Anda di halaman 1dari 12

KAIDAH AQIDAH ASMA’ WA SHIFAT

“untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam VI”

Disusun oleh :
Abdullah Umair (M17010007)
Faiq Faisal M (M18010002)
Abu Bakar R (M18010018)
Adam Maulid A (M18010030)
Andinur Farham (M18010031)
Syaiful Latif (M18010033)

Program Studi S1 Ilmu Keperawatan


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Madani Yogyakarta
2021/2022

1
Pendidikan Agama Islam VI
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa ta’ala Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah “Aqidah Asma’ Wa Shifat kaidah ke 1 dan 2” ini.

Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami menerima
kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap makalah tentang Aqidah Asma’ Wa Shifat bagian ke 1
dan 2 ini dapat memberikan manfaat mengenai pengetahuan tentang tauhid kepada
pembaca.

Yogyakarta, 14 Maret 2021

Penyusun

2
Pendidikan Agama Islam VI
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………….... 2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….. 3

BAB I…………………………………………………………………………………….. 4

PENDAHULUAN……………………………………………………………………….. 4

A. Latar Belakang……………………………………………………………….. 4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………… 4
C. Tujuan Masalah…………………………………………………………….... 4

BAB II………………………………………………………………………………….… 5

PEMBAHASAN………………………………………………………………………..… 5

A. Kaidah Asma’ Wa Sifat yang Pertama…………………………………….. 5


B. Kaidah Asma’ Wa Sifat yang Ke dua……………………………………… 7

BAB III…………………………………………………………………………………… 11

PENUTUP………………………………………………………………………………… 11

Kesimpulan……………………………………………………………………..… 11

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………..… 12

3
Pendidikan Agama Islam VI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembahasan mengenai Tauhid merupakan hal yang paling penting dalam Agama
Islam, dimana Tauhid mengambil peranan penting dalam membentuk pribadi-pribadi yang
tangguh, selain juga sebagai inti atau akar daripada Aqidah Islamiyah. Tauhid Asma’ Wa
Shifat merupakan salah satu macammacam tauhid yang artinya mengesakan Allah dalam apa
yang Allah miliki dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Namun rupanya saat ini pembahasan masalah tauhid khususnya tauhid Asma’ Wa
Shifat menjadi sesuatu yang terpecah ke dalam berbagai golongan, sehingga melahirkan
berbagai macam pendapat yang berbeda-beda. Dalam agama islam asmaul husna adalah
nama-nama Allah Ta’ala yang baik. Asma’ berarti nama dan husna berarti yang baik atau
yang indah, jadi asmaul husna adalah nama-nama Allah yang baik lagi indah.
Asmaul husna secara harfiah ialah nama-nama, sebutan, gelar Allah yang baik dan
agung sesuai dengan sifat-sifat-Ny. Nama-nama Allah yang Agung dan mulia itu merupakan
suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan milik Allah.
Diharapkan dalam penulisan makalah ini, kita mendapatkan pngeahuan yang luas
tentang tauhid khuasusnya tauhid Asma’ Wa Shifat sebagai salah satu dari sekian banyaknya
macam ilmu tauhid.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja kaidah Asma’ Wa Sifat yang pertama ?
2. Apa saja kaidah Asma’ Wa Sifat yang ke dua ?

C. Tujuan Masalah
1. Memahami kaidah Asma Wa Sifat yang pertama.
2. Memahami kaidah Asma Wa Sifat yang ke dua.

4
Pendidikan Agama Islam VI
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaidah yang Pertama

Yaitu sikap yang wajib kita lakukan terhadap nash-nash Al Kitab dan As Sunnah
yang berbicara tentang Nama dan Sifat Allah

Dalam menyikapi nash-nash Al Kitab dan As Sunnah kita wajib membiarkan


penunjukannya sebagaimana zhahir nash tanpa perlu menyimpangkan maksudnya. Ini adalah
kaidah yang sangat penting. Penetapan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah termasuk perkara
ghaib sehingga hal itu tidak bisa dijangkau dengan akal dan rasio semata.

Makna zhahir dari Nama dan Sifat tersebut hanya bisa dipahami melalui bahasa Arab,
karena Al Qur’an turun dengan bahasa ini. Begitu pula Rasul yang kepada beliau diturunkan
Al Qur’an adalah orang yang berbahasa Arab. Orang-orang yang diajak bicara oleh beliau di
masa itu juga orang-orang yang berbahasa Arab. Mereka bisa memahami Al Qur’an dengan
bahasa tersebut.

Allah Ta’ala berfirman, “Dia (Al Qur’an) dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin (Jibril)
ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syu’araa’: 193-195)

Orang orang yang mensikapi kaidah ini terbagi menjadi beberapa golongan :

1. Golongan Pertama: Ahlu Sunnah Wal jama’ah Assalafiyyun mereka bersikap


dengan kaidah yg sudah di terangkan
2. Golongan Kedua: Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan
Sifat Allah mengarah kepada tamtsil (penyerupaan Allah dengan makhluk-
pent). Sehingga apabila dia membaca firman Allah Ta’ala, “Bahkan kedua

5
Pendidikan Agama Islam VI
Tangan Allah terbentang.” (QS. Al Maa’idah: 64). Maka dia akan berkata,
“Saya tidak memahami makna ‘Tangan’ kecuali dengan bentuk sebagaimana
tangan saya ini, karena yang dinamai sama” (yaitu tangan-pent). Namun
alasan ini terbantahkan oleh firman Allah Ta’ala, “Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syuura: 11)

Oleh karena itu Imam Ibnul Qayyim bersya’ir tentang permasalahan ini,
“Kami (Ahlu Sunnah) tidaklah menyerupakan antara sifat Allah dan sifat
ciptaan Adapun orang yang menyerupakan sebenarnya merekalah penyembah
berhala pujaan”

3. Golongan Ketiga: Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan


Sifat Allah merupakan bentuk penyerupaan/tamtsil. Pemahaman seperti ini
mendorong mereka untuk melakukan penolakan/ta’thil. Kemudian mereka
berusaha menentukan makna lain yang bisa diterima oleh akal mereka

Golongan ketiga ini telah mensifati Allah dengan sifat-sifat yang Dia
sendiri tidak mensifati Diri-Nya dengannya, mereka juga mensifati Allah
dengan sifat-sifat yang maknanya sama sekali tidak ditunjukkan oleh bahasa
Arab. Ambil contoh firman Allah Ta’ala, “(yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah
yang bersemayam/istiwa’ di atas ‘arsy.” (QS. Thahaa: 5). Orang-orang yang
melakukan ta’thil itu mengatakan, “Istiwa itu maksudnya istaula.” (berkuasa
setelah berhasil menaklukkan lawan-pent). Mereka menolak makna yang
benar dari lafazh istiwa’ yaitu: tinggi dan menetap dan inilah sifat yang pantas
bagi Allah Ta’ala kemudian mereka justru menetapkan makna baru yang tidak
benar dinisbatkan kepada Allah Ta’ala

4. Golongan Keempat: Orang-orang yang menyatakan dirinya jahil/tidak


mengetahui keinginan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pada lafazh, makna maupun kaifiyah Nama dan Sifat Allah. Mereka

6
Pendidikan Agama Islam VI
mengatakan, “Saya menyerahkan itu semua kepada Allah Ta’ala.” Mereka ini
adalah golongan terjelek.

Konsekuensi dari pendapat mereka ini adalah para Sahabat tidak bisa
memahami nash-nash yang ditujukan kepada mereka, sehingga Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak bicara mereka dengan sesuatu
yang tidak mereka pahami, bahkan ini juga berarti sesuatu itupun tidak
dipahami oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau jauh sekali
dari tuduhan semacam ini!

B. Kaidah yang Ke dua

Yaitu ketentuan yang berkaitan dengan Nama-Nama Allah ‘Azza wa Jalla.

1. Nama nama Allah itu Husna

Semua Nama Allah menunjukkan sanjungan dan pujian bukan sekedar


label/merek. Akan tetapi Nama Allah berlaku sebagai nama yang sekaligus mengandung
sifat. Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi telah memerintahkan hamba-hamba-Nya
supaya mereka berdo’a kepada-Nya dengan perantara menyebut Nama-Nama-Nya.

Allah Ta’ala berfirman, “Hanya milik Allah Asmaa’ul Husna/Nama-Nama yang


paling indah…” (QS. Al A’raaf: 180).

2. Asma’ Allah tidak di jumlah dengan bilangan tertentu

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam
Musnad-nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau dari jalur Ibnu
Mas’ud. Di dalam hadits tersebut Nabi berdo’a, “Hamba memohon kepada-Mu dengan
perantara seluruh Nama yang Engkau namai Diri-mu dengannya, Nama yang Engkau
turunkan di dalam Kitab-Mu, Nama yang Engkau ajarkan kepada salah satu diantara
makhluk-Mu dan juga Nama yang Engkau sembunyikan pengetahuannya dalam ilmu

7
Pendidikan Agama Islam VI
ghaib di sisi-Mu.” Adapun Nama yang disembunyikan ilmunya oleh Allah di sisi-Nya
maka tidak ada seorangpun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula Nama yang diajarkan-
Nya kepada sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi golongan yang lain tidak
mengetahuinya.

Inilah yang dipegang para jumhur ulama’ bahwa nama Allah tidah di jumlah
dengan bilangan tertentu (tidak ada batas nama )

3. Nama nama Allah tidak boleh ditetapkan dengan akal , akan tetapi dengan dalil yang
syar’i

Ini berarti Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi (penetapannya membutuhkan


dalil syar’i) yang penetapannya bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah. Dalam
memahami maksud penetapan Nama ini terdapat perbedaan pendapat:

a. Nama-Nama Allah adalah tauqifi, yang dibatasi dengan Nama-Nama yang


tercantum dalam Al Kitab dan As Sunnah saja.
b. Nama-nama tersebut diambil dari Al Quran, Assunnah dan ijma. Sedangkan
qiyas tidak boleh digunakan.
c. Penetapan nama-nama Allah adalah perkara tauqifi sedangkan sifat-sifat
Allah bukan termasuk perkara tauqifi.
d. Apabila akal menunjukkan suatu makna lafazh bisa ditetapkan ada pada Diri
Allah maka Nama tersebut boleh disandarkan kepada Allah. Ini adalah
pendapat kaum Mu’tazilah dan Karraamiyah.

Diantara beragam pendapat tersebut pendapat pertamalah yang paling kuat.


Sedangkan akal sekedar berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui layak atau tidaknya
suatu Nama disandarkan kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati itu semua pasti dimintai
pertangungjawabnya.” (QS. Al Israa’: 36)

Nama-Nama Allah hanya bisa diketahui melalui jalan mendengar (ayat atau
hadits-pent) bukan dari hasil pemikiran atau olah rasio. Di dalam hadits yang

8
Pendidikan Agama Islam VI
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur ‘Aisyah Ibunda kaum mukminin radhiyallahu
ta’ala ‘anha, Nabi bersabda, “Maha Suci Engkau (Ya Allah) hamba tidak mampu
menyempurnakan sanjungan terhadap-Mu sebagaimana sanjungan yang Engkau tujukan
kepada Diri-Mu sendiri.”

Sedangkan tasmiyah/penamaan (terhadap Allah-pent) termasuk dalam


cakupan tsanaa’/sanjungan (sehingga jumlah Nama Allah tidak terhitung sebagaimana
Nabi tidak dapat menyempurnakan sanjungan terhadap Allah-pent). Hal ini
sebagaimana kita tidak diperbolehkan memberi nama Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam menggunakan nama yang bukan berasal dari pemberian nama oleh keluarga
beliau, maka terhadap Allah Rabbul ‘Izzah tentu tindakan menamai-Nya dengan nama
yang Dia sendiri tidak menamakan Diri-Nya dengannya lebih tidak pantas untuk
dilakukan.

Oleh karena itulah penetapan Nama Allah tidak boleh berdasarkan akal semata.
Kalau kita melakukan penambahan nama selain Nama-Nama yang telah disebutkan-
Nya bagi Diri-Nya sendiri maka kita telah terjerumus dalam pembicaraan mengenai
Allah tanpa landasan ilmu. Dan apabila kita justru menyembunyikan Nama-Nama yang
sudah disebutkan-Nya maka hal ini termasuk tindakan penentangan dan penolakan.
Karena Allah berhak menamai Diri-Nya dengan nama apa saja yang disukai-Nya.
Sehingga tindakan menambah-nambahi atau menyembunyikan Nama Allah tergolong
tindakan yang sangat jelek.

4. Setiap Nama Allah pasti menunjukkan keberadaan Dzat Allah, Sifat yang terkandung
dalam Nama tersebut, serta atsar/pengaruh yang timbul dari Nama tersebut apabila ia
termasuk kata yang butuh objek/muta’addi

Dalam mengimani Asmaa’ dan Sifat Allah harus terpenuhi 3 rukun:

a. Beriman dengan nama tersebut.


b. Beriman dengan makna/sifat yang terkandung didalamnya
c. Beriman dengan atsar yang timbul dari nama tersebut.

9
Pendidikan Agama Islam VI
Syaikh Al Utsaimin -semoga Allah Ta’ala merahmati beliau- (memberikan
ungkapan yang sedikit berbeda untuk rukun yang ketiga-pent) di dalam kitabnya Al
Qawaa’idul Mutsla beliau menggunakan ungkapan “Menetapkan hukum dan konsekuensi
Nama-Nama Allah” sebagai pengganti ungkapan “atsar yang timbul”. Akan tetapi
perbedaan ini tidak perlu dipermasalahkan karena maksud dari penetapan hukum (yang
dikatakan oleh Syaikh Utsaimin) sama artinya dengan menyandarkan Sifat kepada
sasaran-sasarannya dimana tampaknya objek/sasaran itu merupakan konsekuensi logis
dari penetapan Sifat. Seperti menyandarkan ilmu terhadap objek yang diilmui -dimana
dengan sebab Sifat ilmu- segala sesuatu tersebut bisa diketahui (oleh Allah). Rukun
ketiga ini berlaku apabila Nama itu menunjukkan kepada sifat yang butuh
objek/muta’addi.

Sedangkan apabila Nama tersebut tidak menunjukkan sifat


yang muta’addi maka kewajiban kita adalah mengimani Nama itu yang sekaligus
menunjukkan keberadaan Dzat Ilahiyah serta mengimani makna (sifat) yang terkandung
di dalamnya. Pada penjelasan di depan telah dipaparkan bahwa Nama Allah bukan
sekedar label/merek akan tetapi ia merupakan Nama yang paling indah. Dan salah satu
bentuk keindahan tersebut ialah bahwasanya Nama Allah itu menjadi Nama sekaligus
Sifat.

10
Pendidikan Agama Islam VI
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Didalam muqoddimah buku Lum’atul I’tiqod karya Ibnu Qudamah menyebutkan 4
kaidah di dalam memahami Tauhid Asma Wa Shifat. Disini kami membahas kaidah yang
pertama dan ketiga, yaitu :

1. Sikap yang wajib kita lakukan terhadap nash-nash Al Kitab dan As Sunnah yang
berbicara tentang Nama dan Sifat Allah. Orang orang yang mensikapi kaidah ini
terbagi menjadi beberapa golongan
a. Golongan yang pertama: Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
b. Golongan yang kedua: Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan
Sifat Allah mengarah kepada tamtsil.
c. Golongan Ketiga: Orang-orang yang memahami makna nash-nash Nama dan
Sifat Allah dengan melakukan penolakan/ta’thil.
d. Golongan Keempat: Orang-orang yang menyatakan dirinya jahil/tidak
mengetahui keinginan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada
lafazh, makna maupun kaifiyah Nama dan Sifat Allah.
2. Ketentuan yang berkaitan dengan Nama-Nama Allah ‘Azza wa Jalla
a. Nama-nama Allah itu husna
b. Sifat-sifat Allah tidak dijumlah dengan bilangan tertentu
c. Nama nama Allah tidak boleh ditetapkan dengan akal , akan tetapi dengan dalil
yang syar’i
d. Setiap Nama Allah pasti menunjukkan keberadaan Dzat Allah, Sifat yang
terkandung dalam Nama tersebut, serta atsar/pengaruh yang timbul dari Nama
tersebut apabila ia termasuk kata yang butuh objek/muta’addi

Dalam mengimani Asma’ Wa Sift Allah harus terpenuhi 3 rukun, yaitu:

1. Beriman dengan nama tersebut


2. Beriman dengan makna yang terkandung didalamnya
3. Beriman dengan atsar yang timbul dari nama tersebut

11
Pendidikan Agama Islam VI
DAFTAR PUSTAKA

Refrensi:

1. Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/280-kaidah-kaidah-penting-


untuk-memahami-nama-dan-sifat-allah-2.html
2. https://ibnumajjah.files.wordpress.com/2017/08/lumatul-itiqad_ibnu-qudamah.pdf

12
Pendidikan Agama Islam VI

Anda mungkin juga menyukai