1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
HARGA DIRI RENDAH
2. Etiologi
a. Faktor predisposisi
1. Penolakan orang tua
2. Harapan orang tua yang tidak realistis
3. Kegagalan yang berulang kali
4. Kurang mempunyai tanggung jawab personal
5. Ketergantungan kepada orang lain
6. Ideal diri tidak realistis
b. Faktor presipitasi
1. Citra tubuh yang tidak sesuai
2. Keluhan fisik
3. Ketegangan peran yang dirasakan
4. Perasaan tidak mampu
5. Penolakan terhadap kemampuan personal
6. Perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri (Muslina, 2015)
a. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapinya.
5. Tanda Gejala
Menurut Carpenito dalam keliat (2011) perilaku yang berhubungan dengan
harga diri rendah antara lain :
a. Mengkritik diri sendiri
i. Merasionalisasi penolakan
c. Merendahkan martabat
f. Menciderai diri
6. Penatalaksanaan
Menurut Muslina, 2015 penatalaksaan yang dapat dilakukan pada
gangguan harga diri rendah, diantaranya :
1) Psikofarmaka
(1) Chlorpromazine ( CPZ ): 3 x100 mg
a) Indikasi
Untuk sindrom psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial
dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi
mental : waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang
aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari-hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dam
melakukan kegiatan rutin.
b) Cara kerja
Memblokade dopamine pada reseptor pasca sinap di otak
khususnya sistem ekstra piramidal.
c) Kontra indikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris,
ketergantungan obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran yang
disebabkan CNS Depresi.
d) Efek samping
(1) Sedasi
(2) Gangguan otonomik (hypotensi, antikolinergik / parasimpatik,
mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung).
(3) Gangguan ekstra piramidal (distonia akut, akatshia, sindrom
parkinsontremor, bradikinesia rigiditas).
(4) Gangguan endokrin (amenorhoe, ginekomasti).
(5) Metabolik (Jaundice)
(6) Hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka
pan
(2) Halloperidol ( HP ): 3 x 5 mg
a) Indikasi
Penatalasanaan psikosis kronik dan akut, gejala demensia pada
lansia, pengendalian hiperaktivitas dan masalah perilaku berat
pada anak-anak.
b) Cara kerja
Halloperidol merupakan derifat butirofenon yang bekerja
sebagai antipsikosis kuat dan efektif untuk fase mania,
penyebab maniak depresif, skizofrenia dan sindrom paranoid.
Di samping itu halloperidol juga mempunyai daya anti emetik
yaitu dengan menghambat sistem dopamine dan hipotalamus.
Pada pemberian oral halloperidol diserap kurang lebih 60–70%,
kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-6 jam dan
menetap 2-4 jam. Halloperidol ditimbun dalam hati dan
ekskresi berlangsung lambat, sebagian besar diekskresikan
bersama urine dan sebagian kecil melalui empedu.
c) Kontra indikasi
Parkinsonisme, depresi endogen tanpa agitasi, penderita yang
hipersensitif terhadap halloperidol, dan keadaan koma.
d) Efek samping
Pemberian dosis tinggi terutama pada usia muda dapat terjadi
reaksi ekstapiramidal seperti hipertonia otot atau gemetar.
Kadang-kadang terjadi gangguan percernaan dan perubahan
hematologik ringan, akatsia, dystosia, takikardi, hipertensi,
EKG berubah, hipotensi ortostatik, gangguan fungsi hati, reaksi
alergi, pusing, mengantuk, depresi, oedem, retensio urine,
hiperpireksia, gangguan akomodasi.
(3) Trihexypenidil ( THP ) : 3 x 2 mg
a) Indikasi
Semua bentuk parkinson (terapi penunjang), gejala ekstra
piramidal berkaitan dengan obat-obatan antipsikotik.
b) Cara kerja
Kerja obat-obat ini ditujukan untuk pemulihan keseimbangan
kedua neurotransmiter mayor secara alamiah yang terdapat di
susunan saraf pusat asetilkolin dan dopamin,
ketidakseimbangan defisiensi dopamin dan kelebihan
asetilkolamin dalam korpus striatum. Reseptor asetilkolin
disekat pada sinaps untuk mengurangi efek kolinergik
berlebih.
c) Kontra indikasi
Hipersensitivitas terhadap obat ini atau antikolonergik lain,
glaukoma, ulkus peptik stenosis, hipertrofi prostat atau
obstruksi leher kandung kemih, anak di bawah 3 tahun, kolitis
ulseratif.
d) Efek samping
Pada susunan saraf pusat seperti mengantuk, pusing,
penglihatan kabur, disorientasi, konfusi, hilang memori,
kegugupan, delirium, kelemahan, amnesia, sakit kepala. Pada
kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, hipertensi,
takikardi, palpitasi. Pada kulit seperti ruam kulit, urtikaria,
dermatitis lain. Pada gastrointestinal seperti mulut kering,
mual, muntah, distres epigastrik, konstipasi, dilatasi kolon,
ileus paralitik, parotitis supuratif. Pada perkemihan seperti
retensi urine, hestitansi urine, disuria, kesulitan mencapai atau
mempertahankan ereksi. Pada psikologis seperti depresi,
delusu, halusinasi, dan paranoid.
2) Psikoterapi
Therapy kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya
supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia
dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk
mengadakan permainan atau latihan bersama. (Maramis,2005)
dalam Muslina 2015.
3) Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang
dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan
pada skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral
atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik. (Maramis,
2005) dalam Muslina, 2015.
4) Therapy Modalitas
Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana pengobatan untuk
skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan klien.
Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri
sendiri dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal. Therapi
kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana dan
masalah dalam hubungan kehidupan yang nyata.
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok
stimulasi sensori, therapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan
therapy aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat dan Akemat,2005)
dalam Muslina, 2015. Dari empat jenis therapy aktivitas kelompok
diatas yang paling relevan dilakukan pada individu dengan
gangguan konsep diri harga diri rendah adalah therapyaktivitas
kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK)
stimulasi persepsi adalah therapy yang mengunakan aktivitas
sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan
untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dapat
berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.
(Keliat dan Akemat,2005) dalam Muslina 2015.
7. Pohon Masalah
Menurut (Yosep, 2014) pohon masalah pasien harga diri rendah yaitu :
8. Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji
Data Subjektif
a) Klien mengatakan ingin diakui jati dirinya.
b) Klien mengatakan tidak ada lagi yang peduli dengannya.
c) Klien mengatakan tidak bisa apa-apa.
d) Klien mengatakan dirinya tidak berguna.
e) Klien mengkritik dirinya sendiri.
f) Klien mengatakan enggan berbicara duluan dengan orang lain.
Data Objektif
a) Merusak diri sendiri
b) Menarik diri dari hubungan sosial
c) Tampak mudah tersinggung
d) Suara pelan dan tidak jelas.
e) Kurang energy
f) Kurang spontan
g) Apatis (Acuh terhadap lingkungan) (Muslina, 2015).
9. Diagnosa Keperawatan
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan koping
individu tidak efektif.
Tgl No Dx Perencanaan
Dx keperawaatan Tujuan Kreteria Evaluasi Intervensi
Gangguan TUM: 1. Klien menunjukan 1.1 Membina hubungan
konsep diri: Klien memiliki ekspresi wajah saling percaya
harga diri konsep diri yang bersahabat, dengan menggunakan
rendah positif menunjukan rasa prinsip komunikasi
TUK: senang, ada terapeutik :
1. Klien dapat kontak mata, mau - Sapa klien dengan
membina berjabat tangan, ramah baik verbal
hubungan saling mau menyebutkan maupun non
percaya dengan nama, mau verbal.
perawat menjawab salam, - Perkenalkan diri
klien mau duduk dengan sopan.
berdampingan - Tanyakan nama
dengan perawat, lengkap dan nama
mau panggilan yang
mengutarakan disukai klien.
masalah yang - Jelaskan tujuan
dihadapi pertemuan
- Jujur dan menepati
janji
- Tunjukan sikap
empati dan
menerima klien
apa adanya.
- Beri perhatian dan
perhatikan
kebutuhan dasar
klien.
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
1) Topik
a. Evaluasi subyektif
1) Topik
2) Tempat
3) Waktu
2. Etiologi
Terjadinya Gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi di
antaranya perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan
individu tidak percaya pada diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut
salah, pesimis, putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan
keinginan, dan merasa tertekan. Kedaan ini menimbulkan perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain, lebih suka berdiam diri, menghindar dari
orang lain, dan kegiatan sehari-hari (Direja, 2011 dalam Silvia Arizka, 2020).
a. Faktor Predisposisi
Menurut Direja (2011) dalam Silvia Arizka (2020), faktor predisposisi
yang mempengaruhi masalah isolasi sosial yaitu:
1) Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang
harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila tugas-
tugas dalam setiap perkembangan tidak terpenuhi maka akan menghambat fase
perkembangan sosial selanjutnya.
Tabel 1
Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan Interpesonal
Tahap Tugas
Perkembangan
Menetapkan rasa percaya.
Masa Bayi
Mengambangkan otonomi dan awal perilaku
Masa Bermain mandiri.
Belajar menunjukan inisiatif , rasa tanggung
Masa Pra Sekolah jawab, dan hati nurani.
Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
Masa Sekolah berkompromi.
Menjalin hubungan intim dengan teman sesama
Masa Pra Remaja jenis kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
Masa Remaja bergantung.
Menjadi saling bergantung antara orang tua dan
Masa Dewasa
teman, mencari pasangan, menikah dan mempunyai
Muda
anak.
Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah
Masa Tengah Baya dilalui.
Berduka karena kehilangan dan mengembangkan
Masa Dewasa Tua perasaan keterikatan dengan budaya.
Sumber: Direja (2011) dalam Silvia Arizka (2020)
Menurut Yosep (2009) dalam Silvia Arizka (2020), hidup manusia
dibagi menjadi 7 masa dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya
gangguan jiwa.
2) Masa Bayi
Masa bayi adalah menjelang usia 2-3 tahun, dasar perkembangan
yang dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini
timbul dua masalah yang penting yaitu:
a) Cara mengasuh bayi
Cinta dan kasih sayang ibu akan memberikan rasa hangat/aman bagi bayi
dan di kemudian hari menyebabkan kepribadian yang hangat, terbuka dan
bersahabat. Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan
menolak di kemudian hari akan berkembang kepribadian yang bersifat
menolak dan menentang terhadap lingkungan.
b) Cara memberi makan
Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan memberikan rasa
aman dan dilindungi, sebaliknya,pemberian yang kaku, keras, dan tergesa-
gesa akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan.
3) Masa Anak Prasekolah
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan tumbuh disiplin dan otoritas.
Hal-hal yang penting pada fase ini adalah:
a) Hubungan orangtua-anak
b) Perlindungan yang berlebihan
c) Otoritas dan disiplin
d) Perkembangan seksual
e) Agresi dan cara permusuhan
f) Hubungan kakak-adik
g) Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan
4) Masa Anak Sekolah
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmani dan intelektual yang pesat. Pada
masa ini anak akan mulai memperluas pergaulan, keluar dari batas-batas
keluarga. Masalah- masalah penting yang timbul adalah:
a) Perkembangan jasmani
b) Penyesuaian diri di sekolah dan sosialisasi
5) Masa Remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahn-perubahan yang penting
yaitu timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri kewanitaan atau kelaki-lakian).
Secara kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan yang hebat. Pada masa ini,
seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di satu pihak ia
merasa sudah dewasa, sedangkan di pihak lain belum sanggup dan belum
ingin menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya.
6) Masa Dewasa Muda
Seseorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan bahagia
akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan umumnya ia akan
berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan pada masa ini. Bila mengalami masalah
pada masa ini mungkin akan mengalami gangguan-gangguan jiwa.
7) Masa Dewasa Tua
Sebagai patokan, pada masa ini dicapai apabila status pekerjaan dan sosial
seseorang sudah mantap. Masalah-masalah yang mungkin timbul adalah:
a) Menurunnya keadaan jasmani
b) Perubahan susunan keluarga
c) Terbatasnya kemungkinan perubahan-perubahan yang baru dalam
bidang pekerjaan atau perbaiki kesalahan yang lalu.
8) Masa Tua
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan pada masa ini yaitu
berkurangnya daya tangkap, daya ingat, berkurangnya daya belajar,
kemampuan jasmani dan kemampuan sosial ekonomi menimbulkan rasa
cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah pahaman
orangtua terhadap orang sekitarnya. Perasaan terasingkan karena kehilangan
teman sebaya, keterbatasan gerak, dapat menimbulkan kesulitan emosional
yang cukup berat.
2) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung untuk terjadinya gangguan hubungan sosial, seperti adanya
komunikasi yang tidak jelas (double bind) yaitu suatu keadaan dimana
individu menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu
bersamaan, dan ekspresi emosi yang tinggi di setiap berkomunikasi.
3) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial
merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan
sosial. Hal ini disebabkan oleh norma- norma yang salah dianut oleh
keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti
lanjut usia, berpenyakitan kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari
lingkungan sosial.
4) Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh
yang jelas mempengaruhi adalah otak. Klien skizofrenia yang mengalami
masalah dalam hubungan sosial terdapat struktur yang abnormal pada otak,
seperti atropi otak, perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan
kortikal (Sutejo, 2017 dalam Silvia Arizka, 2020). Klien yang mengalami
gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama susunan dan
struktur syaraf pusat, biasanya klien dengan skizofrenia mengalami
pembesaran ventrikel ke-3 sebeah kirinya. Ciri lainnya yaitu memiliki
lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata orang normal (Yosep, 2009
dalam Silvia Arizka, 2020).
Menurut Candel dalam Yosep (2009) dalam Silvia Arizka (2020),
pada Klienskizofrenia memiliki lesi pada area Wernick’s dan area Brocha
biasanya disertai dengan Aphasia serta disorganisasi dalam proses bicara.
Adanya hiperaktivitas Dopamine pada Kliendengan gangguan jiwa
seringkali menimbulkan gejala skizofrenia. Menurut hasil penelitian,
Neurotransmitter tertentu seperti Norepinephrine pada Klien dengan
gangguan jiwa memegang peranan dalam proses learning, memory
reinforcement, siklus tidur dan bangun, kecemasan, pengaturan aliran
darah dan metabolisme.
Menurut Singgih dalam Yosep (2009) dalam Silvia Arizka (2020),
gangguan mental dan emosi juga bisa disebabkan oleh perkembangan
jaringan otak yang tidak cocok (Aphasia). Kadang-kadang seseorang
dilahirkan dengan perkembangan cortex cerebry yang kurang sekali, atau
disebut sebagai otak yang rudimenter. Contoh gangguan tersebut terlihat
pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya tempurung otak. Adanya
trauma pada waktu kelahiran, tumor, infeksi otak seperti Enchepahlitis
Letargica, gangguan kelenjer endokrin seperti tiroid, keracunan CO
(Carbon Monocide) serta perubahan-perubahan karena degenerasi yang
mempergaruhi sistem persyarafan pusat (Yosep, 2009 dalam Silvia
Arizka, 2020).
b. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) dalam Silvia Arizka (2020),
terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat
dikelompokan sebagai berikut:
1) Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan
faktor keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan
berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya
karena dirawat dirumah sakit.
2) Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan
untuk berpisah dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan
kecemasan tingkat tinggi.
3. Patopsikologi
Menurut Stuart and Sundeen (2007) dalam Ernawati (2009) dalam Silvia
Arizka, (2020). Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku
menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga,
yang bisa di alami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan,
ketegangan, kekecewan, dan kecemasan.
Adaptif Maladaptif
Manipulasi,
Menyendiri, Otonomi, Kesepian, menarik
impulsif,
kebersamaan, saling diri,
narsisme
ketergantungan ketergantungan
Skema 2.1 Rentang respon isolasi sosial(sumber: Sutejo, 2017 dalam Silvia
Arizka, 2020)
a. Respon Adaptif
Menurut Sutejo (2017) dalam Silvia Arizka (2020),respon adaptif adalah
respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayan
secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam
batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang
termasuk respon adaptif:
1) Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya.
2) Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
3) Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal
yang saling membutuhkan satu sama lain.
4) Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling
ketergantungan antara individu dengan orang lain
b. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) dalam Silvia Arizka (2020), respon maladaptif
adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di suatu
tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon maladaptif:
1) Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri
sendiri.
2) Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu
sebagai subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan tidak
mampu melakukan penilaian secara objektif.
3) Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan mudah
marah.
5. Manifestasi Klinis
6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam
dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan adalah proyeksi,
splitting (memisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang
tidak mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang
lain karena kesalahan sendiri. Splitting merupakan kegagalan individu
dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk.
Sementara itu, isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang lain
maupun lingkungan (Sutejo, 2017 dalam Silvia Arizka, 2020).
7. Komplikasi
Kliendengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan
tingkah laku masa lalu primitif antara lain pembicaraan yang austistik
dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga
berakibat lanjut menjadi resiko gangguan sensosi persepsi: halusinasi,
mencederai diri sendri, orang lain serta lingkungan dan penurunan
aktifitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri
(Damaiyanti, 2012)
8. Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada kliendengan isolasi
sosial antara lain pendekatan farmakologi, psikososial, terapi aktivitas,
terapi okupasi, rehabilitasi, dan program intervensi keluarga (Yusuf,
2019).
a. Terapi Farmakologi
1) Chlorpromazine (CPZ)
Indikasi: Untuk Syndrome Psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai
norma sosial dan titik diri terganggu. Berdaya berat dalam fungsi-
fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku
yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari- hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan
melakukan kegiatan rutin.
Efek samping: sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defikasi,
hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung), gangguan endokrin, metabolik, biasanya
untuk pemakaian jangka panjang.
2) Haloperidol (HLP)
Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam
fungsi netral serta dalam kehidupan sehari-hari. Efek samping:
Sedasi dan inhibisi prikomotor, gangguan otonomik.
3) Trihexy Phenidyl (THP)
Indikasi: Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk paksa
ersepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson, akibat obat misalnya
reserpine dan fenotiazine. Efek samping: Sedasi dan inhibisi
psikomotor gangguan otonomik.
b. Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian
penting dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi:
memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang
terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa adanya, memotivasi
pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap
ramah, sopan, dan jujur kepada pasien (Videbeck, 2012 dalam Silvia
Arizka, 2020).
c. Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan
pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan
perilaku-perilakunya. Terapi ini meliputi hubungan satu-satu antara ahli
terapi dan klien(Videbeck, 2012 dalam Silvia Arizka, 2020). Terapi
individu juga merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan secara
individu oleh perawat kepada kliensecara tatap muka perawat-klien
dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai (Zakiyah, 2018 dalam Silvia Arizka, 2020).
Salah satu bentuk terapi individu yang bisa diberikan oleh perawat
kepada klien dengan isolasi sosial adalah pemberian strategi pelasanaan
(SP). Dalam pemberian strategi pelaksanaan klien dengan isolasi sosial
hal yang paling penting perawat lakukan adalah berkomunikasi dengan
teknik terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi
interpersonal antara perawat dank klien, yang selama interaksi
berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus klien untuk
meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan
Klien (Videbeck, 2012 dalam Silvia Arizka, 2020).
Semakin baik komunikasi perawat, maka semakin bekualitas pula
asuhan keperawatan yang diberikan kepadaklien karena komunikasi
yang baik dapat membina hubungan saling percaya antara perawat
dengan klien, perawat yang memiliki keterampilan dalam
berkomunikasi secara terapeutik tidak saja mudah menjalin hubungan
saling percaya dengan klien, tapi juga dapat menumbuhkan sikap
empati dan caring, mencegah terjadi masalah lainnya, memberikan
kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan serta memudahan
dalam mencapai tujuan intevensi keperawatan (Sarfika, 2018).
d. Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Keliat (2015) dalam Silvia Arizka, 2020, terapi aktivitas
kelompok sosialisasi merupakan suatu rangkaian kegiatan kelompok
dimana klien dengan masalah isolasi sosial akan dibantu untuk
melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitarnya.
Sosialissai dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal,
kelompok, dan massa). Aktivitas yang dilakukan berupa latihan
sosialisasi dalam kelompok, dan akan dilakukan dalam 7 sesi dengan
tujuan:
Sesi 1 : Klien mampu memperkenalkan diri
Sesi 2 : Klienmampu berkenalan dengan anggota kelompok
Sesi 3 : Klienmampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
Sesi 4: Klienmampu menyampaikan dan membicarakan topik
percakapan
Sesi 5 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan masalah
pribadi
pada
orang lain
Sesi 6 : Klienmampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi
kelompok
Sesi 7: Klienmampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat
kegiatan TAKS yang telah dilakukan.
e. Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan
partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau tugas yang
sengaja dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat,
meningkatkan harga diri seseorang, dan penyesuaian diri dengan
lingkungan. Contoh terapi okupasi yang dapat dilakukan di rumah sakit
adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi, dan terapi membuat kerajinan
tangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien dalam
keterampilan dan bersosialisasi (Elisia, 2014 dalam Silvia Arizka,
2020).
f. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga
banyak manfaat. Misalnya angkat rawat inap pada klien skizofrenia
yang mengikuti kegiatan keagamaaan lebih rendah bila dibandingan
dengan mereka yang tidak mengikutinya (Dadang, 1999 dalam Yosep
2009 dalam Silvia Arizka, 2020). Menurut Zakiah Darajat, perasaan
berdosa merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan
dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini diakibatkan karena
seseorang merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan
tersebut (Yosep, 2009 dalam Silvia Arizka, 2020).
Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut Yosep
(2009) dalam Silvia Arizka, 2020, meliputi:
1) Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang
agamanya/ kolaborasi dengan agamawan atau rohaniawan.
2) Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya
tetapi menggali sumber koping.
3) Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat,
fasilitas ibadah, buku- buku, music/lagu keagamaan.
4) Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama
untuk pasien rehabilitasi.
5) Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat
hidup didunia, dan sebagainya.
Untuk klien dengan isolasi sosial terapi psikoreligius dapat
bermanfaat dari aspek auto- sugesti yang dimana dalam setiap
kegiatan religius seperti sholat, dzkir, dan berdoa berisi ucapan-
ucapan baik yang dapat memberi sugesti positif kepada diri klien
sehingga muncul rasa tenang dan yakin terhadap diri sendiri
(Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut Djamaludin Ancok
(1989) dan Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009) aspek
kebersamaan dalam shalat berjamaah juga mempunyai nilai
terapeutik, dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir,
terpencil dan tidak diterima.
g. Rehabilitasi
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit
yang dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan,
antaranya terapi okupasional yang meliputi kegiatan membuat kerajinan
tangan, melukis, menyanyi, dan lain-lain. Pada umumnya program
rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan (Yusuf, 2019 dalam Silvia
Arizka, 2020).
h. Program Intervensi Keluarga
Intervensi keluarga memiliki banyak variasi, namun pada
umumnya intervensi yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis dari
kehidupan sehari-hari, memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga
tentang isolasi sosial, mengajarkan bagaimana cara berhubungan yang
baik kepada anggota keluarga yang memiliki masalah kejiwaan (Yusuf,
2019 dalam Silvia Arizka, 2020).
2. Asuhan Keperawatan Isolasi Sosial
Pengkajian Klien isolasi sosial dapat dilakukan melalui wawancara dan
observasi kepada klien dan keluarga (Hartono, 2010 dalam Silvia Arizka,
2020).
a. Pengkajian
1) Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
agama, pekerjaan, status mental, suku bangsa, alamat, nomor rekam
medis, ruang rawat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian,
diagnosis medis.Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien,
alamat.
2) Alasan Masuk
a) Apa penyebab klien datang ke RSJ?
b) Apa yang sudah dilakukan keluarga?
c) Bagaimana hasilnya?
3) Faktor Predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orangtua, harapan orang tua yang
tidak realistis, kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok
sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan
dicerai suami, putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang
terjadi (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba) perlakuan
orang lain yang tidak menghargai Klien/perasaan negatif terhadap diri
sendiri yang berlangsung lama.
4) Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada hubungannya
dengan klien depresi berat didapatkan pada sistem integumen klien
tampak kotor, kulit lengket di karenakan kurang perhatian terhadap
perawatan dirinya bahkan gangguan aspek dan kondisi klien .
Psikososial Konsep Diri:
a) Gambaran Diri : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh
yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah
terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan
tubuh, persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian
tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus asaan,
mengungkapkan ketakutan.
b) Ideal Diri : Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya:
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
c) Harga Diri : Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah
terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan
martabat, mencederai diri, dan kurang percaya diri.
d) Penampilan Peran : Berubah atau berhenti fungsi peran yang
disebabkan penyakit, proses menua, putus sekolah, PHK.
e) Identitas Personal : Ketidak pastian memandang diri, sukar
menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan.
5) Hubungan Sosial
Klienmempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan
sosial dengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelompok yang
diikuti dalam masyarakat.
6) Spiritual
Nilai dan keyakinan klien, pandangan dan keyakian klien terhadapap
gangguan jiwa sesuai dengan norma dan agama yang dianut pandangan
masyarakat setempat tentang gangguan jiwa. Kegiatan ibadah : kegiatan
di rumah secara individu atau kelompok.
7) Status Mental
Kontak mata klien kurang/tidak dapat mepertahankan kontak mata,
kurang dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang
mampu berhubungan dengan orang lain, adanya perasaan keputusasaan
dan kurang berharga dalam hidup.
a) Penampilan
Biasanya pada Klien menarik diriklien tidak terlalu memperhatikan
penampilan, biasanya penampilan tidak rapi, cara berpakaian tidak
seperti biasanya (tidak tepat).
b) Pembicaraan
Cara berpakaian biasanya di gambarkan dalam frekuensi, volume
dan karakteristik. Frekuansi merujuk pada kecepatan Klien berbicara
dan volume di ukur dengan berapa keras klien berbicara. Observasi
frekuensi cepat atau lambat, volume keras atau lambat, jumlah
sedikit, membisu, dan di tekan, karakteristik gagap atau kata-kata
bersambungan.
c) Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik klien. Tingkat aktifitas :
letargik, tegang, gelisah atau agitasi. Jenis aktifitas : seringai atau tremor.
Gerakan tubuh yang berlebihan mungkin ada hubunganya dengan ansietas,
mania atau penyalahgunaan stimulan. Gerakan motorik yang berulang atau
kompulsif bisa merupakan kelainan obsesif kompulsif.
d) Alam Perasaan
Alam perasaan merupakan laporan diri klien tentang status
emosional dan cerminan situasi kehidupan klien. Alam perasaan
dapat di evaluasi dengan menanyakan pertanyaan yang sederhana
dan tidak mengarah seperti “bagaimana perasaan anda hari ini”
apakah klien menjawab bahwa ia merasa sedih, takut, putus asa,
sangat gembira atau ansietas.
e) Afek
Afek adalah nada emosi yang kuat pada klien yang dapat di
observasi oleh perawat selama wawancara. Afek dapat di gambarkan
dalam istilah sebagai berikut : batasan, durasi, intensitas, dan
ketepatan. Afek yang labil sering terlihat pada mania, dan afek yang
datar,tidak selaras sering tampak pada skizofrenia.
f) Persepsi
Ada dua jenis utama masalah perseptual : halusinasi dan ilusi.
Halusinasi di definisikan sebagai kesan atau pengalaman sensori
yang salah. Ilusi adalah persepsi atau respon yang salah terhadap
stimulus sensori. Halusinasi perintah adalah yang menyuruh klien
melakukan sesuatu seperti membunuh dirinya sendiri, dan melukai
diri sendiri.
g) Interaksi Selama Wawancara
Interaksi menguraikan bagaimana klien berhubungan dengan perawat.
Apakah klien bersikap bermusuhan,tidak kooperatif, mudah tersinggung,
berhati-hati, apatis, defensive,curiga atau sedatif.
h) Proses Pikir
Proses pikir merujuk “ bagaimana” ekspresi diri klien proses diri klien
diobservasi melalui kemampuan berbicaranya. Pengkajian dilakukan lebih
pada pola atas bentuk verbalisasi dari pada isinya.
i) Isi Pikir
Isi pikir mengacu pada arti spesifik yang diekspresikan dalam komunikasi
klien. Merujuk pada apa yang dipikirkan klien walaupun klien mungkin
berbicara mengenai berbagai subjek selama wawancara, beberapa area isi
harus dicatat dalam pemeriksaan status mental. Mungkin bersifat
kompleks dan sering disembunyikan oleh klien.
j) Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan status mental secara rutin mengkaji orientasi klien terhadap
situasi terakhir. Berbagai istilah dapat digunakan untuk menguraikan
tingkat kesadaran klien seperti bingung, tersedasi atau stupor.
k) Memori
Pemeriksaan status mental dapat memberikan saringan yang cepat tehadap
masalah-masalah memori yang potensial tetapi bukan merupakan jawaban
definitif apakah terdapat kerusakan yang spesifik. Pengkajian neurologis
diperlukan untuk menguraikan sifat dan keparahan kerusakan memori.
Memori didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengingat pengalaman
lalu.
l) Tingkat Konsentrasi Dan Kalkulasi
Konsentrasi adalah kemampuan klien untuk memperhatikan selama
jalannya wawancara.Kalkulasi adalah kemampuan klien untuk
mengerjakan hitungan sederhana.
m) Penilaian
Penilaian melibatkan perbuatan keputusan yang konstruktif dan
adaptif termasuk kemampuan untuk mengerti fakta dan menarik
kesimpulan dari hubungan.
b. Daftar Masalah
Menurut Sutejo (2017) dalam Silvia Arizka, 2020, adapun daftar
masalah keperawatan pada klien dengan isolasi sosial sebagai berikut:
1. Resiko gangguan persepsi sensori : Halusinasi
2. Isolasi sosial
3. Gangguan konsep diri : Harga Diri Rendah
c. Diagnosa Keperawatan
Menurut Sutejo (2017) diagnosis keperawatan dirumuskan
berdasarkan tanda dan gejala isolasi sosial yang ditemukan. Jika hasil
pengkajian menunjukkan tanda dan gejala isolasi sosial, maka diagnosis
keperawatan yang ditegakkan adalah:
1) Isolasi sosial
2) Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
3) Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi
d. Perencanaan Keperawatan
Setelah mengetahui diagnosa keperawatan pada klien dengan
isolasi sosial, langkah selanjutnya yaitu menyusun perencanaan tindakan
keperawatan. untuk membina hubungan saling percaya dengan klien
isolasi sosil perlu waktu yang tidak sebentar. perawat harus konsisten
bersikap terapeutik pada klien. Selalu penuhi janji, kontak singkat tapi
sering dan penuhi kebutuhan dasarnya adalah upaya yang bisa dilakukan
(Trimelia, 2011 dalam Silvia Arizka, 2020).
Tabel 3 Rencana Keperawatan Dengan Isolasi Sosial
Diagnosis Tujuan Kriteria
Intervensi Rasional
keperawatan (TUM/TUK) Evaluasi
Isolasi TUM: Setelah 1x 1.1. Bina hubungan saling Membina
sosial Klien interaksi, Klien percaya dengan hubungan saling
menunjukan mengemukakan percaya dengan
dapat
tanda-tanda Prinsip Klien. kontak
berinteraksi
percaya kepada yang jujur,
dengan orang
perawat: singkat, dan
lain.
konsisten dengan
TUK 1: komunikasi terapeutik :
a.Ekspresi perawat dapat
Klien dapat a. Mengucapkan
wajah cerah, membantu Klien
membina salam terapeutik. Sapa
tersenyum membina
hubungan
b.Mau kembali interaksi
saling
berkenalan penuh percaya
percaya
c.Ada kontak Klien dengan dengan orang
mata ramah, baik lain.
d.Bersedia verbal ataupun
menceritakan non verbal.
perasaan
b. Berjabat tangan
e.Bersedia
dengan Klien.
mengungkap
c. Perkenalkan diri
kan masalah
dengan sopan.
d. Tanyakan nama
lengkap Klien
dan nama
pangglian yang
disukai Klien.
e. Jelaskan tujuan
Pertemuan
f. Membuat
kontak topik,
waktu, dan
tempat setiap
kali bertemu
Klien.
g. Tunjukan sikap
empati dan
Menerima
Klien apa
adanya.
h. Beri perhatian
kepada Klien
dan perhatian
Kebutuhan
dasar Klien.
Tabel 4
Strategi Pelaksanaan Pada Klien Isolasi Sosial
Diagnosa
Intervensi
Keperawatan
Isolasi sosial Intervensi untuk Klien SP
1:
1. Bina hubungan saling percaya dengan
menggunakan salam terapeutik
2. Identifikasi penyebab isolasi sosial
3. Identifikasi keuntungan berteman
4. Identifikasi kerugian tidak mempunyai teman
5. Bimbing pasien memasukan kedalam jadwal harian
e. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang
telah direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan
keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien saat ini
(Damaiyanti, 2012 dalam Silvia Arizka, 2020).
Selain itu, salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan rencana
tindakan keperawatan adalah teknik komunikasi terapeutik. Teknik ini dapat
digunakan dengan verbal; kata pembuka, informasi, fokus. Selain teknik
verbal, perawat juga harus menggunakan teknik non verbal seperti; kontak
mata, mendekati kearah klien, tersenyum, berjabatan tangan, dan sebagainya.
Kehadiran psikologis perawat dalam komunikasi terapeutik terdiri dari
keikhlasan, menghargai, empati dan konkrit (Yusuf, 2019 dalam Silvia
Arizka, 2020).
f. Evaluasi Keperawatan
Menurut Trimelia (2011) dalam Silvia Arizka, 2020, evaluasi
dilakukan dengan berfokus pada perubahan perilaku Klien setelah
diberikan tindakan keperawatan. Keluarga juga perlu dievaluasi karena
merupakan sistem pendukung yang penting. Ada beberapa hal yang
perlu dievaluasi pada Klien dengan isolasi sosial yaitu:
1) Apakah klien dapat menyebutkan penyebab isolasi sosial
2) Apakah klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan
orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
3) Apakah klien dapat melakukan hubungan sosial secara bertahap: klien-
perawat, Klien-perawat-perawat lain, klien-perawat-klien lain, klien-
kelompok, dan klien- keluarga.
4) Apakahklien dapat mengungkapkan perasaan setelah berhubungan
dengan orang lain.
5) Apakah klien dapat memberdayakan sistem pendukungnya atau
keluarga nya untuk memfasilitasi hubungan sosialnya.
6) Apakah klien dapat mematuhi minum obat
DAFTAR PUSTAKA
b. Faktor Presipitasi
1) Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat sistem
syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan.
4) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup,
pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang lain,
isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, kurang
ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan
mendapat pekerjaan.
5) Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus
asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa punya
kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti orang lain dari
segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi, perilaku
agresif, ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan penanganan
gejala.
Darmaja, I Kade. 2014. Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada Tn.
“S” Dengan Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran Diruang
Kenari Rsj Dr. Radjiman Wedioningrat Lawang Malang. Program Studi
Profesi (Ners) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bakti Indonesia
Banyuwangi
Ramadhani, Aris N. Ihda. Ratna et all. 2018. Buku Saku Praktik Klinik
Keperawatan Edisi 2. Jakarta Selatan: Salemba Medika
6. Pohon masalah
7. Asuhan Keperawatan
a. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul dan Data yang Perlu
Dikaji
1) Masalah keperawatan :
a) Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b) Kerusakan komunikasi : verbal
c) Perubahan isi pikir : waham
d) Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
2) Data yang perlu dikaji :
a) Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Data subjektif:
Pasien memberi kata-kata ancaman, mengatakan benci dan kesal
pada seseorang, pasien suka membentak dan menyerang orang
yang mengusiknya jika sedang kesal, atau marah, melukai /
merusak barang-barang dan tidak mampu mengendalikan diri
Data objektif
Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dank eras, bicara
menguasai, ekspresi marah, pandangan tajam, merusak dan
melempar barang-barang.
b) Kerusakan komunikasi : verbal
Data subjektif:
Pasien mengungkapkan sesuatu yang tidak realistik
Data objektif:
Flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang
didengar dan kontak mata kurang
3) Perubahan isi piker : waham ( ………….)
Data subjektif :
Pasien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama,
kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara
berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan.
Data objektif :
Pasien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan,
merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat
waspada, tidak tepat menilai lingkungan / realitas, ekspresi wajah
pasien tegang, mudah tersinggung
4) Gangguan harga diri rendah
Data subjektif:
Pasien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-
apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu
terhadap diri sendiri
Data objektif:
Pasien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih
alternative tindakan, ingin mencedaerai diri/ ingin mengakhiri
hidup
b. Diagnosa Keperawatan
1)Waham……………
2)Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan waham
3)Gangguan konsep diri: harga diri rendah.
c. Intervensi
Diagnosa 1
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham
1) Tujuan umum : Pasien tidak terjadi kerusakan komunikasi
verbal
2) Tujuan khusus :
a) Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Rasional : hubungan saling percaya merupakan dasar untuk
kelancaran hubungan interaksinya
Tindakan :
Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan
diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang
tenang, buat kontrak yang jelas topik, waktu, tempat).
Jangan membantah dan mendukung waham pasien: katakan
perawat menerima keyakinan pasien "saya menerima
keyakinan anda" disertai ekspresi menerima, katakan perawat
tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak
membicarakan isi waham pasien.
Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman dan terlindungi:
katakan perawat akan menemani pasien dan pasien berada di
tempat yang aman, gunakan keterbukaan dan kejujuran jangan
tinggalkan pasien sendirian.
Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan
perawatan diri
b) Pasien dapat mengidentifikasi
kemampuan yang dimiliki
Rasional : dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki pasien,
maka akan memudahkan perawat untuk mengarahkan kegiatan
yang bermanfaat bagi pasien dari pada hanya memikirkannya
Tindakan :
Beri pujian pada penampilan dan kemampuan pasien
yang realistis.
Diskusikan bersama pasien kemampuan yang dimiliki
pada waktu lalu dan saat ini yang realistis.
Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian
anjurkan untuk melakukannya saat ini (kaitkan dengan
aktivitas sehari - hari dan perawatan diri).
Jika pasien selalu bicara tentang wahamnya,
dengarkan sampai kebutuhanwaham tidak ada. Perlihatkan
kepada pasien bahwa pasien sangat penting.
c) Pasien dapat mengidentifikasikan
kebutuhan yang tidak terpenuhi
Rasional : dengan mengetahui kebutuhan pasien yang belum
terpenuhi perawat dapat merencanakan untuk memenuhinya dan
lebih memperhatikan kebutuhan kien tersebut sehungga pasien
merasa nyaman dan aman
Tindakan :
Observasi kebutuhan pasien sehari-hari.
Diskusikan kebutuhan pasien yang tidak
terpenuhi baik selama di rumah maupun di rumah sakit (rasa
sakit, cemas, marah).
Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi
dan timbulnya waham.
Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi
kebutuhan pasien dan memerlukan waktu dan tenaga (buat
jadwal jika mungkin).
Atur situasi agar pasien tidak mempunyai
waktu untuk menggunakan wahamnya.
d) Pasien dapat berhubungan dengan
realitas
Rasional : menghadirkan realitas dapat membuka pikiran bahwa
realita itu lebih benar dari pada apa yang dipikirkan pasien
sehingga pasien dapat menghilangkan waham yang ada
Tindakan :
Berbicara dengan pasien dalam konteks realitas (diri, orang
lain, tempat dan waktu).
Sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi
realitas.
Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan
pasien
e) Pasien dapat menggunakan obat
dengan benar
Rasional : Penggunaan obat yang secara teratur dan benar akan
mempengaruhi proses penyembuhan dan memberikan efek dan
efek samping obat
Tindakan :
Diskusikan dengan kiten tentang
nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek samping minum
obat.
Bantu pasien menggunakan obat
dengan priinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis, cara dan
waktu).
Anjurkan pasien membicarakan
efek dan efek samping obat yang dirasakan.
Beri reinforcement bila pasien
minum obat yang benar.
f) Pasien dapat dukungan dari
keluarga
Rasional : dukungan dan perhatian keluarga dalam merawat
pasien
akan mambentu proses penyembuhan pasien.
Tindakan :
Diskusikan dengan keluarga
melalui pertemuan keluarga tentang: gejala waham, cara
merawat pasien, lingkungan keluarga dan follow up obat.
Beri reinforcement atas
keterlibatan keluarga.
SP 1 PASIEN WAHAM
No Diagnosis Keperawatan Tindakan Keperawatan
1 Waham 1. Identifikasi tanda dan gejala waham
2. Bantu orientasu realitas : panggil nama ,
orientasi waktu, orang, dan
tempat/lingkungan
3. Diskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
4. Bantu klien memenuhi kebutuhan yang
realistis melalui kegiatan positif yang
dikuasai pasien
5. Anjurkan klien memasukkan kedalam
jadwal kegiatan harian
Lampiran
STRATEGI PELAKSANAAN WAHAM
Pertemuan ke : 1
1. Kondisi klien baik subjektif maupun objektif
a. Kognitif
Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata.
Individu sangat percaya pada keyakinannya.
Sulit berpikir realita.
Tidak mampu mengambil keputusan.
b. Afektif
Situasi tidak sesuai dengan kenyataan.
Afek tumpul.
c. Perilaku dan hubungan sosial
Hipersensitif
Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
Depresif
Ragu-ragu
Mengancam secara verbal
Aktivitas tidak tepat
Streotif
Impulsif
Curiga / paranoid
d. Fisik
Kebersihan kurang
Muka pucat
Sering menguap
Berat badan menurun
Nafsu makan menurun
Subjektif :
- Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat.
- Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus.
Objektif :
- Klien terus berbicara tentang kemampuan yang dimilikinya.
- Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang.
- Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Diagnosa Keperawatan
Perubahan proses pikir : waham
3. Tujuan
a. Pasien
Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap.
Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar.
Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
Pasien menggunakan obat dengan prinsip lima benar.
Fase Orientasi
1. Evaluasi / validasi
a. Perasaan klien saat ini
b. Kondisi klien saat ini
c. Latihan sebelumnya (pertemuan kedua dst)
2. Kontrak (pertemuan sekarang) : topik , waktu dan tempat
3. Contoh percakapan
“Selamat pagi, perkenalkan saya perawat X, yang bertugas dinas pagi di
ruang melati mulai pukul 07.00 sampai 14.00. Saya akan merawat Anda hari
ini. Nama Anda siapa? Senang dipanggil siapa?”
“Boleh kita berbincang-bincang tentang apa yang dirasakan B sekarang ini?”
“Berapa lama akan berbincang-bincang? Bagaimana kalau 30 menit?”
“Mau dimana kita berbincang-bincang, X?”
Fase Kerja
1. Melakasanakan topic (diskusi atau latihan ) yang telah disepakati.
2. Ditulis secara singkat, jelas dan sistematis.
3. Contoh percakapan
“Saya mengerti B merasa bahwa B adalah seorang Nabi, tetapi sulit bagi saya
untuk mempercayainya karena setahu saya semua Nabi sudah tidak ada lagi.
Bisa kita lanjutkan pembicaraan yang tadi terputus B?”
“Tampaknya B gelisah sekali, bisa B ceritakan apa yang B rasakan?”
“O... jadi B merasa takut nanti diatur-atur oleh orang lain dan tidak punya hak
untuk mengatur diri B sendiri?”
“Jadi, ibu yang terlalu mengatur-atur ya B, juga kakak dan adik B yang lain?”
“Kalau B sendiri, inginnya seperti apa?”
“Bagus, B sudah punya rencana dan jadwal untuk diri sendiri!”
“Coba tuliskan rencana dan jadwal tersebut B”
“Wah bagus sekali! Jadi setiap harinya B ingin ada kegiatan di luar rumah
karena bosan kalau di rumah terus ya?”
Fase Terminasi
1. Evaluasi
a. Subjektif : tanyakan perasaan klien setelah interaksi
b. Objektif : minta klien menyimpulkan / demonstrasi
2. Rencana Tindak Lanjut
Tugas / latihan mandiri klien (masukan dalam jadwal kegiatan harian klien)
3. Kontrak pertemuan selanjutnya : topic, tempat dan waktu.
4. Contoh percakapan
“Bagaimana perasaan B setelah berbincang-bincang dengan saya?”
“Apa saja tadi yang telah kita bicarakan? Bagus!”
“Bagaimana kalau jadwal ini B coba lakukan, setuju?”
“Bagaimana kalau saya datang kembali dua jam lagi?”
“Kita bercakap-cakap tentang kemampuan yang pernah B miliki?”
“Mau dimana kita bercakap-cakap?”
“Bagaimana kalau disini lagi?”
DAFTAR PUSTAKA
Direja, Ade Herman Surya. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :
Nuha Medika
Keliat, Budi Anna. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
ECG.
Sadock, Benjamin J., Virginia A. Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis:
Kaplan dan Sandock (Edisi 2). Jakarta : EGC
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
B. Penyebab
1. Faktor Predisposisi
a. Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif atau perilaku kekerasan,contohnya : pada masa
anak-anak yang mendapat perilaku kekerasan cenderung saat dewasa
menjadi pelaku perilaku kekerasan
b. Perilaku
Kekerasan didapat pada saat setiap melakukan sesuatu maka
kekerasan yang diterima sehingga secara tidak langsung hal tersebut
akan diadopsi dan dijadikan perilaku yang wajar
c. Sosial Budaya
Budaya yang pasif – agresif dan kontrol sosial yang tidak pasti
terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah kekerasan
adalah hal yang wajar
d. Bioneurologis
Beberapa berpendapat bahwa kerusaka pada sistem limbik, lobus
frontal, lobus temporal, dan ketidakseimbangan neurotransmitter ikut
menyumbang terjadi perilaku kekerasan
e. Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku
agresif dengan genetik karyotype XYY.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
C. Manifestasi Klinis
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
f. Ketus
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
D. Penatalaksanaan
1. Medis
a. Obat anti psikosis : Phenotizin
b. Obat anti depresi : Amitriptyline
c. Obat anti ansietas : Diazepam, Bromozepam, Clobozam
d. Obat anti insomnia : Phneobarbital
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d. Pendidikan kesehatan
3. Terapi modalitas
a. Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi
masalah klien dengan memberikan perhatian :
1) BHSP
2) Jangan memancing emosi klien
3) Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan
keluarga
4) Beri kesempatan pasien mengemukakan pendapat
5) Dengarkan, bantu, dan anjurkan pasien untuk mengemukakan
masalah yang dialami
b. Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan social atau
aktivitas lain dengan berdiskusi dan bermain untuk mengembalikan
kesadaran klien karena masalah sebagian orang merupakan perasaan
dan tingkah laku pada orang lain.
c. Terapi music
Dengan music klien terhibur, rilek dan bermain untuk mengembalikan
kesadaran klien
F. Pohon Masalah
Resiko Bunuh Diri Perilaku Kekerasan akibat
H. Proses Marah
1. Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang
harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan
kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan
terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan. Berikut ini
digambarkan proses kemarahan
2. Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan
melalui 3 cara yaitu : Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan
menantang. Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif
sedang dua cara yang lain adalah destruktif.
3. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa
bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan
dapat diekspresikan pada diri sendiri dan lingkungan dan akan tampak
sebagai depresi dan psikomatik atau agresif dan ngamuk.
I. Mekanisme Koping
1. Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung
dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
2. Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena
adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien
marah untuk melindungi diri antara lain :
3. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di
mata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan
kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
4. Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba
merayu, mencumbunya.
5. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada
orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau
didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua
merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga
perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
6. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
7. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada
mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4
tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena
menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan
dengan temannya.
J. Perencanaan Pulang
Perawatan dirumah sakit akan lebih bermakna jika dilanjutkan dirumah.
Untuk itu semua rumah sakit perlu membuat perencanaan pulang.
Perencanaan pulang dilakukan sesegera mungkin setelah klien dirawat dan
diintegrasikan didalam proses keperawatan. Jadi bukan persiapan yang
dilakukan pada hari atau sehari sebelum klien pulang. Tujuan perencanaan
pulang:
1. Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial.
2. Klien tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungannya.
3. Klien tidak terisolasi social
4. Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap (Kelliat, 2012).
2. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko Perilaku Kekerasan.
2. Harga Diri Rendah.
3. Rencana Tindakan
Diagnosa 1 : Risiko Perilaku Kekerasan
TujuanUmum :
Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan :
a. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
c. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien
dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
b. Observasi tanda perilaku kekerasan.
c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang dialami
klien.
4. Intervensi
a. Pasien
SP I
1. Mengidentifikasi penyebab PK
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala PK
3. Mengidentifikasi PK yang dilakukan
4. Mengidentifikasi akibat PK
5. Mengajarkan cara mengontrol PK
6. Melatih pasien cara kontrol PK fisik I (nafas dalam).
7. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP II
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara kontrol PK fisik II (memukul bantal / kasur /
konversi energi).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP III
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara kontrol PK secara verbal (meminta, menolak
dan mengungkapkan marah secara baik).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara kontrol PK secara spiritual (berdoa, berwudhu,
sholat).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP V
1. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
2. Menjelaskan cara kontrol PK dengan minum obat (prinsip 5 benar
minum obat).
3. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
b. Keluarga
SP I
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien.
2. Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala, serta proses terjadinya
PK.
3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK.
SP II
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan PK.
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
PK.
SP III
1. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk
minum obat (discharge planning).
2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
STRATEGI PELAKSANAAN
Sp I Melatih Cara Mengontrol PK Dengan Cara Fisik I : Nafas Dalam
Orientasi
1. Salam Terapeutik : Assalamualaikum bu, perkenalkan saya mahasiswa
profesi ners dari Poltekkes Kemenkes Semarang, saya akan merawat ibu dari
jam 07.00 – 14.00 WIB. Nama ibu siapa? senang dipanggil apa?
2. Evaluasi/ validasi : Bagaimana perasaan ibu pada pagi hari ini?
3. Kontrak
Topik : Baik lah bagaimana kalu kita berbincang- bincang tentang
penyebab
marah ibu dan cara mengontrol rasa marah yang dirasakan.
Waktu : Mau berapa lama kita berbincang- bincang bu? Bagaimana kalau
30 menit ?
Tempat : Dimana ibu mau berbincang – bincang? Bagaimana kalau disini
saja.
Terminasi
1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
Evaluasi klien ( Subjektif ) : Bagaimana perasaan ibu setelah berkenalan
dan berbincang – bincang dengan saya ? Ibu kita tadi sudah berkenalan coba
sebutkan kembali asal saya dari mana ? Bagus sekali, coba sekarang ibu
praktikkan cara mengendalikan marah ibu seperti yang telah saya ajarkan tadi?
Bagus, nanti jika rasa marah yang ibu rasakan muncul, ibu bisa melakukan
latihan nafas yang telah kita lakukan tadi
Evaluasi ( Objektif ) : Coba ibu sebutkan lagi cara tarik nafas
dalam dengan benar ? Bagus.
2. Tindak lanjut klien
Sekarang mari kita masukkan tarik nafas dalam ke dalam jadwal.
3. Kontrak yang akan datang
Topik : Baik, besok saya akan kembali lagi untuk melihat sejauh mana
ibu melakukan cara tarik nafas dalam dengan benar, serta apakah hal tersebut
dapat mengatasi rasa marah.
Besok saya akan kemari lagi dan kita akan latihan mengontrol marah dengan
kegiatan fisik yaitu pukul bantal atau kasur.
Waktu : Ibu mau jam berapa? Baik jam 10 pagi.
Tempat : Tempatnya dimana bu? Bagaimana kalau disini saja, jadi besok
kita ketemu lagi disini jam 10 ya bu. Assalamualaikum ibu.
Daftar Pustaka
3. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Fitria, Nita. (2010) tanda dan gejala yang tampak pada klien yang
mengalami defisit perawatan diri adalah sebagai berikut:
a. Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidak mampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air
mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, meringankan tubuh, serta
masuk dan keluar kamar mandi.
b. Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam melakukan atau mengambil
potongan pakaian, menaggalkan pakaian, serta memperoleh atau
menukar pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat
tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian,
menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu.
c. Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menagani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, mengambil
makanan dari wadah lalu memasukannya ke mukut, melengkapi makanan
mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil
cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
d. BAB/BAK(toiletting)
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan
jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi
pakaian untuk toletting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan
tepat, dan menyiram tiolet kamar kecil.
Keterbatasan diri diatas biasanya diakibatkan karena stresor yang cukup berat
dan sulit ditangani oleh klien (klien bisa mengalami harga diri rendah),
sehingga dirinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik
dalam hal mandi, berpakaian, berhias, makan, maupaun BAB/BAK. Bila
tidak dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan bisa mengalami
masalah resiko tinggi isolasi sosial.
4. PENATALAKSANAAN
Klien dengan gangguan defisit perawatan diri tidak membutuhkan perawatan
medis, karena hanya mengalami gangguan jiwa, pasien lebih membutuhkan terapi
kejiwaan melalui komunikasi terapeutik.
5. POHON MASALAH
Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect
6. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Data
1. Data primer (Subjektif)
a) Klien mengatakan dirinya malas mandi karena airnya dingin, atau
di RS tidak tersedia alat mandi.
b) Klien mengatakan dirinya malas berdandan.
c) Klien mengatakan ingin disuapin makanan.
d) Klien mengatakan jarang membersihkan alat kelaminnya setelah
BAK/BAB.
2. Data Sekunder (Objektif)
a) Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri ditandai dengan
rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan berbau, serta kuku
panjang dan kotor.
b) Ketidakmampuan berpakaian/berhias ditandai dengan rambut
acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai
tidak bercukur (laki-laki), atau tidak berdandan (perempuan)
c) Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makanan sendiri, makan berceceran,
dan makan tidak pada tempatnya.
d) Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri ditandai dengan
BAB/BAK tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri
dengan baik setelah BAB/BAK.
b. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri
c. Intervensi
Menurut Ramdhani. A. N, dkk (2017) intervensi defisit perawatan diri
adalah sebagai berikut :
1. Strategi Pelaksanaan 1 Klien (SP 1 Klien)
a) Identifikasi masalah perawatan diri: mandi/kebersihan diri,
berpakaian/ berhias, makan/minum, serta BAB/BAK.
b) Jelaskan pentingnya mandi/kebersihan diri.
c) Jelaskan cara dan alat mandi/kebersihan diri.
d) Bantu klien mempraktikkan cara melakuan mandi/kebersihan diri:
mandi, ganti pakaian, sikat gigi, cuci rambut, dan potong kuku.
e) Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
2. Strategi Pelaksanaan 1 Keluarga (SP 1 Keluarga)
a) Diskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat klien.
b) Jelaskan pengertian, tanda gejala dan proses terjadinya defisit
perawatan diri (gunakan booklet).
c) Jelaskan cara merawat defisit perawatan diri.
d) Latih dua cara merawat: mandi/kebersihan diri dan berpakaian/
berhias.
e) Anjurkan membantu klien sesuai jadwal dan memberikan pujian.
STRATEGI PELAKSANAAN 1
Pertemuan ke : 1
1. Data
Klien terlihat duduk di salah satu sudut ruangan sambil menggaruk-garuk
kepala yang terlihat kotor, rambut sebahu dan tidak tertata rapi. Pakaian yang
digunakan klien tidak terpasang dengan benar dan terlihat banyak robekan.
Kuku jari tangan terlihat hitam dan panjang. Gigi klien terlihat kotor dan
mulutnya mengeluarkan bau.
2. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri.
3. Tujuan
Klien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri.
KERJA
”Ibu, suami ibu sedang mengalami putus asa yang berat karena kehilangan
sesuatu yang berharga, sehingga sekarang bapak selalu ingin mengakhiri
hidupnya. Karena kondisi bapak yang dapat mengakiri kehidupannya sewaktu-
waktu, kita semua perlu mengawasi bapak terus-menerus. Ibu dapat ikut
mengawasi ya.. Intinya kalau dalam kondisi serius seperti ini bapak tidak boleh
ditinggal sendidrian sedikitpun”
”Ibu dan anggota keluarga bisa membantu saya untuk mengamankan barang-
barang yang dapat digunakan bapak untuk bunuh diri, seperti tali tambang,
pisau, silet, tali pinggang. Semua barang-barang tersebut tidak boleh ada
disekitar bapak”. ” Selain itu, jika bicara dengan bapak fokus pada hal-hal
positif, hindarkan pernyataan negatif.
”Selain itu sebaiknya bapak punya kegiatan positif seperti melakukan hobbynya
bermain bermain futsal supaya tidak sempat melamun sendiri”
TERMINASI
”Bagaimana perasaan ibu setelah mengetahui cara mengatasi perasaan ingin
bunuh diri?”
”Coba ibu sebutkan lagi cara tersebut”Baik, mari sama-sama kita temani bapak,
sampai keinginan bunuh dirinya hilang.
”Baik bu, saya akan menemani bapak dalam beberapa hari ini sampai keinginan
bunuh diri hilang. Untuk Besok apakah boleh saya kerumah ibu lagi untuk
berbincang-bincang kembali dengan ibu?”
”Bagaimana kalau besok kita berbincang di jam seperti sekarang?”
”Oke siap ibu terimakasih untuk waktunya hari ini, saya pamit
Assalamualaikum”
DAFTAR PUSTAKA
Asa, Amita (2019). Hubungan Kebutuhan Spiritual Dengan Tingkat Resiko
Bunuh Diri Pada Pasien Gangguan Jiwa Di Rsjd Dr Amino Gondohutomo
Semarang Jawa Tengah. Dapat diakses di
http://repository.unissula.ac.id/14518/
Cita dan Fatih. 2018. Resiko Bunuh Diri Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan
Terapi Hemodialisa. Dapat diakes di
http://www.jurnalmadanimedika.ac.id/index.php/JMM/article/view/25
Damayanti, M dkk (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa, Bandung: Refika Aditama
Fatimah, (2017). Analisa Praktik Klinik Keperawatan Jiwa Pada Klien Resiko
Bunuh Diri Dengan Intervensi Inovasi Guided Imageryterhadap Gejala
Resiko Bunuh Diri Di Ruang Punai Rsjdatmahusada. Dapat diakses di
https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/300/KIAN.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
Litaqia dan Permana. (2019). Peran Spiritualitas Dalam Mempengaruhi Resiko
Perilaku Bunuh Diri: A Literature Review. Dapat diakes di
http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/article/view/305
Purbaningsih. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Depresi Dan Resiko
Bunuh Diri. Dapat diakses di
http://www.jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntax-
literate/article/view/677
Videbeck, L. S. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep, I. (2010). Buku Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika
Aditama
LAPORAN PENDAHULUAN DAN STRATEGI PELAKSANAAN 1
PADA PASIEN JIWA DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
GANGGUAN PSIKOSOSIAL
E. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
2. Perawat perlu mengkaji data demografi, riwayat kesehatan dahulu,
kegiatan hidup klien sehari-hari, keadaan fifik, status mental, hubungan
interpersonal serta riwayat personal dan keluarga
a. Data demografi Pengkajian data demografi meliputi nama, tempat dan
tanggal lahir klien, pendidikan, alamat orang tua, serta data lain yang
dianggap perlu diketahui. Riwayat kelahiran, alergi, penyakit dan
pengobatan yang pernah diterima klien, juga perlu dikaji. Selain itu
kehidupan sehari-hari klien meliputi keadaan gizi termasuk berat
badan, jadwal makan dan minat terhadap makanan tertentu, tidur
termasuk kebiasaan dan kualitas tidur, eliminasi meliputi kebiasaan
dan masalah yang berkaitan dengan eliminasi, kecacatan dan
keterbatasan lainnya.
b. Fisik
Dalam pengkajian fisik perlu diperiksa keadaan kulit, kepala rambut,
mata, telinga, hidung, mulut, pernapasan, kardiovaskuler,
musculoskeletal dan neurologis klien. Pemeriksaan fisik lengkap saat
diperlukan untuk mengetahui kemungkinan pengaruh gangguan fisik
terhadap perilaku klien. Misalnya klien yang menderita DM atau
asma sering berperilaku merusak dalam usahanya untuk
mengendalikan lingkungan. Selain itu hasil pemeriksaan fisik
berguna sebagai dasar dalam menentukan pengobatan yang
diperlukan. Bahkan untuk mengetahui kemungkinan bekas
penganiayaan yang pernah dialami klien.
c. Status mental
Pemeriksaan status mental klien bermanfaat untuk memberikan
gambaran mengenai fungsi ego klien. Perawat membandingkan
perilaku dengan tingkat fungsi ego klien dari waktu ke waktu. Oleh
karena itu status mental klien
perlu dikaji setiap waktu dengan suasana santai bagi klien.
Pemeriksaan status mental meliputi: keadaan emosi, proses berfikir
dan isi pikir, halusinasi dan persepsi, cara berbicara dan orientasi,
keinginan untuk
bunuh diri dan membunuh. Pengkajian terhadap hubungan
interpersonal klien dilihat dalam hubungannya dengan orang lain
yang penting untuk mengetahui kesesuaian perilaku dengan usia.
Pertanyaan yang perlu diperhatikan perawat ketika mengkaji
hubungan interpersonal klien antara lain:
1) Apakah klien berhubungan dengan orang lain dengan usia
sebanya dan dengan jenis kelamin tertentu.
2) Apa posisi klien dalam struktur kekuasaan dalam kelompok
3) Bagaimana ketermpilan sosial klien ketika menjalin dan
berhubungan dengan orang lain.
4) Apakah klien mempunyai teman dekat.
d. Riwayat personal dan keluarga
Riwayat personal dan keluarga meliputi faktor pencetus masalah,
tumbuh kembang klien, biasanya dikumpulkan oleh tim kesehatan.
Data ini sangat
f. Berikan pendidikan kesehatan tentang tugas perkembangan normal
pada usia
pra sekolah
g. Berikan informasi cara menstimulasi perkembangan pada usia pra
sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Potter, Patricia A. and Perry, Anee G. (1985). Fundamentals of Nursing concept,
process, and practice. St. Louis : The C.V. Mosby Company
Spesialis Jiwa FIK 2005-2007 dan tim pengajar spesialis jiwa (2008). Draft
Standar Asuhan Keperawatan Program Spesialis Jiwa. Jakarta : Program Magister
Keperawatan Jiwa FIK UI