Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Konsep Chronic Sorrow berasal dari karya Olshansky pada tahun 1962 yang
selanjutnya di kembangkan oleh tim Eakes, Burke, dan Hainsworth dalam
NCRCS. Karya Olshansky terkait Chronic Sorrow sebagai hasil observasi pada
orang tua yang memiliki anak dengan reterdasi mental dan orangtua tersebut
menunjukkan respon kesedihan yang mendalam dan terus-menerus dan disebut
dengan terminologi Chronic Sorrow. Chronic Sorrow di gambarkan sebagai
respon psikologis terhadap situasi tragis. Penelitian terkait Chronic Sorrow
berkembang sekitar tahun 1980 dengan temuan reaksi kesedihan berkepanjangan
pada orang tua dan pengalaman berduka dalam berhubungan dengan kondisi anak
dengan disabilitas fisik dan mental (Eakes, Burke, & Hainsworth, 1998 ; Aligood,
2014).
Teori Chronic Sorrow merupakan salah satu teori Middle Range keperawatan
yang berfokus pada stress dan adaptasi yang berhubungan dengan penderitaan
kronik yang dialami individu sehingga menimbulkan kesedihan dan rasa berduka
yang berkepanjangan (Alligood, 2014).
Penyakit kronis dapat didefinisikan sebagai kondisi sakit yang menimbulkan
berkurang atau hilangnya fungsi sehari – hari lebih dari 3 bulan dalam 1 tahun
atau mengalami hospitalisasi lebih dari 1 bulan dalam 1 tahun (Hockenberry,
2007). Hal ini menjadikan indivu atau anak dengan penyakit kronik mengalami
berbagai masalah keterbatasan sehingga anak tersebut mempunyai kebutuhan
akan perawatan khusus, komprehensif dan berkelanjutan. Teori ini dapat
dijadikan panduan atau pedoman bagi perawat dalam memberikan atau
melaksanakan tindakan keperawatan, khususnya pada klien yang beresiko
mengalami penderitaan kronik untuk mengantisipasi kesedihan yang
berkepanjangan, misalnya klien dengan penyakit DM (Diabetes Melitus), pasien
bunuh diri dan seorang ibu yang mempunyai anak yang mengalami retardasi
mental/gangguan mental.
Peran utama dari perawat menurut teori Chronic Sorrow, yaitu bersifat
empati, menjadi pendidik yang baik, memberi perhatian dan bersikap profesional.
Penerapan teori ini dalam pemberian asuhan keperawatan dapat membantu klien
yang menderita penyakit kronik maupun keluarga dan orang disekitarnya untuk
meningkatkan kemampuan mekanisme koping eksternal dalam menghadapi
proses kehilangan yang terjadi.
1.2. Tujuan
1. Memberikan gambaran konsep dasar teori keperawatan chronic sorrow.
2. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang konsep teori chronic
sorrow.
3. Menganalisa teori model konseptual penderitaan kronis “theory of chronic
sorrow” dalam aplikasi praktek keperawatan.
4. Memahami konsep yang mendasari teori chronic sorrow dan penerapannya
dalam situasi nyata.
5. Menjelaskan konsep middle range teori chronic sorrow dan beberapa teori
didalamnya.
1.3. Manfaat
 Manfaat bagi mahasiswa :
1. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai konsep teori chronic
sorrow sebagai dasar dari pengembangan ilmu pengetahuan dalam
keperawatan.
2. Menambah wawasan bagi mahasiswa tentang penerapan konsep
middle range teori chronic sorrow
 Manfaat bagi profesi perawat :
1. Memperluas wawasan bagi perawat khususnya sebagai dasar
pengembangan untuk memajukan ilmu keperawatan baik dalam bidang
pendidikan, praktik keperawatan, administrasi dan penelitian.
2. Meningkatkan kinerja dan kualitas asuhan keperawatan dalam
mewujudkan layanan keperawatan profesional.
3. Menambah pengembangan ilmu pengetahuan dalam memberikan
layanan asuhan keperawatan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Chronic Sorrow merupakan respon normal manusia yang berhubungan
dengan disparitas berkelanjutan sebagai akibat dari situasi kehilangan. Kondisi ini
merupakan siklus yang terjadi secara alamiah. Dalam kondisi tersebut terdapat
penceus yang memperberat respon berduka, bersifat internal maupun eksternal
yang dapat di prediksi. Manusia memiliki strategi koping yang efektif dalam
mencapai keseimbangan saat mengalami Chronic Sorrow. Pada dasarnya, Chronic
Sorrow disebababkan oleh disparitas antara kondisi harapan dan kenyataan (Eakes
Et Al, 1998 ; Aligood, 2014).
Teori Chronic Sorrow merupakan Theory Middle Range karena dalam teori
ini membahas tentang fenomena yang spesifik yaitu tentang masalah – masalah
yang timbul dari penyakit kronis yang mencakup proses berduka, kehilangan,
faktor pencetus dan metode manajemennya. Karena kespesifikan teori tersebut,
maka teori ini mudah diaplikasikan dalam praktik keperawatan.
Teori Chronic Sorrow menjelaskan mengenai kesedihan kronis yang
merupakan perasaan berduka yang dialami klien secara periodik. Konsep dukacita
kronis awal mulanya berasal dari teori yang telah di cetuskan oleh olshansky pada
tahun 1962. Pusat studi NCRCS (The Nursing Consortium For Research On
Chronic Sorrow) telah menggunakan karya tersebut sebagai dasar teori rentang
tengah dari dukacita kronis. Teori yang dikembangkan oleh lazarus & folkman
tentang model strees dan adaptasi juga dijadikan sebagai konsep dasar tentang
bagaimana seseorang berusaha untuk mengatasi dukacita kronis.
Teori NCRCS (the nursing consortium for research on chronic sorrow)
mengutip pengamatan olshansky terhadap orang tua dengan anak-anak cacat
mental ketika terdapat indikasi bahwa para orang tua ini mengalami kesedihan
yang berulang dan dia menamainya dukacita kronis (Chronic Sorrow). konsep ini
digambarkan sebagai suatu deskripsi yang luas dan sederhana tentang reaksi
psikologis terhadap situasi tragis.
NCRCS menjadikan dasar hasil pengamatan olshansky terhadap orang tua
yang mempunyai anak dengan mental retardasi ini sebagai bahan untuk
menjelaskan konsep tentang teori Chronic Sorrow ini, hasil pengamatan
menunjukan bahwa orang tua yang mempunyai anak dengan mental retardasi
mempunyai kesedihan yang berkelanjutan dan orang tua tersebut dapat dikatakan
mengalami penderitaan yang berkepanjangan/kronik.
Berduka di konseptualisasikan sebagai proses yang berlangsung secara terus-
menerus dan apabila tidak terselesaikan maka termasuk dalam kondisi abnormal.
Burke dalam penelitiannya pada orangtua dengan anak Spinabifida
mendefinisikan Chronic Sorrow sebagai kesedihan mendalam yang bersifat
permanen, periodik dan meningkat secara alamiah. Tim NCRCS berfokus pada
respon berduka yang di hubungkan dengan penelitian lazarus dan folkman tentang
stress dan adaptasi yang di lakukan pada tahun 1984. Strategi koping internal
meliputi orientasi tindakan, pendekatan aspek kognitif, dan perilaku interpersonal.
Middle Range teori Chronic Sorrow tidak hanya menjelaskna pengalaman
Chronic Sorrow pada situasi tertentu melainkan respon koping terhadap
fenomena. (Aligood, 2014 ; Vitale dan Valco, 2014 ; Eakes Et Al, 1998).
Middle Range teori Chronic Sorrow merupakan teori menjelaskan penerimaan
keluarga dalam disparitas yang terjadi secara terus-menerus, teori ini dapat
menjadi panduan bagi tenaga kesehatan dalam menghadapi kondisi tersebut.
2.2 Konsep Teori

Dalam Middle Range teori Chronic Sorrow terdapat beberapa konsep utama dan
defiinisi yaitu sebagai berikut :

1. Chronic Sorrow
Disparitas secara terus-menerus dari proses kehilangan, di tandai
dengan duka mendalam dan terus-menerus. Gejala dari peristiwa
berduka terjadi secara periodik dan gejala ini mungkin terus
berkembang atau meningkat.
2. Losse
Kehilangan terjadi sebagai akibat dari disparitas antara situasi ideal
yang di inginkan dengan situasi nyata yang terjadi. Sebagai contoh
orang tua berharap untuk memiliki anak yang sempurna dan situasi
nyata yang di alami adalah orang tua memiliki anak dengan disabilitas.
3. Trigger Events
Yaitu situasi, kondisi yang berlangsung dan kondisi yang menjadi
fokus dari pengalaman atau perasaan kehilangan dan dapat
mencetuskan atau mengeksaserbasi (memunculkan kembali) reaksi
perasaan berduka.
4. Management Methods
Hal ini berkaitan dengan respon individu untuk berdamai dengan duka
cita yang ia rasakan atau perasaan chronic sorrow yang di alami.
Respon ini dapat bersifat internal yaitu strategi koping yang individu
susun atau bersifat eksternal yaitu dengan melibatkan interfensi dari
tenaga kesehatan profesional.
5. Ineffektive Management
Manajemen ini merupakan hasil dari strategi yang meningkatkan
ketidaknyamanan individual atau yang memperberat perasaan chronic
sorrow yang dialami individu tersebut.
6. Effective Management
Hal ini dihasilkan dari strategi yang meningkatkan kenyamanan dan
mempengaruhi individu.

Dalam middle Range theory Chronic Sorrow terdapat beberapa asumsi utama
yaitu sebagai berikut (Alligood, 2014; Eakes, Burke, & Hainsworth, 1998) :

a. Keperawatan
Hal terkait menegakkan diagnosa Chronic Sorrow dan menyediakan
intervensinya termasuk dalam lingkup praktik keperawatan. Perawat dapat
menyediakan bimbingan antisipatif (anticipatory guidance) pada individu
yang beresiko. Tugas utama dari perawat adalah menunjukan empati,
keahlian, sikap caring dan menunjukan performa sebagai pemberi layanan
yang kompeten.
b. Manusia
Dalam teori ini, manusia memiliki persepsi idealis dari proses hidup dan
kesehatan. Manusia akan membandingan pengalamannya dengan
pengalaman yang dia harapkan (kondisi ideal) dan dengan pengalaman
orang lain sekitarnya. Meskipun pengalaman setiap individu terkait
kehilangan merupakan respon yang unik akan tetapi masih terdapat
kesamaan dan respon yang diperkirakan dari proses kehilangan tersebut.
c. Kesehatan
Menurut teori ini kesehatan adalah fungsi normal. Kesehatan individu
bergantung pada adaptasi terhadap respon kehilangan. Koping efektif
dihasilkan dari respon normal terhadap peristiwa kehilangan.
d. Lingkungan
Interaksi yang terjadi berhubungan dengan konteks sosial. Dalam hal ini
termasuk keluarga, sosial, pekerjaan, norma sosial, dan lingkungan
pelayanan kesehatan.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengaplikasian Teori Chronic Sorrow


 Klien Risiko Bunuh Diri Dengan Pendekatan Teori Chronic Sorrow Di Ruang
Utari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor
Abstrak :
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh
seseorang untuk mengakhiri kehidupannnya. Perilaku bunuh diri adalah
tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk membunuh diri sendiri. Bunuh
diri melibatkan ambivalensi antara keinginan untuk hidup dan keinginan
untuk mati. Perilaku bunuh diri terdiri dari tiga tingkatan berupa ide/isyarat
bunuh diri, ancaman bunuh diri, dan percobaan bunuh diri (Videbeck,2011).
Seseorang yang berisiko melakukan bunuh diri adalah ketika mereka tidak
mampu mendapatkan solusi dari permasalahan dan penderitaan yang dialami.
Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah memberikan gambaran hasil
manajemen kasus spesialis pada klien risiko bunuh diri melalui pendekatan
model stress adaptasi Stuart dan teori Chronic Sorrow Eakes di rumah sakit
Marzuki Mahdi. Tindakan keperawatan diberikan kepada 11 klien dengan
menggunakan terapi kognitif. Terapi kognitif yang diberikan pada klien
menunjukkan peningkatan dalam pencegahan perilaku bunuh diri. Terapi
kognitif menunjukkan efektifitas kemampuan klien untuk berpikir positif.
Rekomendasi: pada klien risiko bunuh diri dengan pendekatan model teori
Chronic Sorrow bisa diberikan terapi kognitif. Untuk meningkatkan efektifitas
perlu adanya terapi kombinasi bagi klien risiko bunuh diri.
Kata kunci : risiko bunuh diri, teori Chronic Sorrow Eakes, terapi kognitif
 Pengalaman Ibu Terhadap Kehadiran Anak Dengan Gangguan Kesehatan Kronik
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menggali respon ibu yang mempunyai
anak dengan gangguan kesehatan kronik. Manfaat penelitian
ini adalah sumber pengetahuan baru bagi perawat tentang pengalaman, arti
pengalaman tersebut bagi ibu dan pengaruhnya pada
ibu. Pengetahuan ini akan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
perawat dalam melakukan pengkajian dan memberikan
asuhan keperawatan kepada ibu. Pengambilan sampel menggunakan teknik
“purposive sample”, yaitu ibu yang memiliki anak
dengan gangguan kesehatan kronis. Jumlah sampelnya adalah lima orang, yang
diwawancara dengan mendalam selama satu jam.
Metode penelitian yang digunakan adalah fenomenologi, yang merupakan metoda
yang paling sesuai untuk menggali pengalaman
seorang ibu tentang suatu kejadian. Data dikumpulkan melalui wawancara semi
terstruktur dengan menggunakan beberapa pertanyaan
tentang bagaimana perasaan, pikiran dan perasaan menjadi ibu dari seorang anak
yang mengalami gangguan perkembangan atau
menderita penyakit kronis. Hasil wawancara direkam dengan menggunakan tape
recorder dan kemudian dibuat transkripnya.
Setelah itu data tersebut dianalisa dengan menggunakan “Colaizzi’s phenomenology
methods”. Hasil analisa data menggambarkan
lima kategori yaitu respon emosi, keyakinan atau spiritual, kerja keras, sistim
pendukung, dan interaksi dengan tenaga kesehatan.
Kata kunci: gangguan tidur, klien, kualitas tidur, lansia

 Dukungan Keluarga Dan Hubungannya Dalam Proses Penyembuhan Luka


Diabetes Mellitus Grade I-Iii Di Rsud Wates Kulon Progo
Abstrak :
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar gula darah. Penyakit DM dapat mengakibatkan komplikasi jangka
panjang berupa luka diabetik yang sulit disembuhkan. Beberapa faktor yang
memperburuk kondisi luka diantaranya adalah masalah psikologis yang
membutuhkan dukungan dari orang terdekat. Dukungan keluarga sebagai salah satu
bagian dari dukungan sosial yang merupakan bentuk interaksi antar individu yang
memberikan rasa nyaman secara fisik dan psikologi. Tujuan Penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan proses penyembuhan luka
DM grade I-III. Metode penelitian ini menggunakan metode analitik observasional
melalui pendekatan studi cohort (prospektif). Dengan jumlah sampel sebanyak 30
orang yang mencakup pasien rawat inap, rawat jalan, dan home care. Analisis data
menggunakan uji korelasi spearman untuk menilai suatu hubungan antar variabel.
Hasil Penelitian diperoleh dukungan keluarga yang kurang baik (56,7%), kondisi luka
grade III (83,3%), dan kategori regenerasi (90,0%). Terdapat hubungan dukungan
keluarga dengan proses penyembuhan luka DM grade I-III di RSUD Wates Kulon
Progo (ρ =0,028 < α =0,05). Kesimpulan : dukungan keluarga merupakan faktor
penting dalam proses penyembuhan Luka DM.
Kata Kunci : Diabetes Mellitus, Dukungan Keluarga, Penyembuhan Luka
Pendahuluan :
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit gangguan metabolik yang
ditandai dengan peningkatan kadar gula darah atau hiperglikemi yang disebabkan
karena masalah sekresi insulin, kerja insulin dalam darah atau kombinasi keduanya
(Sudoyo et al., 2009). Ulkus diabetik merupakan komplikasi kronik dari penyakit
DM, ulkus diabetik disebabkan oleh adanya neuropati dan gangguan vaskuler pada
kaki (APMA, 2006). Luka DM dapat terjadi dibagian tubuh manapun yang rentan
atau berpotensi mengalami tekanan, gesekan, atau trauma, namun paling sering
terjadi pada ujung-ujung ektermitas khususnya kaki (PERKENI, 2008). DM telah
menyerang 415 juta orang di dunia pada tahun 2015, dan jumlah ini diperkirakan
meningkat menjadi 642 juta (55%) pada tahun 2040 mendatang (IDF, 2015). Menurut
data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 tingkat prevalensi
penderita DM sebesar 6,8% dari 255.461.686 jumlah penduduk di Indonesia atau
sekitar 17 juta penduduk usia produktif yang menderita DM. Angka kejadian DM di
Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 2,6% dari 3.679.176 jumlah penduduk DIY dan
menempati urutan pertama dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Penyebab
utama kejadian luka kaki diabetes diakibatkan karena adanya penurunan sensasi pada
ujung-ujung saraf perifer (neuropati) dan kurangnya suplai oksigen pada pembuluh
darah perifer (iskemik). Hilangnya sensasi nyeri pada penderita DM menyebabkan
menurunnya kewaspadaan penderita terhadap trauma dan benda asing, akibatnya
banyak luka yang tidak terdeteksi dini dan terus mengalami penekanan(Bowering
CCK, 2001). Banyaknya komplikasi yang terjadi pada penderita DM memberikan
kontribusi terdahadap perubahan kondisi fisik, psikologis, dan kehidupan sosial
pasien. Perubahan psikologis yang paling sering terjadi pada pasien DM adalah
depresi. Studi
melaporkan bahwa pasien DM dua kali lebih besar mengalami gejala depresi
dibandingkan dengan masyarakat umum (Anderson et al., 2001). Salah satu
manajemen perawatan pada pasien DM yang mengalami depresi adalah dengan
melibatkan dukungan sosial, dukungan sosial dapat diperoleh dari orang-orang
terdekat yaitu keluarga. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD
Wates Kulon Progo diperoleh data bahwa pada tahun 2016 terdapat 282 kasus DM
yang di rawat inap. Penyakit DM menempati urutan teratas pada 10 penyakit yang
terbanyak pada kunjungan rawat jalan selama periode bulan Oktober-Desember 2016
dengan jumlah kasus sebanyak 678 kasus. Diketahui bahwa beberapa pasien
mengatakan dukungan keluarga cukup baik dalam dimensi dukungan emosional,
penghargaan, dan instrumental, namun masih kurang dalam dukungan informasional.
Penderita dan keluarga cenderung pasrah dan pasif dalam hal pengobatan dan
perawatan luka DM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan
dukungan keluarga dengan proses penyembuhan luka DM grade I-III di RSUD Wates
Kulon Progo.
Bahan Dan Metode :
Jenis penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian kuantitatif
korelatif dengan metode analitik observasional melalui pendekatan studi cohort
(prospektif). Metode penelitian cohort dilakukan untuk mengetahui dinamika
hubungan antar faktor risiko dengan efek melalui pendekatan longitudinal ke depan
atau prospektif (Machfudz, 2016; Notoatmojo, 2010). Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien dengan diagnosa medis DM tipe 2 yang mengalami komplikasi
luka grade I-III dan menjalani perawatan di RSUD Wates Kulon Progo. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik kuota sampling yaitu
pengambilan sampel dengan ciri-ciri tertentu sampai pada jumlah tertentu yang
diinginkan (kuota). Besar sampel dalam penelitian ini adalah 30 sampel. Sampel
dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini
yaitu penderita Luka DM yang menjalani rawat inap, penderita Luka DM yang
menjalani rawat jalan, penderita Luka DM yang menjalani home care, penderita Luka
DM pasca debridemen, penderita Luka DM post amputasi, dan bersedia menjadi
responden. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa
kuesioner untuk mengukur variabel dukungan keluarga. Peneliti menggunakan
kuesioner yang dikembangkan oleh Henserling yang diberi nama “Henserling
Diabetes Family Support Scale (HDFSS)” (Hensarling, 2009). Telah dilakukan uji
validitas dan realibilitas oleh Fatimah, diperoleh hasil r alpha cornbach 0,718
sehingga instrumen ini dianggap valid dan reliabel (Fatimah, 2016). Lembar
observasi digunakan untuk menilai proses penyembuhan luka DM. Dalam penelitian
ini lembar observasi yang digunakan adalah lembar observasi ulkus DM skala BWAT
(Bates-Jensen Wound Assessment Tool). instrumen ini dilakukan uji validitas oleh
Handayani didapatkan hasil dengan nilai r=0,91. Reliabilitas instrumen ini telah
diujikan d ruang peawatan akut dewasa oleh perawat enteros tomal (ETN) dengan
koefisien reliabilitas 0,975 sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen ini reliabel
untuk digunakan (Handayani, 2010).
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 4 (3), September 2017, 221-225
223 Copyright ©2017, Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, p-ISSN: 2088-
8872;e-ISSN: 2541-2728

3. Hasil Penelitian
Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah penderita Luka DM
terbanyak adalah perempuan dengan jumlah 17 orang (56,7%). responden terbanyak
berada pada kisaran umur 46-55 tahun dengan persentase 60,0%. Rerata kadar gula
darah pasien berada pada kisaran 165,9 mg/dL, dengan nilai terendah yaitu 82 mg/dL
dan yang paling tinggi berada pada angka 342 mg/dL. Karakteristik keluarga yang
merawat penderita DM paling banyak dirawat oleh suami sebanyak 15
responden (50,0%).
Kategori kondisi luka yang terbanyak adalah kondisi regenerasi sebanyak 27
responden dengan persentase 90% sedangkan kondisi luka heal (sembuh) sebanyak
10%. Hubungan dukungan keluarga dengan proses penyembuhan Luka DM grade I-
III Hasil uji statistik diperoleh nilai ρ = 0,028 < α = 0,05, oleh karena ρ < α maka
terdapat hubungan dukungan keluarga dengan proses penyembuhan Luka DM
grade I-III Di RSUD Wates. Nilai r = 0,402 menunjukkan keeratan hubungan
dengan tingkat keeratan sedang (moderat).

4. Pembahasan
a. Dukungan Keluarga
Terdapat empat dimensi yang menjadi dasar pengukuran dukungan keluarga
yaitu dimensi emosional, dimensi penghargaan, dimensi instrumental dan dimensi
informasional (Friedman,2010). Keluarga diharapkan mampu memberikan dukungan
secara emosional dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anggota keluarga
yang menderita DM. Kurangnya dukungan penghargaan dikarenakan anggota
keluarga masih kurang paham terhadap proses penyakit DM dan hal-hal yang
berkaitan dengan kodisi penderita DM, sehingga keluarga tidak menganjurkan untuk
memeriksakan diri ke dokter. Paparan informasi dirasakan masih kurang karena
penderita DM belum pernah mendengar senam kaki diabetes untuk mempertahankan
sensitivitas saraf perifer. Dukungan instrumental berkaitan dengan penyediaan
fasilitas yang diberikan keluarga mencakup bantuan langsung berupa waktu, peluang,
dan materi. Secara keseluruhan dalam penelitian ini responden cukup mendapatkan
dukungan instrumental dari keluarga dengan menyatakan bahwa keluarga
memberikan fasilitas berupa materi untuk perawatan luka dan pengobatan DM.
Dukungan dalam dimensi informasional dirasakan masih kurang diterima oleh
responden yang diidentifikasi dengan pernyataan bahwa keluarga tidak menyarankan
untuk mengikuti edukasi diabetes yang direkomendasikan oleh petugas kesehatan.
Telah dijelaskan bahwa kurangnya paparan informasi pada penderita DM dan
keluarga diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya masih kurangnya sosialisasi
petugas kesehatan di lingkungan masyarakat, latar belakang pendidikan responden
dan keluarganya rata-rata pada tingkat sekolah dasar, sehingga tingkat pemahaman
edukasi kurang maksimal. Selain itu beberapa anggota keluarga hingga lingkungan
sosial masyarakat sebagian besar masih memiliki kepercayaan pada hal-hal mistis dan
supranatural yang dikaitkan dengan Luka DM kronis. Kepercayaan masyarakat
demikian sangat
mempengaruhi keputusan keluarga dalam memilih pengobatan bagi penderita DM
dengan komplikasi luka.

b. Proses Penyembuhan Luka


Kategori grade terbanyak pada grade III disebabkan karena kondisi luka yang
terlambat mendapatkan penangan medis sehingga dibutuhkan tindakan amputasi atau
debridement untuk mengurangi infeksi kronis pada luka. Kerusakan jaringan hingga
ke tulang menyebabkan infeksi kronis hingga kematian. Tindakan amputasi
mengakibatkan kondisi cacat tubuh yang mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis
penderita DM (Anderson et al., 2001)).
Secara fisik cacat tubuh dapat menurunkan produktifitas individu dalam bekerja,
sedangkan secara psikologis kondisi cacat akibat amputasi dapat menjadi faktor
pencetus (triger events) yang menyebabkan individu berduka (chronic sorrow).
keadaan cacat pasca amputasi dapat menurunkan gambaran diri pada invividu yang
berakibat pada keadaan jiwa yang merasa harga diri rendah (Asmadi,
2008).

c. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Proses Penyembuhan Luka DM.


Analisis bivariat dilakukan untuk menilai korelasi dukungan keluarga dengan
proses penyembuhan Luka DM dengan melakukan uji spearman. Hasil uji statistik
diperoleh nilai ρ = 0,028< α = 0,05 oleh karena ρ < α maka terdapat hubungan
dukungan keluarga dengan proses penyembuhanluka. Penyakit DM sebagai salah satu
penyakit kronis sangat mempengaruhi kondisi psikologis penderitanya, hal ini
dijelaskan dalam konsep teori chronic sorrow. Metode manajemen yang ditawarkan
dalam teori ini melibatkan strategi koping personal maupun eksternal melalui tenaga
kesehatan atau intervensi orang lain seperti keluarga dekat yang dapat meningkatkan
kenyamanan perasaan individu (Asmadi, 2008).
Price menyebutkan bahwa salah satu faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan peningkatan kadar gula darah adalah stres. Kondisi stres yang hebat
seperti adanya infeksi luka, trauma, dan penyakit berat lainnya memicu aktivasi
hormon couter-insulin yaitu hormon yang kerjanya berlawanan dengan dengan kerja
insulin sehingga dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah (Price, et al.,
2015). Tandra (2008) menjelaskan bahwa stres, cemas dan depresi telah terbukti
dapat mengurangi efisiensi sistem imun sehingga dapat menghambat proses
penyembuhan luka (Tandra,2008).
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan

Teori keperawatan merupakan suatu teori yang berkembang atas dasar teori
keperawatan bukan berdasarkan pengetahuan ilmu lain. Perkembangan teori muncul
dari ilmu profesional dan proses pertumbuhan dari pemimpin keperawatan,
administrator, pendiri, dan praktisioner yang telah mendapat pendidikan tinggi dan
melihat keterbatasan dari disiplin ilmu lain. Salah satu teori keperawatan yaitu teori
Chronic Sorrow yang merupakan hasil karya dari sosiolog yang bernama Olshansky
pada tahun 1962 yang selanjutnya di kembangkan oleh tim Eakes, Burke, dan
Hainsworth dalam NCRCS. Chronic Sorrow merupakan respon normal manusia yang
berhubungan dengan disparitas berkelanjutan sebagai akibat dari situasi kehilangan.
Pengaplikasian dan penerapan Teori Chronic Sorrow pada praktik keperawatan, yaitu
pada orang tua yang memiliki anak dengan reterdasi mental dan orangtua tersebut
menunjukkan respon kesedihan yang mendalam dan terus-menerus, pada klien resiko
bunuh diri, serta pada dukungan keluarga dan hubungannya dalam proses
penyembuhan luka Biabetes Mellitus Grade I-Iii. Teori Chronic Sorrow merupakan
salah satu teori dari Middle Range Theory karena dalam teori ini membahas tentang
fenomena yang spesifik yaitu tentang masalah – masalah yang timbul dari penyakit
kronis yang mencakup proses berduka, kehilangan, faktor pencetus dan metode
manajemennya. Chronic Sorrow di gambarkan sebagai respon psikologis terhadap
situasi tragis. Pada dasarnya, Chronic Sorrow disebababkan oleh disparitas antara
kondisi harapan dan kenyataan (Eakes Et Al, 1998 ; Aligood, 2014).
4.2 Saran

Bagi perawat yang melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan


penyakit Chronic maupun akut ataupun pada pasien gangguan jiwa hendaknya
melakukan pengkajian secara lengkap dan lebih di fokuskan pada kebutuhan
fisiologis, koping, dan suport sistem pasien. Perawat dapat mengembangkan
penelitian – penelitian yang mendukung aplikasi dari teori Chronic Sorrow misalnya
peran perawat atau tenaga kesehatan dalam membantu mengatasi masalah pasien
yang berkaitan dengan teori Midle Range Of Sorrow dengan metode kualitatif dan
terfokus pada identifikasi terjadinya konsep keperawatan.

Dalam bidang pendidikan harus ada pembagian kewenangan yang jelas sesuai
kompetensi sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit kronik sesuai dengan level kompetensinya
DAFTAR PUSTAKA

Aligood, 2014 ; Vitale dan Valco, 2014 ; Eakes Et Al, 1998

Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 4 (3), September 2017, 221-225 221p-ISSN:


2088-8872; e-ISSN: 2541-2728
Diabetes Mellitus Grade I-Iii Di Rsud Wates Kulon Progo

risiko bunuh diri, teori Chronic Sorrow Eakes, terapi kognitif Klien Risiko Bunuh
Diri Dengan Pendekatan Teori Chronic Sorrow Di Ruang Utari Rumah Sakit
Marzoeki Mahdi Bogor

Anda mungkin juga menyukai