Anda di halaman 1dari 17

PERKAWINAN DALAM PNS

Ninda Sulistiani

SMKN 45 JAKARTA
XI OTKP 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Sistem Administrasi Kepegawaian” ini
tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas guru pada bidang
OTK Kepegawaian. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang system administrasi kepegawaian bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bu Prawita, selaku guru OTK Kepegawaian yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 14 Agustus 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 7
BAB II PEMBAHASAN 8
A. Pengertian Perkawinan 8
B. Dasar Hukum Perkawinan PNS 8
C. Azaz-azaz atau Prinsip-prinsip yang Berkaitan dengan Perkawinan 8
D. Laporan Perkawinan 8
E. Persyaratan Perkawinan 9
F. Tata Cara Perkawinan 10
G. Perijinan Perkawinan 10
H. Sanksi 11
I. Pemberian Tunjangan Keluarga dan Tunjangan Pangan 12
BAB III PENUTUP 14
DAFTAR PUSTAKA 15

2
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Keluarga terbentuk dari sebuah perkawinan, dengan melaksanakan perkawinan akan terbentuk
keluarga dalam suatu kehidupan rumah tangga yang secara damai dan tentram serta kekal
dengan rasa kasih sayang dan pengertian antara suami dan istri. Namun dalam membina
keluarga yang bahagia tidak menutup kemungkinan terjadi permasalahan baik sosial ,ekonomi
dan kecemburuan atau perselingkuhan. Apabila upaya perdamaian tidak bisa diwujudkan maka
keputusan akhir adalah perceraian (Suciati, 2014: 34).
Banyak alasan yang membuat perkawinan mereka menjadi tidak harmonis bahkan seringkali
berujung pertengkaran yang bersifat terus menerus dan sudah tidak dapat didamaikan
lagi.Dengan adanya pertengkaran dan suasana yang dianggap sudah tidak nyaman lagi untuk
pasangan suami istri tersebut maka banyak pasangan yang mengambil keputusan untuk tidak
melanjutkan perkawinan mereka maka salah satu solusinya adalah dengan mengakhiri
perkawinan yang tidak sehat tersebut.Seringkali pasangan suami istri mengambil jalan
perceraian untuk perkawinan mereka.
Negara telah menjamin hak konstitusional setiap warga negara untuk membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Perkawinan (atau biasa disebut ‘pernikahan’) ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.
Lebih lanjut, perkawinan selain telah diatur dalam hukum adat, hukum agama, dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), juga diatur dalam UndangUndang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah dirubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (untuk selanjutnya disebut ‘UU
Perkawinan’). Di dalam UU Perkawinan tersebut terkandung prinsip-prinsip dan memberikan
landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi
berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia. Adapun pokokpokok perubahan sebagaimana
diatur dalam bagian konsiderans dan bagian umum UU Perkawinan adalah sebagai
pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) Nomor 22/PUU-
XV/2017, yaitu khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.
Namun, sayangnya pembahasan revisi atas UU Perkawinan tersebut menunjukkan
ketidakcermatan karena mengabaikan dua putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan
69/PUU-XIII/2015, yaitu seharusnya merubah Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) agar hasil

3
pembahasan menjadi komprehensif. Selanjutnya, Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya
disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai
Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan
pemerintahan. Kemudian, PNS sebagai warga negara juga mempunyai hak untuk
melangsungkan perkawinan. Lebih lanjut, status perkawinan merupakan salah satu komponen
data personal kepegawaian bagi seorang PNS. Namun, perkawinan seorang PNS selain tunduk
pada UU Perkawinan juga tunduk kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
(untuk selanjutnya disebut ‘PP 10/1983’) dan mengikuti Surat Edaran Kepala Badan
Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 48/SE/1990 tanggal 26 April 1983
serta Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: 48/SE/1990
tanggal 22 Desember 1990. Selain itu, perkawinan PNS juga menimbulkan hak administratif
berupa pemberian tunjangan keluarga dan tunjangan pangan di luar gaji pokoknya. Oleh karena
itu, tulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memahami aturan terkait
perkawinan bagi seorang PNS.
Kasus perceraian bisa terjadi pada kalangan apapun, salah satunya bagi masyarakat dengan
profesinya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mengenai proses perceraian untuk
pasangan suami istri baik yang salah satunya PNS maupun keduanya bekerja sebagai seorang
PNS tidaklah semudah proses perceraian untuk pasangan suami istri yang bukan PNS. Hal ini
disebabkan karena seorang PNS merupakan abdi masyarakat yang terikat kerja dengan
pemerintah, sehingga seorang PNS harus menjadi panutan bagi masyarakat. Berdasarkan hal
itu menjadikan perceraian bagi seorang PNS merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan.
Mengenai perkawinan dan perceraian bagi PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990yang merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil. Prosedur perceraian bagi PNS
harus berdasarkan pada 3 Peraturan Pemerintah tersebut.Salah satu prosedur yang harus
dilakukan adalah dengan meminta izin dari kepala tempat mereka bekerja.Izin yang diberikan
tersebut harus berupa izin secara tertulis.Mengenai izin ini sesuai dengan Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Pemerintah tahun Nomor 45 Tahun 1990 yang meyebutkan “Pegawai Negeri Sipil
yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat”. Dengan
adanya persyaratan tersebut tampak bahwa penceraian bagi PNS khususnya merupakan hal
yang sangat sulit dilakukan karena tanpa adanya surat izin dari kepalanya PNS tersebut tidak
dapat melakukan penceraian. Permasalahannya sekarang yaitu jika pasangan suami istri
tersebut memang sudah tidak bisa hidup dalam satu perkawinan tetapi belum mendapat surat
izin dari kepalanya dan pihak Pengadilan Agama tidak bisa melakukan penceraian.
Dipersulitnya proses perceraian bagi PNS ini semata-mata bukan hanya PNS sebagai panutan
saja, tapi ada faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan kepala PNS yang bersangkutan
sehingga proses perceraian bagi PNS tampak lebih sulit. Salah satunya akibat yang ditimbulkan
dari perceraian tersebut adalah pengalihan sebagian gaji PNS kepihak istri sebagai kewajiban

4
pemberian nafkah pasca perceraian.Tentu saja untuk pengalihan sebagian gaji tersebut tidaklah
mudah karena membutuhkan prosedur yang panjang. Hal ini pula yang menjadi salah satu
pertimbangan bagi seorang kepala PNS apabila akan memberi izin untuk bercerai bagi anak
buahnya. Melihat begitu berpengaruhnya PNS menjadi panutan bagi masyarakat yang pada
akhirnya menjadi suri tauladan bagi mereka tentunya seorang PNS harus memberikan contoh
yang baik bagi masyarakat dalam kehidupan rumah 4 tangga mereka sehingga hal tersebut
akan berdampak positif bagi masyarakat itu sendiri. Kemudian kita lihat bagaimana tinjauan
umum tentang perkawinan Pegawai Negeri Sipil. Adapun ketentuan perkawinan Pegawai
Negeri Sipil dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dijelaskan, bahwa: 1) Pegawai Negeri
Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama, wajib memberitahukannya secara tertulis
kepada Pejabat melalui saluran hirarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah
perkawinan itu dilangsungkan. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
juga bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan
perkawinan lagi. Bagi Pegawai Negeri Sipil Perempuan tidak diizinkan untuk menjadi istri
kedua, ketiga atau keempat dari Pegawai Negeri Sipil, hal ini seperti dijelaskan dalam Pasal 4
ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Selanjutnya mengenai ketentuan
perceraian Pegawai Negeri Sipil, sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Adapun prosedurnya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah ini adalah
sebagai berikut : 1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh
izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat; 2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang
berkedudukan sebagai Penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai
Tergugat untuk 5 memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus mengajukan permintaan secara tertulis; 3) Dalam surat permintaan izin atau
pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya. Dalam Pasal 5, ditegaskan bahwa izin
tersebut harus diajukan kepada Pejabat secara tertulis. Adapun pejabat yang dimaksud adalah
pimpinan instansi dimana Pegawai Negeri Sipil tersebut bekerja. Pasal 5 ayat (2) menyatakan
bahwa Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam
lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang,
wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki
dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima
permintaan izin dimaksud. Izin untuk bercerai dapat diberikan oleh Pejabat apabila didasarkan
pada alasan-alasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.Izin untuk bercerai
karena alasan istri mendapat cacat badan atau penyakit, tidak diberikan izin cerai oleh Pejabat.
Selain itu, izin cerai juga tidak diberikan apabila alasan perceraian tersebut terdapat hal-hal
sebagai berikut : a) Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan; b) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan/atau alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat. Pasal 8 Peraturan

5
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 mengatur tentang akibat perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil yakni sebagai berikut : 6 a. Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil
pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-
anaknya. b. Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk
Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya, dan sepertiga
untuk anak atau anak-anaknya. c. Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian
gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas istrinya ialah setengah
dari gajinya. d. Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan perceraian
disebabkan karena istri berzinah, dan atau istri melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi
yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-
turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
e. Apabila perceraian terjadi atas kehendak istri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan
dari bekas suaminya. f. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila
istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami
menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah
meninggalkan istri 7 selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya. g. Apabila bekas istri Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus
terhitung mulai ia kawin lagi. Dari ketentuan-ketentuan yang sudah diatur mengenai izin
perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipilsebagaimana yang telah dirumuskan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 ini membuktikan bahwa pemerintah
memiliki wewenang dalam mengelola staf pekerjanya yaitu PNS dalam beragam aspek
kehidupan termasuk dalam hal perkawinan dan perceraian.Pemerintah dengan birokrasinya
memiliki kekuasaan mengatur kehidupan masyarakat.Hal ini berkaitan dengan makin besarnya
intervensi negara, salah satu penjelasan yang diberikan aliran teknokratis tentang
membesarnya kekuasaan birokrasi adalah karena pemerintah modern melakukan intervensi ke
makin banyak bidang di dalam kehidupan social-ekonomi masyarakat.Makin besarnya volume
dari kegiatan yang harus dilakukan pemerintah mengharuskan adanya pembesaran terhadap
ukuran dan kekuasaan dari badan-badan yang mengelola kegiatan- kegiatan itu, yaitu birokrasi
(Halevy, 2011:90). Kasus perceraian yang dilakukan Pegawai Negeri Sipil ini juga terjadi pada
guru sebagai tenaga pengajar di beberapa daerah di Sumatera Barat, didapat dalam suatu artikel
di halaman website minangkabaunews.com pada tanggal 24 April 2016 mengabarkan bahwa
cerai di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Padang didominasi oleh guru dan bidan.
Selanjutnya dalam artikel lain di harianhaluan.com pada tanggal 29 Maret 2016 mengabarkan
bahwa sejak 8 pendapatan meningkat perceraian guru PNS justru meningkat. Lebih lanjut
dalam pemberitaan dalam artikel harianhaluan.com ini salah satu narasumbernya, Erizon
menyatakan, “tahun ini saja masih ada 50 kasus perceraian yang belum disidangkan dan masih
belum ditanda tangani”. Pengkajian masalah ini telah sampai kepada upaya pemerintah akan

6
menyediakan konsultan jiwa (psikiater). Selain itu juga akan menggelar pengajian rutin dengan
tema seputar bahaya laten perceraian. Selain itu upaya-upaya perdamaian sebelum salah satu
pihak mengajukan perceraian juga dilakukan oleh pemerintah. Seperti halnya yang terjadi di
wilayah kerja Kabupaten Lima Puluh Kota.Salah satu yang besar jumlahnya yaitu dari
golongan guru pengajar di beberapa sekolah dasar.Permasalahan salah satu pihak
untukbercerai, disebabkan oleh berbagai latar belakang permasalahan.Walau bersifat
permasalahan pribadi dan biasanya dapat diselesaikan secara kekeluargaan namun juga tak
jarang berujung kepada pengajuan cerai dari salah satu kepada pihak pemerintahan yang
berwenang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian perkawinan
2. Apa dasar hukum perkawinan PNS?
3. Bagaimana cara melapor perkawinan?

7
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974) telah ditentukan
bahwa: “Perkawinan sah ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya/kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

B. Dasar Hukum Perkawinan PNS


1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
2. Surat Edaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 dan Nomor
48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
jo Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil

C. Azaz-azaz atau Prinsip-prinsip yang Berkaitan dengan Perkawinan


1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil;
2. Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya, dan tiap-tiap perkawinan harus di catat, menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
3. Menganut azas monogami.
4. Calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat;
5. Mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alas an-
alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding pengadilan;
6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian
segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami
isteri.

D. Laporan Perkawinan
Pegawai Negeri Sipil yang hendak melangsungkan perkawinan pertama wajib mengirimkan
laporan perkawinan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki. Laporan
perkawinan harus dikirimkan selambat – lambatnya 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal

8
perkawinan. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi PNS yang duda / janda yang melangsungkan
perkawinan lagi.
Laporan perkawinan dibuat rangkap tiga dan dilampiri :
1. Salinan sah Surat Nikah /Akte Perkawinan untuk tata naskah masing-masing instansi.
2. Pas foto isteri/suami ukuran 3×4 cm sebanyak 3 lembar
3. SANKSI

PNS yang tidak memberitahukan perkawinan pertamanya secara tertulis kepada Pejabat dalam
jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan, maka dijatuhi
salah satu hukuman disiplin berat sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
(sekarang Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010).

E. Persyaratan Perkawinan
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), dan Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua calon mempelai
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu serta dicatat
perkawinannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, seorang
warga negara dinilai
kecakapan bertindak hukum apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan sebelum berumur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Apabila belum mencapai usia 19 tahun, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-
bukti pendukung yang cukup dan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon
mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Terdapat larangan perkawinan antara dua orang yang:
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan;
5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6. berhubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin;
7. masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali memenuhi syarat perkawinan
secara poligami;
8. apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain;
9. bagi seorang wanita yang putus perkawinannya yang mau menikah lagi tidak pada jangka
waktu tunggu yang berlaku.

9
F. Tata Cara Perkawinan
Tata cara perkawinan bagi seorang PNS diatur sebagai berikut:
1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak surat pengumuman kehendak
perkawinan ditempel oleh Pegawai Pencatat pada suatu tempat yang sudah ditentukan
dan mudah dibaca oleh umum.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai
Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
4. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta
perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang
berlaku.
5. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani
pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi
yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali
nikah atau yang mewakilinya.
6. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

G. Perijinan Perkawinan
Bagi PNS yang melangsungkan perkawinan pertama dan yang berstatus janda atau duda yang
melangsungkan perkawinannya kembali wajib melaporkan kepada pejabat secara hirarkhis
selambat-lambatnya 1 tahun sejak tanggal perkawinan. Yang dimaksud dengan Pejabat antara
lain Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,
Pimpinan Bank milik Negara, Pimpinan Badan Usaha milik Negara, Pimpinan Bank milik
Daerah, atau Pimpinan Badan Usaha milik Daerah. Selanjutnya, laporan perkawinan dibuat
rangkap tiga dan dilampiri: 1. Salinan sah Surat Nikah/Akte Perkawinan untuk tata naskah
masing-masing instansi; dan 2. Pas foto isteri/suami ukuran 3x4 cm sebanyak 3 lembar.
Sedangkan bagi PNS pria yang akan beristri lebih dari seorang (poligini), wajib menyampaikan
surat permohonan tertulis kepada Pejabat melalui atasan PNS yang bersangkutan.Kemudian
setelah diterima oleh atasan PNS tersebut, juga wajib memberikan pendapat dan
menyampaikan kepada Pejabat secara berjenjang selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung
mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin tersebut. Setelah itu, setiap pejabat harus
mengambil keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima
surat permintaan izin tersebut. Selanjutnya, izin PNS untuk poligini hanya dapat diberikan oleh
Pejabat apabila setelah memperhatikan pertimbangan dari atasan PNS yang bersangkutan
berkaitan dengan surat pemintaan izin tersebut yang disertai dengan alasan-alasan yang
dikemukakan yang memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan seluruh
syarat kumulatif, yakni:

10
1. Syarat alternatif (salah satu harus terpenuhi):
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya, karena menderita sakit jasmani/rohani.
b. Isteri mendapat cacat badan/penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan setelah menikah sekurangkurangnya 10 tahun.
Terkait dengan syarat alternatif tersebut di atas dibuktikan dengan surat keterangan dokter
pemerintah.
2. Syarat kumulatif (semua harus terpenuhi):
a. Ada persetujuan tertulis secara ikhlas dari isteri dan/atau istri-istrinya dan disahkan
atasan PNS serendah-rendahnya pejabat eselon IV.
b. PNS pria mempunyai penghasilan yang cukup yang dibuktikan dengan surat
keterangan pajak penghasilan.
c. PNS pria berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anaknya dengan membuat surat
jaminan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII Surat Edaran Badan
Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 26 April 1983 tentang Ijin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (untuk selanjutnya disebut ‘SE
Ka. BAKN 08/SE/1983’)
Hal sebaliknya berlaku bagi seorang wanita yang berkedudukan sebagai isteri
kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi PNS dan selanjutnya PNS wanita tidak diijinkan
menjadi istri kedua/ketiga/keempat
H. Sanksi
Dalam hal seorang PNS yang tidak patuh terhadap ketentuan kepegawaian terkait perkawinan
dapat dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (dhi. telah dicabut dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil, untuk selanjutnya disebut ‘PP 53/2010’) apabila:
1. Tidak memberitahukan perkawinan secara tertulis kepada Pejabat dalam jangka waktu
selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan;
2. PNS pria beristri lebih dari seorang tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat;
3. PNS pria tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat kepada Pejabat
dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan;
4. PNS wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat;
5. Hidup bersama di luar ikatan perkawinan yang sah.
Sedangkan jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) PP 53/2010
terdiri dari:
1. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
2. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
3. pembebasan dari jabatan;
4. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS;
5. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

11
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 10 angka 13 PP 53/2010, salah satu alasan dijatuhkannya
hukuman disiplin berat adalah karena pelanggaran terhadap kewajiban menaati peraturan
kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, ketidakpatuhan
terhadap peraturan kedinasan terkait perkawinan dapat dijatuhi salah satu hukuman disiplin
berat.

I. Pemberian Tunjangan Keluarga dan Tunjangan Pangan


Perkawinan bagi seorang PNS mempunyai dampak keuangan, yaitu berdasarkan Pasal 15
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (untuk selanjutnya disebut ‘PP Gaji PNS’),
diberikan hak administratif berupa tunjangan keluarga (istri/suami/anak). Adapun ketentuan
pemberian tunjangan keluarga telah diatur sebagai berikut:
1. Kepada Pegawai Negeri Sipil yang beristeri/bersuami diberikan tunjangan isteri/suami
sebesar 10% (sepuluh persen) dari gaji pokok.
2. Kepada Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai anak atau anak angkat, yang berumur
kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, belum pernah kawin, tidak mempunyai penghasilan
sendiri, dan nyata menjadi tanggungannya, diberikan tunjangan anak sebesar 2% (dua
persen) dari gaji pokok tiap-tiap anak.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam poin 2 dapat diperpanjang sampai umur 25 (dua
puluh lima) tahun apabila anak tersebut masih bersekolah.
4. Apabila suami isteri kedua-duanya berkedudukan sebagai Pegawai Negeri, maka
tunjangan keluarga diberikan kepada yang mempunyai gaji pokok yang lebih tinggi.
5. Tunjangan anak dan tunjangan beras untuk anak dibatasi untuk 2 (dua) orang anak
(termasuk anak angkat). 22) 6. Dalam hal pegawai/pensiunan pada tanggal 1 Maret 1994
telah memperoleh tunjangan anak dan tunjangan beras untuk lebih dari 2 (dua) orang anak,
kepadanya tetap diberikan tunjangan untuk jumlah menurut keadaan pada tanggal tersebut.
6. Apabila setelah tanggal tersebut jumlah anak yang memperoleh tunjangan anak berkurang
karena menjadi dewasa, kawin atau meninggal, pengurangan tersebut tidak dapat diganti,
kecuali jumlah anak menjadi kurang dari 2 (dua).
Selain pemberian tunjangan keluarga, bagi PNS yang telah melangsungkan perkawinan juga
kepada PNS beserta keluarganya dapat diberikan tunjangan pangan. Adapun ketentuan
pemberian tunjangan pangan bagi pegawai negeri dan keluarganya diatur dalam Pasal 2
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1982 tentang Tunjangan Pangan bagi
Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun, Penyediaan Pangan bagi Pegawai Perusahaan dan
untuk Keperluan Khusus serta Operasi Pasar (untuk selanjutnya disebut ‘Keppres 9/1982’)
sebagai berikut:

12
1. Pegawai Negeri Sipil beserta Keluarganya menerima tunjangan pangan dalam bentuk
beras masing-masing sebesar 10 (sepuluh) kilogram untuk setiap orang setiap bulan.
2. Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menerima tunjangan pangan dalam
bentuk beras sebesar 18 (delapan belas) kilogram dan untuk keluarganya masing-masing
sebesar 10 (sepuluh) kilogram untuk setiap orang setiap bulan.
3. Suami isteri yang kedua-duanya Pegawai Negeri Sipil masing-masing menerima
tunjangan pangan menurut haknya, untuk anaknya tidak diberikan tunjangan pangan
secara rangkap.
4. Pegawai Negeri yang di samping gaji menerima pensiun, tidak menerima tunjangan
pangan secara rangkap termasuk keluarganya.
5. Harga beras sebagai dasar untuk pemberian tunjangan pangan dalam bentuk beras
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Selanjutnya, Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perbendaharaan telah menetapkan
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-3/PB/2015 tentang Perubahan
Kelima atas Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-67/PB/2010 tentang
Tunjangan Beras dalam Bentuk Natura dan Uang (untuk selanjutnya disebut ‘Perdirjen
PER3/PB/2015’). Dalam Pasal 3 ayat (2) Perdirjen PER-3/PB/2015, pemberian tunjangan
beras dalam bentuk uang kepada Pegawai Negeri dan pensiun/penerima tunjangan yang
bersifat pensiun ditetapkan sebesar Rp7.242,00 per kilogram. Kemudian, pembayaran
tunjangan dibatasi hanya untuk 2 orang anak saja ditambah 1 orang istri/suami. Sebagai contoh,
seorang PNS pria yang memiliki 2 orang anak dan 1 orang istri, maka besarnya tunjangan
berasnya akan dikalikan 4 orang berdasarkan banyaknya tanggungan.

13
BAB III
Penutup

Ketentuan terkait persyaratan, tata cara, dan perijinan perkawinan bagi seorang PNS telah diatur
dalam UU Perkawinan jo. PP 10/1983 jis. SE Ka. BAKN 08/SE/1983 dan SE Ka. BAKN
48/SE/1990. Walaupun telah berlaku sejak tahun 1983 dan terdapat dinamika peraturan
perundang-undangan, ketentuan PP 10/1983 masih berlaku dan belum dicabut oleh Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2020 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri
Sipil. Dengan demikian, ketentuan dalam SE Ka. BAKN 08/SE/1983 dan SE Ka. BAKN
48/SE/1990 sebagai peraturan pelaksanaannya masih berlaku sebagai petunjuk pelaksanaan
persyaratan, tata cara, dan perijinan perkawinan bagi seorang PNS. Adapun, dijelaskan bahwa
berdasarkan Pasal 10 angka 13 PP 53/2010, ketidakpatuhan terhadap peraturan kedinasan terkait
perkawinan dapat dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7
ayat (4) PP 53/2010. Setelah perijinan perkawinan PNS disetujui oleh Pejabat, maka bagi PNS
yang bersangkutan dan keluarganya diberikan hak administratif berupa tunjangan keluarga dan
tunjangan pangan. Ketentuan terkait tunjangan keluarga dan tunjangan pangan telah diatur dalam
PP Gaji, Keppres 9/1982, Keppres 42/2002, dan Perdirjen PER-3/PB/2015. Merujuk pada kriteria
dimaksud, pemberian tunjangan anak dan pangan dibatasi hanya untuk 2 orang anak saja ditambah
1 orang istri/suami dan besaran tunjangan pangan yang disetarakan dengan uang senilai
Rp72.420,00 per orang dengan maksimal 4 orang dalam 1 keluarga.

14
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah
dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas atas Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1982 tentang Tunjangan Pangan bagi
Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun, Penyediaan Pangan bagi Pegawai Perusahaan dan
untuk Keperluan Khusus serta Operasi Pasar
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 48/SE/1990
tanggal 26 April 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: 48/SE/1990 tanggal 22
Desember 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V.252.2535/99 tanggal 22 Agustus
2011 tentang Hukuman Disiplin bagi PNS yang Melanggar PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.
PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-3/PB/2015 tentang Perubahan Kelima
atas Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-67/PB/2010 tentang
Tunjangan Beras dalam Bentuk Natura dan Uang
Internet

15
Yasin, Muhammad. (2019, 20 September). Revisi UU Perkawinan Disetujui, Dua Putusan MK Ini
Terlewat.

16

Anda mungkin juga menyukai