Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH ETIKA PROFESI

“KESELAMATAN KERJA INDUSTRI KIMIA”


REVISI

DISUSUN OLEH :

Kelompok 9
4D-D4

Ahmad Haris Firmansyah NIM. 1941420066


Faarisa Nurjihaan B NIM. 1941420060

DOSEN PENGAMPU

Dr. Drs. Achmad Sjaifullah., M.Pd.

PROGRAM STUDI D-IV TEKNOLOGI KIMIA INDUSTRI


JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah Etika Profesi dengan judul “Keselamatan Kerja
Industri Kimia” dengan baik. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Etika Profesi. Dalam menyusun makalah ini,
penulis mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu yaitu :

1. Bapak Dr. Eko Naryono, M.T. sebagai Ketua Jurusan Teknik Kimia Politeknik
Negeri Malang yang memberikan kesempatan penulis dalam mencari ilmu di
Politeknik Negeri Malang.
2. Ibu Profiyanti Hermien Suherti, S.T., MT., sebagai Kepala Jurusan Prodi D-IV
Teknologi Kimia Industri yang memberikan kesempatan penulis dalam mencari
ilmu di Politeknik Negeri Malang.
3. Bapak Dr. Drs. Achmad Sjaifullah., M.Pd selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Etika Profesi yang telah membimbing dan memberi saran dalam penyusunan
makalah ini.
4. Orang tua penulis yang telah membantu dan memberi dukungan baik moral dan
materiil.
5. Rekan–rekan di Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Malang yang telah
membantu penulisan makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang
berkepentingan. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah terdapat banyak
kekurangan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai perbaikan dan
penyempurnaan makalah.

Malang, 16 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 2


DAFTAR ISI......................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 6

1.3 Tujuan..................................................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 7


2.1 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Lingkungan Kerja .................................. 7

2.2 Tujuan Keselamatan Kerja dan Kesehatan............................................................. 9

2.3 Dasar Pemberlakuan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan ................ 10

2.4 Syarat Keselamatan Kerja .................................................................................... 12

2.5 Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja ................................................... 13

2.6 Usaha untuk Mencapai Keselamatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan ............. 20

2.6.1 Analisis bahaya pekerjaan (job hazard analysis) ............................................... 20

2.6.2 Manajemen risiko (risk management) ................................................................ 21


2.6.3 Insinyur keselamatan (safety engineer) .............................................................. 21
2.6.4 Ergonomika ........................................................................................................ 21
2.7 Hubungan Antara Etika Profesi dengan Keselamatan Kerja .............................. 25

2.8 Studi Kasus........................................................................................................... 26

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 34


3.1 Kesimpulan........................................................................................................... 34

3.2 Saran ..................................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 35


LAMPIRAN ........................................................................................................................ 36
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan merupakan salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat dan bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat bebas dari kecelakaan kerja dan pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja
menimbulkan korban jiwa tetapi juga kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha,
tetapi dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan
yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas.
Kecelakaan kerja dapat menimbulkan hal – hal negatif berupa kerugian
ekonomis dapat pula mengakibatkan penderitaan manusia atau tenaga kerja yang
bersangkutan. Lingkungan kerja yang tidak aman dan kurang sehat juga dapat
mengganggu tenaga kerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Pada dasarnya
kesehatan kerja adalah suatu kondisi kesehatan yang bertujuan agar masyarakat
pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi – tingginya baik jasmani, rohani,
maupun sosial dengan usaha pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit atau
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja maupun
penyakit umum.
Jika tempat kerja aman dan sehat, setiap orang dapat melanjutkan pekerjaan
mereka secara efektif dan efisien. Sebaliknya, jika tempat kerja tidak terorganisir dan
banyak terdapat bahaya, kerusakan dan absen sakit tak terhindarkan, mengakibatkan
hilangnya pendapatan bagi pekerja dan produktivitas berkurang bagi perusahaan.
Meskipun kenyataannya, para pengusaha di seluruh dunia telah secara hati-
hati merencanakan strategi bisnis mereka, banyak yang masih mengabaikan masalah
penting seperti keselamatan, kesehatan dan kondisi kerja dikarenakan biaya untuk
manusia dan finansial keselamatan kerja dianggap terlalu besar.
Menurut ILO, setiap tahun ada lebih dari 250 juta kecelakaan di tempat kerja
dan lebih dari 160 juta pekerja menjadi sakit karena bahaya di tempat kerja. Terlebih
lagi, 1,2 juta pekerja meninggal akibat kecelakaan dan sakit di tempat kerja. Angka
menunjukkan, biaya manusia dan sosial dari produksi terlalu tinggi.
Pada sektor ekonomi diperkirakan bahwa kerugian tahunan akibat
kecelakaan kerja dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan di beberapa
negara dapat mencapai 4 persen dari produk nasional bruto (PNB). Biaya langsung
dan tidak langsung dari dampak yang ditimbulkannya meliputi biaya medis,
kehilangan hari kerja, mengurangi kaapasitas produksi, biaya waktu/uang untuk
pelatihan ulang tenaga kerja hingga kerusakan dan perbaikan perlatan.
Di masa lalu, kecelakaan dan gangguan kesehatan di tempat kerja dipandang
sebagai bagian tak terhindarkan dari produksi. Namun, waktu telah berubah. Sekarang
ada berbagai standar hukum nasional dan internasional tentang keselamatan dan
kesehatan kerja yang harus dipenuhi di tempat kerja. Standar-standar tersebut
mencerminkan kesepakatan luas Antara pengusaha/pengurus, pekerja dan pemerintah
bahwa biaya sosial dan ekonomi dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja harus
diturunkan. Sekarang dipahami bahwa semua biaya ini memperlamban daya saing
bisnis, mengurangi kesejahteraan ekonomi negara dan dapat dihindari melalui
tindakan di tempat kerja yang sederhana tetapi konsisten.
Sehingga dengan kondisi lingkungan yang baik diharapkan akan
memberikan dukungan dalam proses penyelesaian pekerjaan, dimana kondisi ini
memberikan dampak terhadap pencapain kinerja karyawan. Adanya kemampuan
dalam pengelolaan keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan dengan baik maka
upaya untuk memaksimalkan potensi yang dimilliki karyawan dapat secara maksimal
atau terkait dengan upaya peningkatan kinerja karyawan.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan?

2. Apa sajakah tujuan dari keselamatan kerja dan kesehatan?


3. Apakah dasar pemberlakuan keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan?
4. Apakah syarat-syarat keselamatan kerja?
5. Apakah penyebab terjadinya kecelakaan kerja?
6. Apa saja usaha yang perlu dilakukan untuk mencapai keselamatan kerja dan
kesehatan lingkungan?
7. Bagaimana hubungan antara etika profesi dengan keselamatan dan
kesehatan lingkungan kerja?
1.3 Tujuan

1. Menjelaskan mengenai pengertian keselamatan kerja dan kesehatan


lingkungan.
2. Menjabarkan beberapa tujuan dari keselamatan kerja dan kesehatan.
3. Menjelaskan dasar pemberlakuan keselamatan kerja dan kesehatan
lingkungan.
4. Menjelaskan syarat-syarat keselamatan kerja menurut Undang-undang
berlaku.
5. Menjelaskan penyebab terjadinya kecelakaan kerja.
6. Menjelaskan usaha apa saja yang perlu dilakukan untuk mencapai
keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan.
7. Menjelaskan hubungan antara etika profesi dengan keselamatan dan
kesehatan lingkungan kerja.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Lingkungan Kerja


Secara bahasa keselamatan merupakan kata yang berasal dari bahasa
Inggris yakni safety yang merupakan kata yang berhubungan dengan sebuah
keadaan dimana seseorang yang terbebaskan dari kecelakaan (accident) atau
hampir celaka (near miss). Kerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mencari nafkah. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Lingkungan adalah sebuah daerah atau kawasan dan seluruh bagian yang terdapat
di dalamnya yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi perkembangan
kehidupan manusia (Ariana 2016).
Ditinjau dari keilmuan, Keselamatan dan Kesehatan kerja diartikan sebagai
ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam upaya mencegah kecelakaan,
kebakaran, ledakan, pencemaran, penyakit dalam lingkungan kerja
Keselamatan kerja diartikan sebagai upaya agar pekerja terhindar dari
kecelakaan kerja sehingga selamat di lingkungan kerjanya juga termasuk untuk
menyelamatkan peralatan dan proses produksinya.
Kesehatan diartikan sebagai derajat atau tingkat keadaan fisik dan
psikologi seseorang, secara umum pengertian Kesehatan ialah upaya-upaya yang
ditujukan untuk memperoleh Kesehatan setinggi-tingginya dengan cara
mencegah dan memberantas penyakit yang diidap pekerja, mencegah
kecelakaan kerja dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Berikut
pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dari berbagai sumber:
1. Kepmenaker No 463/MEN/1993
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) ialah suatu upaya perlindungan
yang ditujukan supaya tenaga kerja dan orang lainnya ditempat
kerja/perusahaan selalu dalam keadaan selamat dan sehat, serta agar
setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012
Pengertian Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Atau K3 Adalah Segala
Kegiatan Untuk Menjamin Dan Melindungi Keselamatan Dan
Kesehatan Tenaga Kerja Melalui Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja
Dan Penyakit Akibat Kerja.
3. OHSAS
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yakni salah satu kondisi dan
faktor yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan kerja serta orang
lain yang berada di tempat kerja.
4. World Health Organization (WHO)
K3 ialah sebuah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan dan
memelihara derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-
tingginya bagi pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap
gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan;
perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor
yang merugikan kesehatan.
5. Mathis dan Jackson
K3 adalah salah satu kegiatan yang menjamin terciptanya kondisi kerja
yang aman, terhindar dari gangguan fisik dan mental melalui pembinaan
dan pelatihan, pengarahan dan kontrol terhadap pelaksanaan tugas dari
karyawan dan pemberian bantuan sesuai dengan aturan yang berlaku,
baik dari lembaga pemerintah maupun perusahaan dimana mereka
bekerja.
6. Pro. Dr. Ir Djoko Setyo Widodo
Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) adalah bidang yang terkait
dengan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan manusia yang
bekerja di sebuah institusi maupun lokasi proyek.
Dalam mempelajari keselamatan dan kesehatan kerja terdapat beberapa
istilah-istilah yang sering dijumpai yaitu:
● Sumber bahaya (hazard)
Sumber bahaya (hazard) adalah suatu keadaan yang dapat menimbulkan
kecelakaan, penyakit, kerusakan atau menghambat kemampuan kerja.
● Bahaya (danger)
Bahaya (danger) adalah suatu kondisi yang dapat mengakibatkan peluang
bahaya yang sudah mulai tampak, sehingga memunculkan suatu tindakan.
Danger, disebut juga tingkat bahaya, merupakan ungkapan adanya potensi
bahaya secara relatif. kondisi berbahaya mungkin saja ada, akan tetapi
dapat menjadi tidak begitu berbahaya karena telah dilakukan beberapa
tindakan pencegahan atau antisipasi (Hidayatullah and Tjahjawati 2017).
● Risiko (risk)
Risiko (risk) adalah prediksi tingkat keparahan bila terjadi bahaya dalam
siklus tertentu.
● Kecelakaan (accident)
Kecelakaan (accident) adalah kejadian bahaya yang disertai dengan
adanya korban atau kerugian baik manusia atau peralatannya. Accident
juga bisa diartikan kejadian yang merupakan hasil dari serangkaian
kejadian yang tidak direncanakan/ tidak diinginkan/ tak terkendalikan/ tak
terduga yang dapat "menimbulkan segala bentuk kerugian" baik materi
maupun non materi baik yang menimpa diri manusia, benda benda fisik
berupa kekayaan atau aset, lingkungan hidup, hingga masyarakat luas.
● Kejadian (incident)
Kejadian (incident) adalah munculnya yang bahaya yang dapat
mengadakan kontak dengan sumber energi yang melebihi ambang batas
normal. Insiden tidak sampai terjadi kerugian, tapi hampir terjadi kerugian.
Salah satu contoh dari Insiden adalah Near Miss, yang orang banyak bilang
'nyaris'. Near Miss merupakan Insiden yang diakibatkan oleh kecerobohan
manusia (Haworth and Hughes 2016).
2.2 Tujuan Keselamatan Kerja dan Kesehatan
Tujuan utama dalam penerapan K3 berdasar undang-undang No. 1 Tahun
1970 Tentang Keselamatan Kerja yaitu sebagai berikut:
1. Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain
di tempat kerja
2. Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan
efisien
3. Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas nasional
Sedangkan tujuan suatu perusahaan menerapkan manajemen keselamatan
kerja bisa disimpulkan dalam empat tujuan berikut:
a. Mencegah kerugian fisik dan finansial baik dari pihak karyawan dan
perusahaan;
b. Mencegah terjadinya gangguan terhadap produktivitas perusahaan;
c. Menghemat biaya premi asuransi.
d. Menghindari tuntutan hukum dan sebagai tanggung jawab sosial
perusahaan kepada karyawannya.
2.3 Dasar Pemberlakuan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan
Pemerintah memberikan jaminan kepada karyawan dengan menyusun
Undang - Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang kecelakaan, yang dinyatakan
berlaku pada tanggal 6 januari 1951, kemudian disusul dengan Peraturan
Pemerintah tentang pernyataan berlakunya peraturan kecelakaan tahun 1947 (PP
Nomor 2 Tahun 1948), yang merupakan bukti tentang disadarinya arti penting
keselamatan kerja di dalam perusahaan. Undang – undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1992, menyatakan bahwa sudah sewajarnya apabila tenaga kerja
juga berperan aktif dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan program
pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan demi terwujudnya perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Jadi, bukan hanya perusahaan saja yang
bertanggung jawab dalam masalah ini, tetapi para karyawan juga harus ikut
berperan aktif dalam hal ini agar dapat tercapai kesejahteraan bersama (DepKes
RI 2020).
2.3.1 Undang-undang No.1 Tahun 1970
Undang - undang Nomor 1 Tahun 1970, tentang ruang lingkup K3 yang
ditentukan oleh tiga unsur yaitu adanya tempat kerja, adanya pekerja, dan
adanya bahaya kerja.
2.3.2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992
Undang - undang Nomor 23 Tahun 1992, tentang Kesehatan Kerja.
2.3.3 Undang-undang Pasal 86 dan 87 Nomor 13 Tahun 2003
Undang - undang Pasal 86 dan 87 Nomor 13 Tahun 2003, tentang semua
yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.
a. Undang - undang Pasal 86 ayat 1
Setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas:
1. Keselamatan dan kesehatan kerja;
2. Moral dan kesusilaan; dan
3. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai
– nilai agama.
b. Undang - undang Pasal 86 ayat 2
Untuk melindungi keselamatan pekerja atau buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja.
c. Undang - undang Pasal 86 ayat 3
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
d. Undang - undang Pasal 87 ayat 1
Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
e. Undang - undang Pasal 87 ayat 2
Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah
Selain diberlakukannya dasar hukum K3 sesuai peraturan undang – undang,
pemerintah juga mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) dan keputusan
presiden guna menjadi pelengkap bagi peraturan perundang – undangan yang
berlaku tentang K3. Beberapa peraturan pemerintah (PP) dan keputusan
presiden tentang K3 diantaranya yaitu :
● Tentang keselamatan kerja pada pemurnian dan juga tata kelola minyak
dan gas bumi diatur didalam pasal nomor 11 tahun 1979
● Mengenai peredaran, penggunaan serta upaya penyimpangan diatur
didalam peraturan PP nomor 7 tahun 1973
● Tentang tata aturan dan pengawasan keselamatan kerja dalam bidang
pertambangan di atur didalam peraturan PP Nomor 13 tahun 1973
● Keputusan presiden nomor 22 tahun 1993 mengatur tentang penyakit yang
akan timbul akibat hubungan kerja
● Tata cara penunjukan ahli K3 diatur didalam Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Republik Indonesia nomor 04 tahun 1987. Isinya adalah tentang tata
cara penunjukan dan kewajiban wewenang ahli K3 dimana setiap tempat
kerja dengan kriteria tertentu beserta jajaran pengusaha atau pengurus
memiliki kewajiban membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (P2K3)
● Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) nomor 4 tahun 1987
mengatur tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja
● UU nomor 1 tahun 1970 mengatur tentang penerapan K3 untuk
keselamatan kerja
● Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) nomor 5 tahun 1996
mengatur tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Rangkuman dasar
– dasar hukum tenaga kerja
● Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 5 tahun 1996 yang mengatur
tentang sistem manajemen K3 menjelaskan bahwa setiap perusahaan
dengan 100 tenaga kerja atau lebih dan atau yang mengandung potensi
bahaya melalui karakteristik proses atau bahan produksi dapat
menimbulkan terjadinya kecelakaan kerja seperti halnya kebakaran,
peledakan, pencemaran lingkungan dan juga penyakit yang timbul akibat
kerja.
2.4 Syarat Keselamatan Kerja
Berdasarkan undang-undang No 1 Tahun 1970 Pasal 3, syarat-syarat yang
harus dipenuhi dalam keselamatan kerja (Presiden RI 1970), yaitu:
● Mencegah dan mengurangi kecelakaan
● Mencegah, mengurangi dan memadam kan kebakaran
● Mengurangi bahaya peledakan
● Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu waktu
kebakaran atau kejadian – kejadian lain yang berbahaya.
● Memberi pertolongan pada kecelakaan
● Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja
● Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar
atau radiasi, suara dan getaran
● Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik
maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan
● Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
● Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik
● Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup
● Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban
● Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan
proses kerjanya
● Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman
atau barang
● Menjamin dan memelihara segala jenis bangunan
● Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan
penyimpanan barang
● Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya
● Menyeseuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang
bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
2.5 Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja
Penyebab terjadinya kecelakaan kerja dapat disebabkan dari adanya faktor
karakteristik pekerja. Demikian halnya karena kurangnya kemampuan atau
pelatihan, rekruitmen pekerja yang tidak benar, kelelahan akibat jam kerja
yang berlebih, serta minimnya pengawasan terhadap pekerja. Banyak teori
tentang penyebab kecelakaan, namun secara operasional dapat diberikan
contoh sebagai berikut (Hidayah and Nisa 2019):
● Kegagalan Komponen
Seperti desain yang tidak memadai, bahan korosif, kegagalan mekanik,
kegagalan pompa kompresor.
● Kegagalan Sistem Kontrol
Kegagalan sistem penyimpangan dari kondisi operasi normal, seperti
kegagalan memonitor proses, kegagalan prosedur (start up atau shut down).
● Human Error
Kesalahan operator, mencampur bahan berbahaya, label tidak jelas,
kesalahan komunikasi.
● Faktor Luar
Sarana transportasi, faktor alam, angin, banjir, petir.
2.5.1 Faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja menurut Mangkunegara
(2008)
a. Keadaan tempat lingkungan kerja
1. Penyusunan dan penyimpanan barang – barang yang berbahaya
kurang diperhitungkan keamanannya;
2. Ruang kerja yang terlalu padat dan sesak; dan
3. Pembuangan kotoran dan limbah yang tidak pada tempatnya.
b. Pengaturan udara
1. Pergantian udara di ruang kerja yang tidak baik (ruang kerja yang
kotor, berdebu, dan berbau tidak enak); dan
2. Suhu udara yang tidak dikondisikan pengaturannya.

c. Pengaturan penerangan

1. Pengaturan dan penggunaan sumber cahaya yang tidak tepat; dan


2. Ruang kerja yang kurang cahaya (remang – remang).
d. Pemakaian peralatan kerja

1. Pengamanan peralatan kerja yang sudah usang atau rusak; dan


2. Penggunaan mesin dan alat elektronik tanpa pengamanan yang baik.

e. Kondisi fisik dan mental pegawai

1. Stamina pegawai yang tidak stabil;


2. Emosi pegawai yang tidak stabil;
3. Kepribadian pegawai yang rapuh;
4. Cara berpikir dan kemampuan persepsi yang lemah;
5. Motivasi kerja rendah;
6. Sikap pegawai yang ceroboh;
7. Kurang cermat; dan
8. Kurang pengetahuan dalam penggunaan fasilitas kerja terutama
fasilitas kerja yang membawa risiko bahaya.

2.5.2 Faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja menurut teori Domino

Teori ini diperkenalkan oleh H.W.Heinrich pada tahun 1931. Menurut


Heinrich, 88% kecelakaan disebabkan oleh perbuatan atau tindakan tidak
aman dari manusia (unsafe act), sedangkan sisanya disebabkan oleh hal –
hal yang tidak berkaitan dengan kesalahan manusia, yaitu 10% disebabkan
kondisi yang tidak aman (unsafe condition) dan 2% disebabkan takdir
Tuhan. Heinrich menekankan bahwa kecelakaan lebih banyak disebabkan
oleh kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Menurutnya,
tindakan dan kondisi yang tidak aman akan terjadi bila manusia berbuat
suatu kekeliruan. Hal ini lebih jauh disebabkan karena faktor karakteristik
manusia itu sendiri yang dipengaruhi oleh keturunan (ancestry) dan
lingkungannya (environment).
Gambar 1 Teori Domino
Apabila terdapat suatu kesalahan manusia, maka akan tercipta tindakan
dan kondisi tidak aman serta kecelakaan dan kerugian akan timbul. Heinrich
menyatakan bahwa rantai batu tersebut diputus pada batu ketiga sehingga
kecelakaan dapat dihindari. Konsep dasar pada model ini adalah:

a. Kecelakaan adalah sebagai suatu hasil dari serangkaian kejadian yang


berurutan;

b. Penyebabnya adalah faktor manusia dan faktor fisik;

c. Kecelakaan tergantung kepada lingkungan fisik dan sosial kerja; dan

d. Kecelakaan terjadi karena kesalahan manusia.

2.5.3 Faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja menurut teori Bird dan Loftus

Kunci kejadian masih tetap sama seperti yang dikatakan oleh Heinrich,
yaitu adanya tindakan dan kondisi tidak aman. Bird dan Loftus tidak lagi
melihat kesalahan terjadi pada manusia atau pekerja semata, melainkan
lebih menyoroti pada bagaimana manajemen lebih mengambil peran dalam
melakukan pengendalian agar tidak terjadi kecelakaan.
Gambar 2 Teori Bird dan Loftus

2.5.4 Faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja menurut menurut Swiss


Cheese

Kecelakaan terjadi ketika terjadi kegagalan interaksi pada setiap komponen


yang terlibat dalam suatu sistem produksi. Kegagalan suatu proses dapat
dilukiskan sebagai “lubang” dalam setiap lapisan sistem yang berbeda.
Dengan demikian menjelaskan apa dari tahapan suatu proses produksi
tersebut yang gagal. Sebab – sebab suatu kecelakan dapat dibagi menjadi
direct cause dan latent cause. Direct cause sangat dekat hubungannya
dengan kejadian kecelakaan yang menimbulkan kerugian atau cidera pada
saat kecelakaan tersebut terjadi. Kebanyakan proses investigasi lebih
konsentrasi kepada penyebab langsung terjadinya suatu kecelakaan dan
bagaimana mencegah penyebab langsung tersebut. Tetapi ada hal lain yang
lebih penting yang perlu di identifikasi yakni latent cause. Latent cause
adalah suatu kondisi yang sudah terlihat jelas sebelumnya dimana suatu
kondisi menunggu terjadinya suatu kecelakaan.

Gambar 3 Teori Swiss Cheese


2.5.5 Teori tiga faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan kerja (three main
factor theory)

a. Faktor manusia

1. Umur

Umur harus mendapat perhatian karena akan mempengaruhi kondisi


fisik, mental, kemampuan kerja, dan tanggung jawab seseorang.
Umur pekerja juga diatur oleh Undang–Undang perburuhan yaitu
Undang–Undang tanggal 6 Januari 1951 No. 1 Pasal 1. Karyawan
muda umumnya mempunyai fisik yang lebih kuat, dinamis, dan
kreatif, tetapi cepat bosan, kurang bertanggung jawab, cenderung
absensi, dan turnover-nya rendah. Umum mengetahui bahwa
beberapa kapasitas fisik, seperti penglihatan, pendengaran dan
kecepatan reaksi, menurun sesudah usia 30 tahun atau lebih.

2. Jenis kelamin

Jenis pekerjaan antara pria dan wanita sangatlah berbeda. Pembagian


kerja secara sosial antara pria dan wanita menyebabkan perbedaan
terjadinya paparan yang diterima orang, sehingga penyakit yang
dialami berbeda pula.

3. Masa kerja

Masa kerja adalah sesuatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja
bekerja disuatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik
positif maupun negatif. Memberi pengaruh positif pada kinerja bila
dengan semakin lamanya masa kerja personal semakin
berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya, akan
memberi pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya masa
kerja akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja.

4. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan,


sikap dan bentuk – bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat
tempat ia hidup, proses sosial yakni orang yang dihadapkan pada
pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang
datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami
perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang
optimal.

5. Perilaku

Variabel perilaku adalah salah satu di antara faktor individual yang


mempengaruhi tingkat kecelakaan. Sikap terhadap kondisi kerja,
kecelakaan dan praktik kerja yang aman bisa menjadi hal yang
penting karena ternyata lebih banyak persoalan yang disebabkan oleh
pekerja yang ceroboh dibandingkan dengan mesin – mesin atau
karena ketidakpedulian karyawan. Pada satu waktu, pekerja yang
tidak puas dengan pekerjaannya dianggap memiliki tingkat
kecelakaan kerja yang lebih tinggi.

6. Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja

Pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar


untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem
pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat, dan
dengan metode yang lebih mengutamakan praktik daripada teori,
dalam hal ini yang dimaksud adalah pelatihan keselamatan dan
kesehatan kerja. Timbulnya kecelakaan bekerja biasanya sebagai
akibat atas kelalaian tenaga kerja atau perusahaan.

7. Peraturan keselamatan dan kesehatan kerja

Peraturan perundangan adalah ketentuan – ketentuan yang


mewajibkan mengenai kondisi kerja pada umumnya, perencanaan,
konstruksi, perawatan dan pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan
cara kerja peralatan industri, tugas – tugas pengusaha dan buruh,
latihan, supervisi medis, P3K, dan perawatan medis. Ada tidaknya
peraturan K3 sangat berpengaruh dengan kejadian kecelakaan kerja.
Untuk itu, sebaiknya peraturan dibuat dan dilaksanakan dengan
sebaik – baiknya untuk mencegah dan mengurangi terjadinya
kecelakaan.

b. Faktor lingkungan

1. Kebisingan

Bising adalah suara atau bunyi yang tidak diinginkan. Kebisingan


pada tenaga kerja dapat mengurangi kenyamanan dalam bekerja,
mengganggu komunikasi atau percakapan antar pekerja, mengurangi
konsentrasi, menurunkan daya dengar, dan tuli akibat kebisingan.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-
51/MEN/1999 tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempat
kerja, intensitas kebisingan yang dianjurkan adalah 85 dBA untuk 8
jam kerja.

2. Suhu udara

Dari suatu penyelidikan diperoleh hasil bahwa produktivitas kerja


manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur
sekitar 24–27°C. Suhu dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan
kaku dan kurangnya koordinasi otot.

3. Penerangan

Faktor penerangan yang berperan pada kecelakaan antara lain kilauan


cahaya langsung pantulan benda mengkilap dan bayang – bayang
gelap. Selain itu pencahayaan yang kurang memadai atau
menyilaukan akan melelahkan mata. Kelelahan mata akan
menimbulkan rasa kantuk dan hal ini berbahaya bila karyawan
mengoperasikan mesin – mesin berbahaya sehingga dapat
menyebabkan kecelakaan.

4. Lantai licin

Lantai dalam tempat kerja harus terbuat dari bahan yang keras, tahan
air, dan bahan kimia yang merusak. Karena lantai licin akibat
tumpahan air, tahan minyak atau oli berpotensi besar terhadap
terjadinya kecelakaan, seperti terpeleset.
c. Faktor peralatan

1. Kondisi mesin

Dengan mesin dan alat mekanik, produksi dan produktivitas dapat


ditingkatkan. Selain itu, beban kerja faktor manusia dikurangi dan
pekerjaan dapat lebih berarti. Apabila keadaan mesin rusak, dan tidak
segera diantisipasi dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja.

2. Letak mesin

Terdapat hubungan yang timbal balik antara manusia dan mesin.


Fungsi manusia dalam hubungan manusia mesin dalam rangkaian
produksi adalah sebagai pengendali jalannya mesin tersebut. Mesin
dan alat diatur sehingga cukup aman dan efisien untuk melakukan
pekerjaan dan mudah. Kemungkinan risiko yang dapat muncul sebisa
mungkin untuk dikendalikan. Untuk mengendalikan risiko semampu
mungkin seluruh risiko harus dicegah atau dihilangkan. Jika tidak
bisa dihilangkan maka risiko harus diturunkan serendah mungkin dan
dikelola sesuai hirarki yang benar, sehingga risiko yang masih ada
pada tingkat yang masih bisa diterima.

2.6 Usaha untuk Mencapai Keselamatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan


Usaha – usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai keselamatan kerja
dan menghindari kecelakaan kerja antara lain:

2.6.1 Analisis bahaya pekerjaan (job hazard analysis)

Analisis bahaya pekerjaan (job hazard analysis) adalah suatu proses untuk
mempelajari dan menganalisa suatu jenis pekerjaan kemudian membagi
pekerjaan tersebut ke dalam langkah – langkah menghilangkan bahaya yang
mungkin terjadi .

a. Melibatkan karyawan
Hal ini sangat penting untuk melibatkan karyawan dalam proses job hazard
analysis. Mereka memiliki pemahaman yang unik atas pekerjaannya dan hal
tersebut merupakan informasi yang tak ternilai untuk menemukan suatu
bahaya.
b. Mengulas sejarah kecelakaan sebelumnya
Mengulas dengan karyawan mengenai sejarah kecelakaan dan cedera yang
pernah terjadi serta kerugian yang ditimbulkan. Hal ini merupakan indikator
utama dalam menganalisis bahaya yang mungkin akan terjadi di lingkungan
kerja
c. Melakukan tinjauan ulang persiapan pekerjaan
Berdiskusi dengan karyawan mengenai bahaya yang ada dan yang mereka
ketahui di lingkungan kerja. Bertukar pikiran dengan pekerja untuk
menemukan ide atau gagasan yang bertujuan untuk mengeliminasi atau
mengontrol bahaya yang ada.
d. Membuat daftar, peringkat, dan menetapkan prioritas untuk pekerjaan
berbahaya
Membuat daftar pekerjaan yang berbahaya dengan risiko yang tidak dapat
diterima atau tinggi, berdasarkan yang paling mungkin terjadi dan yang
paling tinggi tingkat risikonya. Hal ini merupakan prioritas utama dalam
melakukan job hazard analysis.
e. Membuat outline langkah – langkah suatu pekerjaan
Tujuan dari hal ini adalah agar karyawan mengetahui langkah – langkah yang
harus dilakukan dalam mengerjakan suatu pekerjaan, sehingga kecelakaan
kerja dapat diminimalisir.
2.6.2 Manajemen risiko (risk management)
Manajemen risiko (risk management) dimaksudkan untuk mengantisipasi
kemungkinan kerugian atau kehilangan (waktu, produktivitas, dan lain – lain)
yang berkaitan dengan program keselamatan dan penanganan hukum.
2.6.3 Insinyur keselamatan (safety engineer)
Insinyur keselamatan (safety engineer) bertujuan untuk memberikan pelatihan,
memberdayakan supervisor atau manager agar mampu mengantisipasi atau
melihat adanya situasi kurang aman dan menghilangkannya.
2.6.4 Ergonomika
Ergonomika adalah suatu studi mengenai hubungan antara manusia dengan
pekerjaannya, yang meliputi tugas – tugas yang harus dikerjakan, alat – alat,
perkakas yang digunakan, dan lingkungan kerjanya.

Selain ke-empat hal diatas, cara lain yang dapat dilakukan adalah:

▪ Rotasi pekerjaan (job rotation) adalah suatu proses pemindahan


seseorang dari suatu pekerjaan ke pekerjaan yang lain.
▪ Penggunaan poster atau propaganda.
▪ Perilaku yang berhati-hati

Berikut adalah contoh – contoh dari pengendalian risiko

a. Menghilangkan (elimination)

1. Menghilangkan sumber bahaya kaki tersangkut atau terbentur (trip


hazard) di atas lantai;

2. Membuang atau memusnahkan bahan kimia yang tidak diperlukan lagi.

3. Memperbaiki peralatan yang rusak.

b. Penggantian (subtitution)

1. Mengganti pemakaian bahan – bahan kimia dengan bahan yang rendah


tingkat bahayanya;

2. Mengganti pasir silika (sand blasting) dengan copper slag (grit blasting)
pada pekerjaan abrasive blasting;

3. Mengganti proses kering dengan proses basah;

4. Mengganti cara kerja manual handling dengan mechanical handling.

c. Rekayasa (engineering)

1. Program desain ulang untuk mengurangi tingkat kebisingan;

2. Memasang atau mengatur ventilasi udara di daerah lingkungan


pengecatan;

3. Memasang pagar pengaman mesin pada bagian – bagian mesin yang


bergerak;

4. Menggunakan anti-glare screen pada layar monitor komputer;

5. Memasang flashback arrestor pada saluran oksigen dan asetilin pada


pekerjaan oxy-cutting.

d. Administrasi (administrative)

1. Pemeliharaan secara regular;

2. Mendesain ulang cara kerja;

3. Penyediaan SOP (Standard Operating Procedure);

4. Membatasi paparan pekerja terhadap bahaya.

e. Menggunakan alat pelindung diri (personal protective equipment)

Alat Pelindung Diri (APD) adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat
bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu
sendiri dan orang di sekelilingnya. Kewajiban itu sudah disepakati oleh
pemerintah melalui Departement Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia. Hal ini tertulis di Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. Per.08/Men/VII/2010 tentang pelindung diri. Adapun bentuk dari alat
tersebut adalah:

1. Safety helmet untuk melindungi kepala dari resiko benda yang terjatuh.

Gambar 4 Safety helmet

2. Ear plug untuk melindungi telinga dari kebisingan.


Gambar 5 Ear plug

3. Masker protection untuk melindungi pernapasan dari bahaya


sepertimdebu atau bau bahan kimia.

Gambar 6 Masker protection

4. Sarung tangan untuk melindungi tangan dari bahaya

Gambar 7 Sarung tangan

5. Safety glasses untuk melindungi mata dari bahaya


Gambar 8 Safety glasses

6. Safety shoes untuk melindungi kaki dari bahaya benda terjatuh


atau bahan berbahaya dan tajam yang bisa melukai kaki

Gambar 9 Safety shoes

Adapun tujuan dari penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), antara lain:

1. Melindungi tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan


administrasi (administrative) tidak dapat dilakukan dengan baik;
2. Meningkatkan efektifitas dan produktivitas kerja; dan
3. Menciptakan lingkungan kerja yang aman.

2.7 Hubungan Antara Etika Profesi dengan Keselamatan Kerja dan


Kesehatan Lingkungan
Dalam suatu perusahaan pasti memiliki etika profesi dalam menjaga
keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan atau suatu sistem norma, nilai, atau
aturan yang menegaskan tentang baik atau tidaknya suatu perbuatan.
Memberikan suatu batasan antara yang benar dan salah sehingga seorang
karyawan bisa membatasi diri dalam berperilaku agar tidak berperilaku ke arah
yang tidak benar sehingga bisa merugikan lingkungan sekitar dan hal tersebut
juga bisa mempengaruhi produktivitas sebuah perusahaan. Ketika mereka
melaksanakan pekerjaan harus dilakukan dengan cara dan dalam lingkungan K3
yang memenuhi syarat serta menganggarkan alokasi dana untuk pelaksanaan
program K3. Pekerjaan yang menuntut produktivitas kerja tinggi hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kerja dengan kondisi kesehatan yang prima dan kebiasaan
menerapkan K3L yang baik (Wahyuni, Suyadi, and Hartanto 2018).
Kecelakaan terjadi karena tindakan yang salah atau kondisi yang tidak aman.
Kelalaian sebagai sebab kecelakaan merupakan nilai tersendiri dari teknik
keselamatan. Diantara kondisi yang kurang aman salah satunya adalah
pencahayaan, ventilasi yang memasukkan debu dan gas, layout yang berbahaya
ditempatkan dekat dengan pekerja, pelindung mesin yang tak sebanding,
peralatan yang rusak, peralatan pelindung yang tak mencukupi, seperti helm dan
gudang yang kurang baik (Khoirun 2017).
Diantara tindakan yang kurang aman salah satunya diklasifikasikan seperti
latihan sebagai kegagalan menggunakan peralatan keselamatan, mengoperasikan
pelindung mesin mengoperasikan tanpa izin atasan, memakai kecepatan penuh,
menambah daya dan lain – lain. Dari hasil analisa kebanyakan kecelakaan
biasanya terjadi karena mereka lalai ataupun kondisi kerja yang kurang aman.
Keselamatan dapat dilaksanakan sedini mungkin, tetapi untuk tingkat efektivitas
maksimum, pekerja harus dilatih, menggunakan peralatan keselamatan (Rst et al.
2021).

2.8 Studi Kasus


Pegawai PT. GPEC yang bekerja pada PLTU Sumsel 1 Tewas Karena Jatuh
19 Lantai
● Kronologi
Pada Rabu 3 Mei 2023 sekitar pukul 09.00 WIB seorang Pegawai
subkontraktor dari PT. GPEC9 mengerjakan proyek konstruksi di PLTU
Sumsel 1 Muara Enim, Sumatera Selatan. Pegawai tersebut bernama Suhardi
(47) yang sedang melakukan pekerjaan konstruksi bangunan pada lantai paling
atas (lantai 63) di PLTU Sumsel saat sedang melakukan pekerjaanya SH (47)
tidak sengaja melangkah pada pijakan seng yang belum dipasang besi penahan
untuk penopang seng tersebut, sehingga seketika SH (47) panik kemudian
terjatuh 19 lantai dari lantai 63 hingga lantai 44. Korban SH (47) sempat
dilarikan ke RS Fadhilah Prabumulih namun karena luka pada badan terlalu
parah SH(47) meninggal di tempat.
● Latar Belakang
Dilansir dari detiksumut.com bahwa sebab korban SH(47) sampai terjatuh 19
lantai adalah karena saat bekerja tidak memathui SOP, tidak menggunakan
pengaman tubuh atau tali pengaman sehingga ketika korban menginjak seng
yang belum terpasang penyangga, korban SH(47) langsung terjatuh seketika
meninggal dunia. "Korban terjatuh dari lantai 63 ke lantai 44, indikasi awal
korban tidak mengaitkan tali safety yang melekat di badannya ke area objek
kerja, sesuai keterangan saksi-saksi," kata AKBP Andi
● Akhir Kasus
Setelah dinyatakan tewas SH(47) dibawa kerumah sakit Fadhilah Prabumulih
untuk dilakukan perawatan jenazah, setelah itu dibawa kerumah duka
keluarga, dan dari pihak Industri yakni subkontraktor PT.GPEC 19 akan
mengeklaimkan asuransi BPJS Ketenagakerjaan dan dari PLTU 1 Sumsel
memberikan santunan untuk keluarga korban yang ditinggalkan.
● Analisis Kasus
Dari hasil investigasi keopolisian yang didapat dari keterangan saksi dan
pemeriksaan TKP terjadinya kecelakaan, pihak kepolisian menyatakan bahwa
penyebab terjadi kecelakaan kerja adalah karena Pekerja tidak menggunakan
alat pengaman saat bekerja diketinggian seperti safety belt, body harnest
lanyard ataupun lifeline. Penyebab yang jelas karena kecerobohan pekerja
tidak memakai alat pelindung diri menyebabkan korban jiwa hingga tewas,
padahal dalam bekerja pada area ketinggian memiliki standart-standart
tertentu seperti yang telah di atur oleh Kementrian Tenaga Kerja melalui
Permenaker No 9 tahun 2016. Permenaker No 09 tahun 2016 ini mewajibkan
kepada pengusaha dan atau pengurus untuk menerapkan K3 dalam bekerja di
ketinggian. Penerapan K3 dapat dilakukan dengan memastikan beberapa hal
berikut :
1. Perencanaan (dilakukan dengan tepat dengan cara yang aman serta
diawasi)
Pada tahap Perencanaan harus memastikan bahwa pekerjaan dapat
dilakukan dengan aman dengan kondisi ergonomi yang memadai melalui
jalur masuk (access) atau jalur keluar (egress) yang telah disediakan.
Kemudian masih dalam tahap Perencanaan pihak pengusaha dan atau
pengurus wajib Menyediakan peralatan kerja untuk meminimalkan jarak
jatuh atau mengurangi konsekuensi dari jatuhnya tenaga kerja.
Selanjutnya Menerapkan sistem izin kerja pada ketinggian dan
memberikan instruksi atau melakukan hal lainnya yang berkenaan dengan
kondisi pekerjaan.
2. Prosedur Kerja (Prosedur untuk melakukan pekerjaan pada ketinggian)
Prosedur Kerja juga wajib ada untuk memberikan panduan kepada
pekerja, prosedur ini harus dipastikan bahwa Tenaga Kerja memahami
dengan baik isi yang ada di dalamnya. Beberapa hal yang harus ada di
dalam prosedur bekerja pada ketinggian meliputi:
❖ Teknik cara perlindungan jatuh
❖ Cara pengelolaan peralatan
❖ Teknik dan cara melakukan pengawasan pekerjaan
❖ Pengamanan tempat kerja
❖ Kesiapsiagaan dan tanggap darurat.
Setiap pengusaha dan atau pengurus wajib memasang perangkat
pembatasan daerah kerja untuk mencegah masuknya orang yang tidak
berkepentingan. Pembagian kategori wilayah meliputi Wilayah Bahaya,
Wilayah Waspada dan Wilayah Aman. Setiap pengusaha dan atau
pengurus juga wajib memastikan bahwa tidak ada benda jatuh yang dapat
menyebabkan cidera atau kematian.

3. Alat Pelindung Diri, Perangkat pelindung jatuh dan Angkur

Bekerja di ketinggian memang memiliki risiko yang lebih tinggi, mulai


dari jatuh, cedera, luka serius hingga kematian. Penerapan sistem
manajemen K3 (keselamatan dan Kesehatan Kerja) perlu dilakukan untuk
membantu mengidentifikasi dan meminimalisir risiko yang kemungkinan
terjadi (Asosiasi Ropes Access Indonesia 2020). Salah satu yang
terpenting pada saat bekerja pada area ketinggian adalah penggunaan
APD yang sesuai dengan resiko bahaya yang mungkin terjadi, standart
alat pelindung diri saat bekerja pada area ketinggian adalah:

● Safety Belt

Sabuk keselamatan atau Safety Belt adalah salah satu alat pelindung
jatuh yang kerap dipakai oleh pekerja yang bekerja di ketinggian.
Alat ini mempunyai fungsi yang sama dengan alat Full Body
Harness, akan tetapi Safety Belt hanya dikaitkan ke bagian pinggang
pekerja saja serta bagian lanyard dikaitkan ke anchor.

Pemakaian Safety Belt sebagai alat pelindung jatuh mesti


mempertimbangkan bahwa sebaiknya alat Safety Belt tidak
dipergunakan untuk pekerjaan yang memungkinkan pekerja bisa
terjatuh dari ketinggian, sebab jika pekerja terjatuh maka pekerja
tersebut masih bisa mengalami cedera di bagian pinggang ataupun
bagian tulang belakangnya meskipun pekerja tersebut tak mengenai
permukaan tanah dalam artisan pekerja tergantung.

● Full Body Harness

Alat ini didesain untuk melindungi semua bagian penting pengguna


yaitu panggul, dada, paha, dan seluruh tubuh pengguna, sehingga
lebih aman saat bekerja di ketinggian. Penggunaan body harness
dilengkapi D-ring yang terletak pada bagian punggung serta bisa
dipasangkan ke lanyard, lifeline untuk menjaga tubuh tidak sampai
terjatuh jika berada pada ketinggian. Seorang Insinyur Industri
Teknik Kimia juga memungkinkan untuk bekerja di ketinggian tentu
sudah familier dengan penggunaan full body harness. Full body
harness memang berfungsi sebagai alat pelindung jatuh saat bekerja
di ketinggian dan penggunaannya lebih dianjurkan dibanding safety
belt terutama jika bekerja di ketinggian lebih dari 1,8 meter, hal ini
dikarenakan full body harness memiliki kelebihan dengan tali
pengaman yang bisa melindungi seluruh tubuh pekerja sehingga
kemungkinan cedera akibat hentakan saat jatuh sangat kecil.
Sayangnya meski manfaatnya sangat besar sebagai alat pelindung
jatuh, masih banyak pekerja yang kurang memperhatikan cara
penggunaan full body harness secara benar sebelum melakukan
pekerjaan di ketinggian. Selain kurangnya pemeriksaan pada full
body harness, faktor penyebab tingginya angka kecelakaan tersebut
juga karena penggunaan alat pelindung jatuh yang tidak benar dan
tidak sesuai potensi bahaya (Firman 2020).

● Lanyard

Alat ini adalah tali pendek pengikat yang umumnya berfungsi untuk
menahan guncangan bila pekerja terjatuh bebas. Pekerja bisa
menggunakan lanyard untuk membatasi guncangan saat jatuh bebas
dengan panjang maksimum 1,2 meter. Sebaiknya pasang lanyard/
pasang hook di atas atau paling tidak sejajar dengan dada, hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi jarak vertikal atau jarak jatuh tubuh
pekerja. Sebuah lanyard selalu diposisikan antara anchor point dan
body harness.

● Anchor point

Setiap pekerja harus memastikan bahwa anchor yang tersambung


pada lifeline dan lanyard harus kuat. Posisi anchor point harus stabil
dan lokasinya sudah sesuai. Jika penggunaan anchor diperuntukkan
sebagai pelindung atau penahan pekerja dari kemungkinan terjatuh,
anchor harus mampu menahan beban setidaknya 3,5 kN (363 kg) atau
setidaknya empat kali berat pekerja. Sedangkan, bilamana
penggunaan anchor sebagai penahan saat terjatuh, anchor harus
mendukung setidaknya 22 kN (2,5 ton).

● Sepatu

Fungsi dari alat pelindung kaki yaitu untuk melindungi bagian kaki
terhadap benturan atau tertimpa benda-benda yang berat, terkena
cairan dingin atau panas, tertusuk oleh benda tajam, uap panas,
terpapar bahan kimia dan suhu ekstrim hingga tergelincir. Jenis alat
pelindung diri ini berbentuk sepatu keselamatan untuk pekerjaan
pengecoran logam, peleburan, konstruksi bangunan, industri, bahaya
listrik, pekerjaan beresiko mengalami peledakan, dan masih banyak
lagi.

● Pelindung mata

Alat pelindung bagian mata berfungsi untuk melindungi area wajah


dan mata dari bahan-bahan kimia yang berbahaya, terhadap paparan
partikel di udara, uap panas, pancaran cahaya, benda tajam, hingga
benturan. Pada jenis alat pelindung diri ini terdiri atas goggles,
masker selam, kacamata pengaman, full face mask, dan tameng
muka.

4. Tenaga kerja kompeten


Pada pasal 31 Permenaker No 9 tahun 2016 mengenai tatacara bekerja
diketinggian, Pengusaha dan atau pengurus wajib menyediakan tenaga
kerja yang kompeten yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi dan
berwenang di bidang K3 dalam pekerjaan di ketinggian yang dibuktikan
dengan Lisensi K3 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Ketenagakerjaan. Bekerja pada bangunan tinggi dan pada ketinggian kini
tak bisa lagi dilakukan sembarang orang. Mereka yang bekerja di
ketinggian, harus mengantongi sertifikat lulus pembinaan K3 dan
memiliki jam terbang minimal 500 jam. Ketentuan yang tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 9 Tahun 2016 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam Pekerjaan Pada Ketinggian ini
harus ditaati dan dilaksanakan semua pihak yang terlibat pekerjaan pada
ketinggian.
● Penyelewengan Terhadap Kode Etik
Dari kasus pekerja PT. GPEC 19 yang terjadi kecelakaan kerja pada PLTU
Sumsel 1 dapat diketahui bahwa wujud penyimpangan dari profesi Teknik
Kimia berdasarkan kode etik Profesi Teknik Kimia (AICHE) yaitu pekerja
SH(47) tidak mengutamakan keselamatan kerja bahkan untuk dirinya sendiri,
sementara itu PT. GPEC 19 dan PLTU Sumsel 1 sebagai subkontraktor dan
tempat kerja dari SH(47) juga menyalahi kode etik profesi teknik kimia
menurut organisasi AICHE dikarenakan PT. GPEC 19 dan PLTU Sumsel 1
tidak memperhatikan managemen K3 dengan baik dibuktikan tidak adanya
pengawasan yang baik terhadap pekerja yang melakukan pekerjaan.
● Himbaun dan Saran Pencegahan
Sebab kecalakaan kerja pada studi kasus diatas selain disebabkan kecorobohan
korban karena tidak memakai alat pelindung diri standart bekerja pada
ketinggian juga disebabkan longgarnya pengawasan dan budaya K3 yang tidak
berjalan dengan baik pada perusahaan, terlebih korban adalah pegawai
subkontraktor dari PT. GPEC 19 yang bekerja pada PLTU Sumsel 1 karena
kebanyakan pekerja-pekerja yang bekerja pada vendor tidak mendapat
pengawasan serius dari supervisor maupaun ahli k3 PT yang menaunginya
dalam kasus ini PT. GPEC 19, sementara itu disisi yang lain PLTU Sumsel 1
merasa itu bukan sepenuhnya tanggungjawabnya karena pada kontrak kerja
penyelesaian pekerjaan sepenuhnya tanggungjawab PT. GEPC 19 sehingga
jika kondisi seperti ini sangat rawan terjadi kelonggaran pengawasan pada para
pekerja, dengan kelonggaran pengawasan dan tidak adanya kesadaran pekerja
untuk mematuhi dan mentaati peraturan K3 resiko kecelakaan kerja pada area
ketinggian menjadi sangat tinggi. Langkah-langkah pencegahan yang bisa
dilakukan untuk kasus kecelakaan kerja yang melibatkan pekera bukan
langsung seperti diatas adalah sebagai berikut:
1. Pengisian JSA pihak kontraktor/vendor, setelah melihat dan memantau
area kerja.
JSA adalah teknik manajemen keselamatan yang berfokus pada identifikasi
bahaya dan pengendalian bahaya yang berhubungan dengan rangkaian
pekerjaan atau tugas yang hendak dilakukan. JSA ini berfokus pada
hubungan antara pekerja, tugas/pekerjaan, peralatan, dan lingkungan kerja.
Idealnya, setelah para pekerja kontraktor mengindentifikasi bahaya yang ada
di area kerja, pekerja kontraktor harus menentukan langkah-langkah
pengendalian untuk meminimalkan bahkan menghilangkan risiko tersebut.
Langkah-langkah penyusunan JSA:
● Merinci langkah-langkah pekerjaan dari awal hingga selesainya
pekerjaan
● Mengidentifikasi bahaya dan potensi kecelakaan kerja berdasarkan
langkah-langkah kerja yang sudah ditentukan
● Menentukan langkah pengendalian berdasarkan bahaya-bahaya pada
setiap langkah-langkah pekerjaan
Dengan pengisian job safety analysis terlebih dahulu sebelum melakukan
pekerjaan maka pekerjaan menjadi terstruktur dan mengetahui kemungkinan
bahaya-bahaya yang terjadi, sehingga bisa mengantisipasi bahaya tersebut
dengan hirarki kontrol mulai dari eliminasi, subtitusi, engineering control,
administrasi dan juga penggunaan APD, dengan seperti itu kita bisa
mengetahui dan mengidentifikasi bahaya-bahaya dari pekerjaan yang kita
lakukan dan tau bagaimana cara untuk menghilangi atau meminimalisir
kecelakaan yang mungkin terjadi.
2. Validasi JSA yang telah diidentifikasi pihak kontraktor kepada supervisor
area perusahaan induk tempat kerja.
Dengan validasi yang telah dibuat pekerja kepada supervisor area atau
supervisor departemen maka pekerja yang membuat JSA tidak akan asal-
asalan dalam mengidentifikasi bahaya-bahaya yang mungkin terjadi dalam
menjalani pekerjaanya sehingga akan lebih optimal.
3. Approval JSA kepada departemen HSE/ahli K3.
Dengan persetujuan JSA dari departemen HSE maka isi dari Job Safety
Analysis yang telah diidentifikasi oleh pekerja bisa di evaluasi oleh ahli K3
perusahaan apakah sudah tepat atau belum tepat, jika belum tepat maka ahli
K3 perusahaan akan memberi saran-saran untuk penambahan pencegahan
dalam JSA.
4. Pengawasan menyeluruh perusahaan.
Dengan pengawasan dari supervisor kontraktor dan juga supervisor area dari
perushaan induk maka pekerja tidak bisa sembarangan dalam menjalankan
pekerjaanya dan lebih mengutamakan safety pada pekerjaan.
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan adalah suatu usaha dan upaya
untuk menciptakan perlindungan dan keamanan dari resiko kecelakaan dan
bahaya baik fisik, mental maupun emosional terhadap pekerja, perusahaan,
masyarakat dan lingkungan. Jadi kesehatan dan keselamatan kerja tidak selalu
berkaitan dengan masalah fisik pekerja, tetapi juga mental, psikologis dan
emosional.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu unsur yang
penting dalam ketenagakerjaan. Oleh karena itu, terdapat berbagai peraturan
perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur masalah kesehatan dan
keselamatan kerja. Meskipun banyak ketentuan yang mengatur mengenai
kesehatan dan keselamatan kerja, tetapi berdasarkan fakta lapangan yang ada,
ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan
kerja yang disebut sebagai bahaya kerja dan bahaya nyata. Masih banyak pula
perusahaan yang tidak memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja
sehingga banyak terjadi kecelakaan kerja.
3.2 Saran
Saran yang bisa disampaikan melalui makalah ini adalah, agar dapat
memperluas wawasan kesehatan khususnya di bidang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) di laboratorium, diperlukan yang namanya Alat
Pelindung Diri dan memahami adanya identifikasi atau tanda kecelakaan
kerja. Tujuannya tidak lain untuk menyadari dan bertanggungjawab terhadap
hasil pekerjaan di laboratorium, mendapat pengetahuan dan memaknai bahwa
K3 memiliki kajian yang sangatlah penting di dalamnya. Di sisi lain,
mempelajari K3 juga sekaligus dapat belajar dan memahami bagaimana
tindakan yang tepat dan aman terhadap pencegahan terjadinya kecelakaan
kerja di kehidupan sehari – hari.

.
DAFTAR PUSTAKA

Ariana, Riska. 2016. “Menerapkan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja.” : 1–23.


Asosiasi Ropes Access Indonesia. 2020. “Keselamatan Kerja Dalam Bekerja Pada
Ketinggian.”
DepKes RI. 2020. “Undang Undang Republik Indonesia No.23 Tentang Kesehatan.” : 1–
43.
Firman, Ahmad. 2020. “Macam-Macam Alat Pelindung Diri.” : 2–8.
Haworth, Nigel, and Steve Hughes. 2016. Handbook of Institutional Approaches to
International Business The International Labour Organization.
Hidayah, Ahmad Waldi Chaniago, and Aulia Nisa. 2019. “Kecelakaan Akibat Kerja.”
Keseharan Keselamatan Kerja 53, no.9: 1689–99.
Hidayatullah, Astiandini, and Surjani Tjahjawati. 2017. “Pengaruh Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Astiandini.” Jurusan
Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung, Indonesia 3, no.2: 104–11.
Khoirun, Nisak. 2017. “Pengaruh Etika Kerja, Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Terhadap
Kinerja Karyawan Perum Damri Pangkalpinang.”
Presiden RI. 1970. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 Tentang
Keselamatan Kerja.” Presiden Republik Indonesia no.14: 1–20.
Rst, Rosento, Resti Yulistria, Eka Putri Handayani, and Stefany Nursanty. 2021. “Pengaruh
K3 Terhadapa Produktivitas.” Swabumi 9, no.2: 155–66.
Wahyuni, Nining, Bambang Suyadi, and Wiwin Hartanto. 2018. “Pengaruh Keselamatan
Dan Kesehatan Kerja (K3) Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Pada Pt. Kutai
Timber Indonesia.” JURNAL PENDIDIKAN EKONOMI: Jurnal Ilmiah Ilmu
Pendidikan, Ilmu Ekonomi dan Ilmu Sosial 12, no.1: 99.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai