TUMBUHAN (PTN223)
PARAREL PRAKTIKUM 2
Latar Belakang
Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengetahui titik batas pengecneran Tobacco mosaic
virus (TMV) dan Bean common mosaic virus (BCMV) menggunakan metode
pengenceran.
BAHAN DAN METODE
Praktikum ini menggunakan alat berupa pipet ukuran 1ml dan 10 ml, tabung
reaksi sebanyak 8 buah, mortar dan kain kasa, lalu bahan yang digunakan berupa
daun tanaman terinfeksi virus Tobaco mosaic virus (TMV) dan daun tanaman
terinfeksi Bean common mosaic virus (BCMV), buffer fosfat pH 7.0,
karborundum, dan tanaman indikator (Chenopodium amaranticolor), dan air.
Metode
Hasil
Tabel 1. Hasil pengamatan jumlah LLN pada tiap faktor pengenceran TMV
Grafik 1. Hasil pengamatan jumlah LLN pada tiap faktor pengenceran TMV
100
80 kel 1
kel 2
60 kel 3
kel 4
40
kel 5
20
0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
Lama penyimpanan (hari)
Tabel 2. Hasil pengamatan jumlah LLN pada tiap faktor pengenceran BCMV
Grafik
Hasil Pengamtan BCMV pada Tanaman Indikator 2.
50 Hasil
Rata-rata LLN tiap lama penyinaran
45
40
35 Kel 1
30 Kel 2
25 Kel 3
20 Kel 4
15 Kel 5
10
5
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Lama penyinaran (jam)
Gambar 9. Jumlah Gambar 10. Jumlah Gambar 11. Jumlah Gambar 12. Jumlah
lesio lokal lesio lesio lokal lesio
42 lokal 21 18 lokal 2
Gambar 13. Jumlah Gambar 14. Jumlah Gambar 15. Jumlah Gambar 16. Jumlah
lesio lokal lesio lokal lesio lesio
0 0 lokal 0 lokal 0
Pembahasan
Titik batas pengenceran atau dilution end point (DEP) adalah pengenceran
tertinggi sap tanaman dimana virus masih menular. Pengenceran dapat
menggunakan air destilasi. Titik batas pengenceran dinyatakan dengan dua
pengenceran, diantara pengenceran tertinggi yaitu virus masih mempunyai daya
tular dengan pengenceran berikutnya yang tertinggi. (Nuhayati, 2012). Menurut
Choliq et al. (2018). DEP merupakan suatu metode untuk mengetahui
kemampuan suatu virus dalam sap setelah dilakukan pengenceran untuk tetap
dapat menginfeksi tanaman.
Pada praktikum ini tanaman uji yang di inokulasi TMV dan BCMV,
menunjukkan gejala yang sama berupa lesio lokal nekrotik (LLN). TMV dan
BCMV merupakan virus berbeda yang menghasilkan gejala serupa, oleh karena
itu kedua virus tersebut digunakan dalam uji kali ini. Sehingga bisa
mempermudah perbandingan jumlah gejala untuk menentukan titik pengenceran
keduanya.
Konsentrasi virus dalam sap yang semakin sedikit dapat membuat
kemampuan virus dalam menginfeksi semakin rendah sehingga virus tidak lagi
infektif. Semakin sering dilakukannya pengenceran sap pada pengujian DEP
maka akan semakin rendah kemampuan virus tersebut dalam menginfeksi dan
berlaku pula sebaliknya (Choliq et al. 2018). Faktor lain yang mempengaruhi
ialah stabilitas virus tersebut, virus dengan stabilitas tinggi akan lebih infesikus
dibandingkan dengan stabilitas yang rendah.
Percobaan titik pengenceran dilakukan dengan inokulasi secara mekanis
daun Chenopodium amaranticolor. Pada 5 kelompok dengan 8 faktor
pengenceran, menunjukkan hasil jumlah lesio lokal nekrotik (LLN) yang mirip,
hal ini menunjukkan bahwa metode yang dilakukan sudah benar.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dengan 5 kelompok, pada hasil
pengamatan TMV tanpa pengenceran menunjukkan hasil lesio lokal nekrotik
yang banyak yaitu dengan rata-rata jumlah sebanyak 106,2. Pada pengenceran
10−1 dihasilkan rata-rata jumlah LLN sebanyak 69. Semakin tinggi pengenceran,
gejala akibat TMV menunjukkan hubungan sebaliknya yatu jumlah LLN semakin
sedikit Hal ini dilihat pada faktor pengenceran 10−6 yang menunjukkan jumlah
LLN sangat sedikit dibandingkan hasil pengenceran sebelumnya, hingga
pengenceran 10−7 tanaman indikator tidak menunjukkan gejala LLN. Merujuk
pada Choliq et al. (2018) menyatakan bahwa setiap perlakuan pengenceran
menyebabkan semakin berkurangnya konsentrasi virus dalam sap sehingga
kemampuan untuk menginfeksi tanaman semakin menurun. Itulah sebabnya
jumlah lesio lokal pada tingkat pengenceran 10-6 lebih sedikit daripada pada
pengenceran 10−5 .
Hasil pengamatan BCMV tanpa pengenceran, menunjukkan hasil lesio lokal
nekrotik yang lebih sedikit dibandingkan TMV dengan rata-rata jumlah sebanyak
40,8. Pada pengenceran10−1 dihasilkan rata-rata jumlah LLN sebanyak 21,2.
BCMV menunjukkan ketiadaan gejala lebih awal dibandingkan TMV yaitu mulai
dari pengenceran 10−4 hingga 10−7 .
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, maka titik batas pengenceran TMV
dan BCMV tidak sama. Lalu, dapat diasumsikan titik batas pengenceran TMV
ialah 10−1 sampai 10−6 dimana virus masih infesikus sampai pengenceran 10−6 .
Berdasarkan literatur Nuhayati (2012), titik batas pengenceran TMV lebih dari
10−6 . Lalu, pada titik pengenceran BCMV sudah tidak menunjukkan gejala pada
10−4, sehingga titik batas pengenceran BCMV ialah 10−1 sampai 10−3 .
Berdasarkan literatur Nuhayati (2012), titik batas pengenceran yaitu antara 10-3 -
10-4.
Stabilitas antara TMV dan BCMV berbeda, dimana TMV lebih stabil
dibandingkan BCMV. Dimana pada pengenceran 10−4 sampai 10−6 TMV masih
infeksikus dibandingkan BCMV yang sudah tidak infeksikus pada pengenceran
10−4. Hal ini sesuai pada Choliq et al. (2018) yang menyatakan bahwa kelompok
Tobamovirus merupakan kelompok virus yang memiliki stabilitas tinggi.
KESIMPULAN
Praktikum ini dapat diketahui bahwa titik batas pengenceran dan titik panas
inaktivasi pada virus TMV dan BCMV dengan menghitung jumlah lesio lokal
yang muncul pada daun Chenopodium amaranticolor tidak sama. Titik batas
pengenceran TMV ialah 10−1 sampai 10−6 , sedangkan titik batas pengenceran
BCMV ialah 10−1 sampai 10−3 .
DAFTAR PUSTAKA
Choliq FA, Astono TH, Putri EE. 2018. Identifikasi penyakit yang disebabkan
oleh virus pada tanaman anggrek Cattleya sp. di Malang, Jawa Timur.
Agrodix. 2(1): 1-13.
Choliq FA, Astono TH, Istiqomah, Fauziyah M. 2018. Identifikasi penyakit yang
disebabkan oleh virus pada tanaman pepaya (Carica papaya l.) Di
Malang, Jawa Timur. Gontor Agrotech Science Journal. 4(2): 87-105.
Handayani NP, Sudana IM, Nyana ID. 2017. Pengaruh waktu inokulasi terhadap
kejadian penyakit tular benih Bean Common Mosaic Virus (BCMV)
pada tanaman kacang panjang (Vigna sinensis l.). E-Jurnal
Agroteknologi Tropika. 6(2):165-175.