Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH DAN TINJAUAN MENGENAI PENYAKIT

“GGA & GGK”

DI SUSUN OLEH :

NAMA : TRI WAHYUNINGSIH

NIM : G 701 17 107

KELAS : FARMAKOTERAPI KHUSUS

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI
- Anatomi ginjal

Ginjal merupakan salah satu organ penting di dalam tubuh kita, yang
berfungsi untuk menyaring (filtrasi) dan mengeluarkan zat-zat sisa
metabolisme (racun) dari darah menjadi urin ( Riyanto (2011).

Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi


darah dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan
keseimbangan cairan dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti
sodium, potasium dan fosfat tetap stabil, serta memproduksi hormon
dan enzim yang membantu dalam mengendalikan tekanan darah,
membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap kuat ( Riyanto
(2011)..

Keadaan di mana seseorang yang mengalami kelainan pada organ


ginjal biasanya mengidap 2 penyakit yaitu GGA dan GGK atau yang
biasa kita sebut dengan gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik.

- Definisi
 GGK adalah Pada keadaan gagal ginjal kronis (Chronic Renal
Failure) terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif dan tidak
dapat pulih kembali( Riyanto (2011). .
- Epidemologi GGK (gagal ginjal kronik)
Gagal ginjal kronik menjadi masalah besar dunia karena sulit
disembuhkan. Menurut World Health Organization (WHO) angka
kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih dari 500 juta orang
dan yang harus hidup dengan menjalani hemodialisis sekitar 1,5 juta
orang. Berdasarkan data Indonesian Renal Registry (2015), tercatat
30.554 pasien aktif dan 21.050 pasien baru yang menjalani terapi
hemodialisis. Pengguna HD adalah pasien dengan diagnosis GGK
(89%). Urutan penyebab gagal ginjal pasien yang mendapatkan
hemodialisis berdasarkan data Indonesian Renal Registry tahun 2015,
karena hipertensi (44%), penyakit diabetik mellitus atau nefropati
diabetik (22%), kelainan bawaan atau Glomerulopati Primer (8%),
Pielonefritis kronik/PNC) (7%), gangguan penyumbatan saluran kemih
atau Nefropati Obstruksi (5%), karena Asam Urat (1%) , penyakit
Lupus (1%) dan penyebab lainnya (8%).

- Etiologi GGK ( Gagal ginjal kronik )


Penyebab penyakit GGK bermacam-macam, menurut Perhimpunan
Nefrogi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2012 dua penyebab utama
paling sering adalah penyakit ginjal hipertensi (35%) dan nefropati
diabetika (26%). Penyakit ginjal hipertensif menduduki peringkat
paling atas penyebab GGK. Penyebab lain dari GGK yang sering
ditemukan yaitu glomerulopati primer (12%), nefropati obstruksi (8%),
pielonefritis kronik (7%), nefropati asam urat (2%), nefropati lupus
(1%), ginjal polikistik (1%), tidak diketahui (2%) dan lain-lain (6%).

- Manifestasi klinik GGK


Penderita gagal ginjal kronik akan menunjukkan beberapa tanda dan
gejala sesuai dengan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang
mendasari dan usia penderita. Penyakit ini akan menimbulkan
gangguan pada berbagai organ tubuh anatara lain:
a. Manifestasi kardiovaskular
Hipertensi, gagal jantung kongestif, edema pulmonal, perikarditis.
b. Manifestasi dermatologis
Kulit pasien berubah menjadi putih seakan-akan berlilin diakibatkan
penimbunan pigmen urine dan anemia. Kulit menjadi kering dan
bersisik. Rambut menjadi rapuh dan berubah warna. Pada penderita
uremia sering mengalami pruritus.

- Diagnose Dan Pemeriksaan Laboratorium Sebagai Penunjang


menentukan derajat kerusakan fungsi ginjal, yakni mengevaluasi
kreatinin, urea serum, bersihan ginjal, pemeriksaan urine, elektrolit
dan cairan tubuh, keseimbangan asam basa darah. Tes laboratorium
dilakukan juga untuk mengevaluasi penyakit-penyakit lain yang
seringkali menyertai penyakit ginjal kronis, misalnya diabetes,
osteoporosis, penyakit jantung dan pembuluh darah. Stadium yang
lebih dini dari penyakit ginjal kronik bisa diketahui melalui
pemeriksaan laboratorium rutin.
Diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan dengan melihat beberapa
gejala berikut :
1. Penurunan GFR minimal tiga sampai 6 bulan
2. Azotemia lebih dari tiga bulan
3. Adanya gejala uremia
4. Gejala dan tanda renal osteodystrophy
5. Ginjal mengecil bilateral
6. Didapatkan broad casts pada sedimen urine
( Riyanto (2011).

Gambar 1.1
Sumber : analisiskesehatansederhanan.blogspot.com
Gambar 1.2

Sumber : biologiz.zoom.com

- Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar derajat penyakit


Derajat Penjelasan LFG
Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
1
atau ↑
Kerusakan ginjal dengan LFG turun 60 – 89
2
ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG turun 30-59
3
sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG turun 15-29
4
berat

5 Gagal ginjal < 15/dialisa


(dikutip dari skorecki,2005)
- Algoritma pengobatan

- Terapi gagal ginjal kronik dibagi menjadi dua, yaitu terapi non farmakologi
dan terapi farmakologi.
A. Terapi non farmakologi
1) Pengaturan asupan protein: mulai dilakukan pada LFG ≤60 ml/mnt, sedangkan
di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8 kgBB/hari
2) Pengaturan asupan kalori: 30-35 kkal/kgBB/hari

3) Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh

4) Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total

5) Garam (NaCl): 2-3gram/hari

6) Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari

7) Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari (pasien HD: 17 mg/hari)

8) Kalsium: 1400-1600 mg/hari

9) Besi: 10-18 mg/hari

10) Magnesium: 200-300 mg/hari

11) Asam folat pasien HD: 5 mg

12) Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)

Berdasarkan berbagai Intervensi keperawatan non farmakologi, intervensi


keperawatan psikososial, intervensi Mindfulness merupakan salah satu intervensi
keperawatan yang dapat diterapkan untuk mengurangi masalah stres pada
pasien Gagal Ginjal Kronik sesuai dengan penelitian Sohn BK, et al, 2018
menyatakan bahwa Therapi Perilaku Kognitif Kelompok dengan Mindfulness
terbukti efektif menurunkan tingkat stres dan depresi pada pasien Gagal Ginjal
Kronik, intervensi Mindfulness spiritual islam meningkatkan kepatuhan
pengobatan dan kegiatan spiritual pasien. Mindfulness spiritual islam membantu
pasien mengenali masalah yang menyebabkan masalahnya (Dwidiyanti, 2018)
seperti manajemen stres kognitif-perilaku (CBSM), memiliki efek positif pada
kualitas hidup pasien dengan penyakit kronis (Schneiderman et al. 2001).
Intervensi ini mengurangi stres dan depresi, meningkatkan persepsi dukungan
sosial, memfasilitasi koping yang berfokus pada masalah, dan mengubah
penilaian kognitif, serta mengurangi gairah SNS dan pelepasan kortisol dari
korteks adrenal (Wilson Lorraine, Sylvia 2011 ).

B. Terapi farmakologi
1) Kontrol tekanan darah
a. Penghambat Enzim Konverting Angiotensin (ACE inhibitor) dapat
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal, bila terdapat peningkatan
kreatinin >35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan Wilson Lorraine, Sylvia
2011 ).

b. Penghambat kalsium
c. Diuretik

2) Untuk pasien diabetes melitus, kontrol gula darah, hindari pemakaian


metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C
untuk diabetes melitus tipe 1 yaitu 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk diabetes
melitus tipe 2 yaitu 6%.
3) Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
4) Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), kalsitrol
5) Koreksi asidosis metabolik dengan target HC03 20-22 mEq/l
6) Koreksi hiperkalemia

7) Kontrol dislipidemia dengan target LDL 100 mg/dl dianjurkan golongan statin
8) Terapi ginjal pengganti

(dikutip dari (Turrens , 2013; Nindl , 2014).

- Cara menghitung GFR

Beberapa rumus yang digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus


melalui kadar kreatinin darah adalah :
Rumus Cockcroft – Gault =
GFR = ( 140 – usia ) X berat badan X 1,73
72 X Pcr X A
Pcr = kadar kreatinin darah (mg/dL)
A = luas permukaan tubuh (m2)
Untuk wanita rumus tersebut dikalikan dengan
0,85 yang merupakan koreksi 15% dari pria.

Rumus MDRD (Modification of Diet in Renal


Disease):
GFR (mL / mnt / 1,73 m2) = 186 X (kreatinin serum) -1,154 X (umur) – 0,203 X
(0,742) X (1,210)

Nilai batas yang menunjukkan adanya gangguan GFR = 1,4 mg/L. Dengan cara
Latex Penia kadar Cystatin–C darah = 0,37 – 1,33 mg/dl. Rumus untuk
memperkirakan GFR berdasarkan kadar Cystatin – C serum adalah:
80,35
GFR = ----------------------------------- – 4,32
Kadar Cystatin – C (mg/dL)
(Wilson Lorraine, Sylvia 2011 ).

- DEFINISI
- GGA adalah Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI)
dapat diartikan sebagai penurunan cepat dan tiba-tiba atau parah
pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh
peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan
konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal
terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang
menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi
urin. (verdiansyah,2016)

- Epidemologi GGA

- AKI menjadi penyakit komplikasi pada sekitar 5-7% acute care


admission patient dan mencapai 30% pada pasien yang di admisi di
unit perawatan intensif (ICU). AKI juga menjadi komplikasi medis di
Negara berkembang, terutama pasien dengan latar belakang adanya
penyakit diare, penyakit infeksi seperti malaria, leptospirosis, dan
bencana alam seperti gempa bumi. Insidennya meningkat hingga 4
kali lipat di United State sejak 1988 dan diperkirakan terdapat 500 per
100.000 populasi pertahun. Insiden ini bahkan lebih tinggi dari insiden
stroke. Beberapa laporan dunia menunjukkan insiden yang bervariasi
antara 0,5- 0,9% pada komunitas, 7% pada pasien yang dirawat di
rumah sakit, hingga 36- 67% pada pasien yang dirawat di unit
perawatan intensif (ICU) dan 5-6% Pasien ICU dengan AKI
memerlukan Terapi Penggantian Ginjal ( TPG atau Replacement
Renal Therapy (RRT)). Terkait dengan epidemiologi AKI, terdapat
variasi definisi yang digunakan dalam studi klinis dan diperkirakan
menyebabkan variasi yang luas dari laporan insiden dari AKI itu
sendiri (1-31%) dan angka mortalitasnya (19-83%). Dalam penelitian
Hoste (2006) diketahui AKI terjadi pada 67 % pasien yang di rawat di
ruang intensif dengan maksimal RIFLE yaitu 12% kelas R, 27% kelas
I dan 28% kelas F. Hospital mortality rate untuk pasien dengan
maksimal RIFLE kelas R, I dan F berturut- turut 8.8%, 11.4% dan
26.3% dibandingkan dengan pasien tanpa AKI yaitu 5.5%.8 Namun
hasil penelitian Ostermann (2007) menunjukkan Hospital mortality
rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%, 45.6% dan 56.8% berturutturut
untuk maksimal kelas RIFLE R, I, dan F. (verdiansyah,2016)
- Etiologi
- Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan
patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi
ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3)
penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI
pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung
dari
- tempat terjadinya AKI (verdiansyah,2016).
- Diagnosis
1. Pendekatan Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut
memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK.
Beberapa patokan umum yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara
lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis
(anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI)
dan ukuran
ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal
bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.
Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi,
tahap AKI, dan penentuan komplikasi (verdiansyah,2016).

2. manifestasi Klinis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan pre-renal, renal
dan post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut diperiksa:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyebabnya
seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit,
infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing
batu.
2. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia dan ukuran
ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronis.
3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu
kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien rawat selalu
diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya
kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada GGA berat dengan berkurangnya
fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan
edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru.
Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolic
dengan kompensasi
(verdiansyah,2016)
- Pemeriksaan laboratorium

Sumber : Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi.Ginjal. Rumah Sakit Hasan Sadikin :


Bandung, Indonesia. CDK-237/ vol. 43 no. 2. 2016.
- Algoritma terapi

- Pengobatan
Pengobatan dari gangguan ginjal kronis memiliki tujuan untuk memperlambat
dan mencegah perkembangan dari gangguan ginjal kronis. Hal tersebut
memerlukan identifikasi awal faktor resiko pasien terkena gangguan ginjal,
sehingga pengobatan ditujukan untuk mencegah perkembangan dari gangguan
ginjal kronis. Pengobatan dilakukan dengan 2 macam terapi, yaitu terapi non-
farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non-farmakologi meliputi pengelolaan
nutrisi tubuh seperti pengurangan asupan protein. National Kidney Foundation
telah merekomendasikan untuk pasien yang memiliki GFR kurang dari 25
ml/menit/1,73m2 yang tidak menjalani dialisis harus membatasi asupan protein
0,6 g/kg/hari. Sedangkan untuk pasien yang menerima dialisis menjaga asupan
protein dari 1,2 g/kg/hari sampai 1,3 g/kg/hari (Schonder, 2008). Sedangkan
untuk terapi farmakologi meliputi :
1) Mengontrol gula darah secara intensif dengan terapi insulin untuk penderita
DM tipe 1

2) Mengontrol tekanan darah


Untuk pasien CKD stage 1 hingga 4, goal of therapy tekanan darah harus kurang
dari 130/80 mmHg. Sedangkan untuk pasien CKD stage 5 goal of therapy
tekanan darah harus kurang dari 140/90 mmHg sebelum hemodialisis dan
kurang dari 130/80 mmHg setelah hemodialisa.

3) Mengurangi proteinuria ACEI (Angiotensin Converting Enzym Inhibitor) dan


ARB (Angitensin Reseptor Bloker) dapat menurunkan tekanan kapiler dan
volume pada glomerulus karena efek dari angiotensin II. Hal tersebut yang dapat
mengurangi jumlah protein yang disaring melalui glomerulus, sehingga akan
mengurangi perkembangan gangguan ginjal kronis. (Schonder, 2008)
Pada jurnal KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes),
penatalaksanaan perkembangan dan komplikasi pada CKD meliputi pencegahan
perkembangan penyakit CKD dan komplikasi yang berhubungan dengan
penurunan fungsi ginjal.

1) Pencegahan Perkembangan CKD

Pencegahan perkembangan CKD bertujuan untuk mengatasi faktor risiko


yang terkait dengan perkembangan penyakit CKD. Strategi yang dapat
dilakukan adalah mengontrol tekanan darah dan gangguan sistem RAA
(Renin Angiotensin Aldosteron) dengan menggunakan ACEI atau ARB,
serta pengendalian parameter metabolik seperti mengontrolgula darah,
asupan protein, asam urat dan asupan garam. Pasien CKD dengan
diabetes disarankan untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah
risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler dengan menggunakan ACEI
atau ARB, statin, dan terapi dengan antiplatelet sesuai dengan kondisi
klinis pasien.

- Perhitungan
- pengukuran klirens kreatinin memberikan informasi mengenai
perkiraan nilai GFR :

Keterangan:

Ccr : klirens kreatinin


Ucr : kreatinin urin
Vur : volume urin dalam 24 jam
Pcr : kadar kreatinin serum
1,73/A : faktor luas permukaan tubuh

-Perhitungan

GFR berdasarkan kreatinin serum, usia, ukuran tubuh, jenis kelamin, dan ras
tanpa membutuhkan kadar kreatinin urin menggunakan persamaan Cockcroft
and Gault :
Rumus Cockcroft – Gault =
GFR = ( 140 – usia ) X berat badan X 1,73
72 X Pcr X A
Pcr = kadar kreatinin darah (mg/dL)
A = luas permukaan tubuh (m2)
Untuk wanita rumus tersebut dikalikan dengan
0,85 yang merupakan koreksi 15% dari pria.
DAFTAR PUSTAKA

1. Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi.Ginjal. Rumah Sakit Hasan Sadikin :


Bandung, Indonesia. CDK-237/ vol. 43 no. 2. 2016.

2. M. Wilson Lorraine, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses


Penyakit. 6th edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2012.p867-889.

3. Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice


Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements 2012. Vol.2.
19-36

4. Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of
mortality of patients with acute renal failure: what the analysis of two databases
does and does not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.

5. Nash K, Hafeez A, Hou S: Hospital-acquired renal insufficiency. American


Journal of Kidney Diseases 2002; 39:930-936.

6. United State Renal Data System.USRDS Annual Data Report Chapter 5 :


Acute Kidney Injury. 2015. Vol. 1. 57-66

7. Markum, H. M. S. Gangguan Ginjal Akut. In : Sudoyo AW et al (ed). Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: InternaPublishing; 2009.p1041

8. Hoste E, Clermont G, Kersten A, et al.: RIFLE criteria for acute kidney injury
are associated with hospital mortality in critically ill patients: A cohort analysis.
Critical Care 2006; 10:R73.
9. Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in the Intensive CareUnit
according to RIFLE. Critical Care Medicine 2007; 35:1837-1843.

10. Sinto, R. dan Nainngolan, G. Acute Kidney Injury : Pendekatan Klinis dan
Tata Laksana. 2010. Maj Kedokt Indon. Vol 60 (2).

11. Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s principle of
internal medicine. Ed 16. New York

Anda mungkin juga menyukai