Anda di halaman 1dari 142

LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 

1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
HARGA DIRI RENDAH

ANGGUN JULIA SYAFITRI


P1337420920019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
1. Definisi Harga Diri Rendah
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga
dan tidak dapat bertanggungjawab pada kehidupannya sendiri Faktor yang
mempegaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang
tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai
tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yag
tidak realistis. Sedangkan stresor pencetus mungkin ditimbulkan dari sumber
internal dan eksternal seperti: Trauma seperti penganiayaan seksual dan
psikologis atau menyaksikan kejadian yang mengancam. (Yoedhas, 2010)
dalam Muslina, 2015.
Gangguan harga diri adalah keadaan ketika individu mengalami atau
beresiko mengalami evaluasi diri yang negatif tentang kemampuan atau diri.
(Carpenito, Lynda Juall-Moyet, 2007) dalam Muslina 2018
Sedangkan menurut (Depkes RI, 2000) dalam Nurarif & Hardhi, 2015
Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk
kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya,
pesimis, tidak ada harapan dan putus asa.

2. Etiologi
a. Faktor predisposisi
1. Penolakan orang tua
2. Harapan orang tua yang tidak realistis
3. Kegagalan yang berulang kali
4. Kurang mempunyai tanggung jawab personal
5. Ketergantungan kepada orang lain
6. Ideal diri tidak realistis
b. Faktor presipitasi
1. Citra tubuh yang tidak sesuai
2. Keluhan fisik
3. Ketegangan peran yang dirasakan
4. Perasaan tidak mampu
5. Penolakan terhadap kemampuan personal
6. Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri (Muslina, 2015)

3. Macam – macam Harga Diri Rendah


a. Situasional
Harga diri rendah situasional dalam Wilkinson, Ahern (2009)
didefinisikan sebagai suatu perkembangan persepsi negatif terhadap
harga diri individu sebagai respon terhadap situasi tertentu misalnya
akibat menderita suatu penyakit, kondisi ini dapat disebabkan akibat
adanya gangguan citra tubuh, kegagalan dan penolakan, perasaan
kurang penghargaan, proses kehilangan, dan perubahan pada peran
sosial yang dimiliki.
b. Kronik
Menurut Fitria (2012) menyatakan bahwa gangguan konsep diri:
harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung sejak lama
yang dirasakan pasien sebelum sakit atau sebelum dirawat.
Sedangkan menurut Nurarif dan Hardhi (2015) harga diri rendah
kronis merupakan evaluasi diri/ perasaan negatif tentang diri sendiri
atau kemampuan diri yang berlangsung lama

4. Rentang Respon Harga Diri Rendah

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi diri Konsep diri Harga diri Keracunan Depersona lisasi


rendah identitas

a. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapinya.

1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang


positif dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses
dan dapat diterima
2) Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai
pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri dan
menyadari hal-hal positif maupun yang negatif dari dirinya.
(Prabowo, 2014)
b. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu ketika dia
tidak mampu lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi.
1) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk
menilai dirinya yang negatif dan merasa lebih rendah dari
orang lain.
2) Keracunan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas
sehingga tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
3) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu
mempunyai kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu
berhubungan dengan orang lain secara intim. Tidak ada rasa
percaya diri atau tidak dapat membina hubungan baik dengan
orang lain.(Prabowo, 2014)

5. Tanda Gejala
Menurut Carpenito dalam keliat (2011) perilaku yang berhubungan dengan
harga diri rendah antara lain :
a. Mengkritik diri sendiri

b. Menarik diri dari hubungan sosial

c. Pandangan hidup yang pesimis

d. Perasaan lemah dan takut


e. Penolakan terhadap kemampuan diri sendiri

f. Pengurangan diri/mengejek diri sendiri

g. Hidup yang berpolarisasi

h. Ketidakmampuan menentukan tujuan

i. Merasionalisasi penolakan

j. Ekspresi wajah malu dan rasa bersalah

k. Menunjukkan tanda depresi ( sukar tidur dan sukar makan )

Sedangkan menurut Stuart & Sundeen (2006) tanda- tanda klien


dengan harga diri rendah yaitu :
a. Perasaan malu terhadap diri sendiri adalah akibat penyakit dan
akibat tindakan terhadap penyakit
b. Rasa bersalah terhadap diri sendiri

c. Merendahkan martabat

d. Gangguan hubungan sosial seperti menarik diri

e. Percaya diri kurang

f. Menciderai diri

6. Penatalaksanaan
Menurut Muslina, 2015 penatalaksaan yang dapat dilakukan pada
gangguan harga diri rendah, diantaranya :
1) Psikofarmaka
(1) Chlorpromazine ( CPZ ): 3 x100 mg
a) Indikasi
Untuk sindrom psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial
dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi
mental : waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang
aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari-hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dam
melakukan kegiatan rutin.
b) Cara kerja
Memblokade dopamine pada reseptor pasca sinap di otak
khususnya sistem ekstra piramidal.
c) Kontra indikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris,
ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran yang
disebabkan CNS Depresi.
d) Efek samping
(1) Sedasi
(2) Gangguan otonomik (hypotensi, antikolinergik / parasimpatik,
mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung).
(3) Gangguan ekstra piramidal (distonia akut, akatshia, sindrom
parkinsontremor, bradikinesia rigiditas).
(4) Gangguan endokrin (amenorhoe, ginekomasti).
(5) Metabolik (Jaundice)
(6) Hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka
pan
(2) Halloperidol ( HP ): 3 x 5 mg
a) Indikasi
Penatalasanaan psikosis kronik dan akut, gejala demensia pada
lansia, pengendalian hiperaktivitas dan masalah perilaku berat
pada anak-anak.
b) Cara kerja
Halloperidol merupakan derifat butirofenon yang bekerja
sebagai antipsikosis kuat dan efektif untuk fase mania,
penyebab maniak depresif, skizofrenia dan sindrom paranoid.
Di samping itu halloperidol juga mempunyai daya anti emetik
yaitu dengan menghambat sistem dopamine dan hipotalamus.
Pada pemberian oral halloperidol diserap kurang lebih 60–70%,
kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-6 jam dan
menetap 2-4 jam. Halloperidol ditimbun dalam hati dan
ekskresi berlangsung lambat, sebagian besar diekskresikan
bersama urine dan sebagian kecil melalui empedu.
c) Kontra indikasi
Parkinsonisme, depresi endogen tanpa agitasi, penderita yang
hipersensitif terhadap halloperidol, dan keadaan koma.
d) Efek samping
Pemberian dosis tinggi terutama pada usia muda dapat terjadi
reaksi ekstapiramidal seperti hipertonia otot atau gemetar.
Kadang-kadang terjadi gangguan percernaan dan perubahan
hematologik ringan, akatsia, dystosia, takikardi, hipertensi,
EKG berubah, hipotensi ortostatik, gangguan fungsi hati, reaksi
alergi, pusing, mengantuk, depresi, oedem, retensio urine,
hiperpireksia, gangguan akomodasi.
(3) Trihexypenidil ( THP ) : 3 x 2 mg
a) Indikasi
Semua bentuk parkinson (terapi penunjang), gejala ekstra
piramidal berkaitan dengan obat-obatan antipsikotik.
b) Cara kerja
Kerja obat-obat ini ditujukan untuk pemulihan keseimbangan
kedua neurotransmiter mayor secara alamiah yang terdapat di
susunan saraf pusat asetilkolin dan dopamin,
ketidakseimbangan defisiensi dopamin dan kelebihan
asetilkolamin dalam korpus striatum. Reseptor asetilkolin
disekat pada sinaps untuk mengurangi efek kolinergik
berlebih.
c) Kontra indikasi
Hipersensitivitas terhadap obat ini atau antikolonergik lain,
glaukoma, ulkus peptik stenosis, hipertrofi prostat atau
obstruksi leher kandung kemih, anak di bawah 3 tahun, kolitis
ulseratif.
d) Efek samping
Pada susunan saraf pusat seperti mengantuk, pusing,
penglihatan kabur, disorientasi, konfusi, hilang memori,
kegugupan, delirium, kelemahan, amnesia, sakit kepala. Pada
kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, hipertensi,
takikardi, palpitasi. Pada kulit seperti ruam kulit, urtikaria,
dermatitis lain. Pada gastrointestinal seperti mulut kering,
mual, muntah, distres epigastrik, konstipasi, dilatasi kolon,
ileus paralitik, parotitis supuratif. Pada perkemihan seperti
retensi urine, hestitansi urine, disuria, kesulitan mencapai atau
mempertahankan ereksi. Pada psikologis seperti depresi,
delusu, halusinasi, dan paranoid.
2) Psikoterapi
Therapy kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya
supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia
dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk
mengadakan permainan atau latihan bersama. (Maramis,2005)
dalam Muslina 2015.
3) Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang
dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan
pada skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral
atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik. (Maramis,
2005) dalam Muslina, 2015.
4) Therapy Modalitas
Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana pengobatan untuk
skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan klien.
Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri
sendiri dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal. Therapi
kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana dan
masalah dalam hubungan kehidupan yang nyata.
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok
stimulasi sensori, therapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan
therapy aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat dan Akemat,2005)
dalam Muslina, 2015. Dari empat jenis therapy aktivitas kelompok
diatas yang paling relevan dilakukan pada individu dengan
gangguan konsep diri harga diri rendah adalah therapyaktivitas
kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK)
stimulasi persepsi adalah therapy yang mengunakan aktivitas
sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan
untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dapat
berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.
(Keliat dan Akemat,2005) dalam Muslina 2015.

7. Pohon Masalah
Menurut (Yosep, 2014) pohon masalah pasien harga diri rendah yaitu :
8. Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji
Data Subjektif
a) Klien mengatakan ingin diakui jati dirinya.
b) Klien mengatakan tidak ada lagi yang peduli dengannya.
c) Klien mengatakan tidak bisa apa-apa.
d) Klien mengatakan dirinya tidak berguna.
e) Klien mengkritik dirinya sendiri.
f) Klien mengatakan enggan berbicara duluan dengan orang lain.
Data Objektif
a) Merusak diri sendiri
b) Menarik diri dari hubungan sosial
c) Tampak mudah tersinggung
d) Suara pelan dan tidak jelas.
e) Kurang energy
f) Kurang spontan
g) Apatis (Acuh terhadap lingkungan) (Muslina, 2015).

9. Diagnosa Keperawatan
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan koping
individu tidak efektif.

10. Rencana Tindakan Keperawatan

Tgl No Dx Perencanaan
Dx keperawaatan Tujuan Kreteria Evaluasi Intervensi
Gangguan TUM: 1. Klien menunjukan 1.1 Membina hubungan
konsep diri: Klien memiliki ekspresi wajah saling percaya
harga diri konsep diri yang bersahabat, dengan menggunakan
rendah positif menunjukan rasa prinsip komunikasi
TUK: senang, ada terapeutik :
1. Klien dapat kontak mata, mau - Sapa klien dengan
membina berjabat tangan, ramah baik verbal
hubungan saling mau menyebutkan maupun non
percaya dengan nama, mau verbal.
perawat menjawab salam, - Perkenalkan diri
klien mau duduk dengan sopan.
berdampingan - Tanyakan nama
dengan perawat, lengkap dan nama
mau panggilan yang
mengutarakan disukai klien.
masalah yang - Jelaskan tujuan
dihadapi pertemuan
- Jujur dan menepati
janji
- Tunjukan sikap
empati dan
menerima klien
apa adanya.
- Beri perhatian dan
perhatikan
kebutuhan dasar
klien.

2.  Klien dapat 2.  Klien 2.1 Diskusikan dengan


mengdentifi menyebutkan: klien tentang:
kasi aspek -   Aspek positif dan - Aspek positif
positif dan kemampuan yang yang dimiliki
kemampuan dimiliki klien klien, keluarga,
yang -   Aspek positif lingkungan.
dimiliki keluarga - Kemampuan
-   Aspek positif yang dimiliki
lingkungan klien klien.
2.2  Bersama klien buat
daftar tentang:
- Aspek positif
klien, keluarga,
lingkungan
- Kemampuan
yang dimiliki
klien
2.3  Beri pujian yang
realistis, hindarkan
memberi penilaian
negatif.
3.  Klien dapat 3. Klien mampu 2.4  Diskusikan dengan
menilai menyebutkan klien kemampuan yang
kemampuan kemampuan yang dapat dilaksanakan
yang dapat 2.5  Diskusikan
dimiliki dilaksanakan. kemampuan yang dapat
untuk dilanjutkan
dilaksanakan pelaksanaanya.
4.  Klien dapat 4. Klien mampu 4.1  Rencanakan bersama
merencanak membuat rencana klien aktivitas yang dapat
an kegiatan kegiatan harian dilakukan klien sesuai
sesuai dengan kemampuan
dengan klien:
kemampuan - Kegiatan mandiri
yang - Kegiatan dengan
dimiliki bantuan
4.2  Tingkatkan kegiatan
sesuai kondisi klien.
4.3  Beri contoh cara
pelaksanaan kegiatan
yang dapat klien lakukan.
5. Klien dapat 5. Klien dapat 5.1  Anjurkan klien untuk
melakukan melakukan melaksanakan kegiatan
kegiatan kegiatan sesuai yang telah direncanakan.
sesuai jadwal yang 5.2  Pantau kegiatan yang
rencana dibuat. dilaksanakan klien.
yang dibuat. 5.3  Beri pujian atas
usaha yang dilakukan
klien.
5.4  Diskusikan
kemungkinan
pelaksanaan kegiatan
setelah pulang.
6.   Klien dapat 6. Klien mampu 6.1  Beri pendidikan
memanfaat memanfaatkan kesehatan kepada
kan sistem sistem pendukung keluarga tentang cara
pendukung yang ada merawar klien dengan
yang ada dikeluarga harga diri rendah.
6.2  Bantu keluarga
memberikan dukungan
selama klien dirawat.
6.3  Bantu klien
menyiapkan lingkungan
dirumah. (Muslina, 2015)
Lampiran
A. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (Sp)
No Diagnosis Keperawatan Tindakan Keperawatan
1 Harga Diri Rendah  Pengkajian HDR
 Identifikasi kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki klien (buat daftar kegiatan)
 Bantu klien menilai kemampuan yang masih
dapat digunakan
 Bantu klien memilih kegiatan yang akan
dilatih saat ini sesuai dengan kemaampuan
 Latih sesuai dengan kemampuan yang klien
pilih (alat dan cara melakukannya)
 Beri pujian yang wajar terhadap
keberhasilannya
 Anjurkan klien memasukkan kegiatan
kedalam jadwal kegiatan harian

1. Orientasi

a. Salam Terapeutik

“Selamat pagi Bu, saya Wardatul Ghivara, saya mahasiswa Akper


RUSTIDA Banyuwangi yang sedang praktek dirumag sakit ini”,
“Ibu bisa panggil saya suster warda”. ”Nama ibu siapa?”. “ ”
“Ibu lebih senang dipanggil siapa?”“o o o ibu siti”. “saya akan
menemani ibu selama 2 minggu, jadi kalau ada yang mengganggu
pikiran ibu bisa bilang ke saya, siapa tahu saya bisa bantu”
b. Evaluasi/Validasi

“Bagaimana perasaan ibu saat ini? o o o begitu”

“Coba ceritakan pada saya, apa yang dirasakan dirumah, hingga


dibawah ke RSJ”
Kontrak

1) Topik

“ Maukah ibu bsiti bercakap – cakap dengan kemampuan yang


dimiliki serta hobi yang sering dilakukan dirumah”
2) Tempat

“Ibu Sti lebih suka bercakap – cakap dimana?, o o o ditaman,


baiklah”
3) Waktu

“kita mau becakap – cakap berapa lama?, Bagaimana kalau 10


menit saja”
2. Kerja

“Kegiatan apa saja yang sering ibu siti lakukan dirumah?”.........

“memasak, mencuci pakaian, bagus itu bu”. “Terus kegiatan apalagi


yang ibu lakukan?”. “kalau tidak salah ibu juga senang menyulam
ya?”, wah bagus sekali!
“Bagaimana kalau ibu siti menceritakan kelebihan lain/kemampuan
lain yang dimiliki?” kemudian apa lagi.
“Bagaimana dengan keluarga ibu siti, apakah mereka menyenangi apa
yang ibu lakukan selama ini, atau apakah mereka sering mengejek
hasil kerja ibu?”
3. Terminasi

a. Evaluasi subyektif

“Bagaimana perasaan ibu siti selama kita bercakap – cakap?”,


“Senang terima kasih”
b. Evaluasi Obyektif
“Tolong ibu siti ceritakan kembali kemampuan dan kegiatan yang
sering ibu lakukan? ........ Bagus”, “terus bagaimana tanggapan
keluarga ibu terhadap kemampuan dan kegiatan yang ibu lakukan?”.
c. Rencana Tindak Lanjut
“baiklah Bu siti, nanti ibu ingat ingat ya, kemampuan ibu yang lain dan belum sempat
ibu ceritakan kepada saya?”, “besok bisa kita bicara lagi”.
d. Kontrak

1) Topik

“Bagaimana kalau besok kita bicarakan kembali kegiatan

/kemampuan yang dapat ibu siti lakukan di rumah dan di RSJ”

2) Tempat

“Tempatnya mau dimana Bu? ”

3) Waktu

“Berapa lama kita akan bercakap – cakap?”. “Bagaimana kalau


15 menit”
“Setuju!”

“Sampai bertemu lagi besok ya, Bu siti”


DAFTAR PUSTAKA

Keliat, C. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Yogyakarta:


EGC
Nurarif, A.H. & Hardhi, K. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta:
EGC.
Muslina. 2015.
Wilkinson A. 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Buku Kedokteran
: EGC
Fitria, N. 2012. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan & Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP &
SP). Jakarta: Salemba Medika
Prabowo, Eko. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta : Nuhamedika
Stuard & Sundeen. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Yosep, H I dan Sutini, T. 2014. Buku ajar keperawatan jiwa. Bandung: P
Jiwa. Jakarta : EGC.
Yosep, H I dan Sutini, T. 2014. Buku ajar keperawatan jiwa. Bandung: PT
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
ISOLASI SOSIAL

ANGGUN JULIA SYAFITRI


P1337420920019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
1. Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya
(Damaiyanti, 2012 dalam Silvia Arizka, 2020). Klien mungkin merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain (Keliat, 2011 dalam Silvia Arizka, 2020). Isolasi sosial juga
merupakan kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat didorong oleh
keberadaan orang lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam (NANDA-I
dalam Damaiyanti, 2012 dalam Silvia Arizka, 2020).
Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat
adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DepKes, 2000 dalam
Direja, 2011 dalam Silvia Arizka, 2020). Isolasi sosial merupakan upaya Klien
untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan
orang lain maupun komunikasi dengan orang lain (Trimelia, 2011 dalam Silvia
Arizka, 2020).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan keaadaan
seseorang yang mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain karena mungkin merasa ditolak, kesepian dan
tidak mampu menjalin hubungan yang baik antar sesama (Silvia Arizka, 2020).

2. Etiologi
Terjadinya Gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi di
antaranya perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan
individu tidak percaya pada diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut
salah, pesimis, putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan
keinginan, dan merasa tertekan. Kedaan ini menimbulkan perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain, lebih suka berdiam diri, menghindar dari
orang lain, dan kegiatan sehari-hari (Direja, 2011 dalam Silvia Arizka, 2020).
a. Faktor Predisposisi
Menurut Direja (2011) dalam Silvia Arizka (2020), faktor predisposisi
yang mempengaruhi masalah isolasi sosial yaitu:
1) Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang
harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas-
tugas dalam setiap perkembangan tidak terpenuhi maka akan menghambat fase
perkembangan sosial selanjutnya.

Tabel 1
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan Interpesonal
Tahap Tugas
Perkembangan
Menetapkan rasa percaya.
Masa Bayi
Mengambangkan otonomi dan awal perilaku
Masa Bermain mandiri.
Belajar menunjukan inisiatif , rasa tanggung
Masa Pra Sekolah jawab, dan hati nurani.
Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
Masa Sekolah berkompromi.
Menjalin hubungan intim dengan teman sesama
Masa Pra Remaja jenis kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
Masa Remaja bergantung.
Menjadi saling bergantung antara orang tua dan
Masa Dewasa
teman, mencari pasangan, menikah dan mempunyai
Muda
anak.
Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah
Masa Tengah Baya dilalui.
Berduka karena kehilangan dan mengembangkan
Masa Dewasa Tua perasaan keterikatan dengan budaya.
Sumber: Direja (2011) dalam Silvia Arizka (2020)
Menurut Yosep (2009) dalam Silvia Arizka (2020), hidup manusia
dibagi menjadi 7 masa dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya
gangguan jiwa.
2) Masa Bayi
Masa bayi adalah menjelang usia 2-3 tahun, dasar perkembangan
yang dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini
timbul dua masalah yang penting yaitu:
a) Cara mengasuh bayi
Cinta dan kasih sayang ibu akan memberikan rasa hangat/aman bagi bayi
dan di kemudian hari menyebabkan kepribadian yang hangat, terbuka dan
bersahabat. Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan
menolak di kemudian hari akan berkembang kepribadian yang bersifat
menolak dan menentang terhadap lingkungan.
b) Cara memberi makan
Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberikan rasa
aman dan dilindungi, sebaliknya,pemberian yang kaku, keras, dan tergesa-
gesa akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan.
3) Masa Anak Prasekolah
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan tumbuh disiplin dan otoritas.
Hal-hal yang penting pada fase ini adalah:
a) Hubungan orangtua-anak
b) Perlindungan yang berlebihan
c) Otoritas dan disiplin
d) Perkembangan seksual
e) Agresi dan cara permusuhan
f) Hubungan kakak-adik
g) Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan
4) Masa Anak Sekolah
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmani dan intelektual yang pesat. Pada
masa ini anak akan mulai memperluas pergaulan, keluar dari batas-batas
keluarga. Masalah- masalah penting yang timbul adalah:
a) Perkembangan jasmani
b) Penyesuaian diri di sekolah dan sosialisasi
5) Masa Remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahn-perubahan yang penting
yaitu timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri kewanitaan atau kelaki-lakian).
Secara kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan yang hebat. Pada masa ini,
seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di satu pihak ia
merasa sudah dewasa, sedangkan di pihak lain belum sanggup dan belum
ingin menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya.
6) Masa Dewasa Muda
Seseorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan bahagia
akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan umumnya ia akan
berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan pada masa ini. Bila mengalami masalah
pada masa ini mungkin akan mengalami gangguan-gangguan jiwa.
7) Masa Dewasa Tua
Sebagai patokan, pada masa ini dicapai apabila status pekerjaan dan sosial
seseorang sudah mantap. Masalah-masalah yang mungkin timbul adalah:
a) Menurunnya keadaan jasmani
b) Perubahan susunan keluarga
c) Terbatasnya kemungkinan perubahan-perubahan yang baru dalam
bidang pekerjaan atau perbaiki kesalahan yang lalu.
8) Masa Tua
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan pada masa ini yaitu
berkurangnya daya tangkap, daya ingat, berkurangnya daya belajar,
kemampuan jasmani dan kemampuan sosial ekonomi menimbulkan rasa
cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah pahaman
orangtua terhadap orang sekitarnya. Perasaan terasingkan karena kehilangan
teman sebaya, keterbatasan gerak, dapat menimbulkan kesulitan emosional
yang cukup berat.
2) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung untuk terjadinya gangguan hubungan sosial, seperti adanya
komunikasi yang tidak jelas (double bind) yaitu suatu keadaan dimana
individu menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu
bersamaan, dan ekspresi emosi yang tinggi di setiap berkomunikasi.
3) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial
merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan
sosial. Hal ini disebabkan oleh norma- norma yang salah dianut oleh
keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti
lanjut usia, berpenyakitan kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari
lingkungan sosial.
4) Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh
yang jelas mempengaruhi adalah otak. Klien skizofrenia yang mengalami
masalah dalam hubungan sosial terdapat struktur yang abnormal pada otak,
seperti atropi otak, perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan
kortikal (Sutejo, 2017 dalam Silvia Arizka, 2020). Klien yang mengalami
gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama susunan dan
struktur syaraf pusat, biasanya klien dengan skizofrenia mengalami
pembesaran ventrikel ke-3 sebeah kirinya. Ciri lainnya yaitu memiliki
lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata orang normal (Yosep, 2009
dalam Silvia Arizka, 2020).
Menurut Candel dalam Yosep (2009) dalam Silvia Arizka (2020),
pada Klienskizofrenia memiliki lesi pada area Wernick’s dan area Brocha
biasanya disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam proses bicara.
Adanya hiperaktivitas Dopamine pada Kliendengan gangguan jiwa
seringkali menimbulkan gejala skizofrenia. Menurut hasil penelitian,
Neurotransmitter tertentu seperti Norepinephrine pada Klien dengan
gangguan jiwa memegang peranan dalam proses learning, memory
reinforcement, siklus tidur dan bangun, kecemasan, pengaturan aliran
darah dan metabolisme.
Menurut Singgih dalam Yosep (2009) dalam Silvia Arizka (2020),
gangguan mental dan emosi juga bisa disebabkan oleh perkembangan
jaringan otak yang tidak cocok (Aphasia). Kadang-kadang seseorang
dilahirkan dengan perkembangan cortex cerebry yang kurang sekali, atau
disebut sebagai otak yang rudimenter. Contoh gangguan tersebut terlihat
pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya tempurung otak. Adanya
trauma pada waktu kelahiran, tumor, infeksi otak seperti Enchepahlitis
Letargica, gangguan kelenjer endokrin seperti tiroid, keracunan CO
(Carbon Monocide) serta perubahan-perubahan karena degenerasi yang
mempergaruhi sistem persyarafan pusat (Yosep, 2009 dalam Silvia
Arizka, 2020).
b. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) dalam Silvia Arizka (2020),
terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat
dikelompokan sebagai berikut:
1) Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan
faktor keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan
berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya
karena dirawat dirumah sakit.
2) Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan
untuk berpisah dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan
kecemasan tingkat tinggi.

3. Patopsikologi
Menurut Stuart and Sundeen (2007) dalam Ernawati (2009) dalam Silvia
Arizka, (2020). Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku
menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga,
yang bisa di alami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan,
ketegangan, kekecewan, dan kecemasan.

Perasaan tidak berharga menyebabkan klien semakin sulit dalam


mengembangkan hubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi
atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan kurangnya perhatian
terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam dalam
perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku primitive antara lain
pembicaraan yang austistic dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi (Ernawati, 2009 dalam Silvia Arizka,
2020).

Proses Terjadinya Masalah Isolasi Sosial


Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau
dari interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum
yang terbentang antara respon adaptif dengan maladaptive sebagai
berikut:

Adaptif Maladaptif

Manipulasi,
Menyendiri, Otonomi, Kesepian, menarik
impulsif,
kebersamaan, saling diri,
narsisme
ketergantungan ketergantungan

Skema 2.1 Rentang respon isolasi sosial(sumber: Sutejo, 2017 dalam Silvia
Arizka, 2020)

a. Respon Adaptif
Menurut Sutejo (2017) dalam Silvia Arizka (2020),respon adaptif adalah
respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayan
secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam
batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang
termasuk respon adaptif:
1) Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
2) Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
3) Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal
yang saling membutuhkan satu sama lain.
4) Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling
ketergantungan antara individu dengan orang lain
b. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) dalam Silvia Arizka (2020), respon maladaptif
adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di suatu
tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon maladaptif:
1) Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri
sendiri.
2) Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu
sebagai subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan tidak
mampu melakukan penilaian secara objektif.
3) Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan mudah
marah.

4. Pohon Masalah Isolasi Sosial


Daftar masalah isolasi sosial menurut Sutejo, 2017 dalam Silvia Arizka (2020),
adalah:
a) Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
b) Isolasi Sosial
c) Gangguan konsep diri: Harga diri rendah

5. Manifestasi Klinis

Menurut Yosep (2009) dalam Silvia Arizka (2020), tanda dan


gejala klien isolasi sosial bisa dilihat dari dua cara yaitu secara objektif dan
subjektif. Berikut ini tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial:
a. Gejala subjektif
1. Klienmenceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang
lain.
2. Klienmerasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klienmengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Klienmerasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Klientidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klienmerasa tidak berguna.
b. Gejala objektif
1. Klienbanyak diam dan tidak mau bicara.
2. Tidak mengikuti kegiatan.
3. Klienberdiam diri di kamar.
4. Klienmenyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat.
5. Klientampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Mengisolasi diri
11. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
12. Aktivitas menurun.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya
rendah, segera timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang
lain. Bila tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan
menyebabkan perubahan persepsi sensori: halusinasi dan resiko
mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan (Herman Ade, 2011
dalam Silvia Arizka, 2020).

6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam
dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan adalah proyeksi,
splitting (memisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang
tidak mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang
lain karena kesalahan sendiri. Splitting merupakan kegagalan individu
dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk.
Sementara itu, isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang lain
maupun lingkungan (Sutejo, 2017 dalam Silvia Arizka, 2020).
7. Komplikasi
Kliendengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan
tingkah laku masa lalu primitif antara lain pembicaraan yang austistik
dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga
berakibat lanjut menjadi resiko gangguan sensosi persepsi: halusinasi,
mencederai diri sendri, orang lain serta lingkungan dan penurunan
aktifitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri
(Damaiyanti, 2012)

8. Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada kliendengan isolasi
sosial antara lain pendekatan farmakologi, psikososial, terapi aktivitas,
terapi okupasi, rehabilitasi, dan program intervensi keluarga (Yusuf,
2019).
a. Terapi Farmakologi
1) Chlorpromazine (CPZ)
Indikasi: Untuk Syndrome Psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai
norma sosial dan titik diri terganggu. Berdaya berat dalam fungsi-
fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku
yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari- hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin.
Efek samping: sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defikasi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung), gangguan endokrin, metabolik, biasanya
untuk pemakaian jangka panjang.
2) Haloperidol (HLP)
Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam
fungsi netral serta dalam kehidupan sehari-hari. Efek samping:
Sedasi dan inhibisi prikomotor, gangguan otonomik.
3) Trihexy Phenidyl (THP)
Indikasi: Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk paksa
ersepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson, akibat obat misalnya
reserpine dan fenotiazine. Efek samping: Sedasi dan inhibisi
psikomotor gangguan otonomik.
b. Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian
penting dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi:
memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang
terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi
pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap
ramah, sopan, dan jujur kepada pasien (Videbeck, 2012 dalam Silvia
Arizka, 2020).
c. Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan
pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan
perilaku-perilakunya. Terapi ini meliputi hubungan satu-satu antara ahli
terapi dan klien(Videbeck, 2012 dalam Silvia Arizka, 2020). Terapi
individu juga merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan secara
individu oleh perawat kepada kliensecara tatap muka perawat-klien
dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai (Zakiyah, 2018 dalam Silvia Arizka, 2020).
Salah satu bentuk terapi individu yang bisa diberikan oleh perawat
kepada klien dengan isolasi sosial adalah pemberian strategi pelasanaan
(SP). Dalam pemberian strategi pelaksanaan klien dengan isolasi sosial
hal yang paling penting perawat lakukan adalah berkomunikasi dengan
teknik terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi
interpersonal antara perawat dank klien, yang selama interaksi
berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus klien untuk
meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan
Klien (Videbeck, 2012 dalam Silvia Arizka, 2020).
Semakin baik komunikasi perawat, maka semakin bekualitas pula
asuhan keperawatan yang diberikan kepadaklien karena komunikasi
yang baik dapat membina hubungan saling percaya antara perawat
dengan klien, perawat yang memiliki keterampilan dalam
berkomunikasi secara terapeutik tidak saja mudah menjalin hubungan
saling percaya dengan klien, tapi juga dapat menumbuhkan sikap
empati dan caring, mencegah terjadi masalah lainnya, memberikan
kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan serta memudahan
dalam mencapai tujuan intevensi keperawatan (Sarfika, 2018).
d. Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Keliat (2015) dalam Silvia Arizka, 2020, terapi aktivitas
kelompok sosialisasi merupakan suatu rangkaian kegiatan kelompok
dimana klien dengan masalah isolasi sosial akan dibantu untuk
melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitarnya.
Sosialissai dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal,
kelompok, dan massa). Aktivitas yang dilakukan berupa latihan
sosialisasi dalam kelompok, dan akan dilakukan dalam 7 sesi dengan
tujuan:
Sesi 1 : Klien mampu memperkenalkan diri
Sesi 2 : Klienmampu berkenalan dengan anggota kelompok
Sesi 3 : Klienmampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
Sesi 4: Klienmampu menyampaikan dan membicarakan topik
percakapan
Sesi 5 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan masalah
pribadi
pada
orang lain
Sesi 6 : Klienmampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi
kelompok
Sesi 7: Klienmampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat
kegiatan TAKS yang telah dilakukan.

e. Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan
partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau tugas yang
sengaja dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat,
meningkatkan harga diri seseorang, dan penyesuaian diri dengan
lingkungan. Contoh terapi okupasi yang dapat dilakukan di rumah sakit
adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi, dan terapi membuat kerajinan
tangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien dalam
keterampilan dan bersosialisasi (Elisia, 2014 dalam Silvia Arizka,
2020).
f. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga
banyak manfaat. Misalnya angkat rawat inap pada klien skizofrenia
yang mengikuti kegiatan keagamaaan lebih rendah bila dibandingan
dengan mereka yang tidak mengikutinya (Dadang, 1999 dalam Yosep
2009 dalam Silvia Arizka, 2020). Menurut Zakiah Darajat, perasaan
berdosa merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan
dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini diakibatkan karena
seseorang merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan
tersebut (Yosep, 2009 dalam Silvia Arizka, 2020).
Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut Yosep
(2009) dalam Silvia Arizka, 2020, meliputi:
1) Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang
agamanya/ kolaborasi dengan agamawan atau rohaniawan.
2) Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya
tetapi menggali sumber koping.
3) Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat,
fasilitas ibadah, buku- buku, music/lagu keagamaan.
4) Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama
untuk pasien rehabilitasi.
5) Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat
hidup didunia, dan sebagainya.
Untuk klien dengan isolasi sosial terapi psikoreligius dapat
bermanfaat dari aspek auto- sugesti yang dimana dalam setiap
kegiatan religius seperti sholat, dzkir, dan berdoa berisi ucapan-
ucapan baik yang dapat memberi sugesti positif kepada diri klien
sehingga muncul rasa tenang dan yakin terhadap diri sendiri
(Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut Djamaludin Ancok
(1989) dan Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009) aspek
kebersamaan dalam shalat berjamaah juga mempunyai nilai
terapeutik, dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir,
terpencil dan tidak diterima.
g. Rehabilitasi
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit
yang dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan,
antaranya terapi okupasional yang meliputi kegiatan membuat kerajinan
tangan, melukis, menyanyi, dan lain-lain. Pada umumnya program
rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan (Yusuf, 2019 dalam Silvia
Arizka, 2020).
h. Program Intervensi Keluarga
Intervensi keluarga memiliki banyak variasi, namun pada
umumnya intervensi yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis dari
kehidupan sehari-hari, memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga
tentang isolasi sosial, mengajarkan bagaimana cara berhubungan yang
baik kepada anggota keluarga yang memiliki masalah kejiwaan (Yusuf,
2019 dalam Silvia Arizka, 2020).
2. Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial
Pengkajian Klien isolasi sosial dapat dilakukan melalui wawancara dan
observasi kepada klien dan keluarga (Hartono, 2010 dalam Silvia Arizka,
2020).
a. Pengkajian
1) Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
agama, pekerjaan, status mental, suku bangsa, alamat, nomor rekam
medis, ruang rawat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian,
diagnosis medis.Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien,
alamat.
2) Alasan Masuk
a) Apa penyebab klien datang ke RSJ?
b) Apa yang sudah dilakukan keluarga?
c) Bagaimana hasilnya?
3) Faktor Predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orangtua, harapan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok
sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan
dicerai suami, putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang
terjadi (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba) perlakuan
orang lain yang tidak menghargai Klien/perasaan negatif terhadap diri
sendiri yang berlangsung lama.
4) Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada hubungannya
dengan klien depresi berat didapatkan pada sistem integumen klien
tampak kotor, kulit lengket di karenakan kurang perhatian terhadap
perawatan dirinya bahkan gangguan aspek dan kondisi klien .
Psikososial Konsep Diri:
a) Gambaran Diri : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh
yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah
terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan
tubuh, persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian
tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus asaan,
mengungkapkan ketakutan.
b) Ideal Diri : Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya:
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
c) Harga Diri : Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah
terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan
martabat, mencederai diri, dan kurang percaya diri.
d) Penampilan Peran : Berubah atau berhenti fungsi peran yang
disebabkan penyakit, proses menua, putus sekolah, PHK.
e) Identitas Personal : Ketidak pastian memandang diri, sukar
menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan.
5) Hubungan Sosial
Klienmempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan
sosial dengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelompok yang
diikuti dalam masyarakat.
6) Spiritual
Nilai dan keyakinan klien, pandangan dan keyakian klien terhadapap
gangguan jiwa sesuai dengan norma dan agama yang dianut pandangan
masyarakat setempat tentang gangguan jiwa. Kegiatan ibadah : kegiatan
di rumah secara individu atau kelompok.
7) Status Mental
Kontak mata klien kurang/tidak dapat mepertahankan kontak mata,
kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang
mampu berhubungan dengan orang lain, adanya perasaan keputusasaan
dan kurang berharga dalam hidup.
a) Penampilan
Biasanya pada Klien menarik diriklien tidak terlalu memperhatikan
penampilan, biasanya penampilan tidak rapi, cara berpakaian tidak
seperti biasanya (tidak tepat).
b) Pembicaraan
Cara berpakaian biasanya di gambarkan dalam frekuensi, volume
dan karakteristik. Frekuansi merujuk pada kecepatan Klien berbicara
dan volume di ukur dengan berapa keras klien berbicara. Observasi
frekuensi cepat atau lambat, volume keras atau lambat, jumlah
sedikit, membisu, dan di tekan, karakteristik gagap atau kata-kata
bersambungan.
c) Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik klien. Tingkat aktifitas :
letargik, tegang, gelisah atau agitasi. Jenis aktifitas : seringai atau tremor.
Gerakan tubuh yang berlebihan mungkin ada hubunganya dengan ansietas,
mania atau penyalahgunaan stimulan. Gerakan motorik yang berulang atau
kompulsif bisa merupakan kelainan obsesif kompulsif.
d) Alam Perasaan
Alam perasaan merupakan laporan diri klien tentang status
emosional dan cerminan situasi kehidupan klien. Alam perasaan
dapat di evaluasi dengan menanyakan pertanyaan yang sederhana
dan tidak mengarah seperti “bagaimana perasaan anda hari ini”
apakah klien menjawab bahwa ia merasa sedih, takut, putus asa,
sangat gembira atau ansietas.
e) Afek
Afek adalah nada emosi yang kuat pada klien yang dapat di
observasi oleh perawat selama wawancara. Afek dapat di gambarkan
dalam istilah sebagai berikut : batasan, durasi, intensitas, dan
ketepatan. Afek yang labil sering terlihat pada mania, dan afek yang
datar,tidak selaras sering tampak pada skizofrenia.
f) Persepsi
Ada dua jenis utama masalah perseptual : halusinasi dan ilusi.
Halusinasi di definisikan sebagai kesan atau pengalaman sensori
yang salah. Ilusi adalah persepsi atau respon yang salah terhadap
stimulus sensori. Halusinasi perintah adalah yang menyuruh klien
melakukan sesuatu seperti membunuh dirinya sendiri, dan melukai
diri sendiri.
g) Interaksi Selama Wawancara
Interaksi menguraikan bagaimana klien berhubungan dengan perawat.
Apakah klien bersikap bermusuhan,tidak kooperatif, mudah tersinggung,
berhati-hati, apatis, defensive,curiga atau sedatif.

h) Proses Pikir
Proses pikir merujuk “ bagaimana” ekspresi diri klien proses diri klien
diobservasi melalui kemampuan berbicaranya. Pengkajian dilakukan lebih
pada pola atas bentuk verbalisasi dari pada isinya.
i) Isi Pikir
Isi pikir mengacu pada arti spesifik yang diekspresikan dalam komunikasi
klien. Merujuk pada apa yang dipikirkan klien walaupun klien mungkin
berbicara mengenai berbagai subjek selama wawancara, beberapa area isi
harus dicatat dalam pemeriksaan status mental. Mungkin bersifat
kompleks dan sering disembunyikan oleh klien.
j) Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan status mental secara rutin mengkaji orientasi klien terhadap
situasi terakhir. Berbagai istilah dapat digunakan untuk menguraikan
tingkat kesadaran klien seperti bingung, tersedasi atau stupor.
k) Memori
Pemeriksaan status mental dapat memberikan saringan yang cepat tehadap
masalah-masalah memori yang potensial tetapi bukan merupakan jawaban
definitif apakah terdapat kerusakan yang spesifik. Pengkajian neurologis
diperlukan untuk menguraikan sifat dan keparahan kerusakan memori.
Memori didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengingat pengalaman
lalu.
l) Tingkat Konsentrasi Dan Kalkulasi
Konsentrasi adalah kemampuan klien untuk memperhatikan selama
jalannya wawancara.Kalkulasi adalah kemampuan klien untuk
mengerjakan hitungan sederhana.
m) Penilaian
Penilaian melibatkan perbuatan keputusan yang konstruktif dan
adaptif termasuk kemampuan untuk mengerti fakta dan menarik
kesimpulan dari hubungan.

n) Daya Titik Diri


Penting bagi perawat untuk menetapkan apakahklien menerima atau
mengingkari penyakitnya.
8) Kebutuhan Persiapan Pulang
Pengkajian diarahkan pada klien dan keluarga klien tentang persiapan
keluarga, lingkungan dalam menerima kepulangan klien. Untuk
menjaga klien tidak kambuh kembali diperlukan adanya penjelasan atau
pemberian pengetahuan terhadap keluarga yang mendukung
pengobatan secara rutin dan teratur.

b. Daftar Masalah
Menurut Sutejo (2017) dalam Silvia Arizka, 2020, adapun daftar
masalah keperawatan pada klien dengan isolasi sosial sebagai berikut:
1. Resiko gangguan persepsi sensori : Halusinasi
2. Isolasi sosial
3. Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah
c. Diagnosa Keperawatan
Menurut Sutejo (2017) diagnosis keperawatan dirumuskan
berdasarkan tanda dan gejala isolasi sosial yang ditemukan. Jika hasil
pengkajian menunjukkan tanda dan gejala isolasi sosial, maka diagnosis
keperawatan yang ditegakkan adalah:
1) Isolasi sosial
2) Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
3) Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi
d. Perencanaan Keperawatan
Setelah mengetahui diagnosa keperawatan pada klien dengan
isolasi sosial, langkah selanjutnya yaitu menyusun perencanaan tindakan
keperawatan. untuk membina hubungan saling percaya dengan klien
isolasi sosil perlu waktu yang tidak sebentar. perawat harus konsisten
bersikap terapeutik pada klien. Selalu penuhi janji, kontak singkat tapi
sering dan penuhi kebutuhan dasarnya adalah upaya yang bisa dilakukan
(Trimelia, 2011 dalam Silvia Arizka, 2020).
Tabel 3 Rencana Keperawatan Dengan Isolasi Sosial
Diagnosis Tujuan Kriteria
Intervensi Rasional
keperawatan (TUM/TUK) Evaluasi
Isolasi TUM: Setelah 1x 1.1. Bina hubungan saling Membina
sosial Klien interaksi, Klien percaya dengan hubungan saling
menunjukan mengemukakan percaya dengan
dapat
tanda-tanda Prinsip Klien. kontak
berinteraksi
percaya kepada yang jujur,
dengan orang
perawat: singkat, dan
lain.
konsisten dengan
TUK 1: komunikasi terapeutik :
a.Ekspresi perawat dapat
Klien dapat a. Mengucapkan
wajah cerah, membantu Klien
membina salam terapeutik. Sapa
tersenyum membina
hubungan
b.Mau kembali interaksi
saling
berkenalan penuh percaya
percaya
c.Ada kontak Klien dengan dengan orang
mata ramah, baik lain.
d.Bersedia verbal ataupun
menceritakan non verbal.
perasaan
b. Berjabat tangan
e.Bersedia
dengan Klien.
mengungkap
c. Perkenalkan diri
kan masalah
dengan sopan.
d. Tanyakan nama

lengkap Klien
dan nama

pangglian yang
disukai Klien.

e. Jelaskan tujuan
Pertemuan

f. Membuat
kontak topik,

waktu, dan
tempat setiap

kali bertemu
Klien.

g. Tunjukan sikap
empati dan

Menerima
Klien apa

adanya.
h. Beri perhatian

kepada Klien
dan perhatian

Kebutuhan
dasar Klien.

TUK 2: Kriteria 2.1.Tanyakan pada Dengan


Klien mampu evaluasi: Klien tentang : mengetahui
menyebutka tanda dan gejala
n penyebab a.Klien dapat a. Orang yang tinggal isolasi sosial yang
isolasi sosial menyebutkan serumah atau sekamar muncul, perawat
minimal satu dengan Klien. dapat menentukan
penyebab b. Orang yang paling dekat langkah intervensi
isolasi sosial. dengan Klien selanjutnya.
b.Penyebab dirumah atau
munculnya Ruang
perawatan.
isolasi sosial: c. Hal apa yang
diri sendiri, membuat Klien
dekat dengan
orang lain,dan
orang tersebut.
lingkungan d. Orang yang
tidak dekat
dengan Klien,
baik dirumah
atau di ruang
perawatan.
e. Apa yang
membuat Klien
tidak dekat
dengan orang
tersebut.
f. Upaya yang
sudah dilakukan
agar dekat
dengan orang
lain.
2.2. Diskusikan
dengan Klien
Penyebab
isolasi sosial
atau tidak mau
Bergaul
dengan orang
Lain
2.3. Beri pujian
Terhadap
Kemampuan
Klien dalam
mengungkap
kan perasaan
TUK 3: Kriteria 3.1 tanyakan kepada Perbedaan
Klien mampu Evaluasi: Klien tentang: seputar manfaat
menyebutkan a. Manfaat hubungan hubugan sosial
keuntungan Klien dapat sosial dan kerugian
berhubungan menyebutkan b. Kerugian isolasi sosial isolasi sosial
sosial keuntungan membantu Klien
dalam 3.2. Diskusikan bersama mengidentifi
dan kerugian
berhubugan Klien tentang manfaat kasi apa yang
dari isolasi
sosial seperti: berhubungan sosial terjadi pada
sosial.
a. Banya dan kerugian isolasi dirinya, sehingga
k sosial dapat diambil
teman langkah untuk
b. Tidak 3.3. Beri Pujian terhadap mengatasi
kesepian kemampuan Klien masalah ini.
c. Bisa diskusi dalam
d. Saling mengungkapkan Penguatan dapat
menolong perasaannya. membantu
meningkatka n
2.Klien dapat harga diri Klien.
menyebutkan
kerugian
menarik diri,
seperti:
a. sendiri
b. keseptian
c. tidak bisa
diskusi
TUK 4: Kriteria 4.1 Observasi perilaku Dengan
Klien evaluasi : Klien ketika kehadiran orang
dapat berhubungan sosial yang tepat dapat
melaksanaka a.Klien dapat 4.2 Jelaskan kepada Klien dipercaya
n melaksanakan cara berinteraksi memberi Klien
hubungan dengan orang lain rasa aman dan
hubungan
sosial secara 4.3 Berikan contoh cara terlindungi
sosial secara
bertahap berbicara dengan Setelah dapat
bertahap.
dengan: orang lain berinteraksi
Perawaat, 4.4 Beri dengan orang
perawat lain, kesempatan kepada lain dan memberi
Klien lain, Klien kesempatan
keluarga dan Klien dalam
kelompok mengikuti
aktifitas
kelompok,
mempraktikan cara Klien merasa
berinteraksi dengan lebih berguna
orang yang dilakukan dan rasa
di hadapan perawat percaya diri
4.5 Bantu Klien Klien dapat
berinteraksi tumbuh
dengan salah satu kembali.
orang, teman atau
anggota keluarga
4.6 Bila Klien sudah
menunjukan
kemajuan, tingkatkan
jumlah interaksi
dengan dua, tiga,
empat orang dan
seterusnya
4.7 Beri pujian untuk
setiap kemajuaan
interaksi yang telah
dilakukan
4.8 Latih Klien bercakap-
cakap dengan anggota
keluarga saat
melakukan kegiatan
harian dan kegiatan
rumah tangga
4.9 Latih Klien bercakap-
cakap saaat melakukan
kegiatan sosial
misalnya: belanja ke
warung, ke
pasar, ke kantor pos,
ke bank, dan lain-lain.
4.10 Siap
mendengarkan
ekspresi perasaan
Klien setelah
berinteraksi dengan
orang lain. mungkin
Klien akan
mengungkapkan
keberhasilan atau
kegagalan beri
dorongan terus-
menerus agar Klien
tetap semangat
meningkatkan
interaksinya.
TUK 5: Kriteria 5.1 Diskusikan dengan Ketika Klien
Klien Evaluasi: Klien tentang merasa
mampu Klien dapat perasaannya setelah dirinya lebih
menjelaskan menjelaskan berhubungan sosial baik dan
perasaannya perasaannya dengan: mempunyai
setelah setelah Orang lain dan makna,
berhubugan berhubngan kelompok. interaksi
sosial sosial dengan: 5.2 Beri pujian terhadap sosial dengan
Orang lain, kemampuan Klien orang lain
kelompok. mengungkapkan dapat
perasaannya. ditingkatkan.

TUK 6 : Kriteria 6.1 Diskusikan pentingnya Dukungan


Klien Evaluasi: peran serta keluarga dari keluarga
mendapat keluarga dapat sebgai pendukung merupakan
dukungan menjelaskan untuk mengatasi bagian
keluarga tentang: perilaku isolasi penting dari
dalam rehabilitasi
memperluas a. isolasi sosial Klien.
hubungan beserta tanda
Sosial dan sosial
gejalannya. 6.2 Diskusikan potensi
b. penyebab keluarga untuk
dan akibat membantu Klien
dari isolasi mengatasi perilaku
sosial. isolasi sosial.
c. Cara 6.3 Jelaskan pada
merawat keluarga tentang:
Klien isolasi a. Isolasi sosial
sosial beserta tanda dan
gejalanya
b. Penyebab dan
akibat isolasi sosial
c. Cara merawat Klien
isolasi sosial
6.4 Latih keluarga cara
merawat
Klien isolasi sosial
6.5 Tanyakan perasaan
keluarga setelah
mencoba cara yang
dilatihkan
6.6 Beri motivasi
keluarga agar
membantu Klien
untuk bersosialisasi
6.7 Beri pujian kepada
keluarga atas
keterlibatannya
merawat Klien
dirumah sakit
TUK 7: kriteria 7.1 Diskusikan dengan Membantu
Klien dapat Evaluasi: Klien dalam
memanfaat Klien bisa tentang manfaat meningkatka
kan obat menyebutkan: dan kerugian tidak n perasaan
dengan baik a. Manfaat minum obat. kembali dan
minum obat 7.2 Pantau Klien pada keterlibatan
b. Kerugian saat penggunaan dalam
yang obat perawatan
dtimbulkan 7.3 Berikan pujian kepada kesehatan
akibat tidak Klien jika Klien Klien
minum obat menggukan obat
c. Nama, dengan benar
warna, dosis, 7.4 Diskusikan akibat
efek terapi, berhenti minum obat
dan efek tanpa konsultasi
samping dokter.
obat 7.5 Anjurkan Klien untuk
d. Akibat konsultasi dengan
berhenti dokter atau perawat
minum obat jika terjadi hal- hal
tanpa yang tidak diinginkan
konsultasi
dokter
Sumber : Sutejo, 2017 dalam Silvia Arizka, 2020

Menurut Direja (2011) dalam Silvia Arizka, 2020, untuk


memudahkan pelaksanaan keperawatan, maka perawat perlu juga membuat
rencana strategi pelaksanaan tindakan untuk klien dan keluarga. Strategi
pelaksanaan terebut dibagi menjadi empat strategi. Berikut adalah stategi
pelaksanaan untuk klien dengan isolasi sosial:

Tabel 4
Strategi Pelaksanaan Pada Klien Isolasi Sosial
Diagnosa
Intervensi
Keperawatan
Isolasi sosial Intervensi untuk Klien SP
1:
1. Bina hubungan saling percaya dengan
menggunakan salam terapeutik
2. Identifikasi penyebab isolasi sosial
3. Identifikasi keuntungan berteman
4. Identifikasi kerugian tidak mempunyai teman
5. Bimbing pasien memasukan kedalam jadwal harian

e. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang
telah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan
keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien saat ini
(Damaiyanti, 2012 dalam Silvia Arizka, 2020).
Selain itu, salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan rencana
tindakan keperawatan adalah teknik komunikasi terapeutik. Teknik ini dapat
digunakan dengan verbal; kata pembuka, informasi, fokus. Selain teknik
verbal, perawat juga harus menggunakan teknik non verbal seperti; kontak
mata, mendekati kearah klien, tersenyum, berjabatan tangan, dan sebagainya.
Kehadiran psikologis perawat dalam komunikasi terapeutik terdiri dari
keikhlasan, menghargai, empati dan konkrit (Yusuf, 2019 dalam Silvia
Arizka, 2020).
f. Evaluasi Keperawatan
Menurut Trimelia (2011) dalam Silvia Arizka, 2020, evaluasi
dilakukan dengan berfokus pada perubahan perilaku Klien setelah
diberikan tindakan keperawatan. Keluarga juga perlu dievaluasi karena
merupakan sistem pendukung yang penting. Ada beberapa hal yang
perlu dievaluasi pada Klien dengan isolasi sosial yaitu:
1) Apakah klien dapat menyebutkan penyebab isolasi sosial
2) Apakah klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan
orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
3) Apakah klien dapat melakukan hubungan sosial secara bertahap: klien-
perawat, Klien-perawat-perawat lain, klien-perawat-klien lain, klien-
kelompok, dan klien- keluarga.
4) Apakahklien dapat mengungkapkan perasaan setelah berhubungan
dengan orang lain.
5) Apakah klien dapat memberdayakan sistem pendukungnya atau
keluarga nya untuk memfasilitasi hubungan sosialnya.
6) Apakah klien dapat mematuhi minum obat
DAFTAR PUSTAKA

Silvia Arizka, P031714401032 (2020) Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. I


Dengan Isolasi Sosial Di Ruang Kuantan Rumah Sakit Jiwa Tampan Provinsi
Riau. Diploma thesis, Poltekkes Kemenkes Riau.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
HALUSINASI

ANGGUN JULIA SYAFITRI


P1337420920019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
11. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami
oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang nyata Keliat, (2011)
dalam Zelika, (2015). Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau
pengalaman persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan Sheila L Vidheak,
( 2001) dalam Darmaja (2014).
Menurut Surya, (2011) dalam Pambayung (2015) halusinasi adalah hilangnya
kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan
rangsangan eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari
pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia,
2001).Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi
adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui
panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi,
dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi
pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi, stimulus
internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada oleh klien.
12. Etiologi
Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Pambayun (2015), faktor-faktor yang
menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom
tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia
sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika
dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu orang
tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia,
sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi
35%.
2) Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya
dopamin, serotonin, dan glutamat.
3) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotonin.
4) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat menjadi
faktor predisposisi skizofrenia.
5) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia
antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu
melindungi, dingin, dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil
jarak dengan anaknya.

b. Faktor Presipitasi
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat sistem
syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan.
4) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup,
pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang lain,
isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, kurang
ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan
mendapat pekerjaan.
5) Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus
asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa punya
kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti orang lain dari
segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku
agresif, ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan
gejala.

13. Rentang Respon Halusinasi


Halusinasi merupakan salah satu respon maldaptive individual yang berbeda
rentang respon neurobiologi (Stuart and Laraia, 2005) dalam Yusalia 2015. Ini
merupakan persepsi maladaptive. Jika klien yang sehat persepsinya akurat,
mampu mengidentifisikan dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan
informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran, pengelihatan,
penciuman, pengecapan dan perabaan) klien halusinasi mempersepsikan suatu
stimulus panca indera walaupun stimulus tersebut tidak ada.Diantara kedua respon
tersebut adalah respon individu yang karena suatu hal mengalami kelainan
persensif yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya, yang tersebut
sebagai ilusi. Klien mengalami jika interpresentasi yang dilakukan terhadap
stimulus panca indera tidak sesuai stimulus yang diterimanya,rentang respon
tersebut sebagai berikut:
Respon adaptif Respon maladaptif

Pikiran logis  Kadang-  Waham


 Persepsi akurat kadang proses  Halusinasi
 Emosi pikir terganggu  Sulit berespons
konsisten (distorsi  Perilaku
dengan pikiran disorganisasi
pengalaman  Ilusi  Isolasi sosial
 Perilaku sesuai  Menarik diri
 Hubungan  Reaksi emosi
sosial harmonis >/<
 Perilaku tidak
biasa

14. Jenis Halusinasi


Menurut  Stuart (2007) dalam Yusalia (2015), jenis halusinasi antara lain :
a. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara
orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan
apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan
sesuatu.
b. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas
dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
c. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau
harum.Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
d. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah,
benda mati atau orang lain.
e. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
f. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.
g. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

15. Tanda Gejala


Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah tersenyum atautertawa
yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, bicarasendiri,pergerakan mata
cepat, diam, asyik dengan pengalamansensori,kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realitas rentangperhatian yang menyempit hanya
beberapa detik atau menit, kesukaranberhubungan dengan orang lain, tidak
mampu merawat diri,perubahan
Berikut tanda dan gejala menurut jenis halusinasi Stuart & Sudden, (1998)
dalam Yusalia (2015).
Jenis halusinasi Karakteriostik tanda dan gejala
Pendengaran Mendengar suara-suara / kebisingan,
paling sering suara kata yang jelas,
berbicara dengan klien bahkan sampai
percakapan lengkap antara dua orang
yang mengalami halusinasi. Pikiran
yang terdengar jelas dimana klien
mendengar perkataan bahwa pasien
disuruh untuk melakukan sesuatu
kadang-kadang dapat membahayakan.

Penglihatan Stimulus penglihatan dalam kilatan


cahaya, gambar giometris, gambar
karton dan atau panorama yang luas
dan komplek. Penglihatan dapat
berupa sesuatu yang menyenangkan
/sesuatu yang menakutkan seperti
monster.
Penciuman
Membau bau-bau seperti bau darah,
urine, fases umumnya baubau yang
tidak menyenangkan. Halusinasi
penciuman biasanya sering akibat
stroke, tumor, kejang / dernentia.
Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa
darah, urine, fases.
Perabaan
Mengalami nyeri atau
ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas rasa tersetrum listrik yang datang
dari tanah, benda mati atau orang lain.

Sinestetik Merasakan fungsi tubuh seperti aliran


darah divera (arteri), pencernaan
makanan.
Kinestetik
Merasakan pergerakan sementara
berdiri tanpa bergerak

16. Fase Halusinasi


Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan keparahannya
Stuart & Sundeen, (2006) dalam Bagus, (2014), membagi fase halusinasi dalam 4
fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien
mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi, klien semakin berat
mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.
Fase halusinasi Karakteristik Perilaku pasien
1 2 3
Fase 1 : Comforting- Klien mengalami keadaan Menyeringai atau
ansietas tingkat emosi seperti ansietas, tertawa yang tidak
sedang, secara kesepian, rasa bersalah, dan sesuai, menggerakkan
umum, halusinasi takut serta mencoba untuk bibir tanpa
bersifat berfokus pada penenangan menimbulkan suara,
menyenangkan pikiran untuk mengurangi pergerakan mata yang
ansietas. Individu mengetahui cepat, respon verbal
bahwa pikiran dan yang lambat, diam dan
pengalaman sensori yang dipenuhi oleh sesuatu
dialaminya tersebut dapat yang mengasyikkan.
dikendalikan jika ansietasnya
bias diatasi
(Non psikotik)
Fase II: Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem
Condemning- menjijikkan dan menakutkan, syaraf otonom yang
ansietas tingkat klien mulai lepas kendali dan menunjukkan ansietas,
berat, secara umum, mungkin mencoba untuk seperti peningkatan
halusinasi menjadi menjauhkan dirinya dengan nadi, pernafasan, dan
menjijikkan sumber yang dipersepsikan. tekanan darah;
Klien mungkin merasa malu penyempitan
karena pengalaman kemampuan
sensorinya dan menarik diri konsentrasi, dipenuhi
dari orang lain. dengan pengalaman
(Psikotik ringan) sensori dan kehilangan
kemampuan
membedakan antara
halusinasi dengan
realita.
Fase III: Klien berhenti menghentikan Cenderung mengikuti
Controlling-ansietas perlawanan terhadap petunjuk yang diberikan
tingkat berat, halusinasi dan menyerah pada halusinasinya daripada
pengalaman sensori halusinasi tersebut. Isi menolaknya, kesukaran
menjadi berkuasa halusinasi menjadi menarik, berhubungan dengan
dapat berupa permohonan. orang lain, rentang
Klien mungkin mengalarni perhatian hanya
kesepian jika pengalaman beberapa detik atau
sensori tersebut berakhir. menit, adanya tanda-
(Psikotik) tanda fisik ansietas
berat : berkeringat,
tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk.
Fase IV: Conquering Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-
Panik, umumnya mengancam dan menakutkan teror seperti panik,
halusinasi menjadi jika klien tidak mengikuti berpotensi kuat
lebih rumit, melebur perintah. Halusinasi bisa melakukan bunuh diri
dalam halusinasinya berlangsung dalam beberapa atau membunuh orang
jam atau hari jika tidak ada lain, Aktivitas fisik
intervensi terapeutik. yang merefleksikan isi
(Psikotik Berat) halusinasi seperti amuk,
agitasi, menarik diri,
atau katatonia, tidak
mampu berespon
terhadap perintah yang
kompleks, tidak mampu
berespon terhadap lebih
dari satu orang.

17. Penatalaksanaan Halusinasi


Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan untuk
membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan
saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin
sebelum mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi
untuk merasa nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar
informasi tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara
konprehensif. Untuk itu perawat harus memperkenalkan diri, membuat kontrak
asuhan dengan klien bahwa keberadaan perawat adalah betul-betul untuk
membantu klien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan penerimaan yang
tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien saat menceritakan halusinasinya.
Hindarkan menyalahkan klien atau menertawakan klien walaupun pengalaman
halusinasi yang diceritakan aneh dan menggelikan bagi perawat. Perawat harus
bisa mengendalikan diri agar tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan selanjutnya
adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi halusinasi, waktu,
frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi,
dan perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah klien menyadari bahwa
halusinasi yang dialaminya adalah masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya
klien perlu dilatih bagaimana cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif
mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan mengkaji pengalaman klien
mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha yang klien lakukan untuk
mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan efektifitas cara tersebut.
Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan, sementara jika cara yang dilakukan
tidak efektif perawat dapat membantu dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara yang bisa
dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
a. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien harus
berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien
dilatih untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”. Ini
dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu pasien
mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol halusinasi, ajarkan pasien
mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu menghardik halusinasi:
b. Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat ketidakseimbangan
neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk itu, klien perlu diberi
penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi, serta bagairnana
mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara
optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar
dalam pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara
tuntas dan teratur. Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana
penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan
keluarga. Hal ini penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga
adalah sistem di mana klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat
menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi
masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa mengalami
kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi sebagai
salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun klien
pulang ke rumah, mungkin masih mengalarni halusinasi. Dengan mendidik
keluarga tentang cara penanganan halusinasi, diharapkan keluarga dapat
menjadi terapis begitu klien kembali ke rumah. Latih pasien menggunakan obat
secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
1) Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala – gejala lain yang
biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi, gangguan
personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan intramuskuler.
Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti peningkatan dosis hingga
mencapai 300 mg perhari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu.
Pemberian dapat dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan
tiga kali sehari. Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan
secara perlahan – lahan sampai 600 – 900 mg perhari.
Kontra indikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma, keracunan
alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang hipersensitif terhadap
derifat fenothiazine.
Efek samping:
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk
penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala
penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat,
hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran irama
EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
2) Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar
Indikasi:
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la tourette pada
anak – anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat pada
anak – anak.
Cara pemberian:
Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg
untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -5 mg intramuskuler
setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontra indikasi:
Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping:
Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala
ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang jarang adalah
nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan otonomik.
Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi hematologis.
Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis melebihi dosis
terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan, tremor, hipotensi,
sedasi, koma, depresi pernapasan.
3) Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil
Indikasi:
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.
Cara pemberian:
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah ( 12,5 mg )
diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan 25 mg
dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap kali suntikan,
tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali suntikan
sebaiknya peningkatan perlahan – lahan.
Kontra indikasi:
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala – gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan over dosis ; hentikan obat berikan terapi simtomatis dan
suportif, atasi hipotensi dengan levarteronol hindari menggunakan
ephineprine ISO, (2008) dalam Pambayun (2015).
c. Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya. Dengan
meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat memvalidasi
persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan stimulus
eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan mengurangi
fokus perhatian klien terhadap stimulus internal yang menjadi sumber
halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu
bercakap-cakap dengan orang lain:
d. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian. Kebanyakan
halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak dimanfaatkan
dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan halusinasinya. Untuk itu,
klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan dari pagi sejak bangun pagi
sampai malam menjelang tidur dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat
harus selalu memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-
betul tidak ada waktu lagi untuk melamun tak terarah. Latih pasien mengontrol
halusinasi dengan cara ketiga, yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal.
SP 1 Halusinasi

No Diagnosis Keperawatan Tindakan Keperawatan


1 Halusinasi  Pengkajian halusinasi pasien : isi, frekuensi,
waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan,
respons.
 Jelaskan cara mengontrol halusinasi :
menghardik, minum obat, bercakap-cakap,
melakukan kegiatan.
 Ajarkan cara menghardik halusinasi.
 Anjurkan pasien memasukkan cara
menghardik kedalam jadwal kegiatan
harian.
SP 1
“Selamat pagi, Assalamualaikum..bolehkah saya kenalan dengan ibu? Nama saya
Sonia Arafiah Ekmal Putri. Panggil saya Sonia. Saya mahasiswa keperawatan
Poltekkes Kemenkes Semarang. Saya sedang praktek disini dari pukul 08.00 WIB
sampai dengan pukul 13.00 WIB siang. Kalau boleh saya tau nama ibu siapa dan
senang dipanggil siapa?”
“Bagaimana perasaan ibu hari ini ? Bagaimana tidurnya tadi malam? Ada keluhan
atau tidak?”
“Apakah ibu tidak keberatan untuk ngobrol dengan saya? Menurut ibu sebaiknya
kita ngobrol apa ya? Bagaimana kalau kita ngobrol tentang suara dan sesuatu yang
selama ini ibu dengar dan lihat tetapi tidak tampak wujudnya? Berapa lama kira-
kira kita bisa ngobrol? Ibu maunya berapa menit? Bagaimana kalau 10 menit?
Bisa? Dimana kita duduk? Di teras? Di kursi panjang itu? Atau mau dimana?”
“Apakah ibu mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang dikatakan suara
itu? Apakah ibu melihat sesuatu /orang/bayangan/makhluk? Seperti apa yang
kelihatan? Apakah terus menerus terlihat dan terdengar, atau hanya sewaktu-
waktu saja? Kapan paling sering ibu melihat sesuatu atau mendengar suara
tersebut? Berapa kali sehari ibu mengalaminya? Pada keadaan apa, apakah pada
waktu sendiri? Apa yang ibu rasakan pada saat mendengar suara itu? Apa yang
ibu rasakan pada saat melihat sesuatu? Apa yang ibu lakukan saat melihat sesuatu
tersebut? Apa yang ibu lakukan saat mendengar suara tersebut? Apakah dengan
cara itu suara dan bayangan tersebut hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara
untuk mencegah suara-suara atau bayangan supaya tidak muncul?
“ Ibu ada 4 cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan
menghardik suara tersebut. Kedua, minum obat dengan teratur. Ketiga, dengan
cara bercakap-cakap dengan orang lain. Keempat, melakukan kegiatan sesuai
jadwal. Bagaimana kalau kita belajar 1 cara dulu, yaitu dengan menghardik.
Caranya seperti ini, saat suara-suara itu muncul langsung ibu bilang pergi saya
tidak mau dengar..saya tidak mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu di ulang-
ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi. Coba ibu peragakan! Nah
begitu..bagus! coba lagi! Iya bagus ibu sudah bisa.”
“Bagaima perasaan ibu dengan obrolan kita tadi? Ibu merasa senang tidak dengan
latihan tadi? Setelah kita ngobrol tadi, panjang lebar, sekarang ibu simpulkan
pembicaraan kita tadi? Coba sebutkan cara untuk mencegah suara agar tidak
muncul lagi. Kalau suara-suara itu muncul lagi, silahkan ibu coba cara tersebut!
Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja latihannya?”
“ibu, bagaimana kalau besok kita ngobrol lagi tentang cara minum obat yang
teratur. Kira-kira waktunya kapan ya? Bagaimana kalu besok jam 09.00 WIB,
bisa? Kira-kira tempat yang enak buat kita ngobrol dimana ya, apa masih disini
atau cari tempat yang nyaman? Sampai jumpa besok. Assalamualaikum.”
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Pan. 2014. Konsep Halusinasi Dan Strategi Pelaksanaan Halusinasi.


www.academia.edu diakses Oktober 2016.

Darmaja, I Kade. 2014. Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn.
“S” Dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Diruang
Kenari Rsj Dr. Radjiman Wedioningrat Lawang Malang. Program Studi
Profesi (Ners) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bakti Indonesia
Banyuwangi

Pambayun, Ahlul H. 2015. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. S Dengan


Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran Ruang 11 (Larasati)
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Asuhan Keperawatan Psikiatri
Akademi Keperawatan Widya Husada Semarang.

Ramadhani, Aris N. Ihda. Ratna et all. 2018. Buku Saku Praktik Klinik
Keperawatan Edisi 2. Jakarta Selatan: Salemba Medika

Yusalia, Refiazka. 2015. Laporan Pendahuluan Dan Strategi Pelaksanaan


Halusinasi. www.academia.edu diakses Oktober 2016

Zelika, Alkhosiyah A. Dermawan, Deden. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan


Jiwa Halusinasi Pendengaran Pada Sdr. D Di Ruang Nakula Rsjd
Surakarta. Jurnal Poltekkes Bhakti Mulia.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
WAHAM

ANGGUN JULIA SYAFITRI


P1337420920019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
1. Pengertian
Menurut (Depkes RI, 2000) Waham adalah suatu keyakinan klien yang
tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah
secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang
sudah kehilangan kontrol (Direja, 2011).
Waham curiga adalah keyakinan seseorang atau sekelompok orang berusaha
merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan (Kelliat, 2009).
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses stimulus
internal dan eksternal secara akurat. Gangguannya adalah berupa waham
yaitu keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan dengan
realitas. Keyakinan individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat intelektual
dan latar belakang budayanya, serta tidak dapat diubah dengan alasan yang
logis. Selain itu keyakinan tersebut diucapkan berulang kali (Kusumawati,
2010).
Gangguan orientasi realitas adalah ketidakmampuan menilai dan
berespons pada realitas. Klien tidak dapat membedakan lamunan dan
kenyataan sehingga muncul perilaku yang sukar untuk dimengerti dan
menakutkan. Gangguan ini biasanya ditemukan pada pasien skizofrenia dan
psikotik lain. Waham merupakan bagian dari gangguan orientasi realita pada
isi pikir dan pasien skizofrenia menggunakan waham untuk memenuhi
kebutuhan psikologisnya yang tidak terpenuhi oleh kenyataan dalam
hidupnya. Misalnya : harga diri, rasa aman, hukuman yang terkait dengan
perasaan bersalah atau perasaan takut mereka tidak dapat mengoreksi dengan
alasan atau logika (Kusumawati, 2010).
2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
1) Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem
syaraf yang berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
2) Neurobiologis : adanya gangguan pada konteks pre frontal dan
korteks limbic.
3) Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin, dan
glutamat.
4) Virus : paparan virus influensa pada trimester III
5) Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
b. Faktor Presipitasi
1) Proses pengolahan informasi yang berlebihan
2) Mekanisme penghantaran listrik abnormal
3) Adanya gejala pemicu
3. Klasifikasi Waham
a. Waham Agama
Keyakinan klien terhadap suatu agama secara berlebihan dan diucapkjan
secra berulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
b. Waham Kebesaran
Keyakinan klien yang berlebihan terhadap kemampuan yang disampaikan
secara berulang yang tidak sesuai kenyataan
c. Waham Somatik
Klien mempunyai keyakinan tentang tubuhnya yang disampaikan secara
berulang yang tidak sesuai kenyataan
d. Waham Curiga
Klien mempunyai keyakinan bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan atau mencederai dirinya yang disampaikan secara
berulang yang tidak sesuai kenyataan
e. Waham Sisip Fikir
Klien yakin bahwa ada fikiran orang lain yang disisipkan/dimasukkan
kedalam fikiran yang disampaikan secara berulang yang tidak sesuai
kenyataan
f. Waham Nihilistik
Klien yakin bahwa dirinya sudah tidak didunia/meninngal yang
disampaikan secara berulang yang tidak sesuai kenyataan
g. Waham Siar Fikir
Klien yakin bahwa ada orang lain mengetahui apa yang dia butuhkan
walaupun dia tidak menyatakan pada orang tersebut apa yang dinyatakan
secara berulang dan tidak sesuai kenyataan
4. Manifestasi Klinis
Menurut Azis (2003), tanda dan gejala yang dihasilkan atas penggolongan
waham, yaitu:
a. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama,
kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan
tetapi tidak sesuai kenyataan
b. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
c. Curiga
d. Bermusuhan
e. Merusak (diri, orang lain, lingkungan)
f. Takut, sangat waspada
g. Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas
h. Ekspresi wajah tegang
i. Mudah tersinggung
5. Penatalaksanaan
a. Psikofarmakologi
b. Pasien hiperaktif / agitasi anti psikotik low potensial
c. penarikan diri high potensial
d. ECT tipe katatonik
e. Psikoterapi
f. Perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi supportif

6. Pohon masalah
7. Asuhan Keperawatan
a. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul dan Data yang Perlu
Dikaji
1) Masalah keperawatan :
a) Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b) Kerusakan komunikasi : verbal
c) Perubahan isi pikir : waham
d) Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
2) Data yang perlu dikaji :
a) Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Data subjektif:
Pasien memberi kata-kata ancaman, mengatakan benci dan kesal
pada seseorang, pasien suka membentak dan menyerang orang
yang mengusiknya jika sedang kesal, atau marah, melukai /
merusak barang-barang dan tidak mampu mengendalikan diri
Data objektif
Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dank eras, bicara
menguasai, ekspresi marah, pandangan tajam, merusak dan
melempar barang-barang.
b) Kerusakan komunikasi : verbal
Data subjektif:
Pasien mengungkapkan sesuatu yang tidak realistik
Data objektif:
Flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang
didengar dan kontak mata kurang
3) Perubahan isi piker : waham ( ………….)
Data subjektif :
Pasien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama,
kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara
berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan.
Data objektif :
Pasien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan,
merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat
waspada, tidak tepat menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah
pasien tegang, mudah tersinggung
4) Gangguan harga diri rendah
Data subjektif:
Pasien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-
apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri
Data objektif:
Pasien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternative tindakan, ingin mencedaerai diri/ ingin mengakhiri
hidup
b. Diagnosa Keperawatan
1)Waham……………
2)Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan waham
3)Gangguan konsep diri: harga diri rendah.

c. Intervensi
Diagnosa 1
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham
1) Tujuan umum : Pasien tidak terjadi kerusakan komunikasi
verbal
2) Tujuan khusus :
a) Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Rasional : hubungan saling percaya merupakan dasar untuk
kelancaran hubungan interaksinya
Tindakan :
 Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan
diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang
tenang, buat kontrak yang jelas topik, waktu, tempat).
 Jangan membantah dan mendukung waham pasien: katakan
perawat menerima keyakinan pasien "saya menerima
keyakinan anda" disertai ekspresi menerima, katakan perawat
tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak
membicarakan isi waham pasien.
 Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman dan terlindungi:
katakan perawat akan menemani pasien dan pasien berada di
tempat yang aman, gunakan keterbukaan dan kejujuran jangan
tinggalkan pasien sendirian.
 Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan
perawatan diri
b) Pasien dapat mengidentifikasi
kemampuan yang dimiliki
Rasional : dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki pasien,
maka akan memudahkan perawat untuk mengarahkan kegiatan
yang bermanfaat bagi pasien dari pada hanya memikirkannya
Tindakan :
 Beri pujian pada penampilan dan kemampuan pasien
yang realistis.
 Diskusikan bersama pasien kemampuan yang dimiliki
pada waktu lalu dan saat ini yang realistis.
 Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian
anjurkan untuk melakukannya saat ini (kaitkan dengan
aktivitas sehari - hari dan perawatan diri).
 Jika pasien selalu bicara tentang wahamnya,
dengarkan sampai kebutuhanwaham tidak ada. Perlihatkan
kepada pasien bahwa pasien sangat penting.
c) Pasien dapat mengidentifikasikan
kebutuhan yang tidak terpenuhi
Rasional : dengan mengetahui kebutuhan pasien yang belum
terpenuhi perawat dapat merencanakan untuk memenuhinya dan
lebih memperhatikan kebutuhan kien tersebut sehungga pasien
merasa nyaman dan aman
Tindakan :
 Observasi kebutuhan pasien sehari-hari.
 Diskusikan kebutuhan pasien yang tidak
terpenuhi baik selama di rumah maupun di rumah sakit (rasa
sakit, cemas, marah).
 Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi
dan timbulnya waham.
 Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi
kebutuhan pasien dan memerlukan waktu dan tenaga (buat
jadwal jika mungkin).
 Atur situasi agar pasien tidak mempunyai
waktu untuk menggunakan wahamnya.
d) Pasien dapat berhubungan dengan
realitas
Rasional : menghadirkan realitas dapat membuka pikiran bahwa
realita itu lebih benar dari pada apa yang dipikirkan pasien
sehingga pasien dapat menghilangkan waham yang ada
Tindakan :
 Berbicara dengan pasien dalam konteks realitas (diri, orang
lain, tempat dan waktu).
 Sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi
realitas.
 Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan
pasien
e) Pasien dapat menggunakan obat
dengan benar
Rasional : Penggunaan obat yang secara teratur dan benar akan
mempengaruhi proses penyembuhan dan memberikan efek dan
efek samping obat
Tindakan :
 Diskusikan dengan kiten tentang
nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek samping minum
obat.
 Bantu pasien menggunakan obat
dengan priinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis, cara dan
waktu).
 Anjurkan pasien membicarakan
efek dan efek samping obat yang dirasakan.
 Beri reinforcement bila pasien
minum obat yang benar.
f) Pasien dapat dukungan dari
keluarga
Rasional : dukungan dan perhatian keluarga dalam merawat
pasien
akan mambentu proses penyembuhan pasien.
Tindakan :
 Diskusikan dengan keluarga
melalui pertemuan keluarga tentang: gejala waham, cara
merawat pasien, lingkungan keluarga dan follow up obat.
 Beri reinforcement atas
keterlibatan keluarga.

SP 1 PASIEN WAHAM
No Diagnosis Keperawatan Tindakan Keperawatan
1 Waham 1. Identifikasi tanda dan gejala waham
2. Bantu orientasu realitas : panggil nama ,
orientasi waktu, orang, dan
tempat/lingkungan
3. Diskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
4. Bantu klien memenuhi kebutuhan yang
realistis melalui kegiatan positif yang
dikuasai pasien
5. Anjurkan klien memasukkan kedalam
jadwal kegiatan harian
Lampiran
STRATEGI PELAKSANAAN WAHAM
Pertemuan ke : 1
1. Kondisi klien baik subjektif maupun objektif
a. Kognitif
 Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata.
 Individu sangat percaya pada keyakinannya.
 Sulit berpikir realita.
 Tidak mampu mengambil keputusan.
b. Afektif
 Situasi tidak sesuai dengan kenyataan.
 Afek tumpul.
c. Perilaku dan hubungan sosial
 Hipersensitif
 Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
 Depresif
 Ragu-ragu
 Mengancam secara verbal
 Aktivitas tidak tepat
 Streotif
 Impulsif
 Curiga / paranoid
d. Fisik
 Kebersihan kurang
 Muka pucat
 Sering menguap
 Berat badan menurun
 Nafsu makan menurun
Subjektif :
- Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat.
- Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus.
Objektif :
- Klien terus berbicara tentang kemampuan yang dimilikinya.
- Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang.
- Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Diagnosa Keperawatan
Perubahan proses pikir : waham
3. Tujuan
a. Pasien
 Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap.
 Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar.
 Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
 Pasien menggunakan obat dengan prinsip lima benar.
Fase Orientasi
1. Evaluasi / validasi
a. Perasaan klien saat ini
b. Kondisi klien saat ini
c. Latihan sebelumnya (pertemuan kedua dst)
2. Kontrak (pertemuan sekarang) : topik , waktu dan tempat
3. Contoh percakapan
“Selamat pagi, perkenalkan saya perawat X, yang bertugas dinas pagi di
ruang melati mulai pukul 07.00 sampai 14.00. Saya akan merawat Anda hari
ini. Nama Anda siapa? Senang dipanggil siapa?”
“Boleh kita berbincang-bincang tentang apa yang dirasakan B sekarang ini?”
“Berapa lama akan berbincang-bincang? Bagaimana kalau 30 menit?”
“Mau dimana kita berbincang-bincang, X?”
Fase Kerja
1. Melakasanakan topic (diskusi atau latihan ) yang telah disepakati.
2. Ditulis secara singkat, jelas dan sistematis.
3. Contoh percakapan
“Saya mengerti B merasa bahwa B adalah seorang Nabi, tetapi sulit bagi saya
untuk mempercayainya karena setahu saya semua Nabi sudah tidak ada lagi.
Bisa kita lanjutkan pembicaraan yang tadi terputus B?”
“Tampaknya B gelisah sekali, bisa B ceritakan apa yang B rasakan?”
“O... jadi B merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya hak
untuk mengatur diri B sendiri?”
“Jadi, ibu yang terlalu mengatur-atur ya B, juga kakak dan adik B yang lain?”
“Kalau B sendiri, inginnya seperti apa?”
“Bagus, B sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri!”
“Coba tuliskan rencana dan jadwal tersebut B”
“Wah bagus sekali! Jadi setiap harinya B ingin ada kegiatan di luar rumah
karena bosan kalau di rumah terus ya?”
Fase Terminasi
1. Evaluasi
a. Subjektif : tanyakan perasaan klien setelah interaksi
b. Objektif : minta klien menyimpulkan / demonstrasi
2. Rencana Tindak Lanjut
Tugas / latihan mandiri klien (masukan dalam jadwal kegiatan harian klien)
3. Kontrak pertemuan selanjutnya : topic, tempat dan waktu.
4. Contoh percakapan
“Bagaimana perasaan B setelah berbincang-bincang dengan saya?”
“Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus!”
“Bagaimana kalau jadwal ini B coba lakukan, setuju?”
“Bagaimana kalau saya datang kembali dua jam lagi?”
“Kita bercakap-cakap tentang kemampuan yang pernah B miliki?”
“Mau dimana kita bercakap-cakap?”
“Bagaimana kalau disini lagi?”
DAFTAR PUSTAKA
Direja, Ade Herman Surya. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Nuha Medika
Keliat, Budi Anna. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
ECG.
Sadock, Benjamin J., Virginia A. Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis:
Kaplan dan Sandock (Edisi 2). Jakarta : EGC
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN

ANGGUN JULIA SYAFITRI


P1337420920019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri
maupun orang lain. Sering di sebut juga gaduh gelisah atau amuk di mana
seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik
yang tidak terkontrol (Yosep, 2007).
Perilaku kekerasan merupakan suau bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Budi Ana Keliat,
2005).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk 
melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008).
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah.
Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2010), kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,
perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Menurut Townsend (2010), amuk (aggresion) adalah tingkah laku yang
bertujuan untuk mengancam atau melukai diri sendiri dan orang lain juga
diartikan sebagai perang atau menyerang.

B. Penyebab
1. Faktor Predisposisi
a. Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif atau perilaku kekerasan,contohnya : pada masa
anak-anak yang mendapat perilaku kekerasan cenderung saat dewasa
menjadi pelaku perilaku kekerasan
b. Perilaku
Kekerasan didapat pada saat setiap melakukan sesuatu maka
kekerasan yang diterima sehingga secara tidak langsung hal tersebut
akan diadopsi dan dijadikan perilaku yang wajar
c. Sosial Budaya
Budaya yang pasif – agresif dan kontrol sosial yang tidak pasti
terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah kekerasan
adalah hal yang wajar
d. Bioneurologis
Beberapa berpendapat bahwa kerusaka pada sistem limbik, lobus
frontal, lobus temporal, dan ketidakseimbangan neurotransmitter ikut
menyumbang terjadi perilaku kekerasan
e. Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan  dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan  eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

C. Manifestasi Klinis
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
f. Ketus
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

D. Penatalaksanaan
1. Medis
a. Obat anti psikosis        : Phenotizin
b. Obat anti depresi         : Amitriptyline
c. Obat anti ansietas        : Diazepam, Bromozepam, Clobozam
d. Obat anti insomnia      : Phneobarbital
2. Penatalaksanaan keperawatan
a.       Psikoterapeutik
b.      Lingkungan terapieutik
c.       Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d.      Pendidikan kesehatan
3. Terapi modalitas
a. Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi
masalah klien dengan memberikan perhatian :
1) BHSP
2) Jangan memancing emosi klien
3) Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan
keluarga
4) Beri kesempatan pasien mengemukakan pendapat
5) Dengarkan, bantu, dan anjurkan pasien untuk mengemukakan
masalah yang dialami
b. Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan social atau
aktivitas lain dengan berdiskusi dan bermain untuk mengembalikan
kesadaran klien karena masalah sebagian orang merupakan perasaan
dan tingkah laku pada orang lain.
c. Terapi music
Dengan music klien terhibur, rilek dan bermain untuk mengembalikan
kesadaran klien

E. Akibat Perilaku Kekerasan


Klien dengan perilaku kekerasan dapat melakukan tindakan-tindakan
berbahaya yang kemungkinan dapat melukai/membahayakan bagi dirinya,
orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang lain,
memecahkan perabot, membakar rumah dll. Sehingga klien dengan perilaku
kekerasan beresiko untuk mencederai diri, orang lain dan lingkungan.

F. Pohon Masalah
Resiko Bunuh Diri Perilaku Kekerasan akibat

Resiko Perilaku kekerasan core problem

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah penyebab


(Keliat, 2008)

G. Rentang Respon Marah


1. Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal
adaptif. Rentang respon kemarahan
2. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai
perasaan orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
3. Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
4. Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami.
5. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui
hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung
untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan
yang sama dari orang lain.
6. Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain.
7. Respon kemarahan dapat berfluktusi dalam rentang adaptif-maladaptif.

H. Proses Marah
1. Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang
harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan
kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan
terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan. Berikut ini
digambarkan proses kemarahan
2. Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan
melalui 3 cara yaitu : Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan
menantang. Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif
sedang dua cara yang lain adalah destruktif.
3. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan
dapat diekspresikan pada diri sendiri dan lingkungan dan akan tampak
sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.

I. Mekanisme Koping
1. Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung
dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
2. Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena
adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain :
3. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di
mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
4. Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.
5. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada
orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau
didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga
perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
6. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
7. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada
mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4
tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan
dengan temannya.
J. Perencanaan Pulang
Perawatan dirumah sakit akan lebih bermakna jika dilanjutkan dirumah.
Untuk itu semua rumah  sakit perlu membuat perencanaan pulang.
Perencanaan pulang dilakukan sesegera mungkin setelah klien dirawat dan
diintegrasikan didalam proses keperawatan. Jadi bukan persiapan yang
dilakukan pada hari atau sehari sebelum klien pulang. Tujuan perencanaan
pulang:
1. Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial.
2. Klien tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungannya.
3. Klien tidak terisolasi social
4. Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap (Kelliat, 2012).

II. ASUHAN KEPERAWATAN


1. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul dan Data yang Perlu
Dikaji
A. Masalah keperawatan:
1. Resiko Perilaku Kekerasan
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
B. Data yang perlu dikaji:
1. Resiko perilaku kekerasan
1). Data Subyektif :
a) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
b) Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya
jika sedang kesal atau marah.
c) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Objektif :
a) Mata merah, wajah agak merah.
b) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
c) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
d) Merusak dan melempar barang-barang.
2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
1). Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri.
2). Data obyektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternatif tindakan, ingin mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko Perilaku Kekerasan.
2. Harga Diri Rendah.

3. Rencana Tindakan
Diagnosa 1 : Risiko Perilaku Kekerasan
TujuanUmum :
Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan :
a. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
c. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien
dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
b. Observasi tanda perilaku kekerasan.
c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang dialami
klien.

4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.


Tindakan :
a. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
c. Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?".
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan :
a. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
b. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
c. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan.
Tindakan :
a. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
b. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika
sedang kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.
c. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal /
tersinggung.
d. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan
untuk diberi kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan :
a. Bantu memilih cara yang paling tepat.
b. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
c. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
d. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam
simulasi.
e. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui
pertemuan keluarga.
b. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan :
a. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan
efek samping).
b. Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien,
obat, dosis, cara dan waktu).
c. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan.
Diagnosa II : Harga Diri Rendah
Tujuan Umum :
Klien tidak melakukan kekerasan.
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki.
Tindakan :
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
b. Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien.
c. Utamakan pemberian pujian yang realitas.
3. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan untuk diri
sendiri dan keluarga.
Tindakan :
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
b. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang
ke rumah.
4. Klien dapat merencanakan kegiatan yang bermanfaat sesuai kemampuan
yang dimiliki.
Tindakan :
a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari
sesuai kemampuan.
b. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang klien lakukan.
c. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan .
Tindakan :
a. Beri klien kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
b. Beri pujian atas keberhasilan klien.
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara
merawat klien.
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien
dirawat.
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
d. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

4. Intervensi
a. Pasien
SP I
1. Mengidentifikasi penyebab PK
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala PK
3. Mengidentifikasi PK yang dilakukan
4. Mengidentifikasi akibat PK
5. Mengajarkan cara mengontrol PK
6. Melatih pasien cara kontrol PK fisik I (nafas dalam).
7. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP II
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien  cara kontrol PK fisik II (memukul bantal / kasur /
konversi energi).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP III
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara kontrol PK secara  verbal (meminta, menolak
dan mengungkapkan marah secara baik).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara kontrol PK secara spiritual (berdoa, berwudhu,
sholat).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP V
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan  cara kontrol PK dengan minum obat (prinsip 5 benar
minum obat).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
b. Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
2. Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta proses terjadinya
PK.
3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK.
SP II
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan PK.
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
PK.
SP III
1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk
minum obat  (discharge planning).
2. Menjelaskan  follow up pasien setelah pulang.
STRATEGI PELAKSANAAN
Sp I Melatih Cara Mengontrol PK Dengan Cara Fisik I : Nafas Dalam
Orientasi
1. Salam Terapeutik : Assalamualaikum bu, perkenalkan saya mahasiswa
profesi ners dari Poltekkes Kemenkes Semarang, saya akan merawat ibu dari
jam 07.00 – 14.00 WIB. Nama ibu siapa? senang dipanggil apa?
2. Evaluasi/ validasi : Bagaimana perasaan ibu pada pagi hari ini?
3. Kontrak
Topik : Baik lah bagaimana kalu kita berbincang- bincang tentang
penyebab
marah ibu dan cara mengontrol rasa marah yang dirasakan.
Waktu : Mau berapa lama kita berbincang- bincang bu? Bagaimana kalau
30 menit ?
Tempat : Dimana ibu mau berbincang – bincang? Bagaimana kalau disini
saja.

Kerja ( Langkah – langkah tindakan keperawatan)


Apa yang menyebabkan ibu marah? pada saat penyebab marah itu ada, apa yang
ibu rasakan? Jadi saat ibu marah ibu merasakan dada ibu berdebar-debar. Ada lagi
ibu? Kalau mata melotot, rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal, apakah ibu
merasakannya? Setelah itu apa yang ibu lakukan agar rasa marah itu hilang? Jadi
ibu memecahkan piring ? Apakah dengan memecahkan piring rasa marah ibu bisa
hilang? Menurut ibu apa kerugian yang ibu lakukan? Betul, piring jadi pecah dan
ibu mertua ibu tambah marah dengan ibu. Menurut ibu adakah cara lain yang
lebih baik? Bagaimana kalau kita belajar cara mengontol kemarahan tanpa
menimbulkan kerugian? Jadi cara mengontrol marah itu ada 5 yang pertama
dengan nafas dalam, yang kedua dengan pukul bantal/ kasur, yang ketiga dengan
cara verbal, yang keempat dengan spiritual dan yang terakhir dengan cara patuh
minum obat.
Baik, sekarang kita akan belajar mengontrol rasa marah ibu dengan melakukan
tarik nafas dalam. Carannya berdiri, tarik nafas secara perlahan dari hidung, tahan
sebentar, kemudian keluarkan perlahan-lahan melalui mulut. Coba lihat saya ya
bu. Apakah ibu sudah mengerti? Sekarang coba ibu yang melakukannya? Bagus,
coba ulangi ibu? Bagus ibu sudah melakukannya dengan baik.

Terminasi
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
Evaluasi klien ( Subjektif ) : Bagaimana perasaan ibu setelah berkenalan
dan berbincang – bincang dengan saya ? Ibu kita tadi sudah berkenalan coba
sebutkan kembali asal saya dari mana ? Bagus sekali, coba sekarang ibu
praktikkan cara mengendalikan marah ibu seperti yang telah saya ajarkan tadi?
Bagus, nanti jika rasa marah yang ibu rasakan muncul, ibu bisa melakukan
latihan nafas yang telah kita lakukan tadi
Evaluasi ( Objektif ) : Coba ibu sebutkan lagi cara tarik nafas
dalam dengan benar ? Bagus.
2. Tindak lanjut klien
Sekarang mari kita masukkan tarik nafas dalam ke dalam jadwal.
3. Kontrak yang akan datang
Topik : Baik, besok saya akan kembali lagi untuk melihat sejauh mana
ibu melakukan cara tarik nafas dalam dengan benar, serta apakah hal tersebut
dapat mengatasi rasa marah.
Besok saya akan kemari lagi dan kita akan latihan mengontrol marah dengan
kegiatan fisik yaitu pukul bantal atau kasur.
Waktu : Ibu mau jam berapa? Baik jam 10 pagi.
Tempat : Tempatnya dimana bu? Bagaimana kalau disini saja, jadi besok
kita ketemu lagi disini jam 10 ya bu. Assalamualaikum ibu.
Daftar Pustaka

Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino


Gonohutomo, 2003
Iyus, Yosep. 2007. Keperawatan Jiwa, Edisi 1. Jakarta : Refika Aditama.
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., 2005, Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (terjemahan),
Widya Medika, Jakarta
Keliat, B.A. (2006). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I. Jakarta : EGC
Keliat, B.A., 2005, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi 2, EGC, Jakarta.
Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga
University Press.
Stuart dan sundeen. 2004. Buku Saku Keperawatan Jiwa : Jakarta. EGC
Townsend, M.C. (2004). Buku saku Diagnosa Keperawatan pada Keoerawatan
Psikiatri, edisi 3. Jakarta : EGC
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
DEFISIT KEPERAWATAN DIRI

ANGGUN JULIA SYAFITRI


P1337420920019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
1. PENGERTIAN
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalai kelainan
dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara teratur, tidak
menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan penampilan tidak rapi.
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam kebersihan diri,
makan, berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecil sendiri
(toileting) (Keliat B. A, dkk, 2011).
Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada pasien
gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis sering mengalami ketidak pedulian
merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan
pasien dikucilkan baik dalam keluarga maupun masyarakat (Yusuf, dkk,
2015)
Kurang Perawatan Diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan  perawatan kebersihan untuk dirinya. Pasien yang mengalami
gangguan jiwa kronik seringkali tidak memperdulikan  perawatan diri. Hal ini
menyebabkan pasien dikucilkan dalam keluarga dan masyarakat (Keliat B. A,
dkk, 2006).
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan
diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan, dan
BAB/BAK (toileting) (Fitria, Nita, 2010).
Pasien gangguan jiwa akan mengalami kurangnya perawatan diri yang terjadi
akaibat perubahan proses pikir sehingga aktivitas perawatan diri
menurun.Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan
dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan
diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan
kebersihan untuk dirinya (Afnuhazi, R, 2015).
2. PENYEBAB
a. Faktor Predisposisi
1) Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
2) Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidak pedulian
dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
4) Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungan.Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.

3. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Fitria, Nita. (2010) tanda dan gejala yang tampak pada klien yang
mengalami defisit perawatan diri adalah sebagai berikut:
a. Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidak mampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air
mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, meringankan tubuh, serta
masuk dan keluar kamar mandi.
b. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam melakukan atau mengambil
potongan pakaian, menaggalkan pakaian, serta memperoleh atau
menukar pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat
tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian,
menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu.
c. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menagani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, mengambil
makanan dari wadah lalu memasukannya ke mukut, melengkapi makanan
mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil
cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
d. BAB/BAK(toiletting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi
pakaian untuk toletting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan
tepat, dan menyiram tiolet kamar kecil.
Keterbatasan diri diatas biasanya diakibatkan karena stresor yang cukup berat
dan sulit ditangani oleh klien (klien bisa mengalami harga diri rendah),
sehingga dirinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik
dalam hal mandi, berpakaian, berhias, makan, maupaun BAB/BAK. Bila
tidak dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan bisa mengalami
masalah resiko tinggi isolasi sosial.

4. PENATALAKSANAAN
Klien dengan gangguan defisit perawatan diri tidak membutuhkan perawatan
medis, karena hanya mengalami gangguan jiwa, pasien lebih membutuhkan terapi
kejiwaan melalui komunikasi terapeutik.
5. POHON MASALAH
Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect

Defisit Perawatan Diri Core Problem

Harga Diri Rendah Causa


Pohon Masalah Defisit perawatan Diri ( Fitria, Nita. 2010 ).

6. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Data
1. Data primer (Subjektif)
a) Klien mengatakan dirinya malas mandi karena airnya dingin, atau
di RS tidak tersedia alat mandi.
b) Klien mengatakan dirinya malas berdandan.
c) Klien mengatakan ingin disuapin makanan.
d) Klien mengatakan jarang membersihkan alat kelaminnya setelah
BAK/BAB.
2. Data Sekunder (Objektif)
a) Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri ditandai dengan
rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan berbau, serta kuku
panjang dan kotor.
b) Ketidakmampuan berpakaian/berhias ditandai dengan rambut
acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai
tidak bercukur (laki-laki), atau tidak berdandan (perempuan)
c) Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makanan sendiri, makan berceceran,
dan makan tidak pada tempatnya.
d) Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri ditandai dengan
BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri
dengan baik setelah BAB/BAK.
b. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
c. Intervensi
Menurut Ramdhani. A. N, dkk (2017) intervensi defisit perawatan diri
adalah sebagai berikut :
1. Strategi Pelaksanaan 1 Klien (SP 1 Klien)
a) Identifikasi masalah perawatan diri: mandi/kebersihan diri,
berpakaian/ berhias, makan/minum, serta BAB/BAK.
b) Jelaskan pentingnya mandi/kebersihan diri.
c) Jelaskan cara dan alat mandi/kebersihan diri.
d) Bantu klien mempraktikkan cara melakuan mandi/kebersihan diri:
mandi, ganti pakaian, sikat gigi, cuci rambut, dan potong kuku.
e) Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
2. Strategi Pelaksanaan 1 Keluarga (SP 1 Keluarga)
a) Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat klien.
b) Jelaskan pengertian, tanda gejala dan proses terjadinya defisit
perawatan diri (gunakan booklet).
c) Jelaskan cara merawat defisit perawatan diri.
d) Latih dua cara merawat: mandi/kebersihan diri dan berpakaian/
berhias.
e) Anjurkan membantu klien sesuai jadwal dan memberikan pujian.
STRATEGI PELAKSANAAN 1

No Diagnosis Keperawatan Tindakan Keperawatan


1 Defisit Perawatan Diri  Identifikasi masalah perawatan diri:
kebersihan diri, berdandan, makan/minum,
BAB/BAK
 Jelaskan pentingnyan kebersihan diri
 Jelaskan cara dan alat-alat kebersihan diri
 Bantu klien mempraktekkan cara melakukan
kebersihan diri: mandi dan ganti pakaian,
sikat gigi, cuci rambut, potong kuku
 Anjurkan pasien memasukkan cara
menghardik kedalam jadwal kegiatan untuk
latihan mandi, sikat gigi (2x perhari), cuci
rambut (2x perhari), potong kuku (1x per
minggu)

Pertemuan ke : 1
1. Data
Klien terlihat duduk di salah satu sudut ruangan sambil menggaruk-garuk
kepala yang terlihat kotor, rambut sebahu dan tidak tertata rapi. Pakaian yang
digunakan klien tidak terpasang dengan benar dan terlihat banyak robekan.
Kuku jari tangan terlihat hitam dan panjang. Gigi klien terlihat kotor dan
mulutnya mengeluarkan bau.

2. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri.

3. Tujuan
Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri.

4. Strategi Pelaksanaan 1 Klien (SP 1 Klien)


a. Fase Orientasi
1) Salam terapeutik
“Selamat pagi bu, perkenalkan saya mahasiswa keperawatan Potekkes
Kemenkes Semarang yang sedang praktek disini bu. Saya praktek
disini selama 3 minggu bu. Jika boleh saya tau nama ibu siapa ya bu?
ibu senangnya dipanggil apa bu? baiklah jadi ibu senang dipanggil ini
ya bu”.
2) Evaluasi/Validasi
“ Saya lihat dari tadi ibu menggaruk-garuk kepala, apakah kepala ibu
terasa gatal ya bu?
3) Kontrak
Topik: “Bagaimana kalau sekarang kita berbincang-bincang tentang
kebersihan diri? apakah ibu mau?”
Waktu: “Mau berapa lama kira-kira kita berbincang tentang
kebersihan dirinya bu? Oke baiklah, jadi ibu maunya selama 20 menit
ya bu”.
Tempat: “Baiklah mau dimana kita berbincangnya bu? Oke baiklah,
jadi ibu maunya ditaman ya bu, ayok kita ketaman sekarang bu”.
b. Fase Kerja
1) “Berapa kali ibu mandi dalam sehari? Apakah ibu sudah mandi hari
ini? Menurut ibu apa kegunaannya mandi? Apa alasan ibu sehingga
tidak bisa merawat diri? Menurut ibu apa manfaatnya kalau kita
menjaga kebersihan diri? Kira-kira tanda-tanda orang yang tidak
merawat diri dengan baik seperti apa ya bu? badan gatal, mulut bau,
apa lagi bu? Kalau kita tidak teratur menjaga kebersihan diri masalah
apa menurut ibu yang bisa muncul ? Betul ada kudis, kutu, dsb”
2) “Menurut ibu mandi itu seperti apa? Sebelum mandi apa yang
biasanya ibu persiapkan? Benar sekali, ibu perlu menyiapkan pakaian
ganti yang bersih, handuk kering, sikat gigi, odol, shampo dan sabun
mandi”
3) “Menurut ibu tempat mandi dimana? Benar sekali kita mandi di kamar
mandi, bagaimana kalau kita ke kamar mandi sekarang? Saya akan
bantu melakukannya. Pertama kita gosok gigi dulu dengan sikat gigi,
ambil sikat gigi yang sudah di kasih odol kemudian sikat gigi dengan
gerakan memutar dari atas ke bawah kemudian ibu berkumur-kumur
dengan air bersih. Bagus sekali, sekarang ibu buka pakaian, siram
seluruh tubuh ibu dengan air termasuk rambut dan kepala lalu ambil
shampoo sedikit dan gosokkan ke atas kepala ibu sampai berbusa lalu
bilas sampai bersih. Bagus sekali ibu, sekarang ambil sabun dan
gosokan keseluruh tubuh ibu secara merata dan di mulai dari bagian
sebelah kanan lalu siram dengan air sampai bersih, pastikan bersih
tidak ada sisa sabun yang menempel. Setelah selesai di siram dengan
air sampai bersih, keringkan tubuh ibu dengan handuk kering yang
sudah disiapkan. Bagus sekali ibu melakukannya. Selanjutnya ibu
menggunakan pakaian bersih yang sudah di siapkan”.
c. Fase Terminasi
1) Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
 Evaluasi klien/subjektif
“Bagaimana perasaan ibu setelah mandi dan mengganti pakaian?
Coba  ibu sebutkan lagi apa saja cara-cara mandi yang sudah ibu
lakukan tadi? Bagus sekali sekarang ibu sudah tahu manfaat dan
cara mandi yang baik”.
 Evaluasi perawat/ objektif
“Ternyata ibu masih memiliki kemampuan yang baik dalam
menjaga kebersihan diri. Nah, kemampuan ini dapat dilakukan juga
di rumah setelah pulang ya ibu”.
2) Rencana lanjut klien
“Sekarang, mari kita masukkan pada jadwal harian. Ibu mau berapa
kali sehari mandi dan sikat gigi? Bagus, dua kali yaitu pagi dan sore.
Kalau pagi jam berapa? kalau sore jam berapa? Beri tanda M
(mandiri) kalau dilakukan tanpa disuruh, B (bantuan) kalau diingatkan
baru dilakukan dan T (tidak) tidak melakukan”
3) Kontrak yang akan datang
Topik: “Baik besok kita akan bertemu kembali untuk latihan
berdandan ya bu”
Waktu: “Kalau begitu kita akan latihan berdandan besok jam 9 pagi
setelah  ibu melakukan kegiatan mandi”
Tempat : “Ibu mau kita ketemu dimana? Kita ketemu di dalam kamar
ibu besok bagaimana?”
DAFTAR PUSTAKA
Afnuhazi, R., (2015). Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Fitria, Nita. (2010). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
Keliat, B. A, dkk. (2006). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN
(Basic Course). Jakarta : EGC.
Keliat, B. A, dkk. (2011). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa : Edisi 2.
Yogyakarta : EGC.
Ramdhani. A. N, dkk (2017) Buku Saku Praktik Klinik Keperawatan : Edisi
Revisi. Jakarta Selatan : Salemba Medika
Yusuf, dkk. (2015). Buku Ajar Kesehatan Keperawatan Jiwa. Jakarta :
Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
RESIKO BUNUH DIRI

ANGGUN JULIA SYAFITRI


P1337420920019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
1. Pengertian Resiko Bunuh Diri
Tujuan utama pelayanan pasien adalah untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan meningkatkan derajat kesehatan pada pasien. Sesuai
kemajuan zaman, tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan
mengharuskan adanya perubahan pelayanan . dari paragidma lama ke paradigma
baru. Khususnya dalam hal kejadian pasien yang beresiko bunuh diri, harus
ditingkatkan pengawasan dan perawatannya agar angka kejadian bunuh diri dapat
dikurangi.
Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai dengan
kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya
kegairahan hidup. (Hawari, 2001, hal.19). dan menurut (DSM-IV-TR,2000 dalam
Videbeck, 2008, HAL.388) Depresi adalah suatu mood sedih (disforia) yang
berlangsung lebih dari empat minggu, yang disertai prilaku seperti perubahan
tidur, gangguan konsentrasi, iritabilitas, sangat cemas, kurang bersemangat, sering
menangis, waspada berlebihan, pesimis, merasa tidak berharga, dan
mengantisipasi kegagalan, dan bila hal ini di biarkan terus menerus akan beresiko
terjadinya bunuh diri.
Resiko bunuh diri (RBD) adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang
dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri
disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal
dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah.
Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk
beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat
terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan
yang berarti, perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri keputusan (Stuart, 2006 dalam Aulia,
Yulastri dan Sasmita (2019)
Perilaku destruktif diri pada pasien jiwa adalah setiap aktivitas yang tidak
dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri langsung
mencakup aktivitas bunuh diri. Niatnya adalah kematian, dan individu menyadari
hal ini sebagai hasil yang diinginkan. Perilaku destruktif diri tak langsung
termasuk tiap aktivitas kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah kepada
kematian. Orang tersebut tidak menyadari tentang potensial terjadi pada kematian
akibat perilakunya dan biasanya menyangkal apabila dikonfrontasi (Stuart &
Sundeen, 2006) dalam Litaqia dan Fatih (2018). Menurut Shives (2008) dalam
Intan (2018) mengemukakan rentang harapan putus harapan merupakan rentang
adaptif maladaptif.

Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh normanorma


sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon maladaptif
merupakan respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang
kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat. Respon
maladaptif antara lain :
a. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan
masalah, karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang
bermanfaat sudah tidak berguna lagi, tidak mampu mengembangkan
koping yang baru serta yakin tidak ada yang membantu.
b. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan
merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya :
kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan
merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang semuanya dapat berakhir
dengan bunuh diri.
2. Etiologi
Banyak penyebab tentang alasan seseorang melakukan bunuh diri :
a. Kegagalan beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres.
b. Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan
c. Interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti.
d. Perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri.
e. Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
3. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart Gw & Laraia (2005) dalam Aulia, Yulastri dan Sasmita
(2019), faktor predisposisi bunuh diri antara lain :
a. Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
bunuh diri, mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu beresiko untuk bunuh
diri yaitu gangguan apektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian, tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan
besarnya resiko bunuh diri adalah rasa bermusuhan, implisif dan
depresi.
c. Lingkungan psikososial, seseorang yang baru mengalami kehilangan,
perpisahan/perceraian, kehilangan yang dini dan berkurangnya
dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan
bunuh diri.
d. Riwayat keluarga, riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor resiko penting untuk prilaku destruktif.
e. Faktor biokimia, data menunjukkan bahwa secara serotogenik,
apatengik, dan depominersik menjadi media proses yang dapat
menimbulkan prilaku destrukif diri.
4. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
a. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
b. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
c. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman
pada diri sendiri.
d. Cara untuk mengakhiri keputusan.
5. Patopsikologi
Semua perilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Orang yang
siap membunuh diri adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak
kekerasan, mempunyai rencana spesifik dan mempunyai niat untuk
melakukannya. Prilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi 3 kategori:
a. Ancaman bunuh diri
Peningkatan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ancaman menunjukkan
ambevalensi seseorang tentang kematian kurangnya respon positif dapat
ditafsirkan seseorang sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh
diri.
b. Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu
yang dapat mengarah pada kematian jika tidak dicegah.
c. Bunuh diri
Mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan atau terabaikan.
Orang yang melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung
ingin mati mungkin pada mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui
tepat pada waktunya. Percobaan bunuh diri terlebih dahulu individu
tersebut mengalami depresi yang berat akibat suatu masalah yang
menjatuhkan harga dirinya (Stuart & Sundeen, 2006 dalam Aulia, Yulastri
dan Sasmita (2019).
Gambar/Pohon Masalah Proses Perilaku Bunuh Diri

6. Tanda dan Gejala


Pengkajian orang yang bunuh diri juga mencakup apakah orang tersebut tidak
membuat rencana yang spesifik dan apakah tersedia alat untuk melakukan rencana
bunuh diri tersebut adalah: keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri, perasaan
gagal dan tidak berguna, alam perasaan depresi, agitasi dan gelisah, insomnia
yang menetap, penurunan BB, berbicara lamban, keletihan, menarik diri dari
lingkungan sosial.
Adapun petunjuk psikiatrik anatara lain: upaya bunuh diri sebelumnya,
kelainan afektif, alkoholisme dan penyalahgunaan obat, kelaianan tindakan dan
depresi mental pada remaja, dimensia dini/ status kekacauan mental pada lansia.
Sedangkan riwayat psikososial adalah: baru berpisah, bercerai/ kehilangan, hidup
sendiri, tidak bekerja, perubahan/ kehilangan pekerjaan baru dialami, faktor-faktor
kepribadian: implisit, agresif, rasa bermusuhan, kegiatan kognitif dan negatif,
keputusasaan, harga diri rendah, batasan/ gangguan kepribadian antisosial.
7. Rencana Tindakan Keperawatan (Strategi Pelaksanaan)
a. Tindakan keperawatan dengan pasien isyarat bunuh diri
Tujuan umum: Klien tidak melakukan tindakan bunuh diri dan mengungkapkan
kepada seseorang yang dipercaya apabila ada masalah.
Tujuan khusus:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan menerapakan
prinsip komunikasi terapeutik.
 Sapa klien dengan ramah dan sopan.
 Perkenalkan diri dengan sopan
 Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang diuskai
klien.
 Jelaskan tujuan pertemuan
 Jujur dan menepati janji.
 Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
 Beri perhatian kepada klien
Tindakan Keperawatan:
No Diagnosis Keperawatan Tindakan Keperawatan
1 Resiko Bunuh Diri  Identifikasi beratnya masalah resiko bunuh
diri: isarat, ancaman, percobaan (jiak
percobaan segera rujuk)
 Identifikasi benda-benda berbahaya dan
mengamankannya (lingkungan aman untuk
pasien)
 Latih cara mengendalikan diri dari dorongan
bunuh diri: buat daftar aspek positif diri
sendiri, latihan afirmasi/berfikir aspek
positif yang dimiliki
 Masukkan pada jadwal latihan berpikir
positif tentang diri, keluarga dan lingkungan

Contoh percakapan SP 1 Pasien: Percakapan untuk melindungi pasien dari


percobaan bunuh diri
ORIENTASI
Assalamu’alaikum pak kenalkan saya adalah perawat yang bertugas di wilayah
kerja puskesmas srondol.”
”Bagaimana perasaan bapak hari ini?”
“Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang  apa yang bapak rasakan selama
ini. Dimana dan berapa lama kita bicara?”
KERJA
“Bagaimana perasaan bapak sekarang? Apakah ada didalam pikiran bapak
bahwa bapak merasa paling menderita di dunia ini? Apakah bapak kehilangan
kepercayaan diri? Apakah bapak merasa tak berharga atau bahkan lebih rendah
daripada orang lain? Apakah bapak merasa bersalah atau mempersalahkan diri
sendiri? Apakah bapak sering mengalami kesulitan berkonsentrasi? Apakah
bapak berniat untuk menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap bahwa
bapak mati? Apakah bapak pernah mencoba untuk bunuh diri? Apa sebabnya,
bagaimana caranya? Apa yang bapak rasakan?”  (Jika pasien telah
menyampaikan ide bunuh dirinya, segera dilanjutkan dengan tindakan
keperawatan untuk melindungi pasien), misalnya dengan mengatakan: “Baiklah,
tampaknya bapak membutuhkan pertolongan segera karena ada keinginan untuk
mengakhiri hidup”. ”Apakah saya boleh memeriksa isi kamar bapak ini untuk
memastikan tidak ada benda-benda yang membahayakan bapak.”
”Nah bapak, Karena bapak tampaknya masih memiliki keinginan yang kuat untuk
mengakhiri hidup bapak, maka saya tidak akan membiarkan bapak sendiri, saya
akan bicarakan dengan keluarga dan orang sekitar untuk tidak meninggalkan
bapak sendirian.”
”Apa yang bapak lakukan kalau keinginan bunuh diri muncul ? Kalau keinginan
itu muncul,   maka untuk mengatasinya bapak harus langsung minta bantuan
kepada keluarga atau teman yang ada dilingkungan bapak. Jadi bapak jangan
sendirian ya, katakan pada keluarga atau teman jika ada dorongan untuk
mengakhiri kehidupan”.

”Saya percaya bapak dapat mengatasi masalah, Oke ya pak?”


 TERMINASI
”Bagaimana perasaan bapak sekarang setelah mengetahui cara mengatasi
perasaan ingin bunuh diri?”
”Coba bapak sebutkan lagi cara tersebut”
”Saya akan menemani bapak sampai keinginan bunuh diri hilang. Untuk Besok
apakah boleh saya kerumah bapak lagi untuk berbincang-bincang kembali
dengan bapak?”
”Bagaimana kalau besok saya kerumah bapak di jam seperti sekarang?”
”Oke siap bapak terimakasih untuk waktunya hari ini pak, saya pamit
Assalamualaikum”
b. Tindakan keperawatan dengan pasien isyarat bunuh diri
1) Tujuan : keluarga mampu merawat pasien dengan risiko bunuh diri.
2) Tindakan keperawatan :
 Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien
 Jelaskan pengertian, tanda gejala dan proses terjadinya resiko bunuh
diri
 Jelaskan cara merawat pasien resiko bunuh diri
 Latih cara memberikan pujian hal positif pasien, memberi dukungan
pencapaian masa depan
 Anjurkan membantu pasien sesuai jadwal dan memberikan pujian
Contoh percakapan SP 1 Keluarga : Percakapan dengan keluarga untuk
melindungi pasien yang  mencoba bunuh diri
ORIENTASI
”Assalamu’alaikum Ibu, kenalkan saya perawat yang bertugas diwilayah kerja
puskesmas srondol di praktik stase keperawatan jiwa Poltekkes Kemenkes
Semarang”.
”Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang cara menjaga agar bapak
tetap selamat dan tidak melukai dirinya sendiri. Bagaimana kalau disini saja kita
berbincang-bincangnya Bu?”Sambil kita awasi terus bapak.

KERJA
”Ibu, suami ibu sedang mengalami putus asa yang berat karena kehilangan
sesuatu yang berharga, sehingga sekarang bapak selalu ingin mengakhiri
hidupnya.  Karena kondisi bapak yang dapat mengakiri kehidupannya sewaktu-
waktu, kita semua perlu mengawasi bapak terus-menerus. Ibu dapat ikut
mengawasi ya.. Intinya kalau dalam kondisi serius seperti ini bapak tidak boleh
ditinggal sendidrian sedikitpun”
”Ibu dan anggota keluarga bisa membantu saya untuk mengamankan barang-
barang yang dapat digunakan bapak untuk bunuh diri, seperti tali tambang,
pisau, silet, tali pinggang. Semua barang-barang tersebut tidak boleh ada
disekitar bapak”. ” Selain itu, jika bicara dengan bapak fokus pada hal-hal
positif, hindarkan pernyataan negatif.
”Selain itu sebaiknya bapak punya kegiatan positif seperti melakukan hobbynya
bermain bermain futsal supaya tidak sempat melamun sendiri”

TERMINASI
”Bagaimana perasaan ibu setelah mengetahui cara mengatasi perasaan ingin
bunuh diri?”
”Coba ibu sebutkan lagi cara tersebut”Baik, mari sama-sama kita temani bapak,
sampai keinginan bunuh dirinya hilang.
”Baik bu, saya akan menemani bapak dalam beberapa hari ini sampai keinginan
bunuh diri hilang. Untuk Besok apakah boleh saya kerumah ibu lagi untuk
berbincang-bincang kembali dengan ibu?”
”Bagaimana kalau besok kita berbincang di jam seperti sekarang?”
”Oke siap ibu terimakasih untuk waktunya hari ini, saya pamit
Assalamualaikum”
DAFTAR PUSTAKA
Asa, Amita (2019). Hubungan Kebutuhan Spiritual Dengan Tingkat Resiko
Bunuh Diri Pada Pasien Gangguan Jiwa Di Rsjd Dr Amino Gondohutomo
Semarang Jawa Tengah. Dapat diakses di
http://repository.unissula.ac.id/14518/
Cita dan Fatih. 2018. Resiko Bunuh Diri Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan
Terapi Hemodialisa. Dapat diakes di
http://www.jurnalmadanimedika.ac.id/index.php/JMM/article/view/25
Damayanti, M dkk (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa, Bandung: Refika Aditama
Fatimah, (2017). Analisa Praktik Klinik Keperawatan Jiwa Pada Klien Resiko
Bunuh Diri Dengan Intervensi Inovasi Guided Imageryterhadap Gejala
Resiko Bunuh Diri Di Ruang Punai Rsjdatmahusada. Dapat diakses di
https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/300/KIAN.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
Litaqia dan Permana. (2019). Peran Spiritualitas Dalam Mempengaruhi Resiko
Perilaku Bunuh Diri: A Literature Review. Dapat diakes di
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/article/view/305
Purbaningsih. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Depresi Dan Resiko
Bunuh Diri. Dapat diakses di
http://www.jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntax-
literate/article/view/677
Videbeck, L. S. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep, I. (2010). Buku Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika
Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
GANGGUAN PSIKOSOSIAL

ANGGUN JULIA SYAFITRI


P1337420920019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
A. DEFENISI
Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang
bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik.
masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik,
sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak sosial dalam
masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa (Depkes, 2011).
B. Tahap Perkembangan Psikososial
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian memiliki ciri utama setiap
tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis. Adapun tingkatan dalam delapan
tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia adalah sebagai berikut:
1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
a. Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan.
b. Dari lahir sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar
dalam hidup.
c. Bayi sangat tergantung dari pengasuhan.
d. Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan
aman dalam dunia.
2. Autonomy vs Shame and Doubt (otonomi vs malu dan ragu-ragu)
a. Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun
b. Masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari
pengendalian diri.
c. Latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting.
d. Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih
yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan
pakaian.
e. Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya
diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu
terhadap diri sendiri.
3. Initiative vs Guilt ( inisiatif dan rasa bersalah)
a. Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.
b. masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan
dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya.
c. Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam
memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan
prakarsa.
d. Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah,
perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif.
e. Rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
a. Terjadi pada usia 6 s/d pubertas.
b. Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga
terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka.
c. Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun
peasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
d. Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang
tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk
berhasil.
e. Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan
pengalaman baru.
f. Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka
mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan
keterampilan intelektual.
g. Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah
berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak
produktif.
h. Guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-
anak.
5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
a. Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun
b. Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan
dirinya.
c. Anak dihadapkan dengan penemuan siapa, bagaimana, dan kemana mereka
menuju dalam kehidupannya.
d. Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang
dewasa, pekerjaan dan romantisme.
e. Jika remaja menjajaki peran dg cara yang sehat dan positif maka identitas
positif akan dicapai.
f. Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara
memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak
dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
g. bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal,
kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam
tahap ini.
h. Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan
muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
a. Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
b. Tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat
& siap berkomitmen dg orang lain.
c. Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang
komit dan aman.
d. Identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang
intim.
e. Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak
dalam interaksi dengan orang.

7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)


a. Terjadi selama masa pertengahan dewasa
b. Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus
terhadap karir dan keluarga.
c. Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka
berkontribusi terhadap dunia .
d. Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak
terlibat di dunia ini.
8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
a. Terjadi selama masa akhir dewasa.
b. cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
c. Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya
percuma dan mengalami banyak penyesalan.
d. Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa.
e. Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan
keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami.
f. Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi
kematian.
C. Konsep Dasar Psikososial
Dalam kebutuhan Maslow dinyatakan bahwa tingkat yang paling tinggi dalam
kebutuhan manusia adalah tercapainya aktualisasi diri untuk mencapai aktualisasi
diri diperlukan konsep diri yang sehat.
1. Konsep diri
Konsep diri adalah semua perasaan kepercayaan dan nilai yang diketahui
tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam bersosialisasi dengan orang lain.
Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi molai mengenal dan
membedakan dirinya dengan orang lain.
Pembentukan konsep diri ini sangat dipengaruhi oleh asuhan orang tua dan
lingkungannya.
a. Komponen konsep diri
1)    Citra diri
adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini
mencakup presepsi dari pasangan tentang ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan
tubuh saat ini dan masa lalu.
2)    Ideal diri
Presepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar
perilaku. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi.
3)    Harga diri
Harga diri adalah penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis, sejauh
mana perilaku memenuhi ideal diri. Jika individu selalu sukses maka cenderung
harga dirinya akan tinggi dan jika mengalami kegagalan cenderung harga diri
menjadi rendah. Harga diperoleh dari diri sendiri dan orang lain.
4)    Peran diri
Peran diri adalah pola sikap, perilaku nilai yang diharapkan dari seseorang
berdasarkan posisinya di masyarakat.
5)    Identitas diri
Identitas diri adalah kesadaran akan dirinya sendiri yang bersumber dari observasi
dan penilaian yang merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai suatu
kesatuan yang utuh.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
1) Tingkat perkembangan dan kematangan
Perkembangan anak seperti perkembangan menta, perlakuan, dan pertumbuhan
anak akan mempengaruhi konsep dirinya.
2) Budaya
Pada usia anak-anak nilai-nilai akan diadopsi dari orang tuanya, kelompoknya,
dan lingkungannya. Orang tua yang bekerja seharian akan membawa anak lebih
dekat pada lingkungannya.
3) Sumber eksternal dan internal
Kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap konsep
diri. Pada sumber internal misalnya, orang yang humoris koping individunya lebih
efektif. Sumber eksternal misalnya adanya dukungan dari masyarakat dan
ekonomi yang kuat.
4) Pengamatan sukses dan gagal
Ada kecenderungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan konsep diri
demikian pula sebaliknya.
5) Sensor
Stresor dalam kehidupan misalnya perkawinan, pekerjaan baru, ujian dan
kekuatan. Jika koping individu tidak adekuat maka akan menimbulkan depresi,
menarik diri, dan kecemasan.
6) Usia, keadaaan sakit, dan trauma
Usia tua, keadaan sakit akan mempengaruhi persepsi dirinya.
D. Kriteria kepribadian yang sehat
1)    Citra tubuh positif dan akurat
Kesadaran akan diri berdasar atas observasi mandiri dan perhatian yang sesuai
akan kesehatan diri. Termasuk presepsi saat ini dan masa lalu.
2)    Ideal dan realitas
Individu mempunyai ideal diri yang realitas dan mempunyai tujuan hidup yang
dapat dicapai.
3)    Konsep diri yang positif
Konsep diri yang positif menunjukkan bahwa individu akan sesuai dalam
hidupnya.
4)    Harga diri tinggi
Seseorang yang akan mempunyai harga diri tinggi akan memandang dirinya
sebagai seorang yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sama dengan
apa yang ia inginkan.
5)    Kepuasan penampilan peran
Individu yang mempunyai kepribadian sehat akan dapat berhubungan dengan
orang lain secara intim dan mendapat kepuasan, dapat memercayai dan terbuka
pada orang lain serta membina hubungan interdependen.
6)    Identitas jelas
individu merasakan keunikan dirinya yang memberiarahkehidupan dalam
mencapai tujuan
E. Karakteristik konsep diri rendah
1)    Menghindari sentuhan atau melihat bagian tubuh tertentu
2)    Tidak mau berkaca
3)    Menghindari diskusi tentang topik dirinya
4)    Menolak usaha rehabilitasi
5)    Melakukan usaha sendiri dengan tidak tepat
6)    Mengingkari perubahan pada dirinya
7)    Peningkatan ketergantungan pada yang lain
8)    Tanda dari keresahan seperti marah, keputusasaan, dan menangis
9)    Menolak berpartisipasi dalam perawatan dirinya
F. Faktor risiko gangguan konsep diri
1.    Gangguan identitas diri
a)    Perubahan perkembangan.
b)    Trauma
c)    Jenis kelamin yang tidak sesuai
d)    Budaya yang tidak sesuai
2.    Gangguan citra tubuh (body image)
a)    Hilangnya bagian tubuh
b)    Perubahan perkembangan
c)    Kecacatan
3.    Gangguan harga diri
a)    Hubungan interpersonal yang tidak harmonis
b)    Kegagalan perkembangan
c)    Kegagalan mencapai tujuan hidup
d)    Kegagalan dalam mengikuti aturan normal
4.    Gangguan peran
a)    Kehilangan peran
b)    Peran ganda
c)    Konflik peran
d)    Ketidakmampuan menampilkan peran
G. Stress dan Adaptasi
Stress merupakan bagian dari kehidupan yang mempunyai efek positif dan
negatif yang disebabkan karena perubahan lingkungan. Secara sederhana stress
adalah kondisi dimana adanya respons tubuh terhadap perubahan untuk mencapai
normal. Sedangkan stressor adalah sesuatu yang dapat menyebabkan seseorang
mengalami stress. Stressor dapat berasal dari internal misalnya, perubahan
hormon, sakit maupun eksternal misalnya, temperatur dan pencemaran.
Seseorang mengalami situasi bahaya, maka respons akan muncul. Respons yang
tidak disadari pada saat tertentu disebut respons koping. Perubahan dari suatu
keadaan dari respons akibat stressor disebut adaptasi. Adaptasi sesungguhnya
terjadi apabila adanya keseimbangan antara lingkungan internal dan eksternal.
Contoh adaptasi misalnya: optimalnya semua fungsi tubuh, pertumbuhan normal,
normalnya reaksi antara fisik dan emosi, kemampuan menolerir perubahan situasi.
1. Fisiologi Stress dan Adaptasi
Tubuh selalu berinteraksi dan mengalami sentuhan langsung dengan lingkungan,
baik lingkungan internal seperti pengaturan peredaran darah, pernapasan. Maupun
lingkungan eksternal seperti cuaca dan suhu yang kemudian menimbulkan
respons normal atau tidak normal. Keadaan diman terjadi mekanisme relatif untuk
mempertahankan fungsi normal disebut homeostatis. Homeostatis dibagi menjadi
dua yaitu homeostatis fisiologis misalnya, respons adanya peningkatan
pernapasan saat berolahraga dan homeostatis psikologis misalnya, perasaan
mencintai dan dicintai, perasaan aman dan nyaman.
2. Respons fisiologi terhadap stress
Respons fisiologi terhadap stress dapat diidentifikasi menjadi dua yaitu local
adaptation syndrome (LAS) yaitu respons lokal tubuh terhadap stressor misalnya
kalau kita menginjak paku maka secara refleks kaki akan diangkat atau misalnya
ada proses peradangan maka reaksi lokalnya dengan menambahkan sel darah
putih pada lokasi peradangan dan general adaptation syndrome (GAS) yaitu
reaksi menyeluruh terhadap stressor yang ada.
Dalam proses GAS terdapat tiga fase:
a) pertama, reaksi peringatan ditandai oleh peningkatan aktifitas
neuroendokrin yang berupa peningkatan pembuluh darah, nadi, pernapasan,
metabolisme, glukosa dan dilatasi pupil.
b) kedua, fase resisten dimana fungsi kembali normal, adanya LAS, adanya
koping dan mekanisme pertahan.
c) ketiga, fase kelelahan ditandai dengan adanya vasodilatasi, penurunan
tekanan darah, panik, krisis.Dapat berupa depresi, marah, dan kecemasan.
Kecemasan adalah respons emosional terhadap penilaian, misalnya cemas
mengikuti ujian karena khawatir nilainya buruk. Ada empat tingkatan
kecemasan, yaitu :
1) Cemas ringan
Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan
sehari–hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan
berhati–hati dan waspada. Respons cemas ringan seperti sesekali bernapas
pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka
berkerut dan bibir bergetar, lapang persepsi meluas, konsentrasi pada
masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, tidak dapat duduk dengan
tenang dan tremor halus pada tangan.
2) Cemas sedang
Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap masalah menurun. Respons
cemas sedang seperti sering napas pendek, nadi dan tekanan darah naik,
mulut kering, anoreksia, gelisah, lapang pandang menyempit, rangsangan
luar tidak mampu diterima, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur dan
perasaan tidak enak.
3) Cemas berat
Pada cemas berat lahan persepsi sangat sempit. Respons kecemasan berat
seperti napas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat dab
sakit kepala, penglihatan kabur, ketegangan, lapang persepsi sangat
sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah, blocking, verbalisasi cepat
dan perasaan ancaman meningkat.
4) Panik
Pada tahap ini lahan persepsi telah terganggu sehingga individu tidak
dapat mengendalikan diri sehingga individu tidak dapat mengendalikan
diri lagi dan tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat
melakukan apa–apa walaupun telah diberi pengarahan. Respons panik
seperti napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat,
hipotensi, lapang persepsi sangat sempit, tidak dapat berpikir logis,
agitasi, mengamuk, marah, ketakutan, berteriak–teriak, blocking,
kehilangan kendali dan persepsi kacau.
H. Faktor – faktor yang Dapat Menimbulkan Stres
1. Lingkungan yang asing
2. Kehilangan kemandirian sehingga mengalami ketergantungan dan
memerlukan bantuan orang lain
3. Berpisah dengan pasangan dan keluarga
4. Masalah biaya
5. Kurang informasi
6. Ancaman akan penyakit yang lebih parah
7. Masalah pengobatan
I. Asuhan Keperawatan
1.    Pengkajian
a.    Pengkajian psikologis
1)   Status emosional
-   Apakah emosi sesuai perilaku?
-   Apakah klien dapat mengendalikan emosi?
-   Bagaimana perasaan klien yang tampil seperti biasaanya?
-   Apakah perasaan hati sekarang merupakan cirri khas klien?
-   Apa yang klien lakukan jika marah atau sedih?
2)   Konsep Diri
-   Bagaimana klien menilai dirinya sebagai manusia?
-   Bagaimana orang lain menilai diri klien?
-   Apakah klien suka akan dirinya?
3)   Cara Komunikasi
-   Apakah klien mudah merespons?
-   Apakah spontanitas atau hanya jika ditanya?
-   Bagaimana perilaku nonverbal klien dalam berkomunikasi?
-   Apakah klien menolak untuk memberi respons?
4)   Pola interaksi
-   Kepada siapa klien mau berinteraksi?
-   Siapa yang penting atau berpengaruh bagi klien?
-   Bagaimana sifat asli klien : mendominasi atau positif?
b.    Pengkajian Sosial
1)         Pendidikan
a)    Pendidikan terakhir
b)   Keterampilan yang mampu dilakukan
c)    Pekerjaan klien
d)   Status keuangan
2)         Hubungan social
a)    Teman dekat klien
b)   Bagaimana klien menggunakan waktu luang?
c)    Apakah klien berkecimpung dalam kelompok masyarakat?
3)         Faktorkultural social
a)    Apakah agama dan kebudayaan klien?
b)   Bagaimana tingkat pemahaman klien tentang agama?
c)    Apakah bahasa klien memadai untuk berkomunikasi dengan orang
lain?
4)         Pola Hidup
a)    Dimana tempat tinggal klien?
b)   Bagaimana tempat tinggal klien?
c)    Dengan siapa klien tinggal?
d)   Apa yang klien lakukan untuk menyenangkan diri?
5)         Keluarga
a)    Apakah yang klien sudah menikah?
b)   Apakah klien sudah punya anak?
c)    Bagaimana status kesehatan klien dan keluarga?
d)   Masalah apa yang terutama dalam keluarga?
e)    Bagaimana tingkat kecemasan klien?
J. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a.  Gangguan konsep diri: citra tubuh negatif
Kondisi di mana seseorang mengalami status peru merasakan, memikirkan, dan
memandang dirinya sendiri. Gangguan konsep diri meliputi perubahan citra
tubuh, ideal diri, performa peran, atau identitas personal.
Kemudian berhubungan dengan :
Patofisiologis
Berhubungan dengan perubahan penampilan, gaya hidup, peran, respons orang
lain, sekunder akibat:
-  Penyakit kronis
-  Kehilangan anggota tubuh
-  Kehilangan fungsi tubuh
-  Trauma yang berat
-  Nyeri
b.  Situasional (Personal, lingkungan)
Berhubungan dengan perasaan terlantar atau kegagalan, sekunder akibat:
 Perceraian, perpisahan diri dari orang terdekat, atau kematian orang yang
disayang.
 Kehilangan pekerjaan atau ketidakmampuan untuk bekerja.
 Berhubungan dengan immobilitas atau kehilangan fungsi.
 Berhubungan dengan hubungan yang tidak memuaskan (orang tua).
 Berhubungan dengan pilihan seksual (homoseksual, lesbian, biseksual,
abstein).
 Berhubungan dengan kehamilan remaja.
 Berhubungan dengan perbedaan gender dalam cara membesarkan anak oleh
orang tua.
 Berhubungan dengan pengalaman tindak kekerasan oleh orang tua.
c.  Maturasional
Usia pertengahan
Kehilangan peran dan tanggung jawab
Lansia
Kehilangan peran dan tanggung jawab
Kemungkinan berhubungan data yang ditemukan:
o Menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh
o Menolak memandag ke cermin
o Tidak bersedia mendiskusikan keterbatasan, deformitas, atau gangguan
penampilan yang dialami
o Menolak menerima upaya rehabilitasi
o Tanda-tanda berduka: menangis, putus asa, marah
o Perilaku merusak diri: minum alkohol, obat
o Menarik diri dari kontak sosial
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
SEHAT JIWA

ANGGUN JULIA SYAFITRI


P1337420920019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2020
A. Pengertian Kesehatan Jiwa
Pengertian kesehatan jiwa banyak dikemukakan oleh para ahli termasuk oleh
organisasi, diantaranya menurut :
1. WHO
Kesehatan jiwa bukan hanya tidak ada gangguan jiwa, melainkan
mengandung
berbagai karakteristik yang positif yang menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan
kepribadiannya.
2. UU Kesehatan Jiwa No 3 tahun 1996
Kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelectual, emocional
secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini berjalan selaras
dengan orang lain.
3. Stuart & Laraia
Indikator sehat jiwa meliputi sifat yang positif terhadap diri sendiri,
tumbuh, berkembang, memiliki aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan
diri, memiliki persepsi sesuai kenyataan dan kecakapan dalam
beradaptasi dengan lingkungan

B. Kriteria Sehat Jiwa


1. WHO, mengemukakan bahwa kriteria sehat jiwa terdiri dari :
a. Sikap positif terhadap diri sendiri
Hal ini dapat dipercayai jika melihat diri sendiri secara utuh/total
Contoh: membendingkan dengan teman sebaya pasti ada
kekurangan dan kelebihan. Apakah kekurangan tersebut dapat
diperbaiki atau tidak. Ingat, jangan mimpi bahwa anda tidak punya
kelemahan.
b. Tumbuh dan berkembang baik fisik dan psikologis dan puncaknya
adalah aktualisasi diri
c. Integrasi
Harus mempunyai satu kesatuan yang utuh. Jangan hanya
menonjolkan yang positif saja tapi yang negatif juga merupakan
bagian anda. Jadi seluruh aspek merupakan satu kesatuan.
d. Otonomi
Orang dewasa harus mengambil keputusan untuk diri sendiri dan
menerima masukan dari orang lain dengan keputusan sendiri
sehingga keputusan
pasienpun bukan diatur oleh perawat tapi mereka yang memilih
sendiri
e. Persepsi sesuai dengan kenyataan
Stressor sering dimulai secara tidak akurat. Contoh: putus pacar
karena
perbedaan adat
f. A. H. Maslow
Bila kebutuhan dasar terpenuhi maka akan tercapai aktualisasi diri.
Cirinya adalah:
1) Persepsi akurat terhadap realitas
2) Menerima diri orang lain, dan hakekat manusia tinggi
3) Mewujudkan spontanitas
4) Promblem centered yang akhirnya memerlukan self centered
5) Butuh privasi
6) Otonomi dan mandiri
7) Penghargaan baru, hal ini bersifat dinamis sehingga mampu
memperbaiki diri
8) Mengalami pengalaman pribadi yang dalam dan tinggi
9) Berminat terhadap kesejahteraan manusia
10)Hubungan intim dengan orang terdekat
11) Demokrasi
12)Etik kuat
13)Humor/tidak bermusuhan
14)Kreatif
15)Bertahan atau melawan persetujuan asal bapak senang

C. Pengertian Keperawatan Kesehatan Jiwa


1. Menurut Dorothy, Cecelia
Perawatan Psikiatric/Keperawatan Kesehatan Jiwa adalah proses dimana
perawat membantu individu/kelompok dalam mengembangkan konsep
diri yang positif, meningkatkan pola hubungan antar pribadi yang lebih
harnonis serta agar berperan lebih produktif di masyarakat.
2. Menurut ANA
Keperawatan Jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang
menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan
menggunakan diri sendiri secara terapeutik dalam meningkatkan,
mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan
mental masyarakat dimana klien berada
3. Menurut Kaplan Sadock
Proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan
mempertahankan prilaku yang akan mendukung integrasi. Pasien atau
klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi atau
komunitas.
4. Caroline dalam Basic Nursing, 1999
Keahlian perawat kesehatan mental adalah merawat seseorang dengan
penyimpangan mental, dimana memberikan kesempatan kepada perawat
untuk mengoptimalkan kemampuannya, harus peka, memiliki
kemampuan untuk mendengar, tidak hanya menyalahkan, memberikan
penguatan atau dukungan, memahami dan memberikan dorongan.
5. Menurut Stuart Sundeen
Keperawatan mental adalah proses interpersonal dalam meningkatkan
dan mempertahankan perilaku yang berpengaruh pada fungsi integrasi.
Pasien tersebut biasa individu, keluarga, kelompok, organisasi atau
masyarakat. Tiga area praktik keperawatan mental yaitu perawatan
langsung, komunikasi dan management.

D. Peran Perawat Kesehatan Jiwa


1. Menurut Weiss (1947) yang dikutip oleh Stuart Sundeen dalam
Principles and Practice of Psychiatric Nursing Care
(1995), peran perawat adalah sebagai Attitude Therapy, yakni:
a. Mengobservasi perubahan, baik perubahan kecil atau menetap yang
terjadi pada klien
b. Mendemontrasikan penerimaan
c. Respek
d. Memahami klien
2. Mempromosikan ketertarikan klien dan beradaptasi dalam interaksi
Sedangkan menurut Peplau, peran perawat meliputi:
a. Sebagai pendidik
b. Sebagai pemimpin dalam situasi yang bersifat lokal, nasional dan
internasional
c. Sebagai ”surrogate parent”
d. Sebagai konselor.
e. Dan yang lain dari peran perawat adalah:
f. Bekerjasama dengan lembaga kesehatan mental
g. Konsultasi dengan yayasan kesejahteraan
h. Memberikan pelayanan pada klien di luar klinik
i. Aktif melakukan penelitian
j. Membantu pendidikan masyarakat.

E. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
2. Perawat perlu mengkaji data demografi, riwayat kesehatan dahulu,
kegiatan hidup klien sehari-hari, keadaan fifik, status mental, hubungan
interpersonal serta riwayat personal dan keluarga
a. Data demografi Pengkajian data demografi meliputi nama, tempat dan
tanggal lahir klien, pendidikan, alamat orang tua, serta data lain yang
dianggap perlu diketahui. Riwayat kelahiran, alergi, penyakit dan
pengobatan yang pernah diterima klien, juga perlu dikaji. Selain itu
kehidupan sehari-hari klien meliputi keadaan gizi termasuk berat
badan, jadwal makan dan minat terhadap makanan tertentu, tidur
termasuk kebiasaan dan kualitas tidur, eliminasi meliputi kebiasaan
dan masalah yang berkaitan dengan eliminasi, kecacatan dan
keterbatasan lainnya.
b. Fisik
Dalam pengkajian fisik perlu diperiksa keadaan kulit, kepala rambut,
mata, telinga, hidung, mulut, pernapasan, kardiovaskuler,
musculoskeletal dan neurologis klien. Pemeriksaan fisik lengkap saat
diperlukan untuk mengetahui kemungkinan pengaruh gangguan fisik
terhadap perilaku klien. Misalnya klien yang menderita DM atau
asma sering berperilaku merusak dalam usahanya untuk
mengendalikan lingkungan. Selain itu hasil pemeriksaan fisik
berguna sebagai dasar dalam menentukan pengobatan yang
diperlukan. Bahkan untuk mengetahui kemungkinan bekas
penganiayaan yang pernah dialami klien.
c. Status mental
Pemeriksaan status mental klien bermanfaat untuk memberikan
gambaran mengenai fungsi ego klien. Perawat membandingkan
perilaku dengan tingkat fungsi ego klien dari waktu ke waktu. Oleh
karena itu status mental klien
perlu dikaji setiap waktu dengan suasana santai bagi klien.
Pemeriksaan status mental meliputi: keadaan emosi, proses berfikir
dan isi pikir, halusinasi dan persepsi, cara berbicara dan orientasi,
keinginan untuk
bunuh diri dan membunuh. Pengkajian terhadap hubungan
interpersonal klien dilihat dalam hubungannya dengan orang lain
yang penting untuk mengetahui kesesuaian perilaku dengan usia.
Pertanyaan yang perlu diperhatikan perawat ketika mengkaji
hubungan interpersonal klien antara lain:
1) Apakah klien berhubungan dengan orang lain dengan usia
sebanya dan dengan jenis kelamin tertentu.
2) Apa posisi klien dalam struktur kekuasaan dalam kelompok
3) Bagaimana ketermpilan sosial klien ketika menjalin dan
berhubungan dengan orang lain.
4) Apakah klien mempunyai teman dekat.
d. Riwayat personal dan keluarga
Riwayat personal dan keluarga meliputi faktor pencetus masalah,
tumbuh kembang klien, biasanya dikumpulkan oleh tim kesehatan.
Data ini sangat
f. Berikan pendidikan kesehatan tentang tugas perkembangan normal
pada usia
pra sekolah
g. Berikan informasi cara menstimulasi perkembangan pada usia pra
sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Potter, Patricia A. and Perry, Anee G. (1985). Fundamentals of Nursing concept,
process, and practice. St. Louis : The C.V. Mosby Company
Spesialis Jiwa FIK 2005-2007 dan tim pengajar spesialis jiwa (2008). Draft
Standar Asuhan Keperawatan Program Spesialis Jiwa. Jakarta : Program Magister
Keperawatan Jiwa FIK UI

Anda mungkin juga menyukai