Anda di halaman 1dari 25

STEP 5

1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses pembentukan sperma (spermatogenesis)

2. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme ereksi dan ejakulasi

3. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan fungsi seksual pada pria

4. Mahasiswa mampu menjelaskan kontrol hormonal dalam fungsi reproduksi pria

Kata gk jelas :
Testes  testis
.......

1. proses pembentukan sperma (spermatogenesis)

Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus selama masa seksual aktif akibat stimulasi
oleh hormon gonadotropik hipofisis anterior, yang dimulai rata-rata pada umur 13 tahun dan
terus berlanjut hampir di seluruh sisa kehidupan, namun sangat menurun pada usia tua.
Pada tahap pertama
spermatogenesis, spermatogonia bermigrasi di antara sel-sel Sertoli menuju lumen sentral
tubulus seminiferus. Sel-sel Sertoli ini sangat besar, dengan pembungkus sitoplasma yang
sangat banyak yang mengelilingi spermatogonia yang sedang berkembang sampai ke bagian
sentral lumen tubulus.

Meiosis. Spermatogonia yang melewati sawar (lapisan pertahanan) masuk ke dalam lapisan
sel Sertoli akan dimodifikasi secara berkelanjutan dan membesar membentuk spermatosit
primer yang besar (Gambar 80-3). Setiap spermatosit, selanjutnya mengalami pembelahan
mitosis untuk membentuk dua spermatosit sekunder. Setelah beberapa hari, spermatosit
sekunder juga membelah menjadi spermatid yang akhirnya dimodifikasi menjadi
spermatozoa (sperma).
Selama masa perubahan dari tahap spermatosit ke tahap spermatid, ke-46 kromosom
spermatosit (23 pasang kromosom) terbagi sehingga 23 kromosom diberikan ke satu
spermatid dan 23 lainnya ke spermatid yang kedua. Keadaan ini juga memisahkan gen
kromosom sehingga hanya setengah karakteristik genetik bayi berasal dari ayah, sedangkan
setengah sisanya diturunkan dari oosit yang berasal dari ibu.
Seluruh proses spermatogenesis, dari
spermatogonia menjadi spermatozoa, membutuhkan waktu sekitar 74 hari.

Kromosom Seks. Pada setiap spermatogonium, satu dari ke-23 pasang kromosom
mengandung informasi genetik yang menentukan jenis kelamin masing-masing keturunan.
Pasangan ini terdiri atas satu kromosom X, disebut kromosom perempuan, dan satu
kromosom Y, disebut kromosom laki-laki. Selama pembelahan meiosis, kromosom Y laki-
laki pergi menuju sebuah spermatid yang kemudian menjadi sebuah sperma laki-laki, dan
kromosom X perempuan menuju spermatid lain yang akan menjadi sperma perempuan. Jenis
kelamin anak ditentukan oleh jenis sperma yang membuahi ovum.

Pembentukan Sperma. Ketika dibentuk pertama kali, spermatid masih memiliki sifat-sifat
yang lazim dari sel epiteloid, tetapi segera berdiferensiasi dan memanjang menjadi
spermatozoa. Seperti yang tampak di Gambar 80-4, masingmasing spermatozoa terdiri atas
kepala dan ekor. Kepala terdiri atas inti sel yang padat dengan hanya sedikit sitoplasma dan
lapisan membran sel di sekeliling permukaannya. Di bagian luar dua pertiga anterior kepala
terdapat selubung tebal yang disebut akrosom yang terutama dibentuk oleh aparatus Golgi.
Selubung ini mengandung sejumlah enzim yang serupa dengan enzim yang ditemukan pada
lisosom sel-sel yang khas, termasuk hialuronidase (yang dapat mencerna filamen
proteoglikan jaringan) dan enzim proteolitik yang sangat kuat (yang dapat mencerna protein).
Enzim ini berperan penting dalam memungkinkan sperma memasuki ovum dan
membuahinya.

Ekor sperma yang disebut flagelum, memiliki tiga komponen utama: (1) kerangka pusat yang
dibentuk dari 11 mikrotubulus, yang secara keseluruhan disebut aksonema struktur tersebut
serupa dengan struktur silia yang terdapat pada permukaan sel tipe lain yang telah dijelaskan
di Bab 2; (2) membran sel tipis yang menutupi aksonema; dan (3) sekelompok mitokondria
yang mengelilingi aksonema di bagian proksimal ekor (yang disebut badan ekor).

Gerakan maju-mundur ekor


(gerakan flagela) memberikan motilitas pada sperma. Gerakan ini disebabkan oleh gerakan
meluncur longitudinal secara ritmis di antara tubulus posterior dan anterior yang membentuk
aksonema. Energi untuk proses ini disuplai dalam bentuk adenosintrifosfat yang disintesis
oleh mitokondria di badan ekor.

Sperma normal bergerak dalam medium cair dengan kecepatan 1 sampai 4 mm/menit.
Kecepatan ini memungkinkan sperma bergerak melalui traktus genitalia perempuan untuk
mencapai ovum.

Faktor-Faktor Hormonal yang Merangsang Spermatogenesis


Peran hormon dalam reproduksi akan dibahas kemudian, tetapi pada saat ini, marilah kita
perhatikan bahwa terdapat beberapa hormon yang berperan penting dalam spermatogenesisi.
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Testosteron, yang disekresi oleh sel-sel Leydig yang terletak di interstisium testis (lihat
Gambar 80-2), penting bagi pertumbuhan dan pembelahan sel-sel germinal testis, yang
merupakan tahap pertama pembentukan sperma.

2. Hormon luteinisasi (luteinizing hormone), yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior,
merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi testosteron.

3. Hormon perangsang-folikel (FSH), yang juga disekresi oleh sel-sel kelenjar hipofisis
anterior, merangsang sel-sel Sertoli; tanpa rangsangan ini, pengubahan spermatid menjadi
sperma (proses spermiogenesis) tidak akan terjadi.

4. Estrogen, dibentuk dari testosteron oleh sel-sel Sertoli ketika sel Sertoli dirangsang oleh
hormon perangsang-folikel, mungkin juga penting untuk spermatogenesis.

5. Growth hormone (dan sebagian besar hormon tubuh lainnya) diperlukan untuk mengatur
latar belakang fungsi metabolisme testis. Hormon pertumbuhan secara spesifik meningkatkan
pembelahan awal spermatogonia; bila tidak terdapat hormon pertumbuhan, seperti pada
dwarfisme hipofisis, spermatogenesis sangat berkurang atau tidak ada sama sekali sehingga
menyebabkan infertilitas.

Pematangan Sperma di Epididimis

Setelah terbentuk di tubulus seminiferus, sperma membutuhkan waktu beberapa hari untuk
melewati tubulus epididimis yang panjangnya 6 m. Sperma yang bergerak dari tubulus
seminiferus dan dari bagian awal epididimidis merupakan sperma yang tidak motil, dan tidak
dapat membuahi ovum. Akan tetapi, setelah sperma berada dalam epididimis selama 18
sampai 24 jam, sperma memiliki kemampuan motilitas, walaupun beberapa protein
penghambat dalam cairan epididimis masih mencegah motilitas akhir sampai setelah
ejakulasi.

Penyimpanan Sperma di Testes. Kedua testes orang dewasa membentuk sperma dengan
jumlah mencapai 120 juta per hari. Sejumlah kecil sperma ini dapat disimpan di epididimis,
namun sebagian besar disimpan di vas deferens. Sperma tersebut dapat tetap disimpan
sehingga fertilitasnya dapat dipertahankan paling tidak selama sebulan. Selama waktu
tersebut, sperma-sperma itu dijaga pada keadaan yang sangat tidak aktif oleh berbagai zat
penghambat yang terdapat dalam sekresi duktus. Sebaliknya, pada aktivitas seks dan
ejakulasi yang tinggi, penyimpanan mungkin tidak lebih dari beberapa hari.

Setelah ejakulasi, sperma menjadi motil, dan juga mampu membuahi ovum, suatu proses
yang disebut pematangan. SeIsel Sertoli dan epitel epididimis menyekresi suatu cairan nutrisi
khusus yang diejakulasikan bersama dengan sperma. Cairan ini mengandung berbagai
hormon (termasuk testosteron dan estrogen), enzim, dan zat nutrisi khusus yang sangat
penting untuk pematangan sperma.

Fisiologi Sperma Matang. Sperma normal yang motil dan fertil, mampu menggerakkan flagel
melalui medium cair dengan kecepatan kira-kira 1 sampai 4 mm/menit. Aktivitas sperma
sangat meningkat dalam suatu medium yang netral dan sedikit basa, seperti yang terdapat
dalam semen yang diejakulasi, namun sangat menurun dalam medium yang sedikit asam.
Suatu medium yang sangat asam dapat mematikan sperma dengan cepat.

Aktivitas sperma meningkat dengan nyata bersamaan dengan peningkatan suhu, namun
kecepatan metabolismenya juga ikut meningkat, sehingga umur sperma berkurang. Walaupun
sperma dapat hidup selama beberapa minggu dalam duktus genitalia testis pada keadaan tidak
aktif, harapan hidup dari sperma yang diejakulasi di traktus genitalia perempuan hanya 1
sampai 2 hari.

(Guyton.ed 12th)

Spermatogenesis menghasilkan sperma motil yang sangat khusus dalam jumlah besar.

Di dalam testis terkemas sekitar 250 m (800 kaki) tubulus seminiferus penghasil sperma
(Gambar 20-7a, b, dan c). Di tubulus ini terdapat dua jenis sel yang secara fungsional
penting: sel germinativum, yang sebagian besar berada dalam berbagai tahap pembentukan
sperma, dan sel Sertaii, yang memberi dukungan krusial bagi spermatogenesis (Gambar 20-
7b dan d). Spermatogenesis adalah suatu proses kompleks ketika sel germinativum
primordial yang relatif belum dife-rensiasi (primitif atau awal), spermatogonia (masing-
masing mengandung komplemen diploid 46 kromosom), berproliferasi dan diubah menjadi
spermatozoa yang sangat khusus dan motil (sperma), masing-masing mengandung set haploid
23 kromosom yang diterima secara acak.

lapisan-lapisan sel germinativum dalam suatu progresi anatomik pembentukan sperma,


dimulai dari yang paling kurang berdiferensiasi di lapisan luar dan bergerak masuk melalui
berbagai tahap pembelahan ke lumen, tempat sperma yang sangat berdiferensiasi siap untuk
keluar dari testis (Gambar 20-7b, c, dan d). Spermatogenesis memerlukan waktu 64 hari
untuk pembentukan dari spermatogonium menjadi sperma matang. Setiap saat terdapat
berbagai tahapan spermatogenesis pada tubulus seminiferus yang berbeda. Setiap hari dapat
dihasilkan beberapa ratus juta sperma matang. Spermatogenesis mencakup tiga tahap utama:
proliferasi mitotik, meiosis, dan pengemasan

PROLIFERASI MITOTIK Spermatogonia yang terletak di lapisan terluar tubulus terus


menerus bermitosis, dengan semua sel baru yang mengandung komplemen lengkap 46
kromosom identik dengan sel induk. Proliferasi ini menghasilkan pasokan sel germinativum
baru yang terus menerus. Setelah pembelahan mitotik sebuah spermatogonium, salah satu sel
anak tetap di tepi luar tubulus sebagai spermatogonium tak-berdiferensiasi, sehingga turunan
sel germinativum tetap terpelihara. Sel anak yang lain mulai bergerak ke arah lumen sambil
menjalani berbagai tahap yang dibutuhkan untuk membentuk sperma, yang kemudian akan
dibebaskan ke dalann lumen. Pada manusia, sel anak penghasil sperma membelah secara
mitotik

dua kali lagi untuk menghasilkan empat spermatosit primer identik. Setelah pembelahan
mitotik terakhir, spermatosit primer masuk ke fase istirahat ketika kromosom-kromosom
terduplikasi dan untai-untai rangkap tersebut tetap menyatu sebagai persiapan untuk
pembelahan meiosis pertama.

MEIOSIS Selama meiosis, setiap spermatosit primer (dengan jumlah diploid 46 kromosom
rangkap) membentuk dua spermatosit sekunder (masing-masing dengan jumlah haploid 23
kromosom rangkap) selama pembelahan meiosis pertama, akhirnya menghasilkan empat
spermatid (masingmasing dengan 23 kromosom tunggal) akibat pembelahan meiosis kedua.

Setelah tahap spermatogenesis ini tidak terjadi pembelahan Iebih lanjut. Setiap spermatid
mengalami remodeling menjadi spermatozoa. Karena setiap spermatogonium secara mitotis
menghasilkan empat spermatosit primer dan setiap spermatosit primer secara meiosis
menghasilkan empat spermatid (calon spermatozoa), rangkaian spermatogenik pada manusia
secara teoretis menghasilkan 16 spermatozoa setiap kali spermatogonium memulai proses ini.
Namun, biasanya sebagian sel lenyap di berbagai tahap sehingga efisiensi produksi jarang
setinggi ini.

PENGEMASAN Bahkan setelah meiosis, spermatid secara struktural masih mirip


spermatogonia yang belum berdiferensiasi, kecuali bahwa komplemen kromosomnya kini
hanya separuh. Pembentukan spermatozoa yang sangat khusus dan bergerak dari spermatid
memerlukan proses remodeling, atau pengemasan, ekstensif elemen-elemen sel, suatu proses
yang dikenal sebagai spermiogenesis. Sperma pada hakikatnya adalah sel yang
"ditelanjangi", yaitu sebagian besar sitosol dan semua organel yang tidak dibutuhkan untuk
menyampaikan informasi genetik sperma ke ovum telah disingkirkan. Karena itu, sperma
dapat bergerak cepat, hanya membawa serta sedikit beban untuk melaksanakan pembuahan.

Spermatozoa memiliki tiga bagian (Gambar 20-9): kepala yang ditudungi oleh akrosom,
bagian tengah, dan ekor. Kepala terutama terdiri dari nukleus, yang mengandung informasi
genetik sperma. Akrosom, vesikel terisi enzim yang menutupi ujung kepala, digunakan
sebagai "bor enzim" untuk menembus ovum. Akrosom, suatu modifikasi lisosom (lihat h.
31), dibentuk oleh agregasi vesikel-vesikel yang diproduksi oleh komplek Golgiretikulum
endoplasma sebelum organel ini disingkirkan. Enzim akrosomal tetap inaktif hingga sperma
berkontak dengan telur, saat ketika enzim dilepaskan. Mobilitas spermatozoa dihasilkan oleh
suatu ekor panjang mirip cambuk (flagellum; lihat h.50) yang gerakannya dijalankan oleh
energi yang dihasilkan oleh mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah sperma.

Hingga pematangannya lengkap, sel-sel germinativum yang sedang berkembang dan berasal
dari satu spermatosit primer tetap dihubungkan oleh jembatan sitoplasma. Hubungan ini,
yang terjadi karena pembelahan sitoplasma yang tak sempurna, memungkinkan empat
sperma yang sedang terbentuk saling bertukar sitoplasma. Hubungan ini penting karena
kromosom X, tetapi bukan kromosom Y, mengandung gen-gen yang menyandi produk-
produk sel yang esensial bagi pembentukan sperma. (Sementara kromosom X besar
mengandung beberapa ribu gen, kromosom Y yang kecil hanya memiliki beberapa lusin,
dengan yang terpenting adalah gen SRY dan gen-gen lain yang berperan penting dalam
fertilitas pria.) Selama meiosis, separuh sperma menerima satu kromosom X dan separuh
lainnya satu kromosom Y. Tanpa adanya hubungan sitoplasma tersebut sehingga semua sel
haploid mendapat produkproduk yang disandi oleh kromosom X hingga pembentukan sperma
selesai, sperma yang mengandung kromosom Y tidak dapat terbentuk dan bertahan hidup.

(Sherwood. Ed 8th)

2. mekanisme ereksi dan ejakulasi

Ereksi Penis—Peran Saraf Parasimpatis. Ereksi penis merupakan efek pertama rangsang
seks laki-laki, dan derajat ereksi sebanding dengan derajat rangsang, baik rangsang psikis
atau fisik. Ereksi disebabkan oleh impuls saraf parasimpatis yang menjalar dari bagian sakral
medula spinalis melalui saraf-saraf pelvis ke penis. Berlawanan dengan sebagian besar serat
saraf parasimpatis lain, serat parasimpatis ini diyakini melepaskan oksida nitrat dan/atau
vasoactive intestinal peptide selain asetilkolin. Oksida nitrat mengaktifkan enzim guanilil
siklase, yang menyebabkan peningkatan pembentukan guanosin monofosfat (GMF) siklik
GMF siklik ini terutama melebarkan anteri-arteri penis, dan jalinan trabekula serat-serat otot
polos di jaringan erektil korpus kavernosa dan korpus spongiosium dalambatang penis,
seperti yang ditunjukkan di Gambar 80-6. Dengan melemasnya otot-otot polos pembuluh
darah, aliran darah ke dalam penis bertambah, menyebabkan lepasnya aksida nitrat dari sel-
sel endotelial pembuluh darah dan terjadinya vasodilatasi lebih lanjut.

Jaringan erektil penis ini terdiri atas sinusoid-sinusoid kavernosa yang lebar, yang normalnya
tidak terisi penuh dengan darah namun menjadi sangat berdilatasi saat darah arteri mengalir
dengan cepat ke dalamnya sementara sebagian aliran vena dibendung. Selain itu, badan
erektil, terutama kedua korpus kavernosa, dikelilingi oleh lapisan fibrosa yang kuat; oleh
karena itu, tekanan yang tinggi di dalam sinusoid menyebabkan penggembungan jaringan
erektil sedemikian sehingga penis menjadi keras dan memanjang. Ini adalah fenomena ereksi.

Lubrikasi adalah Suatu Fungsi Parasimpatis. Selama rangsangan seks, impuls


parasimpatis, selain meningkatkan ereksi, menyebabkan kelenjar uretra dan kelenjar
bulbouretra menyekresi lendir. Lendir ini mengalir melalui uretra selama hubungan seks
untuk membantu lubrikasi selama koitus. Akan tetapi, sebagian besar lubrikasi selama koitus
lebih dihasilkan oleh organ seks perempuan daripada laki-laki. Tanpa lubrikasi yang cukup,
kegiatan seks laki-laki jarang berhasil dengan baik karena hubungan seks tanpa lubrikasi
menyebabkan rasa nyeri mengiris, yang lebih menghambat daripada merangsang sensasi
seks.

Emisi dan Ejakulasi adalah Fungsi Saraf Simpatis. Emisi dan ejakulasi merupakan
puncak kegiatan seks laki-laki. Ketika rangsang seks menjadi amat kuat, pusat refleks medula
spinalis mulai melepas impuls simpatis yang meninggalkan medula spinalis pada segmen T-
12 samp-ai L-2 dan berjalan ke organ genital melalui pleksus hipogastrik dan pleksus saraf
simpatis pelvis untuk mengawali emisi, awal dari ejakulasi.

Emisi dimulai dengan kontraksi vas deferens dan ampula yang menyebabkan keluarnya
sperma ke dalam uretra interna. Kemudian, kontraksi lapisan otot kelenjar prostat yang
diikuti dengan kontraksi vesikula seminalis, akan menyemprotkan cairan prostat dan cairan
seminalis ke dalam uretra juga, mendorong sperma lebih jauh. Semua cairan ini bercampur di
uretra interna dengan mukus yang telah disekresi oleh kelenjar bulbouretra untuk membentuk
semen. Proses yang berlangsung sampai saat ini disebut emisi.
Pengisian uretra interna dengan semen mengeluarkan sinyal sensoris yang dihantarkan
melalui nervus pudendus ke regio sakral medula spinalis, yang menimbulkan rasa penuh yang
mendadak di organ genitalia interna. Selain itu, sinyal sensoris ini makin merangsang
kontraksi ritmis organ genitalia interna dan menyebabkan kontraksi otot-otot
iskhiokavernosus dan bulbo kavernosus yang menekan dasar jaringan erektil penis. Keadaan
ini menyebabkan peningkatan tekanan yang ritmis dan bergelombang di kedua jaringan
erektil penis dan di duktus genital serta uretra, yang "mengejakulasikan" semen dan uretra ke
luar. Proses akhir ini disebut ejakulasi. Sementara itu, kontraksi ritmis otot pelvis dan bahkan
kontraksi beberapa otot penyangga tubuh menyebabkan gerakan mendorong dari pelvis dan
penis, yang juga membantu mendorong semen ke bagian terdalam vagina dan bahkan
mungkin sedikit ke dalam serviks uterus.

Seluruh periode emisi dan ejakulasi ini disebut orgasme laki-laki. Pada akhir proses tersebut,
gairah seks laki-laki menghilang hampir sepenuhnya dalam waktu 1 sampai 2 menit, dan
ereksi menghilang, suatu proses yang disebut resolusi.

(Guyton. Ed 12th)

Ereksi terjadi karena vasokongesti penis.

Ereksi dicapai melalui pembengkakan penis oleh darah. Penis hampir seluruhnya terdiri dari
jaringan erektil yang dibentuk oleh tiga kolom atau korda rongga-rongga vaskular mirip
spons yang terbentang di sepanjang organ ini (Gambar 20- 12a). Tanpa rangsangan seks,
jaringan erektil hanya mengandung sedikit darah karena arteriol yang mendarahi rongga-
rongga vaskular ini berkonstriksi. Akibatnya, penis tetap kecil dan lunak. Selama rangsangan
seks, arteriol-arteriol ini secara refleks melebar dan jaringan erektil terisi oleh darah sehingga
penis bertambah panjang dan lebar serta menjadi kaku. Vena-vena yang mengalirkan darah
dari jaringan erektil penis tertekan secara mekanis oleh pembengkakan dan ekspansi rongga-
rongga vaskular ini sehingga aliran keluar vena berkurang dan hal ini ikut berkontribusi
dalam penumpukan darah, atau vasokongesti. Respons vaskular lokal ini mengubah penis
menjadi organ yang mengeras dan memanjang yang mampu menembus vagina.

REFLEKS EREKSI Refleks ereksi adalah suatu refleks spinal yang dipicu oleh stimulasi
mekanoreseptor yang sangat sensitif di glans penis, yang menutupi ujung penis. Di korda
spinalis bagian bawah terdapat pusat pembentuk ereksi (erectiongenerating center).
Stimulasi taktil pada glans akan secara refleks memicu, melalui pusat ini, peningkatan
aktivitas vasodilatasi parasimpatis dan penurunan aktivitas vasokonstriksi simpatis ke
arteriol-arteriol penis. Akibatnya adalah vasodilatasi hebat dan cepat arteriol-arteriol tersebut
dan ereksi (Gambar 20-13). Selama lengkung refleks spinal utuh, ereksi tetap dapat terjadi
bahkan pada pria yang lumpuh akibat cedera korda spinalis yang lebih tinggi.

Vasodilatasi yang dipicu oleh aktivitas parasimpatis ini adalah contoh kontrol parasimpatis
langsung atas diameter pembuluh darah di tubuh. Stimulasi parasimpatis menyebabkan
relaksasi otot polos arteriol penis oleh nitrat oksida, yang menyebabkan vasodilatasi arteriol
sebagai respons terhadap perubahan jaringan lokal di bagian lain tubuh (lihat h. 374). Arteriol
biasanya hanya disarafi oleh sistem simpatis, dengan peningkatan aktivitas simpatis
menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan aktivitas simpatis menyebabkan vasodilatasi
(lihat h. 376 dan 377). Stimulasi parasimpatis dan inhibisi simpatis secara bersamaan pada
arteriol penis menyebabkan vasodilatasi yang lebih cepat dan kuat dibandingkan yang
mungkin terjadi di arteriol lain yang hanya mendapat persarafan simpatis. Melalui cara
peningkatan cepat aliran darah ke dalam penis yang efisien ini, penis dapat mengalami ereksi
sempurna hanya dalam hitungan 5 detik. Pada saat yang sama, impuls parasimpatis
mendorong sekresi mukus pelumas dari kelenjar bulbouretra dan kelenjar uretra sebagai
persiapan untuk koitus.

Berbagai daerah di otak dapat memengaruhi respons seks pria. Bagian-bagian di otak yang
memengaruhi ereksi tampaknya saling berkaitan erat dan berfungsi sebagai suatu kesatuan
untuk mempermudah atau menghambat refleks ereksi spinal dasar, bergantung pada situasi
sesaat. Salah satu contoh fasilitasi, rangsangan psikis, misalnya melihat sesuatu yang
merangsang syahwat, dapat memicu ereksi meskipun tidak terjadi stimulasi taktil sama
sekali pada penis. Kegagalan mengalami ereksi meskipun mendapat rangsangan yang sesuai
dapat disebabkan oleh inhibisi refleks ereksi oleh pusat-pusat yang lebih tinggi di otak.
Marilah kita bahas disfungsi ereksi secara lebih terperinci.

REFLEKSI EREKSI Pola kegagalan mencapai atau mempertahankan ereksi yang sesuai
untuk hubungan seksual disfungsi ereksi (DE) atau impotensi-dapat disebabkan oleh faktor
psikologik atau fisik. Mengalami kegagalan ereksi sesekali bukan berarti impotensi, tetapi
seorang pria yang terlalu cemas tentang kemampuannya melakukan tindakan seks mungkin
akan benar-benar mengalaminya di kemudian hari. Rasa cemas dapat menyebabkan DE, yang
semakin menambah tingkat kecemasan pria yang bersangkutan sehingga masalah menjadi
semakin parah. Impotensi juga dapat ditimbulkan oleh keterbatasan fisik,termasuk kerusakan
saraf, obat tertentu yang mengganggu fungsi autonom, dan gangguan aliran darah ke penis.

DE banyak dijumpai. Lebih dari 50% pria berusia antara 40 dan 70 tahun sedikit banyak
mengalami impotensi, dan angka ini naik mendekati 70% pada usia 70 tahun. Karena itu,
tidak mengherankan bahwa lebih banyak resep dituliskan untuk obat terkenal sildenafil
(Viagra) selama tahun pertama obat tersebut dipasarkan setelah disetujui pada tahun 1998
untuk mengobati disfungsi ereksi dibandingkan dengan semua obat baru dalam sejarah.
Sildenafil tidak menimbulkan ereksi, tetapi obat ini memperkuat dan memperlama respons
ereksi yang dipicu oleh rangsangan biasa. Berikut cara bagaimana obat tersebut bekerja:
Nitrat oksida yang dibebaskan sebagai respons terhadap stimulasi parasimpatis mengaktifkan
enzim terikat-membran, guanilat siklase, di sekitar sel otot polos arteriol. Enzim ini
mengaktifkan guanosin monofosfat siklik (cGMP), suatu caraka kimiawi kedua intrasel
serupa dengan cAMP. GMP siklik, pada gilirannya, menyebabkan relaksasi otot polos arteriol
penis, menyebabkan vasodilatasi lokal yang mencolok. Pada keadaan normal, setelah
diaktifkan dan menyebabkan ereksi, caraka kedua ini diuraikan oleh enzim intrasel
fosfodieserase 5 (PDE5). Sildenafil menghambat PDE5. Akibatnya, cGMP tetap aktif lebih
lama sehingga vasodilatasi arteriol penis berlanjut dan ereksi dipertahankan cukup lama bagi
pria yang semula impoten untuk melaksanakan tindakan seks. Seperti menekan pedal pada
piano tidak akan menyebabkan suatu nada dimainkan, tetapi akan memperlama nada yang
sedang dimainkan, sildenafil tidak dapat menyebabkan pelepasan nitrat oksida dan
pengaktifan cGMP penyebab ereksi, tetapi obat ini dapat memperlaama respons yang terjadi.
Obat ini tidak bermanfaat bagi mereka yang tidak mengalami disfungsi ereksi, tetapi obat ini
memiliki angka keberhasilan yang tinggi di antara para pengidap kelainan ini. Efek samping
terbatas karena obat terkonsentrasi di penis sehingga dampak di organ lain kecil.

Ejakulasi mencakup emisi dan ekspulsi.

Komponen kedua pada tindakan seks pria adalah ejakulasi. Seperti ereksi, ejakulasi adalah
suatu refleks spinal. Rangsangan taktil dan psikis yang sama yang menyebabkan ereksi akan
menyebabkan ejakulasi ketika tingkat eksitasi meningkat mencapai suatu puncak kritis.
Respons ejakulasi keseluruhan terjadi dalam dua fase: emisi dan ekspulsi (lihat Tabel 20-4).

EMISI Pertama, impuls simpatis menyebabkan rangkaian kontraksi otot polos di prostat,
saluran reproduksi, dan vesikula seminalis. Aktivitas kontraktil ini mengalirkan cairan
prostat, kemudian sperma, dan akhirnya cairan vesikula seminalis (secara kolektif disebut
semen) ke dalam uretra. Fase refleks ejakulasi ini disebut emisi. Selama waktu ini, sfingter di
leher kandung kemih tertutup erat untuk mencegah semen masuk ke kandung kemih dan
urine keluar bersama dengan ejakulat melalui uretra.

EKSPULSI Kedua, pengisian uretra oleh semen memicu impuls saraf yang mengaktifkan
serangkaian otot rangka di pangkal penis. Kontraksi ritmik otot-otot ini terjadi pada interval
0,8 detik dan meningkatkan tekanan di dalam penis, memaksa semen keluar melalui uretra ke
eksterior. Ini adalah fase ekspulsi ejakulasi.

Orgasme dan resolusi menuntaskan siklus respons seksual.

Fase ketiga siklus respons seksual, orgasme, menyertai bagian ekspulsi respons ejakulasi dan
diikuti fase resolusi siklus ini.

(Sherwood. Ed 8th)

3. perkembangan fungsi seksual pada pria

Pengaruh Testosteron pada Perkembangan Sifat Kelamin Primer danSekunder Orang


Dewasa

Setelah pubertas, peningkatan sekresi testosteron menyebabkan penis, skrotum, dan testes
membesar kira-kira delapan kali lipat sebelum mencapai usia 20 tahun. Selain itu, testosteron
menyebabkan "sifat kelamin sekunder" laki-laki berkembang, dimulai saat pubertas dan
berakhir pada maturitas. Sifat seks sekunder ini, selain organ seks, membedakan laki-laki dan
perempuan sebagai berikut.

Pengaruh pada Distribusi Rambut Tubuh. Testosteron menimbulkan pertumbuhan rambut


(1) di pubis, (2) ke atas di sepanjang linea alba kadang-kadang sampai ke umbilikus dan di
atasnya, (3) pada wajah, (4) biasanya pada dada, dan (5) kurang sering pada bagian tubuh
yang lain, seperti punggung. Testosteron juga menyebabkan pertumbuhan rambut yang
berlebih di bagian tubuh lainnya.
Pola Kebotakan Laki-laki. Testosteron mengurangi pertumbuhan rambut di puncak kepala,
seorang laki-laki dengan testes yang tidak berfungsi, tidak akan menjadi botak. Akan tetapi,
banyak laki-laki jantan tidak menjadi botak, karena kebotakan merupakan akibat dari dua
faktor; pertama, latar belakang genetik untuk mengalami kebotakan dan kedua, memperkuat
latar belakang genetik ini, yaitu banyaknya hormon androgen. Perempuan dengan latar
belakang genetik yang sesuai dan menderita tumor androgenik dalam jangka panjang menjadi
botak dengan cara yang sama dengan laki-laki.

Pengaruh pada Suara. Testosteron yang disekresi oleh testes atau disuntikkan ke dalam
tubuh akan menyebabkan hipertrofi mukosa laring dan pembesaran laring. Pengaruhnya
mula-mula menyebabkan suara agak sumbang, "serak", namun secara bertahap berubah
menjadi suara maskulin dewasa yang khas.

Testosteron Meningkatkan Ketebalan Kulit, dan Dapat Memicu Pertumbuhan Jerawat.


Testosteron meningkatkan ketebalan kulit di seluruh tubuh dan meningkatkan kekasaran
jaringan subkutan. Testosteron juga meningkatkan sekresi beberapa atau mungkin semua
kelenjar sebasea tubuh. Hal yang paling penting adalah kelebihan sekresi oleh kelenjar
sebasea wajah, karena hal tersebut dapat menyebabkan jerawat. Oleh karena itu, jerawat
merupakan salah satu gambaran umum laki-laki remaja ketika tubuh pertama kali mengenali
peningkatan testosteron. Setelah beberapa tahun mengalami sekresi testosteron, kulit
biasanya beradaptasi terhadap testosteron sedemikian rupa sehingga memungkinkan kulit
mengatasi jerawat.

Testosteron Meningkatkan Pembentukan Protein dan Perkembangan Otot. Salah satu


ciri laki-laki yang paling penting adalah peningkatan perkembangan otot setelah pubertas,
rata-rata peningkatan massa otot sekitar 50 persen lebih dari perempuan. Peningkatan massa
otot ini juga berkaitan juga dengan peningkatan protein di bagian lain tubuh yang tidak
berotot. Banyak perubahan pada kulit disebabkan oleh penumpukan protein di kulit, dan
perubahan pada suara juga disebabkan sebagian oleh fungsi anabolik protein testosteron.

Oleh karena pengaruh testosteron dan androgen lain yang besar terhadap otot tubuh,
androgen sintetik digunakan secara luas oleh para atlet untuk meningkatkan kinerja otot
mereka. Praktik seperti ini harus sangat dicela karena efek berbahaya jangka panjang akibat
kelebihan androgen, seperti yang dibahas di Bab 82 terkait fisiologi olahraga. Testosteron
atau androgen sintetik kadang kadang juga digunakan di usia tua sebagai "hormon remaja "
untuk memperbaiki kekuatan dan tenaga otot. namun hasilnya masih dipertanyakan.

Testosteron Meningkatkan Matriks Tulang dan Menimbulkan Retensi Kalsium. Setelah


peningkatan besar sirkulasi testosteron yang terjadi saat pubertas (atau setelah penyuntikan
testosteron jangka panjang), tulang menjadi sangat tebal dan menyimpan sejumlah besar
garam kalsium tambahan. Jadi, testosteron meningkatkan jumlah total matriks tulang dan
menyebabkan retensi kalsium. Peningkatan matriks tulang diyakini akibat dari fungsi
anabolik protein umum testosteron dan penyimpanan garam-garam kalsium sebagai respons
terhadap peningkatan protein.
Testosteron memberikan pengaruh khusus pada panggul yang menyebabkan (1) penyempitan
pintu atas (outlet) panggul, (2) memanjangkan panggul, (3) menyebabkan panggul berbentuk
terowongan dan bukan berbentuk ovoid yang lebar seperti panggul perempuan, dan (4) sangat
meningkatkan kekuatan seluruh panggul sebagai penahan beban. Tanpa testosteron, panggul
laki-laki berkembang menjadi panggul yang menyerupai panggul perempuan.

Oleh karena kemampuannya untuk meningkatkan ukuran dan kekuatan tulang, testosteron
kadang-kadang digunakan pada lansia untuk mengobati osteoporosis. Bila sejumlah besar
testosteron (atau androgen lain) disekresi secara abnormal pada anak yang masih
berkembang, kecepatan pertumbuhan tulang meningkat dengan tajam, sehingga
menyebabkan penambahan sangat cepat tinggi total tubuh. Akan tetapi, testosteron juga
menyebabkan penyatuan epifisis tulang panjang dengan batang tulang pada usia muda. Oleh
karena itu, meskipun terjadi pertumbuhan tulang yang cepat, penyatuan dini epifisis ini
mencegah orang tersebut tumbuh setinggi yang seharusnya seandainya testosteron tidak
disekresi sama sekali. Bahkan pada laki-laki normal, tinggi badan dewasa sedikit lebih rendah
daripada tinggi badan laki laki yang dikastrasi (kebiri) sebelum pubertas.

Testosteron Meningkatkan Laju Metabolisme Basal. Penyuntikan sejumlah besar


testosteron dapat meningkatkan laju metabolisme basal sampai 15 persen. Selain itu, bahkan
jumlah testosteron yang biasa disekresi oleh testes selama masa remaja dan dewasa muda
meningkatkan laju metabolisme sekitar 5 sampai 10 persen di atas nilai yang didapat
seandainya testes tidak aktif Peningkatan laju metabolisme tersebut mungkin disebabkan oleh
pengaruh tidak langsung testosteron terhadap anabolisme protein, dengan peningkatan
kuantitas protein terutama enzim-meningkatkan aktivitas semua sel.

Testosteron Meningkatkan Jumlah Sel Darah Merah. Ketika testosteron dalam jumlah
normal disuntikkan kepada orang dewasa yang dikastrasi, jumlah sel darah merah per
milimeter kubik meningkat 15 sampai 20 persen. Selain itu, rata-rata laki-laki memiliki
700.000 sel darah merah/mm' lebih banyak daripada rata-rata perempuan. Meskipun ada
hubungan kuat antara testosteron dan peningkatan hematokrit, testosteron tampaknya tidak
langsung meningkatkan kadar eritropoetin atau mempunyai efek langsung pada pembentukan
sel darah merah. Efek testosteron dalam meningkatkan pembentukan sel darah merah
mungkin paling tidak, sebagiannya tidak langsung, disebabkan oleh peningkatan laju
metabolisme yang terjadi setelah pemberian testosteron.

Pengaruh pada Elektrolit dan Keseimbangan Cairan. Seperti yang telah dijelaskan di Bab
75, banyak hormon steroid dapat meningkatkan reabsorbsi natrium di tubulus distal ginjal.
Testosteron juga memiliki efek tersebut tetapi hanya sedikit bila dibandingkan dengan
pengaruh mineralokortikoid adrenal Meskipun demikian, setelah pubertas, darah dan volume
cairan ekstraseluler pada laki-laki meningkat sesuai penambahan berat badan sebesar 5
sampai 10 persen.

Pubertas dan Pengaturan Awalnya

Awal mula timbulnya pubertas telah menjadi misteri sejak lama tetapi kini sudah ditetapkan
bahwa selama masa kanak-kanak hipotalamus tidak menyekrest GnRH dalam jumlah yang
bermakna. Salah satu alasannya adalah bahwa selama masa kanak-kanak, sekresi hormon
steroid seks yang terkecil sudah menimbulkan efek penghambat yang kuat terhadap sekresi
GnRH oleh hipotalamus Namun, oleh sebab yang tidak diketahui, pada saat pubertas, sekresi
GnRH hipotalamus mampu melawan inhibisi masa kanak-kanak, dan masa seks dewasa pun
dimulai.

(Guyton. Ed 13th)

Pada mudigah, testis berkembang dari gonadal ridge wang terletak di bagian belakang rongga
abdomen. Pada akhir kehidupan janin, testis mulai turun secara perlahan, keluar rongga
abdomen melalui kanalis inguinalis ke dalam skrotum, satu testis jatuh ke masing-masing
kantong skrotum. Testosteron dari testis janin memicu turunnya testis ke dalam skrotum.
Setelah testis turun ke dalam skrotum, lubang dalam dinding abdomen tempat lewatnya
kanalis inguinalis tertutup erat mengelilingi duktus pengangkut-sperma dan pembuluh darah
yang menyilang di antara masing-masing testis dan rongga abdomen. Penutupan tak
sempurna atau rupturnya lubang ini memungkinkan visera abdomen keluar, menimbulkan
hernia inguinalis.

Meskipun tedapat sedikit variasi wak tu, penurunan testis biasanya selesai pada bulan ketujuh
gestasi. Karena itu, penurunan sudah sempurna pada 98% bayi laki-laki aterm.

Namun, pada sebagian besar bayi laki-laki prematur testis masih berada di dalam kanalis
inguinalis saat lahir. Pada sebagian besar kasus testis yang tertahan, penurunan terjadi secara
alami sebelum pubertas atau dapat dirangsang dengan pemberian testosteron. Meskipun
jarang, testis bisa tetap tidak turun hingga dewasa, suatu keadaan yang disebut
kriptorkidismus (crypt berarti "tersembunyi"; orchid berarti “testis").

Sel Leydig testis menyekresikan hormon maskulinisasi testosteron


Testis memiliki fungsi ganda yaitu menghasilkan sperma dan menyekresikan testosteron.
Sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferus yang sangat berkelok-kelok dan
menjadi tempat terjadinya spermatogenesis (Gambar 20-6a). Sel endokrin yang menghasilkan
testosteron-sel Leydig, atau sel interstisium-terletak di jaringan ikat jaringan interstisium) di
antara tubulus-tubulus seminiferus (Gambar 20-6b). Karena itu, bagian-bagian testis yang
menghasilkan sperma dan mengeluarkan testosteron berbeda secara struktural dan fungsional.

Testosteron adalah suatu hormon steroid yang berasal dari molekul prekursor kolesterol,
demikian juga hormon seks wanita, estrogen dan progesteron (lihat Gambar 19-6, h. 794).
Setelah diproduksi, sebagian testosteron disekresikan ke dalam darah, yang kemudian
diangkut ke tempat kerjanya. Sebagian besar testosteron yang baru terbentuk mengalir ke
lumen tubulus seminiferus, tempat hormon ini ber peran penting dalam produksi sperma.

Untuk menjalankan efeknya, testosteron berikatan dengan reseptor androgen di sitoplasma sel
target. Kompleks reseptor-androgen bergerak ke nukleus, tempat kompleks itu terikat dengan
elemen respons androgen pada DNA, menyebabkan transkripsi gen yang mengarahkan
sintesis suatu protein baru untuk melaksanakan respons seluler yang diinginkan.

Sebagian besar kerja testosteron nantinya berfungsi untuk menjamin penyaluran sperma
kepada wanita. Efek testosteron dapat dikelompokkan menjadi lima kategori: (1) efek pada
sistem reproduksi sebelum lahir, (2) efek pada jaringan spesifik-seks setelah lahir, (3) efek
lain terkait-reproduksi, (4) efek pada karakteristik seksual sekunder, dan (5) efek non
reproduksi (Tabel 20-1).

Efek pada Sistem Reproduksi Sebelum Lahir Seperti telah dijelaskan sebelum lahir,
sekresi testosteron oleh sel Leydig testis janin menyebabkan maskulinisasi saluran reproduksi
dan genitalia ekster na serta mendorong penurunan testis ke dalam skrotum. Setelah lahir,
sekresi testosteron berhenti, dan testis serta sistem reproduksi lainnya tetap kecil dan non-
fungsional hingga pubertas.

Efek pada Jaringan Spesifik-Seks Setelah Lahir Pubertas adalah masa kegairahan dan
pema tangan sistem reproduksi yang semula non-fung- sional, memuncak pada kematangan
seksual dan kemampuan bereproduksi. Masa ini biasanya dimulai antara usia 10 dan 14 tahun
pada pria (secara rerata, pada wanita lebih dini, antara usia 9 dan 13 tahun). Pubertas, yang
biasanya berlangsung tiga hingga lima tahun, mencakup serangkaian peristiwa endokrin,
fisik, dan perilaku yang kompleks. Remaja adalah konsep yang lebih luas yang merujuk
kepada keseluruhan periode transisi antara anak dan dewasa, bukan sekedar pematangan seks.
Pada kedua jenis kelamin, perubahan reproduksi yang terjadi selama pubertas adalah: (1)
pembesaran dan maturasi gonad, (2) perkembangan karakteristik seksual sekunder, (3)
tercapainya fertilitas (produksi gamet), (4) pertumbuhan dan maturasi saluran reproduksi, dan
(5) pencapaian libido (dorongan seks). Juga terjadi lonjakan pertumbuhan pubertas.

Pada pubertas pria, sel-sel Leydig mulai mengeluarkan testosteron kembali. Testosteron
bertang- gung jawab dalam pertumbuhan dan pematangan seluruh sistem reproduksi pria. Di
bawah pengaruh lonjakan sekresi testosteron selama pubertas, testis membesar dan mulai
menghasilkan sperma untuk pertama kali, kelenjar seks aksesori membesar dan menjadi
sekretorik, sementara penis dan skrotum membesar.

Sekresi testosteron yang terus-menerus esensial bagi spermatogenesis dan pemeliharaan


saluran re produksi pria yang matang selama masa dewasa. Sekali dimulai saat pubertas,
Sekresi testosteron dan spermatogenesis, akan berlanjut seumur hidup meskipun efisiensi
testis turun secara bertahap setelah usia 45 hingga 50 tahun. Namun, pria pada usia 70-an dan
di atasnya dapat terus menikmati kehidupan seks yang aktif, dan sebagian bahkan menjadi
ayah pada usia setua ini. Penurunan bertahap pada kadar sirkulasi testosteron dan pada
produksi sperma bukan disebabkan berkurangnya stimulasi testis, melainkan dari perubahan
degeneratif terkait penuaan yang terjadi di pembuluh-pembuluh darah kecil pada testis.
Penurunan bertahap terkait-usia ini sering disalah artikan sebagai "menopause pria" atau
"andropause", namun sebenarnya tidak sama dengan menopause wanita, yang telah
diprogram sebelumnya dan meng akibatkan berakhirnya kemampuan reproduksi secara utuh
dan mendadak. Penurunan androgen pada pria lebih tepat dinamai sebagai androgen
deficiency in aging males (ADAM).

Setelah kastrasi (pengangkatan testis melalui operasi) atau kegagalan testis akibat penyakit,
organ-organ seks lain mengalami regresi pada ukuran dan fungsi.

Efek Terkait-Reproduksi Lainnya Testosteron mengatur perkembangan libido seks saat


pubertas dan membantu memelihara dorongan seks pada pria dewasa. Stimulasi perilaku ini
oleh testosteron ini penting untuk mempermudah penyaluran sperma kepada wanita. Pada
manusia, libido juga dipengaruhi oleh banyak faktor emosional dan sosial yang saling
berhubungan.

Pada fungsi terkait-reproduksi lainnya, testosteron ikut berperan dalam kontrol umpan-balik
negatif normal sekresi hormon gonadotropin oleh hipofisis anterior, suatu topik yang akan
dibahas lebih dalam kemudian.

Efek pada Karakteristik Seks Sekunder Pembentukan dan pemeliharaan semua


karakteristik seks sekunder pada pria bergantung pada testosteron. Karakteristik non-
reproduktif pria yang dipicu oleh testosteron ini mencakup (1) pola pertumbuhan rambut pria
(misalnya, rambut dada dan janggut dan kebotakan, pada pria dengan predisposisi genetik):
(2) suara berat akibat pembesaran laring dan penebalan pita suara: (3) kulit tebal; dan (4)
konfigurasi tubuh pria (misalnva, bahu yang lebar dan otot lengan dan tungkai yang besar)
akibat pengendapan protein. Pria yang dikastrasi sebelum pubertas (kasim atau eunuch) tidak
mengalami pematangan seksual dan tidak membentuk karakteristik seks sekunder.

Efek Non-Reproduktif Testosteron memiliki beberapa efek penting yang tidak berkaitan
dengan reproduksi. Hormon ini memiliki efek anabolik (sintesis) protein umum, sehingga
fisik pria lebih berotot. Hormon ini juga berperan dalam lonjakan pertumbuhan pubertas.
Ironisnya, testosteron bukan hanva menstimulasi pertumbuhan tulang, tetapi juga mencegah
pertumbuhan lebih lanjut dengan menutup ujung-ujung tulang panjang yang sedang tumbuh
(yaitu, osifikasi, atau "penutupan" lempeng epifisis: lihat h.775).

Pada hewan, testosteron memicu perilaku agresif, namun pengaruhnya pada perilaku manusia
selain perilaku seksual masih belum diketahui. Meskipun sebagian atlet dan binaragawan
yang (secara ilegal) memakai steroid androgenik anabolik mirip testosteron untuk
meningkatkan massa otot memperlihatkan perilaku yang lebih agresif (lihat h. 329), masih
belum jelas hingga seberapa jauh perbedaan perilaku umum antar jenis kelamin yang dipicu
oleh hormon atau hasil dari pengaruh sosial.

Konversi Testosteron menjadi Estrogen pada Pria Meskipun secara klasik testosteron
dianggap sebagai hormon seks pria dan estrogen sebagai hormon seks wanita, perbedaan
keduanya tidak sejelas seperti dugaan semula. Selain sejumlah kecil estrogen vang dihasilkan
oleh korteks adrenal (lihat h. 796), sebagian kecil testosteron yang disekresikan oleh testis
diubah menjadi estrogen di luar testis oleh enzim aromatase, yang terdistribusi luas, tetapi
paling banyak di jaringan adiposa. (Ingat bahwa sebagian testosteron yang disekresikan
tersebut juga dikonversi menjadi dihidrotestosteron. Tidak seperti testosteron, DHT tidak
dapat dikonversi menjadi estrogen.) Terkadang sulit untuk membedakan antara efek
testosteron dengan testosteron yang telah berubah menjadi estrogen. Sebagai contoh,
penutupan lempeng epi fisis pada pria bukan diinduksi oleh testosteron sen diri, tetapi oleh
testosteron yang diubah menjadi estrogen melalui aromatisasi. Reseptor estrogen telah
teridentifikasi pada testis, prostat, tulang, dan bagian lain tubuh pria. Estrogen bahkan
berperan penting dalam kesehatan reproduksi pria; misalnya, estrogen penting pada
spermatogenesis dan, yang mengejutkan, turut berperan pada heteroseksualitas pria.
Kedalaman, luas, dan mekanisme kerja estrogen pada pria baru mulai diteliti. (Demikian
juga, selain hormon androgen lemah DHEA yang dihasilkan oleh korteks adrenal pada kedua
jenis kelamin, ovarium wanita mengeluarkan sejumlah kecil testosteron, yang fungsinya
masih belum jelas.)

(Sherwood. Ed 9th)

4. kontrol hormonal dalam fungsi reproduksi pria

Sekresi Testosteron oleh Sel-Sel Intertisial Leydig di Testes. Testes menyekresi beberapa
hormon seks laki laki, yang secara keseluruhan disebut androgen, meliputi testosteron,
dihidrotestosteron, dan androstenedion. Jumlah testosteron jauh lebih banyak dari yang lain
sehingga dapat dianggap sebagai hormon testis utama, banyak testosteron akhirnya diubah
menjadi hormon dihidrotestosteron yang lebih aktif di jaringan sasaran.
Testosteron dibentuk oleh sel-sel intertisial Leydig, yang terletak di celah-celah antar-tubulus
seminiferus dan kira-kira merupakan 20 persen massa testes dewasa, seperti tampak pada
Gambar 78-7. Sel-sel Leydig hampir tidak ditemukan di testes pada masa kanak-kanak, saat
testis hampir tidak menyekresi testosteron, tetapi hormon tersebut ada dalam jumlah yang
banyak pada bayi laki laki yang baru lahir selama beberapa bulan pertama kelahiran dan pada
laki-laki dewasa setelah pubertas; pada kedua masa tersebut, testes menyekresi sejumlah
besar testosteron. Selanjutnya, ketika tumor berkembang dari sel-sel intertisial Leydig,
sejumlah besar testosteron disekresi. Akhirnya, ketika epitel germinativum testes rusak akibat
terapi dengan sinar-x atau panas yang berlebihan, sel-sel Leydig yang tidak begitu mudah
rusak, sering kali terus membentuk testosteron.

MEKANISME INTRASELULER DASAR DARI KERJA TESTOSTERON

Sebagian besar efek testosteron pada dasarnya dihasilkan dari peningkatan laju pembentukan
protein di sel sasaran. Fenomena ini telah dipelajari secara mendalam di kelenjar prostat,
yang merupakan salah satu organ yang paling dipengaruhi oleh testosteron. Dalam kelenjar
ini, testosteron memasuki sel prostat dalam waktu beberapa menit setelah disekresi.
Kemudian testosteron paling sering diubah, di bawah pengaruh enzim intrasel 5a-reduktase,
menjadi dihidrotestosteron, yang kemudian berikatan dengan suatu "protein reseptor"
sitoplasma. Ikatan ini bermigrasi ke nukleus, berikatan dengan suatu protein nuclear dan
menginduksi transkripsi DNA RNA. Dalam waktu 30 menit, RNA-polimerase telah
teraktivasi dan konsentrasi RNA mulai meningkat di sel prostat; yang diikuti oleh
peningkatan progresif protein sel. Setelah beberapa hari, jumlah DNA di kelenjar prostat juga
meningkat dan peningkatan simultan jumlah sel-sel prostat terjadi.

Testosteron merangsang pembentukan hampir di semua bagian tubuh, walaupun lebih khusus
protein memengaruhi protein di organ "target" atau jaringan yang berperan pada
perkembangan sifat sifat kelamin primer dan sifat-sifat kelamin sekunder laki-laki.

Penelitian terkini menunjukkan bahwa testosteron, seperti hormon steroid yang lain, dapat
juga menimbulkan efek nongenomik cepat yang tidak membutuhkan sintesis protein baru.
Akan tetapi, peran fisiologis kerja nongenomik testosteron ini masih harus ditentukan.

PENGATURAN FUNGSI SEKS LAKI-LAKI MELALUI HORMON DARI


HIPOTALAMUS DAN KELENJAR HIPOFISIS ANTERIOR

Andil utama dari pengaturan fungsi seks baik pada laki-laki maupun perempuan dimulai
dengan sekresi gonadotropin-releasing hormone (GnRH) oleh hipotalamus (Gambar 78-10).
Hormon ini selanjutnya merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk menyekresi dua hormon
lain yang disebut hormon-hormon gonadotropin: (1) hormon luteinisasi (LH) dan (2) hormon
perangsang-folikel (FSH). Selanjutnya, LH merupakan perangsang utama untuk sekresi
testosteron oleh testes, dan FSH terutama merangsang spermatogenesis.

GnRH dan Pengaruhnya dalam Meningkatkan Sekresi Luteinizing Hormone dan


Follicle Stimulating Hormone

GnRH adalah suatu peptida dengan 10 asam amino yang disekresi oleh neuron yang badan
selnya terletak di nukleus arkuata hipotalamus. Bagian ujung neuron ini berakhir terutama
eminensia mediana hipotalamus, tempat neuron-neuron tersebut melepaskan GnRH ke dalam
sistem pembuluh portal hipotalamus-hipofisis. GnRH kemudian diangkut ke kelenjar
hipofisis anterior dalam darah portal hipofisis dan merangsang pelepasan dua jenis
gonadotropin, LH dan FSH.

GnRH disekresi secara intermiten selama beberapa menit setiap 1 sampai 3 jam. Intensitas
rangsang hormon ini ditentukan dalam dua cara: (1) oleh frekuensi siklus sekresi dan (2) oleh
jumlah GnRH yang dilepaskan pada setiap siklus.

Sekresi LH oleh kelenjar hipofisis anterior juga merupakan suatu siklus, yaitu sekresi LH
hampir selalu mengikuti pelepasan bertahap dari GnRH. Sebaliknya, peningkatan dan
penurunan sekresi FSH hanya sedikit mengikuti setiap fluktuasi sekresi GnRH; bahkan,
sekresi FSH berubah lebih lambat setelah beberapa jam sebagai respons terhadap perubahan
jangka panjang GnRH. Oleh karena hubungan antara sekresi GnRH dan sekresi LH yang jauh
lebih dekat, GnRH juga dikenal secara luas sebagai hormon pelepas-LH atau LH-releasing
hormone.

Hormon-hormon Gonadotropik : Luteinizing Hormone dan Follicle Stimulating


Hormone
Kedua hormon gonadotropin, LH dan FSH, disekresi oleh sel yang sama, yang disebut
gonadotrop, di kelenjar hipofisis anterior. Tanpa sekresi GnRH dari hipotalamus, gonadotrop
di kelenjar hipofisis hampir tidak menyekresi LH atau FSH.

LH dan FSH merupakan glikoprotein. Keduanya menggunakan pengaruhnya pada jaringan


target di dalam testes terutama melalui aktivasi sistem caraka kedua siklik adenosin
monofostat, yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem enzim khusus di sel-sel target
berikutnya.

Pengaturan Produksi Testosteron oleh Luteinizing Hormone. Testosteron disekresi oleh


sel-sel intertisial Leydig di testes, namun hanya terjadi bila sel-sel intertisial Leydig
dirangsang oleh LH dari kelenjar hipofisis anterior. Selanjutnya, jumlah testosteron yang
disekresi meningkat kira-kira sebanding dengan jumlah LH yang ada.

Sel-sel Leydig matang biasanya ditemukan dalam testes anak dalam beberapa minggu setelah
kelahiran, namun kemudian menghilang sampai setelah usia kira-kira 10 tahun. Akan tetapi,
penyuntikan LH murni pada anak dengan usia berapa pun atau sekresi LH pada masa
pubertas akan menyebabkan sel-sel intertisial testis yang menyerupai fibroblas berevolusi
menjadi sel intertisial Leydig yang fungsional.
Inhibisi Sekresi LH dan FSH Kelenjar Hipofisis Anterior oleh Testosteron-Pengaturan
Umpan Balik Negatif Sekresi Testosteron. Testosteron yang disekresi oleh testes sebagai
respons terhadap LH mempunyai efek timbal balik dalam menghambat sekresi LH (lihat
Gambar 78-10). Sebagian besar inhibisi ini kemungkinan disebabkan efek langsung
testosteron terhadap hipotalamus untuk menurunkan sekresi GnRH. Efek ini selanjutnya
menyebabkan penurunan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior, dan penurunan LH akan
mengurangi sekresi testosteron oleh testes. Jadi, jika sekresi testosteron menjadi terlalu
banyak, efek umpan balik negatif otomatis yang beroperasi melalui hipotalamus dan kelenjar
hipofisis mengurangi sekresi testosteron kembali ke tingkat yang diharapkan. Sebaliknya,
terlalu sedikit testosteron akan menyebabkan hipotalamus menyekresi sejumlah besar GnRH,
disertai peningkatan sekresi LH dan FSH oleh hipofisis anterior dan berakibat peningkatan
sekresi testosteron testes.
Pengaturan Spermatogenesis oleh Follicle Stimulating Hormone dan Testosteron

FSH berikatan dengan reseptor-reseptor FSH spesifik yang melekat pada sel-sel Sertoli di
dalam tubulus seminiferus, yang menyebabkan sel-sel Sertoli tumbuh dan menyekresi
berbagai insur spermatogenik. Secara bersamaan, testosteron (dan dihidrotestosteron) yang
berdifusi ke dalam tubulus seminiferus dan sel-sel Leydig di dalam ruang intertisial, juga
mempunyai efek tropis yang kuat terhadap spermatogenesis, Jadi, baik FSH maupun
testosteron diperlukan untuk menginisiasi spermatogenesis.

Peran Inhibin dalam Kontrol Umpan Balik Negatif Aktivitas Tubulus Seminiferus. Bila
tubulus seminiferus gagal menghasilkan sperma, sekresi FSH oleh kelenjar hipofisis anterior
meningkat dengan nyata. Sebaliknya, bila spermatogenesis berlangsung terlalu cepat, sekresi
FSH hipofisis akan berkurang. Penyebab efek umpan balik negatif ini pada hipofisis anterior
diyakini berupa sekresi hormon lain oleh sel-sel Sertoli, yaitu inhibin (lihat Gambar 78-10).
Hormon ini mempunyai efek langsung yang kuat terhadap kelenjar hipofisis anterior dalam
menghambat sekresi FSH.

Inhibin merupakan suatu glikoprotein, sama seperti LH dan FSH, dengan berat molekul
antara 10.000 dan 30.000. Inhibin telah diisolasi dari sel-sel Sertoli yang dibiakkan. Efek
penghambatan umpan balik inhibin yang kuat terhadap kelenjar hipofisis anterior merupakan
suatu mekanisme umpan balik negatif yang penting untuk mengatur spermatogenesis, yang
bekerja secara bersama-sama dan sejalan dengan mekanisme umpan balik negatif yang
mengatur sekresi testosteron.

(Guyton. Ed 13th)

Cari sendiri!!!!!!

(sherwood. Banyak!!!!!)

Dapusssss

Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2014). Guyton dan Hall: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. (12 ed.). Singapore: Saunders Elsevier.

Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2019). Guyton dan Hall: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. (13 ed.). Singapore: Saunders Elsevier.

Sherwood, L. (2013). Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta:


EGC

Sherwood, L. (2018). Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 9. Jakarta:


EGC

Anda mungkin juga menyukai