Anda di halaman 1dari 9

Catatan:

Kota-kota tua di Indonesia mengenal pengelompokan hunian atas


dasar profesi (sebagai ciri “pre-industrial city”). Pengelompokan
seperti ini tidak bisa disebut segregasi, karena bukan berdasarkan
paksaan dari penguasa kota, melainkan pengaturan secara alami di
sebuah kota.
Contoh, di kota Solo terdapat kampung-kampung:
▪ Laweyan, kampung pengrajin batik (lawé = benang tenun)
▪ Kemasan, kampung pengrajin perhiasan emas
▪ Sratèn, kampung pawang gajah (srati = pawang gajah)
▪ Gondorasan, kampung tukang masak keraton (Gondoroso =
dapur keraton)
▪ Bromantakan, kampung prajurit keraton Bromantoko
▪ dll.
Kampung Laweyan, Solo

Laweyan
Segregasi hunian masa kini:
▪ Terbentuknya “kelompok hunian orang kaya” yang terpisah dari
“kelompok hunian orang miskin” akibat ulah pengembang yang
cenderung membangun kawasan hunian eksklusif. Dalam
perkembangannya, terbentuk kantong-kantong hunian yang
dibatasi tembok (walled community atau gated community).
▪ Sudah mulai terbentuk hunian eksklusif berdasarkan pemeluk
agama tertentu. Ini adalah gejala yang tidak sehat, mengingat
bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, bahasa, dan
agama.

*) Tentang walled community / gated community akan dibahas tersendiri


Ghetto
Ghetto adalah kantong permukiman minoritas di suatu kota, yang
terbentuk atas dasar tekanan sosial, legal, atau ekonomi.
Sejarah Ghetto (origin: Geto), di Venezia, Italia, tahun 1516 s/d 1797
sebagai tempat bermukim warga Yahudi, mereka tidak diperbolehkan keluar
dari tembok batas yang ada.

Geto, Venezia
American Ghetto
Refugee Camp @Suruc, Perbatasan Turki dan Syria

Anda mungkin juga menyukai