Anda di halaman 1dari 34

Portofolio Kasus Poliklinik/Rawat Inap

SIROSIS HEPATIS

oleh :
dr. Wulan Purnama Sari

Pembimbing :
dr. Hasnur Rahmi, Sp.PD

Pendamping :
dr. Asniyati Almi, Sp.Ak

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD SIJUNJUNG
KABUPATEN SIJUNJUNG
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkah
dan rahmat-Nya penulis mendapat kesempatan untuk menyelesaikan studi kasus
dengan judul “Sirosis Hepatis”. Kasus ini dibuat untuk memenuhi tugas ilmiah
yang diberikan sebagai bagian dari program internship.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Hasnur Rahmi,Sp.PD, selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga studi kasus ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini


dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan
pelajaran bagi kita semua.

Sijunjung, Januari 2020

Penulis

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif ditandai dengan distorsi dari arsitektur
hepar dan pembentukan nodulus regeneratif akibat nekrosis hepatoselular. Lebih
dari 40% pasien sirosis asimptomatik dan kebanyakan ditemukan saat
pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi.1
Secara global, tingkat kematian akibat sirosis meningkat dari 676.000 jiwa
pada tahun 1980 menjadi 1 juta jiwa pada tahun 2010. Lain halnya di Indonesia,
tingkat mortalitasnya sebesar 27 per 100.000 penduduk. Kebanyakan pasien
meninggal pada usia dekade ke 5 dan ke 6 dengan perbandingan pria dan wanita
yaitu 2:1.1,2,3
Penyebab sirosis hepatis dapat berupa infeksi seperti virus hepatitis,
penyakit herediter dan metabolic seperti defisiensi α1-antitripsin, penyakit
Wilson, hemokromatosis, akibat obat dan toksin seperti alcohol, amiodaron dan
obstruksi bilier, penyakit perlemakan hati non alkoholik serta sirosis bilier primer.
Gejala klinis yang ditimbulkan berupa mudah lelah, berat badan menurun,
anoreksia, dyspepsia, nyeri abdomen, ikterus, muntah darah, warna urin gelap,
melena. Pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar. Gejala yang ditimbulkan ini tentunya menurunkan kualitas hidup
penderitanya sehingga pasien tidak beraktivitas seperti biasa.4,5
Pada fase awal kebanyakan sirosis hepatis tidak menunjukkan gejala-gejala
klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut.
Pasien dengan stadium lanjut memiliki prognosis yang buruk dengan harapan
hidup tidak lebih dari 1 tahun. Oleh karena itu, diperlukan keahlian yang baik bagi
seorang dokter agar mampu mendiagnosis dan mengobati pasien sirosis hepatis
sehingga angka kejadian dan kematian penderitanya dapat menurun.

3
1.2 Batasan Penelitian
Penulisan laporan kasus ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, faktor resiko, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan penunjang,
penegakkan diagnosis, tatalaksana dan prognosis sirosis hepatis.

1.3 Tujuan Penulisan


Laporan kasus ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai definisi,
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, faktor resiko, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan penunjang, penegakkan diagnosis, tatalaksana, dan prognosis sirosis
hepatis.

1.4 Metode Penulisan


Laporan kasus ini ditulis berdasarkan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.

4
BAB 2
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.A
Umur : 64 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No RM : 07.96.88
Tanggal Masuk : 03 April 2019
Alamat : Sijunjung
Pekerjaan : Petani

2. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis kepada pasien pada tanggal 04 April 19 di
Bangsal Interne.

Keluhan Utama :
Nyeri perut yang meningkat sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :


 Nyeri perut yang meningkat sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit, nyeri
perut sudah dirasakan hilang timbul sejak 4 bulan yang lalu.
 Perut membuncit sejak ± 4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Perut
membuncit ini bersamaan dengan nyeri perut yang dirasakan.
 Mual tidak ada.
 Muntah tidak ada.
 Terdapat penurunan nafsu makan.
 Badan terasa lemah.
 BAK berwarna seperti teh pekat.
 Demam tidak ada.
 BAB warna hitam disangkal.
 Terdapat benjolan di tangan kanan dari lahir.
5
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal.
 Riwayat pernah kuning disangkal.
 Riwayat Hipertensi dan DM tidak ada.

Riwayat Pengobatan :
 Riwayat mengkonsumsi obat-obatan dalam jangka waktu yang lama tidak
ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


 Pasien tidak memiliki anggota keluarga dengan penyakit yang sama.

Riwayat Pekerjaan, Pribadi, dan Sosial


 Pasien bekerja sebagai petani.
 Riwayat memiliki kebiasaan merokok.
 Riwayat minum alkohol disangkal.
 Riwayat menggunakan jarum suntik disangkal.
 Riwayat sex bebas disangkal.

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata :
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : composmentis cooperatif
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Nadi : 89 x/ menit, regular, kuat angkat
Nafas : 18 x/ menit
Suhu : 36,60C
SpO2 : 99R%
TB : 163 cm
BB : 62 kg
IMT : 23,33
6
Pemeriksaan Sistemik :
 Kulit : Teraba hangat, tidak sianosis, palmar eritem (-)
 Kepala : Normocephal, rambut hitam dan tidak mudah dicabut.
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor,diameter 2 mm, refleks cahaya (+/+) normal.
 THT : Tonsil T1-T1, tenang (+)
 Mulut : Kering (-), sianosis (-)
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan tiroid.
JVP 5-2 cmH20.
 Axilla : Rambut axilla (-)
 Thorax : Normochest, retraksi (-), spider naevi (+)
Pulmo : vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Cor : BJ reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Inspeksi : tampak membuncit, vena kolateral (+)
Palpasi : shifting dullness (+) hepar dan lien teraba,
namun sulit menentukan batas
Perkusi : redup
Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Genitalia : Tidak ditemukan kelainan
 Ekstremitas : Edem ekstremitas
+ +

Gambar

7
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Hemoglobin : 11,2 gr/dl
Leukosit : 8.300 /mm3
Trombosit : 331.000/mm3
Hematokrit : 33,9 %
GDS : 118 mg/dl
Protein total : - gr/dl
Albumin : - gr/dl
Globulin : - gr/dl
SGOT :-
SGPT :-
Ureum : 35
Kreatinin : 1,1
HbsAg : reaktif
USG Abdomen (05/04/19)

8
9
Kesan :
 Hepatomegali disertai massa solid inhomogen di hepar lobus kanan ec
suspek malignansi pada hepar (diffuse HCC) dd/cirrhosis-like HCC
 Splenomegali
 Ascites

5. DIAGNOSA KERJA :
 Hepatosellular Carcinoma atau dasar sirosis hepatis
 Hepatitis B Kronik

6. PENATALAKSANAAN
 IVFD Aminofusin Hepar 500 cc/24 jam
 Inj Furosemid 2x40 mg (IV)
 Inj Omeprazol 1x40 mg (IV)
 Ramipril 1x5 mg (PO)
 Lactulac syr 3x15 cc (PO)
 Spironolakton 1x100 mg (PO)
 Rencana USG Abdomen

7. FOLLOW UP
05 April 2019
S/ - Nyeri perut sudah berkurang
- Perut membuncit
- Badan masih terasa lemas
- Nafsu makan sudah mulai ada
- BAB hitam tidak ada
- BAK masih pekat
O/ KU : sedang, Kes : CMC
TD : 150/90 mmhg, Nd : 75x/i, Nf : 20 x/i, T: 36,7°C
Mata : DBN
Thorax : Spider navi (+)
Abdomen : tampak membuncit, shifting dullnes (+), hepar lien teraba,
10
vena kolateral (+)
Ekstremitas inferior: edema (+/+)
USG abdomen
A/ - Hepatosellular carcinoma atau dasar sirosis hepatis
- Hepatitis B kronik
P/ - IVFD Aminofusin Hepar 500 cc/24 jam
- Inj Furosemid 2x40 mg (IV)
- Inj Omeprazol 1x40 mg (IV)
- Ramipril 1x5 mg (PO)
- Lactulac syr 3x15 cc (PO)
- Spironolakton 1x100 mg (PO)
- Cek Protein total, albumin, globulin, SGOT, SGPT
- Pasien pulang atas permintaan sendiri

PEMBAHASAN
Telah dilaporkan pasien laki-laki berusia 64 tahun dengan keluhan utama
nyeri perut yang meningkat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri perut
sudah dirasakan sejak 4 bulan yang lalu, bersamaan dengan perut yang semakin
membuncit, disertai badan terasa lemah dan nafsu makan tidak berkurang. Pasien
pernah memiliki kebiasaan merokok, namun tidak ada minum minuman
beralkohol ataupun menggunakan jarum suntik ataupun sex bebas.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum composmentis dengan
frekuensi nadi 89 kali/menit dan frekuensi nafas 18 kali/menit, sklera ikterik (-),
JVP dalam batas normal, rambut axilla (+), thorax didapatkan spider naevi (+),
jantung dalam batas normal, paru dalam batas normal, pada Abdomen,
ditemukan, ascites (+) dengan shifting dullness, hepar dan lien teraba, vena
kolateral (+), bising usus (+). Pitting edema pada ekstremitas inferior +/+.
Pemeriksaan penunjang didapatkan USG memberikan gambaran Hepatomegali
disertai massa solid inhomogen di hepar lobus kanan ec suspek malignansi pada
hepar (diffuse HCC) dd/cirrhosis-like HCC, splenomegali, dan ascites. Diagnosis
kerja pasien ini adalah Hepatosellular carcinoma atau dasar sirosis hepatis dan
hepatitis B kronik. Dengan diagnosis tersebut maka pasien mendapatkan terapi

11
IVFD Aminofusin Hepar 500 cc/24 jam, Inj Furosemid 2x40 mg IV, Inj
Omeprazol 1x40 mg IV, Ramipril 1x5 mg PO, Lactulac syr 3x15 cc PO,
Spironolakton 1x100 mg PO.
Menurut David. C. Wolf (2012) gejala awal sirosis (kompensata) meliputi
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual dan berat badan menurun, sedangkan pada tahap lanjut dari sirosis
(dekompensata) dapat menimbulkan komplikasi berupa hipertensi porta dengan
manifestasi timbulnya asites yang menimbulkan rasa nyeri atau tidak nyaman,
pada perut kanan atas, perdarahan varises esofagus yang dapat menimbulkan
hematemesis dan melena, timbulnya pembuluh darah kolateral pada kulit
abdomen (caput medusa) dan pembengkakan pada ekstremitas bawah.1
Selain itu, pasien dengan sirosis juga dapat mengalami peningkatan
konversi hormon steroid androgen menjadi estrogen di kulit, jaringan adiposa,
otot dan tulang. Pada pasien pria dapat timbul ginekomastia dan impotensi.
Hilangnya rambut ketiak dan rambut pubis dapat pula ditemukan pada pasien pria
dan wanita. Keadaan hiperestrogenemia juga mengakibatkan timbulnya spider
angiomata dan palmar eritema.1
Sirosis hepatis merupakan faktor resiko utama terjadinya HCC dan
melatarbelakangi lebih dari 8% kasus HCC. Pada HCC manifestasi yang
didapatkan yaitu kelanjutan dari gejala klinis dari sirosis hepatis.
Penegakkan diagnosis HCC atau dasar Sirosis Hepatis berdasarkan anamnesis
dimana didapatkan :
 Perut membesar sejak 4 bulan yang lalu
 Nyeri perut
 Penurunan nafsu makan
 Lesu dan lemah
 BAK seperti teh pekat
Sedangkan pada pemeriksaan fisik didapatkan hal-hal yang menunjang ke arah
Sirosis Hepatis diantaranya :
 Rambut axilla (-)
 Spider naevi (+)
 Asites (+) shifting dullness (+) H/L teraba

12
 Vena kolateral (+)
 Edema ekstremitas +/+
Pemeriksaan laboratorium yang mendukung ke arah sirosis hepatis meliputi:
 Peningkatan globulin
 Penurunan albumin
 Anemia
 Pemeriksaan Imaging seperti USG untuk melihat perubahan morfologi
hati
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan protein total, albumin, globulin,
SGOT dan SGPT dikarenakan pasien menolak karena pasien umum, sedangkan
ureum, kreatinin dan nilai labor darah rutin lainnya dalam batas normal. USG
memberikan gambaran Hepatomegali disertai massa solid inhomogen di hepar
lobus kanan ec suspek malignansi pada hepar (diffuse HCC) dd/cirrhosis-like
HCC, splenomegali, dan ascites. Dari pemeriksaan USG ini tergambar terjadi
pembesaran hati yang dapat saja merupakan kelanjutan dari sirosis hepatis menuju
ke hepatosellular carcinoma.
Pada pasien sirosis yang mengalami asites, menurut David. C. Wolf (2012)
terapi yang diberikan adalah:1
 Restriksi asupan sodium : kurang dari 2000 mg/hari, bahkan pada pasien
dengan asites refrakter diet diusahakan kurang dari 500 mg/hari.
 Diuretik
o Spironolakton 50-300 mg/hari
o Furosemide (Lasix) 40-240 mg/hari dibagi dalam 1-2 dosis terbagi.
 Albumin
 Large-volume paracentesis
 Peritoneovenous shunt
 Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt
Pada kasus ini, pasien mendapatkan terapi IVFD Aminofusin Hepar 500
cc/24 jam, Inj Furosemid 2x40 mg IV, Inj Omeprazol 1x40 mg IV, Ramipril 1x5
mg PO, Lactulac syr 3x15 cc PO, Spironolakton 1x100 mg PO., sesuai dengan
literatur, selain itu pemberian omeprazol dapat mencegah perdarahan saluran

13
cerna. Namun untuk pemberian albumin pada pasien dengan sirosis hepatis masih
kontroversial karena mempertimbangkan mahalnya cost dan efek samping
sehingga untuk Indonesia diberikan batasan untuk pemberian albumin yaitu
<2,5mg/dl. Pemberian albumin pada pasien sirosis bertujuan untuk mencegah
komplikasi yang disebabkan kekurangan protein, oleh karena itu terapi sirosis
hepatis juga harus memperhatikan status gizi pasien, yaitu dengan diberikan diet
hepar yaitu memberikan protein lebih untuk mencegah komplikasi seperti
encephalopaty hepatikum atau hepatorenal syndrom , selain itu dapat diberikan
diet rendah garam untuk mengontrol balance cairan mengurangi edem dan asites.
Prognosis pada pasien sirosis dapat diprediksi mempergunakan Child-Pugh
Score, yaitu :

14
Pada pasien tidak dapat ditentukan skornya, karena kadar Bilirubin total,
serum albumin dan INR tidak diperiksa. Score yang sama atau lebih dengan 10
memberikan gambaran ekspetasi hidup yang lebih rendah (45%) dalam satu
tahun. Pasien juga diketahui memiliki HbsAG (+) menandakan adanya infeksi
dari hepatitis B yang mempengaruhi dari perjalanan penyakit ini. Untuk
penatalaksanaan hepatitis B pada dasar sirosis hepar ini diberikan antivirus
dengan rekomendasi entecavir atau tenofovir.1.

15
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat
adanya nekrosis hepatoselular.1,2
Secara lengkap Sirosis hati adalah Kemunduran fungsi liver yang permanen
yang ditandai dengan perubahan histopatologi. Yaitu kerusakan pada sel-sel hati
yang merangsang proses peradangan dan perbaikan sel-sel hati yang mati
sehingga menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Sel-sel hati yang tidak mati
beregenerasi untuk menggantikan sel-sel yang telah mati. Akibatnya, terbentuk
sekelompok-sekelompok sel-sel hati baru (regenerative nodules) dalam jaringan
parut.3

3.2 Epidemiologi
Secara global, tingkat kematian akibat sirosis meningkat dari 676.000 jiwa
pada tahun 1980 menjadi 1 juta jiwa pada tahun 2010. Lain halnya di Indonesia,
tingkat mortalitasnya sebesar 27 per 100.000 penduduk. Kebanyakan pasien
meninggal pada usia dekade ke 5 dan ke 6 dengan perbandingan pria dan wanita
yaitu 2:1.1,2,3
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun.1

3.3 Etiologi
Penyebab Sirosis Hepatis4
Hepatitis C kronik
Hepatitis B kronik dengan/ atau tanpa hepatitis D
Steato hepatitis non alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan
dengan DM, malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri koroner,
pemakaian obat kortikosteroid
Sirosis bilier primer

16
Kolangitis sklerosing primer
Hepatitis autoimun
Hemokromatosis
Penyakit wilson
Defisiensi Alpha 1- antitrypsin
Sirosis kardiak
Galaktosemia
Fibrosis kistik
Hepatotoksik akibat obat atau toksin
Infeksi parasit tertentu (Schistomiasis)

3.4 Klasifikasi
Secara klinis sirosis hepar dibagi menjadi:5
1. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang
nyata.
2. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik
yang jelas. Sirosis hepar kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara
klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hepar.
Secara morfologi Sherrlock membagi Sirosis hepar bedasarkan besar
kecilnya nodul, yaitu:5
1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.
Menurut Gall seorang ahli penyakit hepar, membagi penyakit sirosis hepar
atas:
1. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau
sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy cirrhosis yang terbentuk karena
banyak terjadi jaringan nekrose.
2. Nutritional cirrhosis, atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, sirosis
alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai
akibat kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.

17
3. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah menderita
hepatitis.
Untuk mempermudah pembagian apakah seseorang berada di dalam
stadium sirosis hepatis kompensata ataupun dekompensata, terdapat
pembagian tingkatan sirosis hepatis menjadi 4 stadium. Pembagian ini
sesuai dengan konsensus Baveno IV, dimana klasifikasi sirosis hepatis ini
berdasarkan ada tidaknya varises, asites dan perdarahan varises:
 Stadium 1 : tidak ada varises, tidak ada asites
 Stadium 2 : varises (+), tidak ada asites
 Stadium 3 : asites dengan atau tanpa perdarahan varises
 Stadium 4 : perdarahan varises dengan atau tanpa asites
Stadium 1 dan 2 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis kompensata,
sementara stadium 3 dan 4 dimasukkan ke dalam kelompok sirosis hepatis
dekompensata.6

Klasifikasi sirosis hati menurut Child – Pugh :6


Skor/paramete 1 2 3
r
Bilirubin(mg %) < 2,0 2-<3 > 3,0
Albumin(mg %) > 3,5 2,8 - < 3,5 < 2,8
Protrombin time > 70 40 - < 70 < 40
(Quick %)
Asites 0 Min. – sedang Banyak (+++)
(+) – (++)
Hepatic Tidak ada Stadium 1 & 2 Stadium 3 & 4
Encephalopathy

3.5 Manifestasi Klinis

- Fase kompensasi sempurna

Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan
samar-samar tidak khas seperti pasien merasa tidak fit, merasa kurang
kemampuan kerja, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual,
kadang mencret atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan
perasaan cepat lelah akibat deplesi protein. Keluhan dan gejala tersebut tidak

18
banyak bedanya dengan pasien hepatitis kronik aktif tanpa sirosis hati dan
tergantung pada luasnya kerusakan parenkim hati.5

- Fase dekompensasi

Pasien sirosis hati dalam fase ini sudah dapat ditegakkan diagnosisnya
dengan bantuan pemeriksaan klinis, laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal
dengan manifestasi seperti eritema palmaris, spider naevi, vena kolateral
pada dinding perut, ikterus, edema pretibial dan asites. Ikterus dengan air kemih
berrwarna teh pekat mungkin disebabkan proses penyakit yang berlanjut atau
transformasi kearah keganasan hati, dimana tumor akan menekan saluran
empedu atau terbentuknya thrombus saluran empedu intrahepatik. Bisa juga
pasien datang dengan gangguan pembekuan darah seperti epistaksis,
perdarahan gusi, gangguan siklus haid, atau siklus haid berhenti. Sebagian
pasien datang dengan gejala hematemesis dan melena, atau melena saja akibat
perdarahan varises esofagus. Perdarahan bisa masif dan menyebabkan pasien
jatuh kedalam renjatan. Pada kasus lain sirosis datang dengan gangguan
kesadaran berupa ensefalopati hepatik sampai koma hepatik. Ensefalopati bisa
akibat kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut atau akibat perdarahan varises
esofagus.5

Palmar Eritem Spider Naevi

3.6 Patofisiologi

19
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cidera kronik-reversibel pada parenkim
hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cidera fibrosis),
pembentukan nodul degeneratif ukuran mikronodul sampai makronodul. Hal ini
disebabkan oleh adanya nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang
retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular berakibat
pembentukan vaskular intra hepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta
dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika), dan regenerasi nodular parenkim
hati sisanya.7
Sirosis hepatis sering didahului oleh hepatitis dan fatty liver (steatosis),
sesuai dengan etiologinya. Jika etiologinya ditangani pada tahap ini, perubahan
tersebut masih sepenuhnya reversibel. Ciri patologis dari sirosis adalah
pengembangan jaringan parut yang menggantikan parenkim normal, memblokir
aliran darah ke portal melalui organ dan mengganggu fungsi organ normal.
Penelitian terbaru menunjukkan peran penting sel stellata, tipe sel yang biasanya
menyimpan vitamin A dalam pengembangan sirosis. Kerusakan parenkim hepar
menyebabkan sel stellata menjadi kontraktil (miofibroblast) dan menghalangi
aliran darah dalam sirkulasi. Sel ini mengeluarkan TFG-β1 yang mengarah pada
respon fibrosis dan proliferasi jaringan ikat. Selain itu, juga mengganggu
keseimbangan antara matriks metalloproteinase dan inhibitor alami (TIMP 1dan
2) yang menyebabkan kerusakan matriks. Pita jaringan ikat (septa) memisahkan
nodul-nodul hepatosit yang pada akhirnya menggantikan arsitektur seluruh hepar
yang berujung pada penurunan aliran darah di seluruh hepar. Limpa menjadi
terbendung mengarah ke hipersplenisme dan peningkatan sekuesterasi platelet.
Hipertensi portal bertanggung jawab atas sebagian besar komplikasi parah sirosis.7

3.7 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom


mikrositer atau makrositer. Anemia bisa, akibat splenomegali dengan
leukopenia dan trombositopenia.

2. Kenaikan enzim transaminase / SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk

20
tentang berat dan luasnya kerusakan parenkhim hati. Kenaikan kadarnya
didalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami kerusakan.
Peninggian kadar gamma GT sama dengan transaminase, ini lebih sensitif
tetapi kurang spesifik. Pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gamma GT
tidak meningkat pada sirosis inaktif.

3. Albumin. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin


merupakan tanda kurangnya daya hati dalam menghadapi stress.

4. Pemeriksaan CHE. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun.

5. Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan


pembatasan garam dalam diet.

6. Pemanjangan masa protombin merupakan petunjuk adanya penurunan


fungsi hati. Pemberian Vit. K parenteral dapat memperbaiki masa
protrombin.

7. Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan
kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen.

8. Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HbsAg/HBsAb,


HBeAg/HBeAb, HBV DNA, HCV RNA.

9. Pemeriksaan AFP penting dalam menentukan apakah telah terjadi


transformasi kearah keganasan. Nilai AFP > 500 – 1000 mempunyai nilai
diagnostik suatu kanker hati primer.

 Pemeriksaan penunjang lainnya.


Esofagoskopi, USG, CT-Scan, ERCP, Angiograf.

3.8 DIAGNOSIS
Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas pemeriksaan
fisik, laboratorium, USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan biopsi
hati.7

Pada stadium dekompensasi kadang tidak sulit menegakkan diagnosa sirosis


hati diantaranya :

21
1. Splenomegali
2. Asites
3. Edema pretibial
4. Laboratorium khususnya albumin
5. Tanda kegagalan berupa eritema palmaris, spider naevi, vena kolateral.

Suharyono Soebandiri memformulasikan bahwa 5 dari 7 tanda dibawah ini


sudah dapat menegakkan diagnosa sirosis hati dekompensasi :7
1. Asites
2. Splenomegali
3. Perdarahan varises
4. Albumin yang merendah
5. Spider naevi
6. Eritema palmaris
7. Vena kolateral.

3.9 TATALAKSANA
Sirosis hati secara klinis fungsional dibagi atas:
1. Sirosis hati kompensata
2. Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan
hepatoselular dan hipertensi portal.
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :7,8
1. Simptomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang; misalnya : cukup
kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin. NB : diet hati III (masih
baik dalam penerimaan protein, lemak, mineral dan vitamin). Diet
rendah garam I (jika asites).
c. Pengobatan berdasarkan etiologi. Misalnya pada sirosis hati akibat
infeksi virus hepatitis C dapat dicoba dengan interferon. Sekarang
telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien
dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan

22
pengobatan IFN seperti a) kombinasi IFN dengan ribavirin, b) terapi
induksi IFN, c) terapi dosis IFN tiap hari
a) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta
unit 3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung
berat badan (1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg)
yang diberikan untuk jangka waktu 24-48 minggu.
b) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis
yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4
minggu yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu
selama 48 minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.
c) Terapi dosis interferon setiap hari.
Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit
tiap hari sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah
terjadi komplikasi seperti.7,8
1) Asites
2) Spontaneous bacterial peritonitis
3) Hepatorenal syndrome
4) Perdarahan karena pecahnya varises esofagus
5) Ensefalopati Hepatikum

Asites
Penyebab ascites yang banyak pada SH adalah HP, disamping adanya
hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal
yang akan mengakibatkan akumulasi cairan dalam peritoneum. Penanganan
ascites yaitu tirah baring, diet rendah garam yaitu konsumsi garam 5,2 gram
atau 90 mmol/hari. Bila tidak berhasil dapat dikombinassikan dengan
spironolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretik bisa dimonitor dengan adanya
penurunan berat badan 0,5 kg/hari tanpa edema dan 1 kg/hari bila ada edema.
Bila pemberian spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan
furosemid dengan dosis 20-40mg/hari dengan dosis maksimal 160 mg/hari.

23
Parasintesis dilakukan bila ascites sangat besar. Pengeluaran ascites sampai 3-6
liter perlu diserti dengan pemberian albumin.4
Terapi lain :
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan
konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis.
Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari,
dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan
asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan masa
opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C, Protrombin <
40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3
mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.7,8

Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)


Peritonitis bakterial spontan (SBP) merupakan komplikasi berat dan sering
terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi spontan cairan asites tanpa
adanya fokus infeksi intraabdominal. Pada penderita SH dan asites berat,
frekuensi SBP berkisar 30 % dan angka mortalitas 25%. Escheria coli
merupakan bakteri usus yang sering menyebabkan SBP, namun bakteri gram
positif seperti Streptococcus viridians, Staphylococcus amerius bisa
ditemukan. Diagnosis SBP ditegakkan bila pada sampel cairan asites
ditemukan angka sel netrofil > 250/mm3. Untuk penanganan SBP diberikan
antibiotika golongan sefalosporin generasi kedua atau cefotaxim, dengan dosis
2 gram intravena tiap 8 jam selama 5 hari.4

Hepatorenal Syndrome7,8

Kriteria Mayor Kriteria Mayor


Penyakit hati kronis dengan asites Volume urin< 1liter / hari
Rendahnya glomerular fitration rate Sodium urin < 10 mmol/liter
(GFR)
Kreatinin serum > 1,5 mg/dl

24
Creatine clearance (24 hour) < Osmolaritas urin>osmolaritas plasma
4,0ml/menit
Absence of shock, severe infection, Konsentrasi serum sodium < 13 mmol
fluid losses and Nephrotoxic drugs / liter
Proteinuria < 500 mg/day
No improvement following plasma
volume expansion
Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa
kelainan organik ginjal, yang ditemukan pada SH tahap lanjut. Sindroma ini
sering dijumpai pada penderita SH dengan asites refrakter. Sindroma hepatorenal
tipe 1 diandai dengan gangguan progresif fungsi ginjal dan penurunan klirens
kreatinin secara bermakna dalam 1-2 minggu. Tipe 2 ditandai dengan penurunan
filtrasi glomerulus dengan peningkatan serum kreatinin. Tipe ini lebih baik
prognosisnya daripada tipe 1. Penanganan SHR yang terbaik adalah dengan
transplantasi hati. Belum banyak dengan pemberian preparat somatostatin,
terlipressin. Untuk prevensi terjadinya SHR perlu dicegah terjadinya hipovolemia
pada penderita SH, dengan menghentikan pemberian diuretik, rehidrasi dan infus
albumin.4

Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus


Pencegahan untuk terjadinya perdarahan VE adalah dengan pemberian obat
golongan beta blocker (propranolol) maupun ligasi varises. Bila sudah terjadi
perdarahan dalam keadaan akut, bisa dilakukan resusitasi dengan cairan
kristaloid/koloid/penggantian produk darah. Untuk menghentikan perdarahan
digunakan preparat vasokonstriktor splanchnic, somatostatin atau ocreotide.
Octreotide bisa diberikan dengan dosis 50-100 mikrogram/h dengan infus kontinu.
Setelah itu dilakukan skleroterapi atau ligasi varises. Tindakan endoskopi
terapetik dilakukan untuk menghentikan perdarahan berulang. Transjugular
intrahepatic portosistemic (TIPS) dan pembedahan shunt bisa dilakukan namun
sebagai efek samping dapat terjadi ensefalopati hepatik.4

Ensefalopati Hepatikum

25
Sekitar 28% penderita SH dapat mengalami komplikasi ensefalopati
hepatikum (EH). Mekanisme terjadinya EH adalah akibat hiperammonia, terjadi
penurunan hepatic uptake sebagai akibat dari intrahepatic portal sistemik shunts
dan/atau penurunan sintesis urea dan glutamik. Beberapa faktor merupakan
sintesis urea dan glutamik. Beberapa faktor merupakan presipitasi timbulnya EH
diantaranya injeksi, perdarahan, ketidakseimbangan elektrolit, pemberian obat-
obat sedatif dan protein porsi tinggi. Dengan mencegah ataupun menangani
faktor-faktor presipitasi, EH dapat diturunkan risikonya. Di samping itu
pemberian laktulosa, neomisin (antibiotika yang tidak diabsorbsi mukosa usus)
cukup efektif mencegah terjadinya EH.4

3.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari sirosis hepatis adalah :4
a. Edema dan Ascites
b. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
c. Perdarahan dari Varises-Varises Kerongkongan (Oesophageal Varices)
d. Hepatic encephalopathy
e. Hepatorenal syndrome
f. Hepatopulmonary syndrome
g. Hyperspleenism
h. Kanker Hati (hepatocellular carcinoma)

3.11 Prognosis
Prognosis sirosis hepatis menjadi buruk apabila:6
 Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%
 Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar
 Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)
 Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus
 Hati mengecil
 Perdarahan akibat varises esofagus
 Komplikasi neurologis
 Kadar protrombin rendah

26
 Kadar natriumn darah rendah (< 120 meq/i), tekanan systole < 100 mmHg

HEPATOCELLULAR CARCINOMA

a. Definisi
Sirosis yang disebabkan oleh penyebab apa saja meningkatkan risiko kanker
hati utama/primer (hepatocellular carcinoma). Utama (primer) merujuk pada fakta
bahwa tumor berasal dari hati. Suatu kanker hati sekunder adalah satu yang
berasal dari mana saja didalam tubuh dan menyebar (metastasis) ke hati.9
b. Etiologi dan Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat memicu terjadinya HCC,
seperti:1
1. Virus Hepatitis B (HBV)
2. Virus Hepatitis C (HCV)
3. Sirosis hati
4. Alfatoksin
5. Obesitas
6. Diabetes Melitus
7. Alkohol

c. Patogenesis dan Gambaran Klinis


Beberapa faktor patogenesis karsinoma hepatoseluler telah didefinisikan
baru-baru ini. Hampir semua tumor di hati berada dalam konteks kejadian
cedera kronik ( chronic injury ) dari sel hati, peradangan dan
meningkatnya kecepatan perubahan hepatosit. Respons regeneratif yang terjadi
dan adanya fibrosis menyebabkan timbulnya sirosis, yang kemudian diikuti
oleh mutasi pada hepatosit dan berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler.
HBV atau HCV mungkin ikut terlibat di dalam berbagai tahapan proses
onkogenik ini. Misalnya, infeksi persisten dengan virus menimbulkan
inflamasi, meningkatkan perubahan sel, dan menyebabkan sirosis. Sirosis
selalu didahului oleh beberapa perubahan patologis yang reversibel, termasuk
steatosis dan inflamasi; baru kemudian timbul suatu fibrosis yang ireversibel

27
dan regenerasi nodul. Lesi noduler diklasifikasikan sebagai regeneratif dan
displastik atau neoplastik.10 Nodul regeneratif merupakan parenkim hepatik
yang membesar sebagai respons terhadap nekrosis dan dikelilingi oleh septa
fibrosis.
Selain proses di atas, pada waktu periode panjang yang tipikal dari
infeksi (10-40 tahun), genom virus hepatitis dapat berintegrasi ke dalam
kromosom hepatosit. Peristiwa ini menyebabkan ketidak-seimbangan (
instability ) genomik sebagai akibat dari mutasi, delesi, translokasi, dan
penyusunan kembali (rearrangements) pada berbagai tempat di mana genom
virus secara acak masuk ke dalam DNA hepatosit. Salah satu produk gen,
protein x HBV (Hbx), mengaktifkan transkripsi, dan pada periode infeksi
kronik, produk ini meningkatkan ekspresi gen pengatur pertumbuhan (growth-
regulating genes) yang ikut terlibat di dalam transformasi malignan dari
hepatosit.10
Gambaran klinis berupa rasa nyeri tumpul umumnya dirasakan oleh
penderita dan mengenai perut bagian kanan atas, di epigastrium atau pada
kedua tempat epigastrium dan hipokondrium kanan. Rasa nyeri tersebut tidak
berkurang dengan pengobatan apapun juga. Nyeri yang terjadi terus menerus
sering menjadi lebih hebat bila bergerak. Nyeri terjadi sebagai akibat
pembesaran hati, peregangan glison dan rangsangan peritoneum. Terdapat
benjolan di daerah perut bagian kanan atas atau di epigastrium. Perut membesar
karena adanya asites yang disebabkan oleh sirosis atau karena adanya
penyebaran karsinoma hati ke peritoneum.Umumnya terdapat keluhan mual
dan muntah, perut terasa penuh, nafsu makan berkurang dan berat badan
menurun dengan cepat. Yang paling penting dari manifestasi klinis sirosis
adalah gejala-gejala yang berkaitan dengan terjadinya hipertensi portal yang
meliputi asites, perdarahan karena varises esofagus, dan ensefalopati.10

d. Diagnosis
1. Anamnesis
Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut
dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul,

28
terus-menerus, kadang- kadang terasa hebat apabila bergerak. Di samping keluhan
nyeri perut ada pula keluhan seperti benjolan di perut kanan atas tanpa atau
dengan nyeri, perut membuncit karena adanya asites dan keluhan yang paling
umum yaitu merasa badan semakin lemah, anoreksia, perasaan lekas kenyang,
feses hitam, demam, bengkak kaki, perdarahan dari dubur.10
2. Pemeriksaan fisik
Biasanya hati terasa besar dan berbenjol -benjol, tepi tidak rata,
tumpul, kadang-kadang terasa nyeri bila ditekan. Bila letak tumor di lobus kiri
maka pembesaran hati terlihat di epigastrium, tapi bila tumor tersebut terletak di
lobus kanan maka pembesaran hati terlihat di hipokhondrium kanan 10
3. Pemeriksaan penunjang
a.) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan Alfa
fetoprotein (AFP) yaitu protein serum normal yang disintesis oleh sel hati
fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0 -20 ng/ml, kadar AFP
meningkat pada 60% -70% pada penderita kanker hati.10
b.) Ultrasonografi (USG) Abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan FP, pasien sirosis hati
dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor
kecil pada pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitif dari pada AFP
serum berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati bekisar antara
70%-80%. Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil adalah gambaran
mosaik, formasi septum, bagian perifer sonolusen (ber-halo), bayangan
lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko
posterior. Berbeda dari metastasis, HCC dengan diameter kurang dari dua
sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas.
USG color Doppler sangat berguna untuk membedakan HCC dari tumor
hepatik lain. Tumor yang berada di bagian atas-belakang lobus kanan
mungkin tidak dapat terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran
terlalu kecil dan isoekoik. Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI
dan angiografi kadang diperlukan untuk mendeteksi HCC, namun karena

29
beberapa kelebihannya, USG masih tetap merupakan alat diagnostik yang
paling populer dan bermanfaat.10

c.) Strategi Skrining Dan Surveilans

Skrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan diagnostik pada


populasi umum, sedangkan surveillance adalah aplikasi berulang
pemeriksaan diagnostik pada populasi yang beresiko untuk suatu
penyakit sebelum ada bukti bahwa penyakit tersebut sudah
terjadi. Karena sebagian dari pasien HCC dengan atau tanpa sirosis
adalah tanpa gejala untuk mendeteksi dini HCC diperlukan strategi
khusus terutama bagi pasien sirosis hati dengan HBsAg atau
anti -HCV positif. Berdasarkan atas lamanya waktu penggandaan (
doubling time) diameter HCC yang berkisar antara 3 sampai 12 bulan
(rerata 6 bulan) dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan AFP
serum dan USG abdomen setiap 3 hingga 6 bulan bagi pasien sirosis
maupun hepatitis kronik B atau C. Cara ini di Jepang terbukti dapat
menurunkan jumlah pasien HCC yang terlambat dideteksi dan
sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor kecil (dini). Namun
hingga kini masih belum jelas apakah dengan demikian juga terjadi
penurunan mortalitas (liver-related mortality).10

e. Terapi
Karena sirosis hati yang melatar belakanginya serta tingginya
kekerapan multi-nodularis, resektabilitas HCC sangat rendah. Di samping itu

30
kanker ini juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah
kuratif. Pilihan terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah
dan ukuran tumor, serta derajat pemburukan hepatik. Untuk menilai status
klinis, sistem skor Childpugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai
kesintasan pasien. Mengenai terapi HCC menemukan sejumlah kesulitan
karena terbatasnya penelitian dengan kontrol yang membandingkan efikasi
terapi bedah atau terapi ablative lokoregional, di samping besarnya
heterogenitas kesintasan kelompok kontrol pada berbagai penelitian
individual.10
1. Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai
fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi hepatik. Namun untuk
pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu
timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter
yang dapat digunakan untuk seleksi adalah skor Child-Pugh dan derajat
hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi portal
saja. Subjek dengan bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang bermakna,
harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi tindakan ini
adalah adanya metastasis ekstrahepatik HCC difus atau multifokal, sirosis
stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan
pasien menjalani operasi.10
2. Transplantasi Hati
Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati
memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan
parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan survival analisis 3 tahun
mencapai 80% bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperatif
dengan obat antiviral seperti lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai
survival analisis 5 tahun 92%. Kematian pasca transplantasi tersering
disebabkan oleh rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat anti
rejeksi yang harus diberikan. Tumor yang berdiameter kurang dari 3 cm lebih
jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih dari
5cm.10

31
3. Ablasi Tumor Perkutan
Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor
kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah.
Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan
fibrosis. Untuk tumor (diameter <5cm). PEI bermanfaat untuk pasien dengan
tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non-
child A.
Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang
lebih tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar
dari 3cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien.
Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak ditemukan
dibandingkan dengan PEI.
Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik
(polyprenoic acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka
rekurensi pada bulan ke-38 secara bermakna dibandingkan dengan
kelompok placebo (kelompok plasebo 49%, kelompok terapi PEI atau reseksi
kuratif 22%).10
4. Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien HCC di diagnosis pada stadium menengah
-lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya.
Berdasarkan meta-analisi, pada stadium ini hanya TAE/TACE
(transarterial embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan
penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup
pasien dengan HCC yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3
hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik
(Child-Pugh) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular atau
penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya
bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan
iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat.10
Adapun beberapa jenis terapi lain untuk HCC yang tidak resektabel
seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiesterogen, antiandrogen,

32
oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan penilaian yang pasti.10

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolf DC. 2015. Cirrhosis. Medscape.


http://emedicine.medscape.com/article/185856 diakses pada 10 Januari
2020.
2. Don C. Rockey, Scott L. Friedman. 2006. Hepatic Fibrosis And Cirrhosis.
http://www.eu.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9781416032588
/9781416032588.pdf diakses pada 10 Januari 2020.
3. Siti Nurdjanah. Sirosis Hepatis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alvi I,
Simadibrata MK, Setiati S (eds). 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 6th
ed. Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia.h. 1978.
4. Harrison’s. 2013. Principles of Internal Medicine, 18h Edition. USA:
McGraw-Hill.
5. Riley TR, Taheri M, Schreibman IR. 2009. Does weight history affect
fibrosis in the setting of chronic liver disease?. J Gastrointestin Liver Dis..
18(3):299-302.
6. Mario,R. 2012. Treatment of Hepatitis B Virus Cirrhosis. Hepat Mon.
7. Kusumobroto O Hernomo. 2007. Sirosis Hati. Dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Hati, edisi I, Jakarta, Jayabadi. hal 335-4
8. Tjokroprawiro, A, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas
Kedokteran UNAIR. Airlangga University Press.
9. Budhihusodo Unggul. 2009. Karsinoma Hati, Buku Ajar Ilmu penyakit
Dalam FK UI,edisi 1, jilid 4, interna publising, Jakarta. Hal 685-690.
10. Desen, Wan. 2008 Tumor Abdomen. Dalam buka ajar Okologi klinik edisi
2. Jakarta.penerbit FK UI.

34

Anda mungkin juga menyukai