Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH CASE REPORT

MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


Dosen Pembimbing : Dr.Untung Sujianto, S.Kp.,M.Kes

Disusun oleh Kelompok 1 :


1. Nurannisa Kurnianti 22020118110052
2. Rizka Nur Fadhila 22020118120021
3. Nur Suci Nilamsari 22020118130068
4. Alya Azara Risnawati 22020118130080
5. Meifa Salma Salsabilla 22020118130085
6. Annis Zulfa Tsania Farikha 22020118130118
7. Saffin Aziza Fathia 22020118130125
8. Wynka Asyamhilmy P 22020118130131
9. Tety Yani Sri Rizki S 22020118140128
10. Inas Salsabila Rofi 22020118140138

Kelas : A 18.2

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan jaringan seluler
kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin yang disebabkan oleh
faktor penuaan. Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami
pembesaran, baik jinak maupun ganas (Madjid & Suharyanto, 2009). BPH merupakan
salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam
penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari
pria yang berusia 50 sampai 79 tahun mengalami BPH (Nursalam & Fransisca, 2009).
Sebuah tinjauan berbasis masyarakat pada tahun 2000 menunjukkan pravelensi BPH
tinggi, dengan hampir 8 juta kunjungan dokter untuk diagnosis primer atau sekunder
mengenai BPH. Dalam Survei Perawatan Nasional Ambulatory Medis (1993-2010)
mengidentifikasi lebih dari 101 juta kunjungan rawat jalan untuk pria dengan diagnosis
BPH (Alexander, 2007).

Di Amerika Serikat, 20 % penderita Benigna Prostat Hiperplasi terjadi pada pria usia
41-50 tahun, 50% terjadi pada pria usia 51-60 tahun dan 90% terjadi pada pria usia 80
tahun (Madjid & Suharyanto, 2009). Di Indonesia pada usia lanjut, beberapa pria
mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia
60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun (Nursalam & Fransisca, 2009).

Keluhan subyek BPH yang sering terjadi berupa Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS), yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms), gejala iritasi (storage
symptoms), dan gejala pasca berkemih. Gejala obstruksi meliputi pancaran kemih lemah
dan terputus (intermitensi), merasa tidak puas sehabis berkemih. Gejala iritasi meliputi
frekuensi berkemih meningkat, urgensi, dan nokturia. Gejala paska berkemih berupa urin
menetes (dribbling), hingga gejala yang paling berat adalah retensi urin. Retensi urin
merupakan keadaan penumpukan urin didalam kandung kemih akibat ketidakmampuan
mengosongkan kandung kemih (Petty & Potter, 2006). Salah satu penanganannya dari
kasus BPH adalah dengan prosedur pembedahan yang biasa disebut dengan prosedur
Transurethral Resection of the Prostate (TURP).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memahami gambaran asuhan keperawatan dengan Benigna Prostat Hiperplasi dan
mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasi.

2. Tujuan Khusus

a. Memahami pengkajian pada klien dengan Benigna Prostat Hiperplasi.


b. Merumuskan diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan Benigna
Prostat Hiperplasi.
c. Merumuskan intervensi keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat
Hiperplasi.
d. Memahami tindakan keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat Hiperplasi.
e. Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan Benigna Prostat
Hiperplasi.
BAB 2

ILUSTRASI KASUS

Seorang laki-laki berusia 61 tahun datang dengan keluhan tidak bisa buang air kecil.
Kurang lebih 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sulit buang air kecil (BAK).
Pasien mengaku sulit untuk memulai BAK, dan terkadang harus disertai dengan mengedan untuk
BAK, pancaran kencing lemah, kadang terhenti kemudian lancar kembali. Pasien juga mengeluh
sering berkali-kali ke kamar mandi pada malam hari saat tidur malam karena ingin BAK namun
saat BAK hanya menetes dan merasa kurang puas. BAK tidak keluar batu, tidak berdarah,
demam tidak ada, nyeri pinggang tidak ada, buang air besar biasa. Pasien sudah 4 kali ke mantri
terdekat untuk dipasang kateter. Kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien
mengeluh tidak bisa BAK. Pasien lalu berobat ke RS Muhammadiyah Metro dan dirujuk ke
RSUD Jendral Ahmad Yani dengan diagnosis retensi urine et causa BPH. Pada 05 Januari 2018
pasien datang ke poli bedah RSUD Jendral Ahmad Yani dalam keadaan terpasang kateter.
Kemudian pasien dirawat inap pada 08 Januari 2018. Saat itu pun pada pasien terpasang kateter,
air kencing dapat keluar, darah tidak ada. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran
komposmentis, nadi 99x/menit regular, laju pernapasan 20x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg,
dan suhu 36,7oC. Pada status generalis dalam batas normal. Pada tanggal 08 Januari 2018, pada
pasien terpasang kateter urine ukuran 16F sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Di dalam
urine bag, terdapat 300 cc urine berwarna kuning jernih dan tidak terlihat adanya darah. Dari
rectal toucher didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin, tidak ada massa,
ampulla recti intak (utuh), serta prostat teraba membesar, batas atas teraba, konsistensi kenyal,
permukaan licin, nodul tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada, tidak ada darah dan feses pada
handscoen. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukosit 10.770/uL. Pemeriksaan USG
urologi menunjukkan adanya symple cyst ren dextra, vesicolithiasis, pembesaran prostat (volume
42,3 ml) dengan kalsifikasi dan protusi ke VU (penonjolan prostat hingga ke kandung kemih).
Dalam kasus ini pasien didiagnosis Benign Prostatic Hyperplasia dengan retensio urine dan
vesicolithiasis. Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah terapi operatif dengan open
prostatektomi suprapubik dan ekstraksi batu buli. Prognosis pasien ini adalah quo ad vitam
(hidup) dubia (tidak tentu) ad bonam (baik), quo ad functionam (fungsi) dubia (tidak tentu) ad
bonam (baik), quo ad sanationam (sembuh) dubia (tidak tentu) ad bonam (baik).
BAB 3

PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
a. Pasien
1) Nama : Tn. A
2) Usia : 61 tahun
3) Jenis Kelamin : Laki-laki
4) Agama : Islam
5) Pendidikan : SLTA
6) Pekerjaan : Wirausaha
7) Status Perkawinan : Kawin
8) Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
9) Alamat : Metro Lampung
10) Tanggal Masuk RS : 5 Januari 2018
11) Tanggal Pengkajian : 8 Januari 2018
12) Diagnosis Medis : Retensi urine et causa BPH, Vesicolithiasis
13) No. RM : 008862
2. Riwayat Penyakit
a. Alasan Masuk RS
Pasien mengatakan tidak bisa BAK.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan 1 bulan yang lalu sulit untuk memulai BAK, terkadang
harus disertai mengedan saat BAK, pancaran BAK lemah dan terputus-
putus. Pasien sering BAK berulang-ulang pada malam hari, hanya menetes
sehingga merasa tidak puas saat BAK.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit kronis sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit
serupa.
e. Riwayat Pengobatan
Pasien mengatakan pernah 4 kali memeriksakan diri ke mantri untuk
dipasang kateter. Pasien juga memeriksakan diri ke RS Muhammadiyah
Metro dan dirujuk ke RSUD Jendral Ahmad Yani.
3. Genogram

Keterangan:
= Pasien

= Meninggal dunia

= Wanita meninggal dunia

= Individu normal

4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Tampak sakit
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tanda Vital
TD : 140/90 mmHg
MAP : 106,67 mmHg
HR : 99x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,7oC
d. Antropometri
BB : 65 Kg
TB : 173 Cm

e. Kepala
1) Inspeksi
Bentuk kepala meshocepal, tidak ada lesi, kulit kepala sehat, rambut
lurus dan warna hitam, pendek.
2) Palpasi
Tidak terdapat benjolan, dan tidak terdapat nyeri tekan.
f. Mata
1) Inspeksi
Mata simetris antara kanan dan kiri, konjungtiva pucat, sklera tidak
ikterik, pupil isokor, refleks mata terhadap cahaya normal, gerakan
bola mata normal, tidak ada nistagmus.
2) Palpasi
Tidak ada pembesaran massa dan tidak terdapat nyeri tekan.
g. Leher
1) Inspeksi
Bentuk leher normal, tidak ada lesi, refleks menelan baik, dan tidak
terdapat benjolan.
2) Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid,
dan nilai Jugularis Venous Pressure (JVP) adalah 7.
h. Hidung
1) Inspeksi
Bentuk hidung simetris, tidak ada lesi, pelebaran nares hidung
simetris, tidak ada perdarahan dari hidung, penciuman normal, dan
adanya nafas cuping hidung.
2) Palpasi
Tidak terdapat benjolan dan tidak terdapat nyeri tekan.
i. Mulut dan Gigi
1) Inspeksi
Bentuk bibir normal, warna bibir pucat, tidak ada lesi, mukosa bibir
lembab, tidak menggunakan gigi palsu.
2) Palpasi
Tidak terdapat benjolan dan tidak terdapat nyeri tekan.
j. Telinga
1) Inspeksi
Bentuk telinga simetris antara kanan dan kiri, tidak menggunakan alat
bantu pendengaran dan tidak ada lesi
2) Palpasi
Tidak terdapat benjolan dan tidak terdapat nyeri tekan.
k. Dada dan Paru-Paru
1) Inspeksi
Bentuk dada simetris, tidak ada lesi, dan persebaran warna kulit
merata.
2) Palpasi
Pengembangan dada simetris, tidak terdapat benjolan, tidak terdapat
nyeri tekan, dan taktil fremitus kedua sisi sama.
3) Perkusi
Bunyi perkusi dada normal.
4) Auskultasi
Tidak terdapat suara nafas tambahan.
l. Jantung
1) Inspeksi
Ictus cordis tidak terlihat dan tidak ada lesi.
2) Palpasi
Ictus cordis teraba di intercostal V midclavicula sinistra, tidak terdapat
benjolan, dan tidak terdapat nyeri tekan.
3) Perkusi
Suara jantung pekak, batas jantung normal.
4) Auskultasi
Terdengar suara jantung S1 lub dan S2 dub dan tidak terdengar adanya
suara jantung tambahan.
m. Abdomen
1) Keadaan : tidak terdapat asites.
2) Diastasis rectus abdominis : Otot-otot abdomen tidak mengalami
pemisahan, jarak garis tengah abdomen
tidak membesar.
n. Ekstremitas Atas
Tidak terdapat edema, tidak sianosis, kuku bersih,bentuk jari normal,
turgor kulit elastis, tidak terdapat nyeri tekan, capillary refill time 1 detik.
o. Ekstremitas Bawah
Tidak terdapat edema, kuku bersih, tidak ada varises, bentuk jari normal,
tidak terdapat benjolan dan nyeri tekan, turgor kulit elastis, capillary refill
time 1 detik.
5. Kesehatan Fungsional
a. Aspek Fisik-Biologis
1) Nutrisi
a) Sebelum Sakit
Pasien makan 3x sehari, 1 porsi habis. Makanan yang dikonsumsi
pasien berupa nasi, sayur, dan lauk. Pasien minum 1,5-2 liter/hari.
b) Selama Sakit
Pasien makan 3x sehari dengan porsi yang disediakan rumah sakit.
Pasien minum 1-1,5 liter/hari.
2) Pola Eliminasi
a) Sebelum Sakit
BAB 1-2x/hari dengan bentuk feses lunak dan berwarna kuning
kecoklatan. BAK teratur kurang lebih 5-6 kali perhari.
b) Selama Sakit
BAB 1-2x/hari dengan bentuk feses lunak dan berwarna kuning
kecoklatan. BAK bisa lebih 10-15x/hari, mengalami kesulitan
untuk memulai BAK dengan keluhan pancaran urin lemah dan
terputus-putus disertai dengan mengedan, terpasang kateter urine
ukuran 16F dengan karateristik warna urin kuning jernih, tidak ada
darah, tidak keluar batu, volume urine bag 300cc.
3) Pola Aktivitas
a) Sebelum Sakit
Pasien setiap hari bekerja sebagai wirausaha. Dalam melakukan
kegiatan sehari-hari meliputi mandi, makan, BAB, BAK, dan
berpakaian pasien dapat melakukannya secara mandiri dan tidak
menggunakan alat bantu.
b) Selama Sakit
Pasien melakukan aktivitas dibantu oleh orang lain/keluarga.
4) Pola Istirahat-Tidur
a) Sebelum Sakit
Kebutuhan istirahat-tidur pasien tercukupi dengan jam tidur 7-8
jam/hari.
b) Salam Sakit
Kebutuhan istirahat-tidur pasien sekitar 6-8 jam/hari.
b. Aspek Sosial
1) Hubungan Dengan Keluarga
Baik.
2) Hubungan Dengan Tetangga
Baik.
3) Hubungan Dengan Pasien Sekitar
Baik.
4) Hubungan Dengan Keluarga Pasien Lain
Baik.
c. Aspek Psikologis
1) Status Emosi
Pasien dapat mengendalikan emosi dengan baik.
2) Peran Diri
Pasien tidak dapat menjalankan peran sebagai kepala keluarga dengan
baik karena dirawat di rumah sakit.
3) Gaya Komunikasi
Menggunakan bahasa verbal
4) Pola Koping
Pertahanan tubuh menurun karena proses penyakit.
d. Aspek Konsep Diri
1) Gambaran Diri
Pasien terlihat lemas.
2) Harga Diri
Pasien menghargai dirinya dan selalu mempunyai harapan terhadap
hidupnya.
3) Peran Diri
Pasien mengakui perannya sebagai seorang kepala rumah tangga,
pasien mengatakan bahwa ingin segera sembuh dan dapat beraktivitas
seperti sediakala.
4) Ideal Diri
Pasien lebih menurut pada keluarganya.
5) Identitas Diri
Pasien mengenali siapa dirinya.
e. Aspek Seksual
Pasien tidak memikirkan kebutuhan seksualnya.
f. Aspek Nilai
Pasien memahami nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat.
g. Aspek Lingkungan Fisik
Rumah pasien berada diperkotaan.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Rectal Toucher
Tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin, tidak ada massa, ampulla
recti intak, serta prostat teraba membesar, batas atas teraba, konsistensi
kenyal, permukaan licin, nodul tidak ada, dan nyeri tekan tidak ada, tidak
ada darah dan feses pada handscoon.
b. Tes Darah Lengkap
Leukosit : 10.770 uL
c. USG Urologi : Adanya symple cyst ren dextra, vesicolithiasis,
pembesaran prostat (volume 42,3 ml) dengan
kalsifikasi dan protusi ke vesika urinaria.
B. Analisis Data dan Diagnosa Keperawatan

ANALISIS DATA
NAMA KLIEN : Tn. A  
NO.REKAM MEDIK : 008862
RUANG RAWAT : Mawar 1  
No Data Masalah Etiologi
1. DS :
 Pasien mengeluh tidak bisa Hambatan eliminasi Obstruksi anatomik
buang air kecil urine
 Pasien mengeluh sulit untuk
memulai BAK, dan terkadang
harus disertai mengedan untuk
BAK
 Pasien mengatakan pancaran
kencing lemah, kadang terhenti
kemudian lancar Kembali.
 Pasien mengeluh sering ke
kamar mandi pada malam hari,
namun saat BAK hanya
menetes dan merasa kurang
puas
DO:
 Selama dirawat terdapat urine
300 cc di dalam urine bag
 Urine berwarna kuning jernih,
dan tidak terlihat adanya darah
 Penonjolan prostat hingga ke
kandung kemih

2. DS:
 Pasien sudah 4 kali ke mantri Risiko infeksi Prosedur invasif
terdekat untuk dipasang kateter
DO.
 Pada pemeriksaan darah
lengkap didapatkan leukosit
10.770/uL
3. DS: Disfungsi seksual Gangguan fungsi
- tubuh
DO:
 Prostat teraba membesar, batas
atas teraba
 Penonjolan prostat hingga ke
kandung kemih
 Hasil USG menunjukkan
pembesaran prostat (volume
42,3 ml)

DIAGNOSA KEPERAWATAN
NAMA KLIEN : Tn. A    
NO.REKAM MEDIK : 008862
RUANG RAWAT : Mawar 1  
N DIAGNOSA TGL.DITEMUKAN TGL.TERATASI
O KEPERAWATAN
1. Hambatan eliminasi urine 8 Januari 2018 10 Januari 2018
b.d Obstruksi anatomik
2. Risiko infeksi b.d prosedur 8 Januari 2018 10 Januari 2018
invasif
3. Disfungsi seksual b.d 8 Januari 2018 10 Januari 2018
Gangguan fungsi tubuh

C. Rencana Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan NOC NIC


1. Hambatan eliminasi urin Setelah dilakukan Tindakan Perawatan retensi urin
b.d obstruksi anatomik keperawatan selama 1 x 24 (0620)
jam diharapkan klien bisa 1. Memonitor adanya
mencapai kriteria hasil : penggunaan agen-agen
Eliminasi urin (0503) yang tidak sesuai resep,
1. Meningkatnya jumlah seperti kandungan bahan
urin anticholinergic atau
2. Mengosongkan kantong alpha-agonist (dampak :
kemih sepenuhnya pada retensi urin)
saat eliminasi urin 2. Memonitor efek dari
3. Mengatasi retensi urin obat-obat yang
pasien diresepkan, seperti
adanya kandungan
Calcium Channel
Blockers dan
anticholinergics
(dampak : retensi urin)
3. Menggunakan kekuatan
sugesti dengan
menggunakan air
mengalir atau dengan
menyiram toilet
4. Menggunakan minyak
esensial spirits of
wintergreen dalam
bedpan atau urinal
5. Menggunakan teknik
double-voiding pada
pasien
6. Memonitor intake dan
output cairan pasien

Manajemen Obat (2380)


1. Menentukan obat yang
diperlukan (untuk
mengatasi pembesaran
prostat dan retensi urin :
golongan obat alpha-
blocker, 5-ARI,
phospodiesterase-5
inhibitors, atau
desmopressin) dan kelola
menurut resep dan/atau
protocol
2. Memonitor pasien
mengenai efek terapeutik
obat yang diberikan
3. Monitor tanda dan gejala
toksisitas dari obat yang
diberikan
4. Memonitor efek samping
obat yang diberikan
5. Memantau kepatuhan
mengenai regimen obat
6. Mempertimbangkan
faktor-faktor yang dapat
menghalangi pasien
untuk mengonsumsi obat
yang diresepkan
7. Mengembangkan strategi
untuk meningkatkan
kepatuhan minum obat
pada pasien, dapat
dilakukan dengan
bantuan dukungan
kelurga
8. Mengajarkan pada
pasien dan/atau keluarga
mengenai metode
pemberian obat yang
sesuai
9. Mengajarkan pada
pasien dan keluarga
mengenai tindakan dan
efek samping yang
diharapkan dari obat

Kateterisasi Urin (0580)


1. Menjelaskan prosedur
dan rasionalisasi
katetrisasi pada pasien
2. Memasang alat dengan
tepat sesuai dengan
prosedur
3. Memberikan privasi dan
tutupi pasien dengan
baik (hanya mengekspos
genitalia) untuk
kesopanan
4. Mempertahankan teknik
aseptic yang ketat dalam
prosedur pemasangan
5. Mempertahankan
kebersihan tangan yang
baik sebelum, selama
,dan setelah insersi atau
saat memanipulasi
kateter
6. Memposisikan pasien
dengan tepat (laki-laki :
dengan posisi terlentang)
7. Membersihkan daerah
meatus uretra dengan
larutan anti-bakteri atau
steril (sesuai kebijakan
lembaga)
8. Hubungkan retensi
kateter ke kantung sisi
tempat tidur drainase
9. Menempatkan kantung
drainase di bawah
permukaan kandung
kemih
10. Menggunakan ukuran
kateter terkecil yang
sesuai dengan pasien
(laki-laki dewasa :
ukuran 16 – 18 F)
11. Mengamankan kateter
pada kulit dengan
plester yang sesuai lalu
pantau apakah terjadi
iritasi atau kemerahan
pada kulit
12. Melakukan
pengosongan urin bag
apabila setengah urin
bag sudah penuh atau
setelah observasi
13. Mengedukasi pasien
dan keluarga tentang
perawatan kateter yang
tepat

2. Risiko infeksi b.d Setelah dilakukan asuhan


prosedur invasif keperawatan selama 1x24
jam diharapkan keparahan
infeksi pasien berkurang,
dengan kriteria hasil:
1. Peningkatan sel darah Kontrol infeksi (6540)
putih berkurang 1. Anjurkan pasien
mengenai teknik
mencuci tangan dengan
tepat

2. Cuci tangan sebelum


dan sesudah kegiatan
perawatan pasien

3. Cukur dan siapkan


daerah untuk persiapan
prosedur invasif
dan/atau operasi sesuai
indikasi

4. Pastikan teknik
perawatan luka yang
tepat tingkatkan intake
nutrisi yang tepat

5. Dorong intake cairan


yang sesuai

6. Berikan terapi antibiotik


yang sesuai

7. Anjurkan pasien untuk


meminum antibiotik
seperti yang di resepkan

Perawatan selang:
perkemihan (1876)
1. Aliri system kateter
kemih dengan
menggunakan teknik
steril yang tepat

2. Berikan daerah sekitar


kulit secara berkala
posisikan pasien dan
sistem drainase urine
untuk meningkatkan
drainase urine yaitu
3. Disfungsi Seksual b.d Setelah dilakukan tindakan
gangguan fungsi tubuh kepeerawatan selama 1x24
jam diharapkan klien dapat
mencapai kriteria hasil :
Fungsi Seksual (0119) Konseling Seksual (5248)
1. Mencapai gairah 1. Bangun hubungan
seksual terapeutik, didasarkan
2. Beradaptasi dalam pada kepercayaan dan
teknik seks sesuai rasa hormat
dengan kebutuhan 2. Dahului pertanyaan
3. Mengekspresikan mengenai seksualitas
kenyamanan dalam dengan mengatakan
tubuh bahwa banyak orang
4. Mengekspresikan yang mengalami
penerimaan pasangan kesulitan seksual
5. Melaporkan 3. Diskusikan efek
kemampuan pasangan medikasi dan suplemen
yang disetujui terhadap seksualitas,
misal obat untuk
mengobati
pembengkakan prostat
yaitu alpha blocker
seperti doxazosin dan
terazosin yang membuat
pria susah berejakulasi
4. Diskusikan modifikasi
yang diperlukan dalam
aktivitas seksual
5. Libatkan pasangan
pasien pada saat
konseling sesering
mungkin
6. Rujuk pasien pada
terapis hubungan
seksual

D. Pembahasan

1. Menentukan obat yang diperlukan dan memonitor efek samping obat

Salah satu penatalaksanaan Benign Prostate Hyperplasia adalah terapi medikamentosa


(Bimandama, & Kurniawaty, 2018) . Terapi ini bertujuan untuk mengurangi resistensi otot
polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker) dan mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron
(DHT) melalui penghambat 5α-reduktase. Selain itu, obat yang digunakan adalah
antimuskarinik dan inhibitor 5-fosfodiesterase yang diberikan tunggal maupun kombinasi
(Roveny, 2016). Menurut Roveny (2016), obat-obatan tersebut bekerja untuk mengurangi
progresivitas penyakit.

a. Penghambat Reseptor α-Adrenergik (alpha blocker)


Persarafan simpatis adrenergik terbukti memiliki efek kontraksi otot polos prostat.
Kelenjar prostat mengandung reseptor 1- and 2-adrenergik. Aktivasi reseptor ini akan
meningkatkan tonus otot polos prostat konstriksi uretra serta mengganggu aliran urin dan
merupakan kontributor utama LUTS. Penghambatan reseptor α1A menurunkan tonus
prostatik serta memperbaiki aspek dinamis perkemihan. Sedangkan penghambatan
reseptor α1D akan mengurangi simptom penyimpanan frekuensi nokturia dan urgensi.
Obat alfa bloker dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan derajat selektivitas terhadap
subtipe reseptor α1. Terazosin, doxazosin dan alfuzosin merupakan alfa bloker
nonselektif yang menghambat seluruh subtipe reseptor α1. Oleh karena itu kelompok
obat ini sering menyebabkan efek samping berupa hipotensi rasa lelah dan pusing.
Penelitian pada responden pria dengan LUTS sedang sampai berat akibat hiperplasia
prostat jinak menunjukkan bahwa alfa bloker berhubungan dengan penurnan skor IPSS
ataupun AUASI yang berarti juga perbaikan klinis. Efek klinis dirasakan setelah 1
minggu terapi. Dosis alfa bloker terutama alfa bloker nonselektif disesuaikan bertahap
hingga mencapai dosis tertinggi tanpa keluhan efek samping.
b. Inhibitor 5α-Reduktase
Inhibitor 5α-reduktase bekerja dengan menghambat konversi testosteron menjadi
metabolit aktif dihidrotestosteron mengecilkan ukuran prostat dan mengurangi
pertumbuhan jaringan prostat. Dibanding plasebo inhibitor 5α-reduktase terbukti
mengurangi ukuran prostat hingga 25 % dan menguranii keluhan LUTS dalam periode 2-
6 bulan. Dibanding alfa bloker inhibitor 5α-reduktase kurang efektif dalam mengurangi
LUTS dan tidak diperuntukkan sebagai terapi LUTS tanpa pembesaran prostat.
hiperplasia prostat jinak dengan nilai PSA meningkat cenderung progresif sehingga
penanganan konservatif sering gagal. Sebaliknya inhibitor 5α-reduktase akan mengurangi
risiko retensi urin dan kebutuhan terhadap prosedur intervensi. Inhibitor 5α-reduktase
merupakan satu-satunya terapi farmakologis ntuk mengurangi pengaruh androgenik
pertumbuhan prostat.
c. Antimuskarinik
Beberapa golongan antimuskarinik yang sudah diakui pemakaiannya untuk keluhan
saluran kemih antara lain darifenacin, solifenacin, trospium chloride, oxybutynin,
tolterodine dan fesoterodine. Terapi antimuskarinik tidak meningkatkan risiko retensi
urin akut pada responden dengan volume urin residual kurang dari 250 mL. 0leh karena
itu, antimuskarinik bisa menjadi terapi alternatif untuk LUTS tanpa peningkatan volume
urin residual. Namun sebelumnya harus dilakukan penilaian volume urin residual. Terapi
antimuskarinik harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan volume urin
residual lebih dari 250 mL.
d. Inhibitor 5-fosfodiesterase
Terkait penggunaan inhibitor 5-fosfodiesterase dalam terapi pembesaran prostat jinak
sejumlah penelitian difokuskan pada jalur nitric oxide (NO) sebagai target potensial
terapi LUTS. Di zona transisional prostat, stroma, epitel glandular dan pembuluh darah
dijumpai persarafan nitrigenik yang padat. Gangguan jalur NO berkontribusi pada
patofisiologi pembesaran prostat jinak. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang
menunjukkan bahwa inhibitor 5-fosfodiesterase dapat digunakan untuk terapi simptom
penyimpanan ataupun simptom perkemihan.

Berikut adalah tabel klasifikasi Terapi Medikamentosa BPH menurut Roveny (2016) :

Klasifikasi Dosis Oral


Alfa Bloker
Non Selektif 10 mg, 2 kali sehari
Phenoxybenzamine
Alfa-1, kerja pendek 2 mg, 2 kali sehari
Prazosin
Alfa-1, kerja panjang 5 atau 10 mg, sekali sehari 3 atau 8 mg,
Terazosin sekali sehari
Doxazosin
Alfa-1a selektif 0,2 atau 0,4 mg, sekali sehari 10 mg,
Tamsulosin sekali sehari
Alfuzosin
5-alfa reduktase inhibitor
Finasterida 5 mg, sekali sehari
Dutasterida 0,5 mg, sekali sehari
Subcutaeous implant Setahun sekali
Triptorelin pamoate 3,75 mg setiap bulan

2. Hal-hal yang diperhatikan saat pemasangan kateter

Dalam menggunakan kateter juga harus memperhatikan beberapa hal untuk


meminimalkan progresif dari penyakit. Menurut Syafriati (2019), dilakukan beberapa
observasi dalam penggunaan kateter yaitu:
1. LOP 1
Pemeriksaan indikasi pemasangan kateter. Perawat memastikan kembali apakah kateter
harus dipasang atau tidak.
2. LOP 2
Ukuran selang sesuai dengan kebutuhan pasien. Karena apabila ukuran yang tidak sesuai
dapat menyebabkan tahanan atau kesulitan saat memasukan selang, mudah bocor atau
merembes.
3. LOP 3
Memantau pasien yang menggunakan kateter urine dengan waktu yang lama Dengan
selalu mengecek tanggal pemasangan dan tanggal pelepasan atau penggantian.
4. LOP 4
Perawat memastikan tidak ada nyeri di area pemasangan kateter (suprapubik, skrotum,
dll).
5. LOP 5
Memeriksa area kulit pasien apakah terdapat iritasi, kemerahan, atau decubitus. Hal ini,
menunjukkan perawat memeriksa keadaan pasien terutama pada area pemasangan kateter
terdapat iritasi atau tidak
6. LOP 6
Memastikan kateter dan urine bag tidak bocor. Apabila terdapat kebocoran, perawat
segera mengganti selang kateter atau mengganti urine bag yang baru. Apabila sistem
menjadi terputus atau bocor, ganti kateter dan sistem drainase menggunakan peralatan
steril dan teknik aseptik.
7. LOP 7
mengosongkan urine bag secara teratur dengan wadah yang bersih. Apabila alan
mengambil urine sebagai sampel untuk laboratorium harus memastikan urine bag dalam
keadaan tertutup kembali.

8. LOP 8
Melakukan hand hygiene sebelum dan setelah prosedur perawatan kateter.
9. LOP 9
Menggunakan masker dan handscoon sebelum setiap prosedur perawatan kateter; pada
prosedur penyelesaian, lepaskan handscoon dan masker, lakukan hand hygiene setelah
tindakan.
10. LOP 10
Melakukan kebersihan meatal secara rutin. Menjaga kebersihan meatus kemih dengan
sabun dan air selama memandikan pasien setiap hari.
11. LOP 11
Melibatkan pasien dan keluarga dalam perawatan kateter urine dengan memberikan
edukasi cara perawatan kateter.

3. Program Cuci Tangan

Depkes RI menyatakan bahwa mencuci tangan adalah hal penting untuk meningkatkan
PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) sebab dapat meminimalkan risiko terjadinya
penyakit, misalnya infeksi dan diare (Mustikawati, 2017). Seorang yang terlibat dalam
kegiatan perawatan wajib melakukan cuci tangan sesudah dan sebelum perawatan. Hal
tersebut dikarenakan selama perawatan seseorang bisa terkena infeksi nosokomial (Dewi
dan Purwaningsih, 2017). Kegiatan mencuci tangan akan lebih efektif membunuh kuman
apabila menggunakan sabun daripada hanya menggunakan air (Mustikawati, 2017). Pada
pasien BPH mencuci tangan dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi pada area
pembedahan. WHO (World Health Organization) menetapkan terdapat langkah-langkah
mencuci tangan, diantaranya yaitu :
a) membasahi kedua tangan dengan air mengalir,
b) beri sabun secukupnya,
c) menggosokan kedua telapak tangan dan punggung tangan,
d) menggosok sela-sela jari kedua tangan,
e) menggosok kedua telapak dengan jari-jari rapat,
f) jari-jari tangan dirapatkan sambil digosok ke telapak tangan,
g) menggosok ibu jari secara berputar dalam genggaman tangan kanan,
h) menggosokkan kuku jari kanan memutar ke telapak tangan kiri,
i) basuh dengan air,
j) mengeringkan tangan.

4. Persiapan Prosedur Operasi

Persiapan daerah operasi pada pasien BPH dilakukan dengan cara mencukur rambut di
area kemaluan dan mengidentifikasi adanya penyakit sebelumnya (kutil,sifils, gonorhea dll)
untuk mencegah terjadinya infeksi. Selain itu, teknik aseptik lainnya adalah dengan menjaga
kesterilan ruang dan alat-alat operasi agar mikroorganisme dari luar tidak masuk ke tubuh
selama operasi berlangsung karena dapat memicu infeksi di area pembedahan (Utami dkk,
2019).
5. Perawatan Luka Pasca Operasi

Luka pasca bedah tentunya tidak dibiarkan begitu saja, namun terdapat teknik perawatan
yang dilakukan oleh perawat. Perawatan luka pasca bedah dimulai ketika pasien selesai
operasi hingga selesai menjalani perawatan medis (Utami dkk, 2019). Perawatan luka yang
baik harus memperhatikan kesterilan alat dan pemberian antiseptic yang tepat. Perawat juga
harus memenuhi standar sesuai SOP yaitu dengan menggunakan sarung tangan saat
memegang luka post bedah, mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan,
dan menggunakan pinset saat menggambil kassa steril (Utami dkk, 2019).

6. Mendorong intake nutrisi dan cairan

Pasien pasca operasi yang tidak mendapatkan nutrisi secara adekuat akan mempengaruhi
semakin lama perawatannya. Oleh karena itu, pasien yang telah dibawa ke ruang rawat
pasca operasi hendaknya segera diberikan makan untuk meningkatkan imunitas dan
meminimalisir terjadinya tidak seimbangnya metabolik (Dictara dkk, 2018). Apabila pasien
mengalami malnutrisi maka akan menghambat pembentukan kolagen dan leukosit sehingga
memicu terjadinya infeksi karena lamanya proses penyembuhan luka. Status gizi pasien
pasca operasi perlu ditingkatkan dengan memberikan cairan, nutrisi seimbang, makanan
berprotein, glikogen, zat besi, dan memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan
(Dictara dkk, 2018). Makanan dan minuman yang dianjurkan pada pasien pasca operasi
adalah sebagai berikut :
a) Diet pasca bedah I (DPB I) selama 6 jam pasca operasi yaitu teh manis, air putih, dan
makanan cair jernih.
b) Diet pasca bedah II (DPB II) yaitu makanan bentuk cair kental misalnya kaldu jernih,
sirup, sari buah, sup, susu, dan pudding.
c) Diet pasca-bedah III (DPB III) yaitu makanan saring ditambah susu dan biskuit. Cairan
hendaknya tidak melebihi 2000 ml sehari.
d) Diet pasca-bedah IV (DPB IV) berupa makanan lunak yang terbagi menjadi tiga kali
makanan lengkap dan satu kali makanan selingan. Pemberian makanan dengan teknik
tersebut dilakukan pada pasien pasca operasi kecil.

7. Pemberian Antibiotik

Infeksi saluran kemih dapat terjadi dikarenakan adanya kuman atau mikroorganisme
dalam jumlah berlebih pada urin. Pemberian terapi antibiotik menjadi teknik farmakologi
untuk infeksi saluran kemih (Yusnita dkk, 2017). Jenis antibiotik yang sesuai perlu dikaji
untuk memberikan efektifitas maksimal pada proses pengobatan. Pemberian antibiotik harus
memperhatikan indikasi, dosis, cara pemberian, lama pemberian, dan efek yang ditimbulkan
(Yusnita dkk, 2017). Pasien yang menjalani operasi sebaiknya diberikan antibiotik
profilaksis karena sangat berisiko mengalami infeksi. Indikasi pemberian antibiotik pada
pasien operasi BPH direkomendasikan serta lebih baik diberikan sebelum dilakukan
pembedahan dan harus aktif terhadap mikroorganisme yang mungkin masuk. Golongan
sefalosporin adalah antibiotik yang cocok diberikan untuk mengurangi infeksi pasca bedah
(Hardiyanti, 2019). Fungsi dari antibiotik sefalosporin yaitu dapat mencegah terjadinya
sintesis dinding sel dari bakteri. Antibiotik sefalosporin umumnya diberikan melalui
intravena atau intramuscular.

8. Teknik Komunikasi Terapeutik dan Hubungan Terapeutik


Komunikasi terapeutik ialah kemampuan atau keterampilan perawat dalam membantu
klien beradaptasi pada stress, mengatasi gangguan psikologi, serta mempelajari bagaimana
berhubungan dengan orang lain (Fitriarti, 2017). Perawat memiliki keterampilan
berkomunikasi terapeutik dengan cara menjalin hubungan saling percaya antara perawat dan
pasien, sehingga terhindar dari masalah illegal dan memberikan kepuasan professional dalam
pelayanan keperawatan serta meningkatkan citra profesi keperawatan di Rumah Sakit
(Hidayatullah, Khotimah, & Nugroho, 2020). Peran perawat dalam kasus ini adalah sebagai
seorang konselor. Perawat konselor dalam membangun hubungan terapeutik dengan klien
merupakan hubungan interpersonal yang saling menguntungkan sehingga perawat konselor
dan klien mendapatkan pengalaman belajar bersama serta dapat mengubah pengalaman
emosional klien (Fitriarti, 2017). Hubungan terapeutik yang telah dibangun memudahkan
diskusi antara perawatn dengan klien, sehingga komunikasi terapeutik yang dilakukan
perawat menjadi cara untuk memulai percakapan dengan klien (Fasya & Supratman, 2018).
Berdasarkan pemaparan pendapat dapat disimpulkan bahwa pendekatan konseling yang
dilakukan perawat konselor dengan menggunakan komunikasi terapeutik dinilai efektif sebab
dapat membangun hubungan saling percaya antara perawat dan klien sehingga klien dapat
bebas dalam mengungkapkan perasaan klien.
BAB 4

Penutup

A. Kesimpulan

1. Pengkajian pasien Benigna Prostat Hiperplasi pada Tn. N sesuai dengan teori yang ada,
dijumpai beberapa data penting dari aspek biologis, antara lain pasien mengeluh tidak
bisa buang air kecil, pasien mengeluh sulit untuk memulai BAK, pasien mengatakan
pancaran kencing lemah, dan pasien mengeluh sering ke kamar mandi pada malam hari.
2. Diagnosa keperawatan yang ada secara teori pada pasien BPH juga dijumpai pada Tn. N.
Maslah keperawatan yang muncul pada Tn. N adalah hambatan eliminasi urine dengan
diagnosa hambatan eliminasi urin b.d obstruksi anatomik, risiko infeksi dengan diagnosa
risiko infeksi b.d prosedur invasif, dan disfungsi seksual dengan diagnosa disfungsi
seksual b.d gangguan fungsi tubuh.
3. Tindakan keperawatan penting yang dilakukan pada pasien antara lain tindakan
pemberian obat, tindakan pemasangan kateter pada apsien, tindakan ini efektif untuk
mengatasi retensi urin dan perhitungan balance cairan, tindakan penting lainnya adalah
memberikan informasi pada pasien tentang perawatan dan pengobatan pre operasi untuk
mengatasi kecemasan dan meningkatkan pengetahuan.

B. Saran

Perawat harus memahami bagaimana pengkajian terhadap penyakit Benigna Prostat


Hiperplasi (BPH) dan sebagai perawat hendaknya memberikan asuhan keperawatan dengan
maksimal agar klien mendapatkan perawatan yang baik dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Bimandama, M. A., & Kurniawaty, A. (2018).Benign Prostatic Hyperplasia dengan


Retensi Urin dan Vesicolithiasis. Jurnal Agromedicine Unila, 5(2), 655-661 .

Dewi, R., & Purwaningsih, E. (2017). Pelaksanaan Cuci Tangan Oleh Perawat Sebelum
dan Sesudah Melakukan Tindakan Keperawatan. Jurnal Ilmiah Keperawatan
Sai Betik, 9(1), 103-108.

Dictara, A. A., Angraini, D. I., & Musyabiq, S. M. (2018). Efektivitas Pemberian Nutrisi
Adekuat dalam Penyembuhan Luka Pasca Laparotomi. Jurnal Majority, 7(2),
249-256.

Fasya, H & Supratman, L. P. (2018). Komunikasi terapeutik perawat pada pasien


gangguan jiwa. Jurnal Penelitian Komunikasi, 21(1), 15-28.
Fitriarti, E. A. (2017). Komunikasi terapeutik dalam konseling (studi deskriptif kualitatif
tahapan komunikasi terapeutik dalam pemulihan trauma korban kekerasan
terhadap istri di Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta). Profetik
Jurnal Komunikasi, 10(1), 83-99.
Hardiyanti, R. (2019). Studi Perbandingan Efektivitas Penggunaan Antibiotik Prabedah
dan Pascabedah pada Pasien Sectio Caesarea Di Rsud Dr. H. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung. 25-40.
Hidayatullah, M. S., Khotimah, H., & Nugroho, S. A. (2020). Hubungan komunikasi
terapeutik dengan kepuasan pasien rawat inap Puskesmas Tapen Kabupaten
Bondowoso. Jurnal Keperawatan Profesional, 8(1), 1-12.
Mustikawati, I. S. (2017). Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun Studi Kualitatif pada Ibu-
Ibu di Kampung Nelayan Muara Angke Jakarta Utara; Studi Kualitatif.
ARKESMAS (Arsip Kesehatan Masyarakat), 2(1), 115-125.

Nursalam, B., & Fransisca. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Perry, & Potter. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses Praktik
Volume 2, Edisi 4. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Roveny. (2016). Terapi Farmakologis Hiperplasia Prostat Jinak. CDK-239, 43(4), 251-
256.

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: TIM.

Syafriati, A. (2019). Pengujian Instrumen Bundle Catheter Associated Urinary Tract


Infection. Jurnal Kesehatan dan Pembangunan, 9(17), 12-21.
Utami, R. A., Kosasih, C. E., & Anna, A. (2019). Studi Deskriptif Perawatan Luka Pasien
dengan Infeksi Post Op Laparotomi di Kabupaten Sumedang. Jurnal Kesehatan
Holistic, 3(1), 46-61.
Yusnita, R., Meylina, L., Ibrahim, A., & Rijai, L. (2017, May). Kajian Efektivitas
Penggunaan Antibiotik pada Pasien Infeksi Saluran Kemih (ISK) di Rumah
Sakit Samarinda Medika Citra (SMC) Kota Samarinda. In Proceeding of
Mulawarman Pharmaceuticals Conferences, 5, 205-222.

Anda mungkin juga menyukai