Anda di halaman 1dari 9

Resume Arisan Ilmu #3:

Islamic Strenght-Based Family

"Pernikahan: Gerbang Menuju


Kebahagiaan Dunia Akhirat"
bersama Teh Yul Rachmawati
Sabtu, 19 September 2020

Dear, Momma...

Pernikahan merupakan sebuah konsep yang kompleks namun banyak orang


berekspektasi bahwa kehidupan pernikahan merupakan kehidupan Cinderella yang
dipenuhi dengan perasaan kesenangan semata. Di sisi lain, setiap fase pernikahan pada
dasarnya memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Bisa jadi, ketika telah terjun langsung
dalam kehidupan pernikahan, kenyataan yang tidak sesuai ekspektasi dapat menimbulkan
C Okonflik
N T Ayang
CT berkepanjangan. Misalnya, sepasang suami istri perlu beradaptasi apabila
sebelumnya lebih banyak terpisah dan tidak banyak berkomunikasi namun dalam kondisi
COVID-19 perlu lebih banyak bersama sehingga pola komunikasinya perlu disesuaikan.
Tidak hanya di Indonesia, masalah pernikahan di masa pandemi ini juga terjadi di bagian
dunia lain, salah satunya di Tiongkok yang meningkat jumlah perceraiannya. Sebelum
pandemi ini pun, berbagai permasalahan rumah tangga juga telah menjangkit, seperti
angka pernikahan diri, gugat, dan talak yang semakin meningkat dalam kurun waktu
tahun 2010 hingga 2012 di Indonesia. Contoh kasus ekstrim juga pernah terjadi di
Indonesia yaitu adanya kasus pembunuhan berencana oleh istri terhadap suami karena
motif ekonomi.

Adanya berbagai masalah secara alamiah membuat masyarakat mencari akar


permasalahan pernikahan dan rumah tangga ini. Sayangnya, tidak sedikit yang
menyalahkan taaruf sebagai penyebab tingkat perceraian tinggi dengan alasan taaruf
tidak membuat seseorang cukup mengenali calon pasangannya. Apakah itu benar? Pada
akhirnya, kita tidak dapat menghakimi secara sepihak proses-proses tertentu dalam
pernikahan tanpa mengetahui konteks permasalahannya.

Sesuatu yang wajib disyukuri bagi Momma bahwa Islam merupakan agama yang telah
menetapkan hukum-hukum bagi manusia secara utuh dan komprehensif. Islam me-
miliki ketentuan dalam urusan pernikahan yang berbeda dengan cara pandang yang jauh
dari dasar keimanan kepada Allah SWT. Setidaknya, ada beberapa hal dari Teh Yul yang
perlu dipahami dalam bekal menjalankan pernikahan, yaitu pernikahan merupakan
perjanjian yang kokoh, pernikahan merupakan bentuk ibadah, dan terdapat cara hidup
suami-istri yang khas dalam Islam.

Pertama, yaitu hakikat pernikahan sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqan


ghalidza). Pernikahan bukanlah soal kemegahan dalam prosesi acara, namun merupakan
perjanjian yang wajib dipertahankan keutuhannya.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa sebagai berikut:

ُ ُ‫ﺾ إ لَ ﺑَﻌْ ُﻀ ﻜ ُ ْﻢ أ َ ْﻓ َﺾ َو َﻗ ْﺪ َﺗ ﺄْ ﺧ‬
‫ﺬ وﻧَ ُﻪ َو ﻛَ ْﻴ َﻒ‬ َ ْ َ َ ‫ﻴﺜ ًﻘ ﺎ ﻣِ ﻨ ﻜ ُﻤ َﻮ أ‬
َ ٰ ‫ﺎﻣ‬ ً ‫َﻏ ﻠ‬
ِ ٍ ْ‫ﺧ ﺬ ﻧ َﺒ ﻌ‬ ‫ِﻴﻈ ﱢ‬

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
CONTACT mengambil dari kamu perjanjian yang kuat" (An-Nisa: 21)

Dalam Al-Qur’an, terdapat 3 perjanjian yang Allah firmankan merupakan mitsaqan


ghalidza selain mengenai pernikahan dalam Surah An-Nisa ayat 21. Perjanjian tersebut
adalah perjanjian Allah dengan kaum Nabi Musa as. sebelum kaum Nabi Musa as.
memasuki Baitulmaqdis dan dalam perjanjian tersebut Gunung Sinai diangkat oleh Allah
di atas kaum tersebut (Surah An-Nisa ayat 154). Selanjutnya, dalam Surah Al-Ahzab ayat
7 yaitu ketika Allah mengambil perjanjian dengan pada para Nabi-Nya untuk
menyampaikan ajaran agama kepada kaumnya. Momma, dari sini kita dapat memahami
bahwa perjanjian kokoh pada pernikahan disandingkan dengan perjanjian agung lain yang
begitu besar perkaranya, yaitu masalah tauhid. Sehingga, sudah sepatutnya kita
memahami bahwa pernikahan merupakan hal sakral yang harus diusahakan dan dirawat
sebaik-baiknya oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Perjanjian kokoh yang ada dalam pernikahan tidak hanya terucap secara lisan ketika
prosesi akad yang mengharukan, namun juga berimplikasi pada kehidupan sehari-hari.
Hal itu tentang bagaimana kita menyandarkan diri pada Allah sebagai Tuhan Yang Maha
Pengasih dan mencukupi segala hal dalam kehidupan pernikahan. Mungkin banyak di luar
sana seorang laki-laki yang khawatir bagaimana dirinya akan mencukupi kebutuhan
sehari-hari, sepasang suami istri yang khawatir apabila mereka belum dikaruniai anak,
dan sebagainya. Inilah yang menjadi bagian dari ujian seorang muslim dalam bahtera
rumah tangga yang berkaitan dengan pengharapannya kepada Allah SWT. Selain itu,
menjalankan ikatan mitsaqan ghalidza juga berimplikasi pada pentingnya kita memahami
konsep-konsep dalam hukum pernikahan sehingga tidak mempermaikannya berdasarkan
nafsu. Misalnya bagaimana hukum talak, bagaimana kewajiban suami dan istri, sekaligus
hak suami dan istri.

Rasulullah SWT sebagai suri tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia
mengajarkan pesan-pesan pernikahan kepada putri yang dicintainya, Fathimah Az-
Zahra ra. ketika menikah dengan Ali bin Abi Thalib ra. Pertama, Rasulullah berpesan
bahwa pernikahan merupakan kuasa Allah SWT. Sehingga, berbagai kondisi dalam
pernikahan pun juga merupakan bagian dari kehendak-Nya yang harus diterima dan
dijalankan dengan penuh keridhaan. Kedua, pernikahan merupakan sarana untuk
memperoleh keturunan. Dalam Islam, anak merupakan salah satu bentuk keberkahan
yang diberikan oleh Allah dalam sebuah keluarga, salah satunya dengan rezeki yang telah
Allah tetapkan pada masing-masing anak. Selain itu, dalam salah satu Hadist Rasulullah
SAW telah bersabda bahwa beliau membanggakan kaum muslimin dengan banyaknya
anak dibandingkan dengan umat-umat lain. Rasulullah SAW juga bersabda bahwa anak
Cyang
O N sholih
TACT dan sholihah dapat menjadi penerus amal seseorang yang telah meninggal.
Ketiga, pernikahan dapat mempererat tali kekerabatan karena sejatinya pernikahan tidak
hanya menyatukan 2 insan namun juga menyatukan 2 keluarga dengan segala
dinamikanya yang kompleks. Indah sekali, bukan?

Dari pesan-pesan luhur Rasulullah SAW tersebut, bagi muslim dan muslimah yang
telah dikaruniai Allah pernikahan, patut banyak-banyak bersyukur karena memiliki
potensi amal yang begitu banyak. Begitu pula kelelahan yang dirasakan dalam
menjalankan pernikahan, dapat dilihat sebagai jalan untuk menggapai ridha-Nya dalam
kehidupan rumah tangga. Di sisi lain, budaya (Barat maupun Timur) yang tidak didasarkan
pada ajaran Islam memandang pernikahan sebagai sesuatu yang menyulitkan. Budaya-
budaya tersebut memandang pernikahan karena sekedar muatan emosi namun tidak
ingin menghasilkan keturunan karena dianggap merepotkan bagi orang tua. Selain itu,
distorsi mengenai konsep pernikahan juga menyebabkan krisis demografi di berbagai
negara, salah satunya di Jepang. Di Negeri Sakura tersebut, banyak orang tua yang
akhirnya menetap di panti jompo karena anak-anaknya tidak mau merawat orang tua
yang telah membesarkannya.

Kedua, pernikahan sepatutnya dipandang sebagai ibadah seumur hidup bagi


seorang laki-laki maupun perempuan. Dalam segala amal yang dilakukan seorang
mukmin merupakan hal yang mendasar. Begitu pula dengan pernikahan, bagaimana
seseorang menjalaninya pun tidak lepas dari niat untuk menikah itu sendiri. Jika niat
yang mendasari pernikahan merupakan niat karena Allah, seorang mukmin akan
memahami tujuan pernikahan bukan hanya untuk mencapai kesenangan semata di dunia
karena memahami bahwa di dalam pernikahan terdapat berbagai dinamika baik bahagia,
sedih, atau hal lain. Momma, sebagaimana ibadah-ibadah lain yang memerlukan ilmu
untuk menjalankannya, ibadah pernikahan juga harus disiapkan dengan ilmu, baik dengan
kesiapan dan persiapan namun juga kemampuan dan tidak hanya kemauan. Salah satu
istilah Bahasa Arab dari kemampuan adalah ba’ah yang artinya baligh, yaitu kemampuan
reproduksi yang menunjukkan kesiapan pernikahan manusia secara alamiah. Namun,
kemampuan yang dimaksud dalam Islam tidak hanya merujuk pada kemampuan
reproduksi namun terdapat parameter-parameter lain. Dalam hal ini, Teh Yul
merumuskan 7 ikhtiar kesiapan menikah, yaitu:

Kesiapan ilmu pranikah (‘ilmiyah)


Kesiapan ilmu meliputi segala hal terkait pernikahan, mulai dari hukum-hukum yang
ada di dalamnya, pembagian peran, dan juga hal-hal lain pada poin-poin selanjutnya.
Menikah bukan soal kecepatan namun kesiapan sehingga pernikahan dijalankan
CON T A Ctergesa-gesa.
secara T Waktu untuk menikah yang pas merupakan waktu ketika
kesiapan ilmu ini sudah cukup dalam hal-hal dasar, baik pada laki-laki maupun
pernikahan.

Kesiapan mental/psikis (ruhiyah)


Kesiapan mental merupakan hal yang penting karena laki-laki maupun perempuan
akan menjalankan peran tertentu. Misalnya, kesiapan mental untuk menjadi orang tua
sehingga dalam mengasihi anak-anaknya pun menjadi proses yang baik. Kesiapan
mental ini penting karena fase-fase pernikahan membutuhkan penyesuaian diri,
misalnya fase dari suami-istri menjadi suami-istri-anak, fase menyusui eksklusif
menjadi MPASI, fase merawat bayi, dan sebagainya. Mental yang dipersiapkan sejak
jauh-jauh hari membuat praktik dalam pernikahan terasa lebih nyaman. Untuk
memfasilitasi kesiapan mental ini, di proses taaruf atau sebelum pernikahan, masing-
masing individu perlu menggali karakteristik pribadi calon pasangannya, bagaimana
interaksinya dengan keluarga, atau bagaimana dirinya menyelesaikan masalah. Hal ini
penting agar setiap individu dapat menyiapkan sejak awal proses penyesuaian diri
dengan dinamika keluarga.

Kesiapan fisik (jasadiyah)


Berkaitan dengan menjalankan peran, kondisi fisik menjadi faktor utama yang menun-
menunjang proses tersebut. Lebih jauh lagi, apabila seorang laki-laki maupun perempuan
memiliki peran di berbagai ranah publik, manajemen diri dan waktu sangat dibutuhkan
agar tidak menzholimi peran-peran yang dijalankan.
.
Kesiapan finansial dana (maaliyah)
Kesiapan maaliyah terutama adalah untuk laki-laki karena berkewajiban untuk
mencari nafkah keluarga. Mencari nafkah bagi laki-laki sejatinya jangan hanya
diartikan sebagai keharusan memiliki pekerjaan dan mapan secara finansial namun
lebih kepada kapabilitas dan kapasitas untuk mencari nafkah tersebut.

Kesiapan orang tua/wali/keluarga (ijtima’iyah)


Kesiapan ijtima’iyah merujuk pada kesiapan lingkungan keluarga untuk menerima
calon pasangan, baik pada laki-laki maupun perempuan. Selain itu, kesiapan ini juga
meliputi batasan-batasan intervensi keluarga. Jangan sampai, ketika akan menikah
keluarga belum mengetahui seluk beluk calon pasangan sehingga berpotensi
penolakan di kemudian hari; atau kesalah pahaman antara anak perempuan dan orang
tuanya karena tidak paham mengenai perpindahan wali. Budaya juga dapat
berpengaruh terhadap kehidupan keluarga, misalnya adat pernikahan yang
diterapkan
CON T A C T dalam keluarga, kebiasaan-kebiasaan harian, dan sebagainya.
.
Jangka waktu kesiapan menikah
Jangka waktu kesiapan menikah terkait dengan kesungguhan untuk melangsungkan
pernikahan itu sendiri. Jangan sampai ketika telah menyiapkan segala hal terkait
pernikahan namun calon pasangan masih belum jelas.

Visi dan misi pernikahan


Visi dan misi pernikahan merupakan ‘panduan’ pasangan untuk menentukan keluarga
seperti apa yang ingin dijalankannya atau pendidikan anak seperti apa yangingin
diterapkan. Pernikahan yang apa adanya membuat keluarga menjadi mudah
terombang-ambing, padahal arah tersebut belum tentu merupakan hal yang baik dan
dibenarkan oleh Islam.

Terkait dengan visi dan misi pernikahan, Syeikh Taqiyuddin Al-Nabhani 3dasar
dalam membangun hal tersebut, yaitu mafahim (pemahaman), maqayis (standar), dan
qanaah (ketundukan). Apabila ketiga unsur ini terdapat banyak kemiripan pada pasangan
atau calon pasangan, insyaAllah pembentukan visi dan misi menjadi lebih mudah
dijalankan. Kemiripan ini tidak menuntut kesamaan, namun lebih kepada hal-hal yang
dapat disetujui oleh kedua pihak. Yang dimaksud dengan pemahaman meliputi cita-cita
Secara teknis, visi merupakan gambaran besar, tujuan utama, dan cita-cita
pernikahan yang bersifat jangka panjang serta disusun dengan kalimat yang umum. Misi
adalah penjabaran atau langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mewujudkan visi
tersebut, bersifat khusus, dan lebih detail. Apabila kedua hal ini telah tersusun, suami
dan istri perlu menyusun strategi untuk mencapai tujuan tersebut. The Yul
mencontohkan bagaimana membentuk visi, misi, dan strategi pernikahan:

Visi = Menjadikan keluarga sebagai keluarga Haritsan Aminan lil Islam


(Penjaga Islam Terpercaya) dan kuat.

Misi =
Menjadikan keluarga sebagai sarana tarbiyah terbaik
Menjadikan keluarga sebagai keluarga yang mandisi secara sikap dan finansial
Menjadikan keluarga yang sehat secara jasadiyah dan ruhiyah

Strategi =
Membiasakan untuk mencintai bahasa Arab sejak dini
Mempelajari tsaqafah Islam secara berkala
CONTACT
Menanamkan hidup seorang entrepreneur
Berolahraga rutin

Ketiga, Islam memiliki rumusan kehidupan suami dan istri yang khas dan hal ini
wajib diikuti oleh keluarga muslim. Rumusan kehidupan tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:

Islam memiliki konsep yang berbeda dengan konsep keluarga menurut Barat
maupun Timur.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada akhirnya budaya yang tidak
disandarkan pada Allah akan melahirkan permasalahan-permasalahan kompleks dan
mengglobal. Sudah sepatutnya keluarga muslim mengikuti cara pandang Islam
terhadap pernikahan yang berdampak pada aplikasi sehari-hari.

Istri bukanlah mitra (syarikah) hidup suami, tetapi merupakan sahabat (shahibah).
Seorang istri memiliki kewajiban terhadap suaminya dan hal ini terdapat di beberapa
riwayat pada keluarga Rasulullah SAW. Misalnya, Nabi Muhammad SAW menetapkan
kepada Fathimah ra untuk mengerjakan pekerjaan di rumah sedangkan Ali bin Abi
Thalib pekerjaan-pekerjaan di luar rumah (Musnad Ibnu Abi Syaibah). Selain itu,
Rasulullah pernah meminta tolong kepada Ummul Mukminin Aisyah ra yang diriwa-
diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad, dan Ibnu Hibban: “Wahai Aisyah, tolong ambilkan
minum, wahai Aisyah tolong ambilkan kami makanan, wahai Aisyah ambilkan kami pisau dan
asahlah dengan batu!”.
Meskipun demikian, bukan berarti pekerjaan-pekerjaan tersebut merupakan kewajiban
penuh dan tidak ada keterlibatan suami di dalamnya. Istri boleh dibantu oleh orang lain
sesuai dengan kesanggupannya. Selain itu, suami juga dapat membantu pekerjaan-
pekerjaan rumah tangga, sebagaimana Rasulullah SAW juga mengerjakan keperluan-
keperluan beliau di rumah. Pengertian sahabat di sini juga berarti bahwa istri akan
bersedia menemani suami dalam suka maupun duka. Dalam pernikahan, dikenal konsep
sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sakinah berarti ketenangan, yang juga meliputi hal-hal
praktis seperti bagaimana istri memahami ketenangan di hati suami ketika melihat
kondisi rumah dalam keadaan bersih; mawaddah artinya penuh cinta, seperti halnya cinta
ibu kepada anak, cinta pasangan suami dan istri merupakan cinta yang tulus sehingga
kekurangan tidak menjadi penghalang cinta dan akan lebih banyak mengeksplorasi
kelebihan yang dimiliki pasangan; dan rahmah yang berarti penuh kasih sayang. Ketiga
hal tersebut bukanlah hal yang dapat diperoleh secara cuma-cuma namun harus
diusahakan dan dirawat setiap hari dengan kerja keras.

CON TACT
Persahabatan yang memberikan kedamaian dan ketenteraman.
Poin ini berkaitan dengan poin 2, yaitu tentang dinamika persahabatan suami dan istri
yang bernuansa positif. Dalam hal ini, istri juga boleh meminta kepada suami
mengenai hal-hal yang membuat istri merasa damai dan tenteram, terutama sesuai
kesanggupan suami. Ulama-ulama terdahulu juga telah mencontohkan bahwa beliau
berhias juga untuk istri, menggunakan pakaian terbaik, wewangian terbaik, untuk istri
tercinta.
Sesi Pertanyaan
Untuk yang belum menikah, pertanyaan apa yang sebaiknya diajukan ke
pihak calon suami untuk menyamakan satu visi misi? Bukan hanya secara
umum, tetapi secara teknis menuju visi tersebut.
Hal utama yang perlu diperhatikan adalah mengenai ikhtiar mengenai kesiapan menikah,
seperti yang telah dijelaskan. Misalnya terkait kesiapan dalam bidang finansial,
“Bagaimana suami memperoleh nafkah? Halal atau haram?” atau dalam hal kesiapan
orang tua/wali/keluarga, “Apakah keluarga suami sudah mengetahui identitas calon
istri?”. Keluarga calon suami penting untuk mengetahui hal ini karena laki-laki sudah
harus menyiapkan keluarganya terlebih dahulu untuk menerima calon istri. Selain itu,
pertanyaan yang diajukan juga dapat seputar karakteristik lingkungan keluarga karena
bisa saja lingkungan keluarga calon suami sangat berbeda dengan lingkungan calon istri
dan berpotensi menimbulkan konflik karena perbedaan tersebut merupakan hal yang
tidak dapat ditoleransi. Lingkungan merupakan salah satu faktor pembentuk pribadi
C individu,
O N T A sehingga
CT lingkungan sebenarnya juga membantu calon istri untuk mengetahui
karakteristik calon suami. Pertanyaan lain yang dapat ditanyakan misalnya mengenai
kesehatan fisik atau adanya penyakit bawaan karena pernikahan merupakan sarana
memperoleh keturunan dan hal ini juga berimplikasi pada cara mendidik anak. Selain itu,
kesepakatan dalam menjalankan peran-peran keluarga maupun pekerjaan di luar rumah
juga perlu dibicarakan. Hal-hal lain yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing juga
perlu disampaikan, tentunya dengan komunikasi yang sopan dan asertif.

Bagaimana mengajak suami (yang sebenarnya planner) agar mau membuat


visi misi keluarga? Karena beliau kurang tertarik dengan parenting atau
hal-hal domestik.
Salah satu caranya adalah dengan menyemangati suami secara ruhiyah, mengajak suami
berdiskusi tentang pendidikan anak, misalnya “Bagaimana anak dapat menjadi baik
apabila tidak mendapat pendidikan dari orang tua? Jangan sampai kita hanya
menyalahkan anak terhadap masalah-masalahnya padahal diri kita sendiri tidak
mendidiknya sejak awal”.
Bagaimana cara agar tetap kuat, tegar, di saat kondisi keluarga mungkin
belum sesuai dengan ekspektasi atau harapan sebelum menikah?
Mengingat tujuan menikah bukan soal kesenangan secara materi karena sebenarnya
pernikahan itu tujuannya untuk beribadah. Adanya masalah justru dapat menjadikan
pasangan suami istri atau keluarga terus berserah diri, mencari hikmah untuk semakin
dekat kepada Allah. Justru apabila kondisi ini tercapai, maka pernikahan tersebut
berhasil.

Pada dasarnya, pernikahan merupakan potensi untuk menggapai ridha Allah,


sehingga bertambah kebaikan (ziyaadatul khairi fii kulli haal) di setiap harinya dalam
kehidupan berumah tangga. Semoga dengan terus mencari ilmu, tujuan pernikahan yang
sesuai dengan ajaran Islam dapat terus kita upayakan.

Terima kasih, Momma...


Belajar bersama Mommis selalu yuk!

@mommischology

mommischology.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai