Anda di halaman 1dari 8

KERAJAAN HUTAN AFRIKA

Pada waktu orang-orang Portugis pertama kali mulai menuju ke selatan sepanjang pantai
Afrika yang tidak dikenal, mereka sampai di daerah yang mereka sangka sebagai desa terpencil,
dan menjarah rayah serta merampok barang-barang yang mereka inginkan. Tetapi tidak bertahan
lama karena orang Portugis segera mengetahui bahwa desa-desa pantai tersebut mempunyai
pelindung di pedalaman, yakni kerajaan-kerajaan yang namanya tidak pernah didengar oleh
orang Portugis tetapi kekayaan dan kekuatannya tidak mungkin dipungkiri. Oleh karena itu,
mereka mengubah sikap. Orang Portugis tidak lagi menyerang orang Afrika, melainkan berusaha
menjadikan mereka kawan dagang dan sekutunya.
Orang-orang Portugis tidak hanya terkesan oleh kesempatan dagang yang mereka peroleh
di sepanjang pantai Afrika, tetapi juga oleh kekuasaan militer sekutu mereka. Raja orang Woloff
di bagian barat Senegal, dapat mengerahkan tentara di medan sebanyak kira-kira 10.000 kavaleri
dan 100.000 infanteri, sedangkan Raja Mali di Sudan Barat memiliki 20.000 kavaleri serta
pasukan infanteri yang tidak terhitung banyaknya. Meskipun uraian ini tentu dibesar-besarkan,
namun di dalamnya terungkap reaksi orang Portugis terhadap kawan dagangnya yang baru.
Tetapi, kebesaran sebuah kerajaan lain serta ibu kotanyalah yang menentukan corak
hubungan politik antara Eropa dan Afrika pada akhir abad ke-15 dan pada abad ke-16. Kerajaan
maupun ibu kota kerajaan ini disebut Benin. Pantainya ditemukan pertama kali pada 1470-an,
tetapi baru pada tahun 1486 Joao Affonso d’Aveiro, seorang utusan Portugal, memasuki
pedalamannya. D’Aveiro mencoba membangun ikatan diplomatik serta perdagangan; pada itu
juga contoh lada dari Benin segera dikirim ke Flandria serta tempat-tempat lain, dan dengan
cepat menjadi mahal harganya serta dinilai tinggi, demikianlah laporan di istana Lisabon.
Misi D’Aveiro demikian berhasil sehingga Raja Benin berminat mengirimkan seorang
duta ke Lisabon. Orang yang dipilih untuk melaksanakan tugas tersebut ialah Ohen-Okun,
seorang yang pandai berbicara dan bijaksana karena bakat alam. Ohen-Okun adalah imam di kuil
Dewa Olokun dan ia melakukan perjalanan ke Portugal dengan selamat pada tahun 1486.
Selanjutnya, selama 100 tahun lebih Portugal memelihara hubungan diplomatik dengan Benin,
dan persahabatan itu semakin dalam.
Banyak hal mengenai kawan dagang dari Afrika itu mencengangkan orang Eropa.
Mereka kagum akan keanekaragaman serta banyaknya barang yang ditawarkan oleh orang
Afrika, dan tentang kelicinan dagang mereka. Lagi pula, perdagangan di situ amat tertib. Bila
orang Eropa melanggar sopan santun dengan orang Afrika, maka orang Afrika dapat
membalasnya dengan pemboikotan dan tindakan keras lainnya. Pencurian seekor “kucing
Kesturi” oleh seorang awak kapal dagang Inggris pada tahun 1555 telah menghentikan
perdagangan, dan baru berjalan lagi setelah ganti rugi diberikan. Peringatan kapten tersebut,
adalah orang yang sangat hati-hati dalam tawar-menawar. Dan setiap orang yang berurusan
dengan mereka harus memperlakukan mereka dengan sopan; kalau diperlakukan dengan buruk,
mereka tidak akan mengadakan jual beli barang apa pun.
Orang Afrika pun dengan cepat memanfaatkan persaingan di antara kawan dagang
mereka yang baru. Segera menjadi jelas bagi mereka bahwa pedagang Eropa tidaklah bersatu. Di
dalam persaingan itu orang Afrika melihat suatu sarana untuk menghadapi setiap usaha kekuatan
Eropa dalam merebut monopoli dagang. Oleh sebab itu, mereka berusaha melakukan
persekutuan dagang dengan semuanya. Mereka mengadu domba orang Inggris dan Perancis
melawan orang Portugis, dan orang Belanda melawan ketiganya. Tetapi mereka juga
memanfaatkan persekutuan itu untuk mendukung ambisi mereka sendiri. Dua raja Afrika
mengirimkan utusan kepada Hawkins sewaktu ia berlabuh di muara Sierra Leone pada tahun
1562. Mereka minta bantuan tentara untuk melawan dua raja lain dan berjanji akan memberi
Hawkins menyetujuinya, dan sesuai dengan perjanjian ia diberi 260 tawanan. Ia mengangkut
tawanan itu ke India Barat dalam salah satu pemberangkatan kapal Inggris menuju perdagangan
budak.
Jelaslah bahwa orang Afrika yang tinggal sepanjang pantai Guinea maupun yang hidup di
kawasan hutan hujan di pedalamannya juga menjalankan politik yang sama majunya dengan
tetangganya di utara, di kawasan rumput Sudan Barat. Raja-raja ini menjalin hubungan dengan
raja-raja yang besar di daerah yang jauh di pedalaman. Tetapi kawasan utara dan selatan itu
berbeda dalam beberapa hal. Yang satu beragama Islam, pengaruh Islam menyebar dari Afrika
Utara ke daerah selatan pada abad ke-19 sampai ke-11, dan membawa teknik baca tulis, mata
uang serta utang-piutang, dan juga birokrasi sipil kepada negara-negara di Sudan Barat sehingga
benar-benar mempengaruhi proses perkembangan kerajaan-kerajaan di Sudan. Tetapi lebih jauh
ke daerah selatan hal seperti ini tidak terjadi. Selain para pedagang muslim keliling yang secara
kebetulan datang, agama Islam tidak memasuki kerajaan-kerajaan di hutan dan pantai, dan baru
memasukinya pada abad ke-16. Baca tulis baru dikenal di situ setelah dibawa oleh orang Eropa
pertama. Sungguhpun demikian 100 tahun sebelum kedatangan orang Portugis, pantai Afrika
telah mencapai kematangan tertentu.
Dua masyarakat yang paling kreatif di antara masyarakat pantai yang masih murni Afrika
ini terpusat di kota Ife dan Benin. Menurut dongeng, orang Ife berasal dari Sudan Barat, dan
bahkan mempunyai suatu hubungan dengan Kush, sebuah negeri kerajinan logam kuno. Entah
dari manapun asal-usul mereka, pada tahun 1200 (menurut dugaan arkeologi yang paling kuat),
para tukang pahat Ife banyak menghasilkan kepala dan tubuh manusia dari perunggu yang luar
biasa indahnya untuk menghormati raja mereka. Suatu ketika dalam dua abad berikutnya mereka
mengajarkan teknik mencetak perunggu kepada orang Benin, yang ibu kotanya menjadi pusat
kerajaan kuat pada abad ke-15.
Salah seorang penguasa Benin yang paling berhasil adalah Ewuare Agung, yang
menduduki takhta dari tahun 1440-1437. Sejarah lisan mengisahkan bahwa ia adalah seorang
tukang sihir yang hebat, seorang dokter, prajurit, seorang yang berani dan bijaksana. Menurut
cerita, ia telah menguasai 201 kota dan desa; kekuasaannya pun kian meluas, dan Benin menjadi
kota yang termahsyur. Benin pada masa pemerintahan Ewuarelah yang ditemukan oleh orang
Portugis. Tetapi cerita yang paling jelas mengenai kota itu berasal dari orang Belanda yang
sampai di situ pada abad ke-17. Dengan kemampuan mereka dalam menceritakan detail secara
persis, para pedagang Belanda menulis laporan pertama yang berdasarkan fakta tentang keadaan
sepanjang pantai Guinea.
Pada tahun 1602 para usahawan Amsterdam dapat membeli uraian tentang Guinea yang
disusun oleh Pieter de Marees berdasarkan laporan banyak pengunjung. Salah satu diantaranya
ialah D. R. yang jeli, barangkali Dierick Ruyters, yang singgah di Benin pada waktu
pemerintahan raja Ehengbuda.
Enam puluh tahun berikutnya seorang Belanda lain, Olfert Dapper, menghimpun tulisan
yang kedua tentang Afrika, dan secara khusus menggunakan laporan dari seorang yang jelas
bernama Samuel Bolmert. Tulisan itu mengukuhkan dan memperluas pengamatan Ruyters.
Istana raja berupa kompleks bangunan yang meliputi daerah seluas kota Haarlem dan dibentengi
dengan tembok. Terdapat banyak tempat tinggal untuk menteri raja, serta serambi-serambi yang
bagus; kebanyakan serambi ini besarnya sama dengan serambi Kantor Bursa di Amsterdam.
Bangunan itu disangga oleh pilar-pilar kayu berlapis perunggu, yang senantiasa dijaga
kebersihannya; pada pilar ini terlukis riwayat kemenangan mereka. Lempengan perunggu yang
kemudian dibawa ke Eropa itu digunakan oleh para pengingat istana raja sebagai catatan untuk
membantu rekonstruksi kisah masa lampau Benin. Dewasa ini lempengan tadi merupakan
laporan bergambar tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Benin selama abad ke-16 dan ke-
17. Pada lempengan itu terdapat adegan kehidupan istana, pesta perburuan raja dan berbagai
upacara; beberapa lempengan bahkan juga menggambarkan kedatangan orang Portugis; mereka
mengenakan baju zirah yang berat dan pakaian wol yang tidak serasi.
Orang Negro jauh lebih beradab daripada lain-lain penduduk pesisir. Mereka mempunyai
hukum yang baik dan penegak penertiban yang terorganisasi dengan rapi, mereka menjalin
hubungan baik dengan orang Belanda maupun orang asing lain yang datang untuk berdagang
dengan mereka, dan kepada para pendatang itu banyak sekali tanda persahabatan ditunjukkan.
Tetapi orang asing yang ingin berhasil harus berhati-hati dan hanya berhubungan dengan wakil
resmi pemerintah serta memperhatikan segala tata cara. Perdagangan Benin berada di bawah
kekuasaan raja, dan wakilnya datang ke pelabuhan dengan mengenakan pakaian yang sangat
indah, kalung batu yaspis atau merjan halus.
Baru pada hari berikutnya mereka membicarakan masalah dagang, tetapi sesudah mulai,
mereka barangkali melakukan tawar-menawar segigih mungkin, kadang kala sampai berbulan-
bulan. Yang paling banyak dibeli orang Belanda dari Benin ialah pakaian katun bergaris yang
dijual eceran di Pantai Emas, dan kain berwarna biru yang dijual di pinggir Sungai Gabon serta
Angola, batu yaspis, kulit macan tutul, lada dan beberapa budak wanita, karena mereka tidak
mau menjual pria. Sebagai imbalan, orang Belanda menjual kain berwarna perak dan merah,
tempat minuman, dan segala macam katun halus linen, beludru merah, sutera bersulam, flannel
kasar, manisan jeruk keprok, lemon dan buah hijau lain, gelang kuningan, cermin sepuhan, besi
batangan, dan (cangkang) kerang dari India, mata uang di Benin.
Perdagangan baru dengan Eropa tentu saja merupakan rangsangan kuat bagi kehidupan
perekonomian Afrika dan secara tidak langsung, juga pada kehidupan politik serta sosialnya.
Sebagaimana perdagangan lintas Sahara di Sudan Barat dan perdagangan Samudera Hindia di
Afrika Timur telah mendorong terbentuknya satuan-satuan politik yang besar dan Eropa
mendorong kerajaan-kerajaan di hutan pesisir Afrika Barat untuk meluas dan menjadi lebih
makmur.
Tetapi telah terlihat bukti adanya kesukaran dalam perkembangan yang menggembirakan
ini. Walaupun kedatangan orang Eropa membawa banyak kebaikan materi, namun mereka juga
membawa suatu keburukan, yaitu perdagangan budak. Memang, perdagangan budak Afrika
bukan seluruhnya diperkenalkan oleh orang-orang Eropa. Beberapa bentuk perbudakan sudah
berabad-abad di Afrika, antara orang-orang Afrika sendiri. Tawanan perang dan penjahat yang
dipenjara sering diperlakukan sebagai buruh tanpa upah yang diperjualbelikan. Tetapi ada satu
perbedaan yang penting, mereka bukanlah budak seperti yang dipekerjakan kemudian di
pertambangan dan perkebunan Amerika. Dalam masyarakat Afrika tidak ada pembagian yang
tegas sebagai budak dan orang yang merdeka.
Setiap orang Afrika merupakan anggota pekerja dari suatu kelompok rumah tangga,
kelompok ini biasanya disatukan dengan ikatan kekeluargaan. Budak pun merupakan anggota
pekerja suatu kelompok, tetapi karena bukan saudara, maka kedudukannya lebih rendah. Namun
kedudukan itu dapat berubah. Seorang budak dapat maju berkat pekerjaannya; ia dapat membeli
kemerdekaannya dengan penghasilan dari pengolahan sebidang tanah yang diberikan kepadanya.
Ia pun dapat maju dengan nasib baik, yakni dengan mewarisi barang atau mengawini putri
majikannya. Dengan cara seperti itu tidaklah aneh kalau seorang budak dapat meraih kedudukan
yang kuat pengaruhnya dan besar kekuasaannya.
Sembilan tahun setelah perjalanan pertama Kolumbus melintasi Atlantik, kerajaan
Spanyol mengeluarkan sebuah pengumuman yang mengesankan impor budak ke jajahannya di
Amerika. Tidak lama kemudian, perdagangan budak Afrika berbuah menjadi bagian pokok
dalam perdagangan dunia Barat. Manusia yang jumlahnya mengerikan didesak-desakkan ke
dalam kapal yang kotor lagi bocor, dan sikap orang dalam perdagangan budak ini pun dengan
cepat menjadi kejam sesuai dengan kekejaman usaha tersebut. Sebagaimana pedagang Eropa
tidak melihat kesalahan apapun dalam membeli manusia tawanan yang akan diangkut
menyeberangi laut, demikian pula menurut pandangan orang yang berkuasa di Afrika menjual
manusia dengan maksud itu pun tidak bersalah.
Dari perdagangan yang menyeramkan tetapi menguntungkan ini muncullah satuan-satuan
politik baru. Negara-kota Delta Niger, yang sebelumnya hanyalah merupakan desa nelayan,
berkembang dengan subur dan berubah menjadi jaringan perdagangan yang terorganisasi dengan
sangat rapi, dan hampir seluruhnya didasarkan pada ekspor wanita dan pria yang dibawa dari
cekungan Sungai Niger di daerah pedalaman ke daerah-daerah hilir. Bahkan sampai akhir tahun
1820-an, sewaktu perdagangan budak akhirnya dihentikan, negara-negara delta masih
mengapalkan sekitar 20.000 orang tiap tahun. Tak ayal lagi, kemakmuran baru disepanjang
pantai ini sering dicapai lewat penderitaan ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat yang lebih
kuno di pedalaman. Penyediaan barang-barang Eropa akhirnya tergantung pada penyediaan
tawanan terus-menerus. Maka mau tak mau negara-negara Afrika terus-menerus melakukan
agresi serta kekerasan satu sama lain - sesudah tahun 1700 kekerasan ini mungkin dilakukan
dengan menggunakan senjata api di Eropa. Banyak kelompok masyarakat disiksa secara
keterlaluan dan beberapa dihancurkan sama sekali, sementara masyarakat lain, untuk
menghindari pemburuan budak, bermigrasi ke tempat yang jauh dari tanah leluhur mereka.
Bahkan pemenangnya pun akhirnya kalah, karena perbudakan memberi orang Eropa tempat
berpijak di Afrika dan dengan demikian menyiapkan jalan bagi gelombang penjajahan oleh
orang Eropa.
Namun kehancuran itu mungkin terlalu dibesar-besarkan. Ada beberapa negara Afrika di
dalam kawasan perdagangan budak yang hampir tidak terganggu sama sekali oleh kegiatan
tersebut. Salah satu di antaranya ialah Kerajaan Ashanti yang mengagumkan. Setelah tahun
1800, kerajaan ini meliputi separuh lebih dari wilayah Ghana serta sebagian negara tetangganya
di Pantai Gading dan Togo sekarang. Kerajaan Ashanti betul-betul merupakan negara paling
berhasil di antara semua kerajaan terakhir di Afrika sebelum masa penjajahan. Pada mulanya
orang Ashanti membangun kekuatannya bersadarkan perdagangan emas dengan Sudan Barat.
Mereka merupakan salah satu sumber emas yang mengalir ke utara melewati kerajaan-kerajaan
dagang negara paling berhasil di antara semua kerajaan terakhir di Afrika Utara. Bukanlah tanpa
arti kalau takhta rajanya dilambangkan dengan singgasana emas yang menurut tradisi Ashanti
“turun dari surge” dan hinggap lutut Pesi Tutu, pahlawan pendiri negara mereka kira-kira tahun
1695.
Orang Ashanti mampu mengatasi perdagangan budak. Mereka mengganggap kehadiran
pedagang Eropa di pantai sekadar sumber baru bagi perdagangan dan sarana baru untuk
memperkuat kekuasaan politik mereka-salah satu sarana ini ialah senapan dari Birmingham yang
jauh. Karena tidak pernah dikuasai oleh tekanan permintaan orang Eropa, orang Ashanti secara
efisien. Organisasi ini dijalankan oleh aparat pegawai yang melek huruf, dan mempunyai tentara
yang tak tertandingi oleh kekuatan negara tetangganya. Kumasi, ibu kota Ashanti, merupakan
jantung sebuah kerajaan ekonomi yang rumit dan menguntungkan. Orang Eropa yang pertama
kali melihatnya pada awal abad ke-19 terkesan oleh jalannya yang lebar, rumahnya yang bersih
dan sarana kebersihan dan kesehatan yang meliputi perlengkapan seperti pipa air yang tertanam
dalam bangunan.
Mereka juga terkesan oleh bukti kekuatan Ashanti yang melimpah. Thomas Bowdich,
yang masuk Kumasi pada tahun 1817 sebagai Sekretaris Perusahaan Dagang Inggris, menulis
bahwa para utusan perusahaannya disambut dengan upacara megah: Lebih dari 100 kelompok
barisan musik, dengan beberapa pemimpin mereka yang berwajah khas, tampil menghambur
serentak pada waktu kedatangan kami, trompet menggemakan suaranya yang menantang, dengan
diiringi bunyi genderang dan instrumen logam banyak sekali, dan kemudian berhenti sejenak
untuk memberi kesempatan bagi tiupan lembut seruling mereka yang panjang sekurang-
kurangnya 100 payung besar yang masing-masing dapat memayungi 30 orang dibuka dan ditutup
oleh pembawanya hingga tampak indah sekali.
Lebih dari 5.000 orang, sebagian besar prajurit, menyongsong Boedich dan teman-
temannya, diiringi dengan riuhnya ledakan musik perang yang menakutkan dan dengan bendera
campur baur, yakni bendera Inggris, Belanda, dan Denmark. Di antara itu semua pemimpin dan
kaptennya melangkah dengan anggun, mereka mengenakan jubah gemerlapan yang tampak
kelewat longgar dan berat terlihat pada bahunya tepat seperti toga orang Romawi. Raja mereka
tampak agung dan berwibawa dan menunjukkan ketenangan seorang raja, ia pun duduk di
singgasana rendah yang penuh berhiaskan emas. Selanjutnya, orang Inggris itu diterima di
kerajaan, dan Bowdich mengagumi arsitekturnya yang megah dan teratur.
Mungkin saja Bowdich menuliskan semuanya itu sedikit mengikuti seleranya, tetapi
penggambarannya pada pokoknya benar. Para pengunjung lain yang datang ke Kumasi pada
abad ke-19 mencatat bukti-bukti lain tentang kekuasaan Ashanti. Ashanti benar-benar
mempunyai pamong praja sendiri, birokrasi yang diduduki oleh pegawai Muslim dan Afrika.
Ashanti juga mempunyai sistem kurir yang sangat baik yang menghubungkan seluruh bagian
kerajaan. Siang malam perintah raja disebarkan ke segala penjuru. Tentaranya yang hebat
mempunyai pelatih berkebangsaan Jerman untuk menggembleng para calonnya. Ketika akhirnya
dikuasai oleh Inggris pada tahun 1901, setelah perang kolonial yang menghancurkan, Ashanti
telah menapakkan satu kakinya di dunia modern.
Dalam hal ini mereka tidaklah sendirian. Walaupun pada abad ke-19 sebagian besar
Afrika jauh tertinggal oleh Eropa di bidang industri dan teknologi, namun di sana sini revolusi
sedang berlangsung. Negara-kota yang kecil dan dinamis di delta Niger, misalnya, dengan giat
mengalihkan diri dari perdagangan budak yang hampir berhenti ke perdagangan yang kemudian
dikenal sebagai “perdagangan yang sah”, dan menjadi sangat sibuk dalam produksi dan
pemasaran minyak kelapa sawit, unsur pokok dalam pembuatan sabun. Penguasa di kedua negara
delta in membuktikan dirinya sebagai saingan pedagang Eropa dalam perjuangannya untuk
merebut monopoli industri. Memang, Raja Pepple Bonny dan Raja Ja Ja dari Opobo begitu mahir
menekan orang Eropa sehingga -kalau keadaanya tidak berubah- mereka benar-benar menguasai
persaingan. Tetapi ternyata keadaannya berubah. Pada tahun 1885, Inggris menguasai kedua
negeri ini, dan Pepple serta Ja Ja mengakhiri karirnya dalam tawanan orang Inggris.
Seandainya mendapat kesempatan, mungkin masyarakat Afrika lain yang lebih tua juga
akan berhasil menghadapi tantangan perubahan zaman seperti negara delta yang muda itu. Tentu
saja, kebanyakan orang Afrika telah mencobanya. Kalau mereka gagal, biasanya karena
kesulitannya begitu besar, dan terlalu membingungkan untuk mereka pecahkan dengan cara
mereka yang tradisional dan terhormat; mungkin juga karena mereka tidak mempunyai kekuatan
untuk menguasai perubahan situasi, atau karena mereka tidak mempunyai kekuatan untuk
menyesuaikan diri pada perubahan itu. Demikianlah, kerajaan Benin yang dahulu kuat itu
tenggelam dalam pengurbanan manusia sebab raja dan imam mereka berusaha menghindari
kebangkrutan ekonomi dengan satu-satunya jalan yang mereka ketahui, yakni dengan
menenangkan dewa mereka. Adapun kerajaan tua Yoruba di Oyo, yang diserang oleh
tetangganya dan diperlemah oleh perselisihan dalam negeri, hampir tak mempunyai sumber daya
yang diandalkan sehingga menjadi sasaran empuk bagi serbuan penjajah.
Sebenarnya, disebagian besar Afrika, abad ke-19 merupakan masa pergolakan dan
kekerasan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Afrika bukannya mendapat kesempatan untuk
menjalin hubungannya sendiri dengan dunia modern, melainkan malah hancur karena dipotong-
potong dan dibagi-bagi oleh bangsa asing. Inilah pengalaman pahit Afrika, dan baru sekarang
sebagian besar rakyatnya mulai pulih dari pengalaman itu. Dalam menghadapi semua itu,
walaupun jalinan masyarakatnya hancur berantakan, orang Afrika secara individu tetap bertahan,
dan untuk itu mereka menimba kekuatan dari pengalaman yang panjang dalam melatih diri
menghadapi tuntutan lingkungan alam -tetapi lebih- lebih, mereka menimba kekuatan dari
keyakinan moral serta rohani yang kuat dari masa lampau. Dewasa ini warisan rohani tersebut
tampak bekerja dalam suasana yang berbeda, pada saat orang Afrika berusaha mengubah sebuah
benua.
a. Metropolis Benin
Sebelum orang Eropa menginjak kakinya di Afrika yang beriklim tropis,
bangsa Benin yang kuat telah berkembang di daerah yang sekarang adalah bagian
selatan Nigeria. Orang Benin yang bermartabat tinggi dan taat pada hukum ini sangat
patuh kepada raja atau Oba mereka. Raja memerintah rakyatnya melalui hierarki
penasihat dan gubernur setempat yang terorganisasi dengan baik. Ibu kotanya yang
juga disebut Benin sekarang hanya merupakan kota provinsi kecil, tetapi selama
berabad-abad kota itu merupakan salah satu pusat perdagangan dan kebudayaan yang
paling penting di bagian Barat Afrika.
Karena orang Benin tidak mempunyai bahasa tertulis, maka gambaran yang
detail tentang kehidupan di Benin hanyalah terdapat dalam buku harian penjelajah
awal dari Eropa. Tetapi, orang Benin meninggalkan laporan yang mengesankan
tentang peradaban mereka dalam bentuk lempengan-lempengan perunggu. Pembuatan
lempengan ini diperintahkan oleh Oba untuk menghias pilar-pilar istana. Relief itu
memperlihatkan orang Benin sebagai orang yang perkasa dan sangat manusiawi
dalam kebudayaan khas Afrika.
b. Kewajiban Raja Benin
Oba Benin adalah seorang raja mutlak yang dapat memerintahkan apapun
yang dikehendakinya, dan ia mengetahui bahwa rakyatnya akan segera mematuhinya.
Urusan pemerintahan yang sebenarnya diberikan kepada penasihatnya. Mereka
mengurus masalah-masalah militer, ekonomi dan pertanian atas nama Oba. Keadaan
tersebut mungkin sesuai dengan Oba, yang waktunya habis untuk mengadakan
upacara dan persembahan kurban yang tidak terhitung banyaknya, serta mengurus
haremnya yang terdiri dari 100 istri lebih. Tetapi dalam masalah kerohanian, Obalah
yang paling tinggi. Ia tidak hanya wakil semua dewa Benin, melainkan juga
pengejewantahan dewa; dan tiap orang yang tidak mempercayainya akan dihukum
mati sebagai bid’ah.
c. Merayakan Pesta Kerajaan di Benin
Satu kali dalam sebulan penduduk Benin mengesampingkan pekerjaan mereka
dan memulai suatu pesta yang penuh suka ria selama satu hari atau lebih. Para
bangsawan berkumpul di istana Oba. Di situ mereka minum tuak bamboo, menari,
bermain, mengunyah biji kola dan bersenang-senang dengan wanita istana.
Puncak perayaan ini biasanya adalah pelaksanaan hukum mati terhadap budak
atau narapidana dalam suatu upacara pengurbanan. Laporan tentang agama di Benin
tidak begitu jelas, tetapi orang Benin rupanya percaya akan dewa tertinggi yang
menciptakan dan memerintah dunia, tetapi mereka menganggap bahwa pemujaan
terhadap dewa tertinggi ini sia-sia karena ia sudah sangat baik. Maka mereka memuja
sejumlah dewa yang lebih rendah tingkatannya. Yang menurut anggapan mereka,
dewa-dewa ini dapat menjadi perantara kepada dewa tertinggi. Kurban manusia tidak
dipersembahkan kepada para dewa, melainkan kepada setan, yang dianggap sebagai
biang keladi segala kemalangan. Jarang ada kurban yang melawan; beberapa kurban
membantu pelaksanaan hukuman dan beberapa bahkan secara suka rela mau
dijadikan kurban- inilah bukti tentang mendalamnya agama mereka.
d. Berburu Sebagai Profesi Elit
Diantara penduduk Benin, orang yang mendapat perlakuan paling istimewa
adalah para pemburu, suatu kelompok profesional yang perkasa dan menimbulkan
rasa iri di seluruh kerajaan. Hanya pemuda luar biasalah yang dapat jadi pemburu,
dan itu pun hanya setelah mereka menyelesaikan masa magang yang keras. Mereka
harus mempelajari bagaimana mencari jejak binatang buruan di setiap jenis medan,
mempelajari cara bergerak dengan cepat dan tidak menimbulkan suara kalau mereka
melewati semak belukar yang berduri dan bagaimana hidup di hutan selama beberapa
hari tanpa makanan. Mereka juga harus menghapal seluruh ajaran lisan tentang
upacara rahasia, seperti misalnya upacara yang diharap akan menyebabkan para
pemburu tak terlihat oleh mangsanya.
e. Bangsa Pedagang
Pada waktu orang Eropa pertama kali datang, Benin sudah merupakan pusat
perdagangan ramai yang menjalankan perdagangan besar-besaran di seluruh Afrika
bagian barat. Para pedagang Benin memperjualbelikan barang-barang dari besi,
senjata, alat pertanian, ukiran kayu dan bahan makanan, mulai dari ubi rambat sampai
kadal yang dikeringkan. Dan karena orang Benin telah menguasai arti uang, maka
transaksi tidak hanya terbatas barter yang sederhana. Mata uangnya terdiri dari
cangkang kerang dan cincin logam yang disebut manila.
Pedagang Eropa pertama, yang mengira akan mendapatkan hasil dengan
mudah, terkejut sewaktu mereka menemukan betapa cerdiknya pedagang-pedagang
yang mereka hadapi. Seorang pedagang Eropa mengeluh bahwa “biasanya kami harus
menunggu delapan sampai 10 hari untuk mencapai kesepakatan harga dengan
mereka.”
f. Perang, Masa Surut dan Kejatuhan
Perang merupakan kegiatan tetap dalam kehidupan di Benin; menurut laporan,
bangsa ini dapat mengerahkan 100.000 tentara dalam sehari. Tujuan mereka
berperang ialah perluasan wilayah dan perolehan rampasan perang serta budak.
Setelah orang-orang Eropa datang, perdagangan budak berkembang dengan
subur; pertanian serta perdagangan dilalaikan sehingga perekonomian mau tak mau
mulai runtuh. Oba, yang percaya bahwa nasib buruknya yang disebabkan oleh setan,
memerintahkan rakyatnya agar semakin banyak mempersembahkan kurban manusia
untuk mengubah suasana itu. Tetapi pada tahun 1897 lengkaplah kehancuran mereka;
pada tahun itu pasukan Inggris menemukan pasukan Benin yang kosong dan
bergelimangkan banyak tubuh kurban. Setelah empat abad mengalami masa
kebesaran, akhirnya tamatlah sudah sejarah Benin.

Anda mungkin juga menyukai