Anda di halaman 1dari 118

PKKS SEBAGAI REFLEKSI MUTU SEKOLAH

Drs. Aji Permana, M.Pd.


Kepala SMAN 1 Karangnunggal

Penilaian kinerja kepala sekolah (PKKS) merupakan kegiatan


rutinitas setiap tahun yang harus dilalui oleh semua kepala sekolah yang
pelaksanaannya mengacu pada peraturan kementrian pendidikan dan
kebudayaan melalui pedoman penilaian dengan tujuan untuk: 1)
memperoleh data tentang pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan tanggung
jawab kepala sekolah dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajerial dan
supervisi/pengawasan pada sekolah yang dipimpinnya; 2) Memperoleh data
hasil pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai peminpin sekolah;
3) Menentukan kualitas kerja kepala sekolah sebagai dasar dalam promosi
dan penghargaan yang diberikan kepadanya; 4) Menentukan program
peningkatan kemampuan profesional kepala sekolah dalam konteks
peningkatan mutu pendidikan pada sekolah yang dipimpinnya; 5)
Menentukan program umpan balik bagi peningkatan dan pengembangan
diri dan karyanya dalam konteks pengembangan karir dan profesinya.
Untuk dapat melaksanakan tugas pokok tersebut, seorang kepala
sekolah dituntut memiliki sejumlah kompetensi. Dalam peraturan menteri
pendidikan dan kebudayaan republik indonesia nomor 6 tahun 2018 tentang
penugasan guru sebagai kepala sekolah tentang Beban kerja Kepala
Sekolah sepenuhnya untuk melaksanakan tugas pokok manajerial,
pengembangan kewirausahaan, dan supervisi kepada Guru dan tenaga
kependidikan.
Aspek yang dinilai dalam penilaian kinerja kepala sekolah dapat
mencakup tiga dimensi yakni: (a) komitmen terhadap tugas, (b)
pelaksanaan tugas, dan (c) hasil kerja. Komitmen terhadap tugas sebagai
aktualisasi dari kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial kepala
sekolah. Pelaksanaan tupoksi sebagai aktualiasi dari kompetensi
manajerial, kompetensi supervisi dan kompetensi kewirausahaan yang
dimiliki kepala sekolah Sedangkan hasil kerja merupakan dampak dari

1
pelaksanaan tugas pokok kepala sekolah sebagai refleksi dari semua
dimensi kompetensi kepala sekolah.
Tugas kepala sekolah dalam bidang manajerial berkaitan dengan
pengelolaan sekolah, sehingga semua sumber daya dapat disediakan dan
dimanfaatkan secara optimal untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif
dan efisien. Tugas manajerial ini meliputi aktivitas sebagai berikut: (1)
menyusun perencanaan sekolah; (2) mengelola program pembelajaran; (3)
mengelola kesiswaan; (4) mengelola sarana dan prasarana; (5) mengelola
personal sekolah; (6) mengelola keuangan sekolah; (7) mengelola
hubungan sekolah dan masyarakat; (8) mengelola administrasi sekolah; (9)
mengelola sistem informasi sekolah; (10) mengevaluasi program sekolah;
dan memimpin sekolah.
Selain tugas manajerial, kepala sekolah juga memiliki tugas pokok
melakukan supervisi terhadap pelaksanaan kerja guru dan staf., dengan
tujuan untuk menjamin agar guru dan staf bekerja dengan baik serta
menjaga mutu proses maupun hasil pendidikan di sekolah. Dalam tugas
supervisi ini tercakup kegiatan-kegiatan: (1) merencanakan program
supervisi; (2) melaksanakan program supervisi; dan (3) menindaklanjuti
program supervisi.
Di samping tugas manajerial dan supervisi, kepala sekolah juga
memiliki tugas kewirausahaan. Tugas kewirausahaan ini tujuannya adalah
agar sekolah memiliki sumber-sumber daya yang mampu mendukung
jalannya sekolah, khususnya dari segi finansial. Selain itu juga agar sekolah
membudayakan perilaku wirausaha di kalangan warga sekolah, khususnya
para siswa.
Selanjutnya, hasil PKKS ini bukan hanya ditunjukkan dengan
angka dan predikat saja, namun merupakan suatu refleksi bagi sekolah
khususnya kepala sekolah terhadap mutu pendidikan di sekolahnya.
Sudahkah angka-angka dan dokumen itu mewakili mutu sekolah?
Kepala sekolah pada abad 21 mendapat tantangan yang sangat
kompleks dalam memfasilitasi guru dalam melaksanakan pembelajaran
yang berkualitas, mengembangkan pengembangan diri dan karya inovasi
dan mengembangkan potensi  pserta didik menjadi generasi yang cerdas

2
dengan memiliki akhlak yang baik. Memberdayakan sistem informasi
sekolah dengan baik.
Tantangan tersebut mengarahkan kepala sekolah agar dapat 
mengembangkan kapasitas dirinya sebagai pemimpin yang visioner,
sehingga mampu menyelaraskan pelaksanaan pembelajaran dengan
kebutuhan hidup siswa dalam konteknya; menguasai materi pelajaran yang
diampunya dan menguasai prinsip umum materi pelajaran yang lainnya,
dan membangun sistem penilaian yang menantang sehingga siswa lebih
inovatif; mengembangkan kapasitas dan kapabilitas guru dalam
memfasilitasi siswa mengembangkan potensi dirinya secara optimal;
mengintegrasikan sumber daya internal dan eksternal sekolah untuk
mewujudkan keunggulan mutu lulusan secara terencana, mampu
merealisasikan strategi, memantau efektivitas pelaksanaan, dan mengukur
keberhasilan sebagai dasar untuk melaksanakan perbaikan mutu
berkelanjutan.

PKKS harus menjadi salah satu dasar dalam perbaikan mutu


sekolah dalam rangka pemenuhan mutu sesuai Standar Nasional
Pendidikan. PKKS ini harus menghasilkan evaluasi keunggulan dan
kelemahan sehingga membuahkan rekomendasi program yang akan
dilaksanakan dalam 1 tahun ke depan.

3
KESALAHAN BERBAHASA KARENA TERBIASA
Linlin Nurliani, M.Pd
Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Karangnunggal

Bahasa Indonesia selalu dianggap tidak penting, apalagi dalam


pembelajaran bahasa Indonesia. Banyak peserta didik yang bilang bahwa
pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling gampang. Tetapi
ketika proses evaluasi, nilai yang didapat selalu di bawah KKM. Mengapa
demikian?
Kita tentu saja bisa berbahasa Indonesia sekalipun tidak
mempelajari teori-teori dalam bahasa Indonesia, berbicara dengan fasih
untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa Indonesia memang bukan
bahasa internasional, tetapi kita sebagai warga negara Indonesia wajib
menggunakan bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia adalah bahasa
persatuan. Dari sinilah muncul polemik kesalahan berbahasa. Sebagai
contoh “Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih”. Banyak orang
yang berpendapat bahwa kalimat tersebut benar. Padahal ketika kita
analisis, ada kesalahan fatal di sana. Kesalahan itu adalah “perhatian-nya”,
“nya” adalah kata ganti orang ketiga sedangkan orang yang berbicara
adalah orang pertama dan yang mendengarkan adalah orang kedua, tidak
ada orang ketiga dalam forum tersebut. Kesalahan ini terjadi karena
pengaruh bahasa daerah.
Kesalahan lain yang sering terjadi adalah penggunaan kata
“sangat” dan “sekali”. Kata sangat dan sekali seharusnya tidak boleh
disatukan dalam sebuah kalimat, karena itu termasuk pleonasme
(penghamburan kata). Tetapi terkadang kita tidak menyadari mengatakan
itu, contohnya dalam kalimat “Anda sangat cantik sekali”.
Dua kesalahan tersebut hanya salah satu contoh dari sekian banyak
kesalahan berbahasa dan itu terjadi karena adanya unsur serapan dari
bahasa sunda. Jadi, kalau dalam bahasa sunda memang benar “...kana
perhatosanana...” tetapi dalam bahasa Indonesia bukan “...atas
perhatiannya...” tapi “...atas perhatian Bapak/Ibu...”, satu lagi “Anjeun
mani geulis pisan” menjadi “Anda sangat cantik sekali” padahal seharusnya
hanya pilih salah satu saja misalnya menggunakan kata “sangat’ atau
“sekali” itu yang benar.
Berbicara tentang kesalahan, memang tidak ada habisnya. Banyak
sekali bahasa yang disalah gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Entah itu
karena tidak tahu atau memang karena terbiasa. Maka dari itu, kita sebagai
4
warga negara Indonesia yang baik marilah kita belajar berbahasa Indonesia
yang baik dan benar sesuai dengan kaidah dan konteks bahasa Indonesia.
Jangan pernah ada kata cukup untuk belajar, apalagi belajar bahasa
karena bahasa itu sistem, bahasa itu lambang, bahasa itu bunyi, bahasa itu
bermakna, dan masih banyak lagi fungsi bahasa Indonesia. Bahasa yang
benar belum tentu termasuk bahasa yang baik. Jadi, pemakaian bahasa
Indonesia yang baik dan benar adalah yang disesuaikan dengan situasi dan
sasaran berdasarkan kaidah kebahasaan.

5
KEPALA SEKOLAH SEBAGAI PELOPOR PERUBAHAN

Drs. Aji Permana, M.Pd.


Kepala SMAN 1 Karangnunggal.

Perubahan tidak akan bisa dihindari dalam setiap kehidupan


manusia, sebagai individu, kelompok atau organisasi. “Allah tidak akan
merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan
mereka.” Terjemahan ayat Qur’an Surah Ar-Ra’d [13]:11 menjadi spirit
perubahan.
Menjadi kepala sekolah profesional memerlukan daya adaptasi
terhadap setiap perubahan, perubahan dalam kurikulum, kebijakan atau
aturan sehingga menyikapi perubahan tidak menimbulkan konflik baru
terhadap semua warga. Setiap perubahan senantiasa mengharap
peningkatan kinerja pegawai, kualitas siswa baik pengetahuan,
keterampilan dan sikap.
Sebagai kepala sekolah harusnya mampu menjadi pelopor dalam
manajerial, pengembangan kewirausahaan yang dapat membawa
perubahan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 19
Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 74 tahun
2008 tentang guru.
Kapala sekolah sebagai pelopor perubahan budaya mutu sekolah,
sejatinya siap memimpin dan melayani komponen sekolah, pemimpin yang
selalu berpikir mewujudkan sekolahnya sebagai sekolah maju. Kepala
sekolah yang mampu menghadirkan guru hebat dan inspiratif di kelas;
mampu dan cermat menyikapi perubahan yang terjadi, baik perubahan
dalam konteks mengatasi masalah pada masa transisi maupun melakukan
inovasi serta membuat keputusan pada proses perubahan terjadi.
Aset pemimpin yang paling penting menurut Bill Welter dan Jean
Egman (2009) dalam bukunya,”The Prepared Mind of a
Leader”(Kecakapan Berpikir Bagi Pemimpin) adalah kemampuan
mengantisipasi perubahan di lingkungan dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan itu secara cepat.

6
Menurut Wheelen, Thomas L & Hunger David
(1995) implementasi perubahan dapat dilakukan  melalui empat tahap.
Pertama menganalisis lingkungan atau  konteks perubahan. Berdasarkan
hasil analisis konteks  kepala sekolah menentukan kebutuhan
pengembangan kompetensi  peserta didik agar yang sekolah rencanakan
sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam menghadapi tantangan
kehidupan nyata pada saat ini maupun pada masa depan.
Kedua, merumuskan strategi  yang meliputi penentuan visi-misi,
tujuan, indikator, dan cara untuk mecapai tujuan.  Pada tahap ini  perencana
perlu memahami apa yang akan dikerjakan, apa tujuannya dan indikator
keberhasilan apa yang ditetapkannya. Masalah utama di sini adalah dengan
cara bagaimana mewujudkan target? Di sini akan terlihat kepala sekolah
yang memiliki cara dan strategi yang inovasi dan kreatif dalam
mewujudkan tujuan yang akan dicapai.
Ketiga, menentukan program dan anggaran, serta
melaksanakannya dengan tanggung jawab, akuntabel dan transparan. 
Keempat, menjamin bahwa pelaksanaan program memenuhi target
proses dan hasil yang telah ditentukan.
Tujuan Manajemem Perubahan adalah mengupayakan agar proses
transformasi berlangsung dalam waktu yang relatif cepat dengan kesulitan-
kesulitan yang seminimal mungkin, bersikap positif terhadap perubahan
(mengurangi resistensi), meningkatnya daya inisiatif dalam melakukan
perubahan, meningkatnya motivasi, berinsiatif dengan harapan yang tinggi.
Esensi perubahan adalah meningkatkan kesadaran yang disertai
dengan aksi pada tataran praktis agar keadaan saat ini menjadi yang lebih
baik daripada sebelumnya. Fokus utama perubahan adalah memperbaiki
keadaan sekarang serta menjamin adanya meningkatnya kinerja, perbaikan
berkelajutan, dan  pemenuhan kepuasan.
Dari pernyataan tersebut kita memperoleh gambaran bahwa
perubahan memerlukan argumen yang tepat, ketersediaan sumber daya,
keterlatihan, dan motivasi yang kuat. Oleh karena itu kepala sekolah perlu
memahami bahwa perubahan tidak hanya menyangkut masalah teknis,
namun jauh menukik pada perubahan prilaku.

7
Hasil pemikiran Dean Anderson dan Linda Anderson menegaskan
bahwa perubahan yang berhasil jika memenuhi lima kriteria, yaitu: (1)
memiliki perencanaan baru (2) mengimplementasikan rancangan baru
sebagai solusi (3) meraih target keberhasilan sesuai dengan yang
diharapkan (4) mengubah budaya organisasi sehingga mendukung
perbaikan proses secara berkelanjutan (5) kapasitas perubahan organisasi
berproses tanpa menimbulkan guncangan dengan menghasilkan pencapaian
yang terbaik.
Dengan kata lain, suatu perubahan merupakan variabel bebas untuk
perubahan di bidang yang lainnya, satu perubahan dengan perubahan yang
lainnya selalu terdapat interelasi dan interdepedensi nyata, meskipun
korelasinya mungkin tidak segera dapat dilihat.
Dilain pihak Tidak banyak orang yang suka akan perubahan,
namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi.
Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen
perubahan kepala sekolah agar proses dan dampak dari perubahan tersebut
mengarah pada titik positif.

8
EKPEKTASI MERAIH MIMPI DI PERGURUAN TINGGI
Encep Nurkholis, M.Pd
Guru Matematika SMAN 1 Karangnunggal

Kita lupakan sejenak urusan pilpres dan segala kepentingannya.


Kini, saatnya kita mencermati perjuangan anak-anak bangsa yang tengah
berjuang masuk ke perguruan tinggi. Sebagaimana diketahui bersama
setidaknya ada tiga pintu masuk menuju PTN. Yakni, SNMPTN,
SBMPTN, dan jalur Mandiri. Masuk UIN se-Indonesia menggunakan
istilah SPANPTKIN. Sedangkan untuk masuk ke politeknik sekarang
dikenal dengan PMDKPN dan jalur tulis, untuk masuk poltekes dikenal
dengan istilah PMDP dan jalur tulis. Selain perguruan tinggi negeri,
kedinasan, politeknik, poltekes, siswa pun mempunyai kesempatan di
perguruan tinggi swasta.
Kuota perguruan tinggi yang belum mampu menampung
banyaknya siswa pendaftar menjadi masalah yang menjadikan angka
partisipasi kasar pendidikan tinggi di Jawa barat masih dibawah APK
nasional. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah provinsi untuk
meningkatkan APK, diantaranya dengan menjadikan perguruan tinggi
swasta menjadi perguruan tinggi negeri.
Kesadaran masyarakat terutama di daerah, masih sangat kurang
dalam menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Jarak yang jauh, biaya
kuliah yang tinggi menjadi alasan yang digunakan orang tua. Apalagi
masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan ekonomi yang lemah.
Program bidik misi yang telah digulirkan oleh pemerintah belum dapat
dipahami oleh masyarakat secara utuh.
Sosialisasi dari pemerintah di tingkat desa, kecamatan menjadi
sangat penting dalam memberitahukan program-program pendidikan.
Sekolah sebagai orang tua kedua mempunyai peranan yang sangat besar
dalam memotivasi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
berikutnya. Rapat orang tua melalui komite sekolah menjadi salah satu
sarana untuk mensosialisasikan mengenai perguruan tinggi.

9
Peranan guru, terutama guru BK menjadi sangat dibutuhkan dalam
mendata siswa yang mempunyai kesempatan dan memberikan peluang bagi
siswa di sekolahnya. Sekolah dalam hal ini guru, seharusnya mampu
mengarahkan dan memetakan siswa untuk masuk ke perguruan tinggi, baik
siswa reguler atau bidik misi.
Untuk lolos SNMPTN, siswa harus memperhatikan rekam jejak
alumni di universitas tersebut dengan memilih jurusan dengan peluang
terbesar berdasarkan nilai rapor yang dimilikinya. SNMPTN hendaknya
tidak dijadikan satu-satunya pintu masuk perguruan tinggi, siswa harus
mempersipkan rencana sebanyak-banyaknya dari kesempatan yang ada.
Apalagi jatah yang bisa ikut SNMPTN dari sekolah yang terakreditasi A
saja hanya 40%, ini artinya semua siswa tetap harus mempersiapkan
SBMPTN atau ujian mandiri dengan belajar maksimal. Selain itu, siswa
mendaftarkan diri ke politeknik, poltekes atau sekolah kedinasan yang
sesuai dengan minatnya.
Jika siswa terlalu yakin dengan mengandalkan 1 pilihan, misalkan
SNMPTN saja, maka apabila tidak lolos, persiapan untuk daftar jalur lain
(jalur tulis) akan kurang dalam persiapannya. Dengan persiapan tes yang
relatif singkat, dikhawatirkan hasilnya tidak akan maksimal.
Harapan untuk lolos perguruan tinggi merupakan harapan setiap
siswa yang akan melanjutkan pendidikan sesuai dengan minatnya, namun
kenyataannya masuk perguruan tinggi tidak semudah seperti yang
diinginkan. Usaha siswa untuk menggapai harapan, harus didukung
komponen lain yang ikut menjembatani ekspektasi mereka. Ketersediaan
kuota perguruan tinggi, arahan guru di sekolah, kualitas sekolah, biaya dan
dorongan dari orang tua serta peran aktif pemerintah agar ekspektasi
mereka menjadi realita.

10
PARADIGMA PEMERATAAN PENDIDIKAN DENGAN
SISTEM ZONASI
Linlin Nurliani, M.Pd
Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Karangnunggal

Sudah tidak asing lagi di telinga kita, ketika menyebutkan


nama sekolah favorit di sebuah kabupaten atau kota, yakni nama-nama
sekolah yang sudah dilabeli sebagai sekolah dengan peserta didik
terbaik, dengan nilai ujian nasional yang tinggi, dan lulusan yang
banyak diterima di perguruan tinggi negeri. Staf pengajar yang
memberikan materi pelajaran pun tidak akan pernah merasa kesulitan
dalam mengajar, karena peserta didik sudah siap menerima materi.
Kondisi inilah yang mendorong orang tua peserta didik untuk
berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah favorit,
walaupun harus mengeluarkan biaya yang mahal. Fenomena ini tentu
tidak berlaku bagi sekolah non unggulan dan sekolah yang terletak di
pinggiran kota/kabupaten dengan segala keterbatasan. Sekolah hanya
bisa menunggu limpahan peserta didik yang tidak diterima di sekolah
favorit dan atau diisi oleh peserta didik dengan nilai ujian rendah.
Hal ini, diantisipasi oleh pemerintah pusat melalui
permendikbud nomor 51 tahun 2018 dan SE bersama mendikbud dan
mendagri nomor 1 tahun 2018 dan nomor 420/29973/Sj tentang
Penerimaan Peserta Didik Baru. Kedua dasar hukum itu menyebutkan
bahwa sistem penerimaan terbagi menjadi tiga jalur, zonasi, prestasi
dan perpindahan orang tua. Khususnya di Jawa barat, melalui pergub
no. 16 tahun 2019 tentang pedoman pelaksanaan penerimaan peserta
didik baru, menyebutkan bahwa kuota PPDB dengan ketentuan: a.
jalur zonasi, sebesar 90% meliputi zonasi jarak, zonasi KETM, dan
zonasi kombinasi; b. jalur prestasi NHUN dan prestasi non NHUN,
sebesar 5%); c. jalur perpindahan tugas orang tua/wali, sebesar 5%.
Payung hukum ini dibuat dengan tujuan agar seluruh sekolah
mendapatkan kesempatan sama dalam hal menerima peserta didik
dengan kompetensi yang beragam, guru di sekolah mendapatkan
tantangan yang sama dalam mengelola kompetensi peserta didik yang

11
beragam, dan sekolah 'bermutu' dapat dilihat secara objektif melalui
inputan yang heterogen dan lulusan yang memiliki nilai yang baik.
Ada beberapa perbedaan yang signifikan jalur PPDB yang
dibuat dengan tahun lalu. Hal ini tentu memicu opini dan pemahaman
yang berbeda, baik di lingkungan sekolah atau masyarakat yang akan
mendaftarkan anak-anaknya. Sosialisasi tentu menjadi solusi untuk
menjelaskan kepada masyarakat guna menghindari kesalahpahaman
aturan PPDB yang berlaku.
Penerapan sistem zonasi menuntut panitia pada setiap satuan
pendidikan untuk lebih berhati-hati dalam memverifikasi data
pendaftar terutama bagi sekolah-sekolah yang memiliki pendaftar
yang melebihi daya tampung sekolah. Begitupun dengan calon
pendaftar harus cerdas memilih sekolah tujuan dan jalur yang akan
diambil. Salah satu akibat dari sistem zonasi ini, sekolah yang dikenal
masyarakat sebagai sekolah favorit memungkinkan diisi oleh calon
pendaftar dengan nilai ujian yang rendah, sedangkan untuk sekolah-
sekolah yang tidak diunggulkan atau sekolah-sekolah yang ada di
daerah mendapat kesempatan untuk memperoleh calon pendaftar
dengan nilai ujian yang tinggi.
Terlepas dari problematika yang sedang berlangsung dan
kegelisahan orang tua menunggu hasil seleksi PPDB, aturan ini dapat
dijadikan motivasi bagi masing-masing satuan pendidikan khususnya
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan layanan
kegiatan pembelajaran yang bermutu. Sehingga memberikan
kepercayaan kepada masyarakat bahwa sekolah tersebut dapat sejajar
dengan sekolah favorit.

12
ESENSI PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM MASA
PANDEMI DI SEKOLAH

Ridwan Priatna, S.Pd


Guru Ekonomi SMAN 1 Karangnunggal

Dampak dari merebaknya pandemi Covid-19 saat ini amat terasa di


banyak negara begitupun di Indonesia, hampir di seluruh provinsi
mengalami perubahan yang cukup signifikan disebabkan wabah ini. Salah
satu aspek yang terdampak ialah kegiatan perekonomian, Menteri
Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati pun menyebutkan bahwa terdapat
empat sektor yang paling tertekan akibat wabah virus corona atau Covid-19
yaitu rumah tangga, UMKM, korporasi, dan sektor keuangan. Pertumbuhan
ekonomi pun diprediksi akan mengalami kontraksi (republika.co.id).

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku


mengharuskan aktivitas warga dilakukan dari rumah atau secara daring, hal
ini tentunya membuat tingkat daya beli masyarakat menurun drastis karena
mayoritas kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup dilakukan secara
konvensional terutama bagi keluarga miskin dan rentan yang bekerja di
sektor informal. Akan tetapi, jika pada saatnya PSBB dilonggarkan oleh
pemerintah hal ini dapat dilihat sebagai suatu peluang bagi masyarakat
khususnya anak muda termasuk pelajar untuk berwirausaha.
Mendikbud juga mengatakan bahwa pandemi Covid-19 justru
memberikan potensi akselerasi kebijakan Pendidikan. Pandemi ini telah
membuat guru, orangtua, dan siswa keluar dari zona nyaman masing-
masing. Kondisi ini melatih karakter adaptif, inovatif, dan kreatif dari
komunitas pendidikan.
Sekolah yang merupkana bagian dari komunitas Pendidikan,
hendaknya menyiapkan peserta didik yang mampu mengisi tantangan di
tengah pandemic, selain belajar dengan daring juga harus disiapkan dengan
pengembangan diri dengan membekali keterampilan vokasional yang
diharapkan menjadi bekal dalam kehidupan.

13
Guru tak akan mungkin bisa digantikan teknologi. Teknologi
menjadi alat bantu bagi guru untuk meningkatkan potensi mereka dan
mencari guru-guru penggerak terbaik, serta memastikan guru bisa menjadi
pemimpin-pemimpin pembelajaran di sekolah di masa pandemi. Guru dan
peserta didik harus sama-sama mampu keluar dari zona nyaman untuk
menciptakan kualitas pembelajaran yang menekankan pada teori saja,
namun mampu menerapkan ide-ide kreatif yang menciptakan paradigma
pemikiran yang mampu mengatasi masalah dengan solusi inovatif.
Alangkah dewasanya apabila masyarakat mampu melihat
masalah ini semua dengan bijak, bisa menjawab tantangan, serta
tangguh menghadapi semua ancaman. Salah satu cara yang dirasa
cukup ampuh adalah menumbuhkan dan menguatkan jiwa
wirausaha (entrepreneurship) terutama dikalangan milineal.
Diharapkan dengan menguatnya pemikiran serta tindakan
kewirausahaan yang semakin masif, masyarakat dapat hidup
mandiri dan bertahan sekalipun ditengah situasi sulit seperti saat
ini. Entrepreneurship memiliki dampak positif bagi suatu
perekonomian dan masyarakat. Inovasi merupakan alasan kedua
yang memberikan dampak positif bagi kekuatan ekonomi dan
masyarakat di tengah wacana “era norma baru”. Inovasi berkaitan
dengan proses menciptakan sesuatu yang baru dan membantu
individu untuk bekerja secara lebih efektif dan efisien.
Pendidikan kewirausahaan bertujuan untuk membentuk manusia
secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman
dan keterampilan sebagai wirausaha. Pada dasarnya, pendidikan
kewirausahaan dapat diimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan-
kegiatan pendidikan di sekolah. Pelaksanaan pendidikan kewirausahaan
dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik
secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidikan. Pendidikan
kewirausahaan diterapkan ke dalam kurikulum dengan cara
mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan di sekolah yang dapat merealisasikan
pendidikan kewirausahaan dan direalisasikan peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari.

14
Masa krisis bukanlah sebuah alasan bagi anak muda
khsuusnya peserta didik untuk bersemangat membangun sebuah
wirausaha. Melainkan masa krisis justru membuat kita ditantang
untuk berinovasi serta berkreativitas sebaik mungkin,
memanfaatkan teknologi digital dan tentunya memaksimalkan
peluang yang ada di depan mata. Peluang yang dimaksud di sini
ialah peluang yang muncul saat dan setelah krisis, hal ini dapat
dimanfaatkan sebagai ide awal untuk membuka dan menciptakan
peluang usaha. Sebagai contoh dengan berjualan online melalui
media social dengan bahan dan produk yang berasal dari
lingkungan sekitar.
Penyederhanaan kurikulum dari kemendikbud haruslah
mendorong para guru agar dapat memilih materi atau metode pembelajaran
dengan kualitas tinggi, yang disesuaikan dengan kompetensi, minat, dan
bakat masing-masing peserta didik. Selain itu sekolah harus mampu
membuat proses pembelajaran baik berupa tugas atau materi mendorong
siswa untuk lebih kreatif berada di rumah dengan berbagai produk yang
ditugaskan, sehingga tugas tersebut bukan hanya untuk pemenuhan
pembelajaran saja, namun memberikan dampak positif bagi siswa untuk
terus mencoba hal-hal baru dengan keleluasan waktu. Pentingnya
Pendidikan kewirausahaan di sekolah, menjadi tanggungjawab semua
warga sekolah dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas yang
berorientasi lulusan yang inovatif, kreatif dan mampu menghadapi
tantangan dan perubahan. Semoga pandemic ini cepat berlalu dan kita
mampu memetic hikmahnya.

15
Penggunaan Model CTL ( Contekstual Teaching and Learning )
pada Materi Laju Reaksi untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
di Kelas XI SMAN 1 Karangnunggal

Dra. Dede Rohayah


Guru Kimia SMAN 1 Karangnunggal

Abstrak
Belajar kimia dengan hanya membaca ternyata membuat siswa
menjadi lekas jenuh, tetapi kalau sebelumnya dirangsang dengan berbagai
pertanyaan yang berkaitan dengan fenomena yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari diharapkan siswa akan termotivasi untuk mempelajari lebih
lanjut. Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
efektifitas penggunaan model CTL (Contextual Teaching and Learning)
dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Laju Reaksi di kelas
XI IPA 7 SMAN 1 Karangnunggal. Metode penelitian yang dipakai adalah
penelitian tindakan kelas dengan menggunakan data nilai hasil pre test dan
post test. Dari data yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan hasil
belajar pada 76% siswa di putaran pertama dan peningkatan hasil belajar
pada 84% siswa di putaran ke dua. Hal ini menunjukan bahwa dengan
menggunakan model CTL (Contextual Teaching and Learning) siswa
dibawa ke dunia nyata dimana materi pelajaran Laju Reaksi diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan model CTL (Contextual
Teaching and Learning) membuat siswa termotivasi untuk mempelajari
materi lebih dalam dan berefek pada peningkatan hasil belajarnya.

A. Pendahuluan
Pemilihan model pembelajaran memegang peranan penting dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar. Penggunaan model harus pula
disesuaikan dengan materi pelajaran yang akan dibahas dalam suatu kelas.
Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan memperoleh hasil yang
memuaskan dilihat dari hasil belajar siswa. Judul penelitian ini adalah
“Penggunaan Model CTL ( Contekstual Teaching And Learning ) pada

16
Materi Laju Reaksi untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa di Kelas XI
IPA 7 SMAN 1 Karangnunggal.
Beberapa teori yang membahas tentang CTL (Contextual Teaching
and Learning) diantaranya adalah yang dikemukakan oleh Elaine B
Johnson menurutnya :
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi
pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Strategi
pembelajaran kontekstual merupakan strategi pembelajaran yang tepat
untuk membantu menciptakan yang lebih nyata dan bermakna.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas dari
penggunaan model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning)
dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi laju reaksi di kelas XI
IPA 7 SMAN 1 Karangnunggal.
Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning)
memerlukan persiapan yang baik. Guru harus benar-benar menguasai
materi secara konprehensif. Mengajar menggunakan CTL(Contextual
Teaching and Learning) pada materi Laju Reaksi meningkatkan semangat
belajar siswa yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa
secara signifikan.

B. Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
tindakan kelas(PTK) yang didasarkan atas 4 konsep yaitu perencanaan
(planning). Tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi
(reflection). Jumlah siswa yang dijadikan objek penelitian ada 36 siswa
terdiri dari 23 orang perempuan dan 13 orang laki-laki. Sebelum dimulai
pembelajaran siswa kelas XI IPA7 diberikan pre test yang berisi 5 soal
terkait materi laju reaksi. Kemudian diadakan Tanya jawab tentang
fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang terkait dengan
materi laju reaksi. Setelah mendapatkan fakta dari beberapa fenomena

17
tersebut baru siswa dikelompokkan menjadi 9 kelompok yang masing-
masing beranggotakan 4 orang siswa. Kepada setiap kelompok diberikan
tugas untuk menelaah dan mengisi lembar kerja siswa yang telah
disediakan oleh guru. Lembar kerja tersebut berupa sebuah tabel yang
terdiri dari kolom No, Fenomena, Keterangan. Setiap kelompok diminta
mengisi kolom fenomena dengan fenomena yang terjadi di kehidupan
sehari-hari dan dikolom keterangan diisi penyebab dari terjadinya
fenomena tersebut yang ada kaitannya dengan materi laju reaksi. Siswa
diberi kebebasan untuk mencari sumber bacaan. Pada pertemuan
berikutnya setiapkelompok melakukan praktikum factor-faktor yang
mempengaruhi laju reaksi di laboratorium. Pada pertemuan berikutnya
diadakan post test.
Data hasil pre test dan post test dianalisis untuk hal-hal berikut :
1. Perhitungan persentase pengelolaan pembelajaran oleh
guru (≥75% = berhasil).
Rumus yang digunakan :

%= 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑥 100%


𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚

2. Perhitungan persentase keaktifan siswa (60%-75% = baik ;


>75% = sangat baik)

%= 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑥 100%.


𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚

3. Ketuntasan belajar klasikal (≥75% = tuntas).


Rumus yang digunakan :

%= 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑡𝑢𝑛𝑡𝑎𝑠 𝑥 100%


𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑎𝑡𝑖

18
C. Hasil dan Diskusi
Setelah dianalisis diperoleh data :

Siklus 1 Siklus 2
N
Data Pre Post Pre Post
o
Test Test Test Test
1. Rata-rata skor nilai 44,20 64,60 51,00 72,00
Jumlah siswa yang
2. 10 19 18 31
tuntas
3. Ketuntasan belajar (%) 28 78 50 86

Dari tabel di atas dapat dilihat rata-rata skor nilai pada siklus ke
satu dari nilai pre test ke nilai post test mengalami kenaikan sebesar 20,4
poin. Dan pada siklus ke dua dari nilai pre test ke nilai post test mengalami
kenaikan sebesar 21,0 poin. Kalau dilihat secara keseluruhan kenaikannya
dapat dihitung dari nilai pre tes siklus ke satu ke nilai post test siklus ke dua
yaitu sebesar 25,8 poin.
Dilihat dari jumlah siswa yang tuntas belajar mengalami kenaikkan
dari 28% menjadi 86% suatu kenaikkan yang sangat signifikan.

D. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran CTL(Contextual
Teaching and Learning) pada materi laju reaksi dapat meningkatkan hasil
belajar siswa kelas XI IPA 7 di SMAN 1 Karangnunggal. Dengan syarat
guru yang akan menggunakan model CTL (Contextual Teaching and
Learning) harus mempersiaokan segala sesuatunya dengan sempurna agar
hasilnya dapat memuaskan.

E. Ucapan Terimakasih

19
Terimakasih yang sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada
keluarga besar SMAN 1 Karangnunggal yang telah memberikan
keleluasaan waktu dan tempat dalam pelaksanaan penelitian ini
Daftar Pustaka
Aqib, Zainal (2013). Model-model, Media dan Strategi Pembelajaran
Kontekstual( Inovatif), Bandung, Yrama Widya.
Johnson , Elaine B (2008) Contextual Teaching and Learning,
Bandung,MLC.
Rusnan (2012) Model-model Pembelajaran, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.

20
PKG SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
DI MASA PANDEMI

Ridwan Priatna, S.Pd


Guru ekonomi SMAN 1 Karangnunggal

Penilaian Kinerja Guru atau lebih kenal dengan istilah PKG


merupakan salah satu bagian tak terpisahkan dari rentetan program
pemerintah dalam upaya mengevaluasi kinerja guru. Berdasarkan Peraturan
Menteri Negara RB dan PAN Nomor 16 Tahun 2009, Penilaian Kinerja
Guru adalah evaluasi yang dilaksanakan setiap poin dari aktivitas
kewajiban utama guru dengan tujuan bimbingan kepangkatan, karir dan
jabatan.
Implementasi kewajiban utama guru saling berkaitan erat dengan
kapabilitas guru dalam memahami dan mempraktikan kompetensinya.
Pemahaman dan praktik kompetensi sangat berpengaruh dengan
kesuksesan dan kualitas dari aktivitas bimbingan, pembelajaran dan
implementasi pada peserta didik yang dilakukan di Sekolah.
Oleh sebab itu terdapat upaya untuk memperbaharui sistem kinerja
guru. Sistem penilaian kinerja guru merupakan manajemen kinerja yang
berfokus pada guru yang dirancang untuk menilai level kinerja guru secara
kelompok maupun individu. Ini merupakan upaya yang lebih besar untuk
menjadikan kinerja sekolah menjadi optimal dan bisa berefek pada kualitas
peserta didik yang lebih baik. Jadi Kompetensi yang biasanya dinilai dalam
kinerja guru ada empat elemen yakni, kompetensi professional,
kepribadian, sosial dan paedagogik.
Tujuan dan fungsi PKG adalah memastikan level kompetensi dari
guru; menambah efektivitas dan efisiensi tugas seorang guru; menampilkan
dasar yang akurat untuk menentukan sistem keefektifan dari kinerja guru;
memberikan dasar untuk program peningkatan profesi yang berjenjang
untuk guru; membantu guru agar mampu melakukan tugas dan
kewajibannya serta menjaga perilaku yang positif, dengan tujuan agar
peserta didik mampu meraih kualitas yang maksimal; memberikan

21
kepastian guru tentang peningkatan karir dan naik jabatan sebagai
penghargaan untuk guru yang berkinerja baik.
Dengan adanya penilaian kinerja guru ini keprofesian dan
kompetensi guru akan bisa berkembang ke level yang lebih baik, sebab
guru merupakan pelaksana kegiatan pendidikan yang membuat peserta
didik pintar dan berkualitas.
Hasil dari PKG adalah dasar untuk sekolah dalam memutuskan
peningkatan promosi dan karir guru. Sementara untuk guru, PKG menjadi
panduan untuk memahami elemen apa saja yang bisa membuat
kapabilitasnya menjadi lebih berkembang, mengetahui keunggulan dan
kelemahan dirinya sehingga bisa dievaluasi sedini mungkin.
Dalam masa pandemi saat ini, pelaksanaan PKG akan sangat
berbeda, karena peserta didik tidak berada di dalam kelas untuk tatap muka
langsung dengan guru. Sehingga PKG tahun ini membutuhkan persiapan
yang lebih baik karena PKG pada Pembelajaran Jarak Jauh membutuhkan
pengetahuan baru dalam cara penyampaian materi dan penilaian dalam
proses belajar mengajar.
Guru harus menguasai bagaimana cara menyampaikan materi
secara daring, dengan menggunakan berbagai macam platform yang bisa
digunakan secara gratis atau berbayar. Dengan menggunakan aplikasi
berbasis daring dibantu dengan Learning Management Sistem (LMS)
proses PKG akan menjadi hal baru yang akan menuntut guru untuk terus
meningkatkan kompetensi dalam berbagai kondisi.
Guru harus menyiapkan pembelajaran mulai dari perencanaan, bahan ajar,
evaluasi dan hal lain dalam proses pembelajaran yang dilakukan secara
daring. Tentu hal ini tidak semua guru siap dengan kondisi seperti ini,
namun dalam PKG ini tentu guru dituntut mampu melakukan ini dengan
baik. Hal ini akan menjadikan mutu Pendidikan akan berubah menjadi
lebih baik dari segi peningkatan kualitas guru. Semoga kegiatan PKG ini
bukan hanya kegiatan rutinitas dan formalitas saja, tapi benar benar
dilaksanakan dalam rangka peningkatan mutu Pendidikan di sekolah untuk
menghasilkan kualitas peserta didik yang berkualitas.

22
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK DENGAN MEDIA
VIDEO UNTUK PEMBELAJARAN FISIKA DI SMA

Elin Marlina, S.Pd


Guru Fisika SMAN 1 Karangnunggal

A. PENDAHULUAN
a) Latar Belakang
Mata pelajaran fisika merupakan mata pelajaran yang banyak
tidak disukai peserta didik, berbagai alasan bisa dikemukakan peserta didik,
salah satunya ‘fisika itu susah dipahami’. Pelajaran fisika bisa dibilang
paling sulit diantara pelajaran - pelajaran eksakta lainnya.
Fisika seharusnya dapat menjadi ilmu yang sangat penting untuk
dipelajari. Banyak aplikasi kehidupan sehari-hari yang bisa diterapkan dari
Fisika. Namun, rendahnya minat peserta didik terhadap pelajaran ini,
membuat Fisika jarang diminati. Kesulitan memahami Fisika dikarenakan
keadaan pengajar guru Fisika yang kurang berkompeten. Apapun alasan
peserta didik tidak menyukai fisika karena banyak peserta didik yang
menganggap fisika banyak rumus dan teorinya susah untuk dipahami, akan
tetapi fisika merupakan mata pelajaran wajib diikuti.
Perkembangan teknologi dan informasi sudah semakin pesat dan
akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Perkembangan teknologi tersebut berdampak langsung pada pelaksanaan
pendidikan di Indonesia, dimana perkembangan teknologi ini menuntut
guru untuk dapat menguasai teknologi dalam proses belajar mengajar.
Akan tetapi masih banyak guru yang kurang memanfaatkan perkembangan
teknologi sebagai media pembelajaran fisika. Padahal, pembelajaran fisika
membutuhkan sebuah media pembelajaran yang dapat menarik minat
belajar peserta didik untuk dapat menyukai pelajaran tersebut. Kemudian
dibuatlah sebuah model pembelajaran berbasis proyek dengan media
berupa power point dan video. Selain itu dalam Power Point ini juga
menampilkan beberapa video kejadian sehari – hari yang berhubungan
dengan konsep fisika, dimana video ini bertujuan membuat peserta didik

23
berpikir bahwa fenomena fisika ternyata dapat ditemukan dimana saja dan
siswa pun tertarik untuk mempelajari fisika.
b) Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa minat peserta didik rendah terhadap mata pelajaran
fisika?
2. Apakah model pembelajaran dan media pembelajaran yang
digunakan guru kurang bervariasi?
3. Apakah model pembelajaran berbasis proyek dengan media Power
Point dan video yang sedang dikembangkan layak untuk kelas XI
SMAN 1 Karangnunggal pada Fluida Statik Hukum Pascal?
c) Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah
untuk:
1. Mendeskripsikan minat peserta didik rendah terhadap mata
pelajaran fisika.
2. Mendeskripsikan model pembelajaran dan media pembelajaran
yang digunakan guru kurang bervariasi.
3. Mendeskripsikan model pembelajaran berbasis proyek dengan
media PowerPoint dan video yang sedang dikembangkan layak
untuk kelas XI SMAN 1 Karangnunggal pada Fluida Statik Hukum
Pascal.
d) Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi penulis
Penelitan ini memberikan sebuah alternatif metode pembelajaran
yang diharapkan dapat dipraktikkan oleh para praktisi pendidikan
khususnya bagi penulis sebagai seorang guru bidang studi fisika.
Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan
penulis dalam menggunakan media power point dan video sebagai
media pembelajaran.
2. Bagi peserta didik

24
Peserta didik akan lebih menyukai pelajaran fisika karena dapat
memberikan pemahaman konsep fisika dalam kehidupan sehari-
hari
B. TINJAUAN PUSTAKA
a) Model Project Based Learning
Model Project Based Learning (Model Pembelajaran Berbasis
Proyek) adalah model pembelajaran yang memberikan kesempatan
kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan
melibatkan kerja proyek. Kerja proyek memuat tugas-tugas yang
kompleks berdasarkan permasalahan (problem) yang diberikan kepada
peserta didik sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya
dalam beraktivitas secara nyata, dan menuntut peserta didik untuk
melakukan kegiatan merancang, melakukan kegiatan investigasi atau
penyelidikan, memecahkan masalah, membuat keputusan, serta
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja secara
mandiri maupun kelompok (kolaboratif).
Hasil akhir dari kerja proyek tersebut adalah suatu produk
yang antara lain berupa laporan tertulis atau lisan, presentasi atau
rekomendasi.
Penilaian tugas proyek dilakukan dari proses perencanaan,
pengerjaan tugas proyek sampai hasil akhir proyek.
Belajar berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah
model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan
belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks (CORD,
2001; Thomas, Mergendoller, & Michaelson, 1999; Moss & Van-
Duzer, 1998).
Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsip-
prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan pelajar dalam
investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna
yang lain, memberi kesempatan pelajar bekerja secara otonom
mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya
menghasilkan produk nyata (Thomas, 2000).

25
Belajar berbasis proyek biasanya memerlukan beberapa
tahapan dan beberapa durasi, tidak sekedar merupakan rangkaian
pertemuan kelas serta belajar kelompok kolaboratif. Proyek
memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk kerja
(performance), yang secara umum pelajar melakukan kegiatan:
mengorganisasi kegiatan belajar kelompok mereka, melakukan
pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis
informasi. Proyek seringkali bersifat interdisipliner.
b) Model Sistem
Dalam pembelajaran berbasis proyek (PBP), peserta didik
diberikan tugas dengan mengembangkan tema/topik dalam
pembelajaran dengan melakukan kegiatan proyek yang realistik.
Dengan demikian diharapkan, penerapan pembelajaran berbasis
proyek ini dapat mendorong tumbuhnya kreativitas, kemandirian,
tanggung jawab, kepercayaan diri, serta berpikir kritis dan analitis
pada peserta didik.
Secara umum, langkah-langkah Pembelajaran berbasis proyek
(PBP) dapat dijelaskan sebagai berikut :

Perancangan
Penentua langkah-langkah Penyusunan
n proyek penyelesaian jadwal
proyek pelaksanaan
proyek

Evaluasi Penyusunan Penyelesaian


proses dan laporan dan proyek dengan
hasil presentasi/ fasilitasi dan
proyek publikasi hasil monitoring guru
proyek

26
Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki potensi yang amat
besar untuk membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan
bermakna untuk peserta didik usia dewasa, seperti peserta didik,
apakah mereka sedang belajar di perguruan tinggi maupun pelatihan
transisional untuk memasuki lapangan kerja (Gaer, 1998).
Di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, peserta didik
menjadi terdorong lebih aktif di dalam belajar mereka, instruktur
berposisi di belakang dan peserta didik berinisiatif, instruktur memberi
kemudahan dan mengevaluasi proyek baik kebermaknaannya maupun
penerapannya untuk kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang
dibuat peserta didik selama proyek memberikan hasil yang secara
otentik dapat diukur oleh guru atau instruktur di dalam
pembelajarannya.
Oleh karena itu, di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, guru
atau instruktur tidak lebih aktif dan melatih secara langsung, akan
tetapi instruktur menjadi pendamping, fasilitator, dan memahami
pikiran pembelajar. Proyek peserta didik dapat disiapkan dalam
kolaborasi dengan instruktur tunggal atau instruktur ganda, sedangkan
peserta didik belajar di dalam kelompok kolaboratif antara 4 - 5 orang.
Ketika peserta didik bekerja di dalam tim, mereka menemukan
keterampilan merencanakan, mengorganisasi, negosiasi, dan membuat
konsensus tentang isu-isu tugas yang akan dikerjakan, siapa yang
bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan bagaimana informasi akan
dikumpulkan dan disajikan.
Keterampilan-keterampilan yang telah diidentifikasi oleh
peserta didik ini merupakan keterampilan yang amat penting untuk
keberhasilan hidupnya, dan sebagai tenaga kerja merupakan
keterampilan yang amat penting di tempat kerja. Karena hakikat kerja
proyek adalah kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut
berlangsung di antara peserta didik. Di dalam kerja kelompok suatu
proyek, kekuatan individu dan cara belajar yang diacu memperkuat
kerja tim sebagai suatu keseluruhan.

27
Seperti didefinisikan oleh Buck Institute for Education (1999),
bahwa belajar berbasis proyek memiliki karakteristik:
(a) Pelajar membuat keputusan, dan membuat kerangka kerja
(b) Terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan
sebelumnya
(c) Pelajar merancang proses untuk mencapai hasil
(d) Pelajar bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola
informasi yang dikumpulkan
(e) Melakukan evaluasi secara kontinu
(f) Pelajar secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan
(g) Hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya
(i) Kelas memiliki atmosfer yang memberi toleransi kesalahan dan
perubahan.
Oakey (1998) mempertegas konsep dan karakteristik project-
based learning dengan membedakannya dengan problem based
learning yang seringkali saling dipertukarkan dalam penggunaan
istilah ini. Istilah project-based learning dan problem-based larning
masing-masing digunakan untuk menyatakan strategi pembelajaran.
Kemiripan konsep kedua pendekatan pembelajaran itu, dan
penggunaan singkatan yang sama, PBL, menghasilkan kerancuan di
dalam leteratur dan penelitian (lihat juga Thomas, 2000), meskipun
sebenarnya di antara keduanya berbeda.
c) Pemanfaatan dan pengelolaan
Pemanfaatan model pembelajaran berbasis proyek (Project
Based Learning) ini adalah :
(1) Peserta didik menjadi pelajar aktif;
(2) Pembelajaran menjadi lebih interaktif atau multi arah
(3) Pembelajaran menjadi student centred)
(4) Guru berperan sebagai fasilitator
(5) Mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik
(6) Memberikan kesempatan peserta didik memanajemen sendiri
kegiatan atau aktivitas penyelesaian tugas sehingga melatih mereka
menjadi mandiri

28
(7) Dapat memberikan pemahaman konsep atau pengetahuan secara
lebih mendalam kepada peserta didik
Manfaat dari penelitian ini adalah model pembelajaran
berbasis proyek untuk mata pelajaran fisika jenjang SMA secara
umum adalah melalui pengembangan model pembelajaran berbasis
proyek diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Secara khusus manfaat pengembangan model ini adalah:
a. Untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
Motivasi peserta didik dalam membuat laporan-laporan
tertulis tentang proyek tersebut, banyak yang mengatakan bahwa
siswa seringkali sangat tekun, bahkan sampai melewati batas
waktu, berusaha keras dalam mencapai proyek. Guru juga
melaporkan pengembangan dalam kehadiran dan berkurangnya
keterlambatan. Peserta didik melaporkan bahwa belajar dalam
proyek lebih fun daripada menggunakan model pembelajaran
yang lain.
b. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
Penelitian pada pengembangan keterampilan kognitif
tingkat tinggi peserta didik menekankan perlunya bagi peserta
didik untuk terlibat di dalam tugastugas pemecahan masalah dan
perlunya untuk pembelajaran khusus pada bagaimana
menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber yang
mendiskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek membuat
peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan
problemproblem yang kompleks.
c. Meningkatkan kecakapan kolaboratif.
Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan
peserta didik mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan
komunikasi (Johnson & Johnson, 1989). Kelompok kerja
kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran informasi online adalah
aspek-aspek kolaboratif dari sebuah proyek. Teoriteori kognitif
yang baru dan konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah

29
fenomena sosial, dan bahwa peserta didik akan belajar lebih di
dalam lingkungan kolaboratif (Vygotsky, 1978; Davydov, 1995).
d. Meningkatkan keterampilan mengelola sumber.
Bagian dari menjadi peserta didik yang independen
adalah bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang
kompleks. Pembelajaran Berbasis Proyek yang
diimplementasikan secara baik memberikan kepada peserta didik
pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan
membuat alokasi waktu dan sumbersumber lain seperti
perlengkapan untuk menyelesaikantugas. Ketika peserta didik
bekerja di dalam tim, mereka menemukan keterampilan
merencanakan, mengorganisasi, negosiasi, dan membuat
konsensus tentang isu-isu tugas yang akan dikerjakan, siapa yang
bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan bagaimana informasi
akan dikumpulkan dan disajikan. Keterampilan-keterampilan
yang telah diidentifikasi oleh peserta didik ini merupakan
keterampilan yang amat penting untuk keberhasilan hidupnya,
dan sebagai tenaga kerja merupakan keterampilan yang amat
penting di tempat kerja kelak. Karena hakikat kerja proyek adalah
kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut
berlangsung di antara siswa. Di dalam kerja kelompok suatu
proyek, kekuatan individu dan cara belajar yang diacu
memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan.
C. PEMBAHASAN
a) Hasil Penelitian
1. Gender
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin di kelas
XI IPA SMAN 1 Karangnunggal adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin

Gender Jumlah
L 8

30
P 28

Gambar 1. Grafik Jumlah Responden


Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa jumlah
responden di kelas XI IPA SMA adalah 33% siswa laki-laki dan
67% siswa perempuan.
2. Analisis butir pertanyaan
Berdasarkan hasil penyebaran instrumen pembelajaran
berbasis proyek diperoleh rekapitulasi jawaban peserta didik kelas
XI SMAN 1 Karangnunggal adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Grafik Jawaban responden

31
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa sebagian
besar peserta didik (30 peserta didik) menyatakan bahwa guru
menggunakan metode bervariasi dalam mengajar. Dalam
penggunaan metode pembelajaran berbasis proyek ada 6 peserta
didik yang menyatakan guru belum pernah menggunakan
pembelajaran berbasis proyek dalam setahun. Namun dalam setiap
semester sebagian besar peserta didik (36 peserta didik) menyatakan
bahwa guru tidak selalu menggunakan pembelajaran berbasis proyek.
b) Pembahasan Penelitian
Dalam pembelajaran berbasis proyek ternyata semua peserta
didik menyatakan bahwa pembelajaran berbasis proyek memotivasi
peserta didik untuk semangat belajar sehingga semua peserta didik
menyatakan pembelajaran berbasis proyek meningkatkan pengetahuan
mereka.
Dalam pembelajaran berbasis proyek peserta didik tidak hanya
sekedar ingat atau hafal namun mereka benar-benar memahaminya.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya 30 peserta didik yang menyatakan
bahwa mereka tidak hanya sekedar ingat dan hafal dan ada 6 peserta
didik menyatakan mereka benar-benar memahaminya. Semua peserta
didik menyatakan bahwa model pembelajaran berbasis proyek ternyata
dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan sebagian
besar peserta didik (32 siswa) menyatakaan bahwa pembelajaran
berbasis proyek dapat meningkatkan keterampilan dalam bidang
IPTEK. Mereka semua juga menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
proyek dapat diterapkan di luar sekolah dan menambah manfaat dalam
kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran berbasis proyek juga memberikan isnpirasi
untuk membuat sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari
sehingga melatih sifat-sifat yang baik dari peserta didik seperti
disiplin, jujur tanggung jawab, kerjasama, saling menghargai dan lain-
lain.
Disamping itu sebagian besar siswa menyatakan bahwa
pembelajaran berbasis proyek menambah semangat spiritualitas.

32
Sehingga mereka semua menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
proyek membuat pelajaran fisika menjadi lebih menyenangkan.

D. SIMPULAN
a) Simpulan
Berdasarkan uraian dan analisa diatas maka dapat disimpulkan,
bahwa model pembelajaran berbasis proyek pada guru dan peserta didik
kelas XI SMAN 1 Karangnunggal untuk mata pelajaran fisika jenjang
SMA adalah sebagai berikut:
1. Model Project Based Learning (Model Pembelajaran Berbasis
Proyek) adalah model pembelajaran yang memberikan kesempatan
kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan
melibatkan kerja proyek.
2. Model pembelajaran berbasis proyek dapat memotivasi peserta didik
untuk semangat belajar dan pembelajaran berbasis proyek
meningkatkan pengetahuan mereka. Dalam pembelajaran berbasis
proyek peserta didik tidak hanya sekedar ingat atau hafal namun
mereka benar-benar memahaminya.
3. Model pembelajaran berbasis proyek ternyata dapat meningkatkan
keterampilan dalam bidang IPTEK.
4. Model pembelajaran berbasis proyek dapat diterapkan di luar sekolah
dan menambah manfaat dalam kehidupan sehari-hari dan
pembelajaran berbasis proyek juga memberikan inspirasi untuk
membuat sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari
sehingga melatih sifat-sifat yang baik dari peserta didik seperti
disiplin, jujur, tanggung jawab, kerjasama, saling menghargai dan
lain-lain.
5. Model pembelajaran berbasis proyek menambah semangat
spiritualitas. Sehingga membuat pelajaran fisika menjadi lebih
menyenangkan.
b) Saran

33
Agar model pembelajaran berbasis proyek dengan media
powerpoint dan video yang sudah dibuat diterapkan sesuai dengan
langkah-langkah yang telah direncanakan.
Kreteria keberhasilan penilaian proyek merupakan kegiatan
penilaian terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan dalam periode
atau waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi atau
penyelidikan sejak dari perencanaan, pengumpulan data,
pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data. Penilaian proyek
dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman, kemampuan
mengaplikasikan, kemampuan penyelidikan dan kemampuan peserta
didik memberikan informasi tentang sesuatu yang menjadi
penyelidikannya pada materi tertentu secara jelas.

Pada penilaian proyek ada 3(tiga) hal yang perlu


dipertimbangkan yaitu:
1. Kemampuan pengelolaan yaitu kemampuan peserta didik dalam
memilih topik apabila belum ditentukan oleh guru, mencari
informasi dan mengelola waktu pengumpulan data serta penulisan
laporan
2. Relevansi yaitu kesesuaian dengan mata pelajaran dengan
mempertimbangkan tahap pengetahuan, pemahaman dan
keterampilan dalam pembelajaran)
3. Keaslian yaitu proyek yang dilakukan peserta didik harus merupakan
hasil karyanya, dengan mempertimbangkan kontribusi guru berupa
petunjuk dan dukungan terhadap proyek peserta didik

DAFTAR PUSTAKA

Steinberg, A. 1997. The Six A’a of Design Project.


http://ph.red.ru/pedsovet/GSN/ pbl.Sixa.htm

34
Thomas, J.W. dkk. 1999. Project Base Learning : A Handbook of Middle
and High School Teacher.
Novato CA : The Buck Institute for Education. Wena, Made. 2010. Strategi
PembelajaranInovatif Kontemporer (Suatu Tinjauan Konseptu.,al
Operasional). Jakarta:Bumi Aksara

35
KEARIFAN LOKAL PAMIJAHAN
SEBAGAI POTENSI BUDAYA PARIWISATA

Tri Ady Indrawan, S.Pd


Guru Sosiologi SMAN 1 Karangnunggal

A. PENDAHULUAN
a) Latar Belakang
Kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi
pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan
mengajarkan tentang bagaimana membaca potensi alam dan
menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima secara universal
oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur. Nilai tradisi untuk
menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai,
memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal ini dapat dilihat
bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling
mendukung,yang intinya adalah memahami bakat dan potens alam
tempatnya hidup dan diwujudkannya sebagai tradisi.
Pariwisata telah menjadi primadona dalam format
pembangunan sebuah bangsa, termasuk pembangunan bangsa
Indonesia. Artinya melalui pembangunan pariwisata, ada sesuatu yang
bisa diharapkan, karena adanya kejelasan arah dan tujuan bagaimana
dampak dari pembangunan tersebut. Pembangunan kepariwisataan
harus dapat memberikan benefit bagi masyarakatnya. Berbicara
pariwisata berarti berbicara benefit dan rugi, namun benefit yang harus
dirasakan oleh masyarakatnya, karena pariwisata adalah untuk
masyarakat. Keuntungan bagi masyarakat adalah keuntungan secara
financial tanpa mengurangi struktur nilai yang ada di masyarakat,
artinya nilai-nilai sosial masyarakat, tetap terjaga. Penjelasan tersebut
menegaskan bahwa pariwisata membangun nilai, baik bagi
masyarakatnya, organisasinya, yang lebih luas adalah bagi negaranya.
(Syarifuddin 2017)

36
Jawa Barat merupakan kumpulan berbagai jenis alam yang
sangat indah dengan daya tarik budaya yang mempesona.
Keanekaragaman budaya yang ada ditunjukkan melalui
keanekaragaman buahkaryanya baik yang berupa nilai, norma adat,
maupun yang berupa karya seni. Seni di bidang kebudayaan merupakan
seni yang erat hubungannya dengan nilai-nilai budaya, seperti adat-
istiadat dan kepercayaan.(Sudira, 2010:5). Sistem nilai budaya yang
relevan dengan seni adalah sistem nilai budaya yang biasanya berfungsi
sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah laku masyarakat, sistem nilai
budaya terdiri dari konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga masyarakat, sejumlah pandangan mengenai soal yang
paling berharga dan bernilai dalam hidup, sistem nilai budaya menjiwai
semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga pendukung
kebudayaan, sistem nilai budaya menjiwai semua pedoman yang
mengatur tingkah laku warga pendukung kebudayaan, sistem nilai
budaya biasanya dianut.
Pamijahan adalah nama tempat wisata bagi peziarah yang berada di
desa pamijahan kecamatan Bantarkalong kabupaten Tasikmalaya.
Sejarah Pamijahan mengacu kepada dua situs yang menarik peziarah
untuk mendatangi kawasan asri ini yaitu Goa Safarwadi dan Makam
Waliyullah Syeh Abdul Muhyi. Ini pula yang menjadi kelebihan
Pamijahan dengan kekayaan budaya dan keunikan kearifan lokalnya.
Pendekatan sosiologis tentang kearifan lokal mencoba melihat
hubungan antara kekuatan (potensi) pariwisata, yaitu orang, kelompok,
organisasi/ badan usaha kepariwisataan dan masyarakat serta objek dan
daya tarik wisata, organisasi, kelembagaan pemerintah juga mobilitas
sosial yaitu kunjungan wisatawan ke daerah-daerah tujuan wisata.
Analisis terhadap kekuatan, mutu dan karakteristik pelayanan wisata,
organisasi, kelembagaan, interaksi sosial dari lembaga pelayanan, serta
permasalahan memiliki hubungan dengan sistem pengembangan
pariwisata. Kajian dan analisis sosiologis mengenai kearifan lokal
dilakukan melalui kegiatan mendeskripsikan, menjelaskan, dan

37
memahami hal-hal terkait fenomena, permasalahan maupun
perkembangan bidang kepariwisataan.

b) Rumusan Masalah
1. Bagaimana masyarakat Desa Pamijahan memanfaatkan potensi
budaya lokal?
2. Bagaimana sejarah Pamijahan sebagai tujuan wisata?
3. Bagaimana kearifan lokal dapat berkembang di daerah Pamijahan?
c) Tujuan Penelitian
1. Dapat mengetahui sejarah berdirinya tempat wisata Pamijahan.
2. Dapat mengetahui pemanfaatan potensi budaya lokal Desa
Pamijahan.
3. Dapat mengetahui perkembangan kearifan lokal di daerah
Pamijahan.
d) Manfaat penelitian
1. Menjadi bahan literasi pengetahuan sejarah kebudayaan
masyarakat.
2. Mengetahui dan mengembangkan potensi lokal masyarakat
setempat.
3. Memberikan Pemerintah daerah referensi dalam pembangunan
masyarakat lokal Desa Pamijahan.
B. TINJAUAN PUSTAKA
a) Kebudayaan dan Pariwisata
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan
bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk
pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Kebudayaan adalah sesuatu
yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide
atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan

38
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-
benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa,
peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Ekologi yaitu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara makhluk hidup khususnya manusia dengan tata lingkungannya,
hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya dapat
membentuk perilaku budaya sesuai dengan keadaan daerahnya.
Perilaku budaya manusia di setiap daerah selalu berbeda, dan
perbedaan inilah yang perlu dipersandingkan dengan budaya manusia
di daerah lain melalui kegiatan kerja kepariwisataan. Daya tarik
pariwisata ekologi semacam ini sudah siap jual dalam keadaan asli
lingkungannya dan kemurnian perilaku budaya manusia di daerah
setempat.
Hans Buchli (2000:117) mengungkapkan “Kepariwisataan
adalah setiap peralihan tempat bersifat sementara dari seseorang atau
beberapa orang, dengan maksud memperoleh pelayanan yang
diperuntukkan bagi kepariwisataan itu oleh lembaga-lembaga yang
digunakan untuk maksud tersebut”. Dalam batasan ini Hans Buchli
menekankan bahwa setiap perjalanan merupakan peralihan tempat
untuk sementara waktu dan mereka yang mengadakan perjalanan
tersebut memperoleh pelayanan dari perusahaan- perusahaan yang
bergerak dalam industri pariwisata. Pariwisata telah menjadi primadona
dalam format pembangunan sebuah bangsa, termasuk pembangunan
bangsa Indonesia. Artinya melalui pembangunan pariwisata, ada
sesuatu yang bisa diharapkan, karena adanya kejelasan arah dan tujuan
bagaimana dampak dari pembangunan tersebut. Pembangunan
kepariwisataan harus dapat memberikan benefit bagi masyarakatnya.
Berbicara pariwisata berarti berbicara benefit dan rugi, namun
benefit yang harus dirasakan oleh masyarakatnya, karena pariwisata
adalah untuk masyarakat. Keuntungan bagi masyarakat adalah

39
keuntungan secara financial tanpa mengurangi struktur nilai yang ada
di masyarakat, artinya nilai-nilai sosial masyarakat, tetap terjaga.
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa pariwisata membangun nilai,
baik bagi masyarakatnya, organisasinya, yang lebih luas adalah bagi
negaranya. (Syarifuddin 2017) Sistem nilai budaya yang relevan
dengan seni adalah sistem nilai budaya yang biasanya berfungsi
sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah laku masyarakat, sistem nilai
budaya terdiri dari konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga masyarakat, sejumlah pandangan mengenai soal yang
paling berharga dan bernilai dalam hidup, sistem nilai budaya menjiwai
semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga pendukung
kebudayaan, sistem nilai budaya menjiwai semua pedoman yang
mengatur tingkah laku warga pendukung kebudayaan, sistem nilai
budaya biasanya dianut.

b) Kearifan lokal cerminan budaya bangsa


1. Ruang lingkup kearifan lokal
Kearifan lokal memiliki enam dimensi yaitu pengetahuan
lokal, nilai lokal, keterampilan lokal, sumber daya Alam lokal,
mekanisme pengembalian keputusan lokal, dan solidaritas kelompok
lokal.
Karakteristik kearifan lokal diantaranya kearifan lokal
mencerminkan kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal,
kearifan lokal bersifat komunal, kearifan lokal mencakup
pengetahuan komunitas lokal yang terakumulasi selama beberapa
generasi dalam bentuk teknologi, kearifan lokal sejatinya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung tercapainya
kemajuan tanpa perlu menolak modernisasi ataupun globalisasi,
kearifan lokal bersifat dinamis dan responsive, kearifan lokal dapat
dimanfaatkan untuk menata kehidupan manusia, dan kearifan lokal
dapat berkembang menjadi keunggulan.

40
a. Kearifan lokal merupakan suatu kekayaan budaya lokal yang
mengandung kebijakan hidup, pegangan hidup ( way of life ) yang
mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup.
b. Kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat
lokal secara arif dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya
hidup. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai
pada norma, tindakan, dan tingkah laku ,masyarakat. Oleh karena
itu, kearifan lokal dapat menjadi pedoman masyarakat untuk
bersikap dan bertindak dalam konteks kehidupan sehari-hari.
c. Menurut Robert Sibarani, kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau
pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur
tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika
hendak berfokus pada nilai budaya, maka kearifan lokal dapat pula
didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan
guna mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif bijaksana.
Sudah menjadi kewajiban kamu sebagai generasi penerus
bangsa untuk melestarikan kearifan lokal dengan cara mempelajari dan
meneruskan kearifan lokal kepada generasi penerus kamu selanjutnya.
C. PEMBAHASAN
a) HASIL PENELITIAN
Pada penelitian kali ini menggunakan metode penelitian deskriptif.
Berkaitan dengan penelitian deskriptif, Suharsimi (2006:35)
menjelaskan apabila peneliti bermaksud mengetahui keadaan sesuatu
mengenai apa dan bagaimana, berapa besar, sejauh mana, dan
sebagainya maka penelitiannya bersifat deskriptif, yaitu menjelaskan
atau menerangkap peristiwa. Dalam penelitian deskriptif, peneliti tidak
mempunyai kontrol terhadap variabel tertentu untuk menjelaskan
fenomena sosial. Kontrol terhadap variabel berada di tangan subjek
penelitian atau partisipan. Peneliti memperoleh data menggunakan
teknik wawancara dengan Tokoh adat (Kuncen) KH. Endang Azidin
dan beberapa warga.

1. Asal Usul Nama Pamijahan

41
Kampung ini dinamakan pamijahan karena tempat tersebut sering
dikunjungi banyak orang yang hendak berziarah ke makam
Waliyullah Syeh Abdul Muhyi. Seiring dengan bertambahnya
kedatangan peziarah yang datang tanpa kenal waktu dan bergantian
mengunjungi area tersebut menjadikan keadaan dan suasana
setempat seperti layaknya “ikan yang akan bertelur”.
Pamijahan berasal dari kata Mijah, dalam bahasa sunda yang
berarti tempat ikan bertelur, ini mengandung filosofi menarik karena
pada kenyataanya ikan yang bertelur dan menetas dapat
menghadirkan generasi baru yang diharapkan mampu meneruskan
dan mewarisi sifat sifat induk atau leluhurnya guna melanjutkan cita
cita pada awal mulanya. Jadi jelas bahwa asal muasal nama
dan Sejarah Pamijahan mengandung arti yang baik dan bermakna,
sangat berbeda jauh dengan menerjemahkannya secara serampangan
dan tanpa ilmu yang menyebutnya sebagai tempat pemujaan.

2. Makam yang ada di Pamijahan


Kompleks keramat di situs Pamijahan memiliki sekurang-kurangnya
lima kompleks makam keramat.  Dalam perjalanan ke kompleks
keramat ini, para pengunjung selalu menyempatkan diri berkunjung
ke makam-makam tersebut. Apabila dimulai dari pintu gerbang
utama di sebelah tenggara situs, obyek ziarah terdiri dari makam
Bengkok, makam Sembah Ajeng Tangan Ziah, makam Kidul,
makam Syekh Abdul Muhyi dan makam Syekh Khotib Muwahid.
a. Makam Bengkok; terletak di ujung paling tenggara situs
Pamijahan, tepatnya di tepi sebelah selatan Cipamijahan.
Kompleks keramat ini berada jauh di luar Kampung Pamijahan
pada salah satu tebing sungai yang agak curam. Kekunaannya
sulit dilacak, tetapi pasti merupakan sebuah kubur tua karena
tokoh yang dikuburkan di tempat ini masih dikenali sebagai
Sembah Dalem Sacaparana, yaitu mertua Syekh Abdul Muhyi.
b. Makam Sembah Ajeng Tangan Ziah; terletak di tebing sebelah
selatan Cipamijahan, tidak jauh dari Masjid Jami Pamijahan.

42
Kompleks makam ini telah mengalami restorasi besar-besaran,
sehingga mengesankan bangunan modern dengan konstruksi
permanen. Namun, dilihat dari ketokohan almarhum, makam ini
mestinya merupakan salah satu kubur tua yang sudah ada sejak
awal abad XVII, karena tokoh bernama Sembah Ajeng Tangan
Ziah adalah ibu Syekh Abdul Muhyi. Menurut beberapa naskah,
wanita ini adalah keturunan ke-14 Nabi Muhammad dari garis
Fatimah dan puteranya Husein.
c. Makam Kidul; terletak sekitar 200 m dari kubur Sembah Ajeng
Tangan Ziah, lebih dikenal dengan nama ‘Makam Kidul’, karena
berada di sebelah selatan Kampung Pamijahan, tepatnya di
tebing sebelah selatan sungai Pamijahan. Kompleks ini
sebenarnya adalah kubur seorang tokoh bangsawan Sukapura
bernama Raden Yudanagara I. Tidak diragukan lagi, meskipun
telah mengalami pemugaran total, baik makam maupun
cungkupnya, tetapi dilihat dari silsilah tokoh tersebut,
seharusnya merupakan salah satu makam tua juga yang sezaman
dengan masa hidup Syekh Abdul Muhyi. Di dalam silsilah
keturunan Bupati Sukapura, Raden Yudanegara I ini disebutkan
sebagai anak kedua Raden Tumenggung Anggadipa Wiradadaha
III dan cucu Raden Adipati Wirawangsa Wiradadaha I, Bupati
Sukapura yang memerintah pada paruh pertama abad
XVII.  Menurut silsilah itu, almarhum adalah juga ipar Syeikh
Abdul Muhyi, karena yang terakhir ini mengawini adiknya yang
bungsu: R. Ajeng Halimah atau disebut juga Ayu Salamah.
Penempatan kuburnya di Pamijahan menjelaskan hubungan
kekerabatan dengan Syeikh Abdul Muhyi.
d. Makam Syekh Abdul Muhyi; di sebelah utara Makam Kidul
terdapat kompleks makam Syekh Abdul Muhyi. Kompleks ini
merupakan obyek ziarah utama di seluruh situs Pamijahan.
Terletak ditebing sebelah utara Cipamijahan, makam ini seolah
berada di atas bukit yang dikelilingi hamparan sawah yang
subur. Di sekitar kompleks makam tumbuh pepohonan besar

43
yang memberi kesan rindang dan teduh; suatu kondisi alamiah
yang sangat mendukung fungsi kekeramatannya. Berbeda
dengan kompleks makam lain, kubur Syekh Abdul Muhyi
mendapat perlakuan sangat khusus. Di samping bangunannya
sangat megah dari konstruksi beton permanen juga tersedia
berbagai fasilitas yang menunjang aktivitas ziarah seperti masjid,
kolam dan sarana air bersih serta balai-balai yang dapat
digunakan para peziarah melakukan zikir. Selain Syekh Abdul
Muhyi, pada kompleks ini terdapat kubur lain, yaitu R.
Subamanggala Wiradadaha IV, yang dikenal sebagai ‘Dalem
Pamijahan’, yang ditempatkan di sebelah timur kubur Syekh
Abdul Muhyi ditandai oleh sebuah payung. Ia adalah anak
sulung R. Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III, salah
seorang Bupati Sukapura.

Sumber : Penulis
Untuk ke tempat Syekh Abdul Muhyi, kita mesti melewati gang.
Gang tersebut depannya ada gapura terbuat dari tembok bergaya
bangunan zaman dulu. Sepanjang gang tersebut, banyak
dagangan penduduk. Dagangannya berupa souvenir yang bisa
dibawa pulang sebagai oleh-oleh bagi peziarah . Setelah
menurunin tanjakan kira-kira 500 meter kita mesti belok ke
kanan dan berjalan beberapa meter lagi. Baru kita akan
44
menemukan sebuah Masjid, tempat dimakamkan Syekh Abdul
Muhyi.

Sumber : Penulis
e. Makam Syekh Khotib Muwahid; terletak di bagian hulu
Cipamijahan, tepatnya pada tebing sebelah utara. Makam ini
menjadi kunjungan terakhir yang harus terlebih dahulu melalui
gua Saparwadi. Seperti juga makam lain, bangunan makam dan
cungkupnya cukup megah dengan pintu gerbang menyerupai
bentuk kurawal atau seperti mihrab pada sebuah masjid besar.
Menurut silisilahnya, Syekh Khotib Muwahid  mempunyai
hubungan khusus dengan Syekh Abdul Muhyi, selain sepupu
juga menjadi ipar Syekh Abdul Muhyi, karena ia adalah anak
Nyi Raden Kasimpen, kakak kandung Lebe Warta. Yang terakhir
ini adalah ayah Syekh Abdul Muhyi. Hubungan ipar ditentukan
oleh perkawinannya dengan Nyai Kodrat, yang tidak lain adik
kandung Syekh Abdul Muhyi.

45
3. Goa Safarwadi

Sumber : Penulis
Goa Pamijahan, jaraknya kira-kira 1 Km, melewati pesawahan.
Gua tersebut, dari luar lubangnya kecil namun ketika sudah masuk
sangat besar. Di sepanjang gua, air mengalir membentuk sungai.
Tingginya air, kira-kira sejengkal dari lutut. Kita jalan melewati aliran
air itu untuk masuk ke dalam. Di dalam sangat gelap, oleh karena itu
kita mesti nyewa lampu Patromak. Banyak tersedia, jasa penyewaan
petromak di depan pintu goa. Selain menyewakan, mereka juga
menjadi pemandu kita masuk ke dalam gua ini. Kalau kita masuk ke
sana, pasti akan kaget. Karena hawa di dalam gua lumayan panas,
hingga membuat badan berkeringat.
Disini kita akan ditunjukkan tempat jum’atan para wali, juga
lorong tempat Syeh Abdul Muhyi pergi ke Mekah. Lorong ini
sekarang ditutup oleh jeruji, karena sudah ada orang yang masuk dan
tidak kembali . Tak lupa juga, kopiah haji. Kopiah haji yang dimaksud
adalah cekuk di atas dinding gua yang jumlahnya kalau tidak salah ada
Sembilan. Konon katanya, jika ada salah satu cekukan yang pas
dengan kepala kita, maka Insya Allah kita akan kesampaian naek haji.
Disini juga ada sumber mata air, yang diyakini air zamzam. melihat
lubang-lubang seperti mulut gua yang dikisahkan menjadi 'jalan

46
tembus menuju Banten, Cirebon, Surabaya. Juga terdapat tempat yang
dulu dipakai oleh istri Syeh Abdul Muhyi. Ada juga tempat yang
sering dipakai untuk adzan oleh para wali.

Sumber : Penulis
Sumber : fototrenindonesia.com

4. Potensi Lokal Masyarakat


 Ketika memasuki area terminal kedatangan di pamijahan kita
akan mendapatkan begitu banyak moderinasasi ditempat ini, bermula
dari terminal yang cukup besar menampung mobil dan bus
transportasi, toko-toko pedagang berjejer beraneka ragam seperti toko
cindramata, toko busana islami, penginapan sampai ke penjual
47
makanan dll, intinya kita tidak perlu merasa khawatir atau kesulitan
untuk mendapatkan kebutuhan selama berziarah.
Uniknya, toko atau warung tersebut tidak selalu ditunggui si
empunya, ketika kita ingin membeli barang dagangan kita
harus memanggil si pedagang tersebut yang biasanya berada didalam
rumah.

b) PEMBAHASAN
Pamijahan terkenal keberadaannya sebagai kawasan yang
masih terjaga dan sering dikunjungi orang-orang dari berbagai pelosok
tanah air bahkan manca negara dan merupakan salah satu peninggalan
bersejarah awal mula tersebarnya agama Islam diberbagai kawasan.
Pamijahan terletak di sebuah kampung dipinggir sungai dan
merupakan pusat dari kedusunan setempat yang masih terlihat asri dan
alami karena penduduk lokal menjaga dan mentaati nasihat dari para
tokoh sepuh dan ulama dalam menjaga alam secara lestari, adapun kini
banyak perubahan terjadi terutama di area terminal dan sekitarnya
karena tuntutan akan perlunya daya tampung lebih besar untuk fasilitas
transportasi terutama bus-bus besar antar propinsi yang mengantarkan
peziarah ke pamijahan sering datang dan terparkir di kawasan terminal
sehingga area pusat kedatangan peziarah ini terus dikembangkan untuk
mencukupi kebutuhan tersebut.
Kampung ini dinamakan pamijahan karena tempat tersebut
sering dikunjungi banyak orang yang hendak berziarah ke makam
Waliyullah Syeh Abdul Muhyi. Seiring dengan bertambahnya
48
kedatangan peziarah yang datang tanpa kenal waktu dan bergantian
mengunjungi area tersebut menjadikan keadaan dan suasana setempat
seperti layaknya “ikan yang akan bertelur”
Gua Pamijahan (Goa Safarwadi) terletak di Desa Pamijahan
Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Tempat wisata ziarah yang satu ini setiap harinya selalu dipadati oleh
pengunjung dari berbagai kota dan provinsi di Indonesia yang ingin
berziarah ke makam Kangjeng Syekh Abdul Muhyi. Menurut sejarah,
Gua Pamijahan digunakan sebagai tempat persembunyian para
waliyullah. Jadi Gua Pamijahan ini erat dengan penyebaran agama
Islam di tatar Sunda. Di dalam Gua Pamijahan terdapat mata air yang
jernih seperti air zamzam, sebuah lubang menuju Banten, Cirebon
sampai Makkah, dan lekukan-lekukan bulat di atap gua yang
menyerupai peci (kopiah haji).
Konon, jika ada salah satu “kopiah haji” yang pas saat berdiri,
maka insya Allah dia akan bisa menjalankan perintah Allah dalam
rukan Islam kelima, yakni ibadah Haji ke Baitullah di tanah suci
Mekkah. Secara fisik, Gua Pamijahan hampir sama dengan gua pada
umumnya yakni terdapat stalagmit dan stalaktik hampir di seluruh
permukaan gua. Sebelum masuk ke dalam gua, pengunjung yang
masuk ke dalam gua memanjatkan do’a-do’a kepada Allah SWT.
Mereka percaya bahwa gua Pamijahan ini memiliki keistimewaan
dibandingkan gua-gua pada umumnya.
Menurut salah satu tradisi lisan, kehadirannya di Gua Safar
Wadi itu adalah atas undangan bupati Sukapura yang meminta
bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara Karang di Pamijahan.
Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan orang-orang yang
menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi memenangkan
pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai
gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi
keluarga dan pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian
agama dan mendidik kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat
sesuai baginya dan para pengikutnya untuk melakukan semadi menurut

49
ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua tersebut banyak diziarahi orang
sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syeikh Haji Abdul Muhyi juga
bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati Sukapura,
bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.
Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di
dalam gua, ia dan para pengikutnya berangkat menyebarkan agama
Islam di kampung Bojong (sekitar 6 km dari gua, sekarang lebih
dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali kembali ke Gua
Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan perkampungan
baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan
masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai
tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia
mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif
menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan.
Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa
Barat.
Menurut tradisi lisan, Syeikh Maulana Mansur berulang kali
datang ke Pamijahan untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul
Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra Sultan Abdul Fattah
Tirtayasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa sendiri adalah
keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten
yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati,
salah seorang Wali Songo.
Berita tentang ketinggian ilmunya itu sampai juga ke telinga
sultan Mataram. Sultan kemudian mengundang Syeikh Haji Abdul
Muhyi untuk menjadi guru bagi putra-putrinya di istana Mataram.
Sultan Mataram Paku Buwono II (1727-1749) ketika itu bahkan
menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan daerah
Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang
dibebaskan dari pembayaran pajak. Undangan sultan Mataram itu tidak
pernah dilaksanakannya, karena pada tahun 1151 H (1730 M) Syeikh
Haji Abdul Muhyi meninggal dunia karena sakit di Pamijahan.
Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh pemerintah

50
kolonial Belanda, melalui keputusan residen Priangan, Pamijahan sejak
tahun 1899 dijadikan daerah “pasidkah”, daerah yang dikuasai secara
turun temurun dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain
untuk keperluan daerah itu sendiri.
Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus
dan dikuasai oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang
sampai sekarang karena dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan
dipimpin oleh seorang khalifah, jabatan yang diwariskan secara turun-
temurun, yang juga merangkap sebagai juru kunci makam dan
mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.

D. SIMPULAN
a) SIMPULAN
Kearifan lokal di suatu daerah dapat menjadi solusi dalam
menghadapi pesatnya globalisasi tentunya kearifan lokal tersebut harus
memenuhi beberapa kriteria yaitu mampu bertahan terhadap budaya
luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
mempunyai kemampuyan mengintegrasikan unsur budaya luar ke
dalam budaya asli, dan mampu memberi arah pada perkembangan
budaya.
b) SARAN
Untuk menunjang obyek wisata Pamijahan dirasakan perlu
dibangun sarana akomodasi yang lebih representatif yang memenuhi
syarat kesehatan terutama privasi sebagai tempat istirahat. Kalaupun
berbentuk barak-barak seperti yang selama ini dikerjakan oleh
penduduk setempat, namun dapat dilakukan penataan yang lebih
representatif. Agar dapat memberikan pelayanan yang lebih prima
terhadap para penziarah dari “segmen pasar lain”, mungkin bisa
dipikirkan sebuah alternatif, dengan dibangunnya penginapan yang
lebih menjamin privasi. Adapun pembangunan lokasi penginapan
tersebut tidak terlalu dekat dengan obyek wisata untuk menghindari
kesan menyaingi penginapan yang dikelola oleh penduduk setempat.

51
Membentuk Kelompok atau komunitas dalam rangka pemberdayaan
ekonomi masyarakat. Hal ini dapat berupa pelatihan ketrampilan yang
menunjang bidang usaha masyarakat sekitar objek wisata.

DAFTAR PUSTAKA

Suharsimi Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.


Robert H. Lauer. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta:
Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Kun Maryati, Juju Suryawati. 2007. Sosiologi Untuk SMA dan MA Kelas
XII. Jakarta: Esis, Erlangga.
Hartanta, Agung Tri. 2012. Kamus Sosiologi. Surakarta: PT Aksarra
Sinergi Media
Poeranti Hadi Pratiwi. 2014. Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XII. Klaten:
Cempaka Putih.
Soekanto, Soerjono. 2017. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada

52
KEMBANGKAN KECAKAPAN SAINS DENGAN BERINKUIRI

Susanti, M.Pd.
Guru Biologi SMAN 1 Karangnunggal

Hakikat sains belum sepenuhnya dipahami oleh pendidik dan juga


peserta didik. Sains sebagai produk, proses dan juga sikap ilmiah (attitude)
belum sepenuhnya bisa dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Masih
banyak peserta didik yang menganggap pelajaran sains adalah pelajaran
hapalan dan pelajaran sulit karena banyak sekali teori, konsep, hukum dan
prinsip. Mereka belum bisa memahami dan mengaplikasikan pembelajaran
sains dalam kehidupannya sehari-hari, hal ini karena mereka tidak terbiasa
diberikan fenomena dan kaitan konsep sains dengan kehidupannya.
Idealnya pembelajaran yang kita suguhkan pada peserta didik bukan
lagi pembelajaran yang berpusat pada guru, akan tetapi harus berpusat kepada
peserta didik. Hal ini agar peserta didik mampu berkiprah dalam kehidupan
nyata pada abad ini melalui latihan berpikir kritis, kreatif dan inovatif.
Pendidik ditantang untuk mampu menciptakan pendidikan yang dapat
menghasilkan sumber daya pemikir yang mampu ikut membangun tatanan
sosial dan ekonomi sadar pengetahuan, akan tetapi tetap memiliki karakter
yang baik.
Tantangan kita sebagai pendidik tentunya perlu memikirkan
pembelajaran yang bisa membelajarkan peserta didik agar mampu
mengembangkan kecakapan sains yang terasah dan terbiasa dalam menghadapi
berbagai permasalahan sehingga mudah untuk menyelesaikan atau mencari
solusi.
Sejalan dengan tantangan tersebut, maka pendidik harus memiliki
kemampuan membelajarkan peserta didik dengan cara berinkuiri. Hal ini
terkait pada kompetensi pedagogik bagi pendidik tersebut. Kompetensi ini
sesuai dengan permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang kompetensi guru
dan penerapannnya dalam permendikbud nomor 22 taun 2016 yaitu
“Menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran
yang mendidik secara kreatif”.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka, maka para pendidik
seharusnya mengimplementasikan pembelajaran berinkuiri, sehingga peserta
53
didik mampu belajar bukan hanya menghapal konsep akan tetapi mampu
menemukan konsep melalui proses kecakapan sainsnya. Belajar melalui inkuiri
pada dasarnya adalah melibatkan peserta didik dalam kegiatan intelektual
karena inkuiri menuntut peserta didik untuk berpikir. Pembelajaran ini sudah
tentu berpusat pada peserta didik, namun guru tetap memegang peran penting
sebagai pembuat desain pengalaman belajar. Guru berkewajiban memfasilitasi
peserta didik untuk melakukan kegiatan. Guru berperan sebagai fasilitator
karena tidak jarang guru memberikan penjelasan, membimbing diskusi,
memberikan intruksi-intruksi, mengemukakan pertanyaan, memberikan
komentar dan saran kepada peserta didik.
Semua hal yang dilakukan guru tersebut sebagai fasilitator dapat
mengembangkan kecakapan proses sains peserta didik seperti mampu
melakukan pengamatan dengan baik, mampu mengelompokkan, mampu
meramalkan, mampu mendesain, mampu menerapkan konsep, mampu
mengajukan pertanyaan, mampu berkomunikasi dengan baik dan kecakapan
proses sains lainnya. Kemampuan tersebut dapat dilatihkan pada peserta didik
dalam setiap proses pembelajaran, jika salah satu saja kecakapan proses sains
dimiliki peserta didik dengan baik, maka hal itu akan menjadi sebuah skill
yang bisa menjadikan bekal dan modal mereka untuk bekerja di masa yang
akan datang.
Salah satu contohnya, jika seorang peserta didik memiliki kemampuan
dalam mengobservasi dengan teliti dan sangat baik karena sering terlatih pada
saat belajar dengan berinkuiri, maka dia bisa menjadi seora. ng tester, menjadi
seorang detektif, seorang peneliti, programmer dan profesi-profesi lainnya
yang membutuhkan pengamatan yang sangat teliti dan akurat hasilnya. Begit
pula jika seorang peserta didik memiliki kecakapan proses sains yang lainnya
pasti akan sangat membantu mereka dalam bertahan hidup dan bekerja
Mari kita berinkuiri untuk mengembangkan kecakapan sains para
peserta didik kita, untuk bekal mereka menyongsong abad 21 yang penuh
dengan tantangan kehidupan sehingga di masa depan mereka terbiasa dengan
kreativitas, inovasi, kritis dan bisa bekerja dengan berkolaborasi tanpa
mengindahkan sikap ilmiahnya seperti jujur, teliti, tekun, sistematis, pantang
menyerah dan lain-lain.

54
PERKEMBANGAN GERAK ANAK BESAR

Yodi Mugiadi, M.Pd.


Guru PJOK SMAN 1 Karangnunggal

A. PENDAHULUAN
a) Latar Belakang
Perkembangan adalah proses berlanjut dari perubahan menuju pada
suatu keadaan kapasitas fungsional yang terorganisasi dan terspesialisasi.
Perkembangan gerak adalah proses yang berurutan dan berlanjut
sehubungan dengan usia, dimana individu berkembang dari gerak
sederhana tak terorganisasi dengan baik dan tidak terampil menuju
pencapaian keterampilan gerak yang terorganisasi dengan baik dan
kompleks, dan akhirnya ke arah penyesuaian keterampilan yang menyertai
penuaan.
Anak besar merupakan tahapan lebih lanjut dari periode
perkembangan setelah fase anak kecil. Di dalam tahap anak besar terdapat
perbedaan batasan usia antara anak laki-laki dan anak perempuan. Untuk
anak laki-laki batasan usia kronologisnya antara 6 sampai 12 tahun,
sedangkan batasan usia kronologis untuk anak besar perempuan antara 6
sampai 10 tahun (Heywood: 1993).
Perkembangan kemampuan fisik mengalami perubahan sejalan
dengan petumbuhan fisiknya. Pertumbuhan fisik anak besar (late
childhood) secara proporsional relatif melambat dibandingkan pada masa
anak kecil dan pada masa bayi. Tubuh yang tumbuh makin tinggi dan
makin besar dapat meningkatkan kemampuan fisiknya. Kemampuan fisik
yang perkembangannya cukup besar adalah kekuatan, fleksisbilitas, dan
keseimbangan.

b) Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud perkembangan fisik anak besar?
55
2. Apa saja indikator untuk menaksir kematangan fisik dan fisiologis
pada gerak anak besar?
3. Bagaimana perkembangan ukuran dan proporsi tubuh?
4. Apa saja perkembangan kemampuan fisik?

c) Tujuan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun
dengan tujuan untuk mengetahui:
1. Perkembangan fisik anak besar;
2. Indikator untuk menaksir kematangan fisik dan fisiologis pada gerak
anak besar;
3. Perkembangan ukuran dan proporsi tubuh;
4. Perkembangan kemampuan fisik.

d) Kegunaan Makalah
1. Kegunaan Teoritis
Untuk menambah dan mengembangkan wawasan dan pengetahuan
tentang perkembangan fisik anak besar.
2. Kegunaan Praktis
a. Penulis, sebagai wadah penambah wawasan dan konsep keilmuan
khususnya tentang perkembangan fisik anak besar.
b. Pembaca, sebagai wadah untuk lebih mengetahui tentang
perkembangan fisik anak besar.
B. PEMBAHASAN
a) Perkembangan Fisik Anak Besar
Anak besar adalah anak yang berusia antara 6 sampai 10 atau 12
tahun. Perkembangan fisik anak yang terjadi pada masa ini menunjukkan
adanya kecenderungan yang berbeda dibanding pada masa sebelumnya dan
juga pada masa sesudahnya. Kecenderungan perbedaan yang terjadi adalah
dalam hal kepesatan dan pola pertumbuhan yang berkaitan dengan proporsi
ukuran bagian-bagian tubuh. Pada masa anak besar pertumbuhan fisik anak
laki-laki dan anak perempuan sudah mulai menunjukkan kecenderungan
semakin jelas tampak adanya perbedaan.

56
Pertumbuhan fisik erat kaitannya dengan terjadinya proses
peningkatan kematangan fisiologis pada diri setiap individu. Proses
peningkatan kematangan secara umum akan terjadi sejalan dengan
bertambahnya usia kronologis. Usia kronologis adalah lamanya waktu
terhitung sejak seseorang dilahirkan sampai orang tersebut dinyatakan
usianya. Walaupun usia kronologis bisa untuk menaksir tingkat
kematangan seseorang, namun taksirannya hanya bersifat umum dan
kurang teliti untuk menaksir tingkat kematangan fisik dan fisiologisnya.
Pertumbuhan dan tingkat kemamtangan fisik dan fisiologis
membawa dampak pada perkembangan kemampuan fisik. Pada masa anak
besar terjadi perkembangan kemampuan fisik yang semakin jelas dalam hal
kekuatan, keseimbangan, dan koordinasi.

b) Indikator Untuk Menaksir Kematangan Fisik dan Fisiologis


Indikator yang lebih teliti untuk menaksir kematangan adalah
berdasarkan pertumbuhan atau perkembangan unsur-unsur yang ada pada
diri seseorang, misalnya pertumbuhan tulang, pertumbuhan gigi,
pertumbuhan tanda-tanda kelamin sekunder, dan pertumbuhan ukuran
tubuh. ada beberapa macam usia perkembangan kematangan fisiologis
yaitu usia skeletal, usia dental, usia sifat kelamin sekunder, dan usia
morfologiKeempat macam usia perkembangan tersebut tidak menggunakan
satuan seperti pada usia kronologi. Usia keronologis menggunakan satuan
hari, minggu, bulan, atau tahun. Sedangkan usia perkembangan hanya
menunjukkan perkembangan maju, normal, atau terbelakang pada keadaan
yang dialami setiap individu.
1. Usia Skeletal
Usia skeletal adalah usia perkembangan kematangan yang
didasarkan pada pertumbuhan tulang. Untuk menilai usia skeletal
dilakukan dengan cara memfoto bagian tubuh tertentu menggunakan
radiograf atau sinar X. Bagian tulang yang difoto biasanya adalah
bagian tulang pergelangan tangan, tulang panjang, atau gigi. Hasil foto
sinar X yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan foto radiograf
perkembangan tulangn yang standar. Foto yang standar ini

57
menunjukkan bentuk tulang yang tumbuh normal yang dibuat setiap 6
bulan atau 1 tahun. Dengan membandingkan hasil foto sinar X
seseorang dengan foto standar maka pertumbuhan atau tingkat
kematangan tulang orang tersebut dinilai maju, normal atau terbelakang.
Menaksir tingkat kematangan fisik dengan menggunakan
penilaian usia skeletal cocok untuk usia sampai dengan 18 atau 19
tahun, karena pencapaian puncak kematangan pertumbuhan tulang pada
umumnya terjadi pada usia tersebut. Perkembangan skeletal dikatakan
telah mencapai puncak kematangan apabila pertumbuhan dan membesar
sudah tidak bertambah lagi serta kemasifannya telah maksimal atau
proses ositikasi dan fusi epifiseal telah tuntas. Pencapaian puncak
kematangan skeletal pada perempuan terjadi lebih awal dibanding laki-
laki.
2. Usia Dental
Usia dental adalah usia perkembangan kematangan yang
didasarkan pada tumbuh dan tanggalnya gigi. Penilaian dilakukan
dengan menghitung jumlah dan macam gigi yang telah tumbuh. Gigi
pertama tumbuh pada usia lebih kurang 6 bulan sampai usia lebih
kurang 2 tahun. Pada usia lebih kurang 6 tahun gigi, mulai ada yang
tanggal dan tumbuh gigi pengganti; ini terjadi sampai usia 13 tahun.
Selanjutnya tumbuh gigi tetap yang melengkapi jumlah 20 buah
menjadi 32 buah. Apabila jumlah telah dicapai maka berarti kematangan
dental telah mencapai puncaknya. Hal ini terjadi pada usia lebih kurang
18 tahun. Pencapaian kematangan dental pada perempuan terjadi lebih
awal dibanding pada laki-laki.
3. Usia Sifat Kelamin Sekunder
Usia sifat kelamin sekunder adalah usia perkembangan
kematangan yang didasarkan pada pertumbuhan dan perkembangan
sifat-sifat kelamin sekunder, yaitu dengan mengetahui tingkat
kematangan genital, tumbuhnya rambut kemaluan dan perkembangan
dada. Cara penilaian usia perkembangan kematangan ini sesuai untuk
masa praadolesensi dan adolesensi dimana sifat-sifat kelamin sekunder
tampak jelas perubahannya karena proses perkembangan.

58
Mulai tumbuh rambut kemaluan dan rambut ketiak, menstruasi
pertama atau menarke dan tumbuh buah dada pada perempuan, serta
mulai bermimpi sampai mengeluarkan sperma dan tumbuh jakun pada
laki-laki, semuanya merupakan tanda-tanda yang menunjukkan
terjadinya proses kematangan organ-organ reproduksi. Organ-organ
reproduksi adalah organ-organ yang berfungsi dalam proses terjadinya
keturunan atau anak.
4. Usia Morfologis
Usia morfologis adalah usia perkembangan kematangan yang
didasarkan pada ukuran tinggi dan berat badan serta berbagai
pengukuran anthtopometrik lainnya dalam hubungannya dengan usia
kronologis. Penilaiaan tehadap seseorang dilakukan dengan cara
membandingkan ukuran tubuhnya misalnya tinggi badan atau berat
badan dengan table standar tinggi badan atau berat badan yang dibuat
berdasarkan ukuran kebanyakan orang seusianya. Dengan mengetahui
posisi ukuran tubuhnya pada table standar maka dapat diketahui tingkat
usia morfologisnya.
Penilaiaan usia morfologis adalah yang paling mudah
dilaksanakan. Sayangnya, table standar yang sesuai untuk anak-anak
Indonesia masih belum ada yang menyusunnya.

c) Perkembangan Ukuran dan Proporsi Tubuh


Pertumbuhan fisik pada masa anak-anak relatif lambat dan konstan
apabila dibandingkan dengan pada masa bayi dan juga pada masa
adolesensi. Ukuran dan proporsi bagian-bagian tubuh anak besar
mengalami perubahan dibanding pada anak kecil. Secara proporsional kaki
dan tangan tumbuh lebih cepat dibanding pertumbuhan togok, hal ini
seperti halnya terjadi pada masa anak kecil.
Kecepatan pertumbuhan kaki dan pertumbuhan togok yang tidak
sama, maka anak besar umumnya menjadi tampak panjang kakinya. Hal ini
makin tampak pada akhir masa anak besar. Pada usia 6 tahun panjang kaki
± 45% dari tinggi badan; dan usia 11 tahun panjang kaki ± 47% dari tinggi
badan.

59
Mulai usia 11 tahun pada anak peremouan presentase panjang kaki
dibanding panjang togok mulai menurun, atau berarti secara proporsional
pertumbuhan panjang togok mulai lebih cepat dibanding pertumbuhan
panjang kaki. Hal ini baru dimulai terjadi pada usia lebih kurang 14 tahun
untuk anak laki-laki. Pada usia 14 tahun panjang kakinya ± 49% dari tinggi
badan.
Keadaan seperti di atas tersebut, berarti pada akhir masa anak besar
perbandingan proporsi ukuran bagian-bagian tubuh anak laki-laki dengan
anak perempuan mulai tampak perbedaannya. Anak laki-laki cenderung
lebih panjang kakinya dibanding anak perempuan. Perbedaan lainnya yang
juga mulai tampak sesudah usia 6 tahun adalah mengenai perbandingan
lebar bahu dan lebar panggul.
Pada usia antara 6 sampai 10 tahun pertumbuhan lebar bahu anak
laki-laki dan perempuan lebih kurang sama, tetapi pertumbuhan lebar
panggulnya berbeda dimana anak perempuan sedikit lebih cepat. Pada usia
selanjutnya anak laki-laki lebih cepat pertumbuhan lebar bahunya dan anak
perempuan lebih cepat pertumbuhan lebar panggulnya. Kecenderungan
sifat pertumbuhan seperti itu semakin jelas setelah memasuki masa
adolesensi. Perbandingan kecepatan pertumbuhan tinggi badan antara anak
laki-laki dengan anak perempuan tidak selalu sama. Ada saat-saat dimana
anak perempuan tumbuh lebih cepat dan saat-saat dimana anak laki-laki
yang lebih cepat.
Perkembangan ukuran dan proporsi tubuh erat kaitannya dengan
keterbentukan setiap individu ke arah tipe bentuk tubuh tertentu. Bentuk
tubuh seseorang merupakan wujud dari perpaduan antara tinggi badan,
berat badan, serta berbagai ukuran authropometrik lainnya yang ada pada
diri seseorang. Variasi dari ukuran-ukuran bagian tubuh akan membentuk
kecenderungan tipe bentuk tubuh. Seseorang yang memiliki ukuran togok
pendek, kakinya juga pendek, lingkaran dada dan perutnya besar maka
orang tersebut tubuhnya akan kelihatan pendek dan bulat. Semetara
seseorang yang memiliki togok panjang, kaki panjang, lingkaran dada dan
perutnya kecil maka orang tersebut akan tampak tinggi dan langsing.

60
Beberapa upaya yang dilakukan oleh para ahli untuk
mengklasifikasikan tipe tubuh (somatotype) manusia. Salah seorang yang
berhasil membuat caranya ialah Sheldon. Sheldon membedakan adanya 3
tipe yang ekstrim dari bentuk tubuh. setiap tipe tubuh diberi kode berupa 3
buah angka. Angka tersebut merupakan skala sifat yang menunjukkan tipe
tubuh tertentu. Tipe tubuh menurut Sheldon, yaitu:
a. Mesomorph, kodenya 171
b. Endomorph, kodenya 711
c. Ektomorph, kodenya 117

Gambar 1. Bentuk Tubuh

Penggolongan macam-macam tipe tubuh yang dibuat oleh Sheldon


masih umum digunakan dalam kaitannya dengan prestasi di bidang
olahraga. Pencapaian prestasi yang baik di suatu cabang olahraga ada
hubungannya dengan tipe tubuh. tipe tubuh tertentu cenderung cocok untuk
mencapai prestasi di cabang olahraga tertentu. Hal ini disebabkan karena
tipe tubuh tertentu mempunyai sifat kemampuan tertentu, sedangkan setiap
cabang olahraga juga mempunyai sifat tertentu yang memerlukan sifat
kemampuan tertentu pula agar bisa menguasai dengan baik.
Pengetahuan tentang hubungan antara tipe tubuh dengan
penacapaian prestasi di bidang olahraga berguna di dalam mengarahkan

61
pilihan seseorang untuk menekuni dan berusaha mencapai prestasi pada
salah satu cabang olahraga.
Pada masa anak besar kecenderungan tumbuh kea rah salah satu
tipe tubuh sudah mulai tampak walaupun masih belum begitu jelas. Dengan
kecenderungan yang sudah mulai tampak, apabila seorang anak
menunjukkan minat yang besar untuk berprestasi di bidang olahraga maka
guru atau orangtua bisa mengarahkan pada cabang olahraga tertentu yang
sesuai. Hal ini bisa dilakukan pada periode akhir masa anak besar, atau
setidak-tidaknya pada awal masa adolesensi.
Mengenai gambaran bentuk tubuh setiap tipe serta sifat-sifat umum
yang dimiliki dapat dilihat dalam gambar berikut.

Mesomorph:
1. Sehat, kuat, tangkas, gagah, dan tampan
2. Ramah, sopan, dan jujur
3. Periang dan banyak teman

Endomorph:
1. Gemuk bulat, jelek, mudah sakit
2. Mudah gugup, kikir, dan pembual
3. Malas dan pelupa

62
Ectomorph:
1. Kecil kerempeng, lemah, dan mudah sakit
2. Pendiam, suka menyendiri, dan licik
3. Mudah khawatir, takut dan sedih

Gambar 2. Tipe tubuh dan sifat umum yang dimiliki (Papalia dan Olds,
1975: 406)

d) Perkembangan Kemampuan Fisik


Sejalan dengan pertumbuhan fisik anak semakin tinggi dan
semakin besar, maka kemampuan fisik pun meningkat. Beberapa macam
kemampuan fisik yang cukup nyata perkembangannya pada masa anak
besar yaitu kekuatan, fleksibilitas, keseimbangan, dan koordinasi.
1. Perkembangan Kekuatan
Kekuatan merupakan hasil kerja otot yang berupa kemampuan
untuk mengangkat, menjinjing, menahan, mendorong, dan menarik
beban. Semakin besar penampang lintang otot akan semakin besar pula
kekuatan yang dihasilkan dari kerja otot tersebut. Sebaliknya semakin
kecil penampang lintangnya akan semakin kecil pula kekuatan yang
dihasilkan.
Pada akhir masa anak besar perkembangan jaringan otot mulai
cepat. Pada saat itulah kekuatan anak meningkat cukup cepat pula. Pada
anak perempuan peningkatan kekuatan tercepatnya dicapai pada usia
antara 9 tahun sampai 10 tahun, sedangkan pada anak laki-laki
peningkatan tercepatnya pada usia antara 11 sampai 12 tahun.
Peningkatan tercepat dimana anak perempuan mencapai 2 tahun lebih
awal dibanding anak laki-laki adalah sejalan dengan kecenderungan
umum dimana anak perempuan secara fisik dan fisiologis mencapai
kematangannya lebih awal lebih kurang 2 tahun.

63
Studi tentang perkembangan kekuatan pada anak-anak biasa
dilakukan dengan cara mengukur kekuatan menggenggam.
Perkembangan kekuatan menggenggam bisa menjadi indikator
perkembangan kekuatan tubuh pada umumnya. Pengukuran kekuatan
menggenggam bisa dilakukan dengan cara menggunakan handgrip
dynamometer.
Peningkatan kekuatan pada anak-anak erat hubungannya dengan
pertumbuhan fisik secara menyeluruh. Sedangkan pertumbuhan fisik
akan mengikuti bertambahnya usia. Kecepatan pertumbuhan fisik
selama masa pertumbuhan tidak konstan. Ada masa-masa pertumbuhan
pesat pada masa-masa pertumbuhan lambat. Oleh karena itu peningktan
kekuatannya pun ada saat-saat meningkat lambat.
Perkembangan kekuatan otot terjadi secara simetri antara
anggota badan bagian kanan dengan bagian kiri, namun sisi yang
dominan sedikit lebih kuat. Maksudnya adalah bahwa untuk orang yang
biasa menggunakan tangan kanan maka tangan kanan akan sedikit lebih
kuat. Sebaliknya bagi orang yang kidal atau lebih sering menggunakan
tangan kiri, tangan kirilah yang sedikit lebih kuat.
2. Perkembangan Fleksibilitas
Fleksibilitas adalah keluluasaan gerak persendian. Menurut
Hupprich dan Sigerseth (1950), fleksibilitas pada 12 bagian tubuh
terhadap 300 perempuan berumur antara 6 sampai 18 tahun.
Kesimpulannya sebagai berikut:
a) Sampai usia 12 tahun anak perempuan mengalami peningkatan
fleksibilitas secara umum dan sesudah usia 12 tahun akan mengalami
penurun
b) Ada pengecualian dalam penurunan fleksibilitas secara umum
tersebut yaitu pada bahu, lutut dan paha fleksibilitasnya sudah mulai
menurun sesudah usia 6 tahun
c) Fleksibilitas pergelangan kaki adalah yang konstan semua usia
d) Fleksibilitas pada setiap bagian tubuh tidak ada interkorelasi. Artinya
apabila seseorang memiliki fleksibilitas yang baik pada salah satu
bagian tubuh, pada bagian tubuh yang lain belum tentu baik juga

64
fleksibilitasnya. Dengan kata lain fleksibilitas salah satu bagian
tubuh tidak bisa untuk menaksir fleksibilitas bagian tubuh yang lain.
3. Perkembangan Keseimbangan
Keseimbangan diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu
keseimbangan statik dan keseimbangan dinamik. Keseimbangan statik
adalah kemampuan mempertahankan posisi tubuh tertentu agar tidak
bergoyang atau roboh, sedangkan keseimbangan dinamik adalah
kemampuan untuk mempertahankan tubuh agar tidak jatuh pada saat
sedang melakukan gerakan. Dengan kata lain bahwa keseimbangan
statik adalah keseimbangan pada saat tubuh diam misalnya sedang
berdiri dengan satu kaki, sedangkan keseimbangan dinamik adalah
keseimbangan tubuh pada saat bergerak misalnya pada saat berlari atau
berjengket.
Beberapa penelitian mengenai keseimbangan hasilnya, sebagai
berikut:
a) Antara usia 6 sampai 16 tahun anak-anak umumnya mengalami
peningkatan keseimbangan dinamik, tetapi antara usia 12 sampai 14
tahun hanya sedikit peningkatannya
b) Peningkatan keeimbangan tidak selalu tetap kecepatannya. Pada anak
laki-laki peningkatannya melambat pada usia antara 7 sampai 9
tahun dan pada anak perempuan melambat pada usia antara 8 sampai
10 tahun
c) Keseimbangan dinamik anak laki-laki dengan anak perempuan
mengalami peningkatan yang berbeda besarnya. Mulai usia ± 8 tahun
anak laki-laki cenderung lebih baik keseimbangan dinamiknya
d) Dalam hal keseimbangan statik ada peningkatan yang ajeg pada
masa anak besar. Anak laki-laki dan anak perempuan tidak ada
perbedaaannya.

65
C. PENUTUP
a) Kesimpulan
Anak besar adalah anak yang berusia antara 6 sampai 10 atau 12
tahun. Perkembangan fisik anak yang terjadi pada masa ini menunjukkan
adanya kecenderungan yang berbeda dibanding pada masa sebelumnya dan
juga pada masa sesudahnya. Pertumbuhan tangan dan kakilebih cepat
dibandingkan pertumbuhan togok. Pada tahun-tahun awal masa anak besar
pertumbuhan jarringan tulang lebih cepat dibanding pertumbuhan jarigan
otot dan menjadi tampak lebih kurus. Pada tahun-tahun terakhir masa anak
besar perkembangan jaringan otot mulai menjadi cepat, hal ini berpengaruh
pada peningkatan kekuatan yang menjadi lebih cepat juga.
Perkembangan kematangan fisik dan fisiologis bisa ditaksir
berdasarkan usia skeletal, usia dental, usia sifat kelamin sekunder, dan usia
morfologis. Diantara keempat indicator tersebut, penilaiaan usia morfologis
yang paling mudah dilakukan.

66
DAFTAR PUSTAKA
Cahyantoro, Elham. (2011). Perkembangan Fisik dan Motorik Anak Besar.
[Online]. Tersedia:
mbenxxcaem.blogspot.co.id/2011/09/perkembangan-fisik-dan-
motorik-anak.html?m=1. [8 November 2016].
Handika, Rizal. (2014). Perkembangan Kemampuan Gerak Anak Besar.
[Online]. Tersedia:
rizalhandikautama.blogspot.co.id/2014/05/perkembangan-
kemampuan-gerak-anak-besar.html?m=1. [7 November 2016].
Hidayatullah, Fahmi. (2012). Perkembangan Fisik dan Motorik Anak
Besar. [Online]. Tersedia:
studysport.blogspot.co.id/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-
x-none.html?m=1. [7 November 2016].
Indrawan, Budi. (2016). Perkembangan Motorik. Tasikmalaya: Pendidikan
Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Universitas Siliwangi.
Widodo, Dwi Cahyo. (2012). Perkembangan Kemampuan Jasmani, Anak
Kecil, Anak Besar, dan Remaja. [Online]. Tersedia:
https://onopirododo.wordpress.com/2012/12/07/perkembangan-
kemampuan-anak-kecil-anak-besar-dan-remaja/ [7 November
2016].

67
SELISIH KETENTUAN PERKAWINAN ANTARA FIQIH
MUNAKAHAT DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

Dra. Nana Rohliana


Guru Agama SMAN 1 Karangnunggal

A. PENDAHULUAN
a) Latar Belakang
Jauh sebelum UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) diundangkan, pemerintah Belanda telah
mengelompokkan warga negara Indonesia menjadi tiga golongan:
golongan Eropa, golongan Pribumi, dan golongan Timur Asing.
Penggolongan tersebut memungkinkan masing-masing golongan
mempunyai tata cara perkawinan tersendiri (pasal 131 IS) (Thontowi,
2007: 128). Selama periode penjajahan Belanda, hukum perkawinan
yang berlaku di Indonesia bersifat dualistis dan pluralistis. Dikatakan
dualistis, karena hukum yang berlaku terhadap golongan Eropa atau
Timur Asing adalah hukum perdata barat, sedang hukum yang berlaku
bagi golongan Bumi Putra adalah hukum adat. Sementara bersifat
pluralistik, karena dalam hukum perdata barat masing-masing terdapat
aneka warna hukum berbeda yang berlaku bagi orang-orang Eropa,
orang-orang Tionghoa, orang yang beragama Kristen dan bagi
perkawinan campuran (Hadikusuma, 1990: 5).
Hukum yang berlaku bagi Bumi Putra juga dibedakan menjadi dua:
(1) Bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam, berlaku
hukum agama yang telah diresepsi ke dalam hukum adat; (2) Bagi
orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat yang tersebar dalam
19 wilayah hukum adat (Soewondo, 1984: 41). Dampak dari kebijakan
tersebut, masyarakat Indonesia terbiasa hidup di bawah sistem hukum
yang berbeda. Hal tersebut terus berkembang sejalan dengan
keragaman budaya dan agama yang ada di masyarakat. Sebagai
akibatnya, benih-benih konflik dan kecemburuan mulai muncul di
antara orang-orang dalam masyarakat (Thontowi, 2007: 128).
68
Kondisi tersebut di atas berlanjut hingga bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan, dalam konteks inilah dapat
dipahami apabila bangsa Indonesia menginginkan adanya hukum
perkawinan yang berlaku secara unifikasi. Setelah melalui proses dan
perjalan panjang, tanggapan dan perdebatan hangat baik di kalangan
masyarakat Islam maupun di DPR, lahirlah Undangundang
Perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada 2
Januari 1974 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Oktober 1975.
Sejak UU Perkawinan diundangkan, seharusnya hukum
perkawinan yang tadinya bersifat dualistis dan pluralistis telah
berakhir, karena tujuan utama dari UU Perkawinan adalah unifikasi
atau penyeragaman hukum perkawinan. Namun kenyataannya,
pengaruh dari aturan hukum perkawinan yang bersifat dualistik dan
pluralistik tersebut di atas masih nampak di masyarakat, sehingga
legislasi hukum perkawinan yang bertujuan untuk meredam konflik
antar sistem hukum sebagaimana disebutkan belum dapat berlaku
secara efektif. Bahkan nuansa konflik antar sistem hukum beberapa
tahun terkakhir ini, cenderung semakin meningkat. Salah satu masalah
kontroversial yang masih mengemuka dalam bidang hukum
perkawinan adalah perkawinan di bawah umur. Perkawinan di bawah
umur masih banyak dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia.
b) Rumusan Masalah
1. Apa selisih yang terjadi diantara ketentuan perkawinan di bawah
umur dalam Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan ?
2. Apa kebijakan yang dapat dilakukan untuk meresolusi selisih
antara ketentuan perkawinan di bawah umur dalam Fikih
Munakahat dan Undang Undang Perkawinan?

c) Tujuan
1. Untuk mengetahui selisih yang terjadi diantara ketentuan
perkawinan di bawah umur dalam Fikih Munakahat dan Undang-
undang Perkawinan ?

69
2. Untuk mengetahui kebijakan yang dapat dilakukan untuk
meresolusi selisih antara ketentuan perkawinan di bawah umur
dalam Fikih Munakahat dan Undang Undang Perkawinan?
d) Manfaat
Untuk menyessuaikan antara ketentuan perkawinan menurut
Fikih Munakahat dan Undang Undang Perkawinan

B. TINJAUAN PUSTAKA
a) Pengertian Perkawinan dalam Fikih Munakahat
Ungkapan “Fikih Munakahat” merupakan kata majemuk
(murakkab idlafi) dari kata fiqh dan munakahat yang dalam Bahasa
Indonesia disebut Hukum Perkawinan Islam. Istilah lain yang
semakna sering digunakan ulama dan perundang-undangan
kontemporer adalah Al-Ahwal al- Syakhshiyah, Nizam al-Usrah,
Huquq al-Usrah, Ahkam al-Usrah (Mardani, 2011: 3) yaitu hukum
yang mengatur hal ihwal yang berkenaan dengan perkawinan
berdasarkan wahyu ilahi yang berlaku untuk umat Islam.
(Syarifuddin, 2006: 5). Sementara itu, perkawinan atau pernikahan
dalam literatur Fikih disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan
zawaj. Kedua kata ini, selain digunakan dalam kehidupan sehari-
hari orang Arab juga banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis
Nabi.
Secara etimologis kata al-Nikah dan al-Zawaj dapat berarti: al-
Dhammu wa al-Jam’u (bergabung atau berkumpul), al-Wath’i
(bersetubuh) dan al-‘Aqd (akad) (Al-Zuhaili, 1989, VII: 29).
Sedangkan secara terminologis terdapat beberapa rumusan yang
dikemukan dalam kitab-kitab Fikih klasik, namun pada prinsipnya
antara satu dengan lainnya tidak ada perbedaan yang berarti kecuali
perbedaan redaksional saja. Mereka hanya mengemukakan hakikat
utama dari suatu perkawinan yakni memberikan kebolehan kepada
pria dan wanita melakukan hubungan badan, sehinga muncul
anggapan pengertian perkawinan dalam fikih klasik masih dalam
konteks hubunganbiologis saja.
70
Anggapan tersebut telah diluruskan oleh Al-Sarakhsi dalam
bukunya al-Mabsuth yang dikutip oleh Abu Zahrah bahwa
perkawinan dalam Islam bukan hanya dalam konteks biologis saja
tetapi meliputi beberapa kebaikan kedua belah pihak. Dalam
konteks ini pula Abu Zahrah megemukakan rumusan yang lebih
mencakup sesuai dengan maksud akad dan pengaruh yang
ditimbulkannya (Abu Zahrah, 1957: 19):

Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara pria dan wanita


(hubungan keluarga), mengadakan tolong menolong antara
keduanya dan menjadikan untuk kedua pihak (memberi batas )
secara timbal balik hak dan kewajiban-kewajiban.
b) Pengertian Perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan yang dimaksudkan dalam tulisan
ini adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-
perbuatan hukum serta akibatnya antara dua pihak (pria dan
wanita) dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama,
termasuk peraturan-peraturan lain yang terkait dengan pelaksanaan
perkawinan. Peraturan-peraturan tersebut baik secara resmi
dinyatakan sebagai undang-undang ataupun tidak (Syarifuddin,
2006: 20 dan Anshori, 2011: 1). Peraturan-peraturan perkawinan
yang ditetapkan melalui undang-undang adalah: Pertama, Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan
pada tanggal 2 Januari 1974, yang merupakan hukum materiil dari
perkawinan dengan sedikit menyinggung acaranya. Kedua,
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang ditetapkan pada tanggal 1
April 1975. Ketiga, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989.
Sebagian dari undang-undang ini memuat aturan yang
berkenaan dengan tata cara (hukum formil) penyelesaian sengketa

71
perkawinan di Pengadilan Agama. Selain peraturan perundang-
undangan tersebut, dimaksudkan pula ketentuan yang secara efektif
telah dijadikan oleh Hakim Pengadilan Agama sebagai pedoman
yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara pengadilan, yaitu
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang penyebarluasannya
melalui INPRES No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam (selanjutnya disebut KHI), dikeluarkan pada tanggal 10 Juni
1991 (Syarifuddin, 2006: 20). Peraturan perundang-undangan
tersebut, dalam tulisan ini selanjutnya disebut Undang-undang
Perkawinan.
Pengertian perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan
dirumuskan dengan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 1, UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sementara itu, KHI merumuskan
perkawinan dengan “Perkawinan menurut Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.” (Pasal 2 KHI).
Dari dua rumusan definisi di atas, terdapat beberapa hal yang
perlu dicermati, antara lain; (1) perkawinan merupakan ikatan lahir
dan batin (rumusan UU Perkawinan) dan akad yang sangat kuat
(rumusan KHI), artinya bahwa secara formal (lahiriyah) kedua-
duanya merupakan suamiistri dan betul-betul mempunyai niat
(batin) untuk hidup sebagai suami-istri, sehingga tidak dikenal
istilah “hidup bersama” seperti yang lazim terjadi pada masyarakat
Barat. (2) kata-kata “antara seorang pria dengan seorang wanita”
mengandung arti bahwa perkawinan itu hanya antara jenis kelamin
yang berbeda, sehingga menolak perkawinan sesama pria (gay))
atau sesama wanita (lesbian). (3) dalam definisi juga disebutkan
tujuan perkawinan “untuk membentuk rumah tangga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
72
Hal ini menafikan bentuk perkawinan temporal (nikah
mut’ah/kontrak). Definisi ini juga menegaskan bahwa asas
perkawinan menurut undang-undang perkawinan adalah agama,
artinya agama atau hukum agama yang dipeluk oleh seseorang
yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Dengan demikian,
perkawinan bukan hanya perjanjian yang bersifat keperdataan
(Syarifuddin, 2006: 40 dan Anshori, 2011: 13).

C. PEMBAHASAN
a) Usia Perkawinan Menurut Ketentuan Fikih Munakahat
Dalam diskursus fikih munakahat tidak ditemukan batas
minimal usia perkawinan, bahkan kitab-kitab fikih membolehkan
perkawinan antara anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan
yang masih kecil yang disebut dengan istilah (zawaj as-shighar)
(Al-Siba’i, 1984: 57 dan Al-Zuhaili, 1989, VII/179). Kebolehan
tersebut baik yang dinyatakan secara eksplisit, seperti ungkapan
“boleh terjadi perkawinan antara anak laki-laki yang masih kecil
dengan anak perempuan yang masih kecil” ataupun kebolehan itu
disebutkan secara implisit dalam setiap kitab fikih, ketika
membahas mengenai kewenangan wali mujbir mengawinkan anak-
anak yang masih kecil atau perawan. Kebolehan tersebut
terakomodir dalam pandangan para fuqaha (ahli fikih) karena tidak
ada ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang secara jelas menyebutkan
batas minimal usia perkawinan, terkecuali hanya ayat al-Qur’an
yang mengisyaratkan adanya batasan usia tertentu yaitu dalam QS.
Al-Nisa (4): 6:

Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada
mereka hartahartanya…(QS. Al-Nisa’ (4):6).

73
Berdasarkan ayat tersebut ulama fikih berpendapat bahwa
batas minimal usia perkawinan adalah balig. Dalam konteks inilah
ulama fikih menentukan batas usia perkawinan dengan
mengembalikannya pada tiga alasan, yaitu: Pertama, usia
perkawinan dihubungkan dengan penentuan batas balig
(kedewasaan). Dalam kaitan ini, batas kedewasaan dindikasikan
datangnya fase menstruasi (haid) bagi wanita dan “mimpi basah”
(ihtilam) bagi pria. Kedua, usia pernikahan dihubungkan dengan
kata rusyd dalam firman Allah QS. Al-Nisa (4): 6 (Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas... (QS. Al-Nisa’ (4):6).
Berdasarkan ayat ini penyerahan harta kepada anak yatim
apabila telah cukup umurnya untuk melaksanakan pernikahan,
yakni apabila telah dewasa dan memiliki sifat rusyd. Rasyid Ridla
mengatakan bahwa berarti sampainya seseorang untuk melakukan
perkawinan yakni sampai batas mimpi pada usia ini ditambahkan
seseorang telah dapat melahirkan anak sehingga tergerak hatinya
untuk menikah pada usia ini, dan kepadanya telah dibebankan
hukum agama. Hal ini merupakan bukti kesempurnaan akalnya
(Ridla, 1325 H: 387).
Sementara itu, Hamka mengatakan itu diartikan dewasa.
Namun kedewasaan itu tidak didasarkan pada usia tetapi kepada
kecerdasan atau kedewasaan pikiran karena ada juga anak usianya
belum dewasa tetapi ia telah cerdik, sebaliknya, ada yang usianya
sudah agak lanjut tapi belum matang pemikirannya (Hamka, 1983,
IV: 30) Dengan akal yang sempurnalah terjadinya taklif dan karena
akal pula adanya hukum. (Darajat, 1998, I: 3). Dalam HR. Bukhari
dan Muslim dari Abdullah Ibn Mas’ud:

Artinya: Dari Abdullah bin Masud, Ia berkata: Rasululah SAW


bersabda: Wahai para pemuda siapa di antaramu telah mempunyai
kemampuan dalam persiapan pernikahan, maka menikahlah, karena
74
ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan.
Barangsiapa belum mampu hendaknya
berpuasa, sebab ia dapat mengendalikan orang berpuasa (HR.
Bukhari-Muslim)
Dalam hadis di atas kemampuan menikah bagi pemuda oleh
Rasulullah SAW dikaitkan kata yaitu biaya pernikahan. Sekalipun
ulama berbeda dalam mentafsirkan kata (pemuda) (Darajat, 1989, I:
3): (1) Menurut ulama Syafi’iyah yang disebut pemuda adalah yang
sudah balig sampai pada umur 30 tahun; (2) Al-Qurtuby beranggapan
bahwa pemuda adalah yang berusia 17 tahun sampai 32 tahun; dan (3)
Al-Zamakhsyari mengatakan pemuda yaitu orang yang sudah balig
hingga berusia 32 tahun. Ketiga, usia pernikahaan dihubungkan
dengan hadis Nabi yang mengungkapkan tentang pernikahaan Nabi
dengan Aisyah :

Artinya: Dari ‘Aisyah, beliau berkata: Rasulullah SAW menikah


dengan ‘Aisyah dalam usia enam tahun, dan beliau (Nabi)
memboyongnya ketika ‘Aisyah berusia sembilan tahun, dan Nabi
wafat padawaktu ‘Aisyah berusia delapan belas tahun (HR. Muslim).
Berdasarkan hadis tersebut, fuqaha dari empat mazhab
membolehkan perkawinan di bawah umur asalkan yang menikahkan
itu bapak kandung atau kakeknya (wali mujbir) tanpa minta izin
terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Namun sebagian ulama
seperti Ibnu Syubrumah, Abu Bakr al-Ashmi, dan Usman al-Butti
berpendapat bahwa perkawinan dibawah umur tidak diperbolehkan,
kecuali mereka sudah balig. Sementara itu, Ibnu Hazm berpendapat
berdasarkan hadis tersebut di atas, boleh menikahkan anak perempuan
yang belum balig, tetapi terhadap anak laki-laki diharuskan telah balig.
Apabila terjadi perkawinan sebelum balig maka perkawinannya batal
(Al-Zuhaili, 1989:VII: 179).
Terkait dengan pendapat ulama mazhab tersebut di atas, di
kalangan ahli hukum Islam terdapat beberapa kelompok (Hanafi,
75
2011, 37): (1) kelompok tradisional yang memahami praktik
perkawinan Nabi dengan ‘Aisyah sebagai sunnah yang seyogyanya
diikuti oleh umatnya. (2) kelompok ini berpendapat bahwa kebolehan
menikahi anak perempuan yang masih kecil berlaku sebagai
khushushiyyah bagi Nabi SAW saja, sebagaimana kebolehan Nabi
SAW beristeri lebih dari empat orang (Asy-Syaukani, VI: 252: (3)
kelompok ini mengkritisi hadis yang menginformasikan perihal usia
‘Aisyah ketika dinikahi oleh Nabi SAW.
Sebagaimana diinformasikan oleh Yusuf Hanafi (Hanafi, 2011, 38-
45) bahwa ada beberapa sarjana muslim yang secara terbuka
memberikan koreksi terhadap catatan klasik perihal usia ‘Aisyah
ketika menikah dengan Nabi SAW. Pendapat yang dimaksud antara
lain adalah Maulana Muhammad Ali (1874-1951 M) seorang sarjana
muslim pertama yang secara aktif mengkritisi laporan perawi hadis
yang menyatakan Nabi SAW. Menikahi ‘Aisyah ketika berusia 6
tahun, dan mulai hidup serumah dengan ‘Aisyah pada usia 9 tahun.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang
lebih kuat adalah pendapat kelompok kedua yang menganggap
pernikahan Rasulullah SAW dengan ‘Aisyah sebagai khushushiyyah
bagi Nabi saw. Karena di balik “kekhususan” tersebut ada
mengandung hikmah, antara lain: (1) ‘Aisyah menjadi satu-satunya
sumber rujukan tentang fikih perempuan bagi kaum muslim yang tidak
berjumpa dengan Rasulullah saw. dalam memahami kehidupan rumah
tangga Nabi SAW. (2) ‘Aisyah yang muda belia dimungkin berumur
panjang sehingga menjadi satusatunya juru bicara yang otoritatif
tentang kehidupan pribadi Nabi SAW. (3) ‘Aisyah yang sangat cerdas
dirancang oleh Allah menjadi orang yang paling banyak meriwayatkan
hadis yang berkaitan dengan hubungan suami-istri.
b) Usia Perkawinan Menurut Ketentuan Undang-undang
Perkawinan dan Fikih Kontemporer
Perkawinan menurut UU Perkawinan adalah “Ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
76
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Pasal 1
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Untuk
dapat mewujudkan perkawinan dimaksud, salah satu syaratnya
adalah para pihak yang akan melakukan perkawinan telah matang
jiwa dan raganya.
Oleh karena itu, UU Perkawinan memberikan batasan usia
minimal perkawinan. Ketentuan mengenai batas usia minimal
tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan:
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia
19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”.
Ketentuan yang sama juga diatur dalam KHI, pasal 15 (1) “Untuk
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
sekurangkurangnya berumur 16 tahun”. Dari pembatasan usia ini
dapat dipahami bahwa UU Perkawinan tidak mengehendaki
pelaksanaan perkawinan di bawah umur.
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur
terpaksa dilakukan, maka UU Perkawinan masih memberikan
kemungkinan penyimpangannya, yaitu Pasal 7 ayat (2)
Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Dalam
hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”. Ketentuan batas
minimal usia perkawinan di Indonesia, jika dibandingkan dengan
ketentuan yang terdapat di beberapa negara yang penduduknya
mayoritas muslim, tidaklah terlalu jauh berbeda (Nuruddin dan
Tarigan, 2006, 59). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel:

77
Berdasarkan tebel di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) pada
umumnya negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas
Islam telah menentukan batas minimal usia kawin baik bagi pria
maupun bagi wanita. (2) terdapat kesamaan pandangan di antara
negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas Islam dalam
menetapkan batas usia kawin di atas batasan balig sebagaimana
diintrodusur oleh ulama fikih. (3) Indonesia merupakan negara yang
lebih mooderat dalam menetapkan batas usia minimal dapat kawin,
dibandingkan dengan negara-negara lain.
Disamping itu, dapat juga dicatat bahwa dalam menyikapi batasan
usia minimal tersebut beberapa negara muslim masih ada yang
memberi toleransi dilangsungkannya perkawinan di bawah usia

78
tersebut dalam kasus-kasus tertentu seperti Aljazair, Indonesia, Irak,
Libanon, Somalia, Syria, Tunisia, dan Turki.
c) Praktik Perkawinan di Bawah Umur dalam Kehidupan
Masyarakat
Kendatipun UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
telah dinyatakan berlaku secara unifikasi sejak lebih dari tiga
dasawarsa, namun hukum perkawinan yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat masih bersifat pluralistik. Fenomena
tersebut merebak hampir di seluruh nusantara. Kasus pernikahan di
bawah umur yang paling fenomenal dan kontroversial adalah
pernikahan di bawah umur yang dilakukan oleh Pujiono Cahyo
Widianto (43 tahun) yang terkenal dengan “Syekh Puji” terhadap
Lutfiana Ulfa (12 tahun) pada tanggal 8 Agustus 2008 di Desa
Bedono, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. (Suara Media,
26 Oktober 2009). (http”// www.nahimunkar.co0m/para-teroris-
dalam-kasus-lutfiana-ulfa-/12/24-2008. Diakses 3/25/2009, Suara
Media, 26 Oktober 2009, pukul 20.00 WIB).
Perkawinan tersebut terungkap ketika KUA Kecamatan
Jambu mengeluarkan 2 (dua) Surat yang ditujukan kepada kedua
mempelai yang ditandatangani oleh Penghulu KUA Kecamatan
Jambu bapak Muchrodi. Surat pertama tertanggal 12 September
2008, nomor: 285/pw.01/IX/2008, perihal: Pemberitahuan adanya
Halangan/ kekuarangan Persyaratan. Surat kedua, tertanggal 15
September 2008, nomor: Kk.11.22.04/ PW.01/165/08, perihal:
Penolakan pernikahan antara Lutfiana Ulfah dan DR. H. M.
Pujiono Cahyo B, MBA, dengan alasan, calon mempelai wanita
kurang umur dan bagi calon mempelai pria kurang ijin poligami.
(Kutipan Lampiran 14 KMA No. 477 Tahun 2004, pasal 9 ayat (3),
Model N- 8 KUA Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang, dan
Kutipan Lampiran 15 KMA No. 477 Tahun 2004, pasal 14 ayat (1),
Model N- 9 KUA Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang).
Perkawinan tersebut telah menuai berbagai respon.
(Indofamily.net, diakses tanggal 5 September 2008, pukul 12.00
79
WIB). Misalnya dari Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan MUI. Pada tanggal 3
Oktober 2008, di Gedung Depkominfo, Jakarta, digelar konferensi
pers mengenai hal tersebut yang dihadiri Menteri Komunikasi dan
Informatika RI, Muhammad Nuh, Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan RI, Meutia Hatta, Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), Masnah Sari, dan jajaran dari Majelis Ulama
Indonesia yang diwakili oleh Komisi Komunikasi dan Informasi
MUI, Said Budairy.
Meneg Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta
menyatakan secara tegas bahwa “Pujiono telah melanggar beberapa
lapis Undang-Undang.” Menikahi anak di bawah umur telah
melanggar Undang Undang No.1 Tahun 1974 dan Jika ada peranan
eksploitasi yang dilakukan oleh orangtua Ulfah dan Pujiono, maka
ini berkaitan dengan perdagangan orang dan melanggar UU
Ketenagakerjaan.

d) Resolusi Terhadap Selisih Perkawinan di Bawah Umur


Menurut Fikih Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan
Sepanjang sejarah hukum perkawinan di Indonesia, wacana
mengenai perkawinan setidaknya selalu melibatkan berbagai
kepentingan, yakni kepentingan agama, negara dan perempuan.
Dalam wacana dikotomi publik-privat, perbincangan seputar
perkawinan cenderung dianggap sebagai wilayah privat.
Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana
keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi
maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan
pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan
yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan
kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan
sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama.
Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa
mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib
80
warganya. Meskipun kepentingan negara ini tidak selalu sama dari
pemerintahan satu ke pemerintahan yang lain. Pada zaman Hindia
Belanda, pemerintah Belanda berkepentingan untuk mengukuhkan
pengaruh dan kekuasaannya atas warga jajahan dengan cara
mengatur mereka melalui serangkaian produk Undang-undang,
termasuk di dalamnya hukum perkawinan. (http:/ /lbh-
apik.or.id/amandemen 20%pikiran.htm, diakses tanggal 23 Maret
2012, pukul 21.00).
Sementara bagi orang Indonesia yang beragama Kristen
diatur dengan Howelijk Ordonantie Christen Indonesia (HOCI)
Ordonansi 15 Februari 1933 S. 1933 No.74, yang berlaku bagi
orang Indonesia Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon, dengan
singkatan HOCI, dan bagi perkawinan campuran berlaku Regeling
op de Gemengde Huwelijken (GHR) S. 1898 No. 158
(Hadikusuma, 1990: 5). Demikian juga untuk Bumi Putra
dibedakan menjadi dua, yakni bagi warga negara Indonesia Asli
yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi ke
dalam Hukum Adat. Sedangkan bagi orang Indonesia Asli lainnya
berlaku hukum adat yang tersebar dalam 19 wilayah hukum adat,
yang antara satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan
(Dirdjosisworo, 1983: 113, dan Soewondo, 1984: 41).
Kondisi tersebut masih diwarisi oleh bangsa Indonesia
sampai saat ini, karena sekalipun bangsa Indonesia menginginkan
adanya hukum perkawinan yang berlaku secara unifikasi agar dapat
mengurangi selisih dan ketegangan antara tiga sistem hukum yakni
Hukum Civil warisan Belanda, Hukum Adat, dan Hukum Islam
(baca: Fikih). (Arifin, 1996: 33). Namun dalam pembahasan RUU
Perkawinan itulah, selisih antara nilai perkawinan yang
diperkenalkan oleh negara yang berasal dari ajaran hukum Islam
mulai mengemuka. Hal ini dapat dilihat dari munculnya pro dan
kontra dalam masyarakat, baik dari kalangan masyarakat umum
maupun dari kalangan anggota DPR ketika RUU Perkawinan
tersebut disampaikan kepada DPR.
81
Setelah melalui perdebatan yang hangat di DPR dan
tanggapan yang panas dari masyarakat Islam, akhirnya RUU
Perkawinan disetujui oleh DPR setelah membuang dan
memperbaiki pasal-pasal yang dipandang bertentangan dengan
asas-asas ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas. Adapun
hasil akhir yang disahkan oleh DPR menjadi UU RI No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan adalah terdiri dari 14 (empat belas) Bab
yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) Pasal. (Diundangkan
sejak tanggal 2 Januari 1974, dan baru dinyatakan berlaku efektif
sejak tanggal 1 Oktober 1975 yaitu dengan dikeluarkannya PP No.
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Perlu dicatat dari proses historis pembentukan UU
Perkawinan yang dijelaskan di atas, bahwa keberhasilan penetapan
UU Perkawinan ini sebenarnya adalah hasil kompromi antara
kelompok pembaharu yang menginginkan dilakukan pembaruan
secara liberal untuk menjamin kemaslahatan dan keadilan dalam
perkawinan dengan kelompok tradisional yang ingin
mempertahankan konsep konvensional, dimana kelompok Islam,
misalnya menyetujui batasbatasan hukum bagi perceraian dan
poligami yang dilakukan sewenang-wenang dan kelompok sekuler
akhirnya menerima bahwa pernikahan lebih dari sekedar ikatan
pribadi namun merupakan persoalan spiritual yang dilakukan di
bawah payung agama (Lukito, 2008: 276).
Berangkat dari hasil kompromi berbagai kepentingan itulah
maka kendatipun UU Perkawinan telah berlaku lebih dari tiga
dasawarsa, tetapi kenyataannya masih memunculkan berbagai
peroalan dan respon, bahkan dalam beberapa segi nuansa selisih
antara ketentuan hukum perkawinan yang diatur dalam UU
Perkawinan sebagai formal legal order dengan ketentuan yang
hidup dalam masyarakat- sebagai social order masih berberlanjut.
Salah satu contoh praktik perkawinan yang mencerminkan adanya
selisih antara UU Perkawinan sebagai formal legal order dengan
82
yang dipraktikkan oleh masyarakat sebagai social order adalah
perkawinan di bawah umur yang merebak di tengah-tengah
masyarakat. Perkawinan di bawah umur tersebut masih banyak
dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia.
Di Kabupaten Bantul misalnya, sebelum tahun 2009 rata-
rata permintaan dispensasi kawin di bawah umur hanya 1 atau 2
orang perbulan, tetapi memasuki tahun 2009 meningkat menjadi
rata-rata 3 sampai 4 orang perbulan (Jalaludin, Kedaulatan Rakyat.
13 Juni 2009, 5). Informasi dari Pengadilan Agama Bantul ini
semakin memperkuat laporan hasil Survey Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007 yang menemukan
jumlah kasus pernikahan dini mencapai 50 juta penduduk.
(http://majalahsaudagar-
multiply.com.journal/item/edisi_Desember-2008-
_50juta_Nikah_Dini, diakses 5/25/2009, pukul 20.00 WIB). Dan
salah satu kasus perkawinan di bawah umur yang paling
kontroversial dan menuai respon dari berbagai pihak adalah
perkawinan yang dilakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto (43
tahun) terhadap Lutfiana Ulfa (12 tahun) pada tanggal 8 Agustus
2008 di desa Bedono, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang
sebagimana disebutkan dalam pembahasan-pembahasan
sebelumnya (www.nahimunkar.com/para-teroris-dalam-kasus-
luthfianaulfa-/ 12/24/2008, diakses 5/25/2009, jam 21.00 WIB).
Pernikahan di bawah umur tersebut bertentangan dengan Pasal 7
ayat (1) undang-undang perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2002
tentang perlindungan Anak.
Sebagai akibat dari adanya selisih tersebut, UU
Perkawinan tidak dapat berlaku secara efektif di dalam kehidupan
masyarakat karena masih banyak di antara mereka yang
memandang pelanggaran terhadap UU Perkawinan sebagai
pelanggaran terhadap aturan pemerintah yang dipandang
sebagimasalah formalitas saja dan tidak ada hubungannya dengan
aturan fikih yang dianggap sebagai kewajiban agama. Terkait
83
dengan permasalahan tersebut di atas, pertanyaan yang mengemuka
adalah mengapamasih terjadi selisih antara kedua sistem hukum
tersebut, padahal, sebagaimana disebutkan di atas salah satu tujuan
diadakannya unifikasi hukum perkawinan adalah untuk
meminimalisir terjadinya selisih.
Menyikapi kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa
pembahasan mengenai berfungsi atau tidak berfungsinya suatu
hukum tidak bisa lepas dari tiga komponen dari sebuah sistem
hukum sebagaimana diintrodusir oleh L.M. friedman yaitu Legal
substantive, legal structure, dan legal culture. (Friedman, 1975:
11). Menurut Friedman agar hukum sebagai suatu sistem dapat
berjalan dengan baik dan benar di dalam kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat maka kinerja tiga unsur tersebut
harus berjalan. Legal substantive (substansi hukum) berkaitan
dengan norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan,
legal structure (struktur hukum) lebih menekankan kepada kinerja
aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri,
sementara legal culture (budaya hukum) menyangkut prilaku
masyarakat (Friedman, 1975: 11).
Dari aspek Legal substantive, yang menjadi pertanyaan
adalah apakah peraturan perundangundangan yang terkait dengan
UU Perkawinan antara satu dengan yang lainnya bersifat koheren
atau belum? Demikian juga dalam aspek legal structure, apakah
aparat yang mempunyai otoritas terhadap pemberlakuan undang-
undang perkawinan, perangkat yang ada seperti fasilitas dan lain
sebagainya telah mendukung atau belum terhadap berfungsinya
undang-undang perkawinan secara maksimal? Sedangkan dari
aspek legal culture, apakah cara pandang dan prilaku masyarakat
telah sesuai atau belum dengan maksud pembaruan undang-undang
perkawinan? Sebagaimana akan dianilisis sebagai berikut:
Dari segi legal substantive, dapat dikatakan bahwa ada
beberapa hal yang yang menjadi penyebab terjadinya adanya
selisih: Pertama, norma hukum atau peraturan perundang-
84
undangan yang mengatur tentang siapa yang yang dimaksud
dengan anak di bawah umur, antara satu perundang-undangan
dengan perundang-undangan lainnya tidak koheren.
Kedua, ketentuan mengenai batas usia minimal kawin
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan tidak
disertai dengan ancaman sanksi terhadap pihak-pihak yang
melanggarnya. Ketentuan yang ada hanya mengatur: (a) masalah
dispensasi bagi mereka yang akan menikah tetapi belum mencapai
usia pernikahan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (b) dan
pencegahan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 13, serta
pembatalan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 22
undang-undang perkawinan.
Ketiga, ketentuan Pasal 2 ayat (1) undang-undang
perkawinan yang menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya”, Ketentuan ini juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya selisih antara ketentuan dalam Fikih
Munakahat dengan ketentuan dalam undang-undsng perkawinan.
Karena sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang tertuang
dalam undang-undang perkawinan tidak semuanya sejalan dengan
yang ada dalam Fikih Munakahat (klasik). Misalnya ketentuan
tentang syarat usia perkawinan bagi laki-laki minimal berumur 19
(Sembilan belas) tahun dan bagi perempuan 16 (enam belas) tahun.
Apabila terjadi seperti ini bagaimana penyelesainnya? Menurut
Abdul Ghofur Anshori, secara yuridis undang-undang perkawinan
telah memberikan jawaban atas permasalahan tersebut, yakni
sepanjang hukum agamanya mengatur lain maka hukum
agamanyalah yang digunakan (Anshori, 2011: 15).
Problem yang muncul terkait dengan masalah tersebut
adalah dalam hukum substantive Islam (Fikih Munakahat) terdapat
ketidaksamaan pemahaman mengenai batas usia seseorang boleh
melakukan perkawinan. Dalam Fikih Munakahat (klasik) pada
umumnya ulama tidak mempermasalahkan perkawinan di bawah
85
umur sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya,
sementara dalam Fikih Munakahat kontemporer, ada ketentuan
umur seseorang baru diperbolehkan kawin. Misalnya ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam, yang menyebutkan bahwa “untuk kemaslahatan keluarga
dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal
7 UU No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun”.
Dari segi legal structure, aparat yang mempunyai otoritas
terhadap pemberlakuan undangundang perkawinan pada umumnya
sudah mempunyai komitmen yang tinggi untuk memberlakukan
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam undang-undang
perkawinan. Misalnya dapat disimpulkan dari hasil wawancara
dengan Kepala KUA Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang yang
menolak permohonan perkawinan Pujiono Cahyo Widianto (43
tahun) dengan Lutfiana Ulfa (12 tahun). Dalam wawancara tersebut
juga terungkap bahwa memang di kalangan masyarakat masih
terdapat pemahaman yang membolehkan perkawinan di bawah
umur meskipun telah dilakukan pemahaman terhadap masyarakat
melalui penyuluhan, tetapi karena frekuensinya relatif sedikit maka
belum dapat merubah pemahaman tersebut secara signifikan.
(Wawancara dengan Kepala KUA Kecamatan Jambu, Kabupaten
Semarang, tanggal 5 Maret 2012).
Sementara itu, Majelis Hakim Pengadilan Agama
Ambarawa Semarang menolak permohonan dispensasi yang
diajukan oleh orang tua Lutfiana Ulfa karena yang bersangkutan
tidak pernah hadir dalam persidangan sehingga diputuskan
menolak secara absentia. Namun dalam kasus yang lain,
Pengadilan Agama Ambarawa Semarang mengeluarkan dua
keputusan yang berbeda meskipun permohonan diajukan oleh
orang yang sama, yaitu: (1) menolak permohonan dispensasi
86
dengan alasan bahwa di samping anak pemohon belum mencapai
umur yang diperbolehkan (16 tahun), pemohon juga mempunyai
keinginan untuk meringankan beban pemohon. (2) permohonan
dispensasi perkawinan dikabulkan oleh Majelis Hakim (yang
dalam putusan pertama ditolak) dengan alasan bahwa pernikahan
tersebut sangat mendesak untuk dilangsungkan karena keduanya
telah menjalin hubungan sejak kurang lebih 7 bulan yang lalu dan
hubungan mereka telah sedemikian eratnya, bahkan anak pemohon
sudah hamil. (Wawancara dengan Panitera Pengadilan Agama
Ambarawa Semarang, tanggal 6 Maret 2012).
Dari segi legal culture, Menurut Margarito Kamis,
dibandingkan dengan substansi hukum, budaya hukum merupakan
perkara tersulit dalam pembangunan hukum. Membentuk
undangundang memang merupakan bagian dari budaya hukum.
Tetapi mengandalkan undang-undang untuk membangunan budaya
hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma
hukum adalah jalan pikiran yang setengah sesat.
(http://www.setneg.go.id./ index.php?option.com_conten&taskvie,
akses tanggal 20 Februari 2008). Margarito lebih lanjut
memaparkan bahwa budaya hukum bukanlah hukum. Budaya
hukum secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum.
Soal-soal itu adalah nilai, orientasi, ide-ide, sikap-sikap, harapan
dan pendapat orang tentang tentang hukum dalam arti luas. Hukum
dalam arti empirik adalah apa yang diperagakan oleh orang-orang
yang diberi otoritas oleh negara untuk menjalankan satu undang-
undang. Dalam arti empirik itu pula, hukum mewujud pada
tindakan kongkrit yang seirama atau tidak seirama dengan kaidah-
kaidah dalam undang-undang (Warassih, 2005: 82).
Demikian juga dengan sikap dan apresiasi mayoritas kaum
muslim yang belum dapat menerima ketentuan UU Perkawinan
mengenai batas usia minimal kawin. Sikap dan apresiasi tersebut,
meminjam teori yang diintrodusir oleh Akh. Minhaji (Minhaji,
1999: 7), dipengaruhi oleh penyakit kultur psikologis yang pada
87
umumnya masih terdapat dalam kehidupan masyarakat muslim
Indonesia, yakni sebagai berikut: (1) Taqlid, yakni suatu sikap yang
lebih mengutamakan pendapat tertentu, dalam hal ini, pendapat
Fuqaha klasik yang membolehkan perkawinan di bawah umur,
walaupun pendapat itu sendiri sudah tidak lagi sesuai dengan
ketentuan zaman. (2) Private affairs, yakni sudut pandang yang
berorientasi pada paham pentingnya urusan individu.
Agama seolah-olah dianggap hanya berdimensi tunggal,
yakni akidah yang tidak melihat perlunya campur tangan penguasa.
(3) Otoriter yang deskriptif, yakni suatu sikap yang lebih
mengutamakan sifat otoritatif syari’ah. Segala problem dijawab dan
dipecahkan berdasarkan kandungan tersurat dari suatu nash (Al-
Quran dan Hadis) dan doktrin mazhab sebagaimana yang terjadi
dalam diskursus perkawinan di bawah umur. Akibatnya, mereka
berputar terus dalam siklus qila-wa-qala, tidak pernah sampai pada
pemecahan masalah yang dibutuhkan.
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, ada tiga alternatif
kebijakan yang sistematis dan terprogram untuk mengatasi adanya
selisih menurut Soetandyo (Wignjosoebroto, 2008: 126), dan
alternatif ini harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang
bertanggungjawab terhadap pembangunan hukum nasional, yakni:
Pertama adalah kebijakan mendayagunakan wibawa sanksi hukum
guna memaksa masyarakat agar mematuhi peraturan hukum
undang-undang yang sudah dipositifkan, dari kesetiaannya sebagai
partisipan popular order ke kesetiannya sebagai national legal
order. Kebijakan ini sangat penting karena memang ada suatu
anggapan bahwa kepatuhan hukum disebabkan karena adanya rasa
takut pada sanksi. Oleh karena itu UU Perkawinan seharusnya
dilakukan amandemen dengan mencantumkan bab ketentuan
pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur (Indrati,
2007: 125).
Kedua, adalah langkah kebijakan yang dilakukan dengan
melakukan penyuluhan dan membangkitkan kesadaran baru di
88
masyarakat. Kebijakan ini perlu diintensifkan karena
ketidakpatuhan masyarakat terhadap ketentuan batas usia minimal
perkawinan, salah satu penyebabnya adalah mereka tidak
memahami aturan yang dimaksud. Hal ini sejalan pula dengan apa
yang dikonstatir oleh Soerjono Soekanto bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi kesadaran hukum, adalah pengetahuan tentang
ketentuan hukum (Soekanto, 1981: 217-219).
Ketiga, adalah langkah kebijakan legal reform, yakni suatu
langkah yang dikerjakan dengan cara melakukan revisi atau
pembaharuan atas bagian-bagian tertentu dalam kandungan hukum
undang-undang yang telah ada sedemikian rupa agar hukum negara
dapat berfungsi lebih adaptif pada situasi-situasi riil ysng terdapat
dalam kehidupan warga masyarakat. Terkait dengan kebijakan ini,
maka ketentuan batas usia minimal kawin harus diperbaharui atau
paling tidak antara satu ketentuan peraturan perundang-undangan
dengan ketentuan lainnya koheren, tidak saling bertentangan
sebagaimana dipaparkan di atas. Oleh karena itu, ketentuan yang
ada dalam Pasal 7 ayat (1) yang mematok umur calon pengantin
laki-laki tidak kurang dari 19 tahun dan calon pengantin perempuan
tidak kurang 16 tahun, disesuaikan dengan Pasal 1 ayat (1) UU No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni yang disebut
anak adalah seorang yang belum mencapai umur 18 tahun, atau
disesuaikan dengan Pasal 1 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang
yang belum mencapai umur 21 tahun dan tanpa membedakan
antara calon pengantin laki-laki dan perempuan.

D. KESIMPULAN
a. Simpulan:
Dari uraian yang telah dikemukakan dapat ditarik kesimpulan
sebagai hasil kajian sebagai berikut:
a. Faktor yang menyebabkan terjadinya selisih antara ketentuan
perkawinan di bawah umur dalam Fikih Munakahat dan UU
89
Perkawinan dilihat segi hukum sebagai suatu sistem ada tiga
hal: (1) dari segi legal substantive, ketentuan mengenai anak
dalam peraturan perundangundangan antara satu dengan yang
lainnya tidak koheren, sehingga sering mendatangkan perbedaan
persepsi dan sikap terhadap perkawinan yang dilakukan oleh
mereka. (2) dari segi legal structure, meskipun aparat terkait
pada umumnya sudah mempunyai komitmen tinggi terhadap
pelaksanaan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan namun sosialisasi
ketentuan tersebut kepada masyarakat kurang maksimal. 3) dari
segi legal culture, sebagai konsekwensi logis dari tidak
maksimalnya sosialisasi tersebut, maka penyakit kultur
psikologis masyarakat belum dapat “disembuhkan”.
b. Ada tiga alternatif kebijakan yang diusulkan untuk meresolusi
adanya selisih terebut, yaitu: (1) perlu mendayagunakan sanski
hukum untuk memaksa masyarakat mematuhi ketentuan yang
mengatur mengenai batas usia minimal kawin. (2) penyuluhan
hukum perlu diintensifkan, baik melalui proses learning
maupun proses dislearning. 3) perlu dilakukan legal form
terhadap pasal-pasal yang ada dalam UU Perkawinan,
khususnya mengenai batas usia minimal kawin, sehingga
ketentuan tersebut dapat diterima sebagai nilai filosofis, yuridis,
dan sosiologis oleh masyarakat.
b. Saran:
Dari hasil penelitian yang dilakukan tersebut di atas, ada dua
saran yang penting dicermati dan ditindaklanjuti, yakni: 1) karena
UU Perkawinan di Indonesia sudah lebih dari tiga dasawarsa, maka
perlu dilakukan legal form, terutama terkait dengan pasal-pasal
yang kontroversial. 2) perlu usaha serius untuk memberikan
pemahaman kepada masyarakat bahwa ketentuan yang ada dalam
UU Perkawinan merupakan produk pembaharuan hukum
perkawinan yang diperlukan untuk menjamin tercapainya tujuan
perkawinan. Kedudukannya sama dengan ketentuan-ketentuan
dalam kitab-kitab fikih.
90
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara


Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta:
Kencana).
Nuruddin, Amir dan Tarigan, Azhari Akmal,. 2006. Hukum Perdata Islam
di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,
UU No. 1/1974 sampai KHI, Cetakan ketiga, Jakarta: Prenada
Media Group.
Anshori, Abdul Ghofur,. 2011. Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih
dan Hukum Positif, Cetakan Pertama, Yogyakarta: UII Press.
Arifin, Bustanul,. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar
Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Jurnal Media Hukum
(Jakarta: Gema Insani Press).
Warassih, Esmi,. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cetakan
pertama, Semarang: PT. Suryandara Utama.
Friedman, LM,. 1975. The Legal System: A Social Perspektive, (New York:
Russel Sage Foundation, hlm. 11.
Hamka, 1983. Tafsir al-Azhar, Jakarta: Bulan Bintang.
Hadikusuma, Hilman,. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju.
Jalaludin, H., 2007 . (Humas Pengadilan Agama Bantul), “Meningkat
Permintaan Dispensasi Nikah Muda”,
Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik
Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisiu,.
Mardani, 2011. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Modern, Cetakan
pertama,
Yogyakarta: Graha Ilmu,

91
Kamis, Margarito, “Arah Pemikiran Pembangunan Hukum Pasca
Perubahan UUD 1945”,http://www.setneg.go.id./index.php?
option.com_conten&taskvie, akses tanggal 20 Februari 2008
Muzdhar, Atho’, dan Nasution, Khairuddin, 2003. Hukum Kelurga di
Dunia Islam Modern, Cetakan pertama, Jakarta: Ciputat Press,.
Lukito, Ratno, 2008. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler Studi Tentang
Konflik dan ResolusiDalam Sistem Hukum Indonesia,Cet. I,
(Jakarta: Pustaka).
Ridla, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Mesir: al-Manar, 1325 H.
Soerjono Soekanto, dkk. 1984. Antropologi Hukum Proses Pengembangan
Ilmu Hukum Adat. Jakarta: CV. Rajawali.
Al-Siba’i, Musthafa, 1984. al-Mar’ah baena al-Fiqh wa al-Qanun, Cetakan
keenam, Beirut: al-Maktab al-Islami.
Soewondo, Nani, 1984. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan
Masyarakat, Jakarta: Ghalia, Indonesia.
Soerjono Soekanto, 1981. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali
Pers.
Jawahir, Thontowi, 2007. Hukum Kekerasan dan Kearifan Lokal
Penyelesaian Sengketa di Sulawesi Selatan, (Yogyakarta: Pustaka
Fahima,
Mahmood, Tahir, 1987. Personal Law in Islamic Countries: History, Text
and Comparative Analysis, New Delhi: Academy of Law and
Religion,.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002. Hukum: Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalah, Cetakan pertama, Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Perkumpulan untuk
Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA).
Wignjosoebroto, Soetandyo, 2008. Hukum dalam Masyarakat
Perkembangan dan Masalah. Malang: VOL. 20 NO.1 JUNI 2013.
Bayunedia.
Hanafi, Yusuf, 2011. Kontroversi Perkawinan di Bawah umur (Child
Marriage), Perspektif Islam, HAM Internasional, dan U89U
Nasional, Cetakan pertama, Bandung: Mandar Maju.
92
Darajat, Zakiyah, 1998. Ilmu Fiqh, Yokyakarta: Dana Bakti Wakaf.
Al-Zuhaili, Wahbah, 1989. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Cetakan
ketiga, Bairut: Dar al-Fikr, Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974,
tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975, tantang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia
http://majalahsaudagar-multiply.com.journal/item/edisi_Desember-2008
50juta_Nikah_Dini, diakses 5/25/2009
http://www.nahimunkar.com/para-teroris-dalam-kasus-luthfiana-
ulfa-/12/24-2008, diakses 5/25/2009
http”//www.nahimunkar.co0m/para-teroris-dalam-kasus-lutfiana-
ulfa-/12/24-2008. Diakses 3/25/2009, baca juga Suara Media, 26
Oktober 2009

93
PENGGUNAAN METODE MIND MAPPING DALAM
PEMBELAJARAN SOSIOLOGI

Dini Nurbaeti, S.Pd.


Guru Sosiologi SMAN 1 Karangnunggal

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan


menggunakan jenis penelitian eksperimen semu. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa IPS kelas XI SMAN 1
Karangnunggal. Sampling dalam penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling, sehingga dalam penelitian ini sampel
yang digunakan adalah siswa kelas XI IPS 1 dan kelas XI IPS 2.
Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan post tes yang
berfungsi untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam pembelajaran
Sosiologi. Hasil penelitian ini adalah, (1) ada pengaruh metode
Mind Mapping terhadap hasil belajar Sosiologi, hasilnya diperoleh
dari nilai signifikansi lebih dari 0,05, nilai signifikansi sebesar
0,999. Berdasarkan uji t dapat dilihat bahwa kelas eksperimen
dengan responden 32 memiliki rata-rata 84,21 dan kelas kontrol
jumlah responden 33 memiliki rata-rata 81,12. Dengan itu
menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelas eksperimen lebih besar
dibandingkan kelas kontrol. Dari analisis data dengan uji t dengan
taraf signifikansi 5% diperoleh nilai signifikansi 0,000 < 0,05.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar
menggunakan metode Mind Mapping dengan konvensional.
Kata kunci: Metode Mind Mapping, Hasil Belajar

A. PENDAHULUAN
a) Latar Belakang
Perkembangan zaman saat ini mengalami perkembangan yang
sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan adanya
perkembangan- perkembangan yang semakain pesat maka dampaknya
akan menimbulkan berbagai tantangan khususnya bagi manusia yang
94
ada dimuka bumi ini. Maka dari itu, pendidikan merupakan hal yang
sangat penting bagi manusia untuk bisa beradaptasi dengan
perkembangan zaman.
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama dalam proses
pembangunan nasional. Oleh karena itu, upaya meningkatkan mutu
pendidikan di sekolah merupakan strategi dalam upaya meningkatkan
sumber daya manusia.
Pendidikan merupakan hal mendasar bagi kehidupan manusia.
Tanpa pendidikan, manusia tidak akan berkembang disegala aspek
kehidupannya. Oleh karena itu, pendidikan harus diperhatikan dan
dikelola secara serius. Dalam sejarah umat manusia hampir tidak ada
kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai
pembudayaannya dan peningkatan kualitasnya.
Pengertian pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh
seseorang melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan yang
berlangsung di sekolah dan diluar sekolah selama hidupnya yang
memberikan perubahan yang bisa menjadikan diri seseorang itu menjadi
lebih baik. Menurut Langeveld dalam Made, pendidikan adalah member
pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seseorang anak (yang
belum dewasa) dalam pertumbuhan menuju ke arah kedewasaan dalam
arti dapat berdidri sendiri dan bertanggungjawab susila atas segala
tindakan menurut pilihannya sendiri.
Melalui sistem Pendidikan Nasional diharapkan setiap rakyat
Indonesia mempertahankan hidupnya, mengembangkan dirinya dan
secara bersama-sama membangun masyarakatnya. Upaya yang harus
dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan manusia sehingga dapat
menghadirkan sumber daya manusia yang berkualitas, telah terkandung
secara jelas dalam tujuan pendidikan nasional. Proses pembelajaran
yang terdapat didalamnya merupakan interaksi edukatif antara peserta
didik dengan pendidik.
Pembelajaran adalah perpaduan dari dua aktivitas, yaitu aktivitas
pendidik dan peserta didik, pembelajaran menyangkut peranan seorang
95
pendidik dalam konteks mengupayakan terciptanya jalinan komunikasi
harmonis atau interaksi edukatif antara pendidik dengan peserta didik.
Jalinan komunikasi yang harmonis inilah yang menjadi indikator suatu
aktivitas ini proses pembelajaran itu berjalan dengan baik.
Berbicara tentang belajar pada dasarnya berbicara tentang
aktivitas manusia dalam kehidupan ini, dimana ada kehidupan disanalah
ada peristiwa belajar sebaliknya. Peristiwa belajar muncul bersamaan
dengan hadirnya, manusia di muka bumi ini. Belajar adalah aktivitas
seseorang dalam rangka memiliki kompetensi dalam bentuk
keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan. Belajar dipandang
sebagai proses elaborasi dalam upaya pencarian makna yang dilakukan
individu proses belajar pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan.
Belajar tidak hanya terbatas pada aspek keterampilan, tetapi juga
meliputi fungsi-fungsi skil, persepsi, emosi cara berpikir dan
kecerdasan, sehingga menimbulkan performansi yang lebih baik. Untuk
mencapai keberhasilan pembelajaran mesti melalui berbagai macam
aktivitas, baik aktivitas fisik maupun psikis. Aktivitas fisik ialah peserta
didik giat, aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain
ataupun bekerja, dia tidak hanya duduk dan mendengarkan, melihat atau
hanya pasif. Peserta didik yang memiliki aktivitas psikis (kejiwaan)
adalah, jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya atau banyak
berfungsi dalam rangka pembelajaran. Seluruh peranan dan kemauan
dikerahkan dan diarahkan supaya daya itu tetap aktif untuk
mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal sekaligus mengikuti
konsep pembelajaran (proses perolehan hasil pembelajaran) secara aktif,
mendengarkan, mengamati, menyelidiki, mengingat, menguraikan,
mengasosiasikan ketentuan satu dengan lainnya,dan sebagainya.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Damsar yang
berjudul “Pengantar sosiologi pendidikan”, dapat disimpulkan bahwa
mata pelajaran Sosiologi terdapat banyak isu-isu, baik yang datang dari
guru maupun dari peserta didik. Umumnya, pada mata pelajaran
Sosiologi banyak ditemui metode yang kurang efektif dalam proses
96
pembelajaran berlangsung, dengan suasana demikian mata pelajaran
Sosiologi nampak hening dan mati, halini karena siswa merasa jenuh
dan bosan.
Kejenuhan siswa dalam pembelajaran pada umumnya
ditimbulkan oleh pembelajaran yang kurang menarik. Penyebab kurang
menariknya suatu pembelajaran salah satunya kurang efektivitasnya
penerapan suatu metode pembelajaran yang disampaikan oleh pendidik.
Akibatnya, siswa menjadi jenuh dan dan bosan untuk belajar mata
pelajaran Sosiologi.
Kebosanan yang nampak pada siswa juga bisa timbul karena
merasa bahwa mata pelajaran Sosiologi tidak terlalu penting. Para siswa
juga sedikit meremehkan mata pelajaran Sosiologi, mereka menganggap
bahwa sudah bisa dengan mata pelajaran Sosiologi, karena dianggapnya
sudah teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Proses pembelajaran mata pelajaran Sosiologi di SMA Negeri 1
Karangnunggal banyak terdapat kendala baik faktor internal maupun
faktor eksternal. Kendala faktor internal terjadi di dalam diri peserta
didik itu sendiri diantaranya kemauan dan keingintahuan tentang mata
pelajaran Sosiologi yang masih rendah, banyak peserta didik yang
kurang memperhatikan materi yang disampaikan oleh guru, partisipasi
belajar peserta didik yang relatif rendah, banyak peserta didik yang
tidak ingin mencatat materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru.
Kendala faktor eksternal diantaranya kurangnya sarana
pendukung berupa fasilitas dalam proses pembelajaran Sosiologi,
terbatasnya buku pelajaran Sosiologi yang bisa digunakan dan dipinjam
oleh peserta didik, buku mata pelajaran Sosiologi hanya dipakai oleh
guru yang mengajar saja, alat peraga yang kurang memadai, waktu
pembelajaran produktif/praktik Sosiologi yang dilaksanakan pada jam
siang atau pelajaran terakhir mengakibatkan peserta didik lelah dan
mengantuk dalam proses pembelajaran, dan proses pembelajaran tidak
menggunakan media melainkan hanya guru yang ceramah di depan
kelas dan peserta didik mendengarkan.

97
Salah satu metode pembelajaran yang dinilai akomodatif dapat
meningkatkan aktivitas dan kreatifitas peserta didik, kemampuan
bekerjasama antar peserta didik serta prestasi belajar peserta didik
adalah dengan menggunakan metode pembelajaran Mind Mapping.
Metode pembelajaran Mind Mapping adalah salah satu dari strategi
pembelajaran Quantum Learning yang mengupayakan seorang peserta
didik mampu menggali ide-ide kreatif dan aktif dalam mengikuti
kegiatan proses pembelajaran sehingga diharapkan dapat membantu
guru melakukan proses pembelajaran yang relatif mudah dipahami oleh
peserta didik, dan proses pembelajaran diharapkan dapat berlangsung
dalam situasi yang menyenangkan, dapat menumbuhkan kreatifitas
berpikir peserta didik serta meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
Sehingga proses pembelajaran akan lebih hidup, variatif dan
membiasakan peserta didikuntuk memecahkan masalah dengan cara
memaksimalkan daya pikir dan kreatifitas. Dengan demikian tujuan
pembelajaran yang sudah ditentukan dapat tercapai.
Mind mapping dikatakan sesuai dengan kerja alami otak karena
pembuatannya menggunakan prinsip-prinsip brain managemen.
Sehingga akan mudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan
mengambil informasi itu ketika dibutuhkan. Dengan teknik ini kita bisa
menutupi kelemahan daya ingat. Mind Mapping merupakan salah satu
dari metode pembelajaran yang mengupayakan seorang peserta didik
mampu mengenali ide-ide kreatif dan aktif dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran sehingga peserta didik mampu membuat catatan lebih
menarik, mudah diingat sekaligus mudah dimengerti dengan model
Mind Mapping akan sangat membantu peserta didik untuk
meningkatkan kreatifitas peserta didik dan secara otomatis juga
meningkatkan hasil belajar peserta didik .
Mind Mapping juga dapat menambah kreatifitas siswa melalu
proses penggambaran Mind Mapping .Kelebihan menggunakan Mind
Mapping adalah (1) Dapat melihat gambaran secara menyeluruh (2)
Dapat melihat detailnya tanpa kehilangan benang merah antar topik (3)
Terdapat pengelompokan informasi (4) Menarik perhatian mata dan
98
tidak membosankan (5) Memudahkan berkonsentrasi (6) Proses
pembuatannya menyenangkan karena melibatkan gambar, warna dan
lain-lain. (6) Mudah mengingatnya karena ada penanda-penanda visual.

b) Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hasil belajar Sosiologi peserta didik kelas XI IPS 2
dengan menggunakan metode pembelajaran Mind Mapping
2. Bagaimana hasil belajar Sosiologi peserta didik kelas XI IPS 1
tanpa menggunakan metode pembelajaran Mind Mapping
3. Apakah terdapat peningkatan hasil belajar Sosiologi peserta didik
kelas XI IPS 2 antara menggunakan metode pembelajaran Mind
Mapping dengan peserta didik kelas XI IPS 1 yang tidak
menggunakan metode pembelajaran Mind Mapping
c) Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui hasil belajar Sosiologi peserta didik kelas XI
IPS 2 dengan menggunakan model pembelajaran Mind Mapping
2. Untuk mengetahui hasil belajar Sosiologi peserta didik kelas XI
IPS 1 yang tidak menggunakan metode pembelajaran Mind
Mapping
3. Untuk mengetahui Apakah terdapat peningkatan hasil belajar
Sosiologi peserta didik kelas XI IPS 2 yang menggunakan model
pembelajaran Mind Mapping dengan peserta didik kelas XI IPS 1
yang tidak menggunakan model pembelajaran Mind Mapping.
d) Manfaat
1) Bagi Penulis
Penelitan ini memberikan wawasan bagi penulis sebagai guru
dalam penerapan metode Maind Mapping yang sesuai dengan
kondisi siswa, memberikan kontribusi untuk memilih metode
99
pembelajaran yang disukai oleh siswa, dan dapat meningkatkan
profesionalisme penulis sebagai guru.
2) Bagi Peserta didik
Terjadi perubahan metode pembelajaran yang dapat merubah
perilaku siswa menjadi lebih aktif dan kreatif, Meningkatkan
motivasi dan partisipasi siswa dalam mempelajari mata pelajaran
Sosiologi, Meningkatkan pemahaman dan penguasaan mengenai
materi Sosiologi.
3) Bagi Peneliti Lain
Para peneliti yang hendak melakukan penelitian sejenis, kiranya
dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai referensi dan
bahan perbandingan

B. KAJIAN/TINJAUAN PUSTAKA
a) Telaah Kepustakaan
1. Pengertian Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran diambil dari kata “metode” yang artinya
cara melaksanakan dan kata “pembelajaran” yang artinya proses
tejadinyaperubahan tingkah laku seorang menuju ke arah yang lebih
baik. Sehingga metode pembelajaran menurut bahasa dapat diartikan
sebagai cara melaksanakan proses perubahan tingkah laku seseorang
menuju kea rah yang lebih baik. Sedangkan menurut istilah, metode
pembelajaran adalah sebuah cara yang digunakan untuk mencapai
suatu tujuan pembelajaran.
Seorang guru yang ingin mengajar secara efektif sangat
bergantung pada pemilihan dan penggunaan metode pembelajran yang
cocok dengan tujuan pembelajaran. Karena satu metode pembelajaran
tidak selalu cocok untuk digunakan pada semua materi pembelajaran.
Sehingga seorang guru yang ingin mengajar secara efektif sebaiknya
mampu memilih dan menguasau metode pembelajaran yang cocok
digunakan dalam menjelaskan suatu materi kepada siswa sekaligus
metode tersebut dapat membuat siswa tertarik pada apa yang
diajarkannya.
100
Metode pembelajaran dapat juga disebut dengan metode
mengajar. Metode mengajar adalah alat yang dapat merupakan bagian
dari perangkat alat atau cara dalam pelaksanaan suatu strategi belajar
mengajar.2 Karena strategi belajar mengajar merupakan alat untuk
mencapai tujuan pembelajaran, maka metode mengajar juga digunakan
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam hal ini pengertian dari
metode pembelajarn sama dengan metode mengajar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah cara yang merupakan
bagian dari strategi belajar mengajar yang digunakan oleh seorang
guru untuk mencapaipembelajaran agar siswa tertarik pada apa yang
diajarkannya serta dapat belajar secara optimal.

2. Metode Mind Mapping


Mind Mapping berasal dari kata “mind” yang artinya pikiran dan
“mapping” yang artinya membuat peta. Sehingga Mind Mapping juga
biasa diartikan sebagai pemetaan pikiran. Sistem peta pemikiran atau
Mind Mapping adalah suatu teknik grafis yang dapat menyelaraskan
proses belajar dengan cara kerja alami otak. Sistem ini ditemukan dan
dipopulerkan oleh Dr. Tony Buzan di awal tahun 1970-an.3 Ia
menyadari bahwa permasalahan belajar yang dihadapi setiap siswa
pada dasarnya adalah bersumber dari tidak adanya penggunaan kedua
belah otak secara sinergis. Karena Tony buzan pernah mengalaminya
sendiri saat masih kecil. Menyadari bahwa Ia telah mengalami
kesulitan belajar maka Tony buzan melakukan banyak penelitian.
Melalui penelitian yang dilakukannya Tony Buzan mengetahui
pentingnya menggunakan potensi otak kanan dan otak kiri secara
seimbang. Kemudian ia mulai berfikir tentang belajar yang sesuai
dengan cara kerja alami otak. Akhirnya terbentuklah suatu alat
sederhana yang mencerminkan kreativitas serta kecemerlangan
alamiah proses berpikir kita. Saat itulah Mind Mapping pertama
muncul. Mind mapping adalah suatu teknik grafis yang
memungkinkan kita untuk mengeksplorasi seluruh kemampuan otak
kita untuk keperluan berpikir dan belajar.
101
Banyak orang yang belajar dengan mencatat kembali materi
pelajaran yang telah diberikan maupun dengan menggaris bawahi hal-
hal yang penting untuk diingat dalam catatan yang dimilikinya. Abu
Ahmadi dan Widodo Supriyono dalam bukunya menyatakan bahwa
salah satu dari aktifitas belajar adalah menulis atau mencatat dan
meringkas. Mencatat dan meringkas memang dirasa cukup efektif
dalam membantu aktifitas belajar seseorang.
Oleh sebab itu, model pembelajaran Mind Mapping
memanfaatkan kegiatan mencatat dan meringkas dengan menyajikan
isi materi pelajaran dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti akan
memudahkan seseorang tersebut dalam mempelajari kembali.
Sehingga melalui hal tersebut diharapkan siswa dapat memahami
pelajaran yang diberikan dengan baik. Selain itu, dengan adanya
gambar dan warna-warna yang digunakan akan mempermudah siswa
untuk mengingat kembali informasi yang telah dicatat atau diringkas.
Karena memanfaatkan otak kanan yang cara kerjanya cenderung
berupa gambar. Berdasarkan uraian tersebut diatas, Mind Mapping
dapat diartikan sebagai suatu metode pembelajaran yang
memanfaatkan kerja alami otak kanan dan otak kiri secara seimbang
melalui proses mencatat dan meringkas dengan menggunakan gambar
berwarna warni dan bahasa yang lebih mudah dimengerti. Sehingga
siswa dapat belajar secara optimal.

3. Langkah-Langkah Dalam Membuat Mind Mapping


Mind mapping adalah salah satu metode yang digunakan guru
dalam pembelajaran. Sedangkan hasil dari mind mapping disebut mind
mapping. Mind Mapping adalah suatu diagram yang digunakan untuk
mempresentasikan katakata, tugas-tugas, ataupun suatu yang lain yang
dikaitkan dan disusun mengelilingi kata kunci ide utama.6Dalam
membuat sebuah Mind Mapping ada bahan-bahan tertentu yang
diperlukan. Berikut adalah bahan-bahan yang diperlukan untuk
membuat Mind Mapping:

102
a) Mulailah dari bagian tengah kertas kosong yang sisi panjangnya
diletakkan mendatar. Mulailah dengah tengah memberi kebebasan
kepada otak untuk menyebar kesegala arah dan untuk
mengungkapkan dirinya dengan lebih bebas dan alami.
b) Gunakan gambar atau foto untuk ide sentral ada, karena sebuah
gambar bermakna seribu kata atau membantu kita menggunkan
imajinasi. Sebuah gambar sentral akan lebih menarik, membuat
kita tetap terfokus, membantu kita berkonsentrasi, dan
mengaktifkan otak kita.
c) Gunakan warna. Bagian otak, warna sama menariknya dengan
gambar, warna membuat Mind Mapping lebih hidup, menambah
energi kepada pemikiran kreatif, dan menyenangkan.
d) Hubungkan cabang-cabang utama kegambar pusat dan hubungkan
cabang-cabang tingkat dua dan tiga ketingkat satu dan dua, dan
seterusnya.
e) Buatlah garis hubung yang melengkung, bukan garis lurus, karena
garis lurus akan membosankan otak.
f) Gunakan satu kata kunci untuksetiap garis. Karena, kata kunci
tungggal memberi banyak daya dan fleksibelitas kepada Mind
Mapping.
g) Gunakan gambar. Karena seperti gambar sentral, setiap gambar
bermakna seribu kata. Jadi bila hanya mempunyai 10 gambar
didalam Mind Mapping kita, Mind Mapping sudah setara dengan
10000 kata catatan.
h) Kesimpulan dan penutup.
Langkah Mind Mapping terfokus pada gambar untuk topik utama.
Sebuah gambar atau foto akan mempunyai seribu kata yang
membantu otak dalam menggunakan imajinasi yang akan
diungkapkan. Sebuah gambar sentral akan lebih menarik, membuat
otak tetap terfokus, membantu otak berkonsentrasi, dan
mengaktifkan otak.

4. Hasil Belajar
103
Pengertian hasil dalam Kamus Bahasa Indonesia diartiakan
sebagai sesuatu yang diadakan oleh usaha. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, secara etimologi belajar memiliki arti “berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu”. Hasil belajar dapat dijelaskan
dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu “hasil” dan
“belajar”. Pengertian hasil menunjuk pada suatu perolehan akibat
dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan
berubahnya input secara fungsional.11 Sedangkan belajar ialah suatu
proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dalam lingkungannya.
Hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang
dimiliki peserta didik setelah ia menerima pengalaman belajaranya.
Individu yang belajar akan memperoleh hasil dari apa yang telah
dipelajari selama proses belajar itu. Hasil belajar yang dicapai
peserta didik melalui proses pembelajaran optimal cenderung
mununjukkan hasil belajar dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kepuasan dan kebanggaan yang dapat menumbuhkan motivasi
pada diri peserta didik.
b. Menambah keyakinan akan kemampuan dirinya.
c. Hasil belajar yang dicapai bermakna bagi dirinya seperti akan
tahan lama pada ingatannya, membentuk perilakunya,
bermanfaat untuk mempelajari aspek lain, dan dapat digunakan
sebagai alat untuk memperoleh informasi dan pengetahuan yang
lainnya.
d. Kemampuan peserta didik untuk mengontrol atau menilai dan
mengendalikan dirinya terutama dalam menilai hasil yang
dicapainya maupun menilai proses dan usaha belajarnya.
Hasil belajar peserta didik pada merupakan kemampuan-
kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya. Dalam system pendidikan nasional rumusan tujuan
pendidikan baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional
menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang
104
secra garis besar membagi menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif,
ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
a) Ranah Kognitif
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental
atau otak. Menurut Bloom, segala upaya ang menyangkut aktivitas
otak adalah termasuk ranah kognitif. Ranah kognitif berkenaan
dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni
pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,
dan evaluasi.
b) Ranah Afektif
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan
nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat
diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan
kognitif tingkat tinggi. Penilaian hasil belajar ranah afektif kurang
mendapat perhatian dari guru. Para guru banyak menilai ranah
kognitif semata-mata. Tipe hasil belajar ranah afektif tampak pada
siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatian terhadap
pelajaran, disiplin, motivasi belajar,
menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar dan hubungan
sosial.
c) Ranah Psikomotorik
Ranah Psikomotorik berkenaan dengan keterampilan atau
kemampuan bertindak setelah ia menerima pengalaman belajar
tertentu. Hasil belajar ini sebenarnya tahap lanjutan dari hasil belajar
afektif yang baru tampak dalam kecenderungan-kecenderungan
berperilaku. Contoh-contoh hasil belajar ranah afektif di atas dapat
menjadi hasil belajar psikomotorik manakala siswa menunjukan
perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang
terkandung di dalam ranah afektifnya, seperti pada hasil belajar
afektif perhatian terhadap pelajaran dan lanjutan tersebut terdapat
pada hasil belajar psikomotorik berupa sopan, ramah, dan hormat
kepada guru pada saat guru menjelaskan pelajaran dan mencatat
bahan pelajaran dengan baik dan sistematis.
105
Hasil belajar pada penelitian ini adalah hasil belajar siswa
yang telah dicapai pada mata pelajaran Sosiologi setelah mengalami
proses belajar dan padap dilihat pada skor hasil evaluasi siswa
berupa post test setelah mengikuti pembelajaran dengan
menggunakan metode pembelajaran Mind Mapping. Oleh sebab itu,
dalam penialaian hasil belajar, peranan tujuan instruksional yang
berisi rumusan kemampuan dan tingkah laku yang diinginkan
dikuasai peserta didik menjadi unsur penting sebagai dasar acuan
penilaian.
Penilaian hasil belajar bertujuan melihat kemajuan belajar
peserta didik dalam hal penguasaan materi pembelajaran yang telah
dipelajarinya sesuai dengan tujuantujuan yang telah ditetapkan:
a) Sasaran penilaian
Sasaran atau objek evaluasi hasil belajar adalah perubahan
tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, efektif, dan psikomotor
secara seimbang. Masing-masing bidang terdiri dari sejumlah aspek.
Aspek-aspek tersebut sebaiknya dapat diungkapkan melalui penilaian
tersebut, dengan demikian dapat diketahui tingkah laku mana yang
sudah dikuasai oleh peserta didik dan penyempurnaan program
pembelajaran selanjutnya.
b) Alat penilaian
Penggunaan alat penilaian hendaknya komprehensif
meliputi tes dan bukan tes sehingga diperoleh gambaran hasil belajar
yang objektif. Demikian juga penggunaan tes sebagai alat penilaian
tidak hanya membiasakan diri dengan tes obyektif dapat diimbangi
dengan tes essay. Sebaliknya kelemahan tes essay dapat ditutupi
dengan tes obyektif. Penilaian hasil belajar hendaknya dilakukan
secara berkesinambungan agar diperoleh hasil yang menggambarkan
kemampuan peserta didik yang sebenarnya disamping sebagai alat
unntuk meningkatkan hasil belajarnya.
c) Prosedur penilaian tes
Penilaian hasil belajar dilaksanakan dalam bentuk formatif
dan sumatif. Penilaian formatif dilakukan pada setiap penilaian
106
berlangsung, yakni pada akhir pembelajaran. Tujannya untuk
memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya dan meningkatkan
motivasi dan usaha belajar peserta didik. Penilaian sumatif biasanya
dilakukan pada akhir suatu program atau pada pertengahan program.
Penilaian bisa dilakukan melalui pertanyaan secara tertulis baik tes
essay atau tes obyektif.
Jadi, Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh
peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, hasil belajar
masing-masing individu berbeda tergantung dari minat belajar
peserta didik yang bersangkutan, hasil belajar yang optimal dapat
dinilai dari berkembangnya pola pikir dan perubahan tingkah laku
individu yang bersangkutan.

b) Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian eksperimen
dikarenakan peneliti ingin mengetahui perbedaan hasil belajar
Sosiologi siswa dengan menggunakan metode Mind Mapping pada
kelas Eksperimen dan kelas kontrol menggunakan metode
konvensional/ceramah, populasi sampel penelitian adalah kelas XI IPS
2 SMAN 1 Karangnunggal sebagai kelas Eksperimen dengan jumlah
32 siswa dan kelas XI IPS 1 SMAN 1 Karangnunggal sebagai kelas
kontrol dengan jumlah 33 siswa

C. PEMBAHASAN
a) Hasil Penelitian
Tabel 1
Rekapitula Hipotesis Hasil Kriteria Interpr Kesimpulan
si Hasil Penelitian Penelitia Interpres -estasi
Penelitian n -tasi
Cara uji
SPSS Mind Nilai sig. Taraf Ha Ada perbedaan
Mapping dan (2- signifikan diterim hasil belajar
Konvensiona tailed) = si a sosiologi
l siswa kelas 0,096 < 0,05 metode Mind

107
XI IPS Mapping dan
SMAN 1 Konvensional
Karangnungg siswa kelas XI
al IPS SMAN 1
Karangnungga
l

1) Hasil Belajar Sosiologi dengan Metode Mind Mapping


Hasil belajar Sosiologi dengan metode Mind Mapping dari segi
kognitif memberikan dampak positif. Hal tersebut terbukti dengan
nilai rata-rata hasil belajar siswa yang diperoleh dari post-test materi
integrasi dan reintegrasi sosial jauh lebih baik. Nilai terendah
diperoleh dari hasil post-test adalah 80 dan nilai yang tertinggi adalah
90. Kemudian rata-rata nilai dari hasil post-test adalah 84,21 rata-rata
tersebut.

2) Hasil Belajar Sosiologi dengan Model Konvensional


Hasil belajar Sosiologi dengan Model Konvensional dari segi kognitif
memberikan dampak kurang efektif. Hal tersebut terbukti dengan nilai
rata-rata hasil belajar siswa yang diperoleh dari post-test materi
Integrasi dan Reintegrasi Sosial kurang baik. Nilai terendah diperoleh
dari hasil post-test adalah 76 dan nilai yang tertinggi adalah 85.
Kemudian rata-rata nilai dari hasil post-test adalah 81,12 rata-rata
tersebut dan hasil dari rata-rata nilai masih dibawah standar (KKM)
b) Pembahasan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, dengan metode Mind Mapping
peserta didik mampu menggali ide-ide kreatif dan aktif dalam
mengikuti kegiatan proses pembelajaran, dan proses pembelajaran pun
relatif mudah dipahami oleh peserta didik, dan proses pembelajaran
dapat berlangsung dalam situasi yang menyenangkan, menumbuhkan
kreatifitas berpikir peserta didik serta meningkatkan motivasi belajar
peserta didik dan proses pembelajaran lebih hidup serta variatif.
Berdasarkan hasil post-test dan pengamatan peneliti eksperimen
menunjukkan bahwa hasil belajar Sosiologi siswa dengan metode
108
Mind Mapping baik. Dengan metode Mind Mapping dapat
menciptakan kondisi dan lingkungan belajar siswa menjadi lebih aktif
dan terkendali. Hal ini dikarenakan siswa dikondisikan dalam formasi
kelompok kecil untuk diskusi mencari informasi terkait materi. Dalam
kelompok kecil, siswa lebih mudah untuk membagi tugas sehingga
setiap siswa akan merasa memiliki peran penting dalam kelompok dan
akan bertanggungjawab semaksimal mungkin melaksanakan tugas
yang telah diberikan dengan baik.
Proses pemecahan masalah dimulai dari mengumpulkan berbagai
informasi yang dibutuhkan baik dari sumber buku maupun bertanya
langsung dengan peneliti (guru). Dari hal tersebut siswa belajar untuk
saling mengkaitkan berbagai informasi yang diperoleh untuk
menyelesaikan tugas sehingga siswa belajar menyelesaikan tugas
dengan baik yang akan berdampak baik pada hasil belajar Sosiologi.
Pembelajaran menggunakan moetode Mind Mapping pertama, dapat
meningkatkan hasil belajar siswa karena dapat meningkatkan
hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri
sendiri dan orang lain serta meningkatkan harga diri. Kedua, dapat
merealisasikan kebutuhkan dalam berpikir, memecahkan masalah dan
mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan.
Dan dilihat dari hasil belajar Sosiologi dengan metode Mind
Mapping dari segi kognitif memberikan dampak positif. Hal tersebut
terbukti dengan nilai rata-rata hasil belajar siswa yang diperoleh dari
post-test materi integrasi dan reintegrasi sosial jauh lebih baik. Nilai
terendah diperoleh dari hasil post-test adalah 80 dan nilai yang
tertinggi adalah 90. Kemudian rata-rata nilai dari hasil post-test adalah
84,21.
Berdasarkan hasil post-test dan pengamatan peneliti dikelas
kontrol yaitu kelas XI IPS 1 menunjukkan bahwa hasil belajar
Sosiologi siswa dengan model pembelajaran Konvensional (Ceramah)
kurang efektif. Penelitian ini digunakan untuk mengetahui hasil belajar
Sosiologi menggunakan model pembelajaran Konvensional (Ceramah)
pada siswa kelas XI IPS 1 SMAN 1 Karangnunggal.
109
Hasil pengamatan peneliti menunjukkan pada metode
pembelajaan konvensional belum dapat menciptakan kondisi dan
lingkungan belajar siswa menjadi lebih aktif dan terkendali. Hal ini
dikarenakan siswa merasa bahwa Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
tersebut berjalan membosankan, dan dalam KBM siswa tidak dituntut
untuk aktif melainkan siswa menjadi pasif karena hanya
mendengarkan dan menulis materi yang guru sampaikan didepan
kelas, banyak siswa cenderung pasif sehingga banyak pula pelajaran
yang mudah dilupakan.
Hasil belajar Sosiologi dengan Model Konvensional dari segi
kognitif memberikan dampak kurang efektif. Hal tersebut terbukti
dengan nilai rata-rata hasil belajar siswa yang diperoleh dari post-test
materi Integrasi dan Reintegrasi Sosial kurang baik. Nilai terendah
diperoleh dari hasil post-test adalah 76 dan nilai yang tertinggi adalah
85. Kemudian rata-rata nilai dari hasil post-test adalah 81,12 rata-rata
tersebut dan hasil dari rata-rata nilai masih dibawah standar (KKM),
Hal ini berarti hasil belajar Sosiologi siswa sangat kurang efektif
setelah digunakan model pembelajaran konvensional.

D. SIMPULAN
Bersadarkan hasil penelitian mengenai penggunaan metode
mind mapping dalam pembelajaran Sosiologi diperoleh simpulan
sebagai berikut:
1. Hasil belajar Sosiologi peserta didik kelas XI IPS 2 dengan
menggunakan metode pembelajaran Mind Mapping dari segi
kognitif memberikan dampak positif. Hal tersebut terbukti dengan
nilai rata-rata hasil belajar siswa yang diperoleh dari post-test
materi integrasi dan reintegrasi sosial jauh lebih baik. Nilai
terendah diperoleh dari hasil post-test adalah 80 dan nilai yang
tertinggi adalah 90. Kemudian rata-rata nilai dari hasil post-test
adalah 84,21 rata-rata tersebut.
2. Hasil belajar Sosiologi peserta didik kelas XI IPS 1 yang tidak
menggunakan metode pembelajaran Mind Mapping dari segi
110
kognitif memberikan dampak kurang efektif. Hal tersebut terbukti
dengan nilai rata-rata hasil belajar siswa yang diperoleh dari post-
test materi Integrasi dan Reintegrasi Sosial kurang baik. Nilai
terendah diperoleh dari hasil post-test adalah 76 dan nilai yang
tertinggi adalah 85. Kemudian rata-rata nilai dari hasil post-test
adalah 81,12 rata-rata tersebut dan hasil dari rata-rata nilai masih
dibawah standar (KKM), Hal ini berarti hasil belajar Sosiologi
siswa sangat kurang efektif setelah digunakan model pembelajaran
konvensional.
3. Terdapat peningkatan hasil belajar Sosiologi peserta didik kelas XI
IPS 2 yang menggunakan model pembelajaran Mind Mapping
dibandingkan dengan peserta didik kelas XI IPS 1 yang tidak
menggunakan model pembelajaran Mind Mapping. Dalam proses
pembelajaranya pun terdapat perbedaan yang signifikan.
Pada metode pembelajaan konvensional belum dapat menciptakan
kondisi dan lingkungan belajar siswa menjadi lebih aktif dan
terkendali. Hal ini dikarenakan siswa merasa bahwa Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM) tersebut berjalan membosankan, dan dalam KBM
siswa tidak dituntut untuk aktif melainkan siswa menjadi pasif karena
hanya mendengarkan dan menulis materi yang guru sampaikan
didepan kelas, banyak siswa cenderung pasif sehingga banyak pula
pelajaran yang mudah dilupakan. Sedangkan dalam pembelajaran
yang menggunakan metode mind mapping dapat menciptakan kondisi
dan lingkungan belajar siswa menjadi lebih aktif dan terkendali. Hal
ini dikarenakan siswa dikondisikan dalam formasi kelompok kecil
untuk diskusi mencari informasi terkait materi. Dalam kelompok kecil,
siswa lebih mudah untuk membagi tugas sehingga setiap siswa akan
merasa memiliki peran penting dalam kelompok dan akan
bertanggungjawab semaksimal mungkin melaksanakan tugas yang
telah diberikan dengan baik.
Ada pun beberapa rekomendasi dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Dalam menyampaikan materi pelajaran khususnya, diharapkan
seorang guru dapat memilih model pembelajaran yang tepat.
111
Pembelajaran harus bisa mendorong siswa untuk lebih aktif dalam
kegiatan proses belajar mengajar. Pemilihan model pembelajaran
yang tepat dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses belajar
mengajar.
2. Bagi peserta didik Dengan diberikannya metode Mind Mapping,
diharapkan peserta didik lebih aktif bersemangat sarta lebih ber
minat dalam mengikuti proses belajar mengajar. Minat peserta
didik dalam proses pembelajaran dapat mempengaruhi hasil
belajar yang didapatkan oleh peserta didik
DAFTAR PUSTAKA

Agus Supriyono. 2012. Cooperatif Learning Teori dan aplikasi paikem.


Yogjakarta: Pustaka Belajar.
Agus Warseno dan Ratih Kumorojati. Super Learning: Praktik Belajar-
Mengajar yang Serba Efektif.
Ahmad Tanzeh. 2009. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Teras,
2009.
Damsar, 2015. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Padang: PT. Aditya
Andrebina Agung.
Daryanto. 2010. Belajar dan Mengajar. Cet. I; Bandung: Yrama Widya,
2010.
Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.
Bandung: Alfabeta
Tomy Buzan. 2012. Buku Pintar Mind Map. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Toni Buzan. 2008. Mind Mapping : buku pintar mind mapping. Jakarta:PT
Elek Media Komputindo
Uhel Madyono, “Mengenal Pembelajaran Model Mind Mapping”, Jurnal
Kajian Teori dan
Uno, Hamza. B.Model Pembelajaran Menciptakan Kegiatan Belajar
Mengajar Kreatif

112
113
DAMPAK COVID-19 DI SEKTOR PENDIDIKAN
Asep Dian Budiana S.Pd
Guru SMAN 1 Karangnunggal

Lebih dari 91% populasi siswa di dunia telah dipengaruhi


oleh penutupan sekolah karena pandemi covid-19. Kementerian di
berbagai Negara telah mengambil langkah di setiap sekolah dan
universitas untuk melakukan pembelajaran melalui internet.
Sebulan yang lalu, sebagian besar sekolah-sekolah, madrasah, dan
perguruan tinggi di Indonesia  telah menutup sistem PBM (Proses
Belajar Mengajar) yang dilakukan seperti biasanya menjadi sistem
pembelajaran daring.  
Pembelajaran online ini bertujuan untuk meningkatkan
kewaspadaan dan proses menghentikan penyebaran virus melalui
interaksi langsung di antara orang banyak. Peralihan proses
pembelajaran yang dulunya melalui tatap muka menjadi online
tentunya memaksa berbagai pihak untuk dapat mengikuti proses
dan alurnya, supaya sistem pembelajaran tetap berjalan dengan
baik. Namun ternyata, sistem ini tidak berjalan se-efektif yang kita
bayangkan, bahkan seluruh pihak mengalami kesulitan, tidak hanya
siswa, orang tua, guru, dan pemerintah ikut merasakannya.
Pembelajaran online ini memberikan dampak yang sangat
besar, baik dampak positif dan juga dampak negatifnya. Seperti
yang kita lihat, dari seluruh masyarakat tidak seluruhnya melek
teknologi, baik guru, siswa, dan orang tua masih ada yang dalam

114
tahap adaptasi dengan kemajuan teknologi saat ini, apalagi
masyarakat yang ada di desa atau pedalaman juga para masyarakat
yang lahir di zaman tahun 1960-an tentu sangat susah untuk
mempelajarinya lagi terutama guru, masih banyak guru-guru yang
belum mahir dalam mengaplikasikan teknologi zaman ini. 
Sama halnya dengan siswa/siswa, masih amatir dalam
menggunakan teknologi, diakibatkan oleh kurangnya sarana
teknologi pendukung pembelajaran di sekolah mereka, sehingga
sistem daring ini kurang efektif bagi mereka, bukan menambah
pengetahuan melainkan kurang memahami pembelajaran yang
mereka terima. 
Namun di sisi lain, kegagapan teknologi ini menjadi suatu
pemacu untuk setiap pihak yang terkait pembelajaran online ini,
menjadi lebih serius dan mendalami sistem teknologi agar semakin
mahir dalam menggunakannya, tidak hanya untuk pembelajaran
daring, namun juga untuk kehidupan sehari-hari.
Terlepas dari kegagapan teknologi, ternyata yang ikut
menjadi masalah adalah kurangnya sarana dan prasarana yang
dimiliki oleh setiap pihak. Banyak guru dan juga siswa yang tidak
bisa memenuhi fasilitas teknologi ini, jangankan untuk memenuhi
bagian ini, bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
juga masih kesulitan. Dan masalah ini, kerap dirasakan oleh
masyarakat kita yang berada di perekonomian menengah hingga
bawah. 

115
Seperti contoh, adanya kuliah daring mengharuskan siswa
memiliki laptop dan juga handphone. Namun ternyata masih ada
siswa yang tidak memiliki laptop hanya memiliki handphone,
sedangkan untuk mengerjakan tugas kuliah dan sebagainya harus
sistem ketik dan kirim lewat softcopy, maka siswa yang tidak
memiliki laptop akan kesulitan, dan warung internet di berbagai
daerah saat ini pasti tutup akibat adanya kebijakan PSBB, tidak
hanya merasakan kesulitan, mungkin saja siswa tersebut bisa
berhenti kuliah.
Masalah lain yang ikut menjadi dampak pembelajaran
online ini adalah jaringan internet dan biaya. Di Indonesia
khususnya, masih banyak daerah-daerah yang tidak memiliki atau
kurang akses internetnya, sehingga para siswa yang bertempat
tinggal di wilayah ini akan merasa kesulitan dalam mengikuti kelas
online. 
Sehingga tidak sedikit para siswa yang rela untuk
memanjat pohon atau pergi ke bukit-bukit agar tetap bisa
mengikuti kelas online. Selain itu, jaringan internet tidak akan
berjalan jika tidak ada biaya. Namun, tidak semua orang memiliki
biaya yang cukup untuk membeli kuota, apalagi pada saat ini,
harga kuota juga semakin melonjak tinggi akibat meningkatnya
permintaan masyarakat akan kuota karena interaksi masyarakat saat
ini telah beralih kepada sistem online. Kembali kepada masyarakat
yang memiliki ekonomi yang rendah, akan kesulitan untuk
membeli kuota.

116
Akibat adanya pembelajaran online, pemerintah akhirnya
membuat kebijakan untuk meniadakan UN bagi siswa SMA, SMP,
dan SD. Kebijakan ini dilakukan selain untuk memutus rantai
penyebaran COVID-19, juga dilakukan karena banyak siswa yang
kesulitan menghadapi UN. 
Di sisi lain, ada juga dampak positif yang ditimbulkan oleh
pembelajaran online sendiri. Melalui pembelajaran online ini,
seluruh pihak atau bahkan masyarakat akan ikut mempelajari
teknologi dan seperti yang kita tahu teknologi adalah pendukung
dalam berjalannya Revolusi Industi 4.0, dengan begitu masyarakat
sedikit demi sedikit akan mulai mempersiapkan diri menghadapi
Revolusi yang akan kita hadapi nantinya. 
Sisi positifnya yang lain adalah para siswa akan lebih
santai dalam mengikuti pembelajaran online ini, juga dapat
mengulang-ulang pembelajaran tersebut. Pembelajaran online ini,
memang tidak asing lagi untuk dilakukan, terutama di Negara
maju. Namun, untuk Indonesia sendiri hal ini masih sangat mula
untuk dilakukan karena masih banyak aspek yang harus
dipertimbangkan.
Apresiasi layak diberikan kepada guru, sekolah, dan
peserta didik karena mereka bisa beradaptasi dengan cepat. Namun,
seiring berjalannya waktu semua pihak perlu mengevaluasi
pembelajaran daring tersebut agar tujuannya bisa tercapai secara
optimal. 

117
118

Anda mungkin juga menyukai