Anda di halaman 1dari 4

Dari Kosmologi Ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan Menentang Fanatisme

operator - Januari 1, 2011

Dalam perjalanan eksistensialnya, manusia berusaha menguak berbagai misteri jagad raya hingga
mempertanyakan “Realitas”. Termasuk di dalamnya usaha keras seorang Albert Einstein yang terobsesi
merumuskan teori relativitas untuk menyingkap kehendak Tuhan atas penciptaan. Namun, kecanggihan
indera dan rasio manusia memiliki batas-batas tertentu. Realitas tidak pernah terengkuh secara mutlak,
apalagi Tuhan.

Karlina Supelli membuka buku ini lewat pemaparan bahwa pengetahuan dipengaruhi sangat kuat oleh
dimensi antropologis. Mengangkat kajian kosmologi yang telah digelutinya sekian tahun, Guru Besar
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini menunjukkan disparitas antara Kosmos (dengan k besar) dengan
kosmos (k kecil). Yang pertama adalah hasil rengkuhan manusia, para ilmuan. Sedangkan yang kedua
adalah pengetahuan absolut akan Sang Mutlak yang tak terpermanai (terjangkau). Konflik timbul karena
“kegagalan manusia menjalin pemahaman tentang k dengan pengalaman akan K” (hal. 70). Sehingga
sikap rendah hati dalam menjelaskan realitas menjadi penting.

Landasan epistemologis inilah yang melatarbelakangi kehadiran “Dari Kosmologi ke Dialog”. Ada
keprihatinan dan kerisauan terhadap “cuaca kultural bangsa ini yang ditandai oleh berbagai gejala
fanatisme dan ekstriemisme” (hal. 21).

Pembaca diajak mengeksplorasi lebih serius tentang orasi ilmiah Karlina Supelli dalam serial Nurcholis
Madjid Memorial Lectrure (NMML) yang ditanggapi oleh beberapa pakar dan ilmuan dari berbagai
bidang. Mark Woodward, seorang antropolog Amerika, misalnya memberikan pandangan bahwa apa
yang berusaha ditegaskan Karlina tentang usaha memahami hubungan pencipta-makhluk sebenarnya
lebih kurang sama dengan gagasan Cak Nur. Bedanya, Karlina masuk dari Kosmologi sedangkan Cak Nur
dari Ilmu Kalam. Namun mereka sampai pada kesimpulan yang selaras: ketidakpenuhan atas totalitas
pengetahuan.

Apakah tesis “keterbatasan manusia mencerap realitas” mengafirmasi keberadaan nihilisme? Karlina
lebih cenderung memilih titik moderat di antara objektivisme absolut dan subjektivisme nihilistik.
Proposisi bahwa realitas yang sampai pada manusia hanya representasi dan bukan realitas itu sendiri
tidak serta-merta menjadikan segalanya hanya ilusi. Benda-benda yang manusia hidup dengannya
hingga bumi yang didiami tidak bisa dikatakan tidak nyata. Bahwa kemudian manusia membutuhkan
mediasi berupa bahasa misalnya, untuk bisa sampai pada realitas adalah soal lain. Namun, persoalaan
akan muncul ketika tafsir atas realitas, yang jelas-jelas dimediasi oleh bahasa dan tidak bisa tidak
terbatas, menjurus pada klaim kebenaran tunggal. Gejala inilah yang perlu diantisipasi sedini mungkin
agar tidak terlanjut ke ranah fanatisme buta.

“Dari Kosmologi ke Dialog” menjadi penting karena memberikan ruang pemahaman tentang
problematika manusia dalam usahanya mencerap realitas. Tak berhenti di situ, usaha mencerap realitas
ketuhanan yang dilandasi doktrin agama juga ditilik secara kritis. Buku ini membawa pesan yang
sederhana namun sangat penting untuk direnungi, khususnya menyangkut realitas keberagamaan kita.
Jika manusia tidak mampu terhindar dari subjektifitas penafsiran atas segala upaya menangkap
pengetahuan, lalu masih layakkah pemertahanan tafsiran tunggal atas kebenaran agama? (AGA)

tapi pengetahuan dalam arti yang sebenar-benarnya haruslah menanggalkan segala purbasangka dan
karenanya, ia bukan ditujukan untuk meligitimasi satu sikap tertentu entah dalam segmentasi politik,
etnik, bangsa maupun agama. Kejelasan sikap penulis ini bisa digambarkan dengan salah satu kalimat
yang saya kutipkan dari Karlina; “Jangan samakan sikap ilmuan dengan apa yang dibutuhkan
pengetahuan untuk menjadi ilmu”.
Ilmu pengetahuan dalam pengamatan perempuan anggun ini memanglah harus sekular. Baginya,
sekularisasi ini adalah kesanggupan dan keberanian untuk mengamati realitas. Tentu ungkapan ini tidak
dimaksudkan untuk mengkonstruksi kehidupan individu maupun sosial kemasyarakatan menjadi kian
sekular–karena segmentasi pembahasannya adalah menyelamatkan ilmu pengetahuan di dalam ruang-
ruang pengetahuan. Ruang akademik itu sendiri.

Lantas jika ilmu pengetahuan harus menanggalkan segala pakaian dan latar-belakang si ilmuan, apakah
tidak ada batas bagi ilmu pengetahuan tersebut? Bukankah saat tidak dibatasi ia akan bergerak liar,
merambat ke segala segmen kehidupan dan karenanya menyentuh soal-soal yang “mungkin” tak pernah
ada, khayal belaka? Terdapat ambang batas bagi ilmu pengetahuan, dimana ini merupakan konsensus
tak tertulis. Sains, katanya, terbatas pada realitas ruang dan waktu–disana ada pengalaman empiris yang
dihasilkan dari peristiwa aktual dan kemudian bergerak pada penjelasan tentang mekanisme real soal
bagaimana peristiwa itu terjadi.

Apa yang diamati ilmu pengetahuan adalah realitas yang serba luas, yang dalam kaitannya dengan
perspektif si pengamat, realitas itu sendiri adalah tembok tebal, berlapis, tinggi dan tak tergapai;
karenanya pengetahuan mesti didasarkan pada pengamatan langsung dan pengalaman empiris saat
suatu kejadian tertentu berlangsung. Tentu Karlina tidak sedang menolak soal-soal intuisi dan berbagai
soal lain yang terkait erat dengan metafisika dengan seperangkat konsep-konsep yang terhubung
dengannya. Dalam ruang-ruang akademik, keketatan tradisi literasi, tradisi penelitian adalah sesuatu
yang harus tetap dijaga dan dihargai. Karenanya ilmuan manapun, haruslah rendah hati di hadapan
pengetahuan dengan berupaya semaksimal mungkin untuk melepaskan segala swasangka.

Memang penting bagi kita semua untuk menimbang kembali tentang seberapa perlu menjaga ilmu
pengetahuan agar tetap berada pada batas-batasnya yang tidak terpengaruh oleh sesuatu di luar dirinya
sendiri. Menyajikan suatu hasil penelitian yang jujur dan total bukanlah soal mudah. Tapi paling tidak
kita bisa memulainya dari kejujuran intelektual, kesetiaan pada fakta, kesediaan bekerjasama,
kemandirian berpendapat, kebiasaan mencari kebenaran serta kemerdekaan berpikir–yang kesemuanya
adalah pilar-pilar dimana pengetahuan itu bisa tetap berjalan di atas relnya, di atas logika yang paling
jujur dari pengetahuan itu sendiri.
Penulis sendiri menangkap kesan paradoks dari khutbah madam Karlina; bahwa pengetahuan menolak
segala bentuk upaya untuk melegitimasi segala sesuatu–bahkan legitimasi pada sistem keimanan
tertentu. Karenanya ilmu pengetahuan hanya menguraikan segala persoalan yang dihadapi ilmu
tersebut. Tapi kita juga tak bisa tutup mata, bahwa uraian dari ilmu pengetahuan akan membentuk
suatu sistem keimanan tertentu. Ia juga mengajarkan agar seorang ilmuan harus setia kepada fakta.

Akan tetapi bukankah kesetiaan itu sendiri berbatas pada pengamatan kita terhadap fakta-fakta
tertentu yang sebenarnya juga memiliki ambang batasnya sendiri, yang sering kita sebut dengan
“perspektif”. Lantas bagaimana bisa melepaskan segala tata-konsep tentang iman bila pengetahuan
akan menghasilkan sistem keimanan tertentu? Bagaimana bisa setia pada fakta, padahal fakta yang
tertangkap bersifat fragmenter juga tak lengkap? Bagaimana bisa manusia lepas dari segala prasangka,
padahal kita sedang menjalani kehidupan di dunia tanda?

Terimakasih Dr. Karlina Suppelli. Terimakasih karena kau telah mengairi akal budi kami yang kering
karena kesombongan dan kerontang dari kedalaman berpikir. M.Bambang P.Rambe***

Anda mungkin juga menyukai