Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM PENGANTAR VIROLOGI

TUMBUHAN (PTN223)

TITIK BATAS PENGENCERAN (DILUTION END POINT) PADA CAIRAN


PERASAN TANAMAN

KINANTTI AQILAH DZAKI


A34190077

PARAREL PRAKTIKUM 2

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.


Asisten Praktikum : Andri Saputra (A34170039)
Krismalia Maharani (A34170048)

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Identifikasi berdasarkan gejala sering terkendala oleh kesulitan


mendeskripsikan penyakit sehingga digunakan karakter lain seperti titik panas
inaktivasi, kerentanan pada penyimpanan secara in vitro, dan titik batas
pengenceran (Miftakhurohmah dan Noveriza 2015).
Dilution end point (DEP) merupakan suatu metode untuk mengetahui
kemampuan suatu virus dalam sap setelah dilakukan pengenceran untuk tetap
dapat menginfeksi tanaman.
Bean common mosaic virus (BCMV) adalah virus yang termasuk
kedalam salah satu virus anggota famili Potyviridae dan genus Potyvirus. Bean
common mosaic virus merupakan salah satu penyebab penyakit yang paling
penting di dunia  pada tanaman kacang - kacangan (family
Leguminoceae). Penyebab penting tersebarnya penyakit ini ialah sifat BCMV
yang merupakan patogen tertular benih. Gejala yang disebabkan oleh BCMV
berupa daun berwarna kuning terang, penebalan tulang daun, dan permukaan
daun tidak rata akibat pertumbuhan urat daun tidak sebanding dengan
pertumbuhan helaian daun.
Tobacco mosaic virus (TMV) adalah virus yang menyebabkan penyakit
pada tembakau dan tumbuhan anggota suku terung-terungan (Solanaceae) lain.
Gejala yang ditimbulkan adalah bercak-bercak kuning pada daun yang menyebar,
seperti mosaik.

Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengetahui titik batas pengecneran Tobacco mosaic
virus (TMV) dan Bean common mosaic virus (BCMV) menggunakan metode
pengenceran.
BAHAN DAN METODE

Alat dan bahan

Praktikum ini menggunakan alat berupa pipet ukuran 1ml dan 10 ml, tabung
reaksi sebanyak 8 buah, mortar dan kain kasa, lalu bahan yang digunakan berupa
daun tanaman terinfeksi virus Tobaco mosaic virus (TMV) dan daun tanaman
terinfeksi Bean common mosaic virus (BCMV), buffer fosfat pH 7.0,
karborundum, dan tanaman indikator (Chenopodium amaranticolor), dan air.

Metode

Pembuatan cairan perasan (sap) tanaman sakit terinfeksi virus Tobaco


mosaic virus (TMV) dan Bean common mosaic virus (BCMV) yaitu, daun
tanaman digerus dalam mortar lalu diberikan larutan buffer fosfat (1:10 v/w),
setelah pembuatan cairan sap, cairan disaring dengan kain kasa. Kemudian
disiapkan 8 tabung reaksi. Sebanyak 7 tabung reaksi, mulai dari tabung ke-2
diisikan 9 ml air. Dibuatlah faktor pengenceran pada 7 tabung reaksi, yaitu tidak
diencerkan, 10−1 , 10−2 , 10−3 , 10−4, 10−5 , 10−6 , 10−7 . Pada tabung ke-2 dituangkan
cairan sap tanaman sakit ke tabung pertama, kemudian diambil 1 ml cairan sap
tersebut untuk dimasukkan ke tabung ke-2 berisi 9 ml air. Dicampur, sehingga
konsentrasi cairan sap tabung ke-2 adalah 10−1. Kemudian, ambil 1 ml dari
tabung ke-2 untuk ditambahkan ke tabung berikutnya sehingga didapat
konsentrasi cairan sap 10−2 . Diulangi sampai pengenceran 10−7 . Setelah cairan
sap tanaman siap, dilakukan inokulasi pada daun Chenopodium amaranticolor
yang ditaburi karborundum.
Setelah di inokulasi dilakukan pengamatan gejala yang muncul. Kemudian
dilakukan perhitungan jumlah lesio lokal dari tiap contoh. Lalu, dibuat grafik
hubungan antara jumlah lesio lokal terhadap pengenceran, keduanya dalam skala
logaritmik.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tabel 1. Hasil pengamatan jumlah LLN pada tiap faktor pengenceran TMV

Rata-rata LLN pada pengenceran 10−1 - 10−7 .


Kelompok
0 10−1 10−2 10−3 10−4 10−5 10−6 10−7
1 102 69 54 32 16 6 2 0
2 105 70 51 33 18 8 3 0
3 110 71 52 29 19 9 4 0
4 106 68 50 29 17 7 3 0
5 108 67 53 30 18 8 2 0
Rata - rata 106,2 69 52 30,6 17,6 7,6 2,8 0

Grafik 1. Hasil pengamatan jumlah LLN pada tiap faktor pengenceran TMV

Hasil Pengamatan TMV pada Tanaman Indikator


120
Rata-rata LLN tiap lama penyimpanan

100

80 kel 1
kel 2
60 kel 3
kel 4
40
kel 5
20

0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
Lama penyimpanan (hari)
Tabel 2. Hasil pengamatan jumlah LLN pada tiap faktor pengenceran BCMV

Rata-rata LLN pada pengenceran 10−1 - 10−7 .


Kelompok
0 10−1 10−2 10−3 10−4 10−5 10−6 10−7
1 42 21 18 2 0 0 0 0
2 39 20 15 4 0 0 0 0
3 44 23 16 3 0 0 0 0
4 39 20 14 4 0 0 0 0
5 40 22 15 5 0 0 0 0
Rata-rata 40,8 21,2 15,6 3,6 0 0 0 0

Grafik
Hasil Pengamtan BCMV pada Tanaman Indikator 2.
50 Hasil
Rata-rata LLN tiap lama penyinaran

45
40
35 Kel 1
30 Kel 2
25 Kel 3
20 Kel 4
15 Kel 5
10
5
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Lama penyinaran (jam)

pengamatan jumlah LLN pada tiap faktor pengenceran BCMV


Gambar hasil pengamatan jumlah LLN pada tiap faktor pengenceran TMV

0 10−1 10−2 10−3

Gambar 1. Jumlah Gambar 2. Jumlah Gambar 3. Jumlah Gambar 4. Jumlah


lesio lokal lesio lesio lesio
102 lokal 69 lokal 54 lokal 32

10−4 10−5 10−6 10−7

Gambar 5. Jumlah Gambar 6. Jumlah Gambar 7. Jumlah Gambar 8. Jumlah


lesio lokal lesio lesio lesio lokal
16 lokal 6 lokal 2 0
Gambar hasil pengamatan jumlah LLN pada tiap faktor pengenceran BCMV

0 10−1 10−2 10−3

Gambar 9. Jumlah Gambar 10. Jumlah Gambar 11. Jumlah Gambar 12. Jumlah
lesio lokal lesio lesio lokal lesio
42 lokal 21 18 lokal 2

10−4 10−5 10−6 10−7

Gambar 13. Jumlah Gambar 14. Jumlah Gambar 15. Jumlah Gambar 16. Jumlah
lesio lokal lesio lokal lesio lesio
0 0 lokal 0 lokal 0
Pembahasan

Titik batas pengenceran atau dilution end point (DEP) adalah pengenceran
tertinggi sap tanaman dimana virus masih menular. Pengenceran dapat
menggunakan air destilasi. Titik batas pengenceran dinyatakan dengan dua
pengenceran, diantara pengenceran tertinggi yaitu virus masih mempunyai daya
tular dengan pengenceran berikutnya yang tertinggi. (Nuhayati, 2012). Menurut
Choliq et al. (2018). DEP merupakan suatu metode untuk mengetahui
kemampuan suatu virus dalam sap setelah dilakukan pengenceran untuk tetap
dapat menginfeksi tanaman.
Pada praktikum ini tanaman uji yang di inokulasi TMV dan BCMV,
menunjukkan gejala yang sama berupa lesio lokal nekrotik (LLN). TMV dan
BCMV merupakan virus berbeda yang menghasilkan gejala serupa, oleh karena
itu kedua virus tersebut digunakan dalam uji kali ini. Sehingga bisa
mempermudah perbandingan jumlah gejala untuk menentukan titik pengenceran
keduanya.
Konsentrasi virus dalam sap yang semakin sedikit dapat membuat
kemampuan virus dalam menginfeksi semakin rendah sehingga virus tidak lagi
infektif. Semakin sering dilakukannya pengenceran sap pada pengujian DEP
maka akan semakin rendah kemampuan virus tersebut dalam menginfeksi dan
berlaku pula sebaliknya (Choliq et al. 2018). Faktor lain yang mempengaruhi
ialah stabilitas virus tersebut, virus dengan stabilitas tinggi akan lebih infesikus
dibandingkan dengan stabilitas yang rendah.
Percobaan titik pengenceran dilakukan dengan inokulasi secara mekanis
daun Chenopodium amaranticolor. Pada 5 kelompok dengan 8 faktor
pengenceran, menunjukkan hasil jumlah lesio lokal nekrotik (LLN) yang mirip,
hal ini menunjukkan bahwa metode yang dilakukan sudah benar.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dengan 5 kelompok, pada hasil
pengamatan TMV tanpa pengenceran menunjukkan hasil lesio lokal nekrotik
yang banyak yaitu dengan rata-rata jumlah sebanyak 106,2. Pada pengenceran
10−1 dihasilkan rata-rata jumlah LLN sebanyak 69. Semakin tinggi pengenceran,
gejala akibat TMV menunjukkan hubungan sebaliknya yatu jumlah LLN semakin
sedikit Hal ini dilihat pada faktor pengenceran 10−6 yang menunjukkan jumlah
LLN sangat sedikit dibandingkan hasil pengenceran sebelumnya, hingga
pengenceran 10−7 tanaman indikator tidak menunjukkan gejala LLN. Merujuk
pada Choliq et al. (2018) menyatakan bahwa setiap perlakuan pengenceran
menyebabkan semakin berkurangnya konsentrasi virus dalam sap sehingga
kemampuan untuk menginfeksi tanaman semakin menurun.  Itulah sebabnya
jumlah lesio lokal pada tingkat pengenceran 10-6 lebih sedikit daripada pada
pengenceran 10−5 .
Hasil pengamatan BCMV tanpa pengenceran, menunjukkan hasil lesio lokal
nekrotik yang lebih sedikit dibandingkan TMV dengan rata-rata jumlah sebanyak
40,8. Pada pengenceran10−1 dihasilkan rata-rata jumlah LLN sebanyak 21,2.
BCMV menunjukkan ketiadaan gejala lebih awal dibandingkan TMV yaitu mulai
dari pengenceran 10−4 hingga 10−7 .
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, maka titik batas pengenceran TMV
dan BCMV tidak sama. Lalu, dapat diasumsikan titik batas pengenceran TMV
ialah 10−1 sampai 10−6 dimana virus masih infesikus sampai pengenceran 10−6 .
Berdasarkan literatur Nuhayati (2012), titik batas pengenceran TMV lebih dari
10−6 . Lalu, pada titik pengenceran BCMV sudah tidak menunjukkan gejala pada
10−4, sehingga titik batas pengenceran BCMV ialah 10−1 sampai 10−3 .
Berdasarkan literatur Nuhayati (2012), titik batas pengenceran yaitu antara  10-3 -
10-4.
Stabilitas antara TMV dan BCMV berbeda, dimana TMV lebih stabil
dibandingkan BCMV. Dimana pada pengenceran 10−4 sampai 10−6 TMV masih
infeksikus dibandingkan BCMV yang sudah tidak infeksikus pada pengenceran
10−4. Hal ini sesuai pada Choliq et al. (2018) yang menyatakan bahwa kelompok
Tobamovirus merupakan kelompok virus yang memiliki stabilitas tinggi.
KESIMPULAN

Praktikum ini dapat diketahui bahwa titik batas pengenceran dan titik panas
inaktivasi pada virus TMV dan BCMV dengan menghitung jumlah lesio lokal
yang muncul pada daun Chenopodium amaranticolor tidak sama. Titik batas
pengenceran TMV ialah 10−1 sampai 10−6 , sedangkan titik batas pengenceran
BCMV ialah 10−1 sampai 10−3 .
DAFTAR PUSTAKA

Choliq FA, Astono TH, Putri EE. 2018. Identifikasi penyakit yang disebabkan
oleh virus pada tanaman anggrek Cattleya sp. di Malang, Jawa Timur.
Agrodix. 2(1): 1-13.

Choliq FA, Astono TH, Istiqomah, Fauziyah M. 2018. Identifikasi penyakit yang
disebabkan oleh virus pada tanaman pepaya (Carica papaya l.) Di
Malang, Jawa Timur. Gontor Agrotech Science Journal. 4(2): 87-105.

Handayani NP, Sudana IM, Nyana ID. 2017. Pengaruh waktu inokulasi terhadap
kejadian penyakit tular benih Bean Common Mosaic Virus (BCMV)
pada tanaman kacang panjang (Vigna sinensis l.). E-Jurnal
Agroteknologi Tropika. 6(2):165-175.

Miftakhurohmah, Noveriza R. 2015. Virus nilam: identifikasi, karakter biologi dan


fisik, serta upaya pengendaliannya. J. Litbang Pert. 34(1) : 1-8.

Nurhayati. 2012. Virus Penyebab Penyakit Tanaman. Palembang(ID) : Universitas


Sriwijaya.

Anda mungkin juga menyukai