LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ULKUS
DIABETIKUM
1. DEFINISI
Kaki diabetes adalah kelainan pada ekstremitas bawah yang merupakan
komplikasi kronik DM. Manifestasi keainan akki diabetes dapat berupa
dermopati, selulitiis, ulkus dan gangrene.
Ulkus diabetik merupakan komplikasi kronik dari diabetes mellitus sebagai sebab
utama morbiditas, mortalitas serta kecacatan penderita diabetes (Huang, dkk,
2009)
2. ETIOLOGI
1) Faktor kausatif
a. Neurooati perifer
b. Tekanan plantar kaki yang tinggi
c. trauma
2) Faktor kontributif
a. Aterosklerosis
b. Diabetes
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Lewis et al (2011), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yakni:
5. PENATALAKSANAAN
1) Obat hiperglikemik oral
2) Insulin
3) Antibiotik
4) Analgesik
5) Debridement
6) Nekrotomi
7) Amputasi
6. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada
ekstremitas
2) Nyeri kronis berhubungan dengan iskemik jaringan
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangren
7. INTERVENSI KEPERWATAN
Diagnosa NOC NIC
1) Gangguan tercapainya proses NIC: perawatan luka
integritas jaringan penyembuhan luka 1. Observasi luas dan
berhubungan Kriteria hasil: keadaan luka serta proses
dengan adanya 1. Berkurangnya penyembuhan
gangren pada oedema sekitar luka 2. Rawat luka dengan baik
ekstremitas 2. Pus dan jaringan dan benar
berkurang 3. Kolaborasi dengan
LAPORAN PENDAHULUAN
2. ETIOLOGI
1) Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor
genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES.
Kecenderungan terjadinya LES dapat berhubungan dengan perubahan gen
MHC spesifik dan bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali.
Wanita lebih cenderung mengalami LES dibandigkan pria, karena peran
hormon seks. LES dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan
kehamilan atau menyusuI. Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet
yang berlebihan dapat mencetuskan penyakit. Penyakit ini biasanya
mengenai wanita muda selama masa subur. Penyakit ini dapat bersifat
ringan selama bertahn-tahun, atau dapat berkembang dan menyebabkan
kematian (Elizabeth, 2009).
2) Faktor Risiko
a. Faktor risiko genetik
Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering
daripada pria dewasa), umur (lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik,
dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga di
mana terdapat anggota dengan penyakit tersebut).
b. Faktor risiko hormon
Estrogen menambah risiko LES, sedang androgen mengurangi risiko ini.
c. Sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang
efektif, sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel
kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di
tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran di pemuluh
darah.
d. Imunitas
Pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel
T.
e. Obat
Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada pasien tertentu dan
diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat
(Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah:
a) Obat yang pasti menyebabkan lupus obat: klorpromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
b) Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat: dilantin,
peninsilamin, dan kuinidin.
c) Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotik,
dan griseofulvin.
f. Infeksi
Pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi.
g. Stres
Stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini (Arif Mansjoer, 2000).
1) Lupus sistemik
Merupakan penyakit yang biasanya berbahaya, bahkan dapat fatal.
Penyakit bersifat multisistemik dan menyerang jaringan konektif dan
vaskular.
2) Lupus diskoid
Bersifat tidak berbahaya, menyebabkan bercak di kulit. (Suria
Djuanda, 2005)
3. MANIFESTASI KLINIS
2) Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES,
biasanya titernya akan meningkat sebelum LES kambuh.
3) Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30%
pasien.
4) Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A, antikoagulan
lupus)/anti-SSB, dan antibodi antikardiolipin. Titernya tidak terkait
dengan kambuhnya LES.
5) Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
6) Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis
reumatoid, sindrom sjogren, skleroderna, obat, dan bahan-bahan kimia
lain.
7) Anti ssDNA (single stranded)
8) Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis
(Arif Mansjoer, 2000).
5. PENATALAKSANAAN MEDIS
1) Penatalaksanaan medis
Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-
obat:
a. Antiradang nonstreroid (AINS)
AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini
lebih jarang dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi,
dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati.
Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping
obat-obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian
harus dipantau secara seksama.
b. Kortikosteroid
c. Antimalaria
Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS
tidak dapat mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria
mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan
remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau
pemakaian dosis.
d. Imunosupresif
Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat
dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini
biasanya dipakai ketika:
a) Diagnosis pasti sudah ditegakkan
b) Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa
c) Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya
bila pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis
steroid harus diturunkan karena adanya efek samping
d) Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia
dan Lorraine, 1995).
2) Penatalaksanaan keperawatan
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat
penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan
reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan
neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen
asuhan keperawatan yang utama.
a. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan
menggunakan instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan
bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner
pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi
yang berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.
b. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka
panjang. Pasien yang menyadari hubungan antara stres dan
serangan aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek
kesehatan mereka. Advice tentang keseimbangan antara aktivitas
dan periode istirahat, pentingnya latihan, dan mengetahui tanda
peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan, nyeri, ruam,
demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien
mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah
diperhatikan dengan baik.
6. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita adalah sebagai berikut:
1) Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita
LES. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodi-
antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang
menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III
2) Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang
mengelilingi jantung)
3) Peradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat
membatasi perapasan. Sering terjadi bronkhitis.
7. PROGNOSA
Hingga saat ini penyakit lupus tak dapat disembuhkan namun dapat
dikendalikan. Tujuan pengobatan ialah untuk mencegah
timbul/kambuhnya gejala dan mencegah timbulnya komplikasi, berupa :
1) Perubahan pola hidup, yaitu hindari terkena sinar matahari kalau
perlu pakai sunscreen.
2) Hindari kontak dengan zat kimia pemicu seperti silikon, air raksa
dan pestisida
3) Hindari pemakaian suplemen golongan “immune booster” seperti
Echinacea
4) Hindari pemakaian obat pemicu seperti procainamid, isoniazid,
fenitoin, kinin dan hidralazin.
5) Pemberian obat-obatan antara lain: golongan non-steroid anti-
inflamasi (NSAID), kortikosteroid, imunosupresan, dan obat anti-
malaria
Walaupun tidak dapat disembuhkan, prognosis penderta penyakit lupus
saat ini sudah semakin baik sebagai dampak dari :
1) Adanya perhatian masyarakat akan penyakit lupus.
2) Keakuratan tes laboratorium yang mendukung diagnosis dini dan
pemantauan berkala.
3) Kemajuan penelitian yang menghasilkan obat yang lebih efektif
dan aman juga sangat berperan menaikkan harapan dan kualitas
hidup penderita
8. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan integritas kulit b.d proses penyakit
2. Nyeri b.d inflamasi/ kerusakan jaringan
Respirasi kemerahan
Monitor kulit dan
Warna
membran mukosa
Tekstur
terhadap perubahan
Ketebalan
warna dan memar
Jaringan yang tak
Monitor suhu
luka
kulit
Jaringan Perfusi
Monitor warna
Pertumbuhan rambut
kulit
di kulit
PERAWATAN LUKA
Kelengkapan kulit
PENYEMBUHAN LUKA :
Bersihkan balutan
PENYEMBUHAN
yang melekat dan
PRIMER
debris
Cukur rambut
Skin approximation
sekitar area yang
Pengeringan Purulensi
rusak
Pengeringan serosa
Catat karakteristik
Seroanginosa Berikan
kemerahan kulit
pernapasan mengkomunikasikann
pupil Gunakan
kemungkinan alergi
obat
Tinjau apakah
pasien telah mentaati
pembatasan
berkenaan dg aturan
makan, seperti yang
ditentukan
Tinjau ulang
tentang contraindikasi
pemberian obat
penenang
Beritahu keluarga
dan/atau pasien
tentang efek
pemberian obat
penenang
Evaluasi tingkatan
kesadaran pasien dan
refleks normal
sebelum pemberian
obat penenang
Peroleh TTV
dalam batas normal
Peroleh kadar
oksigen dan irama
EKG dalam batas
normal
Ketahui
perjalanan obat
melalui IV
Berikan
pengobatan sesuai
order dokter,
sesuaikan dengan
respon pasien
Monitor tingkatan
kesadaran pasien
Monitor kadar
oxigen darah
Monitor EKG
pasien
PEMBERIAN
ANALGESIK
Tentukan lokasi ,
karakteristik, mutu,
dan intensitas nyeri
sebelum mengobati
pasien
Periksa
order/pesanan medis
untuk obat, dosis, dan
frekuensi yang
ditentukan analgesik
Cek riwayat alergi
obat
Tentukan jenis
analgesik yang
digunakan (narkotik,
non narkotik atau
NSAID) berdasarkan
Tentukan batasan
dari perpindahan
sendi dan dampak
dari fungsinya
Kolaborasi
dengan dokter terapi
dalam perkembangan
dan memutuskan
sebuah program
latihan
Tetukan tingkat
(PROM) atau
membantu latihan
(AROM), sebagai
indikasi
TERAPI LATIHAN :
AMBULASI
Kenakan pakaian
pasien dengan
pakaian nonrestriktif
Bantu pasien
menggunakan
footwear sebagai
fasilitas berjalan dan
pencegahan
kecelakaan
Atur tinggi rendah
tempat tidur, jika
diperlukan
Ganti posisi tidur
dengan mudah
dilakukan
Tingkatkan
kemampuan untuk
bangun dari tidur atau
dari kursi roda
Bantu pasien
untuk duduk dan
menyamping dari
tempat tidur
Konsultasi dengan
Kaji sumber
stressor klien.
Monitor
pernyataan kegusaran
klien.
Tentukan
keyakinan klien
tentang pendapat
pribadinya.
Besarkan hati
klien dengan
mengidentifikasi
sumber kekuatannya.
Tingkatkan
kekuatan personal.
Berikan reward
atas keberhasilan
klien mencapai
tujuan.
PERBAIKAN CITRA
TUBUH
Monitor
gambaran diri secara
berkala
Bantu pasien
memelihara
perubahan tubuh
Bantu pasien
menilai perubahan
dengan perasaan diri
yang berharga
Monitoring
apakah pasien melihat
perubahan tubuhnya
Tentukan apakah
perubahan tubuh
berdampak pada
isolasi sosia
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HIPERTENSI
1. DEFINISI
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama
dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95
mmHg (Kodim Nasrin, 2003 ).
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer, 2001).
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik >140 mmHg dan tekanan darah
diastolik >90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi.
Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on
Detection(JIVC) sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi hipertensi menurut WHO
1) Tekanan darah normal yaitu bila sistolik kurang atau sama dengan 140
mmHg dan diastolik kurang atau sama dengan 90 mmHg
2) Tekanan darah perbatasan (broder line) yaitu bila sistolik 141-149 mmHg
dan diastolik 91-94 mmHg
3) Tekanan darah tinggi (hipertensi) yaitu bila sistolik lebih besar atau sama
dengan 160 mmHg dan diastolik lebih besar atau sama dengan 95mmHg.
Klasifikasi menurut The Joint National Committee on the Detection and
Treatment of Hipertension
1. Diastolik
a. < 85 mmHg : Tekanan darah normal
b. 85 – 99 : Tekanan darah normal tinggi
c. 90 -104 : Hipertensi ringan
d. 105 – 114 : Hipertensi sedang
e. >115 : Hipertensi berat
2. Sistolik (dengan tekanan diastolik 90 mmHg)
a. < 140 mmHg : Tekanan darah normal
b. 140 – 159 : Hipertensi sistolik perbatasan terisolasi
c. > 160 : Hipertensi sistolik teriisolasi
3. ETIOLOGI
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik
(idiopatik). Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output
atau peningkatan tekanan perifer. Namun ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya hipertensi
o Stroke
o Ensepalitis
o SGB
o Obat – obatan
o Kontrasepsi oral
o Kortikosteroid
4. FAKTOR RESIKO
1) Riwayat keluarga dengan penyakit jantung dan hipertensi
2) Pria usia 35 – 55 tahun dan wanita > 50 tahun atau sesudah menopause
3) Kebanyakan mengkonsumsi garam/natrium
4) Sumbatan pada pembuluh darah (aterosklerosis) disebabkan oleh beberapa
hal seperti merokok, kadar lipid dan kolesterol serum meningkat, caffeine,
DM, dsb.
5) Factor emosional dan tingkat stress
6) Gaya hidup yang monoton
7) Sensitive terhadap angiotensin
8) Kegemukan
9) Pemakaian kontrasepsi oral, seperti esterogen.
5. PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis
dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis.
Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana
dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi.
i) Azotemia
j) Sulit bernafas saat beraktivitas
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :
a. Pemeriksaan yang segera seperti :
a) Darah rutin (Hematokrit/Hemoglobin): untuk mengkaji hubungan
dari sel-sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat
mengindikasikan factor resiko seperti: hipokoagulabilitas, anemia.
b) Blood Unit Nitrogen/kreatinin: memberikan informasi tentang
perfusi / fungsi ginjal.
c) Glukosa: Hiperglikemi (Diabetes Melitus adalah pencetus
hipertensi) dapat diakibatkan oleh pengeluaran Kadar ketokolamin
(meningkatkan hipertensi).
d) Kalium serum: Hipokalemia dapat megindikasikan adanya
aldosteron utama (penyebab) atau menjadi efek samping terapi
diuretik.
e) Kalsium serum : Peningkatan kadar kalsium serum dapat
menyebabkan hipertensi
f) Kolesterol dan trigliserid serum : Peningkatan kadar dapat
mengindikasikan pencetus untuk/ adanya pembentukan plak
ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
g) Pemeriksaan tiroid : Hipertiroidisme dapat menimbulkan
vasokonstriksi dan hipertensi
h) Kadar aldosteron urin/serum : untuk mengkaji aldosteronisme
primer (penyebab)
i) Urinalisa: Darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal
dan ada DM.
j) Asam urat : Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko
hipertensi
k) Steroid urin : Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b/d peningkatan afterload,
vasokonstriksi, hipertrofi/rigiditas ventrikuler, iskemia miokard
2. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.
3. Nyeri akut : sakit kepala b/d peningkatan tekanan vaskuler serebral
akurat
3. Pasang urin kateter jika
diperlukan
4. Monitor status hidrasi
( kelembaban membran
mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah
ortostatik ), jika
diperlukan
5. Monitor hasil lAb yang
sesuai dengan retensi
cairan (BUN , Hmt ,
osmolalitas urin )
6. Monitor status
hemodinamik termasuk
CVP, MAP, PAP, dan
PCWP
7. Monitor vital sign
sesuai indikasi penyakit
8. Monitor indikasi
retensi / kelebihan
cairan (cracles, CVP ,
edema, distensi vena
leher, asites)
9. Monitor berat pasien
sebelum dan setelah
dialisis
10. Kaji lokasi dan luas
edema
11. Monitor masukan
makanan / cairan dan
hitung intake kalori
harian
12. Kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian
terapi cairan
sesuai program
13. Monitor status nutrisi
14. Berikan cairan
15. Kolaborasi pemberian
diuretik sesuai program
16. Dorong masukan oral
17. Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul meburuk
Fluid Monitoring
1. Tentukan riwayat jumlah
dan tipe intake cairan
dan eliminaSi
2. Tentukan kemungkinan
faktor resiko dari ketidak
seimbangan cairan
(Hipertermia, terapi
diuretik, kelainan renal,
gagal jantung, diaporesis,
disfungsi hati, dll )
3. Monitor berat badan
4. Monitor serum dan
elektrolit urine
5. Monitor serum dan
osmilalitas urine
6. Monitor BP
7. Monitor membran
mukosa dan turgor kulit,
serta rasa haus
8. Catat monitor warna,
jumlah dan
9. Monitor adanya distensi
leher, rinchi, eodem
perifer dan penambahan
BB
10. Monitor tanda dan gejala
dari odema
11. Beri cairan sesuai
keperluan
12. Kolaborasi pemberian
obat yang dapat
meningkatkan output urin
Vital Sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
4. Monitor kualitas dari nadi
5. Monitor bunyi jantung
6. Monitor frekuensi dan
irama pernapasan
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
1. DEFINISI
Berdasar American Cancer Society (2013) NHL merupakan kanker yang
prosesnya dimulai pada sel yang disebut limfosit, yang merupakan bagian
dari imun sistem. Limfosit terletak di limfa nodul dan limfoid tissue
lainnya seperti limfa ataupun sumsum tulang. Tetapi beberapa tipe kanker
seperti kanker paru ataupun kanker kolon yang dapat menyebar ke
jaringan limfa nodul, bukanlah merupakan Non Hodgkin limfoma tetapi
hanya merupakan metastase.
Non hodgkin limfoma merupakan suatu keganasan yang dimulai ketika
limfosit berdiferensiasi menjadi sel yang abnormal. Sel yang abnormal
akan terus bereplikasi menggandakan dirinya terus menerus dan
bertambah banyak. Abnormal sel tidak dapat melakukan apoptosis.
Mereka juga tidak bisa memproteksi tubuh dari infeksi dan penyakit imun
lainnya. Sel yang abnormal akan membentuk ekstra sel yang akan menjadi
suatu massa di jaringan yang disebut tumor (U.S. Department of Health
and Human Service, 2007).
Menurut Reksodiputro (2008) NHL adalah kelompok keganasan primer
limfosit yang dapat bersal dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amat
jarang) berasal dari sel NK (natural killer) yang berada dalam sistem
limfe. Keganasan ini bersifat sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala,
3. KLASIFIKASI
Klasifikasi histopatologik merupakan topik yang paling membingungkan
dalam studi limfoma maligna karena perkembangan klasifikasi ini
demikian cepat dan dijumpai berbagai jenis klasifikasi dan antara
klasifikasi satu sama lain tidak kompatibel. Klasifikasi histopatologik
harus disesuaikan dengan kemampuan patologis serta fasilitas yang
tersedia. (Bakta,2012).
4. STADIUM LNH
Klasifikasi WHO
lymphoma:
Subtipe : Mediastinal
(thymic) large B cell
lymphoma, Intravascular
large B cell lymphoma,
Primary effusion lymphoma
Burkitt lymphoma:
Plasmacytoma
Angioimunoblastic T cell
lymphoma
Peripheral T cell
lymphoma
5. PATOGENESIS
Sel limfosit dari kelenjar limfe berasal dari sel sel induk multipotensial di
dalam sumsum tulang. Sel induk akan bertransformasi menjadi sel
progenitor limfosit yang kemuadian akan berdiferensiasi melalui dua jalur.
Sebagian akan mengalami pematangan di dalam kelenjar timus menjadi
limfosit T. Sebagian lagi akan menuju kelenjar limfe ataupun tetap berada
di sumsum tulang dan berdiferensiasi menjadi limfosit B.
Apabila ada rangsangan antigen yang sesuai maka limfosit T akan aktif
berpoliferasi sebagai respon sistem imun seluler. Sedangkan limfosit B
akan aktif menjadi imunoblas yang kemuadian menjadi sel plasma dan
akan membentuk imunoglobulin. Terjadi perubahan pada sitoplasma sel
plasma menjadi lebih banyak dari pada sitoplasma sel B. Sedangkan
limfosit T yang aktif akan berukuran lebih besar dari pada sel T yang
belum aktif.
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma (abnormal) merupakan
akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari kelompok sel limfosit
yang belum aktif yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi
imunoblas akibat respon dari adanya antigen. Beberapa perubahan pada sel
limfosit inaktif ialah ukurannya semakin lebih besar, kromatin inti menjadi
lebih halus, nukleolinya terlihat dan protein permukaan sel mengalami
perubahan. (Reksodiputro,2009)
7.
7. STADIUM LNH
Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan sebelum pengobatan
dan setiap lokasi jangkitan harus di data dengan cermat. Strategi Terapi
non hodgkin limfoma akan berbeda pada setiap stadium penyakit
tergantung penyebaran dari tumor. Stadium yang sering di aplikasikan
ialah kesepakatan Ann Arbor.
Stadium Keterangan
9. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pendekatan diagnostik untuk menegakkan NHL ialah dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis dapat diketahui gejala sistemik umum berupa berat badan
menurun 10 % dalam waktu 6 bulan, demam tinggi 38o C 1 minggu tanpa
sebab , keringat malam, keluhan anemia, kelainan darah, malaise, dan
keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring). Pada pemeriksaan fisik
akan didapati pembesaran kelenjar getah bening dan kelainan atau
pembesaran organ.
10. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada non hodgkin dilakukan sesuai dengan klasifikasi
dan stadiumnya. Untuk NHL indolen stadium I dan stadium II standar
pilihan terapinya ialah iradiasi, kemoterapi dengan terapi radiasi,
kemoterapi saja, dan sub total atau total iridasi limfoid (jarang).
Radioterapi luas tidak meningkatkan angka kesembuhan dan dapat
menurunkan toleransi terhadap kemoterapi lanjutan nantinya.
(Bakta,2012).
Untuk Indolen stadium II/III/IV standar pilihan terapinya ialah: tanpa
terapi, pasien pada stadim lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak
mempengaruhi harapan hidup dan remisi sontan tidak terjadi. Terapi hanya
diberikan bila ada gejala sistemik. Dapat juga diberikan rituximab (anti
CD 20 monoclonal antibodi. Obat ini bekerja dengan cara aktivasi
komplemendan memperantarai sinyal intraseluler. Pilihan terapi
berikutnya ialah pemberian analog purin nukleosida ( fludarabin atau 2
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DMND
(DIABETES MELITUS NEFROLITIASIS DIABETIKUM )
1. DEFINISI
2. ETIOLOGI
3. KLASIFIKASI
a. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)
Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai:
1) Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerulus mencapai 20-50%
di atas nilai normal menurut usia
2) Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melalui foto sinar X
3) Glukosuria disertai poliuria
4) Mikroalbuminuria > 20 dan < 200 ug/min
b. Stadium II (Silent Stage)
Ditandai dengan:
1) Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20 ug/min)
2) Sebagian penderita menunjukkan penurunan laju filtrasi glomerulus ke
normla. Awal kerusakan struktur ginjal
c. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
a) Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai
menurun
b) Mikroalbuminuria 20 sampai 200 ug/min yang sesuai dengan eksresi
protein 30-300 mg/24 jam
c) Awal hipertensi
d. Stadium IV (Overt Nephropathy Stage)
Stadium ini ditandai dengan:
a) Proteinuria menetap (>0,5 gr/24 jam)
b) Hipertensi
4. MANIFESTASI KLINIS
5. PATOFISIOLOGI
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Pengendalian hipertensi
1) Penghambat EAC
Banyak laporan uji klinis memperlihatkan penghambat EAC paling
efektif untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat
antihipertensi lainnya.
2) Antagonis kalsium
Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium
golongan nifedipine kurang efektif sebagai antiproteinuric agent pada
nefropati diabetikum dan nefropati non-diabetikum.
3) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium non
dyhidropyridine.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Kadar glukosa darah
Sebagaimana penyakit diabetes mellitus, kadar glukosa darah akan
meningkat. Tetapi perlu diperhatikan bahwa pada tahap lanjut yaitu bila
terjadi gagal ginjal, kadar gula darah bisa normal atau bahkan rendah. Hal
ini disebabkan menurunnya bersihan ginjal terhadap insulin endogen
maupun eksogen.
1) HbA1c
2) Ureum
3) Creatinin
4) BUN
5) Urine
6) Urine rutin: tampak gambaran proteinuria
7) Aseton
8) Dipstik untuk albumin/mikroalbumin
9) Penentuan protein dalam urine secara kuantitatif
b. USG Ginjal
Untuk mengamati ukuran ginal, biasanya ukuran meningkat pada tahap
awal kemudian menurun atau menyusut pada gagal ginjal kronik. Dapat
juga untuk menggambarkan adanya obstruksi, sebagai study Echogenisitas
pada gagal ginjal kronik. Serum dan electrophoresis urine ditujukan untuk
menyingkirkan multiple myeloma dan untuk mengklarifikasikan
proteinuria (dimana predominan pada glomerulus pada nefropati diabetik)
8. KOMPLIKASI
a. Hypoglikemia (penurunan sekresi insulin)
b. Stadium akhir penyakit ginjal
c. hyperkalemia
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema sekunder
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka ganggren
4. Resiko cidera
edema
konjungtiva
l. Monitor intake nutrisi
m. Informasikan pada pasien
dan keluarga tentang
manfaat nutrisi
n. Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan
suplemen makanan
seperti NGT/TPN
sehingga intake cairan
yang adekuat dapat
dipertahankan
o. Atur posisi semi fowler
atau fowler tinggi selama
makan
p. Kelola pemberian anti
emetik
q. Pertahankan terapi IV line
r. Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas
oral
LAPORAN PENDAHULUAN
1. DEFINISI
Sirosis hati adalah penyakit hati kronik yang dicirikan oleh distorsi arsitektur
hati yang normal oleh lembar – lembar jaringan ikat dan nodula – nodula
regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal. Nodula –
nodula regenerasi ini dapat kecil (mikronodular) atau besar (makronodular).
Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatic, dan pada kasus yang
sangat lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertingkat.
2. ETIOLOGI
1. Hepatitis virus tipe B dan C
2. Alkohol
3. Metabolik ( hemokromatosis idiopatik, penyakit Wilson, defisiensi alpha
1 anti tripsin, galaktosemia, tirosinemia congenital, DM, penyakit
penimbunan kolagen)
4. Kolestasisi kronik/sirosis bilier sekunder intra dan ekstra hepatic
5. Obstruksi aliran vena hepatic (Peny.vena oklusif, Sindrom Budd Chiari,
Perikarditis konstriktiva, Payah jantung kanan)
6. Gangguan imunologis
7. Toksik dan obat ( MTX, INH, Metildopa)
8. Operasi pintasusus halus pada obesitas
9. Malnutrisi
10. Idiopatik
4. PATOFISIOLOGI
1. Sirosis Laennec
Perubahan pertama yang ditimbulkan alcohol adalah akumulasi lemak
secara gradual di dalam sel – sel hati (infiltrasi lemak). Akumulasi lemak
mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolic, termasuk
pembentukan trigliserida secara berlebihan, pemakaiannya yang berkurang
dalam pembentukan lipoprotein dan penurunan oksidasi asam lemak.
Mungkin pula individu yang mengkonsumsialkohol dalam jumlah
berlebihan . tidak makan secara layak dan gagal mengkonsumsi protein
dalam jumlah yang cukup (kolin dan metionin), diketahui diet rendah
protein akan menekan aktivitas dari dehidrogenase alcohol, yaitu enzim
utama dalam metabolisme alcohol. Namun demikian , sebab utama
kerusakan pada hati diduga merupakan efek langsung alcohol terhadap sel
– sel hati, yang akan diperberat oleh keadaan malnutrisi. Pada kasus sirosis
Laennec yang lanjut , lembaran – lembaran jaringan ikat yang tebal
terbentuk pada pinggir – pinggir lobulus, membagi parenkim menjadi
nodula – nodula halus. Nodula – nodula inidapat membesar akibat aktifitas
regenerasi sebagai usaha hati untuk mengganti sel – sel hati yang rusak.
Hati tampak terdiri dari sarang – sarang sel – sel degenerasi dan
regenerasi yang dikemas padat dalam kapsula fibrosayang tebal. Pada
keadaan ini, sirosis sering disebut sebagai sirosis nodular halus,. Hati akan
menciut, keras dan hampir tidak memeiliki parenkim normal pada akhir
stadium sirosis , dengan akibat hipertensi portal dan gagal hati.
2. Sirosis postnekrotik
Sirosis postnekrotik terjadi menyusul nekrosis berbercak pada jaringan
hati, menimbulkan nodula – nodula degeneratif besar dan kecil yang
3. Sirosis biliaris
Penyebab sirosis biliaris yang paling umum adalah obstruksi biliaris
posthepatik. Stasis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam
massa hati dengan akibat kerusakan sel – sel hati. Terbentuk lembar –
lembar fibrosa di tepi lobulus, namun jarang memotong lobulus seperti
pada sirosis Laennec. Hati membesar, keras, bergranula halus dan
berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal dan primer dari
sindrom, demkian pula pruritus, malabsorbsi dan steatorea.
5. KOMPLIKASI
1. Perdarahan pada saluran cerna
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya pada
sirosis adalah perdarahan perdarahan pada varises esofagus. Penyebab lain
dari perdarahan adalah tukak lambung dan duodenum, erosi lambung akut
dan kecenderungan untuk berdarah (sebagai akibat masa protrombin yang
memanjang dan trombositopenia). Penderita dating dengan melena atau
hematemesis. Kadang – kadang tanda pertama perdarahan adalah ensefalopati
hepatic. Tergantung dari jumlah dan kecepatan kehilangan darah, dapat
terjadi hipovolemia dan hipotensi.
2. Asites
Faktor utama patognesis asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada
kapiler usus (hipertensi porta) dan penurunan tekanan osmotic koloid akibat
hipoalbuminemia. Faktor lain yang berperanan adalah retensi natrium dan air
dan peningkatan sintesis san aliran limfe hati.
3. Ensefalopati hepatic
Ensefalopati terjadi jika amonia dan zat – zat toksik lainmasuk dalam
sirkulasi sistemik. Sumber amonia adalah pemecahan protein oleh bakteri
saluran cerna. Ensefalopati hepatic akan terjadi jika darah tidak dikeluarkan
melalui aspirasi lambung, pemberian pencahar dan enma, dan bila pemecahan
protein darah oleh bakteri tidak dicegahdengan pemberian neomisin atau
antibiotik sejenis.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila
penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na
dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan
kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
b. Tinja/feses
7. PENATALAKSANAAN
1. Berdasarkan gejala yang ada.
a. Kompensata baik : kontrol, istirahat, diet rendah protein (diet hati III
protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000 kalori). Bila ada asites diberikan
diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2000 mg). Bila proses
tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3000 kalori) dan tinggi
protein (80-125 gr/hari). Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma
hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati II) untuk
kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan
kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan pasien
atau meningginya hasil metabolisme protein, dalam darah viseral dapat
mengakibatkan timbulnya koma hepatikum. Diet yang baik dengan
protein yang cukup perlu diperhatikan.
b. Penyebab diketahui : atasi atau hentikan penyebab
c. Atasi komplikasi ; ascites diberikan diet rendah garam 0,5 g/hari, total
cairan 1,5 l/hr, diuretic
d. Dengan perdarahan : resusitasi, lavase air es, hemostatik,
antasid/antagonisB2, sterilisasai usus, klisma tinggi, skleroterapi, ligasi
endokospik varises
e. Pencegahan pecahnya varises esofagus : farmakoterapi, ligasi varises.
8. DIAGNOSA KEPERAWATAN
- Memperlihatkan
pengembangan
toraks yang
penuh tanpa
gejala pernapasan
dangkal.
- Memperlihatkan
gas darah yang
normal.
- Tidak mengalami
gejala konfusi
atau sianosis.
gastrointestinal
yang normal
dengan defekasi
yang teratur.
- Mengenali gejala
yang dapat
dilaporkan:
melena,
pendarahan yang
nyata.
Kelebihan Tujuan: Pemulihan 1. Batasi asupan natrium dan
volume cairan kepada volume cairan cairan jika diinstruksikan.
berhubungan yang normal 2. Berikan diuretik, suplemen
kalium dan protein seperti yang
dengan asites
Kriteria Hasil: dipreskripsikan.
dan 3. Catat asupan dan haluaran
pembentukan - Mengikuti diet cairan.
edema. rendah natrium 4. Ukur dan catat lingkar perut
dan pembatasan setiap hari.
cairan seperti 5. Jelaskan rasional pembatasan
yang natrium dan cairan.
diinstruksikan.
- Menggunakan
diuretik,
suplemen kalium
dan protein sesuai
indikasi tanpa
mengalami efek
samping.
- Memperlihatkan
peningkatan
haluaran urine.
- Memperlihatkan
pengecilan
lingkar perut.
- Mengidentifikasi
rasional
pembatasan
natrium dan
cairan.
Perubahan Tujuan: Pemeliharaan 1. Catat suhu tubuh secara teratur.
suhu tubuh: suhu tubuh yang 2. Motivasi asupan cairan
hipertermia normal 3. Lakukan kompres dingin atau
kantong es untuk menurunkan
berhubungan
kenaikan suhu tubuh.
dengan proses Kriteria Hasil: 4. Berikan antibiotik seperti yang
inflamasi pada - Melaporkan suhu diresepkan.
sirosis
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN LEUKIMIA
5. DEFINISI
Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di sumsum
tulang belakang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis darah putih
dengan menyingkirkan jenis sel lain (Corwin, 2008)
Leukemia tampak merupakan penyakit klonal, yang berarti satu sel kanker
abnormal berproliferasi tanpa terkendali, mwngghasilkan sekelompok sel
anak yang abnormal. Sel-sel ini menghambat sel darah lain di sumsum tulang
utnuk berkembang secara normal, sehingga mereka tertimbun di sumsum
tulang. Karena faktor-faktor ini, leukemia disebut gangguan akumulasi
sekaligus gangguan klonal. Pada akhirnya, sel-sel leukemia mengambil alih
sumsum tualng, sehingga menurunkan kadar sel-sel nonleukemik di dalam
darah yang merupakan penyebab berbagai gejala umum leukemia (Corwin,
2008)
6. KLASIFIKASI LEUKEMIA
Menurut Perpustakaan Nasional (2008), Tambayong (2000), dan Handayani
(2008), klasifikasi leukemia dapat berdasarkan jenis sel (limfositik atau
mielositik) dan perjalan penyakit (akut atau kronik).
1. Leukemia Akut
Leukemia Akut dapat dibagi menjadi dua kategori umum, leukemia
mieloid akut (AML) dan leukemia limfoblastik akut (AAL). Pasien
biasanya mengalami riwayat penurunan berat badan yang cepat, memar,
perdarahan, pucat, lelah, dan infeksi berulang di mulut dan tenggorokan.
Hitung darah lengkap sering kali menunjukkan anemia dan
trombositopenia. Hitung sel darah putih dapat meningkat atau sangat
rendah. Perdarahan di area vital, akumulasi leukosit dalam organ vital.
2. Leukemia Mieloid Akut
AML jarang terjadi pada anak dan insidennya meningkat seiring
pertambahan usia. AML sekunder kadang terlihat pada orang yang
diobati dengan kemoterapi sitotoksik atau radioterapi.
9. MANIFESTASI KLINIS
Leukemia akut memperlihatkan gejala klinis yang mencolok. Leukemia
kronis berkembang secara lambat dan mungkin hanya memperlihatkan
sedikit gejala sampai stadium lanjut.
1. Kepucatan dan rasa lelah akibat anemia
2. Infeksi berulang akibat penurunan sel darah putih
3. Perdarahan dan memar akibat trombositopenia dan gangguan koagulasi
4. Nyeri tulang akibat penumpukan sel di sumsum tulang, yang
menyebabkan peningkatan tekanan dan kematian sel. Tidak seperti nyeri
Gejala leukemia akut biasanya terjadi setelah beberapa minggu dan dapat
dibedakan menjadi tiga tipe:
1. Gejala kegagalan sumsum tulang merupakan manifestasi keluhan yang
paling umum. Leukemia menekan fungsi sumsum tulang, menyebabkan
kombinasi dari anemia, leucopenia (jumlah sel darah putih rendah), dan
trombositopenia (jumlah trombosit rendah). Gejala yang tipikal adalah
lelah dan sesak napas (akibat anemia), infeksi bakteri (akibat leucopenia),
dan perdarahan (akibat trombositopenia dan terkadang akibat koagulasi
intravascular diseminata (DIC). Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit
yang pucat, beberapa memar, dan perdarahan. Demam menunjukkan
adanya infeksi, walaupun pada beberapa kasus, demam dapat disebabkan
oleh leukemia itu sendiri. Namun, cukup berbahaya apabila kita
menganggap bahwa demam yang terjadi merupakan akibat leukemia itu
sendiri.
2. Gejala sistemik berupa malaise, penurunan berat badan, berkeringat, dan
anoreksia cukup sering terjadi.
3. Gejala local, terkadang pasien datang dengan gejala atau tanda infiltrasi
leukemia di kulit, gusi, atau system saraf pusat. (Corwin, 2009)
Tetapi dengan metode ini beberapa sel normal juga ikut rusak dan ini
menyebabkan efek samping seperti kerontokan rambut, mual, muntah,
nyeri pada mulut (akibat kerusakan pada mukosa mulut), dan kegagalan
sumsum tulang akibat matinya sel sumsum tulan. Salah satu konsekuensi
mayor dari neutropenia akibat kemoterapi adalah infeksi berat. Pasien
harus diterapi selama berbulan-bulan (AML) atau selama 2-3 tahun (ALL).
Menurut Suriadi (2006) dan Yuliani (2006), fase penatalakasanaan
kemoterapi meliputi tiga fase yaitu fase induksi, fase proflaksis, fase
konsolidasi.
a. Fase Induksi
Dimulai 4-6 minggu setelah diagnose ditegakkan. Pada fase ini
diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vincristin, dan L
asparaginase. Fase induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda
penyakit berkurang atau tidak ada dan dalam sumsum tulang
ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.
b. Fase Profilaksis
Sistem saraf pusat, pada terapi ini diberikan metotreksat, cytarabine
dan hydrocortisone melalui intrathecal untuk mencegah invasi sel
leukemia ke otak. Terapi irradiasi cranial dilakukan hanya pada pasien
leukemia yang mengalami gangguan system saraf pusat.
c. Konsolidasi
Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan
remisi dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam
tubuh. Secara berkala, mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan
darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap
pengobatan. Jika terjadi surpresi sumsum tulang, maka pengobatan
dihentikan sementra atau dosis obat dikurangi.
Penatalaksanaan medis dalam pemberian kemoterapi dan radioterapi:
1. Prednison untuk efek antiinflamasi
2. Vinkristin (oncovin) untuk antineoplastik yang menghambat
pembelahan sel selama metaphase
penyakit.
Resiko infeksi NOC: NIC:
- Immune status Infection control (control
- Knowledge : infection infeksi)
control a. Bersihkan lingkungan
- Risk control setelah dipakai klien lain
pencahayaan dan
kebingungan
i. Kurangi factor presipitasi
nyeri
j. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan
interpersonal)
k. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan
intervensi
l. Ajarkan tentang teknik
non farmakologis
m. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
n. Evaluasi keefektifan
control nyeri
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MELENA
1. DEFINISI
Melena adalah tinjau hitam atau muntah hitam karena darah dalam saluran
cerna yang menjadi hitam dibawah pengaruh asam klorida lambung, lalu
dikeluarkan pada hajat besar atau dimuntahkan (Diktat Askep Pasien dengan
Masalah Pencernaan Makanan, 2000).
Melena adalah pengeluaran feses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter
yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran makan bagian atas. BAB
darah atau biasa disebut hematochezia ditandai dengan keluarnya darah
berwarna merah terang dari anus, dapat berbentuk gumpalan atau telah
bercampur dengan tinja. Sebagian besar BAB darah berasal dari luka di usus
besar, rektum, atau anus. Warna darah pada tinja tergantung dari lokasi
perdarahan. Umumnya, semakin dekat sumber perdarahan dengan anus,
semakin terang darah yang keluar. Oleh karena itu, perdarahan di anus, rektum
dan kolon sigmoid cenderung berwarna merah terang dibandingkan dengan
perdarahan di kolon transversa dan kolon kanan (lebih jauh dari anus) yang
berwarna merah gelap atau merah tua.
2. ETIOLOGI
Etiologi melena yaitu alkoholisme, malnutrisi (Nutrisie tidak adekuat, adanya
luka atau pendarahan di lambung atau usus, tukak lambung, wasir, disentri.
3. MANIFESTASI KLINIS
a. Syok (denyut Jantung, Suhu Tubuh),
b. Penyakit hati kronis (sirosis hepatis),
c. Demam ringan 38-39°C,
d. Nyeri di perut,
e. Hiperperistaltik,
f. Penurunan Hb dan Hmt yang terlihat setelah beberapa jam,
g. Peningkatan kadar urea darah setelah 24-48 jam karena pemecahan protein
darah oleh bakteri usus.
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Laboratorium
5. PENATALAKSANAAN
a. Istirahat cukup ditempat tidur
b. Diet rendah protein, rendah garam, diit tinggi kalori
c. Antibiotik
d. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino
esensial berantai cabang dan glukosa.
e. Robansia vitamin B kompleks
6. KOMPLIKASI
a. Encelofati
b. Asites
c. Sirosis Hepatis
7. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Defisit volume cairan
b. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c. Nyeri akut
d. Ansietas
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2001).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat
persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu
penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori
ringan, sedang dan berat (Mansjoer, 2007).CRF (Chronic Renal
Failure) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible,
yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempetahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul
gejala uremia yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah
(Smeltzer, 2001).
2. KLASIFIKASI
Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure
(CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk
membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi
5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih dalam stage – stage awal
yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage)
menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage
1 sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara
umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan
terminal stage bila menggunakan istilah CRF.
Asimptomatik
Tes beban kerja pada ginjal : pemekatan kemih, tes GFR
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan
bilateral.
1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus
sistemik (SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8. Nefropati obstruktif
a. Saluran Kemih bagian atas : Kalkuli neoplasma, fibrosis,
netroperitoneal.
b. Saluran Kemih bagian bawah : Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali
congenital pada leher kandung kemih dan uretra.
4. TANDA GEJALA
b. Stomatitis uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak
mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
c. Pankreatitis
3. Kelainan mata
4. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi
b. Pitting edema
c. Edema periorbital
5. Kelainan kulit
a. Gatal
b. Kering bersisik
6. Neuropsikiatri
8. Neurologi :
b. Konfusi
c. Disorientasi
d. Kejang
g. Perubahan Perilaku
9. Kardiomegali
Kardiovaskular 1. Hipertensi
2. Retinopati dan enselopati hipertensif
3. Beban sirkulasi berlebihan
4. Edema
5. Gagal jantung kongestif
6. Perikarditis (friction rub)
7. Disritmia
7. Letargi/gelisah, insomnia
8. Kekacauan mental
9. Koma
10. Otot berkedut, asteriksis, kejang
11. Neuropati perifer :
12. Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
13. Perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi
14. Perubahan motorik – foot drop yang berlanjut
menjadi paraplegi
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
Ureum kreatinin.
Asam urat serum.
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal
Analisis urin rutin
Mikrobiologi urin
Kimia darah
Elektrolit
Imunodiagnosis
c. Identifikasi perjalanan penyakit
Progresifitas penurunan fungsi ginjal
Ureum kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT)
2. Diagnostik
RetRogram
USG.
6. KOMPLIKASI
a. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme
dan masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin-angiotensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan
drah selama hemodialisa
7. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Konservatif
4) Kendalikan hiperfosfatemia.
6) Terapi hIperfosfatemia.
6) Terapi anemia.
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama
dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
b. Anemia
2) Anemia hemolisis
a) Hemosiderosis
c. Kelainan Kulit
Keluhan :
a) Bersifat subyektif
d) Pemberian obat
2) Easy Bruishing
d. Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya :
1) HD reguler.
e. Hipertensi
3) Obat-obat antihipertensi.
3. Terapi pengganti
1) Hemodialisa
8. DIAGNOSA KEPERAWATAN
DIAGNOSA
NO NOC NIC
KEPERAWATAN
bangun
AcidBase Managemen
a. Monitro IV line
b. Pertahankanjalan nafas
paten
c. Monitor AGD, tingkat
elektrolit
d. Monitor status
hemodinamik(CVP, MAP,
PAP)
e. Monitor adanya tanda
pasien
l. Monitor adanya dyspneu,
fatigue, tekipneu dan
ortopneu
m. Anjurkan untuk
menurunkan stress
abnormal
n. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
o. Monitor sianosis perifer
p. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
q. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign