Anda di halaman 1dari 26

TPACK, IPKD, TUJUAN, DAN INSTRUMEN PENILAIAN HOTS

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pembelajaran IPA Terpadu yang
dibina oleh Ibu Vita Ria Mustikasari, S.Pd., M.Pd., dan Ibu Isnanik Juni Fitriyah,
S.Pd., M.Si.

Oleh Kelompok 5:

1. Dinik Afrianingsih (170351616573)


2. Salsabila Firdausi (170351616590)
3. Zuana Habibaturrohmah (170351616569)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN IPA

OKTOBER 2020
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................... 1
1.3 Tujuan ..................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 TPACK .................................................................... 3
2.2 IPKD dan Tujuan Pembelajaran ............................... 8
2.3 Instrumen Penilaian HOTS........................................ 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................... 22
3.2 Saran ......................................................................... 22

DAFTAR RUJUKAN ........................................................................... 23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guru merupakan ujung tombak pelaksanaan pendidikan yang
merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar.
Saat di dalam kelas, guru harus menguasai dua hal, yaitu materi dan strategi
pembelajaran. Guru merupakan hal yang penting dalam pembelajaran untuk
menentukan keberhasilan peserta didik. Menurut Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa guru adalah pendidik profesional
yang memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Guru profesional merupakan orang yang telah
menempuh pendidikan guru yang kemudian mendapat ijazah dan
berpengalaman dalam mengajar kelas. Guru yang profesional akan
mempunyai pengaruh langsung terhadap hasil belajar peserta didik (Yusuf,
2014).
Seorang guru tidak hanya harus menguasai materi dan konsep saja,
melainkan harus menguasai bagaimana cara mengajarkan dan strategi
pembelajaran dapat tersampaikan kepeserta didik dengan baik. Dua hal
tersebut antara materi (content) dan cara mengajarkan (pedagogik) yang
saling berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan (Agustina, 2015). Untuk
itu, dalam pembelajaran guru harus memahami menganai IPKD, tujuan
pembelajaran, TPACK, dan instrumen penilaian yang akan dibahas pada
makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan TPACK?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan IPKD dan tujuan pembelajaran?
1.2.3 Bagaimana cara merumuskan instrumen penilaian HOTS?

iii
1.3 Tujuan
1.3.1 Dapat menjelaskan pengertian dari TPACK.
1.3.2 Dapat menjelaskan mengenai IPKD dan tujuan pembelajaran.
1.3.3 Dapat menjelaskan cara merumuskan instrumen penilaian HOTS.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 TPACK (Technological Pedagocal Content Knowledge)


Technological Pedagocal Content Knowledge disingkat TPACK
(sebelumnya disingkat TPCK) merupakan pengetahuan yang diperlukan untuk
mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran. Kerangka pengetahuan ini
berasal dari konstruk Shulman (1986) tentang Pedagogical Content Knowledge
(PCK). Shulman (1987) berpendapat bahwa mempersiapkan guru atau calon guru
dengan keterampilan pedagogis umum dan pengetahuan materi pelajaran, seperti
IPA, secara terpisah kurang memadai. Sebagai gantinya adalah diperlukan
landasan pengajaran yang berada pada persinggungan antara konten materi
pelajaran dan pedagogi.
Seorang guru IPA diharapkan memiliki PCK yang baik agar dapat lakukan
proses pembelajaran IPA yang efektif. Selanjutnya, pengembangan TPACK dari
PCK oleh guru sangat penting untuk dilakukan agar pengajaran dengan intergrasi
teknologi menjadi efektif. Seperti halnya dalam pengembangan PCK, calon guru
atau guru secara aktif mengkaji berbagai metode untuk mempersiapkan guru
mengajar dengan beragam teknologi. Tantangannya adalah bagaimana
mengidentifikasi trayek belajar calon guru atau guru agar dapat membimbing
mereka dalam mengembangkan pengetahuan tersebut. Sebagai ilustrasi trayek
belajar yaitu seberapa besar mereka sudah terlibat dalam kegiatan yang terkait
komponen pengetahuan: pengetahuan teknologi (TK), pengetahuan konten (CK),
pengetahuan pedagogik (PK), pengetahuan pedagogik konten (PCK), pengetahuan
pedagogik teknologi (TPK), dan pengetahuan konten teknologi (TCK), sebuah
pengetahuan baru yang disebut TPACK. Gambar 1 berikut ini merupakan
kerangka TPACK beserta komponen pengetahuan terkait.

v
Gambar 1. Kerangka TPACK dan Komponen Pengetahuan
(Sumber: http://TPACK.org/)
Dalam model kerangka TPACK dalam gambar 1 di atas, ada tiga komponen
pengetahuan guru yaitu materi bidang studi, pedagogi dan teknologi. Model ini
memiliki tiga interseksi yang sama penting yaitu interseksi antara badan
pengetahuan yang dinyatakan sebagai PCK (pedagogical content knowledge),
TCK (technological content knowledge), TPK (technological pedagogical
knowledge), and TPACK (technology, pedagogy,and content knowledge).
2.1.1. Pengetahuan Konten Materi (Content Knowledge)
Pengetahuan materi (content knowledge atau CK) merupakan pengetahuan
guru tentang bidang studi yang dipelajari atau yang akan diajarkan kepada siswa.
Kedalaman dan keluasan konten bidang studi yang diajarkan di sekolah menengah
(SMP) akan berbeda dengan konten yang diajarkan di SMA atau di perguruan
tinggi. Pengetahuan materi bidang studi ini dapat berupa pengetahuan tentang
konsep, teori, gagasan, kerangka organisasi konsep, bukti-bukti empiris, juga
praktek dan pendekatan yang baku dalam mengembangkan pengetahuan tersebut
(Shulman, 1986).
Pengetahuan dan kharakteristik inkuiri antara bidang studi satu dengan yang
lain bisa sangat berbeda dan guru harus memahami lebih baik bidang studi yang
akan mereka ajarkan kepada siswa. Dalam bidang studi IPA misalnya,

vi
pengetahuan guru mencakup fakta-fakta dan teori ilmiah, metode ilmiah dan
penalaran berbasis bukti empiris.
2.1.2. Pengetahuan Pedagogi (Pedagogical Knowledge/PK)
Pengetahuan pedagogi (PK) merupakan pengetahuan guru tentang proses
dan praktek pembelajaran atau metode mengajar. PK mencakup juga pemahaman
guru tentang tujuan pendidikan secara umum, pengetahuan tentang kharakteristik
pebelajar, pengelolaan kelas, dan penilaian proses dan hasil belajar. Guru yang
memiliki pengetahuan pedagogi yang baik akan memahami bagaimana siswa
membangun pengetahuan dan memperoleh keterampilan, serta bagaimana siswa
mengembangkan habits of mind dan sikap belajar yang positif. Untuk itu, guru
memerlukan pengetahuan tentang teori belajar kognitif dan sosial serta teori
perkembangan peserta didik. Sebagai ilustrasi, guru dapat membedakan berbagai
pendekatan/strategi pembelajaran.
2.1.3. Pengetahuan Teknologi (Technological Knoewledge/TK)
Teori mediasi teknologi mengasumsikan bahwa baik guru dan teknologi
mengambil peran aktif dalam membentuk lingkungan belajar. Kebutuhan
teknologi diakui dan diaggap bermanfaat oleh guru. Selain itu, guru bisa
menggunakan teknologi dengan cara yang berbeda dengan desain awalnya yang
mungkin tidak diinginkan, namun teknologi itu dapat digunakan secara kreatif.
Guru membutuhkan pengetahuan yang baik tentang kemampuan teknologi
tertentu untuk membantu siswa dalam mempelajari topik tertentu atau
keterampilan dengan bantuan teknologi. Dari sudut pandang ini maka
pengetahuan teknologi tidak hanya mengacu pada keterampilan instrumental yang
dibutuhkan untuk mengoperasikan sebuah teknologi tapi juga menyiratkan
pengetahuan tentang kemampuan teknologi untuk mencapai tujuan pribadi dan
profesional (Jamieson-Proctor, Finger, & Albion, 2010).
2.1.4. Pengetahuan Pedagogi Konten Materi (Pedagogical Content
Knowledge/PCK)
PCK adalah pertimbangan bagaimana caranya pengetahuan IPA dirumuskan
sedemikian rupa sehingga mudah diakses oleh siswa. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa salah satu faktor yang memungkinkan guru menjadi efektif
adalah guru yang kaya PCK, yaitu sebuah perpaduan khusus dari pengetahuan

vii
konten materi dengan pengetahuan pedagogi yang terbangun sepanjang waktu dan
pengalaman. Bentuk pengetahuan profesional ini dicetuskan pertama kali oleh
Shulman (1987) yaitu khusus topik, unik bagi guru, dan hanya dapat diperoleh
melalui praktek. Konstruk akademik PCK adalah pengakuan bahwa mengajar
bukan sekedar memindahkan konsep dan keterampilan dari guru kepada siswa
saja tetapi merupakan aktivitas pengambilan keputusan ‘on the spot’ yang
kompleks dan problematik.
Magnusson, Krajcik and Borko (1999) menjelaskan PCK sebagai
pengetahuan profesional guru terdiri dari lima komponen dan guru yang
berpengalaman akan menerapkan komponen tersebut:
a. Orientasi terhadap pengajaran (pengetahuan tentang konten materi bidang
studi dan keyakinan/pemahaman tentang materi tersebut serta bagaimana
mengajarkannya);
b. Pengetahuan tentang kurikulum (apa dan kapan mengajarnya);
c. Pengetahuan tentang asesmen (mengapa, apa, dan bagaimana menilai);
d. Pengetahuan tentang pemahaman siswa tentang konten bidang studi, dan
e. Pengetahuan tentang strategi pembelajaran.
2.1.5. Technological Pedagocal Content Knowledge (TPACK)
Model TPACK merupakan perluasan dari konsep PCK dengan
menambahkan teknologi sebagai tipe khusus pengetahuan guru. Menurut Model
TPACK dari Koehler and Mishra, ada tiga komponen utama pengetahuan guru
dalam model itu yaitu konten materi, teknologi dan pedagogi. TPACK adalah
dasar dari pengajaran yang baik dengan teknologi dan membutuhkan pemahaman
tentang representasi konsep menggunakan teknologi; teknik pedagogis yang
menggunakan teknologi dengan cara yang konstruktif untuk mengajar konten;
pengetahuan tentang apa yang membuat konsep sulit atau mudah dipelajari dan
bagaimana teknologi dapat membantu beberapa masalah yang dihadapi siswa;
pengetahuan awal siswa dan teori epistemologi, dan pengetahuan tentang
bagaimana teknologi dapat digunakan untuk membangun pengetahuan yang ada
dan untuk mengembangkan epistemologi baru atau memperkuat yang lama
(Lestari, 2016).

viii
Secara sederhana TPACK dapat dideskripsikan sebagai pengetahuan guru
tentang kapan, dimana, dan bagaimana menggunakan teknologi, sementara
membimbing siswa dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka
dalam bidang studi tertentu. Misalnya IPA, dengan menggunakan pendekatan
pedagogi yang memadai (Brantley-Dias & Ertmer, 2013). Seperti halnya PCK,
inti dari model TPACK dipahami sebagai transformasi pengetahuan guru yang
terdiri dari empat komponen PCK yang mendukung pengajaran IPA dengan
teknologi (Niess, 2005), yaitu:
a. Konsepsi menyeluruh tentang tujuan mengintegrasikan teknologi/ICT
dalam mengajarkan topik IPA tertentu. Komponen ini menjelaskan apa
yang diketahui dan diyakini tentang kharakteristik IPA, apa yang penting
bagi siswa untuk dipelajari dan bagaimana teknologi/ICT dapat
mendorong siswa dalam belajar IPA, merupakan landasan dalam
pengambilan keputusan guru.
b. Pengetahuan tentang pemahaman siswa, pikiran siswa, dan belajar
materi IPA dengan integrasi teknologi/ICT. Untuk komponen ini guru
bergantung dan bekerja dari pemahaman dan pikiran siswa saat terlibat
dalam kegiatan belajar topik IPA tertentu dengan teknologi yang memadai.
c. Pengetahuan tentang kurikulum IPA dan bahan ajar IPA yang
terintegrasi teknologi/ICT dalam pembelajaran topik IPA tertentu. Terkait
dengan komponen kurikulum, guru mengkaji dan menerapkan berbagai
macam teknologi/ICT. Melalui aktivitas ini, mereka mempertimbangkan
bagaimana konsep dan proses IPA dalam konteks lingkungan yang kaya
teknologi disusun, distrukturisasi, dan dinilai dalam kurikulum.
d. Pengetahuan tentang strategi pembelajaran dan representasi untuk
kegiatan pembelajaran topik IPA tertentu dengan teknologi/ICT.
Pengetahuan instruksional ini memfokuskan guru dalam mengadaptasi
pembelajarannya untuk membantu siswa dalam belajar teknologi tertentu
saat mereka belajar IPA dengan menggunakan teknologi tersebut. Mereka
menggunakan representasi tertentu dengan teknologi untuk mencapai
tujuan pembelajaran dan kebutuhan siswa dalam kelas.

ix
Guru harus memiliki kemampuan TPACK untuk menarik minat belajar peserta
didik pada materi pelajaran yang disampaikan (Naziri, Rasul, & Affandi, 2019:
106). Kemampuan penerapan TPACK akan memudahkan guru mengajarkan
materi sains secara jelas kepada peserta didik (Mercado, Panganiban, & Ramos,
2019: 73).

2.1.6. Cara Mengukur Technological Pedagocal Content Knowledge


TPACK guru dapat dinilai dengan 5 level berbeda dengan menggunakan
model Roger tentang proses keputusan yang inovatif. Niess (2012, p.6)
mendefinisikan level tersebut sebagai berikut:
a. Recognizing (pengetahuan), dimana guru bisa menggunakan
teknologi/ICT dan mengenali keselarasan teknologi/ICT dengan konten
namun tidak mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran mereka
lakukan.
b. Accepting (persuasi), dimana guru membentuk sikap yang menguntungkan
atau tidak menuju pembelajaran konten dengan teknologi yang sesuai.
c. Adapting (keputusan), dimana guru terlibat dalam aktivitas yang
mengarahkan pilihan untuk mengadopsi atau menolak belajar IPA dengan
teknologi/ICT yang sesuai.
d. Exploring (implementasi), dimana guru secara aktif mengintegrasikan
pembelajaran IPA dengan teknologi/ICT yang sesuai.
e. Advancing (konfirmasi), dimana guru mengevaluasi hasil dari
pengambilan keputusan tentang mengintegrasikan pembelajaran IPA
dengan teknologi yang sesuai.

2.2. IPKD dan Tujuan Pembelajaran


2.2.1. IPKD
Indikator pencapaian kompetensi menurut Standar Proses dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 41 Tahun
2007 adalah mengukur dan/atau mengobeservasi perilaku untuk menunjukkan
ketercapaian kompetensi dasar (KD) tertentu yang menjadi acuan penilaian
dari suatu mata pelajaran. Dalam merumuskan indikator pencapaian

x
kompetensi ini harus menggunakan kata kerja operasional yang bisa diukur
dan mencakup atau meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk itu,
indikator pencapaian kompetensi merupakan suatu rumusan kemampuan yang
harus dilaksanakan atau ditampilkan oleh siswa untuk menunjukkan
ketercapaian kompetensi dasar (KD). Dari penjelasan tersebut dapat
dikatakan bahwa indikator pencapaian kompetensi adalah sebuah tolok ukur
ketercapaian suatu KD. Hal ini sesuai dengan maksud bahwa indikator
pencapaian kompetensi menjadi acuan dalam menilai suatu mata pelajaran.
Menurut Majid (2013), indikator merupakan kompetensi dasar secara
spesifik yang bisa menjadi ukuran untuk mengetahui ketercapaian hasil
pembelajaran. Indikator ini dirumuskan dengan kata kerja operasioal untuk
mengukur pencapaian hasil belajar siswa dari berbagai aspek seperti kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Anwar dan
Hendra (2011), yaitu indikator merupakan suatu tanda dalam pencapaian
kompetensi dasar dan ditandai oleh adanya perubahan perilaku yang dapat
diukur dan mencakup sikap, pengetahuan, serta keterampilan yang bisa
menjadi acuan atau pedoman dalam menyusun alat penilaian.
Berdasarkan penjelasan beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan
bahwa indikator adalah pencapaian hasil belajar dan penjabaran atau
penguaraian dari kompetensi dasar (KD) untuk menilai ketercapaian hasil
belajar dari berbagai ranah seperti pengetahuan, sikap, serta keterampilan.
Indikator pencapaian kompetensi ini memiliki beberapa fungsi yaitu
sebagai berikut:
1. Sebagai pedoman dalam mengembangkan materi pembelajaran. Dalam
mengembangkan materi pembelajaran ini harus sesuai dengan indikator
yang dikembangkan. Indikator yang dirumuskan secara cermat
dapatmemberikan arah dalam pengembangan materi pembelajaran yang
efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, potensi dan
kebutuhanpeserta didik, sekolah, serta lingkungan.
2. Sebagai pedoman dalam mendesain kegiatan pembelajaran. Desain
pembelajaran ini sangat penting untuk dirancang secara efektif supaya
kompetensi dapat dicapai. Pengembangan desain pembelajan ini lebih baik

xi
sesuai dengan indikator yang dikembangkan. Hal ini dikarenakan dapat
memberikan gambaran kegiatan pembelajaran yang efektif untuk
mencapai kompetensi.
3. Sebagai pedoman dalam mengembangkan bahan ajar.
4. Sebagai pedoman dalam merancang dan melaksanakan penilaian hasil
belajar.
Menurut Dewi (2015), terdapat enam cara dalam merumuskan indikator
yaitu sebagai berikut:
1. Setiap KD dikembangkan sekurang-kurangnya menjadi tiga indikator
2. Keseluruhan indikator memenuhi tuntutan kompetensi yang tertuang
dalam kata kerja yang digunakan dalam KD
3. Indikator yang dikembangkan harus menggambarkan hirarki kompetensi
4. Rumusan indikator sekurang-kurangnya mencakup dua aspek, yaitu
tingkat kompetensi dan materi pembelajaran
5. Indikator harus dapat mengakomodir karakteristik mata pelajaran
6. Rumusan indikator dapat dikembangkan menjadi beberapa indikator
penilaian yang mencakup ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan
Kompetensi dasar (KD) yang kami gunakan yaitu 3.8 dan 4.8 Kelas IX.
KD 3.8 yaitu menghubungkan konsep partikel materi (atom, ion, molekul),
struktur zat sederhana dengan sifat bahan yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, serta dampak penggunaannya terhadap kesehatan manusia.
Sedangkan untuk KD 4.8 yaitu menyajikan hasil penyelidikan tentang sifat
dan pemanfaatan bahan dalam kehidupan sehari-hari. Dari sepasang KD
tersebut, maka IPKD yang dikembangkan yaitu sebagai berikut:
3.8.1 Menghubungkan konsep molekul-molekul dan atom penyusun benda
mati dan makhluk hidup
3.8.2 Menghubungkan konsep proton, neutron, dan elektron dalam atom
dengan nomor atom massa
3.8.3 Menyusun proses pembentukan ikatan kovalen
3.8.4 Merumuskan karakterisik bahan-bahan dalam kehidupan sehari-hari
4.8.1 Menyajikan laporan hasil studi tentang unsur penyusun benda mati

xii
4.8.2 Menyajikan laporan hasil studi tentang perbedaan proton, neutron, dan
elektron
4.8.3 Menyajikan laporan hasil studi tentang proses pembentukan ikatan
kovalen
4.8.4 Menyajikan laporan hasil studi tentang sifat dan pemanfaatan bahan
dalam kehidupan sehari-hari
2.2.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran adalah suatu keinginan atau cita-cita yang ingin
dicapai dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan
kemampuan yang diharapkan untuk dimiliki oleh peserta didik sesudah proses
pembelajaran. Terdapat beberapa pengertian tujuan pembelajaran menurut
beberapa ahli yaitu sebagai berikut:
 Menurut Robert F. Mageer, tujuan pembelajaran merupakan perilaku
yang akan diraih oleh peserta didik dalam kondisi dan tingkat kompetensi
tertentu.
 Menurut Kemp dan David E. Kapel, tujuan pembelajaran merupakan
perilaku yang berwujud tulisan dan menggambarkan hasil belajar yang
ingin dicapai.
 Menurut Henry Ellington, tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang
ingin dicapai sebagai hasil belajar.
 Menurut Oemar Hamalik, tujuan pembelajaran merupakan sebuah
gambaran tentang perilaku yang diharapkan tercapai oleh peserta didik
setelah proses pe,belajaran berlangsung (Arikonto, 2002).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembelajaran adalah suatu perilaku yang diharapkan setelah peserta didik
melaksanakan proses pembelajaran.
Dalam merumuskan tujuan pembelajaran ini, terdapat beberapa manfaat
yaitu sebagai berikut:
1. Mempermudah dalam megkomunikasikan maksud dari kegiatan belajar
mengajar kepada siswa sehingga siswa dapat melakukan perbuatan
belajarnya secara lebih mandiri.
2. Mempermudah guru dalam memilih dan menyusun bahan ajar.

xiii
3. Mempermudah guru dalam menentukan kegiatan belajar dan media
pembelajaran.
4. Mempermudah guru dalam melakukan penilaian.
Perumusan tujuan pembelajaran yang bermacam-macam akan
menghasilkan perubahan perilaku anak yang bermacam-macam pula. Untuk
itu, keberhasilan proses pembelajaran juga bervariasi. Perilaku mana yang
hendak dihasilkan, menghendaki perumusan tujuan pembelajaran yang sesuai
dengan perilaku yang hendak dihasilkan. Jika perilaku yang guru hendak
capai adalah agar anak dapat membaca, maka perumusan tujuan pembelajaran
harus mendukung tercapainya keterampilan membaca. Apabila yang hendak
dicapai agar anak dapat menulis, maka perumusan tujuan pembelajarannya
harus mendukung tercapainya keterampilan menulis.
Dalam menyusun tujuan pembelajaran, perlu mempertimbangkan hal-
hal:
1. Untuk siapa tujuan itu dibuat (siswa SD/MI, SMP/MTS, SMU/SMA atau
mahasiswa)
2. Kemampuan dan nilai-nilai yang ingin dikembangkan pada diri siswa
3. Bagaimana cara mencapai tujuan itu, secara bertahap atau sekaligus
4. Apakah perlu menekankan aspek-aspek tertentu atau tidak
5. Seberapa jauh tujuan itu dapat memenuhi kebutuhan perkembangan
siswa
6. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dan apakah waktu yang tersedia
cukup untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
Setelah merumuskan 4 pasang IPKD, langkah selanjutnya yaitu
merumuskan tujuan pembelajaran. Dari beberapa IPKD tersebut, tujuan
pembelajaran yang dikembangkan yaitu sebagai berikut:
3.8.1.1 Peserta didik dapat menghubungkan konsep molekul-molekul dan
atom penyusun benda mati dan makhluk hidup
3.8.2.1 Peserta didik dapat menghubungkan konsep proton, neutron, dan
elektron dalam atom dengan nomor atom massa
3.8.3.1 Peserta didik dapat menyusun proses pembentukan ikatan kovalen

xiv
3.8.4.1 Peserta didik dapat merumuskan karakterisik bahan-bahan dalam
kehidupan sehari-hari
4.8.1.1 Peserta didik dapat menyajikan laporan hasil studi tentang unsur
penyusun benda mati
4.8.2.1 Peserta didik dapat menyajikanlaporan hasil studi tentang perbedaan
proton, neutron, dan elektron
4.8.3.1 Peserta didik dapat menyajikanlaporan hasil studi tentang proses
pembentukan ikatan kovalen
4.8.4.1 Peserta didik dapat menyajikanlaporan hasil studi tentang sifat dan
pemanfaatan bahan dalam kehidupan sehari-hari

2.3. Instrumen Penilaian HOTS


2.3.1. Higher Order Thinking Skills (HOTS)
Gunawan berpendapat, Higher Order Thinking Skills merupakan proses
berpikir dengan mengolah ide yang ada dengan teknik tertentu guna
memberikan pemahaman pada level tingkat tinggi. Sementara menurut Elaine
B. Johnson HOTS merupakan kemampuan untuk berpikir kreatif guna
menyelesaikan suatu masalah dan membuat suatu keputusan (Fatimah, 2020).
High Order Thingking Skills yaitu kemampuan yang dimiliki oleh peserta
didik dalam menyelesaikan suatu pemermasalahan dengan mengaplikasikan
pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga dalam HOTS peserta didik dapat
menyangkutkan, mengatur, dan mengubah kognitif dan pengalaman yang
dimilikinya menjadi pemikiran yang kritis dalam menyelesaikan masalah
(Dinni, 2018).
Menurut Susan M Brookhart, HOTS tidak hanya sekedar sebuah model
soal, namun juga mencangkup model pengajaran. Model pengajaran HOTS
harus mencangkup kemampuan berpikir, contohnya mengaplikasikan
pemikiran dan diadaptasi dengan kebutuhan siswa yang beragam (Sofyan,
2019). Menurut Bloom, keterampilan berpikir tingkat tinggi dibagi dua, yaitu
keterampilan tingkat rendah atau Low Order Thinking Skills (LOTS) dan
Higher Order Thinking Skills (HOTS). LOTS dalam proses pembelajaran ada
tiga,yaitu remembering, understanding dan applying. Sementara untuk HOTS

xv
klasifikasi dalam proses pembelajaran juga ada tiga, yaitu analyzing,
evaluating dan creating (Ariyana et al., 2018).
a. Mengingat (remembering)
Level ini merupakan level proses berpikir paling rendah dalam taksonomi
Bloom, karena mengingat memanggil kembali kognisi yang sudah ada
dalam memori tanpa adanya pemahaman (Setiawati et al., 2020).Untuk
mengkondisikan agar “mengingat” menjadi bagian dari belajar bermakan
maka diperlukan tugas yang selalu dikaitkan dengan aspek penegetahuan
yang lebih luas dan bukan sebagai suatu yang lepas dan terisolasi
(Widodo, 2005).
b. Memahami (understanding)
Level ini lebih tinggi satu level dari proses mengingat, dimana peserta
didik yang memahami suatu materi mampu menggunakan daya ingatnya
untuk membuat deskripsi, menjelaskan, atau memberikan contoh terkait
materi tersebut (Setiawati et al., 2020).
c. Menerapkan (applying)
Setelah peserta didik mampu memahami materi, maka mereka dapat
melakukan pengulangan akan hal-hal yang telah dipahami dalam situasi
yang berbeda, dimana mereka dapat dikatakan melewati prose berpikir
level aplikasi atau menerapkan (applying). Namun sayangnya meskipun
mereka mampu menerapkan ilmu yang mereka pahami, mereka belum
tentu dapat menyelesaikan masalah yang diberikan kepada mereka
(Setiawati et al., 2020).
d. Menganalisis (analyzing)
Level ini merupakan kemampuan menguraikan sesuatu ke dalam bagian-
bagian yang lebih kecil sehingga diperoleh makna yang lebih dalam.
Kemampuan ini termasuk dalam golongan Higher Order Thinking Skills
(HOTS). Dalam Taksonomi Bloom revisi menganalisis juga termasuk
kemampuan mengkorganisir dan menghubungkan antar bagian sehingga
diperoleh makna yang lebih komprehensif (Setiawati et al., 2020).
e. Mengevaluasi (evaluating)

xvi
Bila kemampuan ini berujung pada proses berpikir kritis hingga peserta
didik dapat mengambil keputusan dengan tepat, orang tersebut telah
mencapai level proses berpikir mengevaluasi (Setiawati et al., 2020).
f. Mencipta (creating)
Dari kegiatan mengevaluasi maka peserta didik mampu menemukan
kekurangan atau dan kelebihan dari kegiatan tersebut yang mana
penemuan itu nantukan akan menghasilkan idea tau gagasan-gagasan
baru atau berbeda dari yang sebelumnya. Kemampuan peserta didik
menciptakan ide atau gagasan baru atau berbeda disebut level proses
berpikir mencipta (Setiawati et al., 2020).
Brookhart menggunakan tiga istilah dalam mengartikan HOTS, yaitu
(Setiawati et al., 2020):
a. HOTS sebagai proses transfer. Transfer yang dimaksud ialah transfer
pengetahuan dalam pembelajaran ialah melahirkan belajar bermakna,
yaitu kemampuan peserta didik dalam menerapkan apa yang telah
dipelajari ke dalam situasi baru tanpa petunjuk dari guru.
b. HOTS sebagai berpikir kritis. Dalam konteks pembelajaran HOTS
sebagai berpikir kritis merupakan pembentuk kemampuan berpikir logis,
reflektif, dan mengambil keputusan sendiri yang dilakukan oleh peserta
didik.
c. HOTS sebagai penyelesaian masalah. Dimana peserta didik dijadikan
seseorang yang mampu menyelesaikan permasalahan yang nyata dalam
kehidupan mereka, umumnya bersifat unik sehingga prosedur
penyelesaiannya juga bersifat khas dan tidak rutin.
2.3.2. Karakteristik Instrumen Penilaian Higher Order Thinking Skills
(HOTS)
Ciri-ciri soal HOTS ialah sebagai berikut (Setiawati et al., 2020):
1. Transfer satu konsep ke konsep lainnya
2. Memproses dan menerapkan informasi
3. Mencari kaitan dari berbagai informasi yang berbeda-beda
4. Menggunakan informasi untuk menyelesaikan masalah
5. Menelaah ide da informasi secara praktis.

xvii
Soal-soal HOTS sangatlah direkomendasikan guna dipakai dalam berbagai
bentuk penilaian kelas dan Ujian Sekolah. Agar pendidik terinspirasi
menyusun soal-soal bentuk tersebut maka mereka harus mampu memahami
karakteristik yang dimiliki oleh soal-soal berbasis HOTS. Berikut adalah
karakteristiknya:
1. Mengukur Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi
Kemampuan berpikir tingkat termasuk dalam kemampuan untuk
memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif, berargumen, dan
mengambil keputusan. Kreativitas penyelesaian masalah pada HOTS,
terdiri dari: (1) kemampuan menyelesaikan permasalahan yang
unfamiliar; (2) kemampuan mengevaluasi strategi yang dipakai guna
menyelesaikan masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda; (3)
menemukan model-model penyelesaian baru yang berbeda dengan cara-
cara sebelumnya.
Tingkat kesulitan suatu butir soal berbeda dengan kemampuan
HOTS. Contohnya, guna mengetahui arti suatu makna yang tidak lazim
mungkin memiliki tingkat kesukaran yang sangat tinggi, namun
kemampuan untuk menjawab permasalahan tidak termasuk dalam HOTS.
Sehingga soal-soal HOTS belum tentu soal-soal yang memiliki tingkat
kesulitan yang tinggi juga.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dilatih dalam proses
pembelajaran di kelas. Oleh karena itu supaya peserta didik memilikinya,
maka proses pembelajaran juga harus memberi ruang bagi peserta didik
dalam menemukan konsep pengetahuan berbasis aktivitas. Dimana
aktivitas tersebut dapat menciptakan kreativitas dan berpikir kritis pada
peserta didik.
2. Bersifat Divergen.
Maksud dari sifat divergen yang dimiliki oleh instrument penilaian
adalah memungkinkan peserta didik memberi jawaban berbeda-beda
sesuai proses berpikir dan sudut pandang yang digunakan karena
mengukur proses berpikir analitis, kritis, dan kreatif yang cenderung
bersifat unik atau berbeda-beda responsnya bagi tiap individu. Oleh

xviii
karena itu, instrument penilaiannya lebih mudah dirancang dalam format
tugas atau pertanyaan terbuka, seperti esai/uraian dan tugas kinerja.
Sementara soal pilihan dapat digunakan yang mana proses berpikir guna
menjawab soal pilihan tersebut bukan sekedar menghafal atau
mengulang.
3. Menggunakan Multirepresentasi
Instrumen penilaian HOTS umumnya tidak menyajikan semua informasi
secara tersurat, namun memaksa peserta didik menggali sendiri informasi
yang tersirat. Instrumen penilaian ini harus menggunakan berbagai
representasi agar peserta didik dapat memperoleh informasi yang kritis
dan mampu memilah informasi yang diperlukan dengan baik.
Representasi yang dipakai ialah berbentuk kalimat, visual, simbolis, dan
matematis.
4. Bebasis Permasalahan Kontekstual
Soal-soal HOTS merupakan asesmen yang berbasis situasi nyata dalam
kehidupan sehari-hari, di mana peserta didik diharapkan dapat
menerapkan konsep-konsep pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan
masalah. Permasalah kontekstual yang dihadapi oleh masyarakat dunia
saat ini terkait dengan lingkungan hidup, kesehatan, kebumian dan ruang
angkasa, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
berbagai aspek kehidupan. Dalam pengertian tersebut pula bagaimana
keterampilan peserta didik untuk menghubungkan, menginterpretasikan,
menerapkan dan mengintegrasikan ilmu pengetahuan dalam
pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan permasalahan dalam konteks
nyata.
5. Menggunakan Bentuk Soal Beragam
Bentuk-bentuk soal yang beragam dalam sebuah perangkat tes yang
biasanya dipakai dalam PISA, dengan tujuan dapat memberi informasi
yang lebih rinci dan menyeluruh tentang kemampuan peserta tes. Oleh
karena itu guru harus menilainya secara objektif yang mana dapat
menjamin akuntabilitas penilaian. Berikut adalah alternative bentuk soal
yang dapat digunakan dalam soal HOTS,

xix
a. Pilihan ganda kompleks (benar/salah, atau ya/tidak)
Tujuan digunakan soal bentuk ini untuk menguji pemahaman peserta
didik terhadap suatu masalah secara komprehensif terkait pertanyaan
satu dengan lainnya. Soal tipe ini nantinya memberi stimulus yang
bersumber dari situasi kontekstual. Peserta didik diminta memilih
benar/salah atau ya/tidak. Pertanyaan yang diberikan tersebut terkait
antara satu dengan yang lainnya. Susunan pernyataan benar dan
pernyataan salag agar diacak, tidak sistematis mengikuti pola
tertentu. Susunan yang terpola sistematis dapat memberi petunjuk
kepada jawaban yang benar. Bila dijawab benar maka pernyataan
diberi skor 1 atau bila menjawab salah diberi skor nol.
b. Uraian
Soal jenis ini menuntut peserta didik untuk mengorganisasikan
gagasan atau hal-hal yang telah dipelajarinya dengan cara
mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut
menggunakan kalimatnya sendiri dalam bentuk tertulis. Dalam
penulisan soalnya, penulis harus memiliki gambaran tentang ruang
lingkup materi yang ditanyakan dan lingkup jawaban yang
diharapkan, kedalaman dan panjang jawaban, atau rincian jawaban
yang mungkin diberikan oleh peserta didik.Selain itu, ruang lingkup
tersebut harus tegas dan jelas tergambar dalam rumusan soalnya.
2.3.3. Langkah-Langkah Penyusunan Soal HOTS
Dalam penyusunan soal HOTS sangat diperlukan penentuan
kompetensi yang akan diukur dan dirumuskan materi yang akan dijadikan
dasar pertanyaan. Pertanyaan disertai stimulus yang tepat dalam konteks
tertentu sesuai dengan kompetensi yang diharapakan. Selain itu materi
dengan penalaran tinggi yang akan ditanyakan, tidak selalu tersedia di dalam
buku pelajaran. Oleh karena itu, dalam penyusunan soal HOTS dibutuhkan
penguasaan materi ajar, keterampilan dalam menulis soal, dan kreativitas
guru dalam memilih stimulus soal sesuai dengan situasi dan kondisi daerah di
sekitar satuan pendidikan. Berikut langkah-langkah penyusunan soal HOTS:
1. Menganalisis KD

xx
Langkah awal penyusunan adalah menganalisis KD yang akan dijadikan
soal HOTS dengan dasar kognitif yang dimilikinya. KD yang berada
pada tingkat kognitif adalah C4 (menganalisis), C5 (mengevaluasi), dan
C6 (mengkreasikan) yang dapat disusun dalam soal HOTS. Sementara
yang lainnya harus dirumuskan dulu IPKD pengayaannya dengan tingkat
kognitif C4, C5, dan C6 yang kemudian baru dapat dijadikan soalh
HOTS.
2. Menyusun kisi-kisi soal
Kisi-kisi penyusunan soal digunakan guru untuk menyusun soal HOTS.
Secara umum, kisi-kisi tersebut memandu guru dalam:
a. Memilih KD yang dapat dibuat soal HOTS
b. Menentukan lingkup materi dan materi yang terkait dengan KD yang
akan diuji
c. Merumuskan indicator soal
d. Menentukan nomor soal
e. Menentukan level kognitif (L1 untuk tingkat kognitif C1 dan C2, L2
untuk tingkat C3, dan L3 untuk tingkat kognitif C4, C5, dan C6)
f. Menentukan bentuk soal yang akan digunakan
3. Memilih stimulus yang tepat dan kontekstual
Stimulus yang digunakan harus tepat, artinya mendorong peserta didik
untuk mencermati soal. Stimulus yang tepat umumnya baru dan belum
pernah dibaca oleh peserta didik. Stimulus kontekstual dimaksudkan
stimulus yang sesuai dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari,
menarik, mendorong peserta didik untuk membaca. Dalam konteks ujian
sekolah, guru dapat memilih stimulus dari lingkungan sekolah atau
daerah setempat.
4. Menulis butir pertanyaan sesuai dengan kisi-kisi soal
Butir-butir pertanyaan ditulis sesuai dengan kaidah butir soal HOTS.
Kaidah penilisan butir soal HOTS, agak berbeda dengan kaidah
penulisan butir soal pada umumnya. Perbedaannya terletak pada aspek
materi, sedangkan pada aspek konstruksi dan bahasa relative sama.
Setiap butir soal ditulis pada kartu soal, sesuai format terlampir.

xxi
5. Membuat pedoman peskoran (rubrik) atau kunci jawaban
Setiap butir soal HOTS yang ditulis hendaknya dilengkapi dengan
pedoman penskoran atau kunci jawaban. Pedoman penskoran dibuat
untuk bentuk soal uraian. Sedangkan kunci jawaban dibuat untuk bentuk
soal pilihan ganda, pilihan ganda kompleks, dan isian singkat (Setiawati
et al., 2020).
2.3.4. Instrumen Penilaian HOTS KD 3.8 Kelas 9
Kompetensi KD 3.8 yaitu menghubungkan konsep partikel materi (atom,
Dasar (KD) ion, molekul), struktur zat sederhana dengan sifat bahan yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, serta dampak
penggunaannya terhadap kesehatan manusia.
Dimensi Indikator Kemampuan Indikator Butir Soal
Kognitif Berpikir Tingkat Tinggi
C6 Menghubungkan unsur kimia Disajikan tabel unsur dalam
dengan kesehatan manusia tubuh manusia dan gejala
penderita silent hypoxia.
Siswa diharapkan dapat
menghubungkan pengaruh
unsur tersebut terhadap
kesehatan manusia.

Nabil memeriksakan diri ke rumah sakit dan dari hasil tes ternyata kadar
oksigen dalam sel dan jaringan tubuhnya ternyata dibawah 65% sehingga sel
dan jaringan tubuhnya tidak dapat berfungsi dengan normal. Dari hasil

xxii
pemeriksaan Nabil, bagaimana pengaruh oksigen pada tubuh?
Pilihan Jawaban
A.
B.
C.
D.
Alasan:
Pembahasan:

xxiii
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Technological Pedagocal Content Knowledge disingkat TPACK
(sebelumnya disingkat TPCK) merupakan pengetahuan yang diperlukan
untuk mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran. Seorang guru IPA
diharapkan memiliki PCK yang baik agar dapat lakukan proses pembelajaran
IPA yang efektif. Selanjutnya, pengembangan TPACK dari PCK oleh guru
sangat penting untuk dilakukan agar pengajaran dengan intergrasi teknologi
menjadi efektif. Indikator adalah pencapaian hasil belajar dan penjabaran atau
penguaraian dari kompetensi dasar (KD) untuk menilai ketercapaian hasil
belajar dari berbagai ranah seperti pengetahuan, sikap, serta keterampilan.
Tujuan pembelajaran adalah suatu perilaku yang diharapkan setelah peserta
didik melaksanakan proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran tentu
memerlukan instrumen penilaian. Menurut kurikulum 2013, instrumen
penilaian yang digakan yaitu HOTS. Higher Order Thinking Skills
merupakan proses berpikir dengan mengolah ide yang ada dengan teknik
tertentu guna memberikan pemahaman pada level tingkat tinggi.
3.2 Saran
Sebagai seorang pendidik, kita tidak hanya dituntut untuk memahami
materi yang akan diajarkan, melainkan juga strategi pembelajaran, TPACK,
membuat IPKD dan tujuan pembelaran, hingga instrumen penilaian yang
cocok dengan peserta didik.

xxiv
DAFTAR RUJUKAN

Anwar, K. & Hendra, H. 2011. Perencanaan Sistem Pembelajaran Kurikulum


Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bandung: Alfabeta.
Arikunto, Suharsini. 2002. Dasar-Dasar Evakuasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Ariyana, Y., Pudjiastuti, A., Bestary, R., & Zamroni. (2018). Buku Pegangan
Pembelajaran Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Berbasis Zonasi. In
Direktorat Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan.
Dewi, N. 2015. Merancang Pencapaian Kompetensi Dasar Melalui Perumusan
Indikator. Artikel E-Buletin Media Pendidikan LPMP Sulsel, 1-11.
Dinni, H. N. (2018). HOTS ( High Order Thinking Skills ) dan Kaitannya dengan
Kemampuan Literasi Matematika. Prisma, 1, 170–176.
Fatimah, S. (2020). Pengembangan Instrumen Penilaian Berbasis HOTS ( Higher
Order Thinking Skills ) Pada Kompetensi Dasar Menerapkan Sistem
Penyimpanan Arsip Sistem Abjad , Kronologis, Geografis, Nomor, dan
Subjek di Jurusan OTKP SMKN 1 Bojonegoro. Jurnal Pendidikan
Administrasi Perkantoran (JPAP), 8(2), 318–328.
Jamieson-Proctor, R., Finger, G., & Albion, P. 2010. Auditing the TK and
TPACK confidence of pre-service teachers: Are they ready for the
profession? Australian Educational Computing,25(1), 8–17.
Koehler, M.J., & Mishra, P. 2008. Introducing TPCK. In AACTE Committee on
Innovation and Technology (Ed.), The handbook of technological
pedagogical content knowledge (TPCK) for educators (pp. 3-29). New
York, NY: Routledge.
Lestari, Suci. 2016, Analisis Kemampuan Technological Pedagogical Content
Knowledge (TPACK) Pada Guru Biologi SMA Dalam Materi Sistem Saraf.
Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.
Magnusson, S., Krajcik, J., & Borko, H. 1999. Nature, sources, and development
of pedagogical content knowledge for science teaching. In J. Gess-
Newsome & N.G. Lederman (Eds.), Examining pedagogical content
knowledge: The construct and its implications for science education (pp.
95–132). Boston, MA: Kluwer.

xxv
Majid, A. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mishra, P., & Koehler, M. J. 2006. Technological pedagogical content
knowledge: A framework for integrating technology in teacher knowledge.
Teachers College Record, 108(6), 1017–1054.
Niess, M. L. 2005. Preparing teachers to teach science and mathematics with
technology: Developing a technology pedagogical content knowledge.
Teaching and Teacher Education, 21(5), 509-523.
Niess, M. L., Sadri, P., & Lee, K. 2012. Dynamic spreadsheets as learning
technology tools: Developing teachers’ technology pedagogical content
knowledge (TPCK). Paper presentation at the annual meeting of the
American Education Research Association, Chicago.
Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Jakarta:
Kemendiknas.
Setiawati, W., Asmira, O., Ariyana, Y., Bestary, R., & Pudjiastuti, A. (2020).
Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) Melalui
Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP) Berbasis Zaonasi: Buku
Penilaian Berorentasi Higher Order Thinking Skills. In Pedagogika.
https://doi.org/10.37411/pedagogika.v10i2.60
Shulman, L. 1986. Those who understand: Knowledge growth in teaching.
Educational Researcher,15 (2), 4–14.
Shulman, L. 1987. Knowledge and teaching: Foundations of the new reform.
Harvard Educational Review, 57 (1), 1–22.
Sofyan, F. A. (2019). Implementasi Hots Pada Kurikulum 2013. Inventa, 3(1), 1–
9. https://doi.org/10.36456/inventa.3.1.a1803
Widodo, A. (2005). Taksonomi Tujuan Pembelajaran. Didaktis, 4(2), 61–69.

xxvi

Anda mungkin juga menyukai