Anda di halaman 1dari 17

Tugas Mandiri 1

Islam dalam Wacana Kemodernan (Tajdidnya)


Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Mandiri Yang Diwajibkan Dalam Mengikuti
Perkuliahan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan

Oleh,
Maysarah Aini
(2020070011)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang indah, selain ucapan Syukur saya kepada Allah SWT,
yang sampai detik ini masih memberikan kesehatan dan kesempatan kepada saya,
sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan dalam Makalah ini
dengan judul “Islam dalam Wacana Kemodernan (Tajdidnya)”. Adapun makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas Al-Islam dan Kemuhammadiyahan pada
semester Ganjil di tahun pembelajaran 2020/2021 Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara.

Dengan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya,maka melalui kesempatan


ini saya menyampaikan rasa hormat saya kepada:

1. Bapak Dr. Muhammad Qorib, M. A selaku dosen pembimbing mata kuliah


Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Program Studi Magister Pendidikan
Matematika yang telah memberikan dorongan, dukungan serta masukan dalam
penyelesaian makalah ini.
2. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan dorongan semangat,moril
dan juga materi,serta selalu memberikan doa untuk penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat


banyak kekurangan,seperti pepatah “ Tiada Gading Yang Tak Retak”, oleh karena
itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak pembaca.

Akhirnya besar harapan saya, semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca atau pun pihak lain yang membutuhkannya.

Medan, 27 November 2020

Penulis / Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam dan Kemodernan......................................................... 3
B. Pengertian Tajdid.................................................................................... 5
C. Islam dalam Wacana Kemodernan (Tajdidnya)...................................... 4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................. 12
B. Saran........................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nabi Muhammad yang diutus untuk semua bangsa dengan risalahnya
“rahamatan lil al-‘Alamîn”, menunjukkan bahwa syariah yang dibawa bersifat
universal, luas, luwes, dan cocok untuk semua tempat dan zaman. Namun dengan
perkembangan zaman yang begitu cepat dan jauh dari masa nubuwwah, maka
ajaran agama mengalami distorsi. Apalagi semakin bertambahnya persoalan baru
yang sangat bervariasi yang timbul, berbeda antara satu tempat dengan tempat lain
dan satu masa dengan masa yang lain. Padahal masalah tersebut memerlukan
penyelesaian yang tetap dan cepat. Dengan itu, agama harus ikut berperan dan
salah satu sarananya adalah dengan konsep tajdid dan ijtihad. 1
Nomenklatur tajdid penting diterangkan di sini agar dapat ditemukan dan
dipahami makna yang sesuai, sehingga tidak ada penyelewangan arti tajdid
tersebut. Dalam hadis Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk
umat ini pada setiap penghujung seratus tahun, orang yang memperbaharuhi
agamanya”. Dalam riwayat yang lain, “seorang yang memperbaharui perkara
ajaran agamanya”. Secara etimologi, tajdid berasal dari Bahasa Arab “jaddada”
yang artinya memperbaharuhi, dan “tajaddada al-syai’”, artinya sesuatu itu
menjadi baru. Sebagai contoh adalah kata-kata “jaddada al-wudûi”, artinya
memperbaharuhi wudhu, dan “jaddada al-’ahda”, artinya memperbaharuhi janji.
Dari sini, makna tajdid memberikan gambaran pada pikiran kita terkumpulnya
tiga arti yang saling berkaitan dan tidak terpisah: 1) bahwa sesuatu yang
diperbaharuhi itu telah ada permulaannya dan dikenal oleh orang banyak, 2)
bahwa sesuatu itu telah berlalu beberapa waktu, kemudian usang dan rusak, dan 3)
sesuatu itu telah dikembalikan kepada keadaan semula sebelum usang dan rusak.
Nampak dari keterangan ini bahwa kata “baru” lawan dari kata “usang”, atau
“jadîd” (baru) lawan kata “qadîm” artinya lama.2

1
Amal Fathullah Zarkasyi, “Tajdid dan Modernisasi Pemikiran Islam” dalam Istitut Studi
Islam Darussalam (ISID) Gontor, Vol. 9, No, 2, November 2013, h, 396.
2
Bustami Muhammad Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Terj. Mahsun
al-Mundzir, (Gontor-Ponorogo: PSIA ISID, 1991), h. 2-3.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yng dimaksud dengan Islam dan Kemodernan?
2. Apa yang dimaksud dengan Tajdid?
3. Bagaimana Islam dalam Wacana Kemodernan (berdasarkan Tajdid)?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Islam dan Kemodernan.
2. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan Tajdid.
3. Untuk mengetahui bagaimana Islam dalam wacana kemodernan
(berdasarkan Tajdidnya).

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Islam dan Kemodernan


Menurut bahasa, “Islam” berasal dari bahasa Arab, yaitu berasal dari kata
salama yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai, kata salama kemudian
diubah menjadi aslama yang berarti berserah diri, masuk dalam kedamaian.
“Islam” dari sisi kebahasaan mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah
diri kepada Tuhan dalam upaya mencari kebahagiaan dan keselamatan hidup di
dunia dan di akhirat kelak.3
Kemodernan berasal dari kata “modern”. Ungkapan modern (abad
modern), modernity atau modernitas (kemodernan), modernism (paham
kemodernan), modernization atau modernisasi (proses modernisasi) dalam Islam
sebetulnya diserap dari istilah Barat. Istilah-istilah itu masuk ke dunia Islam
bersamaan dengan masuknya kebudayaan Barat ke dunia Timur, terutama setelah
dipopulerkan oleh para orientalis.
Dalam bahasa Indonesia padanan kata modernisasi adalah “pembaharuan”,
berasal dari kata “baru” yang bermakna sesuatu yang tidak pernah ada, tidak
pernah terlihat, tidak pernah diketahui atau didengar. Didalam tradisi ilmu tauhid,
ilmu primer Islam, “baru” di kenal sebagai salah satu ungkapan utnuk menyebut
sifat alam atau makhluk yang senantiasa berubah-ubah, lawan dari sifat yang ada
bagi Allah, qadim dan baqa. Jadi secara semantik kata “baru” sebetulnya sangat
erat kaitannya dengan kondisi yang selalu berubah.
Jauh sebelum istilah modernisasi (pembaruan) di populerkan oleh para
orientalis, di dunia Islam sudah ada istilah tajdid ‫ = ) تجد ید – یجد د – جد د ا‬jaddada,
yujaddidu, tajdidan) yang memiliki arti lebih kurang sama dengan modernisasi
atau pembaruan.
Adapun konteks pembaharuan di sini adalah dalam hal pemahaman
keagamaan. Hal ini merujuk pada hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Abu Dawud:
“Allah mengutus kepada umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang
memperbaharui (urusan) agama untuk umat ni (HR. Abu Dawud)."

3
Ahmad Taufik, et.al, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 37.

3
Yusuf Qardawi memberi makna tajdid sebagai pembaruan, modernisasi,
yakni upaya mengembalikan pemahaman agama kepada kondisi semula sebagaimana
masa Nabi. Ini bukan berarti hukum agama harus persis seperti yang terjadi pada
waktu itu, melainkan melahirkan keputusan hukum untuk masa sekarang sejalan
dengan maksud shar’i dengan membersihkan dari unsur-unsur bid’ah, hurafat, atau
pikiran-pikiran asing. Dengan rumusan tajdid seperti itu tampak jelas bahwa tajdid
dalam pengertian umum adalah pembaruan atau modernisasi. Modernisasi dalam
pengertian masyarakat barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha
untuk merubah paham-paham, adat istiadat institusi-institusi lama dan sebagainya
agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan
baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan modern. Paham ini mempunyai
pengaruh besar dalam masyarakat barat dan segera memasuki lapangan agama yang
di barat dipandang sebagai penghalang bagi kemajuan. Dengan demikian,
modernisasi dalam hidup keagamaan di barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan
ajaran-ajaran yang ada dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan
dan falsafah modern. Aliran ini akhirnya membawa sekularisme di barat.4

B. Pengertian Tajdid
Secara etimologi, tajdid berasal dari Bahasa Arab “jaddada” yang artinya
memperbaharuhi, dan “tajaddada al-syai’”, artinya sesuatu itu menjadi baru.
Sebagai contoh adalah kata-kata “jaddada al-wudûi”, artinya memperbaharuhi
wudhu, dan “jaddada al-’ahda”, artinya memperbaharuhi janji. Dari sini, makna
tajdid memberikan gambaran pada pikiran kita terkumpulnya tiga arti yang saling
berkaitan dan tidak terpisah: 1) bahwa sesuatu yang diperbaharuhi itu telah ada
permulaannya dan dikenal oleh orang banyak, 2) bahwa sesuatu itu telah berlalu
beberapa waktu, kemudian usang dan rusak, dan 3) sesuatu itu telah dikembalikan
kepada keadaan semula sebelum usang dan rusak. Nampak dari keterangan ini
bahwa kata “baru” lawan dari kata “usang”, atau “jadîd” (baru) lawan kata
“qadîm” artinya lama.5
Tajdid adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan atau
ditinggalkan dari ajaran-ajaran agama guna mereformasi kehidupan Kaum
4
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1978), h.
94-95.
5
Amal Fathullah Zarkasyi, “Tajdid dan Modernisasi Pemikiran Islam” dalam Istitut Studi
Islam Darussalam (ISID) Gontor, Vol. 9, No, 2, November 2013, h. 397.

4
Muslim secara umum ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini makna tajdid
bukanlah mengubah yang lama dan menghilangkannya dari aslinya untuk
kemudian digantikan dengan sesuatu yang baru. Sebagian ulama mendefinisikan
tajdid sebagai upaya menghidupkan kembali apa yang telah hilang dan terhapus
dalam penerapan kandungan al-Qur’an dan al-Sunah, serta perkara yang wajib
dikerjakannya. Adapun makna “yujaddidu lahâ dînahâ” berarti menjelaskan dan
membedakan antara sunah dan bidah, memperbanyak ilmu dan mendukung
ulama, serta memberantas ahli bidah. Hal itu tidak akan tercapai kecuali bagi
seorang yang alim dalam bidang ilmu agama. Dengan demikian, tajdid dalam
Islam bukan berarti membuat Islam yang baru, tetapi mengembalikan Islam
kepada masa Rasulullah SAW dan al-Khulafâ al-Râsyidûn berdasarkan sumber-
sumbernya yang murni dengan mempertimbangkan kondisi zaman.6

C. Islam dalam Wacana Kemodernan (berdasarkan Tajdid)


Tajdid atau pembaruan dalam perspektif Islam seperti yang dipahami oleh
para intelektual muslim, Muhammad Imarah, lebih menekankan pada aspek non
teologis sebagai medan tajdid. Pembaruan tidak bertentangan dengan kesempurnaan
dan kebakuan agama, melainkan menjadi jalan perluasan pengaruh-pengaruh agama
yang sempurna ini ke wilayah-wilayah jangkauan baru dan persoalan-persoalannya
yang baru timbul, dan jaminan bagi kelangsungan dasar-dasar itu dalam menyertai
perkembangan jaman dan tempat. Hal senada, Munir menyatakan bahwa tajdid ditilik
dari akar sejarah pembaruan, mengandung tiga unsur yakni, 1) Liberation, berarti
dalam proses berpikir lebih bersifat pembebasan daripada ta’ashub madhhab, bid’ah
dan hurafat, 2) Reformation, berarti kembali kepada al-Qur’an dan Hadith, 3)
Modernization, berarti menyesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan modern dan teknologi canggih. Fungsi tajdid dalam
pandangan Ulama Nahdiyyin, mencakup dua sisi yang mendasar, yakni 1) fungsi
Konservasi (al-Muhafadah ala al-Qadim al-Salih), yakni melestarikan tradisi
lama yang baik. 2) fungsi Dinamisasi (al-ahdu bi al- Jadid al-Aslah), yakni
mengembangkan dengan selalu selektif terhadap nilai-nilai dan kemajuan-
kemajuan baru.7

6
Ibid, h. 399.

5
Berbagai definisi tentang modern, kemodernan ataupun modernisme telah
disampaikan oleh sejumlah penulis terdahulu. Tiga orang sarjana yakni Ahmad
Hassan, Chehabi dan Mukti Ali merumuskan pengertian modernisme dalam
konteks pemikiran keagamaan Islam. Menurut Ahmad Hassan, modernisme
adalah aliran pemikiran keagamaan yang “menafsirkan Islam melalui pendekatan
rasional untuk menyesuaikannya dengan perkembangan jaman. Dengan demikian,
Islam harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia
modern”.
Hampir serupa dengan rumusan Hassan, Chehabi mengartikan kalimat
modern terhadap doktrin agama” sehingga keberadaannya “tidak bertentangan
dengan semangat jaman yang dominan”, terutama “apa-apa yang ada dan
dijumpai dalam masyarakat lain yang lebih maju”. Mukti Ali tampaknya setuju
dengan dua pengertian ini, meskipun dia lebih menekankan definisi modernisme
pada usaha “purifikasi agama” dan “kebebasan berfikir”. Bagi Mukti Ali,
modernisme adalah “faham yang bertujuan untuk memurnikan Islam” dengan cara
“mengajak umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan sunnah” dan
“mendorong kebebasan berfikir” sepanjang tidak bertentangan dengan teks al-
Qur’an dan Hadits yang shahih”.8
Pengertian term modern sebagai fenomena keagamaan dan kebudayaan
dirumuskan Fajlur Rahman dan Bassam Tibi. Menurut Falur Rahman,
modernisme adalah “usaha (dari tokoh-tokoh Muslim) untuk melakukan
harmonisasi antara agama dan pengaruh modernisasi dan westernisasi yang
berlangsung di dunia Islam”. Usaha itu dilakukan dengan menafsirkan dasar-
dasar doktrin supaya “sesuai” dengan semangat jaman. Hal serupa juga
dikemukakan oleh Bassam Tibi. Perbedaannya dengan Rahman terletak bahwa
Tibi lebih memusatkan perhatiannya pada bidang yang lebih khusus, yakni
sebagai “akulturasi budaya”. Bagi Tibi, kaum modernis adalah kelompok orang-
orang “yang melakukan pengintegrasian ilmu dan teknologi modern ke dalam
Islam, tetapi berusaha menghindari berbagai konsekuensi negatif dari
penerapannya”. Kaum modernis, menurut Tibi, menganggap bahwa sekulerisme,
7
A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h.
13-14.
8
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini (Jakarta: Rajawali, 1988).

6
perasaan teraleniasi dan melemahnya nilai- nilai moral dalam masyarakat Barat,
adalah ekses negatif dari penerapan ilmu dan teknologi yang tidak dapat
dihindari. Oleh karena itu, kaum modernis melakukan suatu sintesis antara
prinsip-prinsip keruhanian dan moral Islam dengan sains dan teknologi, untuk
menghindari ekses negatif itu”.
Ada beberapa ciri khas yang menandai modernisme dalam Islam yang
telah dikenal luas dalam kajian-kajian terdahulu. Hamilton Gibb menitikberatkan
kepada ciri “apologetik” yang ditandai dengan sikap pembelaan terhadap Islam
dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misionaris Kristen.
Apologia, menurut Gibb, dilakukan oleh kaum modernis dalam upaya
menunjukkan “keunggulan” Islam atas peradaban Barat.
Wilfred C. Smith sependapat dengan ciri yang disampaikan oleh Gibb,
tetapi dia menambahkan satu ciri lagi yakni “romantisme”. Karakter romantisme
ini tampak dalam sikap modernis mengagungkan periode awal dan periode
kegemilangan peradaban Islam masa lampau. Dalih apologetik lain yang
seringkali dikemukakan oleh kaum modernis, masih kata Smith, adalah bahwa
kemunduran dunia Islam sama sekali bukanlah disebabkan oleh doktrin agama
Islam itu, melainkan kesalahan para penganutnya. Puncak kesalahan itu ialah,
karena kaum muslim sendiri telah melupakan agamanya. Tetapi karakteristik
modernisme yang dikemukakan oleh dua sarjana orientalisme ini dikritik oleh
sarjana lain seperti Edward Said, Marshall G.S. Hodgson dan Robert N.
Bellah.Sementara itu Fazlur Rahman, Deliar Noer dan Mukti Ali lebih
menonjolkan karakteristik modernisme pada “keharusan ijtihad” khususnya
dalam masalah-masalah mu’amalah (kemasyarakatan), dan penolakan mereka
terhadap sikap jumud (kebekuan berfikir) dan taqlid (mengikuti suatu pendapat
tanpa mengerti dasarnya). 47 Kaum modernis berusaha manggalakkan ijtihad dan
melakukan pembedaan doktrin ke dalam dua bidang yakni ibadah dan
muamalah. Dalam bidang ibadah semua aturannya telah diperinci oleh syariah,
sehingga tidak diperbolehkan ada ijtihad dalam masalah ini. Sedangkan dalam
bidang muamalah, al-Qur’an masih hanya memberikan “prinsip-prinsip umum”
di samping menetapkan batas-batas yang tidak boleh dilampaui. Dalam bidang
muamalah ini kaum modernis berpandangan “kreativitas-ijtihad” harus didorong.

7
Mereka berdalih, tanpa ijtihad, Islam akan kehilangan relevansinya dengan
dinamika jaman. Hal ini dapat dipahami, karena doktrin selamanya tidak
berubah, sedangkan masyarakat terus mengalami perkembangan dan perubahan.
Hossein Nasr menegaskan, bagi kaum modernis, “Islam harus dimodernisir agar
dapat mengakomodasikan dirinya mengahadapi serangan Barat dengan
pandangan dunia, filsafat dan ideologinya sendiri”.
Dalam konteks umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah biasa
dikatakan sebagai salah satu sayap kaum modernis. Sudah barang tentu
pemposisian Muhammadiyah sebagai kaum modernis di sini sama sekali tidak
berpretensi menafikan adanya dimensi pembaruan (tajdid) yang inheren pada
kelompok fundamentalis atau Salafi dan Tradisionalis-Madzhabi. Hal demikian
setidaknya didasarkan pada alasan bahwa dalam kenyataannya “tidak ada satu
kelompok pun dari umat Islam di Indonesia yang hadir dengan tanpa tajdid atau
pembaruan, meski harus diakui adanya keragaman cakupan dalam agenda
pembaruannya”, demikian pernyataan Abdurrahman Wahid yang dikutip oleh
Djohan Effendi. Dan lebih dari itu, dimensi modernitas Muhammadiyah ternyata
lebih berada pada lingkup amal-usaha dan menejemannya, sedangkan pada
bidang pemikiran (tentu saja termasuk dalam bidang akidah atau teologi Islam)
ternyata Muhammadiyah cenderung mengalamai stagnasi, yang dalam batas
tertentu, lebih cenderung sebagai konservatif-fundamentalis-puritanis- Salafi.
Sangat boleh jadi hal demikian ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pada
awalnya Muhammadiyah, sebagai ditegaskan oleh Syafiq A. Mughni,9 memang
tidak diarahkan untuk menjadi gerakan pemikiran, melainkan lebih sebagai
gerakan sosial-keagamaan. Meskipun demikian harus diakui bahwa karena
adanya tuntutan ideologis, sebagai landasan teologis bagi semua aksi sosial
keagamaan yang dilakukan, kemudian Muhammadiyah mengarah pula kepada
gerakan pemikiran keagamaan.
Polarisasi dari modernisme kemudian lahir neo-modernisme, di mana
sikap mereka terhadap nilai-nilai Barat modern adalah selektif dan kritis. 10

9
Syafiq A. Mughni, Nilai-Nilai Islam, Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 94-95.
10
A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mijan,
1995), h. 12.

8
Kelompok ini dikenal sebagai pembela prinsip ijtihad sebagai metode utama
untuk meretas kebekuan berfikir umat Islam. Sebagaimana disampaikan oleh
Abd. A’la, sesungguhnya neo-modernisme merupakan gerakan pembaruan
Islam yang hadir sebagai respons terhadap kelemahan yang melekat pada
gerakan-gerakan Islam sebelumnya, yakni revivalisme pra modernis,
modernisme klasik dan neo-revivalisme. Lebih dari itu, neo-modernisme juga
hadir, lanjut A’la, untuk memberikan kritik sekaligus apresiasi terhadap aliran-
aliran pemikiran Islam yang timbul sepanjang sejarah perjalanan umat Islam,
serta juga pemikiran yang berkembang di Barat. Dalam paradigma pemikiran
neo-modernisme, tidak semua hasil pemikiran ulama dan intelektual Muslim
mesti baik, benar dan sesuai dengan prinsip dasar Islam. Demikian pula, Barat
tidak bisa selamanya diidentikkan dengan segala yang bersifat negatif. Oleh
karena demikian itu, menurut neo-modernis, umat Islam harus mensikapi semua
itu secara objektif dan kritis tanpa harus didahului oleh prakonsepsi yang akan
menimbulkan bias terhadap pandangan mereka dari ralitas yang sebenarnya. Dan
khusus terhadap keberadaan modernisme (klasik), neo- modernisme memberikan
kritik terhadap dua sisi kelemahannya. Pertama, modernisme klasik belum
mengaelaborasi secara tuntas metode yang dipergunakannya; dan kedua,
masalah-masalah ad hoc yang dipilihnya merupakan masalah pada dan bagi
dunia Barat, sehingga memberikan kesan kuat kelompok modernis bersifat
kebarat-baratan (westernijed), dan karena ini pula kemudian mendorong lahirnya
gerakan lain yakni neo-revivalisme.11
Sebagai tokoh utama gerakan neo-modernisme ini, sebagaimana di
sampaikan oleh Syafiq A. Mughni, adalah Fajlur Rahman. Mereka sadar
sepenuhnya bahwa kejatuhan umat Islam sama sekali bukanlah karena faktor
agama Islam itu sendiri, melainkan dikarenakan ketidakfahaman dan
ketidakcerdasan umat Islam sendiri dalam membaca ajaran Islam. Itulah
sebabnya kelompok ini bermaksud melakukan pembaruan terhadap hasil ijtihad
ulama terdahulu dalam menafsirkan al-Qur’an dan al-hadis, jadi bukan terhadap
al-Qur’an dan al-hadisnya, untuk disesuaikan dengan konteks masa ke kinian,
dengan secara slektif dan kritis mengadopsi dari Barat modern. Kaum modernis
11
Abd. A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Jejak Fajlur Rahman dalam Wacana
Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 1.

9
mengkritik fundamentalis, dan tentu juga kaum tradisionalis, terlalu terpukau dan
bersikap romantis ke belakang, yang padahal belum tentu relevan dengan
dinamika masyarakat periode sekarang, yang kemudian berujung pada
kemunduran dunia Islam.
Dalam perspektif Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian.
Pertama, tajdid berarti tanzif, atau tatir, yakni pemurnian atau purifikasi,
maksudnya menjaga agar tuntunan agama Islam tetap terjaga sebagaimana
aslinya; yang kedua, tajdid berarti taslih atau tahdith, yakni pengembangan atau
inovasi, atau pemodernan terhadap nilai-nilai ajaran Islam.12
Untuk merealisasikan tajdid ini, perlu adanya kerja keras yang dalam
terminology Muhammadiyah disebut Ijtihad. Dalam pandangan Muhammadiyah
pengertian ijtihad sebagaimana hasil Munas Tarjih Pimpinan Pusat
Muhammadiyah di Jakarta tahun 2000, adalah mencurahkan segala kemampuan
berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik dalam bidang hukum,
aqidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya, berdasarkan wahyu
dengan pendekatan tertentu.13 Itulah sebabnya Muhammadiyah menganggap
bahwa pintu ijtihad tetap terbuka sepanjang adanya dinamika Islam dan umat
Islam itu sendiri. Ijtihad kemudian menjadi satu tuntutan yang tak bisa ditawar-
tawar lagi, mengingat bahwa kekekalan shari'at Islam untuk mengakhiri
matarantai risalah para rasul menuntut adanya ijtihad dalam rangka memenuhi
fungsinya dengan zaman yang berbeda. Di samping itu keuniversalan sifat risalah
Islam memerlukan adanya ijtihad agar bisa sesuai dengan lingkungan serta
adaptasi terhadap zaman yang terus berubah.
Kembali ke persoalan tajdid dalam perspektif Muhammadiyah, bahwa
tajdid terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan teologi (aqidah) bisa
didekati dengan tanzif atau tatir, hal ini dapat dilihat dari komitmen
Muhammadiyah ketika memahami aqidah dalam kitabul hipti (kitab himpunan
putusan tarjih), bahwa aqidah dalam pemahaman Muhammadiyah disebut sebagai
aqidah sahihah yakni aqidah yang berorientasi pada salaf. Implikasi dari
12
Mahsun Jayady, Muhammadiyah: Pola Pemurnin Akidah Islam & Strategi
Perjuangannya (Surabaya: CV Alifah Alfian, 1997), h. 45.
13
Mahsun Jayady, al-Islam Untuk Perguruan Tinggi dan Umum (Surabaya: LP-AIK
Universitas Muhammadiyah Surabaya, 1997), h. 63-64.

10
pemahaman ini, maka Muhammadiyah merasa memandang perlu merumuskan
pola pemurnian aqidah Islam sebab kenyataannya bahwa pada sebagian
masyarakat Islam di Indonesia menurut perspektif ini banyak prilaku teologisnya
yang menyimpang dari aqidah shahihah tersebut. Dalam masalah-masalah non-
teologis, Muhammadiyah menerapkan tajdid dalam pengertian taslih atau tahdith
yakni pemodernan, inovasi, pengembangan, berwatak kekinian, tetapi tetap
dijiwai oleh ruh Islam.14
Jika dirunut ke belakang pada awal proses berdirinya Muhammadiyah,
sebenarnya pandangan Ahmad Dahlan tentang Agama Islam difahami sebagai
agama amal, artinya seseorang belum disebut beragama sebelum beraktifitas
sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Beraktifitas keberagamaan bukan
hanya yag bersifat ritus secara vertikal tetapi juga yang bersifat komunikasi sosial
horisontal. Hal ini difahami karena dalam banyak hal Islam sangat memberikan
peluang kepada akal untuk melakukan pembacaan terhadap gejala sosial yang
terjadi. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan umat manusia untuk
berfikir terhadap gejala sosial, mulai dari yang menyuruh kepada diri sendiri
hingga pembacaan-pembacaan terhadap realitas sosial yang terjadi melalui akal
pikiran. Seorang yang berislam secara benar dan memahami Islam dengan cara
yang benar, akan berfikir tentang perubahan dan dinamika yang terjadi, sehingga
ada kepekaan sosial yang muncul sebagai bias dari keimanannya kepada Allah
SWT. Seorang muslim dituntut memiliki social sence yang tinggi terhadap entitas
sosial, sehingga apa yang terjadi mampu dipecahkan berdasarkan naluri iman
yang tertancap dalam bathinnya.

14
Jindar Tamimy, Penjelasan Dinul Islam, Persatuan (Yogyakarta, 1985), h. 4.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menurut bahasa, “Islam” berasal dari bahasa Arab, yaitu berasal dari kata
salama yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai, kata salama
kemudian diubah menjadi aslama yang berarti berserah diri, masuk
dalam kedamaian. “Islam” dari sisi kebahasaan mengandung arti patuh,
tunduk, taat, dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari
kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Kemodernan berasal dari kata “modern”. Ungkapan modern (abad
modern), modernity atau modernitas (kemodernan), modernism (paham
kemodernan), modernization atau modernisasi (proses modernisasi)
dalam Islam sebetulnya diserap dari istilah Barat. Istilah-istilah itu masuk
ke dunia Islam bersamaan dengan masuknya kebudayaan Barat ke dunia
Timur, terutama setelah dipopulerkan oleh para orientalis.
2. Tajdid adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan atau
ditinggalkan dari ajaran-ajaran agama guna mereformasi kehidupan
Kaum Muslim secara umum ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini
makna tajdid bukanlah mengubah yang lama dan menghilangkannya dari
aslinya untuk kemudian digantikan dengan sesuatu yang baru. Sebagian
ulama mendefinisikan tajdid sebagai upaya menghidupkan kembali apa
yang telah hilang dan terhapus dalam penerapan kandungan al-Qur’an
dan al-Sunah, serta perkara yang wajib dikerjakannya. Adapun makna
“yujaddidu lahâ dînahâ” berarti menjelaskan dan membedakan antara
sunah dan bidah, memperbanyak ilmu dan mendukung ulama, serta
memberantas ahli bidah.
3. Tajdid atau pembaruan dalam perspektif Islam seperti yang dipahami oleh
para intelektual muslim, Muhammad Imarah, lebih menekankan pada aspek
non teologis sebagai medan tajdid. Pembaruan tidak bertentangan dengan
kesempurnaan dan kebakuan agama, melainkan menjadi jalan perluasan
pengaruh-pengaruh agama yang sempurna ini ke wilayah-wilayah jangkauan
baru dan persoalan-persoalannya yang baru timbul, dan jaminan bagi
kelangsungan dasar-dasar itu dalam menyertai perkembangan jaman dan

12
tempat. Hal senada, Munir menyatakan bahwa tajdid ditilik dari akar sejarah
pembaruan, mengandung tiga unsur yakni, 1) Liberation, berarti dalam
proses berpikir lebih bersifat pembebasan daripada ta’ashub madhhab,
bid’ah dan hurafat, 2) Reformation, berarti kembali kepada al-Qur’an dan
Hadith, 3) Modernization, berarti menyesuaikan dengan suasana baru
yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan modern dan
teknologi canggih.
B. Saran
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini tidak menutup kemungkinan
terdapat kesalahan penulisan. Oleh karena itu, saya sangat mengaharapkan saran-
saran dari seluruh pihak yang membaca makalah ini. Karena saya menyadari
bahwa penulis juga manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan.

13
DAFTAR PUSTAKA
A’la Abd., Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Jejak Fajlur Rahman dalam
Wacana Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina. 2001.
Ali A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, Jakarta: Rajawali. 1988.
Jayady Mahsun, al-Islam Untuk Perguruan Tinggi dan Umum, Surabaya: LP-AIK
Universitas Muhammadiyah Surabaya. 1997.
Jayady Mahsun, Muhammadiyah: Pola Pemurnin Akidah Islam & Strategi
Perjuangannya, Surabaya: CV Alifah Alfian. 1997.
Ma’arif A. Syafi’i, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung:
Mijan. 1995.
Mughni Syafiq A., Nilai-Nilai Islam, Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.
Munir A. dan Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta.
1994.
Nasution Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press. 1978.
Said Bustami Muhammad, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Terj.
Mahsun al-Mundzir, Gontor-Ponorogo: PSIA ISID. 1991.
Tamimy Jindar, Penjelasan Dinul Islam, Persatuan, Yogyakarta. 1985.
Taufik Ahmad, et.al, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. 2005.
Zarkasyi Amal Fathullah, “Tajdid dan Modernisasi Pemikiran Islam” dalam Istitut
Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Vol. 9, No, 2, November 2013.

14

Anda mungkin juga menyukai