Anda di halaman 1dari 5

ARHANZA ARYA ZUANTHAMA

2005106010031

MASALAH DAN PROSPEK PENGOLAHAN KOPI DI ACEH TENGAH

ABSTRAK
Budaya kopi tidak ditemukan di Aceh sampai dengan menjelang akhir Abad ke-19. Seorang orientalis
yang menjadi peneliti sosial budaya, Snouck Hurgronye menulis pada buku Aceh Di Mata Kolonialis
(Jilid I), pada masa ia meneliti orang-orang Aceh, “Bagi kebanyakan orang biasa di Aceh, air putih
adalah hampir satu-satunya minuman, dari waktu ke waktu (sesekali) ia akan minum air tebu, diperas
dari batangnya hanya dengan alat yang masih sangat primitif.
Industri pengolahan kopi dalam negeri semakin hari semakin terus bertumbuh seiring dengan
menjamurnya warung kopi dan restoran yang menyediakan menu kopi. Moelyono mengatakan bahwa
yang diperlukan oleh pemerintah adalah di sektor hulu, karena 5-6 tahun terakhir produksi kopi
stagnan. Dia menyebutkan banyak permasalahan yang dihadapi oleh sektor hulu, seperti usia tanaman
yang sudah tua, juga pengetahuan petani untuk budidaya dan penanganan pasca panen yang kurang.
“Saat ini upaya pemerintah sudah dimulai. Edukasi petani untuk memilih produk yang tepat,
perawatan tanaman dan pemotongan dahan yang baik perlu ditingkatkan.”

Kata kunci : kopi gayo, masalah cuaca

PENDAHULUAN
Indoensia adalah negara yang merupakan produsen kopi keempat terbesar di dunia setelah Brazil,
Vietnam, dan Columbia. Kopi merupakan salah satu hasil komoditi perkebunan yang memiliki
nilai ekonomis yang cukup tinggi diantara tanaman perkebunan lainnya dan berperan penting
sebagai sumber devisa negara. Keberhasilan agribisnis kopi membutuhkan dukungan semua pihak
yang terkait dalam proses produksi kopi pengolahan dan pemasaran komoditas kopi. Sebagian besar
petani kopi yang ada di Indonesia merupakan petani rakyat, sehingga area tanaman kopi dari tahun ke
tahun di Indonesia ini mengalami peningkatan yang signifikan sejalan dengan pertumbuhan penduduk
di Indonesia.

PEMBAHASAN
Indonesia memiliki peluang dalam pengembangan industri pengolahan kopi, karena selain punya
pasar yang besar, juga didukung dengan potensi bahan baku. Oleh karena itu, diperlukan upaya
strategis, seperti hilirisasi dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan peningkatan kapasitas
produksi. Produk olahan kopi yang paling banyak dikonsumsi berupa kopi bubuk, sebesar 70%--80%,
sisanya berupa produk lain, seperti ekstrak, esens, dan konsentrat kopi. Adapun, untuk pasar ekspor,
produk kopi dalam negeri banyak dikirim ke negara yang banyak mengonsumsi kopi seperti Amerika
Serikat, Jepang, Inggris, Italia, dan Malaysia.
Salah satu produk perkebunan yang menjadi andalan Indonesia adalah kopi. Menurut data Statistik
Perkebunan luas areal perkebunan kopi di Indonesia pada tahun 2010 adalah 1.210.365 ha dengan
produksi pada tahun yang sama mencapai 686.921 ton biji kering. Di dukung dengan iklim dan
ketinggian tempat yang sesuai dengan agriklimat tanaman kopi, industri kopi ini berkembang dan
tersebar di seluruh provinsi di Indonesia mulai dari Aceh hingga Papua dengan kualitas dan kuantitas
yang berbeda.
Pulau Sumatera merupakan penghasil kopi terbesar di Indonesia yaitu meliputi provinsi Lampung,
Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam. Provinsi NAD adalah penghasil kopi Arabika dan
Robusta. Kopi Arabika dihasilkan berasal dari dataran tinggi Gayo yakni Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah yang dikenal dengan nama kopi Arabika Gayo. Daya saing kopi Arabika Gayo masih
tidak maksimal disebabkan adanya image bahwa Indonesia belum mampu memproduksi olahan sesuai
permintaan pasar international, serta ketatnya persaingan pasar produk kopi olahan dengan sertifikasi
atas kemurnian dan standarisasi kualitas ekspor. Kopi Arabika dari Aceh telah dijual dengan nama
Gayo Mountain coffe yang memiliki perasa (flavor) kaya (rich), komplek, kemasannya bagus, lembut
dan bodinya tinggi. Beberapa kalangan bahkan menilai kopi Aceh memiliki bodi tertinggi didunia.

SEJARAH KOPI ARABICA GAYO


Setelah Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949), Belanda akhirnya mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia melalui Perjanjian Meja Bundar (KMB). Seperti yang terjadi di
pulau Jawa, segala aset mereka termasuk perkebunan kopi tinggal di Gayo. Tapi berbeda dengan di
Jawa yang operasional perkebunannya dilanjutkan oleh perusahaan pemerintah dan pekerjanya tetap
dipekerjakan di Jawa. Di Gayo, yang terjadi berbeda. Setelah Belanda hengkang, kebun-kebun kopi
yang tertinggal dibagi-bagikan kepada masyarakat setempat, terutama yang sebelumnya bekerja di
sana. Mendapati bahwa ternyata tanaman Kopi sangat menguntungkan. Para petani yang tidak
kebagian kebun kopi pun, mulai menanami lahan-lahan kosong di sekitarnya dengan tanaman kopi,
sehingga saat ini terdapat sedikitnya 90 ribu hektare perkebunan kopi di dataran tinggi Gayo yang
sekarang dipisahkan menjadi tiga kabupaten (Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Luwes). Ini
menjadikan dataran tinggi Gayo sebagai produsen kopi Arabica terbesar tidak hanya di Indonesia, tapi
juga Asia. Karena kebun kopi di Gayo dikelola oleh petani individual dengan rata-rata kepemilikan
lahan maksimum 2 hektare. Sayangnya saat ini merk Kopi Gayo terdaftar dalam undang-undang
Belanda atas nama Holland Coffee yang secara terang-terangan melarang orang lain menggunakan
kata Gayo pada merek kopinya. Padahal Gayo sendiri merupakan sebuah wilayah geografis yang
dimiliki oleh Indonesia bukan Belanda.

SEJARAH KOPI ROBUSTA ACEH


Biji kopi Robusta dihasilkan dari biji kopi pilihan berkualitas yang berasal dari Lamno, Kabupaten
Aceh Jaya. Biji-biji kopi tersebut diproduksi oleh usaha-usaha kecil menengah. Oleh penduduk
setempat, bubuk kopi yang berkualitas tinggi ini kemudian diproses secara unik, sejak dari
penggilingan hingga disaring menjadi secangkir minuman dengan cara yang tersendiri. Untuk
mendapatkan kualitas dan cita rasa dahsyat yang unik itu, biji kopi Aceh melalui proses yang panjang.
Pertama sekali, biasanya, biji kopi dioven selama 4 jam penuh. Setelah mencapai kematangan 80%,
biji kopi itu dicampur dengan gula dan mentega dengan takaran tertentu. Kemudian biji kopi yang
telah masak digiling sampai halus. Proses ini membangkitkan aroma kopi yang kuat, cita rasa bersih
serta tidak asam. Yang membuat kopi Aceh menjadi lebih menarik adalah cara penyajiannya yang
khas yang berbeda dengan cara penyajian kopi di manapun di seluruh dunia. Kopi diseduh dengan air
yang dijaga tetap dalam keadaan mendidih. Seduhan kopi disaring berulang kali dengan saringan
terbuat dari kain, lalu dituangkan dari satu ceret ke ceret yang lain. Hasilnya adalah kopi yang sangat
pekat, harum, dan bersih tanpa mengandung bubuk kopi.
Salah satu produksi kopi nasional yang cukup terkenal dengan kopi specialty-nya adalah Kabupaten
Aceh Tengah yang terletak di Provinsi Aceh. Kopi asal Kabupaten Aceh Tengah terkenal dengan
Kopi Gayo yang sudah mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis. Kabupaten Aceh Tengah berada
pada ketinggian antara 1.250 meter sampai dengan 2.600 meter Dpl. Topografi Kabupaten Aceh
Tengah yang bergunung dan berbukit memiliki iklim tropis, dimana musim kemarau biasanya jatuh
pada bulan Januari sampai dengan Juli, musim hujan berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan
Desember. Rata-rata curah hujan berkisar antara 1.082 sampai dengan 2.409 mm/tahun dengan jumlah
hari hujan antara 113 sampai dengan 160 hari per tahun (sumber data: BPS Kab.Aceh Tengah 2011).
Suhu udara 20,10°C, bulan terpanas adalah Bulan April dan Mei yaitu 20,6°C dan terdingin pada
Bulan September yaitu 19,70°C. Keadaan udara tidak terlalu lembab dengan rata-rata kelembaban
nisbi 80% dengan keadaan alam yang seperti ini sangat mendukung bagi tanaman kopi.
Jenis kopi yang banyak dibudidayakan di Kabupaten Aceh Tengah adalah jenis kopi Arabika dan kopi
Robusta. Kopi jenis Arabika ini hampir seluruhnya dikembangkan oleh petani dengan total
keterlibatan petani sebanyak 33.474 KK petani. Kopi jenis Arabika dianggap sangat istimewa dan
dikategorikan sebagai kopi spesial dimana menurut hasil uji citarasa (cupping test) yang dikenalkan
oleh Erna Knutsen sejak tahun 1974, kopi arabika gayo memperoleh nilai antara 86-90. Kopi Arabika
dari Kabupaten Aceh Tengah, telah dikenal dunia karena memiliki citarasa khas dengan ciri utama
antara lain aroma dan perisa yang kompleks dan kekentalan yang kuat.
Ada beberapa permasalahan produksi kopi yang timbul di Aceh Tengah beberapa tahun terakhir. Suhu
udara yang meningkat dan cepatnya perubahan cuaca, dikhawatirkan berdampak pada menurunnya
cita rasa kopi atau, malah gagal panen. Data tim Geographic Information System [GIS] Yayasan
Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, tiga tahun terakhir laju kerusakan hutan di
Aceh Tengah meningkat.
Ini terlihat dari berkurangnya tutupan hutan. Sisa tutupannya pada 2016 mencapai 264.281 hektar,
2017 [262.387 hektar], dan 2018 [260.464 hektar].
“Pada 2019, tutupan hutan hilang mencapai 2.416 hektar dari luasan terakhir di 2018,” sebut tim GIS
Yayasan HAKA, Lukman.
Gayo Lues mengalami hal serupa. Tahun 2017, kabupaten ini kehilangan tutupan hutan mencapai
[811 hektar], 2018 [1.494 hektar] dan 2019 [1.228 hektar]. Hingga 2019, luas tutupan hutan yang ada
sekitar 428.501 hektar.
“Kabupaten Bener Meriah juga sama. Hilangnya tutupan hutan terlihat dari 2017 [569 hektar], 2018
[hilang 765 hektar], dan 2019 [951 hektar]. Luas tutupan hutan 2019 sekitar 99,986 hektar,” ujar
Lukman, Selasa [11/2/2020].
Syukri, petani di Kabupaten Aceh Tengah mengatakan, dalam beberapa tahun ini produksi kopinya
menurun karena cuaca tidak menentu. Saat harusnya musim kemarau malah hujan dan sebaliknya.
Syukri menyebutkan, masalah baru yang muncul saat ini adalah kopi diserang hama: ulat pada buah
ataupun pohon kopi. Akibatnya, pohon mati.
Persoalan lain, ungkap Dedi, ancaman ekologi berupa punahnya musuh alami yang diakibatkan
penggunaan pestisida tidak beraturan. Fungsi ekosistem mikro perkebunan kopi tidak seimbang.
Sebelumnya, aktivis lingkungan dataran tinggi Gayo, Surya Apra, mengatakan bahwa alih fungsi
hutan lindung di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah telah terjadi. Tidak hanya pembalakan
liar, tetapi juga pembukaan lahan untuk perkebunan, selain kopi.
“Jika pembukaan lahan tidak segera dihentikan, suhu udara di wilayah tengah Aceh akan semakin
panas dan berpengaruh pada kopi,” ujar Surya yang juga aktivis di Aceh Green Comumnity
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Menurut Surya, hasil penelitian International Coffee Organization [ICO] di Kabupaten Aceh Tengah
dan Bener Meriah menunjukkan, suhu di dua kabupaten tersebut meningkat ke 22 derajat Celcius.
“Jika terus naik hingga 25 derajat, dapat dipastikan, cita rasa kopi akan turun,” tegasnya.

Dalam sebulan terakhir, harga kopi arabika Gayo terus mengalami penurunan yang sangat drastis.
Dibandingkan dengan awal tahun 2020 lalu, penurunan harga kopi Gayo ini sudah mencapai 50
persen. Dalam sebulan terakhir, harga kopi arabika Gayo terus mengalami penurunan yang sangat
drastis. Dibandingkan dengan awal tahun 2020 lalu, penurunan harga kopi Gayo ini sudah mencapai
50 persen.
Dalam kondisi harga kopi jatuh dan nyaris tidak ada pembeli, Pemkab Aceh Tengah membutuhkan
anggaran 1,8 T untuk menyerap semua hasil produksi kopi dari petani, tentu ini diluar kemampuan
pemerintah daerah yang APBKnya sangat terbatas. Bahkan untuk menalangi jual tuda dengan sistem
resi gudang dengan asumsi dana talangan 70 persen dari nilai jual atau sekitar 1,26 triliyun rupiah pun
masih belum memungkinkan. Semantara masyarakat, khususnya petani kopi saat ini sangat
membutuhkan dana untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka.
cara paling aman dalam mengatasi permasalaha ini adalah dengan mengoptimalkan dan meningkatkan
kapasitas sistem resi gudang. Bupati Aceh Tengah ini juga meminta kepada pengelola resi gudang
untuk mempermudah persyaratan bagi petani untuk bisa mengakses dan memanfaatkan resi gudang
ini. Sementara untuk pemberian stimulus menggunakan anggaran daerah, Shabela ( Bupati Aceh
Tengah ) menyatakan pihaknya akan segera melakukan kajian, terutama aspek legalitas hukumnya.
“Kita akan lakukan kajian hukum tentang pemberian stimulus untuk membantu menangani
permasalahan yang sedang dihadapi olegh petani kopi gayo ini, kalau memang ada payung hukumnya,
tentu kita akan upayakan dari anggaran daerah” pungkasnya.
Seluruh petani Gayo tentu sangat menunggu realisasi dari hasil pertemuan tersebut, karena kalau
sampai kopi mereka tidak laku, bagaiman mereka kan memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam
masa sulit seperti ini. Solusi yang sama juga diharapkan oleh para petani hortikultura yang juga
terdampak oleh pandemi covid ini.

KESIMPULAN
Kabupaten Aceh Tengah mengalami beberapa masalah dalam beberapa tahun terakhir terkait produksi
dan pengolahan kopi, diantaranya factor cuaca, hama, dan lainnya. Pemerintah daerah terus mencari
solusi agar permasalahan dapat segera terselesaikan. Adanya masalah ini sangat berdampak pada
rakyat setempat terutama petani, karena mata pencaharian mereka mengalami masalah dalam produksi
dan citarasa nya yang dapat berubah juga karena factor iklim. Kopi yang menjadi kebangaan Aceh
terus diusahakan hingga kini agar kualitas dan kuantitasnya dapat normal dan meningkat dalam waktu
dekat ini.
DAFTAR PUSTAKA

https://ekonomi.bisnis.com/read/20190128/257/883280/begini-prospek-bisnis-pengolahan-kopi-di-
tanah-air
https://journal.uii.ac.id/ajie/article/download/11617/8721
https://tengkuputeh.com/2017/08/01/asal-muasal-budaya-kopi-di-aceh/
https://www.mongabay.co.id/2020/02/12/rusaknya-hutan-berdampak-pada-kualitas-kopi-arabika-
gayo/
https://baranewsaceh.co/cari-solusi-permasalahan-kopi-gayo-bupati-shabela-rangkul-stake-holders-
terkait/

Anda mungkin juga menyukai