Anda di halaman 1dari 23

Bayi dengan Ibu Diabetes Mellitus dan Bayi

yang Terpapar Obat-Obatan Terlarang

Disusun Oleh :

Fika Kharisma

J210100091

Keperawatan S1

Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surakarta


BAB I

PENDAHULUAN

A. BAYI DENGAN IBU DIABETES MELLITUS

Dari beberapa penelitian epidemologis di Indonesia didapatkan prevalensi Diabetes


mellitus sebesar 1,5-2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Diperkirakan
angka kejadian DM dalam kehamilan adalah 0,3-0,7%.

Pada tahun terakhir ini terjadi peningkatan kejadian DM dengan sebab yang belum
jelas, tetapi faktor lingkungan dan faktor predisposisi genetik memegang pengaruh.

Kehamilan sendiri merupakan baban baik dari pihak ibu hamil seperti kenaikan
kortisol, maupun dari plasenta janin yang mengeluarkan steroid dan human placental
lactogen yang menyebabkan resistensi insulin dengan akibat gangguan toleransi
glukosa. Penyakit ini menyebabkan perubahan metabolik dan hormonal pada
penderita yang dipengaruhi kehamilan serta persalinan. Sudah jelas bahwa
metabolisme glukosa dipengaruhi oleh kehamilan, hal ini terbukti dengan
meningkatnya lactat dan piruvat dalam darah, akan tetapi kadar gula puasa tidak
meningkat. Diagnosis diabetes sering dibuat untuk pertama kali dalam masa
kehamilan karena penderita datang untuk pertama kalinya ke dokter atau diabetesnya
menjadi tambah jelas oleh karena kehamilan.

Diabetes mellitus dalam kehamilan masih merupakan masalah yang memerlukan


penanganan kusus karena angka kematian perinatal yang relative tinggi. Sebelum
tahun 1922, tidak ada bayi dari ibu yang menderita DM dalam kehamilan dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya . dalam dua dekade terakhir ini angka
kematian perinatal pada DMG telah dapat ditekan, sejak ditemukan insulin oleh
Banting dan Best tahun 1921. dari laporan peneliti menyebutkan dengan penurunan
kadar glukosa darah penderita DMG, maka angka kematian perinatal juga akan
menurun.

Angka lahir mati terutama pada kasus dengan diabetes mellitus yang tidak terkendali
dapat terjadi 10 kali dibandingkan kehamilan normal. Angka kematian perinatal bayi
dengan ibu DM gestasional sangat tergantung pada keadaan
hiperglikemia ibu. Di klinik yang maju sekalipun angka kematian dilaporkan 3-5%
dengan angka morbiditas fetal 4%. Sedangkan angka kematian fetal di bagian
perinatologi FK UI/RSCM dari tahun 1994-1995 adalah 5/10.000 kelahiran.

B. BAYI TERPAPAR OBAT-OBAT TERLARANG

Sindrom putus obat pada bayi baru lahir merupakan kumpulan gejala dan tanda putus
obat dengan karakteristik manifestasi tergantung pada masing-masing obat penyebab.
Terdapat dua tipe sindrom putus obat pada bayi baru lahir yaitu, sindrom yang terjadi
akibat penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA) selama ibu hamil
(prenatal) dan sindrom yang terjadi akibat pemutusan penggunaan obat yang
digunakan untuk terapi nyeri (misal fentanil) pada bayi baru lahir (pascanatal).Tulisan
ini lebih dipusatkan pada sindrom putus obat bayi baru lahir yang terjadi akibat
penggunaan NAPZA selama ibu hamil. Gejala dan tanda klinis putus obat pada
umumnya timbul pada 48-72 jam pertama, berupa iritabilitas pada sistem saraf pusat,
gangguan neurobehavioural, dan aktivasi sistem simpatis yang abnormal. Diagnosis
sindrom tidak mudah untuk ditegakkan karena riwayat penggunaan NAPZA selama
ibu hamil seringkali disangkal dan sulit untuk menelusuri secara rinci jenis obat yang
dipakai, lama penggunaan, dan frekuensi penggunaan obat. Selain itu secara klinis
gejala dan tanda putus obat pada bayi baru lahir menyerupai penyakit lain seperti
sepsis, hipokalsemia dan hipoglikemi. Berikut sebuah laporan kasus sindrom putus
obat pada seorang bayi cukup bulan yang lahir dari ibu dengan riwayat pemakaian
heroin selama tiga tahun.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEHAMILAN DENGAN DIABETES MELLITUS


Definisi diabetes mellitus dalam kehamilan ialah gangguan toleransi glukosa
berbagai tingkat yang terjadi (atau pertama kali dideteksi) pada kehamilan.
Batas ini tanpa melihat dipakai/tidaknya insulin atau menyingkirkan
kemungkinan adanya gangguan toleransi glukosa yang mendahului
kehamilan.
Diagnosis diabetes sering dibuat untuk pertama kali dalam kehamilan karena
penderita untuk pertama kali datang kepada dokter atau diabetesnya menjadi
lebih jelas oleh kehamilan. Diabetes menunjukkan kecendrungan menjadi
lebih berat dalam kehamilan dan keperluan akan insulin meningkat.
1. Klasifikasi
Untuk kepentingan diagnosis, terapi dan prognosis, baik bagi ibu maupun
bagi anak, pelbagi klasifikasi diusulkan oleh beberapa penulis,
diantaranya yang sering digunakan ialah klasifikasi menurut White yang
berdasarkan umur waktu penyakitnya timbul, lamanya, beratnya dan
komplikasinya.
( Vaskulopati )

1. Kelas A diabetes gestasional ( tanpa vaskulopati)


a. A1. maintenance hanya diet saja
b. A2. yang tergantung insulin
2. Kelas B. memerlukan insulin, onset usia 20 tahun durasi penyakit
kurang dari 10 tahun dan tidak ada komplikasi vaskuler
3. Kelas C, memerlukan insulin, onset usia 10-19 tahun, durasi penyakit
10-19 tahun tidak ada komplikasi vaskuler
4. Kelas D, memerlukan insulin, onset usia kurang dari 10 tahun, durasi
penyakit 20 tahun, ada benigna diabetic retinopati
5. Kelas F, memerlukan insulin dengan nefropati
6. Kelas H, memerlukan insulin dengan penyakit jantung iskemik
7. Kelas R, memerlukan insulin dengan proliferasi nefropati
8. Kelas T, memerlukan insulin dengan tranplantasi ginjal.
Klasifikasi Pyke untuk DM gestasional.

1. Diabetes gestasional, dimana DM terjadi hanya pada waktu hamil


2. Diabetes pregestasional, dimana DM sudah ada sebelum hamil dan
berlanjut sesudah kehamilan
3. Diabetes pregestasional yang disertai dengan komplikasi angiopati.

Klasifikasi baru tang akhir-akhir ini banyak dipakai adalah Javanovic


(1986)
a) Regulasi baik ( good diabetic Control)
Glukosa darah puasa 55-65 mg/dL, rata-rata 84 mg/dL, 1 jam sesudah
makan < 140 mg/dL. Hb A 1c normal dalam 30 minggu untuk diabetes
gestasional dan dalam 12 minggu untuk diabetes pregestasional
b) Regulasi tak baik ( Less than optimal Diabetic Control)
Tidak kontrol selama hamil
Glukosa darah diatas normal

Tidak terkontrol baik selama 26 minggu untuk diabetes gestasional atau


12 minggu untuk diabetes pregestasional

2. Pengaruh kehamian terhadap diabetes


Dari segi klinis , gambaran sentral dari metabolisme karbohidrat dapat
disimpulkan dalam istilah sederhana. Jika seorang wanita menjadi hamil
maka ia membutuhkan lebih banyak insulin untuk mempertahankan
metabolisme karbohidrat yang normal. Jika ia tidak mampu untuk
menghasilkan lebih banyak insulin untuk memenuhi tuntutan itu, ia dapat
mengalami diabetes yang mengakibatkan perubahan pada metabolisme
karbohidrat. Kadar glukosa dalam darah wanita hamil merupakan ukuran
kemampuanya untuk memberikan respon terhadap tantangan kehamilan
itu. Kadar glukosa darah maternal dicerminkan dalam kadar glukosa
janin, karena glukosa melintasi plasenta dengan mudah. Insulin tidak
melintasi barier plaenta, sehingga kelebihan produksi insulin oleh ibu atau
janin tetap tinggal bersama yang menghasilkan.akhirnya, glukosuria lebih
sering pada wanita wanita hamil dibandingkan wanita yang tidak hamil.
Perubahan hormonal yang luas terjadi pada hehamilan dalam usaha
mempertahankan keadaan metabolisme ibu yang sejalan dengan
bertambahnya usia kehamilan. Hormon-hormon ini mungkin yang
bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung, menginduksi
resistensi insulin periver dan mengkontribusi terhadap perubahan sel β
pancreas. Ovarium, kortek adrenal janin, plasenta, kortek adrenal ibu dan
pancreas terlibat dalam timbulnya perubahan-perubahan hormonal ini,
yang mempunyai pengaruh terhadap metabolisme karbohidrat. Terutama
yang penting adalah peningkatan progresif dari sirkulasi estrogen yang
pertama kali dihasilkan oleh ovarium hingga minggu ke 9 dari kehidupan
intra uterine dan setelah itu oleh plasenta. Sebagian besar estrogen yang
dibentuk oleh plaenta adalah dalam bentuk estriol bebas, yang
terkonjugasi dalam hepar menjadi glukoronida dan sulfat yang lebih larut,
yang dieskresikan dalam urine. Estrogen tidak mempunyai efek dalam
transport glukosa, tetapi meningkatkan peningkatan insulin maksimum
( insulin binding). Progesteron yang dihasilkan korpus luteum sepanjang
kehamilan kususnya selama 6 minggu pertama. Trofoblas mensintesis
progesterone dan kolesterol ibu dan merupakan penyumbang utama
terhadap kadar progesterone plasma yang meningkat secara secara
menetap selama kehamilan. Progesterone juga mengurangi kemampuan
dari insulin untuk menekan produksi glukosa endogen. Lactogen plasenta
manusia (HPL) merupakan hormone plasenta penting lain yang
mempengaruhi metabolisme karbohidrat. Kadarnya dalam darah ibu
meningkat secara berlahan-lahan sepanjang kehamilan, mencapai
puncaknya saat aterm. HPL adalah salah satu dari hormone-hormonutama
yang bertanggung jawab menurunkan sensitivitas insulin sejalan dengan
bertambahnya usia kehamilan. Kadar HPL meningkat pada keadaan
hipoglikemia dan menurun pada keadaan hiperglikemia. Dengan kata lain
HPL merupakan antagonis terhadap insulin. HPL menekan transport
glukosa maksimum tetapi tidak mengubah pengikatan insulin. Setelah
melahirkan dan pengeluaran plasenta, kadar HPL ibu cepat menghilang,
pengaturan hormonal kembali normal.
Kortek adrenal terlibat dalam peningkatan kortisol bebas secara progresif
selama kehamilan. Pada kehamilan lanjut, konsentrasi kortisol ibu
diperkirakan 2,5 kali lebih tinggi dari keadaan tidak hamil. Rizza dkk
melaporkan bahwa laju produksi glukosa hepar meningkat dan
sensitivitas insulin menurun pada pemberian sejumlah besar kortisol.
Perubahan pada metabolisme karbohidrat selama kehamilan sebagai
akibat dari perubahan hormonal diatas. Pada beberapa uji toleransi
glukosa didapatkan keadaan antara lain; hipoglikemia ringan pada saat
puasa, hiperglikemia pos prandial dan hiperinsulinemia. Konsentrasi
glukosa plasma selama puasa yang menurun mungkin terjadi akibat
peningkatan dari kadar plasma insulin. Tetapi hal ini tidak dapat
dijelaskan dengan perubahan metabolisme insulin karena waktu paruh
insulin selama hamil tidak berubah. Peningkatan kadar plasma insulin
pada kehamilan normal berhubungan dengan perubahan respon unik
terhadap ingestion glukosa. Sebagai contoh, setelah makan pada wanita
hamil didapatkan perpanjangan hiperglikemia, hiperinsulinemia,dan
supresi glukagon. Mekanisme ini sepertinya bertujuan untuk
mempertahankan suplai glukosa posprandial ke fetus. Respon ini
konsisten dengan pernyataan bahwa kehamilan menginduksi resistensi
perifer terhadap insulin, yang diperkuat dengan tiga hasil pengamatan:
1. Peningkatan respon insulin terhadap glukosa
2. Pengurangan ambilan perifer terhadap glukosa
3. Penekanan respon dari glikogen

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap resistensi insulin belum


lengkap dimengerti. Beberapa peneliti telah melaporkan sensitifitas
insulin menurun secara signifikan ( 40-80 %) dengan bertambahnya usia
kehamilan.

Fetus normal mempunyai system yang belum matang dalam pengaturan


kadar glukosa darah. Fetus normal adalah penerima pasif glukosa dari
ibu. Glukosa melintasi barier plasenta melalui proses difusi dipermudah,
dan kadar glukosa janin sangat mendekati kadar glukosa ibu. Mekanisme
transport glukosa melindungi janin terhadap kadar maternal yang tinggi,
mengalami kejenuhan oleh kadar glukosa maternal sebesar 10 mmol/l
atau lebih sehingga kadar glukosa janin mencapai puncak pada 8-9
mmol/l. hal ini menjamin bahwa pada kehanmilan normal pancreas janin
tidak dirangsang secara berlebihan oleh puncak posprandial kadar
glukosa darah ibu. Bila kadar glukosa ibu tinggi melebihi batas normal/
tidak terkontrol akan menyebabkan dalam jumlah besar glukosa dari ibu
menembus plasenta menuju fetus dan terjadi hiperglikemia pada fetus.
Tetapi kadar insulin ibu tidak dapat mencapai fetus, sehingga kadar
glikosa ibulah yang mempengaruhi kadar glukosa fetus. Sel beta
pancreas fetus kemudian akan menyesuaikan diri terhadap tingginya
kadar glukosa darah. Hal ini akan menimbulkan fetal hiperinsulinemia
yang sebandinga dengan kadar glukosa darah ibu dan fetus.
Hiperinsulinemia yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
makrosomia / LGA oleh karena meningkatnya lemak tubuh.

3. Pengaruh diabetes terhadap kehamilan

Pengaruh meternal bisa dibagi lagi selama kehamilan, selama persalinan


dan selama nifas.

 Selama kehamilan :
- Abortus. Resiko meningkat pada diabetes tak terkontrol.
- Pre eklampsia, Kontrol pre-eklampsia berhubungan dengan
rendahnya mortalitas perinatal
- Hidramnion. Insidens meningkat pada diabetes tak terkontrol.
Hal ini disebabkan plasenta yang besar , adanya malformasi
kongenital dan poliuria janin akibat hiperglikemia.
- Persalinan prematur. Insidens meningkat bersamaan dengan
meningkat disproporsi kepala panggul, malpresentasi.

 Selama persalinan :
- Persalinan memanjang akibat bayi yang besar
- Distosia bahu
- Meningkatnya tindakan operatif
- Reptura jalan lahir
- Perdarahan postpartum

 Selama nifas :
- Sepsis puerperalis
- Berkurang laktasi
- Meningkatnya morbiditas meternal

 Pengaruh terhadap janinnya :


- Janin mati dalam rahim
- Makrosomia
- Maturasi paru terlambat
- Trauma kelahiran
- Retardasi pertumbuhan
- Malfromasi kongenital
- Meningkatnya kematian neonatal

4. Penapisan dan kriteria diagnosis

Karena prevalensi dari diabetes dalam kehamilan tinggi, maka


perawatan antepartum yang optimum memerlukan uji diagnostik yang
sensitiv pada semua wanita hamil. Metode diagnostic harus cepat dan
praktis

O, Sullivan dan Mahan malaporkan bahwa pemeriksaan yang


sederhana pada semua wanita hamil lebih berguna dalam
nengidentifikasi pasien-pasien yang beresiko terkena biabetes daripada
indicator-indikator kain seperti riwayat penyakit dalam keluarga,
riwayat obstetric sebelumnya atau obesitas.

Untuk mengidentifikasi pasien dengan intoleransi glukosa uji


penapisan dari O, Sullivan dengan menggunakan 50 g glukosa oral
pada kehamilan 26 minggu dan pemeriksaan plasma 1 jam dianjurkan
pemakaianya. Pasien-pasien yang beresiko tinggu untuk mendapat
diabetes mellitus dalam kehamilan juga penapisan pada kehamilan
12,18,32 minggu. Pasien-pasien tersebut yang kadar gulanya lebih dari
150 mg% setelah diberikan uji toleransi glukosa tersebut sebaiknya
harus diobati.

Sekali ditemukan pada pasien glukosa toleransi abnormal maka


penderita tersebut dirujuk ke klinik untuk mendapatkan konseling
mengenai pengaturan diet. Masih terdapat kontroversi mengenai
perbedaan cara skrining DMG antara kelompok dengan faktor resiko
dan tanpa faktor resiko.

American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1986)


merekomendasikan bahwa penapisan hanya perlu untuk wanita-wanita
resiko tinggi yaitu yang berumur lebih dari 30 tahun, ada riwayat
keluarga dengan diabetes, pernah melahirkan bayi makrosomia, bayi
dengan malformasi atau bayi lahir mati, wanita hamil yang gemuk,
hipertensi atau glukosuria.

Sementara itu, karena masih belum adanya keseragaman dalam


membuat kriteria diagnosis diabetes dalam kehamilan, maka American
Collage of Obstetricians and Gyenecologists (Hughes, 1972) membuat
standarisasi. Seseorang dianggap menderita diabetes bila tes toleransi
glukosanya menunjukkan hasil sebagai berikut :

- Puasa : normal atau kurang dari 100 mg%


- 1 / 2 jam : lebih dari 150 mg %
- 1 jam : lebih dari 160 mg %
- 2 jam : 120 mg % atau lebih
- 3 jam : normal atau lebih dari 120 mg %

B. MORBILITAS DAN MORTALITAS PERNATAL

Kehamilan dengan diabetes dihubungkan dengan peningkatan morbiditas


pernatal. Bayi dari ibu diabetes mempunyai permasalahan yang unik dan
membutuhkan penanganan khusus.

1. Makrosomia

Batasan makrosomia adalah bayi yang dilahirkan dengan berat badan


lebih dari 4000 gr. Dari berbagai penelitian didapatkan kesan bahwa
hiperinsulinemia dan peningkatan penggunaan zat makanan bertanggung
jawab pada peningkatan ukuran badan janin, hipotesis perdersen
menyebutkan bahwa hiperglikemia maternal merangsang
hiperinsulinemia janin dan makrosomia.

Komplikasi dari persalinan pervaginam pada bayi makrosomia bisa


dihindari bila ukuran janin diketahui lebih dulu dengan pemeriksaan USG.
Persalinan pervaginam harus dipertimbangkan baik-baik mengingat
besarnya resiku terjadinya distosia bahu. Namun demikian bila
dipertimbangkan tindakan seksio kaisar dikerjakan untuk berat janin lebih
dari 4000 gram maka angka seksio kaisar akan mencapai 50% pada ibu
diabetes yang tergantung insulin.

2. Kematian Janin Dalam Rahim

Kadar glukosa maternal yang tidak stabil bisa menyebabkan terjadinya


janin mati dalam rahim, yang merupakan kejadian khas pada ibu dengan
diabetes.
Janin yang terpapar hiperglikemia cendrung mengalami asfiksia dan
sidosis walaupun mekanisme yang pasti belum jelas, tetapi diduga keto-
asidosis mempunyai hubungan yang erat dengan matinya janin. Bila
kadar glukosa darah meternal dalam batas normal, kematian janin dalam
rahim jarang terjadi.

Hiperinsulinemia yang terjadi pada janin akan meningkatkan kecepatan


metabolisme dan keperluan oksigen untuk menghadapi keadaan-keadaan
seperti hiperglikemia, keto-asidosis, pre-eklampsia dan penyakit vaskuler
yang dapat menurunkan aliran darah utero-plasenter serta oksigenasi
janin.

Frekuensi janin mati dalam rahim atau bayi lahir mati berkisar antara 15-
20%. Usaha untuk menghindari kematian janin tiba-tiba dalam rahim
yaitu dengan melakukan terminasi kehamilan beberapa minggu sebelum
aterm. Tetapi tindakan ini sering menimbulkan mortalitas neonatal karena
prematuritas iatrogenik.

3. Sindrom Gawat Napas

Persalinan prematus umumnya dihubungkan dengan timbulnya sindroma


gawat napas (SGN) yang sering akibat penyakit membran hialin.

Penyakit membran hialin pada bayi dari ibu diabetes bukan karena
prematuritas, tetapi juga karena maturasi paru yang terlambat akibat
hiperinsulinemia janin yang menghampat produksi surfaktan.
Hiperinsulinemia juga menggangu pengaruh pematang paru dari kortisol.

Termasuk dalam usaha pencegahan terjadinya SGN adalah kontrol


metabolisme glukosa dengan hati-hati, persalinan spontan saat aterm,
persalinan pervaginam dan monitor janin selama kehamilan lebih awal
(misalnya karena retardasi pertumbuhan, gawat janin) memungkinkan dan
paru-paru belum matang pada uji cairan amnion, maka pemberian
kortikosteroid, TRH (Thyroid Releasing Hormone) atau tiroksin
intraamnion dapat memerlukan pengawasan ketat terhadap glukosa
meternal dan adanya hiperinsulinemia.
4. Malformasi Kongenital

Malformasi kongenital merupakan salah satu penyebab utama dari


mortalitas pernatal pada kehamilan dengan diabetes, yaitu sekitar 30
sampai 40% dari semua mortalitas perinatal. Insidens malformasi
kongenital sekitar 7,5 – 12,9 % dari kehamilan dengan diabetes. Berbagai
macam malformasi kongenital yang bisa terjadi dapat dilihat dari tabel
berikut ini.

Malformasi kongenital pada bayi dari ibu diabetes


Kardiovaskuler
Transposisi pembuluh darah besar
Defek septum ventrikel
Defek septum atrium
Ventrikel kiri hipoplastik
Situs invesus

Anomali aorta
Sistem syaraf pusat
Anensefali
Ensefalokel
Meningomielokel
Mikrosefali
Skeleta
Sindroma regresi kaudal
Spina bifida
Genitourinaria
Ginjal absen (sindroma potter)
Ginjal polikistik
Ureter ganda
Gastrointestinalis
Fistula trakheoesofageal
Atresia saluran cerna
Anus imperforata

Mekanisme yang pasti bagaimana malformasi tersebut bisa terjadi, belum


jelas benar. Dari penelitian terhadap binatang dan ibu hamil diperoleh
hubungan antara beberapa kondisi atau keadaan dengan terjadina
malformasi kongenital.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan resiko anomali
congenital diantara bayi dari ibu diabetes

1. Hiperglikemia
2. Hipoglikemia
3. Hiperketonemia
4. Inhibitor somatomedin
5. Gangguan pada yolk sac
6. Penurunan mio-inositol intrasel
7. Defisiensi asam arakhidonat
8. Vaskulopati maternal

Hiperglikemia maternal yang terjadi selama masa kritis dari organogenesis


(usia kehamilan dibawah 9 minggu) dihubungkan dengan adanya
peningkatan frekuensi malformasi. Hemoglobin glikosilat banyak dipakai
sebagai indikator dalam pengawasan hiperglikemia selama organogenesis.
Dari perconaan lainnya di peroleh hasil bahwa hiperglikemia dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada yolk sec, gangguan metabolisme
mio-inositol, dan bersama-sama dengan defisiensi asam arakhidonat
ditemukan dapat menyebabkan defek kongenital.
Hipoglikemia pada percobaan binatang mampu menyebabkan terjadinya
dismorfogenesis, tetapi tidak terbukti pada manusia. Demikian juga inhibitor
somatomedin, yang pada percobaan binatang menunjukan efek sinergistik
dengan hiperglikemia dan peningkatan karang keton dalam menyebabkan
defek kongental dan retardasi pertumbuhan, ternyata belum diperoleh data
yang sama pada bayi dari ibu diabetes.
Sementara itu, dilaporkan adanya hubungan antara vaskulopati meternal
dengan anomali kongenital. Molsted-Pedersen dkk melaporkan insidens
anomali sebesar 3,1% pada ibu diabetes tanpa gangguan vaskuler, dan 10,7%
pada ibu diabetes dengan gangguan vaskuler.

5. Abnormalitas Metabolisme Neonatus


Hiperinsulinemia akan menekang glukoneogenesis dan glikogenolisis
janin. Kadar glukosa normal pada bayi aterm diatas 30-35 mg % dan bayi
preterm diatas 20-25 mg %. Glukosa menurun sampai kadar yang rendah 1
-1 ½ jam setelah kelahiran. Bila didapatkan hipoglikemia pada bayi yang
dilahirkan, pengobatannya ialah dengan penyuntikan glukosa 20% 4 ml/kg
bb, kemudian disusul dengan pemberian infus glukosa 10%.
Oleh karena bahaya hipoglikemia pada bayi baru lahir dari ibu diabetes,
maka pengawasan glukosa neonatal sangat penting. “Early feeding”
membantu mencegah terjadinya hipoglikemia.
Hipokalsemia bisa terjadi pada hari ke 2-3 kehidupan, yang umumnya
asimtomatik. Polisitemia biasanya bersamaan dengan hiperviskositas yang
dihubungkan dengan hipoksia yang merangsang eritropoietin dan pada
akhirnya merangsang eritropoesis. Sedang hiperbilirubinemia
dihubungkan dengan polisitemia yang disertai peningkatan “break down
dan turn over” sel darah merah.

6. Gangguan Neurobehavioral

Katonuria meternal, khususnya bila manifes bisa trimesster III,


dihubungkan dengan rendahnya IQ dan gangguan neuropsikiatri,
walaupun hal ini dipertentangkan. Dan gangguan tersebut baru bisa
diketahui setelah umur 4-5 tahun dengan permeriksaan yang teliti.

C. PENATALAKSANAAN JANIN DAN NEONATUS

Pengawasan kadar glukosa darah maternal pada ibu hami dengan diabetes
adalah salah satu hal yang sangat penting. Hal itu ditunjukan untuk mencapai
dan mempertahankan kadar glukosa darah yang normal (euglikemia). Untuk
mencapai tujuan tersebut, perlu diatur dietnya, pemberian insulin, kontrol
glukosa, dan bila mungkin kegiatan “exercise” tertentu.
Terhadap bayi yang dikandung, perlu dikerjakan penatalaksanaan antenatal
dan postnatal.

1. Surveilans Jenis Antenatal

Pengawasan secara biokimia dan biofisika digunakan untuk mengetahui


pertumbuhan dan perkembangan janin sepanjang kehamilan.
Konsentrasi HbA (hemoglobin glikosilat) yang tinggi mempunyai
1C
hubungan dengan anomalia kongenital, khususnya pada kehamilan
trimester I. hemoglobin glikosilat juga mempunyai hubungan yang erat
dengan kadar glukosa maternal dan berat badan lahir. Oleh karena itu
disamping pengawasan kadar glukosa maternal, kadar HbA diukur
1C
paling tidak sekali sebulan selama trimester II dan III.
Konsentrasi Fruktosamin dan Albumin glikosilat ditemukan lebih tinggi
didalam serum ibu diabetes dengan janin makrosomia. Demikian juga
kadar C-peptida cairan amnion bisa dipakai untuk melihat kemungkinan
resiko adanya makrosomia.
Pengukuran kadar Estriol mempunyai manfaat untuk memonitor fungsi
plasenta dan mendeteksi bahaya pada janin. Tetapi pengukuran kadar
estriol ini jarang dipakai karena relatif membutuhkan banyak waktu
sehingga kurang efektif dibandingkan dengan pengawasan denyut jantung
janin atau skor profil biofisika dalam menentukan kesejahteraan janin.
Maturitas paru bisa dinilai dari pengukuran ratio lesitin/sfingomielin
cairan amion. Insidens SGN rendah (3%) bila ratio L/S ⊇ 2. Adanya
Fosfatidil gliserol merupakan tanda yang lebih baik dalam menentuan
maturitas bayi. Hiperinsulinemia menggangu pembentukan fosfatidil
gliserol.
Kadar kortisol dalam cairan amnion juga bisa dipakai untuk menentukan
maturitas janin. Insidens SGN 25% jika kadar kortisol kurang dari 4,3
ng/nd dan hanya 2-9 % SGN jika kadar kortisol di atas 4,3 ng/nd. Pada
kehamilan normal, kadar kortisol rendah sampai kehamilan 35 minggu,
meningkat tajam pada kehamilan 36 minggu dan tetap tinggi kadarnya
sampai kehamilan 39 minggu. Pada kehamilan dengan diabetes,
penigkatan kortisol lambat atau bahkan tidak meningkat.

2. Penatalaksanaan postnatal
Oleh karena sebagian besar bayi yang dilahirkan dari ibu diabetes
menderita asfiksia dengan derajat yang berbeda-beda, maka prosedur
resusitas tergantung derajat asfiksianya. Dan jika ada asfiksia, maka
resusitas harus segera dilaksanakan.
Kadar glukosa neonatus sudah diperiksa dalam 1 jam pertama kelahiran
diulangi tiap jam selama 4 jam dan selanjutnya pada 6 jam kemudia. Bila
ditemukan adanya hipoglikemia, segera diterapi.

D. BAYI TERPAPAR OBAT-OBATAN TERLARANG

Sindrom putus obat pada bayi baru lahir merupakan kumpulan gejala dan
tanda putus obat dengan karakteristik manifestasi berupa iritabilitas susunan
saraf pusat, gangguan sistem autonom, sistem respiratorik serta sistem
gastrointestinal tergantung dari obat penyebab. Gejala dan tanda putus obat
muncul pada 55%-94% bayi dengan riwayat penggunaan NAPZA saat ibu
hamil. Angka kejadian pemakaian obat terlarang pada ibu hamil 4%
berdasarkan survei di Amerika Serikat pada tahun 2006, sedangkan studi di
Inggris 15% urin ibu hamil positif mengandung obat terlarang. Beberapa
golongan obat yang dapat menyebabkan sindrom putus obat pada bayi baru
lahir adalah narkotik golongan opiat (kodein, metadon, fentanil, heroin),
golongan obat yang bersifat stimulant (amfetamin, kokain), golongan obat
depresan susunan saraf pusat (alkohol, barbiturat, benzodiazepin,
cannabis/ganja), golongan selective serotonin reuptake inhibitors/SSRIs
(fluoksetin). Narkotik golongan opiat merupakan penyebab yang paling sering
dijumpai dan memiliki manifestasi yang lebih jelas.2 Secara umum, setiap
obat yang digunakan selama kehamilan memiliki potensi untuk melewati
plasenta dan terakumulasi pada tubuh janin dan cairan amnion. Pada saat
proses kelahiran, transfer substansi obat via plasenta terhenti akan tetapi
metabolisme dan ekskresi obat dalam tubuh bayi baru lahir masih tetap
berlangsung. Zat adiktif umumnya bersifat lipofilik dan mempunyai berat
molekul rendah sehingga dapat melewati plasenta dan masuk ke dalam
sirkulasi darah janin. Selain itu pada janin obat mempunyai waktu paruh yang
lama karena proses metabolik dan ekskresi ginjal yang belum matang.
Sebagian besar substansi zat adiktif berikatan dengan reseptor di susunan
saraf pusat (SSP) atau mempengaruhi pelepasan dan re-uptake beberapa
neurotransmitter sehingga dapat memiliki pengaruh langsung maupun tidak
langsung terhadap perkembangan sel otak janin. Manifestasi klinis pada
sindrom putus obat pada bayi baru lahir mengenai multisistem dan bervariasi
tergantung pada obat yang digunakan ibu. Sistem organ yang paling sering
terlibat adalah sistem saraf pusat (irritabilitas, tangisan melengking/high
pitched cry, hiperaktif refleks, hipertonus otot, tremor, kejang umum, dan
gangguan tidur), sistem gastrointestinal (gangguan makan, muntah, diare, dan
dehidrasi), sistem autonom (takikardi, instabilitas suhu, dan berkeringat) serta
sistem respiratorik (takipnea, apnea, bersin). Gejala dan tanda klinis putus
obat pada umumnya timbul pada 48-72 jam pertama, namun dapat timbul
lambat pada usia empat minggu. Gejala subakut dapat bertahan sampai
dengan enam bulan. Kapan manifestasi klinis timbul dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu jenis obat, dosis, frekuensi penggunaan, waktu terakhir
kali ibu menggunakan obat-obatan, metabolisme dan ekskresi metabolit aktif
obat dalam tubuh bayi, serta kapan terakhir kali bayi terpapar obat saat
intrauterin. Bayi yang mengalami paparan obat terakhir kali lebih atau sama
dengan satu minggu sebelum dilahirkan memiliki risiko mengalami gejala
putus obat yang relatif lebih rendah. Penggunaan beberapa obat (polydrugs)
menimbulkan manifestasi yang lebih berat. Beberapa kondisi ibu dan bayi
dapat meningkatkan faktor risiko terjadi sindrom putus obat pada bayi baru
lahir diantaranya, riwayat sosial-ekonomi rendah, riwayat perawatan antenatal
yang kurang adekuat, usia ibu yang masih remaja, tingkat pendidikan ibu,
riwayat penggunaan obat-obatan pada kehamilan sebelumnya, riwayat
penggunaan obat-obatan pada pasangan hidup ibu, riwayat penyakit menular
seksual (hepatitis B, AIDS, sifilis, gonorhoe), riwayat korioamnionitis,
riwayat partus prematur, pertumbuhan janin terhambat, riwayat kejang, dan
apneu yang tidak diketahui sebabnya. Untuk menentukan berat-ringan gejala
putus obat yang dialami bayi digunakan sistem skoring dengan tujuan untuk
menilai gejala dan tanda putus obat pada bayi baru lahir secara sistematik,
objektif, berkala serta menentukan pemberian terapi medikamentosa. Sistem
skoring yang banyak digunakan adalah Modifikasi Sistem Skoring Finnegan
(neonatal abstinence syndrom score/NASS) yang terdiri dari 21 gejala putus
obat yang paling sering dijumpai. Penilaian dilakukan minimal 30 menit
setelah pemberian minum dengan interval setiap 4 jam, tetapi apabila skor ≥8
dibutuhkan interval penilaian yang lebih singkat (setiap 2 jam). Pada kasus
dengan kecurigaan kuat terjadi putus obat pada bayi baru lahir, perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang diantaranya pemeriksaan urin
bayi baru lahir. Pemeriksaan urin ini paling sering dilakukan tetapi memiliki
potensi hasil positif palsu yang tinggi karena hasil positif hanya didapatkan
pada bayi dengan paparan obat yang paling baru, selain itu hasil negatif palsu
seringkali didapatkan bila ibu berhenti mengkonsumsi obat beberapa hari
sebelum melahirkan atau spesimen urin yang digunakan bukan urin yang
didapat sesaat setelah bayi baru lahir. Pemeriksaan kadar obat pada cairan
mekonium, merupakan pemeriksaan yang lebih mudah dan sensitif
dibandingkan pemeriksaan urin bayi walaupun lebih mahal dan masih jarang
dilakukan. Pemeriksaan analisis rambut merupakan jenis pemeriksaan yang
paling mahal dan hanya tersedia di pusat kesehatan rujukan. Metabolit obat
dapat dideteksi dalam rambut bayi sampai usia 2-3 bulan. Selain pemeriksaan
tersebut pada bayi dengan ibu pemakai obat terlarang perlu dilakukan uji tapis
terhadap hepatitis B dan C serta penyakit menular seksual seperti HIV
terutama pada ibu dengan riwayat penggunaan jarum suntik bersama.
Secara umum, pengobatan untuk putus obat pada bayi baru lahir terdiri dari
pengobatan suportif dan pengobatan medikamentosa. Tata laksana awal harus
dimulai dengan pengobatan suportif karena pengobatan medikamentosa dapat
memperpanjang lama rawat dan menjadikan bayi terpapar oleh obat-obat yang
tidak diperlukan. Kesulitan yang sering dijumpai dalam diagnosis sindrom
putus obat adalah manifestasi klinis yang muncul seringkali menyerupai
gangguan metabolik atau infeksi sehingga bayi pada awalnya diobati sesuai
kecurigaan, namun klinis tidak membaik. Pengobatan suportif yang diberikan
diantaranya dengan meredupkan pencahayaan ruang rawat bayi untuk
mengurangi stimulasi sensoris dan iritabilitas, perawatan yang lembut serta
menjaga stabilitas suhu. Pemberian nutrisi merupakan pengobatan suportif
yang perlu dilakukan untuk menstabilkan kondisi bayi pada fase akut tanpa
perlu menambahkan pengobatan medikamentosa. Nutrisi diberikan dengan
formula hiperkalori dalam jumlah kecil tapi sering untuk memenuhi
kebutuhan kalori tambahan. Kebutuhan kalori ditambahkan karena terdapat
peningkatan aktivitas, menangis, berkurangnya waktu tidur, regurgitasi, dan
diare. Terapi medikamentosa didasarkan pada berat-ringan gejala putus obat.
Tujuan pemberian terapi untuk menghilangkan pengaruh obat tanpa
menimbulkan gejala putus obat yang berat serta mengembalikan pola tidur
dan minum yang adekuat. Indikasi pemberian medikamentosa adalah skoring
NASS 8 atau lebih, penurunan berat badan berlebihan, dehidrasi akibat diare
atau ketidak-mampuan bayi untuk minum, demam yang bukan disebabkan
oleh infeksi atau kejang serta bila dengan pengobatan suportif tidak dapat
menurunkan skoring NASS di bawah 8. Obat pilihan yang digunakan untuk
sindrom putus obat neonatus adalah morfin dan fenobarbital. Morfin
diberikan pada bayi yang lahir dari ibu dengan ketergantungan opiat dengan
dosis awal pemberian morfin tergantung pada skor NASS bayi. Perubahan
dosis obat dihitung berdasarkan berat lahir bukan berat saat pengobatan.
Penurunan dosis obat (weaning) dilakukan perlahan sehingga bayi dapat
beradaptasi dengan gejala ringan putus obat, dapat minum, dan tidur dengan
baik. Proses penurunan dosis obat bervariasi tergantung pada toleransi bayi
sehingga lama rawat bayi bervariasi. Selama pemberian morfin harus
dilakukan monitor ketat terhadap kemungkinan apne karena morfin memiliki
efek depresi sistem pernafasan. Fenobarbital merupakan obat lini pertama
pada ibu yang tidak diketahui jenis obatnya atau pengguna non-opiat atau ibu
dengan intoksikasi alkohol atau dapat diberikan bila morfin tidak efektif
mengurangi gejala dan tanda putus obat. Bayi dengan ibu pengguna obat-
obatan sebaiknya dirawat di unit perinatologi untuk diobservasi, namun
beberapa penelitian menunjukkan rawat gabung dengan pengawasan yang
ketat petugas dari kesehatan dan keluarga dapat menurunkan angka kejadian
dan derajat keparahan putus obat pada bayi baru lahir, serta meningkatkan
ikatan antara ibu dan bayi. Setelah bayi dipulangkan, hendaknya orangtua
diberi pengetahuan bila terdapat gejala putus obat, karena meskipun jarang,
putus obat neonates dapat terjadi pada usia 4 minggu. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan saat memulangkan bayi. Prognosis bayi dengan sindrom
putus obat tergantung pada obat penyebabnya. Secara umum pada beberapa
kepustakaan disebutkan bahwa penggunaan obat terlarang dapat menyebabkan
perubahan sel dan molekul yang mengarah pada perubahan sistem saraf,
transmisi saraf, dan perubahan formasi otak secara keseluruhan sehingga
dapat menimbulkan gejala sisa sebagai efek jangka panjang berupa
keterlambatan perkembangan mental, kesulitan belajar, perubahan perilaku,
dan cara pikir (kognitif). Data mengenai follow-up jangka panjang terhadap
pertumbuhan dan perkembangan bayi masih terbatas. Bayi dengan gejala
putus obat akibat golongan opiat saat usia 1-2 tahun, laju pertumbuhan dapat
sesuai umur, walaupun beberapa diantaranya berada di bawah rata-rata. Di
usia 5-6 tahun, perkembangan motorik dan mental juga dapat sesuai umur.
Usia 9 tahun, anak dengan riwayat putus obat karena opiat cenderung
memiliki beberapa skor penilaian proses perkembangan bicara yang lebih
rendah dibandingkan anak normal. Namun demikian kondisi anak dengan
luaran yang baik dapat meningkat secara signifikan bila diobati dengan tepat
serta ditunjang dengan lingkungan pengasuhan yang positif. Maka bayi baru
lahir dari ibu dengan riwayat penggunaan obat terlarang harus diketahui agar
dapat diterapi dengan tepat serta di follow-up dengan baik sehingga dapat
menurunkan risiko efek jangka panjang yang mempengaruhi tumbuh
kembang anak.

Penuntun penilaian gejala putus obat pada bayi baru lahir


Gejala Penilaian
Tangis nada tinggi Bayi dinilai bila menangis berkepanjangan, walaupun
tanpa nada tinggi. Nilai 2 bila tangis nada tinggi
sebagai puncaknya. Nilai 3 bila tangis nada tinggi
sepanjang tangisan
Tidur Merupakan skala meningkatnya perburukan, bayi
sebaiknya hanya mendapat 1 nilai dari 3 tingkat
perburukan. Seorang bayi prematur dalam 3 jam
minum paling banyak dapat tidur 2,5 jam.
Refleks Moro Nilai bayi bila menunjukkan jitteriness (tremor ritmik
yang simetris dan tidak disadari) dari kedua tangan
selama atau pada akhir refleks moro. Nilai 3 bila
jitteriness dan klonus (sentakan yang tidak disadari
berulang-ulang) dari kedua tangan dan/atau lengan
yang muncul selama atau setelah refleks awal
Tremor Merupakan skala meningkatnya perburukan, bayi
sebaiknya hanya mendapat 1 nilai dari 4 derajat
perburukan. Istilah tidak diganggu menunjukkan bayi
yang sedang tidur atau istirahat dalam inkubator
Peningkatan tonus otot Nilai bila tonus otot berlebihan atau otot menjadi
kaku dan bayi menunjukkan resistensi bermakna
terhadap gerakan pasif seperti bayi tidak mengalami
head leg ketika ditarik ke posisi duduk atau terdapat
fleksi yang kaku pada lengan dan tungkai bayi (tidak
dapat mencapai posisi sedikit ekstensi pada saat
lengan dan tungkai bayi diekstensi)
Ekskoriasi Aberasi kulit yang terjadi akibat gesekan konstan
terhadap permukaan kain tempat tidur. Nilai hanya
diberikan bila ekskoriasi pertama kali muncul,
meningkat atau muncul baru
Kejang mioklonik Nilai diberikan bila kontraksi otot ireguler yang tidak
disadari dan terjadi secara tiba-tiba (biasanya
melibatkan satu kelompok otot)
Kejang umum Pada bayi baru lahir kejang umum lebih sering
terlihat berupa ekstensi tonik semua alat gerak,
kadang dapat terjadi pada satu sisi. Gerakan alat
gerak yang tidak umum dapat menyertai kejang. Pada
alat gerak atas dapat berupa gerakan seperti berenang
atau mendayung. Pada anggota gerak bawah seperti
gerakan mengayuh. Tanda lain yang tidak nyata
dapat berupa mata menatap tajam, gerakan cepat
mata tidak disadari, mengunyah, melengkungkan
punggung dan mengepalkan tangan
Berkeringat Nilai diberikan bila berkeringat terjadi spontan dan
tidak disebabkan bayi memakai baju tebal/dibungkus
berlebihan atau suhu ruangan yang tinggi
Hipertermi Suhu sebaiknya diperiksa di ketiak. Demam yang
ringan (37,2-38,3°C) merupakan indikasi awal
produksi panas sebagai akibat meningkatnya tonus
otot dan tremor
Mottled Nilai bila mottled (tampak area berbercak merah
muda dan pucat atau putih) muncul pada daerah
dada, batang tubuh, lengan atau tungkai bayi
Menghisap berlebihan Nilai bila terdapat menghisap berlebihan/tidak
terkontrol, peningkatan refleks susur atau usaha
untuk menghisap ibu jari maupun kepalan tangan
(lebih dari sekedar bayi lapar pada umumnya)
Kemampuan minum Nilai bila bayi menunjukkan menghisap yang
buruk berlebihan sebelum minum maupun menghisap
jarang selama minum sehingga hanya mendapat
sejumlah kecil ASI atau susu formula dan atau
menunjukkan refleks menghisap tidak terkordinasi
(kesulitan menghisap dan menelan). Bayi prematur
yang memerlukan tube feeding sebaiknya tidak
dinilai untuk kemampuan minum buruk sesuai
dengan usia gestasi
BAB III

KESIMPULAN

 Diabetes mellitus dalam kehamilan menjadi penyebab morbiditas dan


mortalitas perinatal. Dengan pengawasan maternal yang baik. Khususnya
dalam mengotrol glukosa darah ibu, morbiditas dan mortalitas perinatal makin
rendah.
Walaupun penyebab morbiditas dan mortalitas perinatal adalah multifaktorial,
tetapi hiperglikemia dan hiperinsulinemia disebutkan merupakan faktor
penyebab yang utama.
Akibat hiperglikemia dan hiperinsulinemia bisa terjadi janin mati dalam
rahim, kelahiran prematur, makrosomia, malformasi kongenital dengan segala
akibat selanjutnya.
Dengan surveilans janin antenatal dan postatal yang baik, hiperglikemia dan
hiperinsulinemia itu bisa dikurangi dan dicegah pengaruh buruknya pada bayi
yang dilahirkan.
 Manifestasi klinis yang menyerupai penyakit lain menjadikan petugas
kesehatan terutama dokter anak harus dapat mewaspadai kemungkinan
sindrom putus obat pada bayi baru lahir. Pada kasus yang berat akan disertai
dengan gangguan autonom, gangguan sistem syaraf pusat, gangguan
respiratorik, serta gangguan. Pedoman weaning dosis morfin untuk terapi
sindrom putus obat.
DAFTAR PUSTAKA

 Hamdan AH. Neonatal abstinence syndrome. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 18 April 2012.
 Prawirohardjo S, ed. Ilmu Kebidanan. Edisi kedua. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka, 2002
 Schwartz, William. Pedoman Klinis Pediatri. 2005. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai