Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH

KESEHATAN LINGKUNGAN DAN KESEHATAN KERJA

Disusun Oleh :

Apra Salsabila Fitri (2013351003)

Dosen : Zainal Musli, SKM., M.kes

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN SANITASI LINGKUNGAN

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah mengenai kesehatan
lingkungan dan kesehatan kerja ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan Bapak Zainal Musli, SKM., M.kes pada mata kuliah dasar-dasar
kesehatan lingkungan Kesehatan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Zainal Musli, SKM., M.kes selaku
dosen pengampu dari mata kuliah dasar-dasar kesehatan lingkungan yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
tentang kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandarlampung, 2 November 2020

Apra Salsabila Fitri

I
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................
KATA PENGANTAR.............................................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................................II
PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 3
BAB II ........................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ............................................................................................................ 4
2.1 Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan ............................................................. 4
2.2 Definisi dan Pengertian Kesehatan Lingkungan ........................................... 4
2.3 Konsep Kesehatan Lingkungan...................................................................... 5
2.4 Konsep Studi Epidemiologi Kesehatan Lingkungan .................................... 8
2.5 Simpul Epidemiologi Kesehatan Lingkungan ............................................ 13
2.6 Parameter Kesehatan Lingkungan.............................................................. 15
2.7 Desain Studi Epidemiologi ........................................................................... 15
2.8 Teori Simpul menurut Prof. dr. Umar Fahmi Ahmadi, MPH., Ph.D ........ 19
2.9 Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja......................................... 29
2.10 Kemampuan Mengidentifikasi (Population At Risk).................................. 31
2.11 Jenis Bahaya kerja ....................................................................................... 34
2.12 Gambaran Kecelakaan Kerja pada PT. SEMEN TONASA di Kabupaten
Pangkep ................................................................................................................... 36
BAB III ........................................................................................................................ 40
PENUTUP ................................................................................................................... 40
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 40
3.2 Saran ............................................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
LAMPIRAN.......................................................................................................................

II
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia sudah memasuki abad ke-21, upaya manusia untuk menyehatkan diri
dan kelompoknya menggunakan berbagai macam cara. Ada yang masih
menggunakan cara ritual namun banyak pula yang menggunakan alat-alat
modern.

Industrialisasi di Indonesia telah mendorong tumbuhnya industri di berbagai


sektor. Hal tersebut yang mendukung penggunaan teknologi, peralatan, mesin
serta bermacam-macam bahan untuk menghasilkan produk atau jasa yang
bagus agar dapat bersaing di pasaran. Namun, seiring dengan kemajuan dan
perkembangan tersebut memicu berbagai masalah Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3), seperti bertambahnya sumber bahaya, meningkatnya potensi
bahaya, risiko penyakit dan kecelakaan akibat kerja.

PT. Semen Tonasa adalah produsen semen terbesar di Kawasan Timur


Indonesia yang menempati lahan seluas 715 hektar di Desa Biringere,
Kecamatan Bungoro, Kabupaten Pangkep, sekitar 68 kilometer dari kota
Makassar, dengan jumlah karyawan sebanyak 1.962 dan mempunyai 4 unit
pabrik yang sudah beroprasi. PT Semen tonasa mampu memproduksi semen
sebanyak 5.980.000 ton petahunnya, dan memasuki tahun 2015 kemarin
peningkatan kinerja ditandai dengan naiknya produksi semen mencapai
7.000.000 ton lebih, dan pendistribusi-an ke 8 unit pengantongan yang
tersebar dibeberapa lokasi di Indonesia.

1
Mempunyai Visi dan Misi sebagai berikut:
Visi Perusahaan :
“ Menjadi perusahaan persemenan terkemuka di Asia dengan tingkat efisiensi
tinggi ”
Adapun misi perusahaan sebagai berikut;
a. Meningkatkan nilai perusahaan sesuai keinginan stakeholders.
b. Memproduksi semen untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan
kualitas dan harga bersaing serta penyerahan tepat waktu.
c. Senantiasa berupaya melakukan improvement di segala bidang, guna
meningkatkan daya saing di pasar dan ebitda margin perusahaan.
d. Membangun lingkungan kerja yang mampu membangkitkan motivasi
karyawan untuk bekerja secara professional.

1.2 Rumusan Masalah

Dari Latar Belakang tersebut bisa dirumuskan masalah sebagai berikut :


1. Bagaimana Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan?
2. Bagaimana Definisi dan Pengertian Kesehatan Lingkungan?
3. Bagaimana Konsep Kesehatan Lingkungan?
4. Bagaimana Konsep Studi Epidemiologi Kesehatan Lingkungan?
5. Bagaimana Simpul Epidemiologi Kesehatan Lingkungan?
6. Bagaimana Parameter Kesehatan Lingkungan?
7. Bagaimana Desain Studi Epidemiologi?
8. Bagaimana Teori Simpul menurut Prof. dr. Umar Fahmi Ahmadi,
MPH., Ph.D ?
9. Bagaimana Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja?
10. Bagaimana Kemampuan Mengidentifikasi (Population At Risk) ?
11. Bagaimana Jenis Bahaya kerja ?

2
12. Bagaimana Gambaran Kecelakaan Kerja pada PT. SEMEN TONASA
di Kabupaten Pangkep?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan


2. Untuk mengetahui Definisi dan Pengertian Kesehatan Lingkungan
3. Untuk mengetahui Konsep Kesehatan Lingkungan
4. Untuk mengetahui Konsep Studi Epidemiologi Kesehatan Lingkungan
5. Untuk mengetahui Simpul Epidemiologi Kesehatan Lingkungan
6. Untuk mengetahui Parameter Kesehatan Lingkungan
7. Untuk mengetahui Desain Studi Epidemiologi
8. Untuk mengetahui Teori Simpul menurut Prof. dr. Umar Fahmi
Ahmadi, MPH., Ph.D
9. Untuk mengetahui Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja
10. Untuk mengetahui Kemampuan Mengidentifikasi (Population At
Risk)?
11. Untuk mengetahui Jenis Bahaya kerja
12. Untuk mengetahui Gambaran Kecelakaan Kerja pada PT. SEMEN
TONASA di Kabupaten Pangkep

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan

Lingkungan adalah kondisi atau benda hidup atau benda mati di sekeliling
subjek yang didiskusikan. Lingkungan manusia adalah benda-benda, kondisi,
dan kehidupan di sekitar manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, masayarakat berinteraksi dengan lingkungan


baik pemukiman, tempat kerja maupun tempat umum dan transportasi.
Masing-masing tempat memiliki persyaratan kesehatan berbeda satu sama
lain, mengingat intensitas dan waktu interaraksi tidak sama. Demikian pula
umur, genderr, genomic status, ukuran tubuh masing-masing berbeda dan
menentukan respons yang berbeda satu sama lain.

2.2 Definisi dan Pengertian Kesehatan Lingkungan

Definisi Kesehatan Lingkungan menurut WHO Eropa (2008) :

“Environmental health as used by the WHO Regional Office for Europe,


includes both the direct pathological effect of chemical, radiation, and some
biological agents, and the effect (often indirect) on health and wellbeing off
the broad physical, psychological, socialand aesthetic environmental which
includes housing, urban development, land uise and transport.” (WHO,
2008)

4
WHO Eropa menambahkan (Novick ed., 1999). Bahwa kesehatan lingkungan
termasuk di dalam peningkatan (promosi) kesehatan lingkungan, mendorong
penggunaan bahan dan teknologi yang ramah lingkungan, dan penyusunan
kebijakan-kebijakan baru untuk melindungi masyarakat.

Ilmu kesehatan lingkungan mempelajari hubungan interaktif antara komponen


lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan dengan beberapa variabel
kependudukan seperti umur, perilaku, kepadatan, status genetika dan lain-lain,
serta melakukan identifikasi, megukur, menganalaisis potensi bahaya tersebut, dan
mencari upaya pengendaliannya.

Di berbagai negara para sarjana yang memilih Spesialis Kesehatan Lingkungan


sebagai Profesinya harus tersertifikasi. Mereka bekerja bak pada sektor swasta
maupun pemerintah.

Profesi kesehatan lingkungan masa kini pada dasaranya tetap mengacu kepada
pengertian sanitasi dan gerakan kesehatan masyyarakat di Inggris yang telah
dirintis oleh Edwin Chadwick, seorang perintis instrumental in the repeal of the
poor laws and was the founding president of the Association of Publik
Sanitary Inspectors in 1884, dan sekarang menjadi the Chartered Institute of
Environmental Health (Noick eds, 1999).

2.3 Konsep Kesehatan Lingkungan

Konsep kesehatan lingkungan adalah menggambarkan hubungan interaktif antara


berbagai komponen lingkungan dengan dinamika perilaku penduduk. Model
hubungan berbagai variabel hubungan dengan penduduk dengan out come
penyakit ini, merupakan dasar bagi analisis kejadian sehat sakit dalam suatu

5
kawasan. Model yang digambarkan di sini adalah model dasar yang dapat
dikembangkan ke dalam model-model yang lebih kompleks dan
memperhitungkan semua variabel yang diperoleh dari tinjauan kepustakaan
(kerangka teori).

Untuk menggambarkan model terlebih dahulu perlu dikemukakan definisi atau


batasan apa itu kesehatan lingkungan. Ilmu Kesehatan Lingkungan mempelajari
berbagai masalah kesehatan sebagai akibat dari hubungan interaktif antara
berbagai bahan, kekuatan, kehidupan zat, yang memiliki potensi penyebab sakit
yang timbul akibat adanya perubahan-perubahan lingkungan dengan masyarakat,
serta menerapkan upaya pencegahan gangguan kesehatan yang ditimbulkannya.
Berbagai bahan, kekuatan, zat ataupun komponen kehidupan yang memiliki
potensi penyebab sakit selalu dalam keadaan berubah dari waktu ke waktu, serta
dari tempat satu ke tempat lainnya, akibat adanya sumber-sumber perubahan yang
secara aktif selalu menimbulkan perubahan. Sumber perubahan dapat berupa
kegiatan manusia, seperti pabrik ataupun transportasi, pemukiman dan lain-lain
ataupun peristiwa alamiah, seperti gunung berapi dan berbagai reaksi kimia
alamiah yang terjadi. Berikut ini adalah model sederhana atau lazim kita kenal
sebagai model kesehatan lingkungan.

6
Perubahan-perubahan lingkungan dapat disebabkan oleh kegiatan alam, seperti
letusan gunung berapi, atau akibat kegiatan manusia, seperti pembangunan
waduk, pembakaran hutan, industri pencemaran udara pencemaran rumah tangga,
dan lain-lain. Komponen lingkungan yang selalu berinteraksi dengan manusia dan
sering kali mengalami perubahan akibat adanya kegiatan manusia atau proyek
besar, adalah air, udara, makanan, vektor/binatang penular penyakit, dan manusia
itu sendiri.

Perubahan-perubahan yang harus diwaspadai, pada dasarnya karena berbagai


komponen lingkungan, seperti air maupun udara, bahkan binatang, seperti
nyamuk tersebut yang mengandung “agents” penyakit. Agent penyakit ini yang
pada dasarnya “menumpang” pada “vehicle” air, udara, dan lain sebagainya. Pada
dasarnya komponen lingkungan yang disebut memiliki potensi dampak kesehatan
adalah komponen lingkungan yang mengandung di dalamnya berbagai agents
penyakit yang dapat dikelompokkan kedalam kelompok fisik, mikroba maupun
bahan kimia beracun (lihat deskripsi paradigma kesehatan lingkungan). Untuk
keperluan bahasan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit

7
dan untuk menggambarkan jumlah kontak maka dapat dikelompokkan sebagai
berikut :

 Jenis Agents Penyakit

Komponen lingkungan (yang merupakan wahana penyakit) yang mengandung


potensi dampak dibagi dalam kelompok:

a. Kelompok Mikroba Virus, spora, bakteri, parasit, jamur, masing-masing perlu


lebih dideskripsikan lagi, bagaimana mengukur jumlah kontak atau perkiraan
dosisnya, misalnya hitung koloni kuman termasuk salah satu metode untuk
memperkirakan exposure terhadap kuman.

b. Kelompok Bahan Kimia Klasifikasi bahan kimia amat luas, misalnya jenis
pestisida bisa mencapai ratusan, limbah industri, asap rokok, jenis logam
berat, jenis bahan kimia ikutan sehingga diperkirakan ratusan ribu jenis
bahan kimia beredar di lapangan dan masing-masing memiliki potensi bahaya
kesehatan lingkungan.

c. Kelompok Fisik Radiasi, elektromagnetik, kebisingan, getaran, suhu,


ultraviolet, cuaca, radiasi, dan sebagainya.

2.4 Konsep Studi Epidemiologi Kesehatan Lingkungan

Pada dasarnya penelitian epidemiologi untuk penyelidikan berbagai kejadian


penyakit yang disebabkan oleh faktor lingkungan, telah dirintis sejak manusia
mencoba menghubungkan antara penyakit dan lingkungan, misalnya zaman Mesir
Kuno, zaman Hippocrates. Kemudian berkembang pesat pada abad XIX, ketika
John Snow mengadakan penyelidikan muntaber di distrik kota London, di mana
penduduknya mengonsumsi air terkontaminasi “bakteri”.

8
Dalam bidang kesehatan, berbagai komponen lingkungan yang diketahui dapat
merupakan faktor risiko timbulnya penyakit, hal ini dipelajari dalam ilmu
kesehatan lingkungan. Sementara itu, hubungan interaktif antara komponen
lingkungan di tempat kerja dan manusia merupakan bagian dari kajian bidang
kesehatan kerja. Dalam skala mikro, orang-orang yang bekerja di tempat
pekerjaannya menghadapi keadaan dan kondisi lingkungan kerja secara lebih
intensif, baik menghadapi alat-alat maupun lingkungan pekerjaannya.

Ilmu Kesehatan Lingkungan merupakan salah satu cabang ilmu kesehatan


masyarakat, yang memperhatikan terhadap segala macam bentuk kehidupan,
bahan-bahan, kekuatan, dan kondisi di sekitar manusia yang bisa mempengaruhi
kesehatan dan kesejahteraan.

Sedangkan Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari berbagai faktor yang


berperan dalam kejadian satu penyakit, bagaimana penyakit itu disebarkan, serta
karakteristik satu kejadian timbulnya penyakit tersebut. Sebagian bahkan
mengatakan bahwa epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari satu
fenomena ataupun hubungan satu dua atau lebih variabel. Untuk mempelajari
studi Epidemiologi Kesehatan Lingkungan (dan kesehatan kerja), diperlukan dua
persyaratan pokok, yaitu sebagai berikut. 1. Memahami konsepsi dan jangkauan
pemahaman Ilmu Kesehatan Lingkungan (dan kesehatan kerja). Dengan kata lain,
perlu pemahaman dinamika hubungan interaktif lingkungan – manusia, beserta
pemahaman indikator dinamika hubungan tersebut. 2. Memiliki kemampuan dasar
metode epidemiologi.

Epidemiologi Kesehatan Lingkungan atau Epidemiologi Lingkungan adalah studi


atau cabang keilmuan yang mempelajari faktor-faktor lingkungan yang

9
mempengaruhi timbulnya (kejadian) suatu penyakit, dengan cara mempelajari dan
mengukur dinamika hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan
yang memiliki potensi bahaya pada suatu waktu dan kawasan tertentu, untuk
upaya promotif lainnya (Achmadi, 1991).

Kawasan di sini dapat berupa lingkungan kerja, lingkungan pemukiman,


lingkungan tempat-tempat umum dan transportasi pada skala lokal perkotaan atau
pedesaan, lingkungan nasional, regional atau global. Sering kali, lingkungan
nasional seperti halnya perkotaan atau batasan suatu negara sulit untuk
memberikan batas tegas karena sifat kejadian atau fenomena kesehatan
lingkungan pada dasarnya adalah lintas batas dan atau kecamatan atau kelurahan.
Oleh sebab itu, kawasan di sini juga dapat bermakna atau menggunakan batasan
wilayah/kawasan “habitat” manusia, seperti Daerah Aliran Sungai, Daerah
Pegunungan, Daerah Pantai, dan sebagainya. Batasan atau definisi Epidemiologi
Lingkungan dari sebuah buku (Cordis, 1994) juga dapat dikutipkan di sini.

“Environmental Epidemiology may be defined as the study of environmental that


influence the distribution and determinants of diseases in human population”

Kedua definisi di atas, baik definisi “domestik” (Achmadi, 1991) yang


dikemukakan pada tahun 1991 maupun definisi baru yang dikemukakan Cordis
(1994) dapat diperoleh makna bahwa faktor “lingkungan” lebih ditonjolkan,
diutamakan untuk dipelajari, bukan penyakitnya. Epidemiologi Lingkungan pada
prinsipnya juga tidak berbeda dengan epidemiologi dalam pengertian umum.
Tetap menggunakan variabel penting dalam setiap kejadian penyakit, seperti
orang, waktu, dan kawasan/tempat.

10
Komponen tersebut akan berinteraksi dengan manusia melalui media atau
wahana (vehicle): udara, air, tanah, makanan, atau vektor penyakit (seperti
nyamuk).

Media atau “vehicle” udara: kita mengenal masalah “indoor air pollution”,
pencemaran debu, spora dan lain-lain dalam udara. Media atau “vehicle” air:
kita mengenal adanya bakteri, kimia, logam berat dalam air, dan lain-lain
sehingga kita kenal program air bersih, pengolahan air limbah, dan lain-lain.
Media atau makanan, misalnya makanan yang mengandung bakteri, spora,
makanan yang mengandung bahan pewarna berbahaya, makanan/produk
pertanian yang mengandung pestisida, hormon, logam berat (Cd), dan lain-
lain. Bakteri, parasit juga dapat dipindahkan melalui binatang penular atau
vektor penyakit. Oleh sebab itu, program kesehatan lingkungan termasuk
pengendalian vektor.

Adanya berbagai komponen lingkungan dalam berbagai media terjadi karena


adanya sumber-sumber yang secara aktif menghasilkan adanya komponen
tersebut, baik dalam masa pemanfaatan (penggunaan) maupun ketika sudah
menjadi limbah cair, padat maupun gas.

Komponen lingkungan utamanya adalah bahan kimia pada berbagai media


yang melebihi ambang batas, lazim dikenal sebagai pencemaran lingkungan.
Komponen lingkungan yang memiliki potensi sebagai agen penyakit yang
berasal dari sumbernya, lalu bergerak dan berada dalam lingkungan
(ambient). Nasibnya ada 2 kemungkinan, dapat dieliminir oleh komponen
lingkungan yang lain (misalnya suhu lingkungan, kelembaban, bakteri, dan
lain-lain) sehingga potensi bahaya hilang atau sebaliknya potensi menjadi
lebih berbahaya bagi manusia. Dalam hal ini, perlu diperhatikan adanya

11
variabel pengaruh/ pengganggu yang dapat memperberat atau memperingan
keadaan (intervening variables).

Bila di sekitar agents atau komponen lingkungan itu ada sekelompok manusia
maka akan masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 jalan, yaitu:

a. jalan nafas;

b. jalan pencernaan;

c. jalan kulit baik kontak dan masuk melalui pori-pori kulit atau suntikan

Setelah masuk ke dalam tubuh, komponen lingkungan tersebut atau hasil


metabolisme akan berada dalam jaringan darah, lemak, otak, dan lain-lain
dan/atau berinteraksi dengan sistem pertahanan biologis. Proses ini sering
tampak dari luar yang kita kenal sebagai suatu simptoms atau gejala
timbulnya keracunan. Bila jumlah komponen lingkungan tersebut sedikit
tentu tidak menimbulkan gejala jelas, orang ini masuk ke dalam kategori
“Chronic poisoning” atau bahkan sering menimbulkan “long term effect”
kelak kemudian hari.

Setelah berinteraksi dengan sistem pertahanan maupun mekanisme fisiologis


lainnya, komponen B-2 tersebut akan bisa kita amati pada hasil metabolisme
tubuh, seperti urine, air liur, keringat, dan lain-lain. Dengan kata lain dalam
konsepsi kesehatan lingkungan, status kesehatan masyarakat, merupakan
resultante atau hasil hubungan interaktif antara berbagai komponen
lingkungan, seperti udara, air, makanan, vektor/binatang penular penyakit,
tanah, serta manusia itu sendiri yang mengandung berbagai penyebab sakit,
seperti golongan biologis, kimia dan golongan fisik.

12
2.5 Simpul Epidemiologi Kesehatan Lingkungan

Terdapat 4 simpul indikator penyelidikan epidemiologi kesehatan lingkungan


adalah sebagai berikut.

1) Simpul pertama (A) adalah Studi komponen lingkungan pada sumbernya


atau lazim dikenal sebagai Emisi (Emission inventory). Gunanya untuk
menentukan sejauh mana potensi bahaya komponen lingkungan yang
mungkin ditimbulkannya. Misalnya angka prevalensi penderita hepatitis
atau typhoid dalam satu wilayah dapat mencerminkan potensi penyebaran
penyakit yang bersangkutan, jumlah pabrik yang memiliki limbah; logam
berat pada titik buangan, dan lain-lain dapat menggambarkan potensi
masalah kesehatan lingkungan.

2) Simpul kedua (B) adalah Pengukuran komponen pada “ambient” atau


lingkungan. Umumnya komponen lingkungan berada dalam
media/wahana lingkungan, misalnya Studi dengan melakukan monitoring
tingkat pencemaran air, residu pestisida dalam makanan, kadar tetrasiklin
dalam jeruk dan lain-lain. Dari informasi yang diperoleh dapat kita
perkirakan potensi bahaya dari komponen-komponen tersebut. Apalagi
bila diketahui tingkat konsumsi rata-rata dari penduduk yang
bersangkutan.

3) Simpul ketiga (C) adalah studi epidemiologi yang sering kita lakukan.
Studi pada simpul ini mempelajari hal-hal setelah agents penyakit
mengadakan interaksi dengan sekelompok penduduk atau dengan kata
lain, setelah komponen lingkungan masuk ke dalam tubuh, di mana dalam
dosis cukup telah timbul keracunan. Contoh, adanya kandungan Pb

13
dalam darah atau CO dalam darah, menunjukkan tinggi rendahnya tingkat
exposure seseorang terhadap bahan pencemaran.

Studi epidemiologi pada simpul ke-3 ini juga sering disebut parameter
biologis bila sesuatu komponen lingkungan sudah berada pada tubuh
manusia. Parameter yang didapat menunjukkan “tingkat pemajanan” (atau
level of exposure) atau sebut saja derajat kontak yang paling mendekati
keadaan sebenarnya, misalnya adanya penurunan cholinesterase dapat
dipakai sebagai indikasi derajat kontak terhadap pestisida. Contoh lain,
adanya pengukuran kadar Carboxy hemoglobin (CO-Hb), atau DDT dalam
plasma darah, Merkuri, Tetraethyl lead, dan lain-lain. Perlu pula diingat
bahwa nilai-nilai tersebut sering dipengaruhi “intervening variable”,
misalnya gizi, kelainan kongenital, kadar hemoglobin, dan lain-lain.
Dalam kondisi keracunan akut, studi epidemiologi pada simpul ini dikenal
dengan penyelidikan Kasus Luar Biasa (KLB), yang memerlukan langkah-
langkah khusus.

4) Simpul keempat (D) adalah studi gejala penyakit, atau bila komponen
lingkungan telah menimbulkan dampak. Tahap ini ditandai dengan
pengukuran gejala sakit, baik secara klinis atau subklinis. Angka
prevalensi, insidensi dan mortality merupakan ukuran-ukuran studi
epidemiologi simpul D. Namun, umumnya studi dengan menggunakan
simpul indikator D ini, dewasa ini masih memiliki kelemahan bila terpaksa
harus mengambil data sekunder, misalnya di Puskesmas. Hal ini karena
sistem pencatatan dan pelaporan yang masih kurang sempurna. Sehingga
umumnya dilakukan dengan mengambil data primer. Contoh:
pengumpulan prevalensi atau insidensi penyakit saluran nafas di sekitar
pabrik.

Selain studi deskriptif dengan menggunakan simpul indikator tersebut di atas,


banyak pula dilakukan studi epidemiologi yang bersifat analitik dengan

14
menggabungkan atau mencoba menghubungkan antara ke dua simpul, misalnya
simpul B dengan simpul C, atau simpul A dengan simpul B atau simpul C.

2.6 Parameter Kesehatan Lingkungan

Berbagai parameter Kesehatan Lingkungan dapat diukur pada simpul A, yaitu


pengukuran pada sumbernya atau lazim dikenal sebagai pengukuran emisi.

Pengukuran simpul B atau pengukuran berbagai komponen penyebab sakit


pada ambient (sebelum kontak dengan manusia), seperti pengukuran kualitas
udara, air, makanan dan sebagainya

Pengukuran simpul C, yakni pengukuran pada spesimen tubuh manusia lazim


dikenal sebagai bio-indikator atau bio- marker, pengukuran kadar merkuri
pada rambut, atau kadar Pb dalam darah.

Yang terakhir adalah pengukuran pada simpul D, yakni apabila interaktif itu
menjadi “out-come” berupa kejadian penyakit, contoh prevalensi berbagai
penyakit, seperti jumlah penderita keracunan, jumlah penderita kanker dalam
sebuah komunitas, jumlah penderita diare, penyakit kulit, dan sebagainya.

2.7 Desain Studi Epidemiologi

15
Studi Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Kerja dapat
dikategorikan ke dalam dua kelompok besar.

Pertama adalah studi yang bersifat investigasi yakni mencari penyebab dalam
kejadian luar biasa. Yang kedua adalah studi dalam keadaan endemik. Lazim
dikenal sebagai surveillance epidemiologi.

Berbagai kejadian penyakit akibat lingkungan baik lingkungan pemukiman


maupun lingkungan kerja, khususnya yang “non-communicable” atau tidak
menular dapat bersifat endemik. Pemajanan yang berlama-lama tiba-tiba saja
karena sifat akumulatif agents, dapat berubah menjadi “out break” penyakit.
Sebagai contoh, upaya monitoring kasus-kasus penyakit akibat pencemaran
lingkungan seperti monitoring air minum atau sampel ikan untuk mencegah
keracunan Cadmium atau Merkuri. Dalam hal penyakit menular yang kejadiannya
lebih cepat dapat dicontohkan, monitoring terhadap kasus penyakit malaria yang
secara rutin periodik sistemik dilakukan adalah sebuah epidemiologi surveilance.
Upaya ini diperlukan untuk upaya pencegahan kejadian timbulnya suatu kasus.

Di samping itu, studi epidemiologi lingkungan dapat bersifat deskripsi atau


mencandra pada tiap-tiap simpul pengamatan dalam paradigma kesehatan kerja.
Contoh adalah evaluasi atau monitoring konsentrasi rata-rata harian kadar bahan
pencemar udara pada lingkungan kerja bagian X dan Z. Konsentrasi kadar Pb
pada pekerja yang memiliki pemaparan timah hitam, seperti pekerja pabrik panci
dan lain sebagainya. Ini merupakan contoh studi deskripsi simpul pengamatan
lingkungan kerja atau simpul B. Studi prevalensi penyakit pernapasan akibat
kerja, serta karakteristiknya merupakan studi deskriptif simpul kelima.

16
Studi epidemiologi kadang juga menghubungkan dua simpul pengamatan atau
lebih, misalnya antara simpul B dengan simpul C atau simpul D, dengan
memperhatikan simpul lain sebagai intervening variable, seperti dalam gambar
skema di atas, yakni kemungkinan pemaparan “tambahan” dari transportasi atau
kebiasaan merokok yang dimasukkan ke dalam bagian studi. Sebagai contoh
adalah studi epidemiologi yang menghubungkan antara kejadian asma dengan
kadar gas formaldehyde di tempat kerja, dengan memperhitungkan faktor
pengaruh kebiasaan merokok.

Desain penelitian kesehatan kerja dan kesehatan lingkungan, juga mengenal dua
kategori besar, yakni: observasional dan eksperimen. Tipe observasional, dapat
merupakan deskripsi masa lampau, yakni retrospektif studi, misalnya
menghubungkan kasus bisinosis dengan riwayat pemajanan debu organik. Atau
studi observasional yang bersifat prospektif, yakni mengikuti riwayat pemajanan
sambil menunggu “specific out come” atau timbulnya suatu kasus. Studi
observasional dapat bersifat cross sectional atau kasus kelola (case control).
Sedangkan studi eksperimen dapat dilakukan di lapangan atau di laboratorium.
Eksperimen bila fenomena kesehatan lingkungan itu belum ada, observasi bila
fenomena atau kejadian itu sudah ada.

Eksperimen bisa dilakukan di laboratorium menggunakan manusia atau binatang


dalam mana berbagai variabel harus dikendalikan. Sedangkan observasi, dapat
menggunakan potong lintang (cross-sectional) mengikuti fenomena tersebut,
yakni retrospektif atau prospektif (cohort). Dalam berbagai metode tersebut dapat
menggunakan pembanding atau lazim dikenal sebagai kontrol.

Eksperimen juga bisa dilakukan di lapangan. Misalnya untuk menjawab faktor-


faktor apakah yang mempengaruhi dampak penggunaan pestisida pada para petani
yang menyemprot sawahnya? Rancangan studi percobaan lapangan dapat

17
menggunakan manusia. Tentu saja bila masalah ethical clearence sudah
dilaksanakan.

Metode analisis risiko kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja dengan


pendekatan epidemiologi lazimnya dilaksanakan apabila fenomena atau kejadian
kesehatan lingkungan sebelumnya, sedang atau sudah berlangsung di lapangan.
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari berbagai faktor yang berperan dalam
kejadian satu penyakit, bagaimana penyakit itu disebarkan, serta karakteristik satu
kejadian timbulnya penyakit tersebut. Sebagian bahkan mengatakan bahwa
epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari satu fenomena ataupun
hubungan satu dua atau lebih variabel.

18
2.8 Teori Simpul menurut Prof. dr. Umar Fahmi Ahmadi, MPH., Ph.D

 Model Kejadian

Penyakit Uraian tersebut di atas secara bersahaja menggambarkan proses


kejadian penyakit dalam suatu model yang merupakan hasil hubungan
interaktif antara manusia dengan komponen lingkungan yang berpotensi
penyakit. Berbagai variabel kependudukan yang berperan antara lain meliputi
kepadatan, umur, jender, pendidikan, genetik, perilaku dan lain sebagainya.
Perilaku penduduk yang dikenal berakar pada budaya merupakan salah satu
representasi budaya yang secara jelas tergolong variabel kependudukan.
Dengan demikian, kejadian penyakit pada hakikatnya hanya dipengaruhi oleh
variabel ”kependudukan” dan variabel ”lingkungan”. Dengan kata lain,
gangguan kesehatan merupakan resultan hubungan interaktif antara faktor
lingkungan dan faktor penduduk.

19
kepadatan, umur, jender, pendidikan, genetik, perilaku dan lain sebagainya.
Perilaku penduduk yang dikenal berakar pada budaya merupakan salah satu
representasi budaya yang secara jelas tergolong variabel kependudukan.
Dengan demikian, kejadian penyakit pada hakikatnya hanya dipengaruhi oleh
variabel ”kependudukan” dan variabel ”lingkungan”. Dengan kata lain,
gangguan kesehatan merupakan resultan hubungan interaktif antara faktor
lingkungan dan faktor penduduk.

Dalam teori genomic public health, kejadian penyakit adalah resultan


hubungan interaktif antara genetic make uppada sosok individu atau
kelompok dengan lingkungan yang memiliki atau mengandung substansi
agen penyakit berukuran mikro. Agen penyakit tersebut juga dipengaruhi oleh
suhu, kelembaban, topografi dan lain sebagainya. Dengan demikian, menjadi
jelas bahwa dalam perspektif genome, kejadian penyakit juga merupakan
sebuah fenomena yang bersik multi causation of webdapat dipahami bahwa
untuk melakukan upaya pencegahan terlebih dahulu harus mempelajari teori
kejadian penyakit. Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan
variabel kependudukan dapat digambarkan dalam (model) Teori Simpul.3

 Tingkat Kepentingan

Dalam konteks desentralisasi, komitmen global yang telah menjadi komitmen


nasional seharusnya menjadi komitmen wilayah otonom Kabupaten/Kota.
Mengingat kejadian penyakit bersifat spesifik lokal, setiap kabupaten
seharusnya berwenang menetapkan prioritas masalah kesehatan sesuai dengan
eviden yang bersifat spesifik lokal. Kejadian penyakit berhubungan erat
dengan faktor risiko yang pada dasarnya adalah semua faktor yang berperan
secara lokal spesifik dalam setiap kejadian penyakit. Oleh sebab itu,
pengendalian penyakit harus dilakukan secara komprehensif meliputi : (a)
mencari dan mengobati kasus secara adil, merata dan berkualitas (b)

20
mengidentifikasi faktor risiko berbagai penyakit dan berupaya melakukan
eliminasi.

Kemampuan melakukan pencegahan sangat ditentukan oleh kemampuan


mema- hami teori kejadian yang menghimpun berbagai faktor risiko. Namun,
pada kenyataannya manajemen penyakit dan pelaksanaan program sering
tidak bersifat komprehensif dan tidak mampu mengintegrasikan program
penatalaksaan kasus dan pengendalian faktor risiko. Dalam pelaksanaan
berbagai program pengendalian penyakit tidak selalu sejalan dengan alokasi
sumber daya dan kegiatan pengendalian kasus dan pengendalian berbagai
faktor risiko. Menyelenggarakan program pelayanan medik modern secara
gratis bukan solusi yang tepat jika tidak dibarengi dengan pengendalian faktor
risiko penyakit bersangkutan. Bagaikan mengisi ember bocor, akan terjadi
penghamburan dana yang tidak mendidik dan dengan manfaat yang kecil.
Pengendalian secara tuntas hanya mungkin dicapai jika setiap upaya
pengendalian penyakit disertai dengan pengendalian faktor risiko. Tanpa itu,
seperti yang kita saksikan pada penyakit tuberkulosis, malaria, diare yang
bertahan lama dan selalu terjadi letupan kejadian luar biasa berulang kali.

Faktor risiko adalah berbagai faktor yang berperan dalam setiap kejadian
penyakit, mencakup kondisi lingkungan pemukiman penduduk serta faktor
penduduk yang mencakup budaya, perilaku, kepadatan, pendidikan dan lain-
lain.Suatu wilayah, penyakit disatu pihak serta lingkungan dan perilaku
penduduk, dilain pihak bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat
dipisahkan. Pemecahan masalah kesehatan tidak mungkin dicapai dengan
hanya memperhatikan lingkungan atau sebaliknya hanya mengobati
penderita. Berhadapan dengan setiap penyakit, seorang manajer kesehatan
harus melakukan upaya yang menyeluruh dan terintegrasi dengan
menggerakkan seluruh komponen sistem kesehatan masyarakat dalam

21
wilayah yurisdiksi kabupaten/kota ataupun puskesmas. Secara populer, upaya
tersebut disebut manajemen penyakit berbasis wilayah.

 Pengertian

Manajemen Pengendalian Penyakit Berbasis Wilayah (MPBW) mencakup


upaya pengendalian kasus penyakit disuatu wilayah tertentu bersama
pengendalian berbagai faktor risiko yang dilakukan secara terintegrasi. Upaya
tersebut dapat dilakukan secara prospektif dan secara retrospektif. Upaya
prospektif mengutamakan pengendalian faktor risiko penyakit terintegrasi
dengan upaya pencarian dan penatalaksanaan kasus penyakit tersebut. Upaya
retrospektif mengutamakan penatalaksanaan penyakit tertentu terlebih dahulu
yang terintegrasi dengan pengendalian faktor risiko penyakit tersebut atau
direncanakan dan dilaksanakan secara serentak. Hal tersebut ditandai dengan
perencanaan dan alokasi sumber daya yang juga dilakukan secara terintegrasi.

Faktor yang berperan dalam kejadian suatu penyakit di tingkat individu dan
tingkat masyarakat. Berbagai varia- bel lingkungan dan penduduk yang
mencakup perilaku hidup sehat merupakan faktor risiko utama penyakit.
Dengan demikian, penyehatan lingkungan dan pember- dayaan masyarakat
merupakan upaya utama pengenda- lian berbagai faktor risiko penyakit di
dalam satu wilayah tertentu. Dalam suatu wilayah, MPBW harus dirancang
berdasarkan eviden yang dikumpulkan secara periodik, sistematik dan
terencana dan dilaksanakan oleh ”tim ter- padu” kesehatan. Bagaikan suatu
orkestra, tim terpadu tersebut disatu pihak terdiri dari kumpulan pemain yang
mahir memainkan alat musik, dilain pihak tim tersebut memiliki kesamaan
visi berupa lagu yang sama dalam sa- tu kesatuan orkestra. Tim tersebut bisa
merupakan pim- pinan dan/atau staf dinas kesehatan yang bermitra dengan
para dokter di rumah sakit, seluruh staf kesehatan di puskesmas, LSM bidang
kesehatan, dinas-dinas non kesehatan dalam lingkungan pemda, serta

22
masyarakat. Dengan demikian, MPBW merupakan kerja sama yang harmonis
antara para dokter di unit pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah
sakit dan petugas kesehatan masyarakat. Dalam menghadapi penyakit yang
sama, kedua kelompok tersebut harus menyamakan visi dan persepsi,
penyakit yang dianggap prioritas adalah penyakit yang ada atau endemik di
suatu wilayah tertentu. Pelaksana manajemen tidak harus kepala dinas
kesehatan, dokter di rumah sakit dan petugas Klinik Sanitasi di puskesmas,
merupakan bagian dari orkestra yang harus mempunyai visi yang sama, serta
berpikir dan bertindak mengendalikan penyakit tertentu dalam satu wilayah.

 Pelaksanaan

Sebaiknya berbagai permasalahan tersebut diidentifikasi dan dirumuskan ke


dalam isu strategis berupa ma- salah kesehatan yang tak kunjung usai atau
yang dapat diselesaikan dalam jangka panjang. Pertanyaan yang perlu
mendapat jawaban antara lain adalah: isu strategis apa yang dihadapi oleh
suatu kabupaten atau kota? Apa yang ingin dicapai dalam kurun waktu 5
tahun mendatang? Sumber daya apa yang dimiliki? Desentralisasi
memberikan kepada pemerintah dan masyarakat kabupaten kewenangan
pembangunan yang seluas-luasnya termasuk pembangunan bidang kesehatan.
Bupati dibantu kepala dinas kesehatan kabupaten bersama para dokter di
rumah sakit, petugas penyuluh kesehatan, petugas hygienesanitasi, petugas
gizi masyarakat, serta seluruh komponen masyarakat berkewajiban
melaksanakan program pemberantasan penyakit, dan penyehatan lingkungan.
Program pemberantasan tersebut antara lain seperti pemberantasan TBC,
pengendalian malaria, membangun sanitasi dasar, pengendalian pencemaran
lingkungan, penurunan angka penyakit diare dan sebagainya. Wilayah
tersebut mencakup wilayah administratif dan wilayah ekosistim.

23
Berdasarkan konsep tersebut di atas, pertanyaan yang selanjutnya muncul
adalah: “sudahkah pelaksanaan pengendalian penyakit yang merupakan
variabel inti kualitas sumber daya masyarakat itu dilakukan secara
terintegrasi? Dewasa ini beberapa wilayah otonomi kota/kabupaten
mempunyai Rancangan Sistim Kesehatan Kabupaten atau Kota (SKK) yang
disusun dan disahkan dalam bentuk Perda yang merupakan pedoman
pembangunan kesehatan kabupaten atau kota. Dengan demikian,
pembangunan kesehatan di wilayah otonom harus mengikuti Perda. Setiap
SKK hendaknya dipertegas dengan pasal yang memuat komponen integrasi,
koordinasi, sinkronisasi. Selain itu, diperlukan pernyataan yang jelas tentang
keterlibatan masyarakat dalam setiap pelaksanaan program kesehatan. Berikut
diuraikan berbagai langkah pembangunan kesehatan masyarakat yang
menggunakan pendekatan Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, sebagai
salah satu alternatif pendekatan yang mengacu pada SKK tersebut.

 Penentuan Wilayah

Pertimbangan diserahkan kepada setiap kabupaten atau kota untuk memilih


wilayah puskesmas, wilayah pariwisata, ataupun seluruh wilayah kabupaten.
Penentuan wilayah yang dimaksud harus memperhatikan prioritas masalah
dan atau wilayah ekosistim kejadian penyakit.

 Identifikasi Prioritas Berbasis Eviden

Langkah pertama adalah menentukan prioritas kabupaten dan setiap unit


wilayah administratif misalnya puskesmas atau kelurahan. Prioritas tersebut
bisa mengambil tema faktor risiko kejadian penyakit seperti sanitasi dasar
atau pencemaran lingkungan tertentu (udara, pangan atau air). Prioritas dapat
juga dipilih berdasarkan penyakit, strata umur penduduk, faktor risiko, dan
wilayah tertentu. Prioritas penyakit antara lain berupai malaria, diare, TBC,
kanker, dan kardio- vaskuler. Prioritas berdasarkan strata umur penduduk

24
seperti balita, kelompok ibu produktif. Faktor risiko tertentu misalnya rokok,
makanan sehat dan oleh raga, kemiskinan, dan rumah sehat. Wilayah tertentu
misalnya wilayah kecamatan atau wilayah kerja puskesmas. Apabila rumah
tidak sehat yang dijadikan faktor risiko terpilih, perlu dipertimbangan
outcome penyakitnya, persiapan alat diagnostik dan obat. Semua penentuan
prioritas tersebut harus dilakukan berbasis evidences

 Modelling

Patogenesis penyakit atau gangguan kesehatan lain seperti gizi buruk (faktor
risiko beserta prediksi kejadian penyakit), digambarkan dalam suatu model.
Model tersebut memberikan panduan dalam penyusunan daftar kegiatan.
Misalnya, bagaimana model penularan malaria? Upaya yang dilakukan untuk
mengendalikan kondisi lingkungan, nyamuk, tempat perindukan, cara
mencari dan menemukan kasus secara dini agar segera dapat diobati sehingga
tidak menjadi sumber penularan? Obat dan alat diagnostik apa yang paling
cost efektive? Contoh lain, menggambakan model angka kesakitan
(morbidity) balita, angka kematian balita atau status gizi balita, apakah faktor
risiko kejadian gizi buruk sebagai outcome pada simpul 4 (lihat teori simpul).
Berbagai upaya kendali faktor risiko yang berperan dalam kematian balita,
gangguan gizi buruk dan lain-lain. Ini harus disusun secara lintas sektor dan
lintas program secara integratedbaik dalam perencanaan maupun pelaksana-
annya.

 Rencana Kegiatan

Rencana kegiatan mencakup manajemen kasus dan pengendalian faktor


risiko. Kegiatan dikelompokkan dalam pengendalian faktor risiko lingkungan,
pengendalian pada faktor kependudukan (misal peyuluhan perubahan
perilaku, imunisasi), pencarian dan penemuan kasus atau pencatatan di RS,
penyediaan obat-obatan, alat diagnostik dan lain sebagainya. Pada intinya,

25
buat daftar rancangan kegiatan secara exhausted(semua yang ada), baik yang
meliputi pengendalian faktor risiko maupun pengendalian outcome gangguan
penyakit (kesehatan). Sederet daftar belum tentu semua disetujui. Namun,
yang jelas daftar kegiatan itu akan dimasukkan ke dalam rancangan anggaran
(baik dimintakan dari Pemda, bantuan LN, maupun pemerintah pusat).

 Integrasi Perencanaan dan Pembiayaan

Daftar kegiatan dituangkan dalam rencana dan anggaran secara terpadu,


bersama dengan berbagai unit yang terkait (sub dan sub-sub dinas). Berbagai
kegiatan tersebut difokuskan pada satu wilayah tertentu, wilayah administratif
dengan memperhatikan wilayah ekosistim (yang berkaitan erat). Kegiatan ini
tentu saja memerlu- kan skala prioritas. Namun, harus menggambarkan
integrasi antara kegiatan pengendalian faktor risiko dan pelayanan kesehatan
termasuk program Jamkesmas. Dalam setiap SKK kabupaten atau kota harus
ditampilkan secara nyata kata kunci koordinasi, sinkronisasi sebagai payung
kegiatan yang harus dilakukan sejak perencanaan hingga pelaksanaan.

 Audit

Daftar kegiatan yang tertuang dalam rencana dan anggaran perlu diaudit dari
aspek pelaksanaan dan aspek anggaran. Aspek yang paling penting adalah
proses pelaksanaan yang terintegrasi. Berbagai langkah tersebut selanjutnya
disusun dalam Pedoman Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah Puskesmas
atau Wilayah Kabupaten.

 Pendekatan Kesehatan Masyarakat

26
Menejemen Penyakit Berbasis wilayah secara esensial memenuhi pendekatan
kesehatan masyarakat yang pa- ling tidak harus menampilkan lima
karakteristik spesifik.

(1) Program hendaknya berorientasi pada seluruh masyarakat dalam suatu


wilayah, misal kabupaten, kecamatan dan desa tanpa diskriminasi terhadap
ras, suku, agama atau golongan umur, dan status sosial ekonomi.

(2) Berorientasi pada pencegahan primer misalnya pengendalian faktor risiko.

(3) Penanganan masalah menggunakan pendekatan multidisiplin, misalnya


pengendalian faktor risiko rumah sehat atau penanganan penyakit mas-
yarakat seperti diare, malaria, flu burung dan lain-lain.

(4) Kegiatan dilakukan bersama dengan ciri partisipasi masyarakat. Contoh:


pengendalian faktor risiko flu burung, gizi buruk, penyakit campak,
penurunan kematian ibu, penurunan kematian bayi, penanggulangan wabah
virus polio liar, SARS dan lain sebagainya yang dilakukan bersama
masyarakat.

(5) Perencanaan dan pelaksanaan MPBW harus menggunakan pendekatan


kesehatan masyarakat. Dengan demikian, sepanjang upaya MPBW dilakukan
dengan ke lima pendekatan tersebut di atas, maka kebiasaan tersebut
merupakan bagian dari kesehatan masyarakat. Perlu dicatat bahwa MPBW
hendaknya dilakukan dengan menggunakan azas tersebut di atas.

 Lokasi Kegiatan

MPBW dapat dilakukan pada tingkat manajemen:

(a) Global, misalnya menghadapi penyakit flu burung.

(b) Regional oleh WHO, nasional.

(c) Tingkat wilayah otonom.

27
(d) Satuan wilayah di dalam jurisdiksi wilayah otonom seperti kecamatan,
desa, wilayah pariwisata, wilayah industri dan lain-lain. Manajemen pada
tingkat wilayah kabupaten dapat dilakukan di seluruh wilayah kabupaten
sebagai satu-satuan wilayah, atau dapat pula memilih manajemen tiap tingkat
puskesmas sebagai wilayah administratif wilayah kerja.

 Metode

Dalam MPBW kabupaten kota dikenal tiga metode yang amat esensial,
meliputi analisis spasial, audit manajemen penyakit berbasis wilayah dan
surveilans berbasis wilayah. Analisis spasial merupakan salah satu metode
manajemen penyakit berbasis wilayah yang memperhatikan variabel spasial
seperti topografi, wilayah urban, wilayah industri, wilayah pedesaan. Dia
merupakan suatu analiterkait dengan distribusi kependudukan, persebaran
faktor risiko lingkungan, ekosistem, sosial ekonomi, serta analisa hubungan
antar variabel tersebut. Kejadian penyakit merupakan fenomena spasial yang
terjadi di atas permukaan bumi terestrial.

Kejadian penyakit dapat dikaitkan dengan berbagai obyek yang memiliki


keterkaitan dengan lokasi, topografi, benda-benda, distribusi benda atau
kejadian lain dalam suatu ruangan atau pada titik tertentu dan dapat pula
dihubungkan dengan peta dan ketinggian.

Audit manajemen penyakit berbasis wilayah merupakan pelengkap yang pada


dasarnya adalah upaya pemantauan dan evaluasi untuk menilai ketepatan
pelaksanaan MPBW yang dilakukan terintegrasi, ketepatan manajemen faktor
risiko dan pelaksanaan manajemen kependudukan dan dampak kesehatan.
Surveilans berbasis wilayah merupakan metode esensial yang secara
terintegrasi mendukung MPBW.

28
Upaya survailans dilakukan secara bersama terhadap faktor risiko lingkungan
dan kependudukan serta penyakit. Keduanya dilakukan secara terintegrasi dan
lintas sektor dengan langkah-langkah sebagai berikut:

(1) Obyek parameter survailans harus meliputi faktor risiko dan penyakit
yang berhubungan. Parameter yang digunakan harus
menggambarkan proses kejadian penyakit pada komponen manusia
dan lingkungan.

(2) Pertemuan awal yang dihadiri lintas sektor para stakeholderster-


masuk LSM bertujuan menentukan jenis dan petugas pengumpul
data berdasarkan ketersediaan dana, metode samplingdan
pengumpulan.

(3) Pertemuan stakeholder dilakuan secara periodik paling tidak sekali


dalam setahun untuk membahas berbagai aspek tentang data yang
terkumpul.

(4) Pertemuan akhir bertujuan menyampaikan hasil informasi.


Selebihnya, dilakukan mengikuti prinsip dan metode survailans yang
lazim dan terarah pada prioritas penyakit dan atau faktor risiko.

2.9 Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Menurut Achamdi (1991), kecelakaan adalah kejadian akibat


ketidakseimbangan interaktif antara kelompok variabel kapasitas kerja,
lingkungan kerja dan pekerjaannya itu sendiri, yang terjadi dalam waktu
singkat dan massives.

29
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan upaya mencegah atau
memperkecil terjadinya bahaya (Hazard) dan risiko (risko) terjadinya
penyakit dan kecelakaan, maupun kerugian-kerugian lainnya yang
mungkin terjadi.

Menurut Achmadi (1991), faktor risiko atau hazards kesehatan kerja dapat
dikelompokkan yang berasal dari diri pekerja pada waktu bekerja yakni
tingkat kesehatan, kemampuan kerja, perilaku, antropometri, gender,
genetik, dan lain sebagainya.

Faktor risiko dari lingkungan pekerjaan, seperti bahan kimia,


mikroorganisme patogen dan kekuatan energi yang diradiasikan seperti
panas ( heat stress) dan kebisingan.

Hubungan interaktif ketiga komponen yang mengandung atau memiliki


potensi hazard harus senantiasa dalam kondisi seimbang dan selaras. Oleh
karena itulah ada penetapan jam kerja, waktu istirahat, ada persyaratan
kebisingan, pencahayaan, kualitas udara lingkungan kerja, serta
persyaratan kapasitas kerja yang diatur dalam pre-employment, pre-
placement examination, tes aptitude, tes perilaku, dan lain sebagainya.

Adapun langkah-langkah perencanaan manajemen faktor risiko, yaitu :


a. Analisis situasi khususnya faktor risiko
b. Menyusun dan menetapkan sasaran yang hendak dicapai dan
jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai sasaran
tersebut.
c. Menyusun daftar kegiatan yang disesuaikan dengan prioritas
sebagai berikut :
1) Kelompok faktor risiko lingkungan kerja.

30
2) Kegiatan yag berkaitan dengan kesehatan lingkungan
baik di dalam (indoor) maupun disekitaran peruahaan
(outdoor).
3) Kelompok kegiatan yang menyangkut kapasitas kerja
atau kegiatan pencegahan bersifat medis.
4) Rencana pelatihan-pelatihan untuk peningkatan
kualitas SDM melalui pelatihan-pelatihan.
5) Analisis beban kerja, jam kerja, waktu istirahat serta
hal-hal lain yang mengatur beban dan jenis
pekerjaan.

2.10 Kemampuan Mengidentifikasi (Population At Risk)

Sebenarnya penentuan population at risk, amat penting baik untuk studi


epidemiologi lingkungan yang konvensional maupun untuk studi analisis
dampak kesehatan lingkungan maupun untuk pemantauan kesehatan
lingkungan. Oleh sebab itu, perlu dicermati. Uraian ini berlaku untuk jenis
studi epidemiologi lingkungan berikut aplikasinya tersebut di atas. Untuk
menentukan pengukuran simpul C atau D dalam berbagai jenis studi di atas,
perlu identifikasi population at risk, yakni satu istilah epidemiologi yang
mendefinisikan siapakah atau kelompok masyarakat manakah yang akan
terkena dampak?

Telah disebutkan bahwa pada dasarnya pengukuran dan pemantauan dampak


pada manusia adalah community based. Oleh karena dalam penentuan
population at risk, harus mengikuti sebaran potensi dampak (yakni komponen
lingkungan yang mengandung agents penyakit/potensi dampak). Sebagai
contoh adalah risiko yang bergantung pada aliran dan penyebaran air ataupun
udara. Sebuah pembangkit tenaga listrik yang diperkirakan mengeluarkan

31
polusi udara, akan mengalir kearah satu daerah. Penduduk di sekitar arah
angin merupakan population at risk.

Dari populasi yang telah kita definisikan kemudian kita ambil sampel
menurut prosedur baku yang telah ada, yakni teknik sampling. Contoh
lainnya adalah distribusi makanan yang diduga tercemar merkuri. Dalam hal
ini population at risk, bisa tersebar di mana-mana, tergantung apakah
penduduk tersebut makan makanan yang mengandung merkuri atau tidak.
Population at risk juga dapat didasarkan pada kelompok umur, atau tempat
ataupun waktu, kebiasaan yang sama. Kesamaan-kesamaan “riwayat
exposure” barangkali yang amat menentukan terhadap kelompok berisiko ini.
Population at risk harus didefinisikan dulu, berdasarkan berbagai faktor yang
sekiranya menentukan kesamaan risiko tadi, barulah diambil sampelnya.

Pengambilan sampel berdasarkan population at risk, lazim kita kenal sebagai


data primer, ideal sering kali secara finansial maupun waktu tidak mencukupi
sehingga sering diambil jalan pintas dengan mengambil kasus dari rumah
sakit maupun Puskesmas. Data dari kedua tempat ini tidaklah
menggambarkan kenyataan karena dapat saja penderita yang ada di rumah
sakit berasal dari daerah atau kelompok yang tidak terkena risiko sehingga
tidak dianjurkan.

Kemampuan untuk mengidentifikasi populasi mana yang terkena dampak?,


Berapa besar/lama waktu dan cara kontak antara agents penyakit (di dalam
wahana transmisi) tertentu atau pemaparan dengan penduduk. Penduduk yang
terkena rasio atau potensi untuk kontak dengan agents penyakit, tidak selalu
berada dalam satu kawasan. Dapat saja dalam waktu yang bersamaan, namun
tempat yang berbeda. Sebagai contoh, orang yang memiliki hobi makan ikan

32
asin (sedangkan dalam ikan asin tersebut terdapat logam berat) akan
merupakan risiko logam berat di mana saja, kapan saja.

Dalam analisis dampak kesehatan lingkungan pada sebuah proyek berpotensi


dampak, harus dilihat pula apakah jumlah populasi yang terkena dampak
bertambah, baik karena pendatang baru ataupun risiko lingkungan yang
meluas? Apakah ada high risk group dalam Population at Risk?

Penetapan population at risk pada dasarnya sebagai berikut.

1. Ditentukan oleh pola kinetika agents yang berada di dalam wahana


transmisi (sebaran potensi dampak).

2. Menentukan lokasi pengukuran analisis pemajanan.

Misalnya proyek pembangunan bendungan apakah akan mengubah habitat


dan populasi nyamuk? Bagaimana penyebaran nyamuk tersebut (tentu harus
mempelajari perilaku terbang nyamuk)? Siapa population at risk? Apakah
proyek tersebut akan menimbulkan kebisingan? Bagaimana penyebaran
potensi? Siapa terkena? Apakah masyarakat yang terkena dampak akan tetap,
meluas, ataukah hanya vulnerable group, siapa mereka?

Setelah dapat menentukan “population at risk” maka gunakan teknik


sampling bila memang diperlukan.

1. Population at risk adalah kelompok yang terkena risiko/kelompok


yang mendapatkan ancaman penyakit lebih tinggi untuk terjadinya
penyakit.

33
2. High Risk adalah di dalam kelompok risiko/population at risk ada
subkelompok yang akan terkena lebih dahulu dalam waktu, dosis dan
tempat yang sama.

3. Study base/basis studi/populasi asal adalah kelompok individu dengan


pengalaman yang sama di mana menjadi pusat perhatian suatu studi.

4. Populasi Studi adalah sampel kelompok individu yang diteliti lebih


lanjut.

5. Sampel adalah bagian dari suatu populasi studi dengan tujuan


mempelajari karakteristik populasi asal.

2.11 Jenis Bahaya kerja

Bahaya yang ada di suatu lingkunga kerja yaitu :

- Bahaya Kerja Kimiawi

Bahan kimia bisa berbahaya dan beracun bagi tubuh manusia, apalagi jika
terpapar dalam jumlah yang banyak. Padahal, bahan kimia dibutuhkan
dalam berbagai jenis pekerjaan. Zat kimia bisa masuk ke tubuh Anda
melalui hidung dalam bentuk udara, kulit, mata, mulut dalam bentuk gas,
uap, dan aerosol (debu, asap, kabut).

Anda yang bekerja di dalam laboratorium punya risiko terpapar berbagai


macam bahan kimia beracun atau bersifat korosif. Selain itu, orang yang
bekerja di pabrik dan pertambangan berisiko terpapar asap dan debu
sehingga menimbulkan gangguan pernapasan.

34
- Bahaya Kerja Fisik

Jenis bahaya kerja fisik dapat berupa bising, vibrasi, suhu lingkungan yang
ekstrem, dan radiasi. Bising secara konstan yang didapat dari pekerja
bangunan biasanya dapat menimbulkan tuli akibat kerja. Vibrasi atau
getaran bisa dirasakan seluruh tubuh atau bagian tertentu jika menggunakan
suatu mesin/alat dalam waktu lama dapat menyebabkan nyeri otot, mual,
hingga gangguan pembuluh darah.

Selain itu, orang yang pekerjaannya berhubungan dengan radiasi ionisasi


(sinar-X, sinar gamma) dapat merusak ikatan kimia di jaringan tubuh jika
terpapar dalam jumlah besar.

- Bahaya Kerja Ergonomi

Ergonomi adalah bidang studi multidisiplin yang mempelajari prinsip-


prinsip dalam mendesain peralatan, mesin, proses dan tempat kerja yang
sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan manusia yang
menggunakannya. Gerakan yang berulang atau posisi yang menetap selama
bekerja dapat menimbulkan cedera.

Karena itu, konsep ergonomis diterapkan dalam pekerjaan guna


menghindari cedera fisik yang terjadi dalam pekerjaan. Misalnya, posisi
duduk, mengetik, jarak antar-layar dan mata, mengangkat barang, dan
memegang alat. Gejala yang paling sering muncul akibat tidak ergonomis
posisi kita saat bekerja adalah pegel linu, nyeri sendi, dan pinggang.

- Bahaya Kerja Biologi

35
Tenaga kesehatan merupakan pekerjaan yang paling terancam dari bahaya
kerja biologi. Penyakit akibat bakteri dan virus seperti tuberkulosis, hepatitis
B, C, dan HIV rentan menulari tenaga kesehatan, seperti dokter, perawat,
dan laboratoris. Selain itu, pekerja yang berhubungan dengan hewan juga
berisiko terkena penyakit seperti rabies dan antraks.

- Bahaya Kerja Psikologis

Bukan hanya masalah kesehatan fisik di atas, gangguan psikologis juga bisa
berisiko terjadi pada para pekerja. Hal yang paling sering menyebabkan ini
adalah stres akibat adanya perubahan jenis pekerjaan, jadwal, tingkat
tanggung jawab, dan ketidakcocokan dengan atasan atau rekan kerja.

2.12 Gambaran Kecelakaan Kerja pada PT. SEMEN TONASA DI


KABUPATEN TANGKEP

Adapun proses produksi PT. Semen Tonasa bermula dari kegiatan


penambangan tanah liat dan batu kapur di kawasan tambang tanah liat
dan pegunungan batu kapur sekitar pabrik hingga pengantongan semen
zak di unit pengantongan semen. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
diketahui bahwa untuk meningatkan kinerjanya, sumber daya manusia
yang bekerja pada perusaha-an tersebut membutuhan jaminan kesehatan
dan keselamatan kerja, mengingat bahwa pekerjaan yang mereka lakukan
mengandung risiko yang dapat meng-ancam kesehatan dan keselamatan
kerjanya.

36
Berdasarkan data kecelakaan kerja dari biro K3 Departemen Tekhnik dan
Utiitas PT. Semen Tonasa sejak lima tahun terakhir, kecelakaan kerja
yang terjadi di pabrik PT. Semen Tonasa cenderung menurun. Hal ini
dapat diartikan bahwa penerapan manajemen kesehatan dan keselamatan
kerja di PT. Semen Tonasa berjalan sesuai dengan yang diharapkan yaitu
untuk mengurangi tingkat kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan
kerja. Berikut data kecelakaan kerja yang terjadi pada tahun 2007 hingga
2012.

Tabel 2.1
Data kasus kecelakaan kerja PT.Semen Tonasa

Tahun Jumlah Kecelakaan Kerja


2007 10 kasus
2008 7 kasus
2009 13 kasus
2010 5 kasus
2011 0 kasus
2012 5 kasus

Tabel 2.2

Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase


1 Laki-laki 86 89,6%
2 Perempuan 10 10,4%
Total 96 100%
Sumber: Hasil Output SPSS 17.00 2015

37
Dari tabel 2.2 diatas menunjukkan bahwa pada penelitian ini didominasi
oleh responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 89,6 % sedangkan
yang berjenis kelamin perempuan hanya sebesar 10,4 %.

Tabel 2.3

Distribusi karakeristik berdasarkan umur

No Umur Jumlah Persentase


1. <20 Tahun 0 0%
2. 20-29 Tahun 46 47,9%
3. 30-39 Tahun 18 18,8%
4. 40-50 Tahun 26 27,1%
5. >50 Tahun 6 6,3%
Total 96 100%
Sumber: Hasil Output SPSS 17.00 2015 65

Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa responden didominasi oleh


karyawan yang berusia sekitar 20-29 tahun yaitu sebesar 47,37 % atau
sebanyak 46 responden dari 96 jumlah responden.

38
Tabel 2.4

Distribusi karakteristik responden berdasarkan pendidikan

No Pendidikan Jumlah Persentase


1. SMA 58 60,4%
2. Diploma 28 29,2%
3. S1 10 10,4%
Total 96 100%
Sumber: Hasil Output SPSS 17.00 2015

Dari tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden


memiliki latar belakang pendidikan tamatan sekolah menengah akhir yaitu
sebesar 60% atau sebanyak 58 orang responden dari 96 responden

39
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut Achmadi (1991), faktor risiko atau hazards kesehatan kerja dapat
dikelompokkan yang berasal dari diri pekerja pada waktu bekerja yakni tingkat
kesehatan, kemampuan kerja, perilaku, antropometri, gender, genetik, dan lain
sebagainya.

Faktor risiko dari lingkungan pekerjaan, seperti bahan kimia, mikroorganisme


patogen dan kekuatan energi yang diradiasikan seperti panas ( heat stress) dan
kebisingan.

Berdasarkan hasil Penelitian dan pembahasan BAB sebelumnya, maka dapat


disimpulkan sebagai berikut :

1. Kesehatan dan keselamatan kerja berpengaruh secara simultan terhadap kinerja


karyawan pada PT. Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep. Artinya, semakin tinggi
tingkat kesehatan dan keselamatan kerja karyawan maka semakin tinggi pula
tingkat kinerja yang dimiliki oleh karyawan.

2. Kesehatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan


pada PT. Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep. Artinya, semakin tinggi tingkat
kesehatan kerja karyawan maka semakin tinggi pula tingkat kinerja yang dimiliki
oleh karyawan.

40
3. Keselamatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
karyawan pada PT. Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep. Artinya, semakin tinggi
tingkat keselamatan kerja karyawan maka semakin tinggi pula tingkat kinerja
yang dimiliki oleh karyawan.

4. Variabel keselamatan kerja lebih dominan berpengaruh terhadap kinerja


karyawan pada PT. Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep.

3.2 Saran

1. Buruh Konstruksi

Sebaiknya buruh konstruksi yang bekerja >8 jam/hari harus lebih berhati-
hati ketika waktu bekerja sudah berganti menjadi malam dan harus
mempersiapkan fisik yang kuat.

2. Perusahaan PT.PP (Persero)

a. Perusahaan PT. Semen Tonasa sebaiknya lebih memperhatikan faktor


keselamatan kerja.

b. Perusahaan juga sebaiknya memperhatikan faktor kesehatan karyawan karena


kondisi pabrik yang cenderung berdebu sehingga hal ini berpotensi menyebabkan
terjadinya infeksi saluran pernapasan bagi karyawan yang beraktifitas di pabrik
tersebut dan untuk meminimalisir keadaan tersebut perlu adanya penggunaan
masker dan pengecekan kesehatan karyawan yang beraktifitas di bagian pabrik.

c. Perusahaan sebaiknya lebih memperhatikan lingkungan kerja dan jaminan


kesehatan karyawan guna meningkatkan kinerja karyawan.

Pemerintah

41
Sebaiknya pihak pemerintah pusat dan daerah yang terkait melakukan kontrol
dan evaluasi terhadap implementasi K3.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. (https://www.euro.who.int/document/e66792.pdf)

2. Achmadi. (1991). Epidemiologi Kesehatan Lingkungan; Working Paper:


Pentaloka Epidemiologi Kesehatan Lingkungan. UF.

3. Achmadi 1991

4. Achmadi UF. Manajemen penyakit berbasis wilayah. Jakarta: Kompas;


2005.
5. KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 3, No. 4, Februari
2009
6. Rineka Cipta; 2008. 5.Achmadi UF. Paradigma kesehatan lingkungan dan
kesehatan kerja. Mimeograph: FKM UI;1987.
7. Achmadi UF. Transformasi kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja di
Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar UI. Depok: Dokumen
Perpustakaan FKMUI; 1991.
8. Cordis L; McGraw Hill. (1994). Environmental Epidemiology and Risk
Assessment. Toronto, N.Y, Brisbane.
9. Data keecelakaan PT. SEMEN TONASA di Kabupaten Pangkep
10. Tim Aldirch, Jack Griffith, and Christopher Cooke. (1993). Environmental
Epidemiology and Risk Assessment. New York.

43
LAMPIRAN

44
45

Anda mungkin juga menyukai