Anda di halaman 1dari 11

KONDISI EKOLOGI PADA EKOSISTEM

PANTAI WATUKODOK
Anabelle Marie Inggrid G., Janice Margareth Nathania Pattihawean,
Lidya Marina Caesaria, Rebecha Lady Wibowo, Cindy Oktavi Cicilia

ABSTRAK
Ekosistem lautan merupakan ekosistem perairan asin yang identik dengan kandungan
garam atau salinitas tinggi yang mendominasi lebih dari 70% luas permukaan bumi, memiliki
suhu yang bervariasi sehingga tidak terpengaruh oleh iklim dan cuaca di sekitarnya, serta dapat
membentuk habitat bagi makhluk hidup yang ada di lingkungan sekitar. Salah satu contoh
ekosistem laut yaitu berada di Pantai Watukodok, Gunung Kidul, Yogyakarta. Pantai
Watukodok merupakan destinasi wisata di Yogyakarta yang memiliki banyak potensi laut. Pada
praktikum ini dilakukan pengamatan untuk mengetahui sifat, karakteristik, serta interaksi antar
komponen penyusun ekosistem laut. Praktikum ini juga bertujuan untuk melatih teknik
pengambilan sampel dan analisis dari parameter lingkungan. Pada praktikum ini dilakukan
pengamatan terhadap parameter fisik, biologi dan kimia. Parameter fisik berupa suhu, pH,
salinitas dan DO. Parameter biologi berupa plankton, epifauna, dan makroalga. Parameter kimia
berupa fosfat dan nitrat. Penelitian dapat dilakukan dengan metode pengambilan sampel
terhadap dua titik lokasi berbeda di Pantai Watukodok. Dipakai juga water sampler untuk
pengambilan sampel air, Secchi disk untuk menguji tingkat kecerahan air, serta Lammote water
sampler untuk mengambil sampel.

Kata-kata kunci: ekosistem pantai, indeks, Secchi disk

PENDAHULUAN
Ekosistem lautan merupakan ekosistem perairan yang mendominasi lebih dari 2/3
permukaan bumi atau sekitar 70% dari luas permukaan bumi. Ekosistem laut merupakan
ekosistem perairan asin yang identik dengan kandungan garam atau salinitas yang tinggi.
Ekosistem laut memiliki suhu yang sangat bervariasi sehingga cenderung tidak terpengaruh oleh
iklim dan cuaca di sekitarnya. Terdapat berbagai faktor yang mendominasi ekosistem perairan
ini seperti pasang-surut air, gelombang, kedalaman, angin dan kadar garam. Habitat laut
memiliki kemiripan parameter dengan ekosistem pantai sehingga memungkinkan terbentuknya
komponen penyusun dan sifat yang sama (Pratama, 2018). Habitat ekosistem laut membentuk
suatu struktur fungsional yang saling berkaitan antara komponen biotik (organisme) dan
komponen abiotik (kimia – fisik). Penurunan jumlah organisme pada tingkat tertentu akan
mempengaruhi siklus atau rantai hidup organisme lainnya yang mana berdampak terhadap
perubahan karakter perairan laut, begitupun sebaliknya apabila terjadi perubahan komponen
abiotik seperti suhu, pH, kadar DO dan kandungan nutrien maka akan mempengaruhi kehidupan
organisme (biota) ekosistem laut tersebut (Puryono et al., 2019). Berdasarkan kedalaman dan
jaraknya dari pantai, ekosistem laut dibedakan menjadi zona litoral, zona neritik dan zona
oseanik. Zona litoral merupakan kawasan perairan dangkal yang berbatasan langsung dengan
daratan atau dikenal sebagai wilayah pesisir/pantai, dimana habitatnya sangat dipengaruhi oleh
siklus pasang surut air laut (Maknun, 2017).
Dalam suatu perairan, kualitas air sangatlah penting. Kualitas air dapat dinyatakan
dalam beberapa parameter, diantaranya yaitu parameter fisika (suhu, tipe substrat, dsb),
parameter kimia (pH, DO, salinitas, kandungan nitrat dan fosfat) dan parameter biologi
(plankton, epifauna, makroalga, dsb). Kandungan nitrat dalam perairan alami berfungsi sebagai
nutrien utama bagi pertumbuhan algae dan tanaman. Namun apabila jumlahnya berlebihan dapat
mengakibatkan terjadinya eutrofikasi yang merangsang pertumbuhan fitoplankton dengan cepat
(blooming) dan menyebabkan penurunan kualitas air juga kadar oksigen terlarut (DO), dimana
DO yang berperan sebagai substrat respirasi bagi organisme perairan akan mempengaruhi
tingkat persebaran populasi biota laut (Pratama, 2018). Pada praktikum ini parameter kimia
yang di uji memiliki standar baku mutu. Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 3 Tahun
2010 tentang baku mutu air laut untuk biota laut menjabarkan nilai pH 7 – 8,5; DO > 5 mg/L;
fosfat 0,015 mg/L; dan nitrat 0,008 mg/L. Struktur komunitas ekosistem laut terdiri dari
produsen, konsumen, plankton dan dekomposer. Komunitas flora dan fauna yang terdapat
dalam ekosistem laut sangat beragam mulai dari mangrove, rumput laut, terumbu karang: polip
dan ganggang, hingga plankton, nekton, epifauna seperti kepiting dan serangga, predator dan
lain sebagainya (Maknun, 2017). Indeks diversitas yang paling sering digunakan yaitu indeks
Shannon wiener (H’). Indeks Shannon wiener merupakan pengukuran keanekaragaman spesies
yang mengombinasikan kekayaan spesies dan kemerataan relatifnya dalam suatu kawasan.
Semakin besar nilai H′ menunjukkan bahwa semakin tinggi suatu keanekaragaman spesies
(Nahlunnisa et al., 2016).

Dengan kriteria H’ < 1 = tingkat keanekaragaman rendah; 1 ≤ H’ ≤ 3 = tingkat keanekaragaman


sedang; dan H’ > 3 = tingkat keanekaragaman tinggi.
Lokasi Pantai Watu Kodok terletak di Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari,
Kabupaten Gunung kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pantai Watu Kodok merupakan salah
satu destinasi wisata yang memiliki banyak potensi hasil laut di daerah Gunung Kidul
Yogyakarta (Wijayanto, 2019). Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui sifat, karakteristik
serta interaksi antar komponen penyusun dari ekosistem laut. Adanya kegiatan penelitian ini
juga dapat melatih berbagai teknik pengambilan sampel dan analisis parameter lingkungan.

METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Pantai Watu Kodok, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.
Pengambilan sampel pada praktikum ini dilakukan dengan teknik ploting dengan menggunakan
tali rafia berukuran 1m x 1m yang dibentuk segi empat dengan pengulangan sebanyak 2 kali dan
jarak antar plot adalah 10m. Pada praktikum dilakukan pengamatan terhadap parameter fisik,
biologi, dan kimia. Parameter fisik yang diukur berupa suhu, salinitas dan pH. Parameter biologi
berupa plankton, epifauna, dan makroalga. Parameter kimia berupa fosfat dan nitrat.
Pada pengamatan suhu dilakukan dengan mencelupkan termometer pada air di titik ploting
selama 5 menit kemudian dilihat dan dicatat hasil pengukuran dari setiap titik ploting. Untuk
mengukur kadar pH dilakukan dengan pengambilan sampel air pada titik ploting dengan
menggunakan wadah tertentu kemudian dicelupkan pH stick dan didiamkan selama 5 menit
kemudian dibandingkan perubahan warnanya dengan indikator pH. Pengukuran kadar salinitas
dilakukan dengan menggunakan salinometer dengan memberikan beberapa tetes sampel air
pada prisma kaca salinometer yang telah dibersihkan sebelumnya, kemudian prisma kaca yang
telah diberi sampel ditutup kemudian diamati skala konsentrasi dan massa jenis yang terlihat
pada eye piece dengan cara mengarahkan salinometer kearah datangnya cahaya. Pengukuran
DO pada sampel air yang telah diambil dari titik ploting dilakukan dengan menggunakan DO kit
dengan metode winkler. Hasil pengukuran yang didapatkan kemudian akan dihitung dengan
menggunakan rumus DO untuk mendapatkan nilai DO dari sampel.
Kandungan nitrat diukur dengan menggunakan nitrat kit dimana dilakukan dengan
memberikan bubuk nitrat (NO3-1) pada sampel air yang telah diambil dari titik sampling dan
dilihat kandungannya dengan membandingkan perubahan warna pada sampel air dengan
indikator nitrat. Pengukuran kandungan fosfat dapat dilakukan dengan pemberian cairan PO4-1
serta bubuk PO4-2 pada sampel air yang diambil kemudian dari titik ploting kemudian dilakukan
homogenisasi dan diamati perubahan warnanya lalu bandingkan dengan indikator fosfat.
Pengambilan sampel plankton dilakukan pada setiap plot dengan mengambil sampel air
sebanyak 5 kali yang dituangkan kedalam plankton net kemudian air yang tertampung pada
plankton net diambil dan diberi formalin untuk kemudian diamati dibawah mikroskop di
Laboratorium Fakultas Bioteknologi UKDW.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Karakteristik Kualitas Perairan Pantai Watukodok
Hasil pengukuran suhu pada setiap plot di
Parameter Plot 1 Plot 2 Baku daerah pasang surut Pantai Watukodok sebesar 28
o
Mutu C.Dari hasil pengamatan menunjukkan suhu di
FISIK Pantai Watukodok sesuai dengan Peraturan
Suhu (℃) 28 28 28 - 30 Gubernur DIY Nomor 3 Tahun 2010 tentang baku
Tipe rataan rataan - mutu air laut. Meningkatnya suhu pada air laut
Substrat kerang kerang dapat dipengaruhi oleh sinar matahari yang kuat
KIMIA (Rumahlatu et al., 2008). Selain itu, pola temperatur
Ph 7 7 7 - 8,5
karena suhu akan semakin dingin ketika sudah
semakin dalam kedalamannya (Novianti et al.,
Nitrat (mg/l) 1,96 1,83 0,008
2016). Suhu di perairan dapat mempengaruhi
Fosfat (mg/l) 0,07 0,28 0,015 aktivitas biota laut khususnya pada kelas
DO (mg/l) 5,72 5,84 >5 Echinodermata. Pada kelas Echinodermata untuk
Salinitas 30 28 33 - 34 dapat bertahan hidup mereka beradaptasi dengan
(%0) melakukan aktivitas hemolitik. Aktivitas hemolitik
adalah lepasnya membran eritrosit sehingga isi sel
dan molekul hemoglobin keluar (Mangindaan & Losung, 2013). Aktivitas hemolitik dapat
dilakukan sampai batas maksimum pada suhu 50 oC. Tapi jika suhu sudah diatas 50 oC maka
aktivitas hemolitik dapat menurun karena hemolisin (toksin penyebab litik) tidak/kurang aktif.
Jika hal itu terjadi maka malah menyebabkan kematian. Hal ini menunjukkan suhu di Pantai
Watukodok ideal untuk Echinodermata. Faktor eksternal lainnya dapat dipengaruhi oleh cuaca
dan angin (Officer, 1976). Selain itu, faktor wilayah dan perubahan arus air laut (Pond dan
Pickard,1978). Suhu perairan Indonesia kisaran umumnya sebesar 27 - 32 oC (Nybakken,
1988).Suhu yang ideal untuk pertumbuhan terumbu karang yaitu diatas 20-30 oC (Sukarno et al.,
1981). Dengan demikian,suhu di Pantai Watukodok masih dalam batas optimal suhu air laut
yaitu 28-32 oC.
Zona litoral memiliki batas kedalaman sebesar 365 meter. Tipe substrat pada Pantai
Watukodok adalah berpasir menunjukkan bahwa batu karang tumbuh dengan baik di wilayah
tersebut. Substrat yang dihasilkan banyak berasal dari pecahan kerang-kerang dan terumbu
karang. Banyak biota laut yang hidup di Pantai Watukodok seperti Gastropoda dan Bivalvia.
Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukan cangkang-cangkang dari biota laut yang sudah
mati. Umumnya gastropoda memiliki cangkang yang membentuk berpilin dan juga warna yang
beragam (Harminto, 2003). Gastropoda biasa hidup di perairan dangkal atau zona litoral.
Sedangkan Bivalvia biasa hidup di perairan dangkal di karang dan batu dengan membenamkan
diri, menggali bahkan menempel pada substrat dengan alat perekat disebut byssus dengan
bentuk benang-benang yang kuat (Resseck,1980). Kawasan Pantai watukodok dengan tipe
substrat yang berpasir halus dan rataan kerang dapat mendukung perkembangan dan
pertumbuhan Gastropoda serta Bivalvia karena banyaknya kandungan organik dan subsrat yang
ideal. Substrat sangat berperan penting bagi kelangsungan hidup bivalvia dna gastropoda.
Substrat membantu dalam hal tipe organisme, pola hidup bahkan ketiadaan dari organisme
tersebut (Nybaken, 1982). Ukuran substrat, bahan organik, dan tekstur substrat mendukung
kelangsungan hidup gastropoda dan bivalvia termasuk untuk tetap bertahan saat menghadapi
sirkulasi air di perairan. Substrat sebagai tempat sedangkan bahan organik sebagai sumber
makanan bagi gastropoda dan bivalvia sehingga tipe substrat di kawasan Pantai Watukodok
dapat mendukung kelangsungan hidup biota laut.
Menurut Rizki et.al., (2016) pasang surut air laut mempengaruhi tingkat salinitas, saat
surut tingkat salinitas lebih rendah dari pada saat pasang. Daerah penelitian diadakan di zona
litoral yang mana habitat biota laut dipengaruhi oleh siklus pasang surut air laut laut (Maknun,
2017). Salinitas di perairan Indonesia kisarannya sebesar 28 - 33 % (Nontji, 2002). Hasil
pengukuran salinitas pada setiap plot pada daerah pasang surut Pantai Watukodok berkisar
antara 28 – 30 %. Plot yang memiliki salinitas paling tinggi adalah plot 1 sebesar 30%.Hasil
dari kedua plot tidak memenuhi baku mutu dengan rentang 33 - 34 %. Pengaruh dari rendahnya
nilai salinitas bisa disebabkan karena adanya percampuran air tawar yang terbawa aliran sungai.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi salinitas antara lain penguapan air, curah hujan
yang turun, aliran sungai di dekat pantai atau pola sirkulasi air (Nontji, 2002). Selain itu
pengaruh pencampuran atau pengacauan air laut akibat gelombang laut yang ditimbulkan oleh
tiupan angin dapat menyebabkan perbedaan pada nilai salinitas air laut (Banjarnahor, 2000).
Dari hasil pengamatan, salinitas di pantai ini masih dapat mendukung pertumbuhan dan
perkembangan karang karena karang dapat hidup di salinitas dengan kisaran 25 - 40 % (Smith
dalam Sukarno et al, 1981). Dengan kisaran nilai salinitas sebesar 25 - 40 % dapat membantu
pertumbuhan dan perkembangan karang (Eliza, 1992). Biota laut yang hidup di laut memiliki
toleransi salinitas sebesar 27 - 40 % ( Sudiarta, 1995). Nilai salinitas alami untuk terumbu
karang sendiri sesuai dengan Peraturan Gubernur DIY Nomor 3 Tahun 2010 tentang baku mutu
air laut untuk biota laut yaitu sebesar 33-34 %. Dengan demikian besarnya nilai salinitas air laut
di Pantai Watukodok masih dalam batas aman dan memungkinkan biota laut untuk bertahan
hidup.
Nilai derajat keasaman (pH) air laut termasuk dalam salah satu kriteria untuk
mengetahui kualitas air laut sehingga dapat menunjukkan ada tidaknya perubahan dalam
kualitas perairan. Hasil pengukuran pH setiap plot pada daerah pasang surut Pantai Watukodok
sebesar 7. Dari hasil pengamatan, nilai pH sesuai dengan baku mutu dengan nilai standar
sebesar 7 - 8,5. Nilai pH yang normal, nilainya sekitar 8,0-8,3 (Salm, 1984). Ada 3 faktor yang
dapat mempengaruhi naik turunnya pH air laut yaitu iklim global, substrat perairan, dan
masukan air tawar (Rumahlatu et al., 2008). Ada juga faktor dari daratan di sekitar pantai, curah
hujan bahkan proses oksidasi yang dapat menyebabkan rendahnya nilai pH (Edward dan
Tarigan, 2003). Biasanya air laut bersifat lebih basa dengan nilai pH sekitar 8 tetapi tetap saja
biota laut dapat beradaptasi dengan baik (Udi et al., 2011). Untuk kisaran pH sebesar 7 - 8,5
biasanya dijadikan sebagai tempat budidaya dan rekreasi, sedangkan untuk kepentingan
terumbu karang sebesar 6 - 9 (Edward dan Tarigan, 2003). Nilai pH yang sesuai untuk biota laut
sebesar 6,5 - 8,5 (Pescod dalam Susana (2005). Sedangkan nilai pH yang ideal untuk perikanan
sebesar 6,5 - 8,5 (EPA,1973). Dengan demikian besarnya nilai pH air laut di Pantai Watukodok
masih dalam batas aman dan memungkinkan biota laut untuk bertahan hidup.
Nilai normal dari DO kisarannya sebesar 6 - 14 mg/l (W.D. Connel, G.J. Miller,
1995).Untuk kisaran nilai DO di permukaan air laut biasanya sebesar 5,7 - 8,5 mg/l
(Sutamihardja, 1987). Pada plot 1, nilai dari DO sebesar 5,72 dan pada plot 2, nilai DO sebesar
5,84 sehingga memenuhi standar nilai baku mutu air laut untuk biota laut dengan kisaran diatas
5.Perubahan nilai kadar oksigen terlarut dapat dipengaruhi oleh tingginya kekeruhan atau
semakin meningkatnya aktivitas mikroorganisme ketika menguraikan zat organik menjadi zat
anorganik saat menggunakan oksigen terlarut. Kehidupan organisme perairan dapat berjalan
dengan baik dengan kandungan oksigen sebesar 5 mg/l dengan suhu 20-30 oC bahkan nilai DO
sebesar 2 mg/l dapat cukup mendukung kehidupan organisme perairan tanpa ada pengaruh
senyawa yang mencemari perairan (Rivai, 1983). Dari hasil pengamatan bagian nilai DO, maka
air laut Pantai Watukodok relatif belum tercemar dan masih baik utnuk mendukung kehidupan
biota laut.
Fitoplankton paling banyak membutuhkan nitrat dan fosfat (Mustofa, 2015). Nitrat dan
fosfat berperan dalam pembuatan lemak dan protein tubuh fitoplankton. Fitoplankton hanya
dapat menggunakan kedua nutrien tersebut jika sudah diubah dalam bentuk nitrat dan
orthopospat dan barulah dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton. Konsentrasi nitrat sebesar 0,9 –
3,5 mg/l dan ortofosfat sebesar 0,09 – 1,08 mg/l dapat membantu pertumbuhan fitoplankton
dengan baik (Asriyana dan Yuliana, 2012). Berdasarkan kadar fosfat dan kadar nitrat, perairan
dibagi menjadi 3 tipe yaitu perairan oligotrofik, perairan mesotrofik, dan perairan eutrofik.
Perairan oligotrofik mempunyai kadar nitrat sebesar 0-1 mg/l, perairan mesotrofik mempunyai
kadar nitrat sebesar 1-5 mg/ L, dan perairan eutrofik mempunyai kadar nitrat sebesar 5-50 mg/l
(Mustofa, 2015). Rentang besarnya nitrat sekitar 1,96 mg/L pada plot 1 dan 1,83 mg/L pada plot
2 termasuk kedalam perairan mesotrofik dan juga memenuhi Peraturan Gubernur DIY Nomor 3
Tahun 2010 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Secara keseluruhan, hasil kandungan
nitrat Pantai Watukodok telah melebihi Peraturan Gubernur DIY Nomor 3 Tahun 2010 tentang
baku mutu air laut untuk biota laut sebesar 0,008 mg/l. Konsentrasi nitrat yang tinggi dapat
mengakibatkan eutrofikasi dan hal tersebut dapat mengganggu keseimbangan sistem dan
berdampak buruk pada ekosistem pantai (Lestari, 2014). Jika kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/l
dapat menyebabkan eutrofikasi dan merangsang pertumbuhan fitoplankton dan alga semakin
banyak serta mengganggu proses fotosintesis dan menghalangi sinar matahari (Davis dan
Cornwell (1991) dalam Effendi (2003). Dengan demikian, nilai nitrat di Pantai Watukodok
tidak dapat mendukung kelangsungan hidup biota laut.
Perairan oligotrofik mempunyai kadar fosfat dengan kisaran 0,003 - 0,001 mg/l,
perairan mesotrofik mempunyai kadar fosfat dengan kisaran 0,011 – 0,03 mg/ L, dan perairan
eutrofik mempunyai kadar fosfat dengan kisaran 0,03 – 0,1 atau lebih (Wantsaen, 2015).
Rentang besarnya fosfat sekitar 0,07 mg/L pada plot 1 termasuk ke dalam perairan oligotrofik
sedangkan untuk rentang besarnya fosfat sekitar 0,28 mg/L pada plot 2 termasuk kedalam
perairan eutrofik. Dari hasil pengamatan, untuk kadar fosfat di plot 2 memenuhi Peraturan
Gubernur DIY Nomor 3 Tahun 2010 tentang baku mutu air laut untuk biota laut dengan
minimal nilai sebesar 0,015 mg/L. Sedangkan untuk nilai fosfat pada plot 1 tidak memenuhi
Peraturan Gubernur DIY Nomor 3 Tahun 2010 tentang baku mutu air laut untuk biota laut.
Perairan denga air yang jernih dan mempunyai banyak tumbuhan laut seperti alga termasuk
dalam perairan oligotrofik (Febbrianna et al., 2017).Untuk melangsungkan kehidupannya, biota
laut membutuhkan fosfat sebagai bahan nutrien tetapi jika jumlah fosfat semakin meningkat
maka pertumbuhan alga di perairan akan semakin banyak dan menghalangi masuknya sinar
matahari ke perariran (Patricia et al., 2018). Dari hasil pengamatan, hasil nilai fosfat di Pantai
Watukodok masih terbilang cukup baik untuk mendukung kehidupan makroalga dan biota laut
lainnya.
Tabel 2. Keanekaragaman Epifauna di Pantai Watukodok
Nama Sebaran
Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Lokal Plot 1 Plot 2
Ophiuroidea Ophiacanthida Ophiocomoidae Ophiocoma Ophiocoma Bintang
9 7
scolopendrina Ular
Echinoidea Camarodonta Parechinidae Paracentrotus Paracentrotus Bulu
- 3
lividus Babi
Bivalvia Arcida Arcidae Anadara Anadara Kerang
4 11
granosa Darah
Bivalvia Cardiida Semelidae Scrobicularia Scrobicularia
7 6
plana
Bivalvia Cardiida Donacidae Donax Donax sp. 6 8
Bivalvia Cardiida Cardiidae Acanthocardia Acanthocardia
8 5
sp.
Bivalvia Venerida Veneridae Lioconcha Lioconcha sp. 2 3
Gastropoda Neogastropoda Fasciolariidae Latirus Latirus sp. 5 11
Gastropoda Caenogastropoda Cerithiidae Cerithium Cerithium sp. 7 4
Gastropoda Neogastropoda Nassariidae Nassarius Nassarius sp. 1 -
Gastropoda Neogastropoda Conidae Conus Conus sp. 3 1
Gastropoda Neogastropoda Colubrariidae Colubraria Colubraria sp. 5 9
Malacostraca Decapoda Penaeidae Penaeus Penaeus Udang
- 2
indicus putih
Jumlah Individu 57 70
Jumlah Spesies 11 12
Jumlah Genus 11 12
Indeks Keanekaragaman 2,14 2,15
Berdasarkan indeks keragaman atau indeks Shannon-wiener (H’) diketahui bahwa
stabilitas komunitas makroalga pada pantai Watukodok dalam taraf sedang. Dari hasil
perhitungan indeks keragaman pada plot 1 dan plot 2 menunjukkan bahwa keragaman spesies
biota laut dalam taraf sedang dengan nilai pada plot 1 sebesar 2,14 dan pada plot 2 sebesar 2,15
(kriteria sedang yaitu 1 ≤ H’ ≤ 3). Keanekaragaman pada suatu daerah juga mempengaruhi
kualitas dari daerah tersebut. Menurut Puryono et al., 2019 hal ini dapat disebabkan karena
jumlah organisme yang semakin berkurang akan mempengaruhi rantai hidup atau siklus dari
organisme lainnya yang saling berikatan satu dengan yang lainnya sehingga karakter perairan
laut akan ikut berubah. Faktor yang mempengaruhi kehidupan biota laut adalah faktor abiotik
dan kondisi sekitar habitat biota laut, termasuk lingkungan tercemar atau bersih. Pada plot 1 dan
2 karena tingkat keanekaragaman di dua plot tersebut dalam taraf sedang, maka kualitas dari air
tercemar pun juga dalam taraf sedang. Selain itu, dari hasil indeks keragaman tersebut
menunjukkan produktivitas di perairan termasuk cukup dengan kondisi ekosistem cukup
seimbang dan tekanan ekologis dalam taraf sedang. Dari hasil pengamatan, kelas yang paling
dominan adalah bivalvia dan gastropoda. Hal ini menunjukkan bahwa daerah pantai tersebut
mendukung sebagai habitat bivalvia dan gastropoda di zona litoral sedangkan biota laut lainnya
ditemukan di daerah pasang surut, hutan bakau dan laut dangkal (Dharma, 1988). Menurut
Rizki et.al., (2016) pasang surut air laut mempengaruhi tingkat salinitas, saat surut tingkat
salinitas lebih rendah dari pada saat pasang. Daerah penelitian diadakan di zona litoral yang
mana habitat biota laut dipengaruhi oleh siklus pasang surut air laut laut (Maknun, 2017).
Dari hasil pengamatan ditunjukkan bahwa ada lima kelas hewan yaitu ophiuroidea,
echinoidea, bivalvia, gastropoda, dan malacostraca. Dari setiap plot, ada tiga spesies yang
paling mendominasi di setiap plot. Pada plot 1, paling banyak ditemukan Ophiocoma
scolopendrina (Bintang Ular), Acanthocardia sp., Scrobicularia plana dan Cerithium sp. Untuk
jumlah total spesies di plot ada 11 spesies berbeda dengan rata-rata didominasi biota laut kelas
bivalvia dan gastropoda. Untuk spesies Paracentrotus lividus (Bulu Babi) dan Penaeus indicus
(Udang Putih) tidak ditemukan di plot 1. Pada plot kedua, paling banyak ditemukan Anadara
granosa, Latirus sp., dan Colubraria sp.. Untuk jumlah total spesies di plot ada 12 spesies
berbeda dengan rata-rata didominasi biota laut kelas bivalvia dan gastropoda. Di plot kedua
malah ditemukan spesies Paracentrotus lividus (Bulu Babi) dan Penaeus indicus (Udang Putih)
sedangkan di plot 1 tidak ditemukan sama sekali. Untuk spesies Nassarius sp. tidak ditemukan
di plot 2. Letak dari masing-masing plot mempengaruhi faktor lingkungan sekiar seperti pH,
nitrat, fosfat, salinitas, dan DO, sehingga mempengaruhi spesies biota laut yang hidup di plot
tersebut. Terjadi perubahan komponen abiotik seperti suhu, pH, kadar DO dan kandungan
nutrien maka akan mempengaruhi kehidupan organisme (biota) ekosistem laut tersebut
(Puryono et al., 2019). Tiga spesies biota laut yang identik pada ekosistem pantai Watukodok
yaitu spesies Anadara granosa dan Latirus sp. karena jumlah individunya yang paling banyak.
Gastropoda dan Bivalvia dapat menjadi indikator polutan. Semakin banyak pencemaran atau
polusi di perairan maka jumlah gastropoda dan bivalvia akan semakin sedikit (Rosenberg and
Resh, 1993).Tetapi jika pencemaran masih sedikit maka gastropoda dan bivalvia akan semakin
beragam berdasarkan struktur dasar substrat dan komponen pendukung lainnya. Substrat sangat
berperan penting bagi kelangsungan hidup bivalvia dna gastropoda. Substrat membantu dalam
hal tipe organisme, pola hidup bahkan ketiadaan dari organisme tersebut (Nybaken, 1982).
Ukuran substrat, bahan organik, dan tekstur substrat mendukung kelangsungan hidup
gastropoda dan bivalvia termasuk untuk tetap bertahan saat menghadapi sirkulasi air di perairan.
Substrat sebagai tempat sedangkan bahan organik sebagai sumber makanan bagi gastropoda dan
bivalvia.
Tabel 3. Keanekaragaman Makroalga di Pantai Watukodok
Berdasarkan indeks keragaman atau indeks Shannon-wiener (H’) diketahui bahwa
stabilitas komunitas makroalga pada pantai Watukodok sedang. Indeks keanekaragaman (H’)
pada plot 1 yaitu 2.4, jika dibandingkan dengan ketetapan H’ plot 1 berada di kriteria sedang
yaitu 1 ≤ H’ ≤ 3, begitu juga dengan indeks keanekaragaman (H’) pada plot 2 yaitu 2.0, jika
dibandingkan dengan ketetapan H’ plot 2 berada pada kriteria sedang. Keanekaragamn pada
suatu daerah juga mempengaruhi kualitas dari daerah tersebut. Menurut Puryono et al., 2019 hal
ini dapat disebabkan karena jumlah organisme yang semakin berkurang akan mempengaruhi
rantai hidup atau siklus dari organisme lainnya yang saling berikatan satu denagn yang lainnya
sehingga karakter perairan laut akan ikut berubah. Faktor yang mempengaruhi kehidupan biota
laut adalah faktor abiotic dan kondisi sekitar habitat biota laut, termasuk lingkungan tercemar
atau bersih. Pada plot 1 dan 2 karena tingkat keanekaragaman di dua daerah itu sedang, maka
kualitas dari air tercemar sedang. Kualitas air yang sedang pada ekosistem pantai Watukodok
disebakan karena kandungan nitrat dan fosfat yang tinggi melebihi ketetapan baku mutu dan
tingkat salinitas yang rendah tidak sesuai dengan baku mutu. Kandungan nitrat yang berlebihan
dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi yang akan menyebabkan penurunan kualitas air juga
kadar DO (Pratama, 2018). Kadar DO berperan sebagai substrat respirasi bagi organisme
perairan dan mempengaruhi keanekaragaman dari biota serta berakibat pada kualitas air.
Menurut Rizki et.al., (2016) pasang surut air laut mempengaruhi tingkat salinitas, saat surut
tingkat salinitas lebih rendah dari pada saat pasang. Daerah penelitian diadakan di zona litoral
yang mana habitat biota laut dipengaruhi oleh siklus pasang surut air laut laut (Maknun, 2017).
Terjadi perubahan komponen abiotik seperti suhu, pH, kadar DO dan kandungan nutrien maka
akan mempengaruhi kehidupan organisme (biota) ekosistem laut tersebut (Puryono et al., 2019).
Berdasarkan jumlah masing-masing individu, spesies makroalga yang identik pada ekosistem
pantai adalah Ulva sp. yaitu sebanyak 55. Karakteristik ekosistem pantaiWatukodok yang sesuai
dengan makroalga Ulva sp. mempengaruhi jumlah spesies makroalga tersebut.
Tabel 4. Keanekaragaman Plankton di Pantai Watukodok

Berdasarkan indeks keanekaragaman atau indeks Shannon-wiener (H’) diketahui bahwa


stabilitas komunitas plankton pantai Watukodok pada plot 1 rendah sedangkan pada plot 2
sedang. Indeks keanekaragaman (H’) pada plot 1 berada di bawah 1 yaitu -3.4 berdasarkan
ketetapan indeks H’ < 1 = tingkat keanekaragaman rendah. Indeks keanekaragaman (H’) pada
plot 2 sedang yaitu 1.3 karena berdasarkan ketetapan 1 ≤ H’ ≤ 3 = tingkat keanekaragaman
sedang. Keanekaragamn organisme pada suatu daerah juga mempengaruhi kualitas dari daerah
tersebut. Menurut Puryono et al., 2019 hal ini dapat disebabkan karena jumlah organisme yang
semakin berkurang akan mempengaruhi rantai hidup atau siklus dari organisme lainnya yang
saling berikatan satu dengan yang lainnya sehingga karakter perairan laut akan ikut berubah.
Faktor yang mempengaruhi kehidupan biota laut adlah faktor abiotic dan kondisi sekitar habitat
biota laut, termasuk lingkungan tercemar atau bersih. Pada plot 2 karena tingkat
keanekaragaman di daerah itu sedang, maka kualitas dari air tercemar sedang, sedangkan pada
plot 1 tingkat keanekaragaman di daearah itu rendah, maka kualitas air tercemar berat.
Tercemarnya kualitas air pada pantai Watukodok dipengaruhi oleh kandungan nitrat dan fosfat
yang tinggi melebihi ketetapan baku mutu dan tingkat salinitas yang rendah tidak sesuai dengan
baku mutu. Kandungan nitrat yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi yang
merangsang pertumbuhan fitoplankton dengan cepat. Pertumbuhan fitoplankton yang berlebihan
ini akan menyebabkan penurunan kualitas air juga kadar DO karena kurangnya ketersediaan
oksigen menghambat respirasi dan pertumbuhan dari plankton yang lain, maka tidak terjadi
keanekaragaman pada daerah tersebut (Pratama, 2018). Menurut Rizki et.al., (2016) pasang
surut air laut mempengaruhi tingkat salinitas, saat surut tingkat salinitas lebih rendah dari pada
saat pasang. Daerah penelitian diadakan di zona litoral yang mana habitat biota laut dipengaruhi
oleh siklus pasang surut air laut laut (Maknun, 2017). Spesies plankton yang identik pada
ekosistem pantai Watukodok yaitu spesies Chitonosperma coronatum dan Rhizosdenia
delicatula karena jumlah individunya yang banyak. Letak dari masing-masing plot
mempengaruhi faktor lingkungan sekiar seperti pH, nitrat, fosfat, salinitas, dan DO, sehingga
mempengaruhi spesies plankton yang hidup di plot tersebut. Terjadi perubahan komponen
abiotik seperti suhu, pH, kadar DO dan kandungan nutrien maka akan mempengaruhi kehidupan
organisme (biota) ekosistem laut tersebut (Puryono et al., 2019).

KESIMPULAN
Pantai Watukodok memiliki struktur komponen penyusun ekosistem berupa beberapa
epifauna, makroalga, dan plankton seperti Chitonosperma coronatum, Spirodinium fusus,
Rhizosdenia delicatula, Coscinodiscus nobilis, dan Sopepod catanoida. Teknik yang digunakan
untuk pengambilan sampel adalah teknik pemilihan acak lokasi pantai yaitu diambil dua tempat
yang berbeda. Sampel diambil sesuai dengan kebutuhan untuk parameter fisika, kimia, dan
biologi. Seperti penggunaan water sampler untuk pengambilan sampel air, Sacchi disk untuk
menguji tingkat kecerahan air, ataupun dengan Lamotte water sampler untuk pengambilan
sampel plankton. Dari praktikum ini diketahui juga keterkaitan antara parameter fisika dan
kimia dengan parameter biologi. Pantai Watukodok memiliki karakteristik salinitas tinggi
(kandungan garam tinggi), suhu yang sangat bervariasi di beda daerah, dan memiliki pasang
surut air laut.

DAFTAR PUSTAKA
Asriyana, Y. (2012). Aquatic productivity. Bumi Aksara, Jakarta.
Banjarnahor, J. 2000. Atlas Ekosistem Pesisir Tanah Grogot, Kalimantan Timur. Puslitbang
Oseanologi- LIPI Jakarta. 17 halaman
Connel, W. D., & Miller, G. J. (1995). Chemistry and Ecology of Pollution, ab Y. Koestoer.
Dharma, B. (1988). Siput dan Kerang Indonesia (Indonesian Shells). Jakarta: PT. Sarana Graha.
243-247.
Edward dan Tarigan Z.(2003). Pemantauan kondisi hidrologi diperairan Raha P. Muna,
Sulawesi Tenggara Dalam Kaitannya Dengan Kondisi Terumbu Karang. Makara, Sains,
Vol. 7 (2): 73-82.
Effendi, Hefni. (2003). Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan. Lingkungan
Perairan. Penerbit : Kanisius. Yogyakarta.
Eliza, (1992). Dampak Pariwisata terhadap pertumbuhan terumbu karang. Lingkungan dan
Pembangunan, 12(3): 150-170.
Febbrianna, V., & Muskananfola, M. R. Suryanti.(2017). Produktivitas Primer Perairan
Berdasarkan Kandungan Klorofil-a dan Kelimpahan Fitoplankton di Muara Sungai
Bedono Demak. Journal of Maquares, 6(3), 318-324.
Harminto, S., (2003), Taksonomi Avertebrata, Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta. 24-26.
Lestari, F. (2014). Sebaran Nitrogen Anorganik Terlarut di Perairan Pesisir Kota
Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Jurnal Dinamika Maritim, 4(2), 88-96.
Maknun, D. (2017). Ekologi: Populasi, Komunitas, Ekosistem, Mewujudkan Kampus Hijau,
Asri, Islami dan Ilmiah. Cirebon: Nurjati Press.
Mangindaan, R. E., & Losung, F. (2013). Aktivitas hemolitik teripang (Bohadschia graeffei)
dari pantai Malalayang, Sulawesi Utara pada beberapa suhu dan pH. Jurnal Ilmiah
Sains, 13(1), 27-32.
Mustofa, A. (2015). Kandungan nitrat dan pospat sebagai faktor tingkat kesuburan perairan
pantai. Jurnal Disprotek, 6(1).
Nahlunnisa, H., Zuhud, E. A., & Santosa, Y. (2016). Keanekaragaman Spesies Tumbuhan di
Areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT) Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi
Riau. Media Konservasi, 21(1), 91-98.
Nontji, A. (2002). Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta: 59-67.
Novianti, M., Rusyana, A., & Romansyah, R. (2016). Keanekaragaman Jenis Echinodermata
Pada Berbagai Macam Substrat Pasir, Lamun Dan Karang Di Perairan Pantai
Sindangkertacipatujah Tasikmalaya. Pendidikan Biologi, 4, 19-26.
Nybakken, WJ.(1988). Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta: 459 hal.
Officer, C. B. (1976). Physical oceanography of estuaries (and associated coastal waters).
Patricia, C., Astono, W., & Hendrawan, D. I. (2018, October). Kandungan Nitrat dan Fosfat di
Sungai Ciliwung. In PROSIDING SEMINAR NASIONAL CENDEKIAWAN (pp. 179-
185).
Pond, S., & Pickard, G. L. (1978). Introductory Dynamic Oceanography, edited by
Pergamon. New York.
Pratama, S. W. (2018). Indeks Pencemaran Air Laut Pantai Selatan Bantul dengan Parameter
TSS dan Kimia Non-Logam, Skripsi. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
UII: Yogyakarta.
Puryono, S., Anggoro, S., Suryanti, S., & Anwar, I. S. (2019). Pengelolaan Pesisir dan Laut
Berbasis Ekosistem. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Reseck Jr., Jhon. (1980). Marine biology. 2nd. Edit. Pretince-Hall Inc. New Jersey. Fauna of
Australia. Vol.5. CSIRO Publising. Melbourne
Riva’i, RS, Pertagunawan, K.(1983). Biologi Perikanan I, Penerbit CV. Kayago, Jakarta, 143
hal.
Rizki, R., Ghalib, M., & Yoswaty, D. (2016). Jurnal Ekosistem Provinsi Riau. Pola Sebaran
Salinitas dan Suhu Pada Saat Pasang dan Surut di Perairan Selat Bengkalis, 1-7
Rosenberg, D.M. and Resh, V.H. (1993) Introduction to Freshwater Biomonitoring and Benthic
Macroinvertebrates. In: Rosenberg, D.M. and Resh, V.H., Eds., Freshwater
Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates, Chapman/Hall, New York, 1-9.
Rumahlatu, D., Gofur, A., & Sutomo, H. (2008). Hubungan Faktor Fisik-Kimia Lingkungan
Dengan Keanekaragaman Echinodermata Pada Daerah Pasang Surut Pantai Kairatu.
MIPA, Tahun 37, Nomor 1, Januari 2008 , 77-85.
Salm, R V.(1984). Coral Reef Management Handbook, Unesco-Rostrea, Jakarta, p. 15.
Sudiarta, I K. (1995). Struktur Komunitas Biota Ekosistem Terumbu Karang dan Pemintakatan
Kawasan Wisata Bahari Pulau Lembongan, Bali. Program Pasca Sarjana lnstitut
Pertanian Bogor. 215 hal.
Sukarno, M , Hutomo M, Moosa M K, Darsono P. (1981). Temmbu Karang di Indonesia.
Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya
Alam di Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional. LIPI, Jakarta. 112 hal.
Susana, T. (2005). Kualitas Zat Hara Perairan Teluk Lada, Banten. Oseanologi dan Limnologi
di Indonesia: 59 - 67.
Sutamiharja, R T M. (1987). Kualitas dan Pencemaran Lingkungan. Fakultas Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor: 92 hal.
Udi, Putra, Nana, S S. (2011). Manajemen Kualitas Air Pada Kegiatan Perikanan Budidaya.
Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Balai
Budidaya Air Payau Takalar.
US Environmental Protection Agency (U.S. EPA, 1973). Water Quality Criteria 1972, EPA-R3-
73-033-March 1973. p.177.
Wantsaen, S. (2015). Residu Pupuk Nitrogen Di Lingkungan Perairan Hulu Daerah Aliran
Sungai Tondano Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Bumi Lestari. 15 (2): 176-183.
Wijayanto, R. (2019). Pantai Watu Kodok Yang Eksotis Di Gunung Kidul Yogyakarta.
Yogyakarta: Jurnal Ilmiah Domestic Case Study, STIPRAM.
Yogyakarta, P. D. I. (2010). Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun
2010 tentang Baku Mutu Air Laut di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta: Sekretaris Daerah.

LAMPIRAN
𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑁 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝐵𝑒 𝑂 𝑥 1000 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 0,025 𝑁 𝑥 8 𝑥 1000
Rumus DO = 𝑉 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
= 50 𝑚𝑙
Perhitungan DO Plot 1
𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑁 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝐵𝑒 𝑂 𝑥 1000 1,43 x0,025 x8 x1000
Rumus DO = 𝑉 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
= = 5,72
50
Perhitungan DO Plot 2
𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝑁 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 𝑥 𝐵𝑒 𝑂 𝑥 1000 1,46 x0,025 x8 x1000
Rumus DO = 𝑉 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
= = 5,84
50

Perhitungan Indeks Keragaman Plot 1


Spesies Jumlah (n) Phi Ln phi -phi In phi
Ophiocoma 0,15 -1,89 0,28
9
scolopendrina
Anadara granosa 4 0,07 -2,65 0,18
Scrobicularia plana 7 0,12 -2,12 0,25
Donax sp. 6 0,10 -2,30 0,23
Acanthocardia sp. 8 0,14 -1,96 0,27
Lioconcha sp. 2 0,03 -3,50 0,10
Latirus sp. 5 0,08 -2,52 0,20
Cerithium sp. 7 0,12 -2,12 0,25
Nassarius sp. 1 0,01 -4,60 0,04
Conus sp. 3 0,05 -2,99 0,14
Colubraria sp. 5 0,08 -2,52 0,20
JUMLAH 57 H’ = 2,14

Perhitungan Indeks Keragaman Plot 2


Spesies Jumlah (n) Phi Ln phi -phi In phi
Ophiocoma 0,1 -2,30 0,23
7
scolopendrina
Paracentrotus lividus 3 0,04 -3,21 0,12
Anadara granosa 11 0,15 -1,89 0,28
Scrobicularia plana 6 0,08 -2,52 0,20
Donax sp. 8 0,11 -2,20 0,24
Acanthocardia sp. 5 0,07 -2,65 0,18
Lioconcha sp. 3 0,04 -3,21 0,12
Latirus sp. 11 0,15 -1,89 0,28
Cerithium sp. 4 0,05 -2,99 0,14
Conus sp. 1 0,01 -4,60 0,04
Colubraria sp. 9 0,12 -2,12 0,25
Penaeus indicus 2 0,02 -3,91 0,07
JUMLAH 70 H’ = 2,15

Tabel Indeks Diversitas Makroalga


Plot 1
Nama spesies ni Pi (ni/N) ln (Pi) Pi. Ln(Pi)
Padina sp. 9 0.118421053 -2.13350876 -0.25265235
Sargasum sp. 5 0.065789474 -2.72129543 -0.17903259
Gigartina sp. 6 0.078947368 -2.53897387 -0.20044531
Halimeda sp 2 0.026315789 -3.63758616 -0.09572595
Laurencia sp. 3 0.039473684 -3.23212105 -0.12758373
Chaetopmorpha sp. 8 0.105263158 -2.2512918 -0.23697808
Cryptopleura sp. 4 0.052631579 -2.94443898 -0.15497047
Caulerpa sp. 1 0.013157895 -4.33073334 -0.05698333
Chondria sp. 2 0.026315789 -3.63758616 -0.09572595
Acrosorium sp. 7 0.092105263 -2.38482319 -0.21965477
Gracilaria gracilis 4 0.052631579 -2.94443898 -0.15497047
Ulva sp. 19 0.25 -1.38629436 -0.34657359
Gelidiella acerosa 1 0.013157895 -4.33073334 -0.05698333
Enteromorpha sp 2 0.026315789 -3.63758616 -0.09572595
Gracilaria textorii 3 0.039473684 -3.23212105 -0.12758373
N = 76 -2.40158961 H' = 2.4

Plot 2
Nama spesies ni Pi (ni/N) ln (Pi) Pi. Ln(Pi)
Padina sp. 12 0.166666667 -1.79175947 -0.29862658
Sargasum sp. 2 0.027777778 -3.58351894 -0.09954219
Gigartina sp. 4 0.055555556 -2.89037176 -0.16057621
Gelidium latifolium 1 0.013888889 -4.27666612 -0.05939814
Laurencia sp. 2 0.027777778 -3.58351894 -0.09954219
Codium sp. 2 0.027777778 -3.58351894 -0.09954219
Chaetopmorpha sp. 5 0.069444444 -2.66722821 -0.18522418
Cryptopleura sp. 3 0.041666667 -3.17805383 -0.13241891
Acrosorium sp. 6 0.083333333 -2.48490665 -0.20707555
Acantophora sp. 1 0.013888889 -4.27666612 -0.05939814
Ulva sp. 26 0.361111111 -1.01856958 -0.36781679
Enteromorpha sp 1 0.013888889 -4.27666612 -0.05939814
Gracilaria textorii 7 0.097222222 -2.33075597 -0.22660127
N = 72 -2.0551605 H' = 2.0

Tabel Indeks Diversitas Plankton


Plot 1
Nama spesies ni Pi (ni/N) ln (Pi) Pi. Ln (Pi)
Chitonosperma coronatum 5 2.5 0.916290732 2.29072683
Spirodinium fusus 2 2 0.693147181 1.386294361
Rhizosdenia delicatula 1 1 0 0
Coscinodiscus nobilis 1 0.111111111 -2.19722458 -0.24413606
9 3.432885127 H' = -3.4
Plot 2
Nama spesies ni Pi (ni/N) ln (Pi) Pi. Ln(Pi)
Chitonosperma coronatum 2 0.2 -1.60943791 -0.32188758
Spirodinium fusus 3 0.3 -1.2039728 -0.36119184
Rhizosdenia delicatula 4 0.4 -0.91629073 -0.36651629
Sopepod catanoida 1 0.1 -2.30258509 -0.23025851
10 -1.27985423 H' = 1.3

Anda mungkin juga menyukai