Anda di halaman 1dari 20

Tugas UAS

MANAJEMEN DAN SISTEM TRANSPORTASI


"Pendekatan Transportation Demand Management Sebagai Pengurai Kemacetan di Ruas
Jalan Universitas Bosowakantor Gubernur Urip Sumoharjo Kota Makassar”

Dosen Pengampu : Dr. Ir. Murshal Manaf, M. T

Disusun oleh:
Ari Arrahid M. Achmad - 4518042038

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN


KOTA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR
2020
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Peningkatan jumlah kendaraan di perkotaan yang menyebabkan sering terjadinya
kemacetan di ruas jalan pada jamjam sibuk tentunya membutuhkan penanganan yang
tepat. Berbagai upaya dalam menangani kemacetan telah dilakukan, namun hanya
lebih mengedepankan supply tanpa memperhatikan demand, misalnya menambah ruas
jalan, luas jalan, prasarana dan sebagainya. Hal ini yang menyebabkan adanya
ketidakseimbangan antara penyediaan jaringan jalan dan permintaan perjalanan bagi
mereka yang menggunakan kendaraan bermotor. Salah satu penanganan yang telah
sering diterapkan sebagian besar kota di dunia yaitu konsep Transport Demand
Management (TDM). Menurut Ferguson (2000) TDM adalah suatu konsep yang
berfungsi mengubah perilaku pelaku pergerakan, dengan tujuan untuk mengurangi
besarnya kebutuhan akan pergerakan atau menyebarkan kebutuhan tersebut dalam
ruang dan waktu. Dalam konsep ini, pembatasan kebutuhan akan transportasi bukan
berarti membatasi jumlah permintaan perjalanan, namun merupakan suatu pendekatan
untuk mengelola proses perjalanan tersebut agar menghindari terjadinya perjalanan
pada waktu yang bersamaan dan/atau terjadi pada lokasi atau tempat yang bersamaan
pula (Ferguson, 2000). Dalam menerapkan TDM, berbagai strategi yang bersifat
spesifik telah dikembangkan sesuai dengan keadaan transportasi di perkotaan melalui
empat buah strategi besar yakni pergeseran waktu (time shift), pergeseran rute (route
shift), pergeseran moda (mode shift), dan pergeseran lokasi (location shift) (Tamin,
2000).
Permasalahan kemacetan lalulintas merupakan bagian permasalahan transportasi,
yaitu terlalu besarnya kebutuhan akan pergerakan dibandingkan dengan prasarana
transportasi yang tersedia. Suatu cara memecahkan masalah tersebut adalah
membangun prasarana sesuai dengan kebutuhan, mengurangi pergerakan, dan
gabungan keduanya. Tetapi pendekatan seperti ini sudah harus ditinggalkan karena
pembangunan prasarana jalan di kota bukan saja mahal, namun juga tidak bisa
menghilangkan kemacetan masif karena adanya cadangan lalulintas kendaraan yang
terbangkitkan, yang selalu siap menunggu untuk mengisi kapasitas prasarana yang
disediakan. Oleh karena itu pendekatan membangun sistem prasarana harus diubah
menjadi pendekatan manajemen dan efisiensi sistem, yang biasa disebut dengan
manajemen sistem transportasi.
Perkembangan zaman membuat berkembang pula pemikiran masyarakat, terutama
dalam hal kebutuhan hidup. Masyarakat dapat melakukan kegiatan dengan mudah
karena adanya berbagai sarana pemenuhan kebutuhan yang mudah di dapat, seperti
halnya sepeda motor dan mobil yang digunakan untuk transportasi agar lebih cepat.
Kebutuhan masyarakat terhadap kendaraan merupakan salah satu faktor
meningkatnya jumlah kendaraan di Indonesia. Menurut Departemen Perhubungan
(2010), jumlah kendaraan di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2005
jumlah kendaraan di Indonesia tercatat sebesar 47.664.826 dan pada tahun 2008
meningkat berjumlah 72.363.330 kendaraan. Laju pertumbuhan kendaraan bermotor
di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), terbilang amat pesat. Tiap tahun tercatat
pertambahan puluhan ribu kendaraan bermotor yang mengaspal di jalan. Kebanyakan
yakni kendaraan roda dua alias sepeda motor. Berdasarkan data Samsat Makassar,
jumlah kendaraan bermotor pada 2016 tercatat 1.425.151 unit atau bertambah 87.009
unit dibandingkan 2015. Adapun, pada 2014 jumlah kendaraan bermotor di Kota
Daeng baru berkisar 1.252.755 unit. Artinya, dalam dua tahun terakhir tercatat
pertambahan 172.395 unit. Pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor menjadi salah
satu pemicu kemacetan di Kota Makassar.

2
Agar permasalahan transportasi dapat diantisipasi dan diatasi, dibutuhkan mekanisme
dan sistem manajemen pengelolaan terpadu yang dapat memahami sesuatu yang
bersifat kompleks dalam pendekatan sistem dan adanya perubahan dinamis setiap
waktu.

1.2 TUJUAN DAN SASARAN


1. Tujuan
Essai ini dimaksudkan untuk mengembangkan skenario TDM di Koridor Jalan
Urip Sumoharjo untuk mencegah kemacetan di waktu-waktu tertentu. Dengan
mengembangkan skenario ini diharapkan dapat dihasilkan suatu rekomendasi
bagi tatanan transportasi di Kota Makassar, terutama yang terkait dengan
permasalahan transportasi yang perlu segera ditangani.
2. Sasaran
Adapun sasaran dari penulisan essai ini yaitu:
a. Sebagai bahan refrensi untuk mengetahui Transport Demand Management
b. Sebagai tugas pelengkap mata kuliah Manajemen dan Sistem Transportasi

1.3 RUANG LINGKUP


Ruang lingkup dalam essai ini terbagi atas dua, yaitu ruang lingkup substansi dan
ruang lingkup wilayah.
1. Lingkup Substansi
Ruang lingkup substansi dalam essai ini meliputi aspek fisik wilayah, penggunaan
lahan wilayah, jumlah kendaraan, dan panjang jalan di lokasi studi.
2. Lingkup Wilayah
Ruang lingkup substansi dalam essai ini yaitu Koridor Urip Sumuharjo, Kota
Makassar.

BAB II GAMBARAN MANAJEMEN DAN SISTEM


TRANSPORTASI
2.1 KARAKTERISTIK MANAJEMEN TRANSPORTASI
1. Transportasi Sebagai Sistem
Transportasi adalah salah satu sektor penting dan strategis dalam kehidupan
keseharian manusia. Transportasi dalam bahasa Indonesia disepadankan dengan
pengangkutan. Ada pula yang menerjemahkan dengan kata perjalanan yang lebih

3
cocok untuk terjemahan dari kata trip/travel atau ada pula yang menganggap
sebagai perpindahan yang dalam bahasa Inggrisnya adalah moving. Morlok
(1978) mendefinisikan transportasi sebagai “suatu tindakan, proses, atau hal yang
sedang dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya”. Secara lebih spesifik,
transportasi didefinisikan sebagai “kegiatan pemindahan orang dan barang dari
suatu tempat ke tempat lainnya”. Dalam transportasi terdapat unsur pergerakan
(movement), dan secara fisik terjadi perpindahan atas orang atau barang dengan
atau tanpa alat pengangkutan ke tempat lain. Di sini pejalan kaki adalah
perpindahan orang tanpa alat pengangkut.
Sistem adalah suatu kelompok elemen atau subsistem yang bekerja sama untuk
mencapai tujuan tertentu. Karakteristik terpenting dari suatu sistem adalah
apabila ada suatu elemen atau subsistem yang tidak berfungsi, sehingga hal ini
mempengaruhi kelangsungan sistem tersebut secara keseluruhan, atau bahkan
membuatnya tidak berfungsi sama sekali.
Sistem Transportasi adalah suatu bentuk keterikatan dan keterkaitan antara
penumpang, barang, prasarana dan sarana yang berinteraksi dalam rangka
perpindahan orang atau barang, yang tercakup dalam suatu tatanan, baik secara
alami ataupun buatan/rekayasa.
Sistem transportasi diselenggarakan dengan maksud untuk mengkoordinasi
proses pergerakan penumpang dan barang dengan mengatur
komponenkomponennya di mana prasarana merupakan media untuk proses
transportasi, sedangkan sarana merupakan alat yang digunakan dalam proses
transportasi.
2. Objek Yang Dipindahkan
Sistem transportasi, jika dilihat dari objek yang dipindahkan terbagi menjadi dua
yaitu manusia dan barang dan dapat pula berfungsi sebagai alat untuk
memindahkan, tergantung dari sisi mana melihatnya. Pemindahan manusia atau
barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana
yang digerakkan oleh manusia atau mesin.
3. Jalur dan Prasarana berhenti
Pergerakan lalu lintas terjadi karena kebutuhan yang tidak dipenuhi ditempat
manusia berada. Pemenuhan kebutuhan merupakan kegiatan yang harus
dilakukan setiap hari, misalnya pemenuhan kebutuhan akan pekerjaan,
pendidikan, hiburan, rekreasi dan lain-lain.
Pergerakan tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan kalau semua kebutuhan
tersedia pada satu tempat karena adanya pembatasan dan pengelompokkan tata
guna lahan. Setiap tata guna lahan mempunyai jenis kegiatan tertentu yang akan
meningkatkan pergerakan dan menarik pergerakan dalam proses pemenuhan
kebutuhan. Pergerakan yang berupa pergerakan manusia dan/atau barang jelas
memerlukan moda transportasi (sarana) dan media (Prasarana) tempat moda
transportasi bergerak, dalam hal ini yaitu jaringan jalan, laut atau udara.
4. Kendaraan
Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. Kendaraan Bermotor adalah setiap
Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain
Kendaraan yang berjalan di atas rel. Jenis Kendaraan dalam Transportasi
a. Pesawat
b. Mobil
c. Kapal

4
d. Bus
e. Motor
f. Kereta
g. Van
h. Sepeda
i. Sepeda Motor Listrik
j. Truk
Angkutan jalan adalah kendaraan yang diperbolehkan untuk menggunakan jalan,
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan
Pengemudi, yaitu meliputi sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus,dan mobil
barang serta Kereta api dan kendaraan tidak bermotor. Kendaraan tidak termotor
adalah kendaraan yang tidak dilengkapi dengan motor penggerak, tetapi
digerakkan dengan tenaga manusia seperti sepeda, becak, atau digerakkan dengan
tenaga hewan seperti delman yang dilengkapi dengan 4 roda, sado, cidomo
(singkatan dari cikar dokar mobil) yang ditarik dengan tenaga kuda ataupun
gerobak yang ditarik oleh kerbau, sapi, kambing ataupun manusia. Transportasi
Laut meliputi kapal, feri, sampan dan Tranportasi udara : pesawat.
Alat transportasi diatas memiliki sebuah sejarah didalam perkembanganya, mulai
dari alat transportasi dengan kendaraan tidak bermotor yang menggunakan tenaga
hewan atau manusia, hingga kendaraan bermotor. Transportasi darat yang
termasuk dalam kategori kendaraan tidak bermotor, sekarang semakin terdorong
kepinggir oleh motorisasi angkutan, sehingga penggunaan kendaraan tidak
bermotor mulai ditinggalkan digantikan dengan kendaraan bermotor. Salah satu
contoh adalah fenomena yang terlihat didaerah Bekasi, di bekasi terdapat
kawasan bebas becak dan kendaraan tidak bermotor, hal tersebut sesuai Peraturan
Daerah (Perda) No 52 Tahun 1998 tentang Daerah Bebas Becak dan Kendaraan
Tidak Bermotor.
5. Manajemen dan Organisasi
Manajemen pengoprasian dan organisasi untuk masing-masing moda berbeda
disebabkan sifat, karakteristik dan jenis alat angkut yang digunakan tidak sama.
Transportasi merupakan salah satu bagian operasi yang sangat penting untuk
menciptakan customer value dan customer satisfaction yang tinggi. Oleh
karenanya perlu adanya manajemen transportasi yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Perencanaan meliputi kegiatan
penentuan lokasi pabrik, gudang penyimpan bahan baku, dan gudang distribusi
yang tepat untuk kecepatan pelayanan di bidang transportasi yang tinggi; kegiatan
alokasi pengiriman yang dapat meminimalkan biaya transportasi; kegiatan
loading; serta pemilihan sarana transportasi yang paling tepat.

2.2 FUNGSI DAN PERAN MANAJEMEN TRANSPORTASI


Transportasi merupakan alat yang digunakan untuk mengangkut manusia, hewan dan
barang ketempat tujuan, atau definisi transportasi yang lainnya yakni memindahkan
manusia, hewan ataupun barang dari tempat asal ketempat tujuannya dengan memakai
suatu alat yang dapat digerakan oleh makhluk hidup atau mesin.
Adapun fungsi dari trasnportasi ialah;
1. Untuk memudahkan aktifitas manusia dalam kehidupan sehari-hari.
2. Untuk melancarkan arus barang maupun arus manusia.
3. Untuk menunjang perkembangan pembangunan pada suatu daerah.
4. Dan untuk menunjang perkembangan ekonomi dengan jasa angkutan.
Manfaat dari Transportasi ialah;

5
1. Manfaat bagi Ekonomi
Kegiatan ekonomi memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia, saat ini
transportasi merupakan salah satu kegiatan yang menyangkut kebutuhan manusia
yakni dengan memindahkan manusia, hewan atau barang dari tempat asal
ketempat tujuan sehingga dapat terjadi transaksi “menyediakan jasa angkutan”.
2. Manfaat untuk Sosial
Trasnportasi memiliki fungsi terhadap sosial di antaranya;
a. Dapat menjadi pelayanan untuk masyarakat baik itu perorangan ataupun
kelompok.
b. Memendekan jarak antara tempat atau daerah.
c. Menyediakan jasa bagi perjalanan.
d. Pertukaran informasi dan lain-lain
3. Manfaat untuk Politis
Trasnportasi memiliki manfaat terhadap Politis di antaranya;
a. Dapat menciptakan persatuan
b. Dapat meningkatkan keamanan negara.
c. Pelayanan untuk masyarakat dapat diperluas.
d. Mempermudah dalam mengatasi permsalahan misalnya seperti menuju lokasi
bencana.
4. Manfaat untuk Kewilayaan
Dapat memudahkan dalam memenuhi berbagai macam kebutuhan bagi
daerahdaerah khususnya daerah yang sedang mengalami pembangunan.

2.3 MANAJEMEN TRANSPORTASI DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH


DAN KOTA
1. Kebiaakan Pengembangan Sistem Transportasi Perkotaan
Sesuai dengan yang telah digariskan dalam Garis – Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) tahun 1993, beberapa pokok kebijakan pengembangan sistem
transportasi perkotaan adalah sebagai berikut (Tamin, 2000) :
a. Pembangunan transportasi perkotaan harus diarahkan pada terwujudnya
sistem transportasi nasional secara terpadu, tertib, lancar, aman dan nyaman,
serta efisien dalam menunjang mobilitas manusia, barang dan jasa, serta
mendukung pembangunan wilayah.
b. Sistem transportasi perkotaan harus ditata dan terus disempurnakan dengan
didukung oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia.
c. Sistem transportasi perkotaan harus di tata dan terus disesuaikan dengan
perkembangan ekonomi, tingkat kemajuan teknologi, kebijakan tata ruang,
pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan kebijakan energi nasional agar
selalu dapat memenuhi kebutuhan akan pembangunan serta tuntutan
masyarakat.
d. Transportasi di wilayah perkotaan akan mengembangkan sistem angkutan
massa yang tertib, lancar, aman, nyaman dan efisien agar menarik bagi
pemakai jasa angkutan sehingga kemacetan dan gangguan lalulintas dapat
dihindari dan kualitas hidup dapat dipertahankan.
e. Transportasi penumpang dan barang di perkotaan harus dibina dan
dikembangkan agar mampu berperan dalam meningkatkan kelancaran arus
penumpang dan barang, selaras dengan dinamika pembangunan.
2. Arah Pengembangan Jaringan Transportasi.
Pengembangan jaringan transportasi nasional jangka panjang (sampai
tahun 2020) diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas

6
pelayanan dengan memperhatikan keterkaitan antara kebutuhan dan
pelayanan transportasi baik intra maupun antar pulau yang diwujudkan
sebagai sistem jaringan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN) meliputi jaringan transportasi jalan, transportasi
kereta api, transportasi sungai dan penyeberangan, jalan rel dan jalan,
misalnya untuk pergerakan orang dan barang di pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Sedangkan untuk pulau kecil yang cenderung terbatas jaringan
prasarananya karena luas wilayah yang kecil dan tidak multi cities,
pengembangan transportasi dalam pulau diarahkan untuk mengoptimalkan
integritas dan kombinasi antar moda transportasi laut, penyeberangan, dan
jalan misalnya untuk pulau di kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara.
Pengembangan transportasi antar pulau untuk pulau besar diarahkan untuk
mengintegrasikan dan mengkombinasikan moda transportasi udara dengan
moda transportasi jalan, jalan dan rel atau antara moda transportasi laut
dan penyeberangan dengan moda transportasi jalan, jalan rel.
Pengembangan transportasi antar pulau bagi pulau kecil yang biasanya
terangkum dalam kepulauan, diarahkan untuk mengintegrasikan dan
mengkombinasikan antara moda transportasi laut dan penyeberangan
dengan moda transportasi jalan, misalnya di Kepulauan Maluku. Dari sisi
demografi, pengembangan transportasi antar moda diarahkan untuk
penyediaan pelayanan yang disesuaikan dengan kepadatan populasi yang
terbagi dalam dua kategori yaitu untuk kawasan perkotaan (urban
transport) dan perdesaan (rural transport).
Untuk kawasan perkotaan, pengembangan transportasi disesuaikan dengan
tingkat populasi serta karakteristik wilayah. Untuk kota kecil dengan
populasi kurang dari 500 ribu jiwa, pengembangan transportasi di arahkan
untuk mengintegrasikan dan mengkombinasikan antara moda transportasi,
yang biasanya didominasi moda jalan. Untuk kota sedang dengan populasi
antara 500 ribu jiwa hingga satu juta jiwa, pengembangan transportasi
diarahkan untuk mengintegrasikan dan mengkombinasikan antara moda
transportasi yang biasanya didominasi moda jalan. Untuk kota besar
dengan populasi antara satu juta jiwa hingga dua juta jiwa, pengembangan
transportasi diarahkan untuk mengintegrasikan dan mengkombinasikan
antara moda transportasi, yang biasanya didominasi moda jalan, namun
untuk koridor tertentu perlu diarahkan adanya integrasi antara moda jalan
rel dengan moda jalan sesuai kondisi demand jasa angkutan.
Untuk kota besar dengan populasi antara dua juta jiwa hingga lima juta
jiwa, pengembangan transportasi diarahkan untuk mengintegrasikan dan
mengkombinasikan antar moda transportasi, dengan mengarahkan
integrasi antara moda jalan rel sebagai main back-bone dengan moda jalan.
Untuk kota raya dengan populasi diatas lima juta jiwa, pengembangan
transportasi diarahkan untuk mengintegrasikan dan mengkombinasikan
antara moda jalan rel sebagai main back-bone dengan moda jalan.
Untuk kawasan perdesaan, pengembangan transportasi disesuaikan
dengan tingkat populasi, sebaran populasi dan karakteristik wilayah.

7
Karena kawasan perdesaan biasanya terdiri dari beberapa kelompok
hunian yang menyebar, dengan jumlah penduduk kecil, maka
pengembangan transportasi diarahkan untuk mengintegrasikan dan
mengkombinasikan antara moda transportasi, yang biasanya didominasi
moda transportasi jalan.
3. Rencana Sistem Trasnportasi.
a. Tinjauan Transportasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional.
Sistim jaringan transportasi nasional merupakan salah satu bagian
dalam rencana struktur ruang wilayah nasional yang diatur dalam
RTRWN, meliputi sistim jaringan transportasi darat (terdiri atas
jaringan jalan nasional, jaringan jalur kereta api dan jaringan
transportasi sungai, danau dan penyeberangan), sistem jaringan
transportasi laut (terdiri dari tatanan kepelabuhan dan alur pelayaran),
dan sistem jaringan transportasi udara (terdiri atas tatanan
kebandarudaraan dan ruang udara untuk penerbangan). Sistem
jaringan transportasi nasional juga berhubungan erat dengan sistem
perkotaan nasional. Sistem perkotaan nasional yang terdiri dari PKN,
PKW dan PKL dihubungkan dengan sistem jaringan transportasi
nasional tersebut di atas.
b. Gambaran Umum Perencanaan Tata Ruang Perkotaan.
Perencanaan tata ruang perkotaan berbeda dengan perencanaan tata
ruang wilayah karena intensitas kegiatan di perkotaan jauh lebih tinggi
dan lebih cepat berubah dibanding dengan intensitas pada wilayah di
luar perkotaan. Hal ini membuat perencanaan penggunaan lahan di
perkotaan harus lebih rinci dan harus diantisipasi jauh ke depan.
Sebetulnya, penataan ruang diperkotaan sudah lebih dulu diatur
ketimbang penataan ruang untuk keseluruhan wilayah. Penataan ruang
khusus untuk perkotaan sebetulnya sudah dimulai sejak zaman
Belanda. Setelah kemerdekaan ada pengaturan baru sejak tahun 1985
berupa surat keputusan bersama menteri dalam negeri dan menteri
pekerjaan umum, berupa pembagian wewenang antar menteri dalam
negeri dengan menteri pekerjaan umum dalam perencanaan kota.
Sesuai dengan surat keputusan bersama tersebut Departemen Dalam
Negeri bertanggung jawab di bidang administrasi perencanaan kota
sedangkan Departemen PU bertangung jawab di bidang teknik (tata
ruang) kota. Atas dasar pembagian wewenang itu, Menteri Pekerjaan
Umum mengeluarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.
640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota dan Menteri
Dalam Negeri mengeluarkan PERMENDAGRI Nomor 2 Tahun 1987
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.
Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) adalah suatu rencana
pemanfaatan ruang kota, yang berisikan rencana pembangunan kota
yang terkait dengan ruang, sehingga tercapai tata ruang yang dituju
dalam kurun waktu tertentu di masa yang akan datang. Rencana

8
program pembangunan kota disusun untuk 20 tahun kedepan dan
dibagi dalam tahapan lima tahunan. Dalam hal ini harus dipadukan
pendekatan sektoral dan pendekatan regional (ruang). Sesuai dengan
Keputusan Mentri PU No. 640/KPTS/1986, ada empat tingkatan
Rencana Tata Ruang Kota, yaitu sebagai berikut:
1) Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan.
Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan menggambarkan posisi
kota yang direncanakan terhadap kota lain secara nasional dan
hubungannya dengan wilayah belakangnya.
2) Rencana Umum Tata Ruang Kota.
Rencana Umum Tata Ruang Kota menggambarkan pemanfaatan
ruang kota secara keseluruhan.
3) Rencana Detail Tata Ruang kota
Rencana Detail Tata Ruang Kota mengambarkan pemanfaatan
ruang kota secara lebih rinci.
4) Rencana Teknik Ruang Kota.
Rencana Teknik Ruang Kota menggambarkan rencana geometri
pemanfaatan ruang kota sehingga sudah bisa menjadi pedoman
dalam penentuan sait (site) pembangunan/konstruksi di kota.
Sesuai dengan Keputusan Menteri PU No. 640/KPTS/1986
setidaktidaknya harus berisikan hal-hal sebagai berikut:
1) Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota.
2) Rencana pemanfaatan ruang kota.
3) Rencana struktur pelayanan kegiatan kota.
4) Rencana sistem transportasi.
5) Rencana sistem jaringan utilitas kota.

2.4 TRANSPORT DEMAND MANAGEMENT (TDM)


Transport Demand Management atau disebut juga manajemen permintaan transportasi
merupakan bagian dari sistem transportasi yang berkelanjutan. Menurut Broaddus,
dkk (2009) TDM merupakan suatu strategi dalam memaksimalkan efisiensi
pergerakan di perkotaan dengan membatasi penggunaan kendaraan bermotor dan
mengurangi panjang perjalanan dengan moda transportasi yang lebih efektif, seperti
kendaraan umum dan transportasi tidak bermotor. Dalam buku Smart Growth America
(2013) secara khusus memaparkan salah satu tujuan strategi TDM yaitu untuk
meningkatkan efisiensi sistem transportasi dengan mendorong para single occupant
vehicle agar bergeser menjadi non-single occupant vehicle, atau pergeseran waktu
perjalanan tertentu untuk menghindari periode puncak.
Selain itu, TDM merupakan terminologi yang memanfaatkan berbagai strategi untuk
mengurangi permintaan penggunaan kendaraan, dimana upaya strategi TDM ini dapat
mengubah perilaku perjalanan, seperti meminimalisir panjang perjalanan, mengubah
waktu perjalanan atau mendorong penggunaan kendaraan perjalanan yang lebih
efektif (McBryan dalam Kusumantoro dkk, 2009). Adapun beberapa strategi umum
TDM adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Kebijakan Umum TDM
Kebijakan Strategi Teknis

9
Strategi jam masuk/keluar • Mendorong agar waktu
(kantor/sekolah) pergerakan tidak terjadi secara
Pergeseran
bersamaan
Waktu
Batasan waktu pergerakan • Kendaraan angkut barang berat
(angkutan barang) bergerak pada waktu tertentu
Road Pricing • Electronic road pricing
Pergeseran Rute Jalan khusus angkutan • Area licensing system Truck
umum • only Lane
Pembatasan jumlah
keterisian kendaraan • Three in one
pribadi
Peningkatan pelayanan
• Carpooling and Vanpooling
angkutan umum
Pergeseran Pengembangan moda • Ridesharing MRT
Moda telekomunikasi • (subway)
• Teleworking

• Bicycling

Pergeseran Penggunaan tata guna • Pergerakan diarahkan pada satu


Lokasi Tujuan lahan atau beberapa lokasi yang
berdekatan
• Penyebaran sentra-sentra
perjalanan
Sumber: Tamin (2007)

Menurut Reploge dalam Broaddus dkk (2010) kebijakan TDM ini bertujuan
menyediakan pilihan-pilihan moda transportasi dalam mendukung tujuan kebijakan
yang lebih luas, mempromosikan pilihan-pilihan perjalanan yang lebih efisien,
mengurangi perjalanan kendaraan motor yang tidak perlu, dan mengurangi jarak
perjalanan. Berdasarkan tujuan dan kebijakan konsep TDM tersebut maka dapat
disimpulkan menjadi dua tujuan pokok dari konsep TDM (Kusumantoro dkk, 2009),
yakni:
1. Memberikan berbagai alternatif pilihan perjalanan melalui jenis skenario TDM,
perubahan permintaan perjalanan diantaranya yaitu perubahan waktu perjalanan,
perubahan rute perjalanan, perubahan lokasi tujuan, dan perubahan moda perjalanan.
Pada dasarnya perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dari perilaku pelaku
perjalanan.
2. Mengurangi permintaan perjalanan dengan mengurangi jarak perjalanan dan
mengurangi jumlah perjalanan. Tujuan ini diukur dari indikasi pengurangan
kemacetan yang diduga menjadi salah satu permasalahan transportasi.

Dalam Ferguson (2000), TDM didefinisikan sebagai suatu istilah umum untuk strategi
dan program yang mendorong penggunaan infrastruktur transportasi secara lebih efisien,
atau suatu cara untuk mempengaruhi perilaku pelaku perjalanan, dengan tujuan
mengurangi besarnya kebutuhan akan perjalanan atau menyebarkan kebutuhan tersebut
dalam ruang dan waktu. Dalam konsep TDM ini, pembatasan kebutuhan akan
transportasi tidak berarti membatasi jumlah perjalanan, tetapi pendekatan untuk
mengelola proses perjalanan tersebut agar menghindari terjadinya perjalanan pada
waktu yang bersamaan dan/atau terjadi pada lokasi atau tempat yang bersamaan pula.

10
Terdapat tiga taksonomi TDM menurut Ferguson yaitu voluntarism, markets, dan
regulation. Berikut adalah tabel taksonomi TDM.
Tabel 2. Taksonomi TDM
Voluntarism Alternative Modes Public transit
Ridesharing
Non-Motorized
Transportation
Alternative Time Flextime/Flexible hours
Staggered shift
Compressed work weeks
Markets Road Pricing Congestion pricing
Pollution pricing
Noise pricing
Parking Pricing Parking requirements
Income taxes
Noise pollution
Regulation Travel Restriction Infrastructure
Vehicle ownership
Development Restriction Development guidance
Growth management Impact
fees
Sumber: Ferguson (2000)

Batasan yang akan dibahas dalam penelitian ini akan dibatasi pada dua strategi TDM
yang diduga tepat dalam menangani kemacetan di Koridor Urip Sumoharjo yaitu
dengan taksonomi voluntarism yang berorientasi pada perubahan moda (alternative
modes/mode shift) dan perubahan waktu (alternative time/time shift).
1. Pergeseran Moda (Mode Shift)
Pergeseran moda perjalanan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi
kemacetan di perkotaan yang disebabkan tingginya penumpukan kendaraan di ruas
jalan tertentu yang juga berakibat pada penurunan tingkat pelayanan jalan. Oleh
sebab itu, diperlukan moda yang lebih efektif seperti penyediaan jalur three in one,
ridesharing: carpool, vanpool dan buspool, public transit: bus dan rail yang
disebut juga kendaraan bermotor, dan bicycling dan walking yang disebut juga
kendaraan tidak bermotor (Ferguson 2000:65). Oleh karena itu, upaya untuk
menangani kemacetan lalu lintas dengan mengandalkan perbesaran kapasistas
(supply) dinilai tidak lagi efektif melainkan akan lebih efektif dan efisien apabila
difokuskan pada pemilihan alternatif moda perjalanan. a. Ridesharing
Bentuk lain dari para pelaku pergerakan adalah ridesharing, dimana
pergerakan dilakukan dengan moda yang sama dan bahkan dapat mengangkut
lebih dari satu orang dalam perjalanan tertentu. Kendaraan tersebut dapat
berupa pickup truck, van atau bus pribadi (Misch dkk, 1981 dalam Ferguson,
2000). Selanjutnya, Ridesharing dibagi menjadi tiga yaitu carpools, vanpools,
dan Buspools. Berikut beberapa penjelasan tentang masing-masing alternatif
moda.
Carpools adalah moda dari rideshare yang cukup informal yang dibentuk oleh
sekelompok orang atau suatu badan yang memiliki kepentingan yang sama.
Selain itu, carpools juga sangat efisien apabila digunakan untuk perjalanan
jauh atau bagi orang-orang yang memiliki jadwal ke tempat kerja/sekolah yang
sama (Mahmood dkk, 2009). Sedangkan vanpools dapat membawa bahkan
lebih dari tujuh penumpang yang dikelola langsung oleh lembaga pemerintah,
pengusaha swasta, dan/atau secara perorangan (Ferguson, 2000:75). Buspool

11
juga merupakan salah satu bentuk dari moda perjalanan ridesharing namun
sedikit berbeda dengan carpools dan vanpools, dimana rute perjalanan dan
operator moda untuk buspool tidak dibebaskan akan tetapi ditetapkan secara
langsung oleh lembaga publik ataupun swasta. Buspool hanya dapat digunakan
pada kegiatan seperti pasar, pusat perdagangan, dan sebagainya. Peraturan
lembaga publik pun diperlukan agar mencegah eksistensi buspool untuk tidak
menyaingi rute eksisting bus swasta ataupun publik (Ferguson, 2000:77).

b. Public Transit
Public Transit adalah bagian dari moda transportasi yang sudah lama dikenal
oleh para pelaku perjalanan yang beroperasi dari pusat kota ke luar area
perkotaan (suburban) seperti kereta api (rail) dan bus besar (big buses) (Black,
1989 dalam Ferguson, 2000:66). Jarak dan jalur kereta api (rail) dari pusat kota
ke wilayah pinggiran kota yang jauh tidak dapat dijadikan sebagai alternatif
atau tindakan TDM (Warner, 1978 dalam Ferguson, 2000:67). Selain itu,
terkait rail, dilihat dari segi perencanaan, pembangunan dan pelaksanaanya
pun butuh waktu dan biaya yang cukup besar dan membutuhkan kerjasama
antar stakeholder pembangunan sehingga jenis public transit ini tidak menjadi
bagian dari TDM. Sama halnya dengan rail, big buses pun secara relatif
memakan biaya yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan sebagian besar
strategi TDM lainnya.

c. Non-motorized Transportation (Walking and Bicycling)


Dalam beberapa tahun terakhir, kebiasaan bepergian ke tempat kerja dengan
berjalan kaki (walking) sepertinya telah menurun. Hal ini pun terjadi pada
penggunaan kendaraan transit dan carpooling. Bahkan, kebiasaan berjalan
kaki telah menurun terus-menerus selama lebih dari dua abad terakhir. Namun,
belum cukup data untuk membantu menjelaskan hasil temuan tersebut (Black,
1990 dalam Ferguson, 2000). Menurunnya kebiasaan berjalan kaki sebagai
salah satu moda transportasi perkotaan sebagian besar dikarenakan
ketersediaan bantuan teknologi yang tidak dapat dihindari. Hal ini juga
dikarenakan badan perencanaan penggunaan lahan memisahkan penggunaan
lahan untuk mengurangi gangguan publik, menghilangkan eksternalitas yang
berdampak negatif, dan meningkatkan nilai properti swasta di kotakota modern
dan pinggiran kotanya. Kebiasaan berjalan kaki tetap populer di sebagian besar
kota-kota tua dan padat di Eropa. Namun beberapa mal khusus pejalan kaki
dan beberapa zona khusus pejalan kaki lainnya di sebagian besar kota di
Amerika telah gagal untuk meningkatkan kebiasaan orang untuk berjalan kaki
(Weisbord dan Loudon, 1992 dalam Ferguson, 2000).
Di samping itu, kebiasaan bersepada (bicycling) pun belakangan ini telah
menurun. Sama halnya dengan Jogging dan running, kebiasaan bersepeda
bersama telah berkembang dalam beberapa abad terakhir. Namun, pada saat
ini sebagian besar sepeda telah disimpan kembali ke dalam kardusnya atau
digantung di dinding atau garasi karena hanya akan dibutuhkan pada saat
rekreasi. Padahal, bepergian dengan menggunakan sepeda sangat baik untuk
kesehatan, misalnya membakar lemak jika digunakan untuk bepergian lebih
dari beberapa mil dari suatu tempat ke tempat lainnya (Willey dkk, 1991 dalam
Ferguson, 2000).

2. Pergeseran Waktu (Time Shift)


Pergeseran waktu atau juga disebut sebagai alternatif waktu merupakan salah satu
strategi yang dapat mengubah perilaku perjalanan pada waktu yang bersamaan.

12
Menurut Ferguson (2000) alternatif waktu berbeda dengan strategi alternatif moda,
dimana alternatif waktu cenderung memperhatikan pola penggunaan lahan
dan kegiatan daripada perilaku perjalanan. Alternatif waktu atau alternatif waktu
bekerja mempunyai beberapa pilihan diantaranya adalah waktu fleksibel (flextime),
pemadatan waktu kerja (compressed work week), dan pergeseran berjenjang
(staggered shifts) (Ferguson, 2000:84-89). Flextime memungkinkan karyawan
untuk bekerja pada waktu yang fleksibel. Hal ini berarti bahwa alternatif tersebut
memberikan pilihan waktu kerja yang fleksibel bagi setiap karyawan agar
menghindari waktu pergerakan yang bersamaan, misalnya dari semua karyawan
yang bekerja pada waktu yang bersamaan pada pukul 08.00 hingga pukul 16.30 –
beberapa mungkin dapat bekerja pada 07.30-17.00, dan yang lainnya bekerja mulai
dari pukul 09.00 hingga pukul 17.30 sehingga dengan perbedaan waktu jam kerja
di atas akan mengubah perilaku perjalanan yang seringkali terjadi pada waktu yang
sama. Sedangkan compressed work week memberikan hari bekerja karyawan lebih
sedikit, misalnya 10 jam per hari mulai dari hari senin hingga kamis dalam
seminggu yang sebelumnya adalah 8 jam per hari dalam seminggu (Ferguson,
2000:89). Demikian pula staggered shifts membedakan jadwal masuk/keluar kerja
dari beberapa kelompok karyawan yang bekerja sedikit berbeda dengan flextime,
dimana staggered shift memberikan perbedaan jam masuk/keluar kerja pada setiap
karyawan berdasarkan perbedaan pergerakan karyawan dengan
jenjang/tingkat/jabatan tertentu.
Dengan demikian beberapa alternatif di atas akan dijadikan pertimbangan untuk
mendorong dan mengubah perilaku pelaku perjalanan.

BAB III KARAKTERISTIK PERSOALAN DAN MASALAH


3.1 PROFIL WILAYAH KASUS
1. Gambaran Umum Kota Makassar
Kota Makassar adalah Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di bagian
selatan Pulau Sulawesi yang dahulu disebut sebagai Ujung Pandang.
Kota Makassar ini terletak antara 119015’45” sampai 119032’35” Bujur Timur
dan antara 500'50” sampai 5014'49” Lintang Selatan. Kota Makassar yang
memiliki luas 175,77 Km2 ini secara administratif terdiri dari 15 kecamatan dan
153 kelurahan. Berdasarkan letak geografis, Kota Makassar berbatasan dengan
beberapa kabupaten lainnya yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan dengan rincian
sebagai berikut :
• Sebelah Utara : Kabupaten Maros
• Sebelah Timur : Kabupaten Maros
• Sebelah Selatan : Kabupaten Gowa
• Sebelah Barat : Selat Makassar
2. Gambaran Umum Ruas Jalan Urip Sumoharjo
Kawasan studi dalam penelitian ini terletak di Kecamatan Panakukang dan
sebagian Kecamatan Makassar. Koridor Urip Sumoharjo melintasi Kelurahan
Sinrijala, Kelurahan Panaikang, Kelurahan Pampang, Kelurahan Tello Baru, dan
Kelurahan Maccini. Jalan Urip Sumoharjo adalah salah satu jalan protokol di
Kota Makassar yang banyak mengalami perubahan penggunaan lahan, apalagi
perubahan penggunaan lahan tersebut beralih dari penggunaan lahan yang
bangkitan lalulintasnya rendah, menjadi penggunaan lahan yang potensial
membangkitkan volume lalulintas.
Panjang ruas jalan Urip Sumoharjo ini adalah ±5 km yaitu dimulai dari
pertemuan Jalan Perintis Kemerdekaan, sampai pada persimpangan Jalan Gunung

13
Bawakaraeng. Jalan Urip Sumoharjo ini terdiri atas 2 arah serta lebar
lalulintasnya 3,25 meter. Koridor Jalan Urip Sumoharjo merupakan koridor yang
mempunyai kepadatan lalulintas yang tinggi, karena disamping penggunaan
lahan yang potensial membangkitkan lalulintas yang merupakan asal dan tujuan
pergerakan juga adanya arus lalulintas yang melewati jalan tersebut menuju pusat
dan luar kota.
3. Penggunaan Lahan di Kawasan Studi
Karakteristik penggunaan lahan di koridor Urip Sumoharjo didominasi oleh lahan
terbangun seperti perdagangan dan jasa, perkantoran, peribadatan, dan fasilitas
pendidikan. Sedangkan lahan non terbangun berupa taman kota dan taman
bangunan. Koridor Urip Sumoharjo tergolong cukup padat dikarenakan skala
pelayanan oleh masing-masing kegiatan merupakan layanan nasional. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa kantor pemerintahan seperti Kantor Gubernur, Gedung
Keuangan Negara, dan Kantor Gabungan Dinas Kota Makassar. Selain itu untuk
fasilitas pendidikan memiliki layanan secara nasional yakni terdapat Universitas
Bosowa dan Universitas Muslim Indonesia.
4. Jumlah Kendaraan di Kota Makassar
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan
(2015) jumlah kendaraan bermotor meningkat setiap tahunnya, hal ini berarti
bahwa semua kegiatan pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat Kota
Makassar hampir seluruhnya menggunakan kendaraan bermotor. Berikut data
jumlah kendaraan pada tahun 2013 dan 2014.

Tabel 3. Jumlah Kendaraan Menurut Jenis Kendaraan Tahun 2013-2014


Jumlah Kendaraan
No Jenis Kendaraan
2013 2014
1. Mobil Penumpang 151.328 190.428
2. Bus 16.981 17.206
3. Truk 57.601 67.161
4. Sepeda Motor 926.097 1.062.943
Jumlah 1.152.007 1.337.738
Sumber: Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan (2015)

Karena terbatasnya data sekunder mengenai jumlah kendaraan di Kota Makassar,


maka untuk mengetahui jumlah kendaraan di Kota Makassar tahun 2019,
digunakan proyeksi metode aritmetik, yang mengasumsikan bahwa jumlah
kendaraan pada masa depan akan bertambah dengan jumlah yang sama
setiap tahun. Berikut hasil proyeksi jumlah kendaraan pada tahun 2019
Tabel 4. Jumlah Kendaraan Menurut Jenis Kendaraan Tahun 2019
Jumlah Kendaraan
No Jenis Kendaraan
2014 2019
1. Mobil Penumpang 190.428 436,441
2. Bus 17.206 18,346
3. Truk 67.161 122,894
4. Sepeda Motor 1.062.943 1,848,279
Jumlah 1.337.738 2,416,114
Sumber: Hasil Analisis

14
3.2 ANALISIS KETERKAITAN KOMPONEN SISTEM TRANSPORTASI DAN
PERENCANAAN RUANG
Penyebab kemacetan di ruas jalan Urip Sumoharjo mempengaruhi empat sistem
transportasi, yaitu:
1. Sistem Kegiatan
Puncak macet umumnya terjadi pada jam tertentu seperti pada pagi hari saat
siswa-siswi berangkat ke sekolah dan karyawan berangkat ke kantor, siang hari
saat siswa-siswi pulang sekolah. Tingginya volume kendaraan disebabkan karena
banyaknya pergerakan menuju kantor dan sekolah secara bersamaan.
2. Sistem Pergerakan
Banyaknya pergerakan ke sekolah dapat menyebabkan menumpuknya volume
kendaraan di waktu-waktu tertentu, seperti pada waktu berangkat sekolah pukul
7.00 dan waktu pulang sekolah dan kerja pukul 17.00.
3. Sistem Kelembagaan
Maraknya pengendara yang melakukan pelanggaran lalu lintas juga
menyebabkan kemacetan di ruas jalan Urip Sumoharjo.
4. Sistem Jaringan
Selain karena adanya pergerakan dan kegiatan, salah satu penyebab kemacetan di
ruas Jalan Urip Sumoharjo karena sistem jaringan di sekitarnya. Jalan Urip
Sumoharjo merupakan jenis jalan arteri primer, yaitu menghubungkan antar
kabupaten/kota, namun seringnya terjadi kemacetan di persimpangan jalan Urip
Sumoharjo-Dr.Leimena, simpul jalan Urip Sumoharjo-Tol Reformasi-AP.
Pettarani, Urip Sumoharjo-Pongtiku, karena geometrik jalan yang tidak
sebanding dengan banyaknya kendaraan.

3.3 ISU DAN PERSOALAN TRANSPORTASI WILAYAH KASUS


Peran transportasi dalam mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan wilayah
perkotaan tercermin dari interaksi antara sistem jaringan dan sistem pergerakan
dengan sistem kegiatan wilayah perkotaan.
Laju pertumbuhan kendaraan bermotor di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel),
terbilang amat pesat. Tiap tahun tercatat pertambahan puluhan ribu kendaraan
bermotor yang mengaspal di jalan. Kebanyakan yakni kendaraan roda dua alias sepeda
motor. Berdasarkan data Samsat Makassar, jumlah kendaraan bermotor pada 2016
tercatat 1.425.151 unit atau bertambah 87.009 unit dibandingkan 2015. Adapun, pada
2014 jumlah kendaraan bermotor di Kota Daeng baru berkisar 1.252.755 unit. Artinya,
dalam dua tahun terakhir tercatat pertambahan 172.395 unit.
Menurut Ade Firmansyah, Perwira Administrasi Samsat Makassar, bila dirataratakan,
pertumbuhan kendaraan bermotor di Makassar berkisar tujuh persen setiap tahunnya.
Laju pertumbuhannya didominasi oleh kendaraan roda dua yang sejak 2014
menembus angka satu juta unit.
Pada 2016 jumlah sepeda motor di Makassar mencapai 1.128.809 unit. Jumlah
kendaraan roda dua itu terpaut jauh dibandingkan kendaraan roda empat atau lebih.
Rinciannya, yakni mobil penumpang (206.435 unit), bus (17.264 unit), mobil barang
(72.239 unit), dan kendaraan khusus (403 unit). Pesatnya pertumbuhan kendaraan
bermotor menjadi salah satu pemicu kemacetan di Kota Makassar. Musababnya, laju
pertumbuhan kendaraan bermotor tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan yang
hanya 1,28% ditahun (BPS Kota Makassar, 2016).

15
Sementara pihak Samsat menerangkan pihaknya juga tidak memiliki kewenangan
untuk membatasi jumlah kendaraan bermotor. Samsat sebatas melakukan proses
pendataan administrasi kendaraan bermotor. Permasalahan kemacetan, memang mesti
dibahas bersama seluruh instansiterkait dan stakeholder.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Identifikasi Bangkitan Pergerakan di Koridor Urip Sumoharjo
Dalam sistem transportasi makro yang terdiri dari 4 sistem mikro yang saling
terkait dan mempengaruhi satu sama lain, salah satunya adalah mengenai
keterkaitan antara transportasi dengan tata guna lahan. Suatu tata guna lahan akan
selalu menimbulkan bangkitan pergerakan. Besarnya pergerakan ini sangat
berkaitan erat dengan jenis dan tingkat kegiatan yang dilakukan (Tamin, 2000).
Jadi, setiap jenis tata guna lahan atau jenis kegiatan yang berbeda akan
menghasilkan bangkitan pergerakan yang berbeda pula.
Penggunaan lahan di kawasan studi tentunya mempengaruhi kegiatan yang
dilakukan oleh para pekerja sebagai pengguna moda. Pengguna moda, dalam hal
ini para pekerja, melakukan pergerakan secara rutin sehingga mengakibatkan
bangkitan dalam bentuk perjalanan sebagai salah satu proses pemenuhan aktivitas
seharihari. Besarnya pergerakan berkaitan dengan jenis kegiatan yang ada.
Penggunaan lahan di sekitar koridor Urip Sumoharjo didominasi oleh kegiatan
perkantoran dan kegiatan perdagangan dan jasa. Kegiatan perdagangan dan jasa
di koridor tersebut yaitu pertokoan dan ruko. Sedangkan kegiatan perkantoran di
koridor tersebut antara lain: bank, badan atau institusi pemerintahan, dan
sebagainya.
Bangkitan pergerakan dihitung dalam satuan smp/jam dimana perhitungan
tersebut menggunakan jumlah bangkitan pergerakan per jam yang diperoleh dari
data penelitian sebelumnya pada hari kerja mengenai jumlah bangkitan
pergerakan lalu lintas di setiap jenis kegiatan di Koridor Urip Sumoharjo. Dalam
menentukan jumlah bangkitan, perlu diketahui bahwa bangkitan pergerakan
dihasilkan oleh para pelaku pergerakan, dimana pelaku pergerakan yang
dimaksud adalah para pengunjung, pekerja rutin, dan setiap orang yang melewati
koridor tersebut. Namun, pelaku pergerakan yang dijadikan unit analisis dalam
penelitian ini adala para pekerja rutin saja, sehingga bangkitan pergerakan yang
dianalisis dalam penelitian ini pun adalah bangkitan pergerakan yang dihasilkan
oleh para pekerja rutin. Dengan demikian, jumlah bangkitan diidentifikasi adalah
bukan dari sisi populasi pelaku pergerakan secara menyeluruh melainkan hanya
dari sisi pekerja rutin. Hal tersebut dilakukan dengan memilih sampel para
pekerja rutin secara purposive kemudian memantau pergerakan per jam kerja dari
para pekerja rutin yang masuk/keluar (dengan menggunakan kendaraan) dari

16
setiap bangunan menurut jenis kegiatan yang berada di koridor tersebut. Untuk
mengetahui besarnya bangkitan pergerakan yang dihasilkan dari suatu bangunan
menurut jenis kegiatan tertentu maka digunakan tabel jumlah bangkitan sebagai
dasar perhitungan bangkitan keseluruhan bangunan yang berada di jalan Urip
Sumoharjo seperti berikut ini.
Tabel . Jumlah Bangkitan Pergerakan Kegiatan Perkantoran di Koridor
Urip Sumoharjo (smp/jam)
Perkantoran Total Bangkitan
Waktu Pergerakan per
Motorcyle Light Vehicle
Pergerakan (jam) Jam Kerja
(MC) (LC)
(smp/jam)
07.00-08.00 12 18 30
08.00-09.00 9,2 31 40,2
09.00-10.00 1,2 8 9,2
Perkantoran Total Bangkitan
Waktu Pergerakan per
Motorcyle Light Vehicle
Pergerakan (jam) Jam Kerja
(MC) (LC)
(smp/jam)
10.00-11.00 0,8 8 8,8
11.00-12.00 16,8 34 50,8
12.00-13.00 8,8 28 36,8
13.00-14.00 12,4 24 36,4
14.00-15.00 1,2 22 23,2
15.00-16.00 0,4 5 5,4
16.00-17.00 13,2 30 43,2
17.00-18.00 6,8 23 29,8
Total 82,8 231 313,8
Sumber: Gomes (2017)

Seperti terlihat pada tabel 5, sebagian besar dari para pekerja rutin pada jenis
kegiatan perkantoran berangkat ke tempat kerja menggunakan light vehicle. Di
samping itu, total bangkitan pergerakan dengan menggunakan light vehicle paling
tinggi terlihat pada siang hari, yakni dari jam 11.00 hingga jam 15.00. Selain itu,
penggunaan motorcycle juga dilihat cukup tinggi pada saat jam-jam sibuk
terutama pada saat siang hari yakni jam 11.00 hingga jam 14.00. Selanjutnya
adalah jumlah bangkitan pergerakan pada kegiatan perdagangan dan jasa, dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6. Jumlah Bangkitan Pergerakan Kegiatan Perdagangan dan Jasa di
Koridor Urip Sumoharjo (smp/jam)
Perdagangan dan Jasa Total Bangkitan
Waktu Pergerakan per
Motorcyle Light Vehicle
Pergerakan (jam) Jam Kerja
(MC) (LC)
(smp/jam)
07.00-08.00 16 4 19,4
08.00-09.00 8,8 10 18.8
09.00-10.00 2,8 14 16,8
10.00-11.00 3,6 19 22,6
11.00-12.00 4,8 12 16,8
12.00-13.00 13,2 16 29,2

17
13.00-14.00 6,8 10 16,8
14.00-15.00 5,6 21 26,6
15.00-16.00 6,8 15 21,8
16.00-17.00 4,8 19 23,8
17.00-18.00 22 20 42
Total 95,2 160 255,2
Sumber: Gomes (2017)

Seperti yang dilihat pada tabel di atas, bangkitan pergerakan (dalam smp/jam)
yang dihasilkan oleh jenis kegiatan perkantoran pada jam-jam sibuk lebih besar
jumlahnya dibandingkan perdagangan dan jasa. Hal ini berarti bahwa pada
jamjam sibuk, secara keseluruhan bangkitan pergerakan yang disumbang oleh
jenis kegiatan perkantoran lebih besar dibandingkan bangkitan pergerakan yang
dihasilkan oleh kegiatan perdagangan dan jasa.

4.2 SOLUSI DAN PEMECAHAN MASALAH


Penelitian ini bertujuan mengupayakan peningkatan pelayanan jalan melalui skenario
yang tepat dan efektif dalam menangani masalah kemacetan di Koridor Urip
Sumoharjo Berdasarkan hasil simulasi yang diperoleh, skenario pergeseran moda
(mode shift) vanpool berhasil mengurangi nilai DS pada setiap jam kerja sedangkan
skenario carpool berhasil mengubah DS pada saat jam puncak, namun masih dinilai
kurang efektif dikarenakan penurunan yang terjadi tidak merata pada setiap jam kerja.
Sama halnya dengan pergeseran waktu (time shift) yakni flextime, hasil simulasi
menunjukkan adanya penurunan nilai DS atau meningkatkan LOS namun kurang
efektif, hal ini dikarenakan penurunan nilai DS dengan adanya flextime hanyapada
jam-jam tertentu dan menghasilkan penurunan nilai DS yang tidak signifikan. Oleh
karena itu, upaya yang perlu dilakukan dalam menangani masalah kemacetan di
Koridor Urip Sumoharjo adalah sebagai berikut:
1. Pada kegiatan perkantoran skenario yang dianggap tepat untuk diterapkan adalah
skenario vanpool terutama pada saat jam masuk kerja yakni jam 07:00 hingga
jam pulang kerja 17:00 dengan menggunakan kendaraan bersama (ridesharing)
yang disediakan oleh kegiatan perkantoran sehingga pengurangan terhadap
kendaraan pribadi untuk berangkat atau pulang dari tempat kerja dapat berkurang
dalam satuan smp/jam. Selain itu, waktu yang diatur secara flextime atau fleksibel
untuk para pekerja juga dapat diatur pada kegiatan perkantoran dengan tetap
mempertahankan prosedur waktu bekerja yakni 8 jam/hari kerja, sehingga
beberapa karyawan dapat bekerja pada jam sebagai berikut:
a. Apabila beberapa karyawan masuk kerja pada jam 07:00 pagi, maka jam
pulang karyawan tersebut harus pada jam 16:30;
b. Apabila beberapa karyawan masuk kerja pada jam 08:00 pagi, maka jam
pulang kerja karyawan tersebut harus pada jam 17:30;
c. Apabila beberapa karyawan masuk kerja pada jam 09:00, maka jam pulang
kerja karyawan tersebut harus pada jam 18:30.
2. Pada kegiatan perdagangan dan jasa skenario yang dianggap tepat untuk
diterapkan adalah skenario carpool dan skenario flextime, namun berdasarkan
hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan nilai DS dari kedua skenario
tersebut dinilai rendah dan hanya terjadi pada jam tertentu, oleh karena itu
diperlukan kombinasi antara kedua skenario untuk mengatur pola pergerakan
para pekerja rutin, berikut adalah upaya penerapannya.
a. Waktu berangkat kerja diberlakukan secara fleksibel (flextime), namun hanya
dibatasi waktu masuk secara fleksibel, mulai dari jam 07:00 hingga jam 09:00
pagi sama halnya dengan waktu pulang kerja (jam 16:00 hingga jam 18:30)

18
dapat diatur secara fleksibel (flextime) dengan tetap memperhitung 8 jam/hari
kerja.
b. Carpool dapat diterapkan pada setiap jam kerja, mulai dari jam 07:00 hingga
18:00, namun untuk menurunkan nilai DS pada saat jam puncak yakni antara
jam 13:00 hingga jam 14:00 diperlukan adanya kombinasi dari kedua
skenario (carpool dan flextime). Misalnya, beberapa pekerja yang berasal dari
lokasi berdekatan dan mempunyai flextime yang sama dapat melakukan
pergerakan menuju tempat kerja secara bersama-sama pada waktu yang
bersamaan.

4.3 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
1. Dari hasil identifikasi bangkitan pergerakan yang diperoleh melalui data yang
diperoleh dari penelitian sebelumnya, perhitungan jumlah bangkitan yang
dihasilkan dari masing-masing yakni kegiatan perkantoran dan kegiatan
perdagangan dan jasa dikonversi ke dalam satuan smp/jam. Dalam penelitian ini,
pergerakan yang diamati adalah pergerakan para pekerja rutin. Dari hasil
identifikasi ditemukan bahwa bangkitan yang dihasilkan oleh kegiatan
perkantoran lebih tinggi dibandingkan dengan bangkitan pergerakan yang
dihasilkan jenis kegiatan perdagangan dan jasa.
2. Perlu adanya dukungan regulasi dari pihak pemerintah dan sektor swasta dalam
penerapan skenario TDM yakni vanpool, carpool, flextime di koridor Urip
Sumoharjo. Selain itu, diperlukan penyesuaian lebih lanjut dalam penerapan
skenario TDM pada kedua jenis kegiatan (perkantoran dan perdagangan dan jasa)
dalam menangani jumlah pekerja dan kondisi wilayah serta dapat menghindari
resiko bertambahnya travel time.

19
DAFTAR PUSTAKA
Andrea Broaddus, Tood Litman . (2010). Manajemen Permintaan Transportasi.
Singapore: GTZ.

Badan Pusat Statistik Kota Makassar. (2020). Kecamatan Panakukkang Dalam Angka
2019. Makassar: Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. (2016). Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut
Kabupaten/Kota dan Jenis Kendaraan di Provinsi Sulawesi Selatan 2015.
Makassar: Badan Pusat Statistik

Gomes, E. F. (2017). Upaya Peningkatan Pelayanan Jalan Melalui Pengembangan


Skenario Transport Demand Management (TDM) di Koridor Nicolau Lobato
Kolmera, Dili, Timor-Leste (Doctoral dissertation, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember).

Kurniawan, Y.T, 2017. “Pertumbuhan Kendaraan di Makassar Rata-Rata 7 Persen Setiap


Tahun”. Warta Ekonomi, 13 Januari 2017 .http://wartaekonomi.co.id/read1273
2/pertumbuhankendaraan-di makassar-ratarata-7-persen-tiap-tahun.html. Diakses
pada tanggal 11 Juni 2020.

Iwan P.Kusumantoro, I., Martha, E., & Kipuw, D. (2009). Level of Effectiveness of the
Implementation of Transport Demand Management (TDM) Strategy in
Indonesian Cities. Proceedings of the Eastern Asia Society for Transportation Studies,
Vol.7.

Mahmood, M., Abdul, M., & Akhter, S. (2009). Traffic Management System and Travel
Demand Management (TDM) Strategies: Suggestions for Urban Cities in
Bangladesh. Asian Journal of Management and Humanity Sciences, Vol. 4, No. 2-3, pp.
161-178.

Makassar, P. K. (2004). Profil Kota Makassar.

Massara, A., Hatta, P. A. H. H., & Purbani, I. A. (2020). Model Bangkitan Pergerakan
Kendaraan (Studi Kasus Kawasan Kampus Universitas Muhammadiyah Makassar).
Jurnal Teknik Sipil MACCA, 5(1), 25-34.

Suryani, E. 2006. Pemodelan dan Simulasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Tamin. Ofyar, Z. 2000. Perencanaan dan Permodelan Transportasi.


Bandung: Penerbit ITB.

20

Anda mungkin juga menyukai