Oleh:
Marko Mahin
1
2
Daftar Isi
3
KATA PENGANTAR
4
Bagian Satu
PENDAHULUAN
1
Mapping (Pemetaan), yaitu melakukan pemetaan awal berdasarkan
konfirmasi kasus positif sampai tingkat RT/RW. Lalu dilakukan
pembatasan wilayah (Blocking) untuk dilakukan pengetatan
berdasarkan hasil pemetaan pada tingkat Kelurahan/Desa. Kemudian
Gugus Tugas akan melakukan screening secara agresif melalui metode
rapid diagnostic test (RDT) dan polymerase chain reaction (PCR). Hasil
screening dilanjutkan dengan tracing dan tracking sampai pada level
yang dianggap aman. Langkah selanjutnya melakukan perawatan
(treatment) terhadap kasus konfirmasi positif melalui isolasi/ karantina
pemerintah, dan isolasi pada rumah sakit
5
Pada mulanya kegiatan Desa Pantang Mndur ini akan
dicanangkan dengan nama Desa Tangguh Bencana
(DESTANA) sebagaimana yang tercantum dalam
Peraturan Kepala BNPB No. 01 Tahun 2012 tentang
Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.
Namun karena dalam bahasa Dayak Ngaju istilah ini
berkonotasi negatif yaitu bila diterjemahkan secara
literar berarti “Desa Menuju Bencana” maka diganti
dengan istilah lain yang lebih mendekati makna yang
dikehendaki yaitu Lewu Isen Mulang yang berarti Desa
Pantang Mundur2. Pada awal program, dari 14
kabupaten dipilih 14 desa sebagai role model. Dari 14
role model itu, sekarang sudah berkembang menjadi 119
Desa Pantang Mundur atau Lewu Isen Mulang, yang
memiliki ketahanan terhadap COVID-19.
6
mereka di dalamnya: model-model tentang bagaimana
dunia ini, tentang bagaimana dunia seharusnya, tentang
keberadaan manusia, tentang kosmologi (Jenkins, 2002:
69).
8
Bagian Dua
SEKILAS DAYAK NGAJU
9
merupakan sumber mata pencarian dan sarana untuk
mendapatkan air, serta mandi, cuci, kakus (MCK). Pada
sisi lain, sungai juga merupakan jalur transportasi, jalur
kedatangan dan kepergian barang dan manusia. Tak
hanya itu, juga penyakit menular.
11
12
Bagian Tiga
RAJA PERES, RAJA PENYAKIT
13
balian, ia dan segala pengikutnya diberi hak dan kuasa untuk
mengambil roh kehidupan abadi manusia (liau haring
kaharingan). Ia adalah sang pencabut nyawa.
14
Janjulen Karangan (selanjut disebut Kameluh). Setelah tinggal
bersama, maka Kameluh pun hamil. Tetapi setiap kali hamil, hingga
12 kali, ia selalu mengalami pendarahan atau keguguran.
Setiba di laut, darah yang dibungkus dengan kain hitam itu menjelma
menjadi satu sosok ilahi yang bernama Sarupui Biha Apui atau
Sahipui Biha Apui yang kemudian memperanakan Sahumpak Buren
Petak. Sahumpak Buren Petak menurunkan Kasisik Buren Tasik.
Kasisik Buren Tasik menurunkan Putir Tenung Silu dan Kameluh
Bembang Ruang. Kameluh Bembang Ruang mempunyai beberapa
keturunan dan mereka semua menjadi asal-usul dari Dahiang yaitu
segala pengaruh buruk dalam kehidupan manusia. Sedangkan Putir
Tenung Silu melahirkan tiga orang anak yaitu Karang Rajan Peres,
Bujang Kamising, Rayung Sangengem. Mereka inilah yang kemudian
menjadi bermacam-macam penyakit dan berdiam di samudera raya
yang disebut dengan Kalimbahan Laut Mangantung (Panaturan
1992, Panaturan 2003).
Berbagai macam penyakit itu atau para keturunan dari Putir Tenung
Silu itulah yang kemudian dilihat sebagai sosok ilahi pencabut nyawa
agar manusia kembali kepada penciptanya. Biasanya setelah tiga hari
seseorang meninggal maka diadakan ritual Balian Tantulak Ambu
Rutas Matei. Dalam ritual itu para balian menuturkan
perjalanan seorang sosok ilahi yaitu Sangiang Raja Dohong
Mama Tandang, Langkah Apang Bungai Sangiang dari Bukit Pasahan
Raung (alam kuburan) menuju ke Laut Mangantung Sampang
15
Hariran Manunyang tempat tinggal Karang Rajan Peres untuk
mengambil roh kehidupan abadi manusia (liau haring kaharingan)
yang meninggal, yang disimpan oleh Raja Peres dalam kapal besar
berberbentuk bulat yang disebut dengan nama Banama Bunter Dia
Haluana, Anjung Bulat Isen Kamburia (Panaturan 2003: 434).
16
Gambar 1 Gambar Alam Bawah yang berada tepat di bawah sungai,
sementara di atasnya terdapat perkampungan manusia
18
Bagian Empat
RAKIT BAGI SANG RAJA PENYAKIT
LEWU. Sahut Lewu dapat berupa Antang Patahu atau Pangantuhu yang tinggal di area
desa atau di pukung-pahewan yang dijaga oleh Nyaring Pampahilep.
20
dilarutkan di sungai, dibiarkan hanyut ke hilir. Dipercayai
dengan cara itu, wabah penyakit, malapetaka dan bencana
juga akan hanyut dan menjauh atau tidak sampai ke kampung
tempat tinggal. Ritual ini disebut dengan Mahantung Lanting
Bamban Manulak Sampar (Melarutkan Rakit Bamban Menolak
Penyakit Sampar). Juga disebut dengan istilah Manulak Peres
(Menolak Bala), atau Menulak Sampar Saribu Sasbutan Biti
atau Manulak Ganan peres" (Menolak ragam macam penyakit
menular)
21
Gambar 2 Patung Sadiri atau Pengganti Diri terbuat dari tepung beras
23
Gambar 3 Rakit untuk menghanyutkan patung sadiri
Karena itu dalam ritual sang imam akan berkata: "Kami akan
mematuhi tuturan suci ini dan kami akan bertindak sesuai-
seturut dengannya, sehingga roh penyakit tidak dapat
menjangkau kami dan kami akan tetap sehat."
25
Gambar 4 Patung Sadiri diantar ke sungai untuk dihanyutkan
26
Bagian Lima
AGAR TAK TUMPAS-MUSNAH
28
Bagian Enam
EPISTEMOLOGI DAYAK NGAJU
Dari paparan di atas tampak bagaimana orang Dayak Ngaju
memaknai dan menyikapi wabah penyakit. Pertama, seperti
manusia pada umumnya mereka mengalami tahap ketakutan,
kecemasan dan kekuatiran, sehingga baik secara individu atau
keluarga inti dilakukan beberapa ritual kecil untuk membuat
perjanjian dan memohon perlindungan dengan roh-roh atau
sosok-sosok pelindung. Ada tindakan pengamanan diri dengan
menggunakan jimat dan benda sakti.
29
para leluhur (theogony), manusia (geneology), sejarah suku
(history), dan sejarah alam-semesta (cosmogony). Wabah
penyakit dijadikan bagian dari keluarga atau rumah tangga.
31
Jadi ritual yang dilakukan itu memperlihatkan epistemologi
orang Dayak Ngaju bahwa kedudukan manusia dengan alam
semesta dalam posisi setara. Hubungan manusia dengan
semua ciptaan termasuk jasad renik dan wabah penyakit yang
tak kasat mata, tidaklah hirarkis tetapi setara. Hubungan
mereka tidak dalam posisi biner yaitu pada kutub yang saling
berlawanan untuk saling menghancurkan tetapi
intersubjektivitas yaitu hubungan antar individu (subjek)
dengan individu (subjek) lainya melalui cinta-kasih untuk
menjalani kehidupan bersama.
PENUTUP
Dari paparan di atas tampak bahwa orang Dayak Ngaju
menempuh dua cara saat menghadapi wabah penyakit
menular. Pertama, dengan melakukan ritual, baik yang
32
dilakukan secara invidual di dalam keluarga maupun secra
komunal bersama-sama warga satu kampung. Melalui ritual
itu, orang Dayak Ngaju mendapat pemahaman tentang sumber
atau asal-usul wabah penyakit, serta cara menghadapinya
secara spiritual. Di dalam ritual diceritakan ulang tuturan suci
tentang asal mula roh penyakit dan tuturan tentang peristiwa
ritual pengorbanan pertama kali yang pernah dilakukan oleh
para leluhur pada masa dahulu kala. Di dalam ritual pula
mereka melihat keberadaan wabah penyakit sebagai akibat
dari pelanggaran hadat, karena itu dalam pemulihannya perlu
dilakukan ritual yang sifatnya memulihkan hubungan baik
manusia dengan sosok-sosok non manusia yang menjadi asal-
usul penyakit.
34
DAFTAR PUSTAKA
36
Zimmermann, P., 1969 [1919]. “Studien zur Religion der Ngaju
Dajak in Süd Borneo”.
In Ethnologica (4)
PANATURAN
37