Anda di halaman 1dari 2

Muhammadiyah di Tengah Fenomena Sinkretisme

Yogyakarta, daerah istimewa yang terkenal akan adat dan tradisinya. Maka tak heran
banyak orang menyebutnya sebagai Kota Budaya. Namun tak hanya itu, Yogyakarta yang
terkenal dengan Kasultanannya juga punya nilai historis erat dengan Islam. Hal tersebut
dikarenakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh raja dengan gelar Sri
Sultan Hamengkubuwono ini merupakan bagian dari Kerajaan Islam Mataram. Nilai-nilai
Islam ini tumbuh baik dan hidup beriringan dengan adat dan tradisi yang ada. Namun
sayangnya, adanya akulturasi agama dan budaya ini menimbulkan fenomena baru yang biasa
disebut “sinkretisme”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sinkretisme berarti paham (aliran)
baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk mencari
keserasian, keseimbangan, dan sebagainya. Sedangkan dalam konteks ini, sinkretisme yang
dimaksud adalah penggabungan aliran kepercayaan nenek moyang yang dianut dengan ajaran
agama Islam. Banyak kita temukan di Yogyakarta praktek-praktek sinkretisme ini salah
satunya seperti orang islam yang masih melakukan ritual adat di hari-hari tertentu. Hal ini
tentu dipengaruhi dengan dipegangnya teguh adat istiadat dan budaya oleh masyarakat itu
sendiri juga masih berlakunya adat istiadat yang dilakukan pihak Keraton Yogyakarta. 

Kanjeng Mas Tumenggung Tirto Joyo Tamtomo, salah satu abdi dalem Kraton
Yogyakarta mengungkapkan bahwa memang benar jika di Yogyakarta banyak dari
masyarakatnya masih memegang teguh kepercayaan nenek moyang baik yang selaras
maupun bertentangan dengan Islam itu sendiri. Beliau menjelaskan terdapat 3 upacara adat
utama yang diadakan pihak Keraton yaitu, upacara Grebeg, upacara Labuhan, dan siraman
pusaka. Upacara Grebeg sendiri merupakan peringatan untuk 3 hari besar umat Islam yaitu
Maulid Nabi Muhammad, Idul Fitri dan Idul Adha. Upacara Labuhan berupa pelarungan
barang-barang penting Sultan di laut selatan dalam rangka memperingati hari besar Sultan.
Sedangkan untuk siraman pusaka dilaksanakan pada malam senin atau jumat pertama di
bulan Suro. Dalam kepercayaan Jawa, bulan Suro dianggap bulan yang sakral dan mistis,
sehingga banyak orang melakukan ritual-ritual tertentu pada bulan ini.

KMT Tirto Joyo Tamtomo secara gamblang menceritakan mengenai upacara labuhan
yang berisi pemberian sesaji kepada roh nenek moyang (penjaga Pantai Selatan dan Gunung
Merapi) sebagai tanda terima kasih telah menjaga Kraton Yogyakarta dari segala macam
musibah.

“Ya kalau untuk orang Islam sendiri ya hukumnya syirik, itu adat sejak zaman dulu
sampai sekarang masih dilaksanakan. Nanti bakal ada kenduri sebelum Labuhan, bakal ada
sesajen satu ruangan penuh, saya gak apal apa saja karena banyak, yang (sesajen tersebut)
dipersembahkan untuk penjaga Gunung Merapi dan Pantai Selatan. Sampai sekarang saja,
kalau ada acara-acara pasti ada sesaji. Ya mungkin ini kalau menurut Muhammadiyah ya
syirik karena itu (kelihatannya) minta-minta kepada setan ya, tapi itu kita berdoanya kepada
Allah” Terangnya.

Beliau juga menegaskan kembali bahwa ritual-ritual yang dilakoni oleh Kraton
Yogyakarta sendiri memang bertujuan untuk melestarikan adat-istiadat terdahulu. Meski
dalam prakteknya, tidak memungkiri adanya hal yang bersifat mengarah ke perilaku syirik.
Di Yogyakarta sendiri, telah berdiri sebuah organisasi islam bernama Muhammadiyah
yang bergerak dalam dakwah islam untuk mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-
benarnya. Hal ini berawal dari banyaknya terjadi penyimpangan dalam proses dakwah yang
sering menyebabkan ajaran Islam bercampur baur dengan kebiasaan daerah tertentu. Aly
Aulia, sebagai anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
mengungkapkan bahwa dakwah yang digunakan tidak hanya melalui lisan saja, tetapi juga
melalui amal usaha. Karena bagi Muhammadiyah, dakwah tidak hanya bersifat ajakan dan
teoritis namun juga harus berada pada tataran implementasi. Seperti dengan mendirikan
sekolah, rumah sakit dan panti asuhan yang menjadi amal usaha sekaligus jalan dakwah
Muhammadiyah. 

Adapun dakwah yang dijalankan di Muhammadiyah terdiri dari tarjih atau pemurnian
dan tajdid atau dinamisasi. Tarjih ini berkaitan untuk memurnikan aspek akidah dan ibadah
yang harus murni sesuai Al Quran dan Assunah. Kemudian tarjih yang berkaitan dengan
dakwah  yang harus bergerak maju mengikuti perkembangan zaman. Sehingga dalam
prakteknya, Muhammadiyah menolak keras kesyirikan dan segala bentuk penyimpangan
Islam lainnya. Meskipun begitu, Muhammadiyah terbuka dengan pelestarian budaya yang
murni tanpa dicampuri agama. Karena menurut Aly Aulia, selama budaya tersebut tidak
mengarah pada aspek kesyirikan maka itu merupakan sebuah tindakan yang boleh dilakukan. 

Muhammadiyah juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat islam yang melenceng


dari ajaran islam melalui edukasi dakwah di masjid dan sekolah milik Muhammadiyah
dengan materi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Selain itu, Muhammadiyah juga
menggunakan dakwah kultural yaitu pendekatan dakwah dengan menggunakan adat istiadat
sesuai Al-Quran dan As Sunah dan bahasa mereka agar lebih mudah untuk menyampaikan
dakwah. 

Muhammadiyah mengapresiasi segala bentuk pelestarian budaya yang digunakan


sebagai hiburan masyarakat, karnaval budaya dan daya tarik sebuah daerah asal tidak
mengandung unsur kesyirikan. Di Muktamar Muhammadiyah ke 48 ini menggunakan
ketoprak sebagai media dakwah dan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta
yang sudah memiliki kesenian wayang sebagai wujud pengenalan budaya Indonesia. Selain
itu, Muhammadiyah juga menggunakan unsur budaya sebagai wujud dakwah kultural.
Contohnya pada penanggalan kalender Muhammadiyah yang juga memakai pancawara dari
budaya Jawa seperti rabu pahing atau senin wage. Hal ini sebagai bentuk pelestarian identitas
suatu budaya.  

Fenomena sinkretisme ini punya kaitan erat dan susah terpisah dari Yogyakarta
sendiri. Hal ini terlihat dari bagaimana Yogyakarta tetap mempertahankan tradisinya meski
sudah memasuki era modern dimana ritual dianggap kuno. Selain itu, masyarakat Indonesia
kini yang semakin religius juga banyaknya norma atau aturan tak tertulis berdasar agama
tidak membuat tradisi ini hilang malah menganggapnya sebagai pelestarian meski dalam
prakteknya tidak seperti itu. Muhammadiyah hadir di tengah-tengah masyarakat untuk
memurnikan kembali ajaran Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya. Perjuangan Muhammadiyah ini masih berjalan dan terus berupaya mewujudkan
tujuannya tidak hanya di Yogyakarta saja bahkan hingga di seluruh Indonesia. Hal ini demi
tegaknya nilai Islam yang murni berdasar Al-Qur’an dan Sunah.

Reporter : Indri dan Zakiyah

Anda mungkin juga menyukai