Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TEORI

1. Anatomi Payudara

Payudara atau mammae adalah struktur kulit yang dimodifikasi,

berglandular pada anterior thorax. Pada perempuan mengandung unsur untuk

mensekresi susu untuk makan bayi (Kumala, 1998).

a. Struktur Makroskopis (Verralls, 1997)

Cauda Axilaris

Papilla

Areola

Gambar 2.1 : Struktur Makroskopis Payudara

1). Cauda Axillaris

Cauda axillaris adalah jaringan payudara yang meluas ke axilla

2). Areola

Areola adalah daerah lingkaran yang terdiri dari kulit yang longgar

dan mengalami pigmentasi dan masing-masing payudara bergaris

6
6
tengah kira-kira 2,5 cm. Areola berwarna merah muda pada wanita

yang berkulit cerah, lebih gelap pada wanita yang berkulit coklat, dan

warna tersebut menjadi lebih gelap pada waktu hamil. Di daerah

areola ini terletak kira-kira 20 glandula sebacea. Pada kehamilan

areola ini membesar dan disebut tuberculum montgomery.

3). Papilla Mammae

Papilla mammae terletak di pusat areola mammae setinggi iga (costa)

keempat. Papilla mammae merupakan suatu tonjolan dengan panjang

kira-kira 6 mm, tersusun atas jaringan erektil berpigmen dan

merupakan bangunan yang sangat peka. Permukaan papilla mammae

berlubang-lubang berupa ostium papillare kecil-kecil yang merupakan

muara ductus lactifer.

b. Struktur Mikroskopis

Payudara terutama tersusun atas jaringan kelenjar tetapi juga

mengandung sejumlah jaringan lemak dan ditutupi oleh kulit. Jaringan

kelenjar ini dibagi menjadi kira-kira 18 lobus yang dipisahkan secara

sempurna satu sama lain oleh lembaran-lembaran jaringan fibrosa. Setiap

lobus merupakan satu unit fungsional dan tersusun atas bangun sebagai

berikut (Verralls, 1997):

7
Gambar 2.2 : Struktur Mikroskopis Payudara

1). Alveoli

Alveoli mengandung sel-sel yang menyekresi air susu. Setiap alveolus

dilapisi oleh sel-sel yang menyekresi air susu, disebut acini yang

mengekstrasi faktor-faktor dari darah yang penting untuk

pembentukan air susu. Disetiap keliling alveolus terdapat sel-sel

mioepitel yang kadang-kadang disebut sel keranjang. Apabila sel-sel

ini dirangsang oleh oksitosin akan berkontraksi sehingga mengalirkan

air susu ke dalam ductus lactifer.

2). Tubulus Lactifer

Tubulus lactifer merupakan saluran kecil yang berhubungan dengan

alveoli.

3). Ductus Lactifer

Ductus lactifer adalah saluran sentral yang merupakan muara

beberapa tubulus lactifer.


4). Ampulla

Ampulla adalah bagian dari ductus lactifer yang melebar, yang

merupakan tempat penyimpanan air susu. Ampulla terletak di bawah

areola.

2. Fisiologi Laktasi

Proses produksi, sekresi dan pengeluaran ASI dinamakan laktasi.

Ketika bayi menghisap payudara, hormon oksitosin membuat ASI mengalir

dari dalam alveoli melalui saluran susu (ducts milk) menuju reservoir susu

yang berlokasi di belakang areola, lalu ke dalam mulut bayi. Pengaruh

hormonal bekerja mulai dari bulan ketiga kehamilan, dimana tubuh wanita

memproduksi hormon yang menstimulasi munculnya ASI dalam sistem

payudara (Saleha, 2009).

Untuk memasyarakatkan pemberian ASI sejak dini dengan tujuan

mencegah terjadinya engorgement diperlukan faktor-faktor pendukung yang

terus-menerus mengupayakan keberhasilan menyusui, yang antara lain

bergantung pada peran yang dilakukan oleh : peran petugas kesehatan, peran

rumah sakit dan pemerintah, peran fisik dan psikis ibu, faktor keluarga, faktor

masyarakat dan faktor bayi (Saleha, 2009).

a. Produksi Air Susu Ibu

Prolaktin merupakan suatu hormon yang disekresi oleh glandula

pituitaria anterior, penting untuk produksi air susu ibu, tetapi walaupun

kadar hormon ini di dalam sirkulasi maternal meningkat selama


kehamilan, kerja hormon ini dihambat oleh hormon plasenta. Dengan

lepas atau keluarnya plasenta pada akhir proses persalinan, maka kadar

estrogen dan progesteron berangsur-angsur turun sampai tingkat pada

dilepaskannya dan diaktifkannya prolaktin (Verralls, 1997).

b. Pengeluaran Air Susu (Sarwono, 2005)

1) Reflek Produksi

Hisapan bayi pada payudara merangsang produksi hormon prolaktin

yang akan menyebabkan sel-sel sekretori dan alveoli untuk

memproduksi susu yang akan disiapkan dalam lumen.

Pembendungan ASI yang terjadi dalam alveolus akan menyebabkan

adanya penekanan pada pembuluh darah, sehingga akan

menyebabkan penurunan prolaktin dalam darah sehingga sekresi

ASI juga berkurang (Mommies, 2006).

Untuk mengetahui banyaknya produksi ASI, beberapa kriteria

yang dapat digunakan sebagai patokan jumlah ASI cukup atau tidak

adalah : ASI yang banyak dapat merembes keluar melalui puting,

sebelum disusukan payudara terasa tegang, jika ASI cukup setelah

menyusu bayi akan tertidur/tenang selama 3 sampai 4 jam dan bayi

akan sering berkemih sekitar 8 kali sehari (Saleha, 2009).

Produksi ASI yang rendah adalah akibat dari kurang seringnya

menyusui atau memerah payudara, bayi tidak bisa menghisap secara

efektif, dan kurangnya gizi ibu. Sedangkan faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi ASI antara lain adalah frekuensi pemberian


susu, berat bayi saat lahir, usia kehamilan saat melahirkan, usia ibu

dan paritas, stres dan penyakit akut, merokok, mengonsumsi

alkohol, dan penggunaan pil kontrasepsi (Saleha, 2009).

2) Reflek Let Down

Hisapan bayi pada payudara dapat merangsang produksi hormon

oksitosin yang akan menyebabkan kontraksi sel yang terdapat dalam

lumen, masuk ke dalam sinus lacteal di daerah areola. Reflek let

down ini sangat sensitif terhadap faktor kejiwaan ibu dan proses

produksinya dapat terhambat apabila ibu lelah, merasa malu, atau

tidak pasti. Produksi ASI akan lancar apabila ibu merasa bangga dan

yakin akan kemampuannya menyusui.

Faktor-faktor yang meningkatkan reflek let down antara lain :

melihat bayi, mendengarkan suara bayi, mencium bayi dan

memikirkan untuk menyusui bayi (Saleha, 2009).

3. Masalah Yang Sering Timbul Dalam Masa Laktasi

Masalah-masalah yang biasanya terjadi dalam pemberian ASI yang

disebabkan karena masalah pada payudara antara lain : puting susu rata,

puting susu lecet, bendungan payudara (engorgement), saluran ASI tersumbat,

mastitis dan abses payudara. Dan masalah yang sering timbul dari faktor bayi

antara lain : bayi bingung puting dan bayi enggan menyusu. Sedangkan

masalah lain yang sering timbul adalah adanya sindrom ASI kurang dan ibu

bekerja (Sarwono, 2005).


Untuk dapat mencegah dan menangani masalah engorgement maka ibu

memerlukan pengetahuan tentang bendungan ASI sehingga ibu mempunyai

kesadaran dalam bersikap untuk melakukan pencegahan masalah

engorgement.

Sebagian perempuan menganggap bahwa masa-masa setelah

melahirkan adalah masa-masa sulit yang akan menyebabkan mereka

mengalami tekanan secara emosional. Gangguan-gangguan psikologis yang

muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak

mempengaruhi penerimaan ibu terhadap bayi baru lahir, yaitu dalam hal

perawatan anak.

Sikap ibu terhadap bayi akan lebih menyenangkan jika pengalaman

melahirkan relatif lebih mudah daripada pengalaman melahirkan yang lama,

sulit, dan disertai dengan komplikasi fisik, dan semakin cepat kesehatan ibu

pulih setelah melahirkan semakin menyenangkan sikapnya terhadap bayi dan

semakin ia yakin pada kemampuannya untuk melaksanakan peran ibu secara

memuaskan. Robert A. Hinde (1974) dalam Saleha (2009) menyatakan bahwa

semakin baik perawatan yang diterima ibu selama kehamilan, akan semakin

baik pula perlakuan ibu tersebut kepada bayinya.

4. Engorgement

a. Pengertian

Engorgement yang biasa disebut dengan payudara bengkak (Breast

engorgement) disebabkan pengeluaran ASI yang tidak lancar karena bayi


tidak sering menyusu atau terlalu cepat disapih. Dapat pula disebabkan

adanya gangguan let down reflex (Sarwono, 2005).

b. Gejala

Gejala yang biasa muncul bila engorgement terjadi antara lain

payudara terasa penuh, panas, berat dan keras, tidak terlihat mengkilat,

edema atau merah. ASI biasanya mengalir lancar dan kadang-kadang

menetes keluar secara spontan, namun ada pula payudara yang terbendung

membesar, membengkak, dan sangat nyeri. Ibu kadang-kadang menjadi

demam, namun biasanya akan hilang dalam 24 jam (Tanaya, 2006).

c. Penyebab

1). Faktor Hormon

Proses pembentukan ASI dan pengeluaran ASI dipengaruhi oleh

hormon oksitosin dan hormon prolaktin. Ketika payudara mulai

digunakan untuk menyusui, dibawah areola terdapat saluran yang

melebar yang disebut sinus laktiferus yang berfungsi untuk

menampung air susu (Rianto, 2009).

Setelah bayi lahir dan plasenta keluar, kadar estrogen dan

progesteron turun dalam dua sampai tiga hari. Dengan ini fungsi dari

hipotalamus yang menghalangi keluarnya pituitary lactogenic

hormone (prolaktin) waktu hamil dan sangat dipengaruhi oleh

estrogen, tidak dikeluarkan lagi dan terjadi sekresi prolaktin oleh

hipofisis. Hormon ini menyebabkan alveolus kelenjar mammae terisi

dengan air susu, tetapi untuk megeluarkannya dibutuhkan reflek yang


menyebabkan kontraksi sel-sel mioepiteal yang mengelilingi alveolus

dan duktus kecil kelenjar-kelenjar tersebut (Sarwono, 2005).

2). Hisapan Bayi

Proses menyusui tergantung 2 reflek (Sarwono, 2005), yaitu :

a) Reflek Produksi

Hisapan bayi pada payudara merangsang produksi hormon

prolaktin yang akan menyebabkan sel-sel sekretori dan alveoli

untuk memproduksi susu yang akan disiapkan dalam lumen.

b) Reflek Let Down

Hisapan bayi pada payudara dapat merangsang produksi

hormon oksitosin yang akan menyebabkan kontraksi sel yang

terdapat dalam lumen, masuk ke dalam sinus lacteal di daerah

areola. Reflek let down ini sangat sensitif terhadap faktor kejiwaan

ibu dan proses reproduksinya dapat terhambat apabila ibu lelah,

merasa malu, atau tidak pasti. Produksi ASI akan lancar apabila

ibu merasa bangga dan yakin akan kemampuannya menyusui.

3). Pengosongan Payudara

Ketika susu mulai masuk menggantikan kolostrum pada hari setelah

persalinan, payudara akan menjadi lebih besar, lebih berat dan lebih

empuk karena bertambahnya getah bening dan suplai darah. Pada saat

ini akan terjadi bendungan ASI apabila ibu tidak cukup sering

menyusui bayinya dalam jarak waktu yang lama dan jika


menghentikan penyusuan secara mendadak atau payudara tidak

dikosongkan secara memadai (Nellson,1995).

Apabila ASI berlebihan sampai keluar memancar, maka sebelum

menyusui diusahakan ASI dikeluarkan terlebih dahulu, untuk

menghindari bayi tersedak atau enggan menyusu. Pengeluaran ASI

dapat dilakukan dengan cara : Pengeluaran ASI dengan tangan dan

pengeluaran ASI dengan pompa.

4). Cara Menyusui

Menyusui merupakan proses ilmiah dan kadang terlihat amat sangat

sederhana, namun bila dilakukan dengan cara yang salah akan

menyebabkan terjadinya puting susu lecet, air susu tidak keluar

dengan sempurna sehingga akan terjadi pembendungan air susu

(Inggrid, 2006).

Seorang ibu dengan bayi pertamanya mungkin akan mengalami

berbagai masalah, hanya karena tidak mengetahui cara-cara yang

sebenarnya sangat sederhana, seperti caranya menaruh bayi pada

payudara ketika menyusui, hisapan bayi yang mengakibatkan puting

terasa nyeri, dan masih banyak lagi masalah yang lain. Terlebih pada

minggu pertama setelah persalinan seorang ibu lebih peka dalam

emosi. Untuk itu seorang ibu butuh seseorang yang dapat

membimbingnya dalam merawat bayi termasuk dalam menyusui.

Orang yang dapat membantunya terutama adalah orang yang

berpengaruh besar dalam kehidupannya atau orang yang disegani,


seperti suami, keluarga/ kerabat terdekat atau kelompok-kelompok ibu

pendukung ASI dan dokter/ tenaga kesehatan (Christine, 2005).

Saat kembali bekerja, usahakan memerah ASI dari kedua belah

payudara minimal empat jam sekali sebanyak tiga kali selama jam

kerja (Saleha, 2009).

a). Posisi Menyusui

Posisi yang nyaman untuk menyusui sangat penting. Lecet

pada puting susu dan payudara merupakan kondisi tidak normal

dalam menyusui, tetapi penyebab lecet yang paling umum adalah

posisi dan perlekatan yang tidak benar pada payudara (Varney,

2007).

(1). Posisi Madona (atau ”menggendong”)

Bayi berbaring miring, menghadap ibu. Kepala, leher,

punggung atas bayi diletakkan pada lengan bawah lateral

payudara. Ibu menggunakan tangan sebelahnya untuk

memegang payudara jika diperlukan.

(2). Posisi Menggendong-Menyilang

Bayi berbaring miring, menghadap ibu. Kepala, leher, dan

punggung atas bayi diletakkan pada telapak kontralateral dan

sepanjang lengan bawahnya. Ibu menggunakan tangan

sebelahnya untuk memegang payudara jika diperlukan.


(3). Posisi football (atau ”mengempit”)

Bayi berbaring miring atau punggung melingkar antara lengan

dan samping dada ibu. Lengan bawah dan tangan ibu

menyangga bayi, dan ia menggunakan tangan sebelahnya

untuk memegang payudara jika diperlukan.

(4). Posisi Berbaring Miring

Ibu dan bayi berbaring miring saling berhadapan. Posisi ini

merupakan posisi paling nyaman bagi ibu yang menjalani

penyambuhan setelah melahirkan melalui operasi (Murkoff,

2002).

b). Lama dan Frekuensi Menyusui

Rentang frekuensi menyusui yang optimal adalah antara 8

sampai 12 kali setiap hari. Meskipun mudah untuk membagi 24

jam menjadi 8 hingga 12 kali menyusui dan menghasilkan

perkiraan jadwal, cara ini bukan merupakan cara makan sebagian

besar bayi (Varney, 2007). Sebaiknya menyusui bayi tanpa

dijadwal (on demand), karena bayi akan menentukan sendiri

kebutuhanya. Ibu harus menyusui bayinya bila bayi menangis

bukan karena sebab lain (kencing, dsb.) atau ibu sudah merasa

ingin menyusui bayinya. Bayi yang sehat dapat mengosongkan

satu payudara sekitar 5-7 menit dan ASI dalam lambung bayi akan

kosong dalam waktu 2 jam (Inggrid, 2006).


Untuk menjaga keseimbangan kedua payudara diusahakan

sampai payudara terasa kosong, agar produksi ASI tetap baik.

Setiap menyusui dimulai dengan payudara yang terakhir

disusukan. Selama masa menyusui sebaiknya ibu menggunakan

BH yang dapat menyangga payudara, tetapi tidak terlalu ketat.

5). Kelainan Puting Susu

d. Pencegahan dan Penatalaksanaan Engorgement

Sekitar hari ketiga setelah melahirkan, seringkali payudara terasa

penuh, tegang dan nyeri. Kondisi tersebut disebabkan karena adanya

bendungan pada pembuluh getah bening. Ini merupakan tanda bahwa ASI

mulai banyak disekresi. Jika keadaan ini berlanjut, maka kulit payudara

akan tampak lebih mengkilat dan sering ibu sampai mengalami demam

(Suradi, 2008).

1). Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya engorgement apabila memungkinkan,

susukan ASI pada bayi segera setelah lahir dengan posisi yang benar,

menyusui bayi tanpa dijadwal, keluarkan ASI dengan tangan atau

pompa bila produksi ASI melebihi kebutuhan bayi, melakukan

perawatan payudara pasca melahirkan (postpartum) secara teratur, ibu

merasa yakin akan kemampuannya menyusui bayinya dan hanya

memberikan ASI pada bayinya.


2). Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dilakukan pada ibu yang mengalami

engorgement antara lain adalah : keluarkan sedikit ASI sebelum

menyusui agar payudara lebih lembek, sehingga lebih mudah

memasukkannya ke dalam mulut bayi, bila bayi belum dapat

menyusu, ASI dikeluarkan dengan tangan atau pompa dan diberikan

pada bayi dengan cangkir/ sendok, menyusui lebih sering dan lebih

lama pada payudara yang mengalami bendungan ASI untuk

melancarkan aliran ASI dan menurunkan tegangan payudara. Untuk

mengurangi rasa sakit dapat diberi kompres dingin, kompres panas

untuk melancarkan aliran aliran darah payudara dan bila ibu demam

dapat diberikan obat penurun demam dan pengurang sakit.

Apabila bayi belum menyusu dengan baik atau kelenjar-kelenjar tidak

dikosongkan dengan sempurna maka akan terjadi engorgement (Hamilton,

1999). Sesuai dengan pendapat Macklin (1988) dalam Subekti (2005)

mengatakan bahwa pasangan yang bekerja cenderung melakukan pembagian

tugas-tugas kewanitaan tradisional daripada melakukan pembagian tugas-

tugas keluarga dimana salah satu pasangan atau keduanya bekerja, khususnya

dalam bidang perawatan anak. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan

bahwa dengan adanya kesibukan keluarga dalam pekerjaan akan menurunkan

tingkat perawatan dan perhatian dalam keluarga, maka dengan adanya

kesibukan menurunkan tingkat perawatan dan perhatian ibu dalam melakukan


perawatan payudara sehingga akan cenderung mengakibatkan terjadinya

peningkatan angka kejadian kasus engorgement.

Kebutuhan yang harus dapat dipenuhi selama masa nifas (menyusui)

antara lain : yang pertama adalah kebutuhan fisik. Ibu yang menyusui harus

cukup istirahat, memakan makanan yang bergizi, sering meghirup udara segar,

dan lingkungan yang bersih. Yang kedua adalah kebutuhan psikologi, stres

setelah persalinan dapat segera distabilkan dari dukungan keluarga yang

menunjukkan rasa simpati, mengakui dan menghargai ibu. Kebutuhan yang

ketiga adalah kebutuhan sosial, seringkali ibu yang berpengalaman dapat

memberikan informasi konkret yang sangat berharga kepada ibu-ibu yang lain

dan ibu yang kurang atau bahkan tidak berpengalaman mungkin akan meniru

tindakan ibu yang lain yang dianggap baik, dan kebutuhan yang terakhir

adalah kebutuhan psikososial (Saleha, 2009).

5. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau

obyek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan dan minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Perilaku

kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu :

a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintenance)

Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha

seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan

usaha untuk penyembuhan apabila sakit.


b. Perilaku pencarian pengobatan (Health seeking behavior)

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada

saat menderita penyakit atau kecelakaan.

c. Perilaku kesehatan lingkungan

Adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan

fisik maupun lingkungan sosial budaya. Dengan perkataan lain, bilamana

seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu

kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakat.

Perilaku seseorang menurut Lawrence Green (1980) dalam

Notoatmodjo (2003) dipengaruhi oleh faktor predisposisi (predisposing

factor), faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor penguat (reinforcing

factor).

Faktor predisposisi mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat

terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan

sebagainya. Faktor pemungkin mencakup ketersediaan sarana dan prasarana

atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya : puskesmas, poliklinik,

polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta. Sedangkan faktor

penguat meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama,

sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga

undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah

daerah yang terkait dengan kesehatan.


6. Pengetahuan

a. Pengertian

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap subyek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2003).

Untuk dapat mencegah dan menangani masalah engorgement maka ibu

memerlukan pengetahuan tentang payudara bengkak sehingga ibu

mempunyai kesadaran dalam bersikap untuk melakukan pencegahan

masalah engorgement.

Pengetahuan responden yang baik tentu akan mempengaruhi sikap yang

semakin positif, tetapi perlu diketahui juga bahwa pembentukan sikap

seseorang sangat ditentukan oleh kepribadian intelegensia, bakat, minat,

perasaan serta kebutuhan dan motivasi seseorang (Widayatun, 1999).

Responden yang memiliki sikap negatif dapat disebabkan oleh beberapa

faktor yaitu pengalaman pribadi, pengaruh media massa, orang lain yang

dianggap penting, pengaruh kebudayaan, pengaruh pendidikan, pengaruh

agama dan kepercayaan, serta pengaruh emosional (Azwar, 2003).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala

sesuatu yang diketahui. Menurut Taksonomi Bloon, terdiri dari tiga katagori

yaitu dikenal sebagai domain atau ranah kognitif, ranah efektif dan ranah

psikomotorik. Pengetahuan dalam domain mempunyai 6 tingkatan, yaitu :


1). Tahu (know)

Tahu adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari.

2). Memahami (comprehetion)

Memahami adalah merupakan kemampuan menjelaskan secara benar

tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar.

3). Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan kemampuan menggunakan materi yang telah

dipelajari pada kondisi dan situasi riil atau sebenarnya.

4). Analisis

Kemampuan untuk menjabarkan materi atau obyek ke dalam

komponen tetapi masih tetap berkaitan satu sama lainnya. Dengan

analisis seseorang dapat mempunyai pemahaman yang komprehensif.

5). Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru.

6). Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian

suatu materi atau obyek (Notoatmodjo, 1997).


b. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi

pengetahuan yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai

berikut :

1). Faktor internal

Meliputi :

a) Jasmani

Faktor jasmani diantaranya adalah keadaan indera seseorang.

b) Rohani

Faktor rohani diantaranya adalah kesehatan psikis, intelektual,

psikomotor, serta kondisi efektif dan kognitif individu.

2). Faktor Eksternal

Meliputi :

a). Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam

memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar.

Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang

lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berpikir

sejauh mana keuntungan yang mungkin akan mereka peroleh

dari gagasan tersebut.

b). Paparan media massa

Melalui bermacam-macam media baik cetak maupun elektronik

berbagai informasi dapat diterima, sehingga seseorang yang


lebih sering terpapar media massa akan memperoleh informasi

yang lebih banyak dibanding dengan orang yang tidak terpapar

informasi media massa. Ini berarti paparan media massa

mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang.

c). Status ekonomi

Tingkat status ekonomi dapat mempengaruhi pengetahuan.

Dimana dalam memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder,

keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah tercukupi

dibanding keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini juga

berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan sekunder.

d). Hubungan sosial

Manusia adalah makhluk sosial dimana dalam kehidupan saling

berinteraksi satu sama lain. Individu yang dapat berinteraksi secara

kontinyu akan dapat lebih biasa mendapatkan informasi.

Sementara faktor hubungan sosial juga mempengaruhi

kemampuan individu sebagai komunikan untuk menerima pesan

menurut model komunikasi media.

e). Pengalaman

Pengalaman individu tentang berbagai hal bisa diperoleh dari

tingkat kehidupan dalam proses perkembangannya. Misal sering

mengikuti kegiatan-kegiatan yang mendidik seperti seminar.


f). Akses layanan kesehatan

Mudah atau sulitnya mengakses layanan kesehatan tentunya akan

berpengaruh terhadap pengetahuan dalam hal kesehatan.

c. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek

penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2003).

Sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003), bahwa pengetahuan merupakan

sebagian bentuk operasional dari perilaku seseorang yakni bersifat positif. Adanya

pengetahuan yang tinggi mengenai menyusui khususnya pada awal menyusui,

selanjutnya dengan timbulnya sikap positif akan menimbulkan perilaku menyusui

yang baik pula. Diharapkan bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang

dimungkinkan akan memberikan perilaku ke arah perubahan perilaku positif,

dengan kata lain bahwa semakin ibu mengetahui tentang pengertian, gejala,

penyebab, pencegahan dan penatalaksanaan bendungan ASI akan dapat

meminimalkan terjadinya kemungkinan kejadian bendungan ASI. Pengetahuan

merupakan faktor penting dalam menentukan perilaku seseorang karena

pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan kebiasaan masyarakat.

Perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang

tidak didasari pengetahuan.


B. Kerangka Teori

Predisposing Factor :
Pengetahuan
Pendidikan
Sikap
Kondisi Fisik
Psikologis

Enabling Factor :
Pekerjaan
Hubungan sosial Kejadian
Akses layanan kesehatan bendungan ASI
Paritas pada ibu
menyusui

g Factor : Perilaku (dari orang lain, tenaga kesehatan, tokoh masyarakat,keluarga), media massa

Gambar 2.1: Faktor yang mempengaruhi kejadian engorgement.Sumber :


Modifikasi Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003)
C. Kerangka Konsep

Tingkat Pengetahuan Ibu Menyusui tentang Bendungan ASI

Kejadian
Bendungan ASI

Status Kerja Ibu Menyusui

Gambar 2.2 : Skema kerangka konsep

D. Hipotesis Penelitian

 ”Ada hubungan tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang bendungan ASI

dengan kejadian bendungan ASI.”

 ”Ada hubungan status kerja ibu menyusui dengan kejadian bendungan

ASI.”

Anda mungkin juga menyukai