Anda di halaman 1dari 9

A.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain
Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut
tidak mengandung basil M. leprae.1
Pertama-tama harus ditentukan bagian lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil. Pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan di tempat yang sama
pada pengamatan pengobatan agar dapat dibandingkan hasilnya.1
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi tersebut
didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga
kerokan jaringan mengandung sesedikit mungkin darah yang akan mengganggu gambaran
sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar
mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang
didalamnya mengandung basil M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas,
difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.1
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pagi hari
yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat duh tubuh (discharge) tersebut, apakah
cair, serosa, bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak. Cara lain
mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau
bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil dari daerah septum nasi. Sediaan dari
mukosa hidung jarang dilakukan karena kemungkinan adanya M. atipik serta M. leprae tidak
pernah positif kalau pada kulit negatif.1
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular).
Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk
mati.1
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai dengan 6+ menurut Ridley.2
0 : tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
1+ : 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ : 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ : 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ : 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ : 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ : >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada
pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat
sediaan. Indeks Morfologi (IM) adalah presentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan nonsolid.1

Rumus:
Syarat perhitungan:
a) Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
b) IB tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari
dalam 1000-10.000 lapangan
c) Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus
dicari dalam 100 lapangan
2. Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan mempunyai fungsi fagositosis. Jika ada kuman (M. leprae)
masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS) seseorang. Apabila
SIS tinggi, makrofag akan mampu memfagositosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat
kuman disebabkan karena proses imunologi dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau
datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi
sel datia Langhans.1
3. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.
leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta
35 kD. Antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang
juga dihasilkan oleh M. tuberculosis.1
Pemeriksaan serologik dapat membantu menegakkan diagnosis kusta yang meragukan
karena tanda klinis dan bakteriologi tidak jelas. Selain itu dapat membantu menegakkan
diagnosis kusta subklinis. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta diantaranya adalah
Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), Uji ELISA (Enzyme Linked
Immuno-Sorbent Assay), dan Uji ML dipstick (Mycobacterium Leprae dispstick)

B. Penatalaksanaan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil
sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat
antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.1
a. Rifampisin
Rimfampisin adalah Obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg/kgBB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak
boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.1
b. Klofazimin (lamprene)
Klofazimin (lamprene) merupakan salah satu obat yang juga digunakan pada
penyakit kusta. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang
sehari, atau 3x100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat
dipakai pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200 mg-300
mg/hari, namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.
Klofazimin memiliki efek samping membuat warna kecoklatan pada kulit, dan
warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus.1
c. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal
yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup
hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran
cerna lainnya, berbagai ganguan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness, nervousness, dan halusinasi.1
d. Minosiklin
Minosiklin termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih
tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar
harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak,
kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai
simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.1
e. Klaritromisin
Klaritromisisn adalah kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita
kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam
28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampinngnya adalah nausea,
vomitus dan diare yang terbuki sering ditemukan bila obat ini dibetikan dengan dosis
2000 mg.1
Multi Drug Treatment (MDT) merupakan usaha untuk mencegah dan mengobati
resistensi, tetapi juga untuk memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan
mata rantai penularan. Pemberiaan obat MDT hari pertama harus diminum didepan petugas.1

Tabel 6. Cara Pemberian MDT Sesuai Dengan Tipe Kusta1

MDT Untuk PB MDT untuk MB


Hari ke-1 ● Rifampisin 600 mg (2 ● Rifampisin 600 mg
kapsul @ 300 mg). (2 kapsul @ 300 mg)
● DDS/dapson 100 mg. ● Lamprene 300 mg (3
tablet @ 200 mg).
● DDS/dapson 100
mg.
Hari ke-2 s/d 28 DDS 100 mg Lamprene 50 mg
DDS 100 mg
Jumlah 6 Blister 12 Blister
Waktu 6-9 Bulan 12-18 Bulan
Ket: Multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif)
Pausibasilar (I, TT, BT, dengan BTA negatif)
Gambar 5. Bentuk sediaan MDT Kusta3

Dalam pengobatan MDT diberikan 24 dosis dalam 24-36 bulan dengan syarat
bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus
dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan pemerikaan secara
klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal 3 bulan. Penghentian pemberian obat
disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa
pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau
bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut Release From Control (RFC). Saat ini, apabila secara klinis sudah
terjadi penyembuhan, pemberian obat dapat dihentikan tanpa memperhatikan bakterioskopis.
Pengobatan MDT tipe PB rifampisin dan DDS diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan
sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis
setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan
dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak
ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.1
Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksanaan RFC. Apabila RFT telah
tercapai, tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis, penderita tidak lagi diawasi.
WHO Expert Committee memiliki rejimen untuk situasi khusus apabila susunan MDT di
atas tidak dapat dilaksanakan yang dapat dilihat pada tabel 7 .1
Tabel 7. Regimen MDT alternatif3
Klofazimin 50 mg Setiap hari
Ofloksasin 400 mg Selama 6 bulan,
Minosiklin 100 mg dilanjutkan
MB Resisten Rifampisin
Klofazimin 50 mg
Setiap hari
Ofloksasin 400 mg atau
Selama 18 bulan
Minosiklin 100 mg
Rifampisin 600 mg Dosis Tunggal
Ofloksasin 400 mg 1 kali/ bulan
MB
Minosiklin 100 mg 24 bulan
Menolak Klofazimin
Ofloksasin 400 mg atau Setiap hari
Minoksiklin 100 mg 12 bulan

Pengobatan Erythema Nodulus Leprosum (E.N.L)


Pada ENL ringan dapat dilakukan berobat jalan dengan pemberian analgetik dan
antipiretik dan MDT tetap dilanjutkan. Jika terjadi reaksi berat dapat dilakukan rawat inap
dengan pemberian obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, seperti
prednison. Dosisnya prednisone biasamya 15-30 mg sehari. Makin berat reaksinya makin
tinggi dosisnya, sebaiknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan
perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan bertahap sampai obat dihentikan. Dapat ditambahkan
obat analgetik-antipiretik dan sedativa. Jika obat dihentikan atau diturunkan pada dosis
tertentu dapat menyebabkan penderita ketergantungan, sehingga harus mendapatkan
kortikosteroid terus menerus.1

Gambar 5. Reaksi E.N.L

Ada obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus
berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Tidak boleh diberikan kepada orang hamil.
Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi.1
Klofazimin dapat dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L tetapi dengan dosis lebih tinggi.
Semakin berat penyakit semakin tinggi dosisnya, biasanya 200-300 mg sehari. Khasiatnya
lebih lambat daripada kortikosteroid. Dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan
dengan perbaikan E.N.L. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk
lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek sampingnya ialah kulit menjadi
berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi masih bersifat reversibel
meskipun menghilangnya lambat sejak. Selama penanggulangan E.N.L ini, obat-obat
antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa kurang dosisnya.1
Pengobatan Reaksi Reversal
Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Jika ada neuritis akut, obat pilihan
pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan berat ringannya neuritis, makin
berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisone 40 mg sehari, kemudian
diturunkan bertahap. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat
untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Anggota gerak yang terkena
neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedative dapat diberikan bila diperlukan.
Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif.1
Gambar 6. Reaksi reversal

Skema pemberian Prednisone dan Klofamizin


Minggu pemberian Dosis harian prednison Dosis harian klofazimin**
1-2 40 mg 3 x 100 mg
3-4 30 mg (2 bulan)
5-6 20 mg
7-8 15 mg
9-10 10 mg 2 x 100 mg
11-12 5 mg (2 bulan)

1 x 100 mg
(2 bulan)

**Klofazimin diberikan pada reaksi ENL yang berulang serta terdapat ketergantungan pada
steroid

1. Wisnu I, Daili E, Menaldi S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta :
Badan penerbit FKUI. 2016. Hal: 87-102.
2. Brooks FB, Buutel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick, and Adelberg’s Medical
Microbiology, 23th ed. ISBN 978-979-448-859-1 2008;365-366
3. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakara:
Kementrian Kesehatan RI 2012.Hal: 10-15

Anda mungkin juga menyukai