggap sebagai suatu perkembangan, orang-orang
mengambil keputusan yang mereka buat sendiri. Ebger dari Cristian union
mengatakan bahwa undang undang ini adalah kesalahan sejarah. Tahun 2002, giliran
Belgia melegalisir Euthanasia seperti di Belanda. Di Belgia menetapkan kondisi
pasien yang ingin mengakhiri hidupnya harus dalam keadaan sadar. Saat penyataan
itu dibuat dan menanggulangi permintaan mereka untuk Euthanasia.
Sedangkan di Swiss, Euthanasia masih ilegal tetapi terdapat tiga organisasi
yang mengurus permohonan tersebut dan menyediakan konseling dan obat-obatan

7
yang dapat mempercepat kematian. Di asia Jepang adalah satu-satunya negara yang
melegalkan Euthanasia Voluntir yang disahkan melalui keputusan pengadilan tinggi
pada kasus Yamaguchi di tahun 1962. Namun setelah itu, karena faktor budaya yang
kuat Euthanasia tidak pernah terjadi lagi di Jepang. Jenis-Jenis Euthanasia
selain memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang.

2.2.1. Dilihat dari Segi Pelakunya Dilihat dari segi pelaku, Euthanasia memiliki dua
jenis, yaitu:
a. Compulsary Euthanasia adalah bila orang lain memutuskan kapan hidup
seseorang akan berakhir. Orang tersebut bisa siapa saja, seperti dokter, atau
bahkan masyarakat secara keseluruhan. Kadang-kadang Euthanasia jenis ini
disebut mercy killing (penghilangan nyawa penuh belas kasih).
Contohnya: dilakukan pada orang yang menderita sakit mengerikan, seperti
anak-anak yang menderita sakit cacat yang sangat parah.
b. Voluntary euthanasia, artinya orang itu sendiri yang meminta untuk mengakhiri
hidupnya. Beberapa orang percaya bahwa pasien-pasien yang sekarat karena
penyakit yang tak tersembuhkan dan menyebabkan penderitaan yang berat
hendaknya diizinkan untuk meminta dokter untuk membantunya mati. Mungkin
mereka dapat menandatangani dokumen legal sebagai bukti permintaannya dan
disaksikan oleh satu orang atau lebih yang tidak mempunyai hubungan dengan
masalah itu, untuk kemudian dokter akan menyediakan obat yang dapat
mematikannya. Pandangan seperti ini diajukan oleh masyarakat Euthanasia
sukarela.
2.2.2. Dilihat dari Segi Caranya Dilihat dari sudut caranya, Euthanasia dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu:
a. Euthanasia aktif adalah mempercepat kematian seseorang secara aktif dan
terencana, juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau
Euthanasia dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri. Misalnya, dengan
memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet
sianida atau menyuntikkan alat zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
b. Euthanasia non-agresif atau biasanya disebut juga dengan autoeuthanasia
(Euthanasia otomatis) yang termasuk kategori Euthanasia negatif yaitu dimana
seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima

8
perawatan medis dan si pasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia
membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-Euthanasia atau
Euthanasia non-agresif pada dasarnya adalah suaru praktik Euthanasia Pasif atas
permintaan orang itu sendiri. Euthanasia Pasif adalah pengobatan yang sia-sia
dihentikan atau sama sekali tidak dimulai, atau diberi obat penangkal sakit yang
memperpendek hidupnya, karena pengobatan apa pun tidak berguna lagi.
Misalnya, dokter yang tidak memberikan bantuan oksigen kepada pasien yang
sedang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan
operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun
dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun
disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu
mengakibatkan kematian. Euthanasia Pasif ini sering kali secara terselubung
dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
2.2.3. Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin, Euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu:
a. Euthanasia di luar kemauan pasien. Euthanasia di luar kemauan pasien
yaitu suatu tindakan yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk
tetap hidup atau bisa juga disebut juga dengan memaksa pasien untuk
mengakhiri kehidupannya. Tindakan Euthanasia semacam ini dapat
disamakan dengan pembunuhan.
b. Euthanasia secara tidak sukarela. Euthanasia semacam ini adalah yang
sering kali menjadi bahan perdebatan dan sering dianggap sebagai suatu
tindakan yang keliru oleh siapa pun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang
yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu
keputusan, misalnya statusnya hanyalah sebagai seorang wali dari si pasien
(seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial
sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil
keputusan bagi si pasien.

9
c. Euthanasia secara sukarela. Euthanasia secara sukarela ini dilakukan atas
persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan
kontroversial.

2.3. Pandangan Para Ahli Terhadap Euthanasia

Ada beberapa pandangan para ahli mengenai Euthanasia. Diantaranya sebagai


berikut:

a. Posidippos. Seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi,
menulis, “Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang
lebih baik daripada kematian yang baik (Fr. 18)”.
b. Philo. Seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD,
mengatakan
bahwa Euthanasia adalah “Kematian tenang dan baik’ (Philo 1, 182: de Sacrificiis
Abelis et Caini 100).
c. Suetonius. Seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi
memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian
yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa
mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya ‘Euthanasia’ bila
mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa
penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Agustus 99).
d. Seneca. Yang bunuh diri pada tahun 65 M malah menganjurkan, “lebih baik mati
daripada sengsara merana”. Pada zaman Renaissance, pandangan tentang
Euthanasia diutarakan oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon
dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan Euthanasia Medica, yaitu bahwa
dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk
menyembuhkan,
melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu
kedokteran saat itu dimasuki gagasan Euthanasia untuk membantu orang yang
menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam “The Best Form of
Government and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516
menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara

10
bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan. David
Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh
diri (Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late
of David Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan
menuju gagasan Euthanasia. Tahun 20-30–an abad XX dianggap penting karena
mempersiapkan jalan masalah Euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl
Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan
Euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup.
Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul “Die Freigabe der Vernichtung
lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920”. Dengan demikian, terbuka jalan menuju
teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri
hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata sungguh
dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hokum Oktober 1939 yang
ditandatangani Hitler
2.4. Pandangan Berbagai Ajaran Agama Terhadap Euthanasia Di dunia ini terdapat
berbagai macam agama. Setiap agama pun memiliki pandangan yang
berbeda-beda mengenai Euthanasia. Berikut merupakan pandangan dari berbagai
ajaran agama terhadap Euthanasia:
a. Dalam Ajaran Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati. Namun, hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan
kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh
diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al-Quran
maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri.
Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain
disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna
langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang
Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan
dengan membunuh dirinya sendiri.

11
Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut
(Euthanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja
tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan
si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya
Euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam
alasan apapun juga.

b. Dalam Ajaran Buddha


Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan
dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah
merupakan salah satu moral dalam ajaran Buddha. Berdasarkan pada hal tersebut,
maka nampak jelas bahwa Euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat
dibenarkan dalam ajaran agama Buddha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Buddha
sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna"). Mempercepat kematian seseorang
secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran
Buddha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang
terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang
tersebut.
c. Dalam Ajaran Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap Euthanasia adalah didasarkan pada ajaran
tentang karma, moksa dan ahimsa.
- Karma adalah suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata
atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk
adalah menjadi penghalang.
- Moksa yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan
utama dari penganut ajaran Hindu.
- Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti
siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu
dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu faktor yang

12
mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk.
Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk
meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh
diri,maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada
didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa
waktu di mana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya
waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun
maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya
masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke
dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya
terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
d. Dalam Ajaran Kristen Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap Euthanasia dan orang
yang membantu pelaksanaan Euthanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
1. Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan
bahwa “penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan
pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung
jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut
benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas
akhir kesempatan hidup tersebut”.
2. Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai
suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental.
Dalam kasus, di mana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan
memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau
dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang Kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik
untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa
kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang
lebih baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf
13
untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia
perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum Kristiani dalam


menanggapi
masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan.
Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud
dan tujuan pemberian tersebut.

e. Dalam Ajaran Katolik


Gereja Katolik sungguh menjunjung tinggi kehidupan, karena kehidupan
manusia diberikan dari Allah. Paus Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae,
menyatakan secara definitif bahwa pembunuhan seorang manusia yang tak bersalah
selalu merupakan perbuatan imoral/ tidak bermoral. Pernyataan ini bersifat infallible
atau tidak dapat sesat.
Dalam artikel 57 dari dokumen Evangelium Vitae, dituliskan sebagai berikut:
“Jadi, dengan otoritas yang diberikan Kristus kepada Petrus dan para penerusnya,
dan di dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya menegaskan
bahwa tindakan pembunuhan seorang manusia tak bersalah selalu merupakan
tindakan yang sungguh tidak bermoral. Pengajaran ini, berdasarkan hukum yang
tidak tertulis, di mana manusia dalam terang akal budi, menemukannya dalam
hatinya (lih. Rm 2:14-15), ditegaskan kembali oleh Kitab Suci, diteruskan oleh
Tradisi Gereja dan diajarkan oleh Magisterium biasa dan universal” (Konsili
Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, 25).
Selanjutnya Kongregasi Doktrin Iman menjelaskan lebih lanjut, demikian:
“Keputusan sengaja untuk merampas kehidupan seorang manusia selalu
merupakan kejahatan moral dan tidak akan dapat dianggap licit (sesuai aturan),
baik sebagai tujuan ataupun sebagai cara untuk mencapai sebuah tujuan yang baik.
Nyatanya, itu adalah tindakan berat yang menyangkut ketidaktaatan kepada
hukum moral, dan sungguh kepada Tuhan sendiri, Pencipta dan Penjamin hukum
tersebut; tindakan itu bertentangan dengan kebajikan mendasar tentang keadilan
dan cinta kasih.

14
Tak ada sesuatupun dan tak seorangpun dapat dengan cara apapun
mengizinkan pembunuhan seorang manusia, apakah itu dalam bentuk janin atau
embrio, seorang bayi ataupun dewasa, seorang tua, atau seseorang yang menderita
karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau seseorang yang dalam
keadaan sekarat. Selanjutnya, tak seorangpun diizinkan untuk meminta
dilakukannya tindakan pembunuhan ini, entah bagi dirinya sendiri atau untuk
orang lain yang dipercayakan kepadanya, atau tak seorangpun dapat
menyetujuinya, baik secara eksplisit ataupun implisit. Tidak juga ada otoritas
legitim apapun yang dapat merekomendasikan ataupun mengizinkan tindakan
tersebut”
Selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II mengatakan, “Euthanasia dalam artinya
yang sesungguhnya dimengerti sebagai sebuah tindakan atau pengabaian yang
dilakukan dengan tujuan untuk menyebabkan kematian, dengan maksud untuk
meniadakan semua penderitaan. Sesuai dengan pengajaran Magisterium dari para
pendahulu saya, dan dalam persekutuan dengan para uskup Gereja Katolik, saya
menegaskan bahwa Euthanasia adalah pelanggaran yang berat terhadap hukum
Tuhan, sebab hal tersebut merupakan pembunuhan seorang manusia secara disengaja
dan secara moral tidak dapat dibenarkan. Ajaran ini berdasarkan hukum kodrat dan
sabda Allah yang tertulis, yang diteruskan oleh Tradisi Suci Gereja, dan diajarkan
oleh Magisterium Gereja” (Evangelium Vitae 65).

2.5. Pandangan Hukum diberbagai Negara Mengenai Euthanasia


Sejauh ini Euthanasia diperkenankan yaitu di negara Belanda, Belgia serta ditoleransi
dinegara bagian Oregon di Amerika, India dan Swiss dan pandangan beberapa
negara seperti di Korea, China dan Jepang mengenai Euthanasia.
a. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001, Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan Euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia
yang melegalisasi praktik Euthanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi
hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab
Hukum Pidana Belanda secara formal Euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih

15
dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul "The Slippery
Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report
Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap
dokter di Belanda dimungkinkan melakukan Euthanasia dan tidak akan dituntut di
pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan.
Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak
harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan. UU yang mengizinkan Euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995, Northern Territory menerima UU
yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal).
Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997
ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi “Seseorang yang membunuh
orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh terhadap korban
dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan manusia atas permintaan akan
dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”.
b. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan Euthanasia pada akhir September
2002. Para pendukung Euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan Euthanasia
setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan Euthanasia di
negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan Euthanasia
ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi
kematian”. Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah
Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).
c. Amerika
Euthanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat
ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya Euthanasia dengan memberlakukan UU
tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-
undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan Euthanasia.

16
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18
tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan
meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali
pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya)
dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh
memiliki hubungan keluarga dengan pasien).
Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta
memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam
keadaan gangguan mental. Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa
dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk
meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU
Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang
pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan
Amerika tindakan Euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui
legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan
tindakan Euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi agar Euthanasia bisa dilakukan.
d. India
Di India Euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai
larangan euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama
pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC)
tahun 1860.
Namun, berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan Euthanasia hanya
dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya
pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC.
Namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus Euthanasia sukarela di mana si
pasien sendirilah yang menginginkan kematian di mana si dokter hanyalah
membantu
pelaksanaan Euthanasia tersebut (bantuan Euthanasia).
Pada kasus Euthanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain)
ataupun Euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan
pasal 92 IPC.
e. Swiss

17
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara
Swiss
ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum,
pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun
1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa
"membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan
melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri”. Pasal
115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan
pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri
kehidupan seseorang.
f. Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang Euthanasia di
Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) yang di Korea
dikenal
dengan "Kasus rumah sakit Boramae" di mana dua orang dokter yang didakwa
mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita
sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan
berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter
tersebut seharusnya dinyatakan t

18

Anda mungkin juga menyukai