RETINOPATY OF PREMATURY
Pembimbing:
dr. Husnun Sp.M
Disusun Oleh:
Marisa 030.13.118
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat serta
bimbingannya dalam penulisan tugas referat ini sehingga tugas referat yang berjudul “Retinitis of
Prematury" ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter-
dokter pembimbing penulis di kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti periode 16 November 2020.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh
karena itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah yang disusun penulis
ini dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara serta masyarakat luas pada umumnya di masa yang
akan datang.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I 3
PENDAHULUAN 3
BAB II 4
TINJAUAN PUSTAKA 4
Anatomi 4
Definisi 6
Epidemiologi 6
Faktor Risiko 7
Etiologi 11
Patofisiologi 11
Diagnosis 12
Pemeriksaan Penunjang 15
Diagnosa Banding 16
Tatalaksana 17
Komplikasi 17
Prognosis 17
BAB III 19
KESIMPULAN 19
DAFTAR PUSTAKA 20
2
BAB I
PENDAHULUAN
Retinopati prematuritas penyebab utama kebutuaan pada bayi berat lahir rendah /
berat badan lahir sangat rendah. Retinopati prematuritas terjadi akibat kepekaan
pembuluh darah retina dimasa perkembangan terhadap oksigen konsentrasi tinggi.
Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan
oksigen retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina sehingga
menimbulkan darah iskemia pada retina.1
Sebanyak 7000 anak di Amerika Serikat dinyatakan buta akibat ROP. Lebih dari
50.000 anak di seluruh dunia setiap tahunnya dibutakan oleh ROP. Di Indonesia,
insidens ROP pada bayi lahir dengan usia dibawah 32 minggu sebesar 18-30% ; lebih
tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain. Hal tersebut karena : saat
ini banyak bayi premature dapat bertahan hidup karena ketersediaan layanan kesehatan
neonatus, namun kualitas pelayanan belum ideal, skrining terlambat / tidak dilakukan,
tatalaksana terlambat atau kualitas terapi tidak memadai.1,2
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
5. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 2,3 mm pada kutub
pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil), yang berdiameter
1,5 mm. Di tengah makula, sekitar 3,5 mm di sebelah lateral diskus optikus, terdapat
fovea, yang merupakan suatu cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat
dengan oftalmoskop. Foveola adalah bagian tengah fovea dimana sel fotoreseptornya
adalah sel kerucut dan merupakan bagian retina yang paling tipis. 5
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria dan cabang-
termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel
pigmen retina sedangkan cabang-cabang arteri sentralis retina memperdarahi dua pertiga
5
2.2. Definisi
2.3. Epidemiologi
1. Saat ini banyak bayi prematur dapat bertahan hidup karena ketersediaan
layanan kesehatan neonatus, namun kualitas pelayanan belum ideal
6
3. Tatalaksana terlambat atau kualitas terapi tidak memadai.10
Faktor resiko retinopati pada prematuritas adalah multifaktorial. Beberapa faktor risiko
yang sudah diidentifikasi:6
1. Penggunaan O2
Peran oksigen sebagai faktor risiko RPP telah mulai diteliti semenjak era 1950-an
diawali oleh penelitian kolaboratif 18 rumah sakit yang dikoordinasi dokter V.E. Kinsey
yang kemudian hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian eksperimental lain. Efek
primer oksigen terhadap pembuluh darah retina yang belum matang pada binatang
percobaan adalah terjadinya vasokonstriksi retina. Apabila konstriksi ini bertahan akan
diikuti oleh penutupan pembuluh darah pada berbagai tingkat, kemudian akan
menimbulkan kerusakan endotel dan akan menyebabkan penutupan sempurna pembuluh
darah yang belum matang tersebut. Pembuluh darah baru akan terbentuk pada daerah
yang mengalami kerusakan kapiler retina tersebut. Pembuluh darah baru ini akan
menyebar di permukaan retina dan berkembang sampai ke korpus vitreus. Penelitian
dengan binatang percobaan yang diberi oksigen konsentrasi tinggi menunjukkan hanya
pembuluh darah yang belum matanglah yang sensitif terhadap oksigen, semakin tidak
matang pembuluh darahnya makin besar risikonya terhadap pemberian oksigen,
sehingga bayi dengan pembuluh darah retina yang sudah matang / pembuluh darah yang
sudah penuh di retina tidak memberi risiko terhadap RPP. Atas dasar itulah predileksi
RPP di bagian temporal retina dapat diterangkan. Vasokonstriksi awal pada pembuluh
darah retina yang imatur terjadi dalam beberapa menit pertama setelah paparan terhadap
oksigen, ukuran pembuluh darah berkurang sampai 50%, namun kemudian kembali ke
ukuran normal. Oksigen yang dilakukan terus menerus 4 – 6 jam selama akan
menimbulkan vasospasme bertahap sampai pembuluh darah tersebut mengecil sampai
80%. Sampai pada tahap ini vasokonstriksi pembuluh darah retina masih bersifat
reversibel, namun apabila keadaan ini bertahan (misalnya pemberian oksigen sampai 10
7
– 15 jam) beberapa pembuluh darah perifer retina yang belum matur tersebut akan
mengalami penutupan permanen. 6
Beberapa peneliti melaporkan transfusi darah atau anemia sebagai faktor risiko RPP,
namun laporan ini masih diperdebatkan. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
anemia adalah faktor risiko untuk terjadinya RPP sedangkan laporan lain mengatakan
hematokrit yang tinggi dan transfusi berulang pada kejadian anemia yang merupakan
faktor independen terjadinya kasus RPP. Sacks, dkk. pada penelitian 90 bayi dengan BB
± 1250 gram (Pennsylvania, 1980) menemukan hubungan yang bermakna antara
kejadian RPP dengan transfusi tukar. Clark, dkk.menemukan hubungan yang bermakna
antara insiden RPP dengan transfusi darah pada penelitian 58 bayi dengan BB ± 1000
gram dan 70 bayi dengan berat lahir rendah yang mendapatkan terapi oksigen dengan
berbagai variasi berat badan. Anemia pada BBLR yang kemudian ditangani dengan
pemberian transfusi darah berulang akan menyebabkan bayi menerima sejumlah darah
dari orang dewasa (donor dewasa). Masuknya darah dari orang dewasa ini meningkatkan
risiko RPP yang dihubungkan dengan peningkatan penumpukan zat besi pada bayi-bayi
prematur ini. Hal ini akan meningkatkan aktivitas antioksidan yang terkait dengan
penumpukan zat besi. Brooks dkk, pada penelitian 50 bayi dengan BB ≤ 1250 gram
tidak menemukan perbedaan insiden RPP antara kelompok bayi yang diberikan transfusi
untuk mengatasi anemia (24 bayi) dengan kelompok bayi yang diberikan transfusi untuk
mempertahankan kadar hematokrit >40 % (26 bayi). 6
3. Defisiensi Vitamin E
Flynn mengutip dari Owens dan Owens melaporkan peran vitamin E dalam mencegah
kejadian RPP pada kelompok bayi prematur. Pemberian 50 mg vitamin E secara oral
tiga kali sehari bersamaan dengan dimulainya pemberian makanan peroral diketahui
dapat menekan insiden RPP. Penelitian ini dilakukan pada bayi-bayi dengan BB ≤ 1360
gram. Payne mengutip dari Kretzer dan Hittner, memperlihatkan adanya perubahan
8
dasar pada struktur sel spindel retina bayi-bayi prematur berisiko tinggi. Sel spindel
retina bayi prematur yang mendapat oksigen secara terus menerus akibat distres
pernafasan memperlihatkan peningkatan gap junction, diyakini bahwa peningkatan Gap
Junction ini mengganggu proses pembentukan pembuluh darah yang normal. Pada bayi
prematur yang mendapat vitamin E peningkatan gap junction dapat ditekan. Vitamin E
secara in vitro merupakan antioksidan lipofilik yang poten, sedangkan kadar vitamin ini
pada bayi prematur lebih rendah sehingga keterkaitan ini menjadi dasar asumsi faktor
risiko RPP. Namun sulit untuk dibuktikan bahwa peningkatan kadar vitamin E di dalam
serum bayi akan dapat mencegah kejadian RPP. Pemberian vitamin E pada bayi
prematur diketahui memiliki beberapa kemungkinan efek samping seperti enterokolitis
nekrotikans, sepsis, perdarahan intra ventrikular, perdarahan retina, perubahan respons
imun dan penekanan aktifitas bakteriostatik sel leukosit. 6
4. Paparan Cahaya
Cahaya terang yang mengenai mata bayi prematur diduga menimbulkan pengaruh untuk
terjadinya RPP, namun masih terdapat perbedaan pendapat terhadap mekanisme
terjadinya ROP dalam hubungan dengan paparan cahaya terang pada tempat perawatan
bayi intensif. Glass, melaporkan bahwa bayi prematur yang dirawat di ruangan dengan
cahaya terang benderang 32% lebih besar peluangnya terkena RPP dibanding mata bayi
yang mendapat perlindungan dari paparan cahaya, meskipun hasil ini tidak secara kuat
menunjuk kepada pengaruh cahaya pada retinopati pada prematuritas, tapi Glass
menyatakan bahwa tidak ada satupun penelitian yang menyatakan cahaya fluoresen
aman bagi mata bayi. Reynold, dkk. pada penelitian 188 bayi prematur yang
mendapatkan paparan cahaya terkontrol dengan cara memberikan pencahayaan ruangan
memakai lampu yang berputar (hidup-mati), dengan kontrolnya bayi yang terpapar
cahaya terang terus menerus, mendapatkan hasil bahwa pengurangan intensitas cahaya
ini (399 Lux untuk kelompok studi dan 447 Lux untuk kelompok kontrol) tidak
mengubah insiden RPP (53% kelompok studi dan 52% kelompok kontrol). Hasil yang
didapat pada penelitian ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan intensitas paparan yang
tidak terlalu besar.6
9
5. Karbondioksida
Retensi CO2 dapat meningkatkan efek kerusakan pembuluh darah retina bayi prematur
oleh terapi suplementasi oksigen. Patz mengutip dari Banner dan Widmayer,
melaporkan bahwa retensi CO2 adalah faktor tunggal terpenting yang membedakan
insiden RPP pada penelitiannya pada bayi dengan berat badan lahir < 1000 gram, namun
Biglan dan Brown tidak melihat pengaruh retensi CO 2 terhadap insiden RPP dan malah
menemukan bayi dengan RPP tingkat lanjut memiliki PCO 2 serum yang lebih rendah
dari kelompok kontrol.6
6. Septikemia
Beberapa penulis melaporkan septikemia sebagai salah satu faktor risiko untuk
terjadinya RPP. Gunn, dkk. pada penelitian 150 bayi prematur dengan berat badan ≤
1500 gr dan mendapatkan suplementasi oksigen, melaporkan sepsis sebagai faktor yang
sangat kuat hubungannya dengan kejadian RPP. Mittal, dkk. melaporkan bahwa sepsis
oleh candida adalah faktor risiko yang berdiri sendiri dalam memperberat kejadian RPP
dan menyebabkan bayi prematur tersebut membutuhkan terapi bedah laser. 6
Beberapa keadaan juga dilaporkan sebagai faktor risiko untuk timbulnya RPP, namun
karena belum banyak peneliti lain yang juga menilai faktor yang sama, perannya sebagai
faktor risiko atau penolakan peran faktor-faktor tersebut belum begitu jelas. Termasuk
disini seperti sianosis, apnea, ventilasi mekanis, perdarahan intraventrikular, kejang,
PDA, preparat xanthine, preparat indometasin, asidosis, hipoksia intrauterin, distres
pernafasan. Dari semua faktor risiko yang sudah diteliti tampak adanya perbedaan
pendapat di antara para peneliti tentang peran masing-masing faktor risiko tersebut
untuk terjadinya RPP, sehingga masih diperlukan banyak penelitian untuk menjelaskan
potensi risiko masing-masing faktor tersebut secara terpisah (independent). Kita
cenderung berpikiran bahwa RPP adalah penyakit yang disebabkan oleh terpaparnya
bayi prematur terhadap berbagai faktor risiko setelah lahir, pada kenyataannya ada bayi
yang sudah mengalami threshold ROP pada hari pertama atau kedua kehidupan yang
10
memberi kesan bahwa retinopati sudah terjadi intrauterin sebelum bayi terpapar dengan
berbagai faktor risiko setelah lahir. Ogden memperkirakan sepertiga kasus RPP lebih
dipengaruhi oleh faktor-faktor prenatal dibanding faktor-faktor setelah lahir.6
2.5. Etiologi
Faktor risiko penderita yang paling berpengaruh adalah prematuritas dan berat
badan lahir rendah. Faktor-faktor lain yang turut berperan, yakni: terapi suplemen
oksigen, displasia bronkopulmonal, preeklamsi maternal, sepsis, kadar insulin-like
growth factor–1 (IGF-1) rendah, hiperglikemi, kurang nutrisi, dan transfusi darah.11-14
2.6. Patofisiologi
Proses vaskularisasi retina janin sehat dimulai sekitar usia kehamilan 16 minggu
yang berkembang dari discus opticus ke arah perifer. Vaskularisasi akan mencapai retina
nasal pada usia kehamilan 36 minggu dan temporal pada usia kehamilan 40 minggu.
Proses ini terbagi dalam 2 fase, yaitu vaskulogenesis dan angiogenesis. Vaskulogenesis
merupakan pembentukan pembuluh darah secara de novo dari sel prekursor endotel di
retina sentral. Fase ini terjadi hingga usia kehamilan 22 minggu. Setelah itu, terjadi
angiogenesis, yang merupakan perkembangan pembuluh darah baru dari pembuluh
darah yang sudah ada. Proses ini terjadi dalam kondisi hipoksia fisiologis yang
merangsang pengeluaran vascular endothelial growth factor (VEGF) dan akan
menstimulasi angiogenesis ke arah gradasi VEGF.10-13 Faktor pertumbuhan lain,
seperti insulin-like growth factor–1 (IGF-1) juga berperan dalam vaskulerisasi retina
dengan cara mengontrol aktivasi maksimum VEGF pada Akt endothelial cell survival
pathway. 15
ROP dipostulatkan terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, ketika bayi prematur
lahir, terjadi perubahan suplai oksigen dari plasenta menjadi dari paru. Paru bayi
prematur belum berfungsi optimal sehingga diberi oksigen tambahan. Kebutuhan
metabolisme retina juga masih rendah. Kombinasi kondisi tersebut menimbulkan
keadaan hipoksia relatif yang menyebabkan stres oksidasi serta penurunan faktor
proangiogenik terkait oksigen, seperti VEGF dan erythropoietin (Epo),15,16 sehingga
11
perkembangan vaskuler retina tertunda; ditandai dengan daerah avaskuler di retina
perifer.11 Selain itu, bayi prematur juga mengalami kekurangan faktor turunan maternal
yang berfungsi untuk vaskularisasi, seperti lemak ω-3 dan IGF-1.15
Pada awalnya, retina yang avaskuler masih mendapat asupan oksigen dan nutrisi
secara difusi dari jaringan kapiler koroid di bawahnya. Lama-kelamaan, ketebalan retina
terus bertambah hingga melebihi suplai vaskulernya. Akibatnya, terjadi hipoksia retina
yang menginduksi hypoxia-inducible factor 1 (HIF-1) (beserta derivatnya seperti
VEGF), metabolit faktor seperti succinate, dan IGF-1. Faktor-faktor tersebut akan
merangsang protein matriks ekstraseluler untuk menyusun fibrin adhesif dan terjadi
angiogenesis patologis. Di samping itu, sel ganglion retina menghasilkan molekul
semaphorins (Sema 3) yang menghalangi revaskularisasi ke retina avaskuler, sehingga
pembuluh darah baru menginvasi vitreus dan menyebabkan traksi retina serta
perdarahan. Fase kedua ini disebut fase vasoproliferasi, biasanya terjadi sekitar usia
postmenstrual 33-34 minggu.15
2.7. Diagnosis
Diagnosis retinopati pada prematuritas ditegakkan atas dasar pemeriksaan
optalmoskopi oleh seorang ahli mata yang berpengalaman. Terdapat berbagai protokol
pemeriksaan yang dianjurkan untuk mendeteksi kemungkinan adanya retinopati pada
prematuritas. American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan pemeriksaan
untuk mendeteksi kemungkinan adanya pada bayi dengan berat badan < 1300 gram atau
usia kehamilan < 35 minggu yang terpapar oksigen, atau BB < 1000 gram / usia
kehamilan < 30 minggu meskipun tanpa terpapar oksigen. Pemeriksaan dilakukan pada
usia bayi 5 – 7 minggu sesudah kelahiran.2,16
Dalam mendiagnosa retinopati pada prematuritas ini International Classification of
Retinopathy of Prematurity mengelompokan retinopati pada prematuritas dalam
beberapa parameter. 2
Terdapat empat parameter klasifikasi retinopati pada prematuritas, yaitu : 2
1. Lokasi retinopati pada prematuritas :
12
● Zona I adalah area yang mengelilingi optic nerve dan macula dengan
jarak dua kali dengan pusat optic nerve (retina posterior dalam area 60 cc
lingkaran dengan titik pusat nervus optikus).
● Zona II berbentuk donat yang merupakan perluasan dari batas zona I yang
menyentuh oraserata daerah nasal. (Dari cincin posterior (zona I) kearah
oraserata nasal).
● Zona III adalah sisa zona yang berbentuk seperti bulan sabit (sisa daerah
retina temporal).
● Stadium 2: terdapat garis batas yang memiliki tinggi, lebar, dan volume
(ridge); bisa ditemukan ”popcorn”, yaitu tumpukan (tufts) jaringan
neovaskuler kecil yang terisolasi dan terletak di permukaan retina
13
● Stadium 3: ridge dengan proliferasi fibrovaskuler ekstraretinal; terbagi
menjadi ringan, sedang, atau berat, yang dinilai berdasarkan jumlah
jaringan proliferatif yang ada
● Stadium 4: ablatio retina parsial. Ablatio bisa terjadi di luar fovea (A)
atau melibatkan fovea (B)
3. Perluasan
14
Perluasan retinopati pada prematuritas memperhitungkan keadaan pembuluh
darahnya. Disini derajat beratnya penyakit ditentukan dengan menghitung
atau menganggap mata sebagai sebuah jam yang terbagi atas 12 area dan
setiap area adalah 30 derajat.2
15
2.8. Pemeriksaan Penunjang
Standar baku untuk mendiagnosa ROP adalah pemeriksaan retina menggunakan
Oftalmoskopi binocular indirek. Diperlukan pemeriksaan dengan dilatasi fundus dan
depresi sklera. Dilatasi pupil dilakukan dengan Cyclomydril (cyclopentolate 0,2%
dan phenylephrine 1%. 17
Instrumen lain yang digunakan yaitu:
- Speculum sauer (sebagai penahan mata agar tetap terbuka)
- Depressor skeral flynn (untuk merotasi dan mendepresi mata)
- Lensa 28 dioptri (untuk mengidentifikasi zona dengan lebih akurat)
16
zona 2. Jika pembuluh nasal telah mencapai ora serrata, maka mata berada pada
zona 3.2,17
Tatalaksana saat ini mengikuti pedoman ETROP yang membagi ROP menjadi 2
tipe. ROP tipe 1 mendapat terapi fotokoagulasi laser (dalam 48-72 jam) untuk ablasi
retina avaskuler untuk menurunkan faktor pertumbuhan angiogenik, sedangkan pada tipe
2 dilakukan pemantauan ketat dua kali seminggu. Fotokoagulasi laser merupakan
modalitas utama, tetapi merusak lapang pandang akibat retina yang diablasi dan kelainan
refraksi seperti myopia. 2,19,20
Terapi lain yang sedang berkembang adalah anti-VEGF intravitreal. Terapi ini
unggul dibandingkan fotokoagulasi laser karena memberi kesempatan pembuluh darah
retina untuk berkembang secara fisiologis, namun masih perlu diteliti lebih lanjut
mengenai dosis terapeutik yang tepat, durasi, efek samping, dan komplikasi. Bila sudah
terjadi ablatio retina, dibutuhkan pembedahan seperti vitrektomi, pemasangan sabuk
sklera/ scleral buckle, atau kombinasi keduanya. Alternatif terapi lain pemberian IGF-1,
asam lemak ω-3, propranolol, penicillamine, serta antioksidan diharapkan mampu
mencegah dan mengatasi ROP dengan efek samping minimal.2,19,20
2.11. Komplikasi
Meskipun ROP sudah diterapi, penderita tetap memiliki risiko komplikasi, antara
lain miopia, astigmatisme, strabismus, kelainan visual serebral/ cerebral visual
impairment (CVI), anisometropia, katarak, dan glaukoma. Oleh karena itu, diperlukan
pemantauan penglihatan berkala serta terapi sesuai komplikasi, seperti rehabilitasi visual
dan perbaikan visus dengan kacamata. Orang tua penderita perlu diberi dukungan serta
konseling.21,22
17
2.12. Prognosis
Prognosis retinopati prematuritas dipengaruhi oleh kadar insulin-like growth
factor 1 (IGF-1), pertambahan berat bayi postnatal, dan perubahan pada vaskularisasi
retina. Gangguan visus pada retinopati prematuritas stage 4 dan 5 umumnya bersifat
permanen dan tidak membaik walaupun dilakukan pembedahan. Penelitian yang
meneliti efek cryotherapy (CRYO-ROP) terhadap retinopati prematuritas menunjukkan
bahwa terapi tersebut dapat mencegah perburukan visus dari 51% menjadi 31%.Visus
yang lebih baik didapatkan pada kelompok yang mendapatkan cryotherapy pada follow
up tahun ketiga dan kesepuluh.21,22
18
BAB III
KESIMPULAN
Retinopati prematuritas atau ROP adalah penyebab utama kebutuaan pada bayi
berat lahir rendah / berat badan lahir sangat rendah Penanganan komprehensif mulai
dari skrining adekuat, tatalaksana dini, hingga pemantauan hasil terapi seksama
dibutuhkan untuk menurunkan angka kejadian ROP. Meskipun fotokoagulasi laser
mampu menghindari kebutaan, masih menyisakan masalah penglihatan. Studi terapi
alternatif seperti anti-VEGF, IGF-1 dan lain-lain, membuka kemungkinan penanganan
ROP yang lebih aman, efektif dan terjangkau di masa mendatang.
19
DAFTAR PUSTAKA
20
11. Ahuja A, Reddy YV, Adenuga O, Kewlani D, Ravindran M, Ramakrishnan R. Risk
factors for retinopathy of prematurity in a district in south india: A prospective cohort
study. Oman J Ophthalmol. 2018;11(1):33-7.
12. Gebesce A, Haşim U, Keles E, Yildrim A, Gurler B, Yazgan H, et al. Retinopathy of
prematurity: Incidence, risk factors, and evaluation of screening criteria. Turkish J Med
Sci. 2016;46(2):315-20.
13. Hakeem AHAA, Mohamed GB, Othman MF. Retinopathy of prematurity: A study of
prevalence and risk factors. Middle East African J Ophthalmol. 2012;19(3):289-94.
14. Hellström A, Smith LEH, Dammann O. Retinopathy of prematurity. Lancet.
2013;382(9902):1445-57.
15. Rivera JC, Sapieha P, Joyal JS, Duhamel F, Shao Z, Sitaras N, et al. Understanding
retinopathy of prematurity: Update on pathogenesis. Neonatol. 2011;100:343-53
16. Hartnett ME, Penn JS. Mechanisms and management of retinopathy of prematurity.
NEJM. 2012;367:2515-26
17. Lukitasari A. Retinopati pada Prematuritas. JKSK. 2012;12(2).
18. Shah KP, Prabhu V, Karandikar SS, et al, Retinopathy of prematurity: Past, present and
future. 2016; 5(1): 35–46.
19. Subardjo, SU. 2012. Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta : Badan Ilmu Kesehatan
Mata,Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.
20. Ilyas, S. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
21. Budiono S, dkk. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Mata. Surabaya : Airlangga University
Press.
22. Fredrick DR. Subjek Khusus yang Berkaitan dengan Pediatri. Dalam: Oftalmologi
Umum Vaughan & Ashbury edisi 17. 2010. 355-63.
21