Anda di halaman 1dari 22

TUGAS INDIVIDU

FIQIH

Oleh:
MAULANA IKHSAN
NPM: 18.71.0017

PROGRAM STUDI S1 SISTEM INFORMASI


FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
BANJARMASIN
2020

i
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sholat merupakan salah satu tiang bangunan islam. Begitu pentingnya arti
sebuah tiang dalam suatu bangunan yang bernama islam, sehingga takkan mungkin
untuk ditinggalkan.
Makna bathin juga dapat ditemukan dalam sholat yaitu: kehadiran
hati, tafahhum (Kefahaman terhadap ma’na pembicaraan), ta’dzim (Rasa
hormat), mahabbah, raja’ (harap) dan haya (rasa malu), yang keseluruhannya itu
ditujukan kepada Allah sebagai Ilaah.
Sesungguhnya shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan ta’lim
yang sempurna, yang meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi
bersih dan bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi
bersih dan suci. Shalat merupakan tathbiq ‘amali (aspek aplikatif) dari prinsip-
prinsip Islam baik dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal
yang membuka atap masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan,
persamaan dan kebebasan itu terwujud nyata. Terlihat pula dalam shalat makna
keprajuritan orang-orang yang beriman, ketaatan yang paripurna dan keteraturan
yang indah.
Sholat sebagai salah satu penjagaan bagi orang-orang yang beriman yang
benar-benar melaksanakannya.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang ke-lima, dinamakan zakat,
karena harta yang dikeluarkan itu, membersihkan semua harta yang dizakati, dan
memelihara pertumbuhannya.
Zakat ini hukumnya wajib atau fardlu, arti zakat dalam syari’at Islam adalah
sebagian harta yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu, dengan syarat-
syarat tertentu pula.
Untuk itu kami disini mencoba untuk mengurai pengertian zakat, hingga
benda-benda yang wajib dizakati,dan mengetahui macam-macam nisab, dan
orang-orang atau golongan-golongan yang berhak menerima zakat dan tidak
berhak menerima zakat, serta zakat fitrah,itu smua telah diatur dan ditentukan
dalam syari’at Islam, dan akan diterangkan kemudian.
Di dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk melaksanakan
pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan dan
seorang laki-laki menyatukan hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan
dengan tujuan mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Pernikahan dalam islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyai
adab-adab tertentu dan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Jika pernikahan
tidak dilaksanakan berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa
menjadi perbuatan sebuah zina. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus
mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai dengan kaidah agama Islam agar
pernikahan kita dinilai ibadah oleh ALLAH Swt.

2
3

BAB II
SHALAT

2.1 Shalat
Shalat menurut istilah Syara’ ialah : Beberapa ucapan dan perbuatan tertentu,
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Perbuatan tersebut disebut
“shalat”, karena mengandung makna “shalat” menurut arti bahasanya, yaitu
“do’a”.
Shalat-shalat Fardlu ‘Ain itu lima kali satu hari satu malam, yang diketahui
dengan pasti dari penjelasan agama. Shalat Muktabah lima waktu itu wajib
dikerjakan hanya oleh setiap muslim yang mukallaf yaitu yang telah sampai
baligh, berakal sehat, lelaki atau bukan yang suci. Maka Shalat tidak diwajibkan
atas orang kafir asli, orang gila, sedang ayan dan sedang mabuk yang keduanya
bukan akibat main-main. Hal itu karena mereka tidak terkena beban agama, dan
tidak diwajibkan pula atas perempuan yang sedang menstruasi dan nifas, karena
shalat tidak sah dikerjakan mereka, dan merekapun tidak diwajibkan
mengqodlo’nya. Tetapi shalat diwajibkan atas orang murtadd dan orang yang
mabuk akibat main-main.
Orang muslim mukallaf yang suci, apabila dengan sengaja menunda shalat
fardlu hingga melewati waktu penjama’annya, ia malas melakukannya sedang
berkeyakinan bahwa shalat itu wajib dikerjakan, kemudian disuruh bertaubat dan
ia tidak mau bertaubat, maka dikenakan had (pidana) pancung leher.

2.2 Syarat-syarat Shalat yang Pertama


Syarat ialah sesuatu tempat tergantung shahnya shalat, namun bukan
merupakan bagiannya. Syarat-syarat shalat ada lima.
1) Suci dari hadats dan junub.
Thaharah menurut arti Bahasa suci dan lepas dari kotoran. Dan menurut istilah
Syara’ ialah menghilangkan halangan itu berupa hadats atau najis.
a) Wudlu bersuci atau thaharah dari hadats pertama adalah berwudlu.
Syarat-syarat wudlu dan ini juga menjadi syaratnya mandi.
1) Air muthalaq ialah, yang dinamai “air” tanpa tambahan, walaupun hasil
sulingan dari asap air mendidih, atau dilarutkan campurannya ataupun
ada tambahan pada nama “air”, di mana air tambahan ini sebagai
menerangkan wadah/tempatnya misalnya “air laut”.
2) Bukan air bekas thaharah baik menghilangkan hadats kecil, besar,
walaupun thaharahnya seorang bermazhab Hanafi yang ia tanpa
berniat, ataupun anak yang belum mumayyiz untuk thawaf dan
mencuci najis walaupun najis ma’fuw.
3) Dan bukan pula air yang berubah banyak-banyak sekira dapat
menghilangkan “kemuthlaqan” air seperti halnya ia telah berubah salah
satu sifatnya, baik rasa, warna atau bau, walaupun berubah secara
taqdiriy.
2) Aliran air pada anggota badan. Belum cukup hanya dengan terusap air yang
tidak mengalir, sebab seperti bukan yang disebut membasuh.
3) Pada anggota badan wudlu tidak terdapat sesuatu yang membahayakan bagi
berubahnya air, seperti kayu za’faron, kayu shondal sementara segolongan
‘ulama berpendapat lain.
4) Tiada pembatas antara anggota badan basuhan dengan air. Misalnya tai lalat
buatan, lilin, minyak yang sudah mengenyang, noda tinta dan inai.
2.2.1 Fardlu Wudlu
Fardlu wudlu ada enam yaitu:
1) Niat berwudlu, atau menunaikan fardlu wudlu, atau menghilangkan
hadats, bagi selain orang yang selalu berkeadaan hadats, kalaupun dalam
wudlu yang diremajakan atau niat bersuci dari hadats, atau bersuci guna
melakukan ibadah jenis shalat, yaitu boleh dilakukan hanya dengan wudlu,

4
atau niat memperoleh wewenang dalam melakukan ibadah yang perlu
dengan wudlu, seperti halnya shalat dan menyentuh mashhaf.
2) Membasuh kulit muka. Berdasarkan ayat : “maka basuhlah muka kalian”.
3) Membasuh kedua tangan. Ialah dua telapak, dua hasta, sampai dengan
siku.
4) Mengusap sebagian kepala. Seperti halnya naz’ah, kulit bebas rambut di
belakang telinga, baik berwujud kulit atau rambut, asal berada di daerah
kepala sekalipun hanya ½ helai rambut.
5) Membasuh kedua kaki, berikut mata kaki masing-masing.
6) Tertib. Berurutan seperti di atas. Terlebih dahulu membasuk muka, kedua
tangan, kepala, baru kedua kaki.
2.2.2 Sunnah Wudlu
Sunah-sunah wudlu yaitu:
1) Menyebut Asma Allah pada permulaan wudlu.
2) Berwiwak dengan melebar pada gigi dalam dan luar memanjang pada
lidah.
3) Sunnah berkumur dan mengecap air hidung pada tiga ceduk, masing-
masing ceduk dipakai berkumur dan disesap ke dalam hidung, karena
ittiba’ Rasul.
4) Sunnah mengusapkan air matai kepala.
5) Sunnah mengusap serata kedua telinga.
6) Sunnah menggosok anggota badan yang terkena air, karena menghindari
perselisihan dengan orang yang mewajibkannya.
7) Sunnah menyela-nyelai jari tangan.
8) Memanjangkan Ghurroh dan Tachjil.
9) Mengulangi masing-masing tiga kali.
10) Muwalah (sambung-menyambung)
11) Bersungguh-sungguh dalam membasuh tumit.
12) Menghadap Qiblat.

5
13) Tidak berbicara Ketika berwudlu.
14) Tidak menyeka air wudlu
15) Berdo’a sesudah wudlu.
16) Minum air sisa wudlu.
17) Memercikkan air sisa wudlu ke pakaian.
18) Shalat sunnah dua raka’at sesudah wudlu.
2.2.3 Mandi.
Mandi menurut arti bahasanya ialah mengalirnya air pada sesuatu. Sedang
menurut istilah syara’ ialah mengalirnya air pada serata tubuh dengan diniatkan
mandi. Hal-hal yang mewajibkan mandi ada empat yaitu:
1) Keluar air mani yang masih baru.
2) Masuknya kepala penis, atau tengkuknya bagi orang yang tidak memiliki
kepala penis, walaupun dari penis lepasan, binatang ataupun orang mati.
Kedalam farji wubul atau dubur, sekalipun farji binatang ataupun orang mati.
3) Haidl, setelah berhenti pendarahannya.
4) Nifas bila telah berhenti pendarahannya.
2.2.4 Fardlu Mandi.
Fardlu mandi ada dua yaitu:
1) Niat menyikirkan kejunuban bagi orang yang junub, atau haidl bagi orang
mandi sebab haidl. Maksudnya ialah hukum junub dan hukum haidl.
2) Meratakan air pada bagian luar badan, termasuk kuku, kulit bawah kuku,
rambut sampai pangkal dan kulit tempat tumbuhnya sekalipun lebat.
2.2.5 Sunnah Mandi
Kesunnahan mandi wajib dan mandi sunnah:
1) Diawali dengan basmalah.
2) Membuang kotoran yang suci, missal mani dan lender hidung dan kotoran
yang najis seperti madzi.
3) Kencing sebelum mandi.

6
4) Berkumur, menyesap air ke dalam hidung dan berwudlu dengan
sempurna.
5) Melanggengkan keadaan suci dari hadats kecil sampai selesai mandi.
6) Sunnah sungguh-sungguh dalam membasuh anggota badan yang berlipat-
lipat.
7) Sunnah menggosok bagian badan yang bisa dijamah oleh tangan.
8) Sunnah mengulangi tiga kali semua basuhan badan.
9) Sunnah menghadap qiblat.
10) Sesudah mandi, sunnah membaca dua kalimah Syahadat beserta do’a
sambungannya seperti tersebut di depan yang dibaca sesudah wudlu.
11) Disunnahkan juga, untuk tidak mandi junub atau lainnya seperti wudlu,
dengan air tidak mengalir yang tidak menjadi semakin banyak, misalnya
air telaga bermata air yang tidak mengalir.
2.3 Syarat Shalat Yang Ke Dua
Syarat shalat yang ke dua yaitu:
1) Suci badannya, yang juga termasuk badan ialah dalam mulut, hidung dan
bagian dalam mata.
2) Suci pakaiannya, dan segala yang ia bawa, sekalipun tidak ikut bergerak
bila ia sedang bergerak.
3) Suci tempatnya mengerjakan shalat.
Karena itu, shalatnya orang yang tidak suci dari najis adalah tidak shah,
sekalipun ia lupa/tidak tahu adanya, atau lupa/tidak tahu kalua najis itu
membatalkan shalat.
2.4 Syarat Shalat Yang Ke Tiga
Menutup bagian badan mulai pusat hingga lutut, bagi laki-laki sekalipun anak-
anak, dan wanita budak sekalipun mukatab atau budak ummu walat sekalipun
menyepi di tempat kegelapan.
Menutup seluruh badan. Selain wajah dan kedua telapak tangan luar/dalam
sampai pergelangan tangan, bagi wanita merdeka sekalipun anak-anak.

7
2.5 Syarat Shalat Yang Ke Empat
Mengetahui waktu shalat telah tiba, dengan penuh keyakinan, atau hanya
perkiraann. “Barang siapa melakukan shalat dengan tanpa mengetahui masuknya
waktu shalat, maka shalatnya tidak shah, sekalipun ternyata dilakukan pada
waktunya. Sebab penilaian terhadap ibadah itu berdasarkan perkiraan orang
mukallaf, di samping mutu ibadah itu sendiri. Tentang penilaian aqad hanya
terletak pada keadaan aqad itu sendiri.
2.6 Syarat Shalat Yang Ke Lima
Menghadapkan dada ke Qiblat, dalam hal ini Ka’bah.
2.7 Syarat Shalat Yang Ke Enam
Mengetahui kefardluan shalat. Bila tidak mengetahui adanya kefardluan shalat
pada umumnya, atau kefardluan shalat yang sedang ia kerjakan, maka shalatnya
tidak shah. Dan dapat membedakan mana yang termasuk fardlu shalat dan yang
sunnah.

8
3

BAB III
ZAKAT

3.1 Zakat
Menurut arti bahasanya zakat bermakna “membersihkan” dan “berkembang”.
Sedang menurut istilah syara’, adalah nama sesuatu yang dikeluarkan (diambil)
dari harta atau badan dengan ketentuan seperti berikut.
Zakat harta mulai di fardlukan pada tahun ke dua Hijrah, yaitu sesudah
kefardluan Shadaqah Fitrah. Zakat Harta wajib ditunaikan pada delapan macam,
Emas perak, binatang ternak, buah kurma dan anggur dan diberikan kepada
delapan kelompok manusia.
Orang yang menentang kewajiban zakat dihukumi kafir, yang enggan
menunaikannya diperangi dan dipungut zakat dari padanya secara paksa, sekalipun
ia tidak memerangi. Wajib zakat atas setiap muslim, sekalipun tidak mukallaf,
maka bagi sang wali wajib mengeluarkan zakat untuk orang yang wajib diwalii
dari hartanya sendiri. Tidak termasuk muslim adalah orang Kafir asli, makai a
tidak berkewajiban menunaikan zakat, sekalipun telah pernah masuk islam. Yaitu
muslim yang jelas merdeka, berarti zakat tidak diwajibkan atas hamba sahaya,
karena ia tidak mempunyai hak milik, tidak pula atas budak mukatab (budak yang
dijanjikan kemerdekaannya) karena kelemahan status miliknya, serta kewajiban
zakatnya tidak melimpah kepada tuannya karena ia (sekarang) tidak pemiliknya.
3.2 Wajib Zakat Fitrah
Disebut Zakatul Fitrah (zakat berbuka puasa), sebab diwajibkannya karena
telah berbuka puasa kahir Ramadhan, difardlukan sebagaimana puasa Ramadhan,
pada tahun ke dua Hijrah, perkataan ibnul laban bahwa zakat fitrah tidak wajib
adalah keliru, sebagaimana diterangkan dalam Ar-Raudloh. Wakii’ berkata : Zakat
Fitrah terhadap bulan Ramadhan adalah bagaikan Sujud Sahwi menambal
kekurangan shalat, perkataan ini dikuatkan oleh Hadits Shahih yang menyatakan
bahwa zakat fitrah itu membersihkan orang puasa daripada sia-sia dan keji (zina).
Zakat fitrah wajib atas orang merdeka, maka bagi hamba sahaya tidak wajib
mengeluarkan fitrah dirinya, tetapi menjadi kewajiban tuannya, tidak wajib pula
menfitrahi isterinya, bahkan kalau ia seorang amat maka kewajibannya melimpah
pada tuannya amat itu, kalua ia bukan seorang amat, maka kewajiban fitrahnya
adalah atas tanggungan dirinya sendiri (bukan suaminya, sebab hamba sahaya),
seperti keterangan berikut di bawah ini.
Zakat fitrah tidak wajib atas budak Mukatab, karena lemahnya status
miliknya, dari sini, maka tidak berkewajiban mengeluarkan zakat hartanya, dan
juga menafkahi kerabatnya, dan karena kebebasannya, maka tuannya tidak
terbebani fitrah dirinya (Mukatab).
Kewajiban zakat fitrah mulai dengan terbenamnya matahari akhir Ramadhan
malam ‘Idul Fitri, yaitu dengan mendapatkan bagian terakhir bulan Ramadhan dan
awal bulan Syawwal. Haram menunda zakat fitrah sampai melewati hari ‘Idul Fitri
bila tiada udzur melintang, misalnya hartanya atau mustahiq sedang tidak ada, ia
wajib meng qodlo’ seketika itu juga, karena kedurhakaannya. Jaiz menta’jil fitrah
sejak awal Ramdhan, sunnah jangan sampai menunda hingga shalat ‘Idul Fitri,
bahkan penundaan di sini hukumnya Makruh, tetapi Sunnah menunda Fitrah guna
menanti kedatangan semacam kerabat atau tetangga, selama tidak melewati
terbenamnya matahari ‘Idul Fitri.
3.3 Syarat Menunaikan Zakat
Syarat menunaikan zakat ada dua :
1) Niat di dalam hati, bukan niat dengan ucapan, misalnya “inilah zakat
hartaku” sekalipun tidak menyebut sebagai fardlu, karena zakat di sini
sudah berarti fardlu, atau “Inilah sedekah fardlu”, atau “inilah zakat fardlu
untuk hartaku”. Belum cukup dengan “inilah fardlu hartaku”, karena
kefardluan hart aitu bisa berupa kaffarah atau bisa juga nadzar.

4
2) Zakat itu diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya
(Mustahiqqin) yaitu mereka yang termasuk di dalam 8 kelompok manusia
seperti disebutkan dalam ayat 60 surat IX At-Taubah : “Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang kafir, miskin, para Amil zakat,
para muallaf, budak, orang-orang yang berhutang, sabilillah dan ibnu
sabil.
a) Orang fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan
yang patut yang hasilnya bisa mencukupi kebutuhannya dan
kebutuhan orang yang ia tanggung biaya hidupnya.
b) Orang miskin ialah orang yang memiliki harta atau pekerjaan yang
telah menutup kebutuhannya, tetapi belum mencukupinya.
c) Amil yaitu seperti halnya pengusaha zakat ialah orang yang diutus
oleh Imam untuk mengambil zakat, pembagi zakat, pengumpul zakat,
bukan Qadli.
d) Muallaf ialah orang masuk islam yang masih lemah mental ke
Islamannya, atau orang islam yang mempunyai wibawa yang dengan
diberi zakat maka bisa diharapkan orang lain turut Islam.
e) Riqab ialah budak-budak Mukatab yang perjanjian kitabahnya shah,
Mukatab diberi atau tuannya atas izin dari Mukatab sejumlah
tunggakan angsuran tebusan kemerdekaannya jika ia tidak mampu
melunasi, sekalipun ia rajin bekerja, tidak boleh diberi zakat tuannya,
karena dirinya masih tetap menjadi milik sang tuan.
f) Gharim ialah orang berhutang buat dirinya sendiri untuk kepentingan
yang bukan maksiat. Maka gharim boleh diberi zakat bila tidak mampu
membayar hutangnya, sekalipun rajin bekerja, sebab pekerjaan itu
tidak bisa menutup kebutuhannya untuk melunasi hutang bilah telah
tiba saat pembayarannya.

5
BAB IV
NIKAH

4.1 Nikah
Menurut Bahasa, Nikah berarti berkumpul menjadi satu, sebagaimana
dikatakn orang Arab “pepohonan itu saling bernikah” jika satu sama lainnya
bercondongan dan mengumpul. Menurut syara’ adalah suatu aqad yang berisi
pembolehan melakukan persetubuhan dengan lafadh (menikahkan), Kata “Nikah”
itu sendiri secara hakiki bermakna aqad, dan secara majaziy bermakna
persetubuhan, menurut pendapat yang lebih shahih.
Sunnahh bernikah bagi lelaki Taiq, yaitu yang telah memerlukan bersetubuh,
sekalipun terleka dengan melakukan ibadah, yang mampu memikul biaya untuk
Mahar dan untuk pakaian semusim Tamkin (semusim panas/dingin yang ia
mendapat tamkin di sana, tamkin yang dimaksudkan di sini adalah suatu kondisi
yang membuat dirinya Sunnah bernikah) dan untuk nfakah sehari (semalam)
Tamkin.
Sunnah bagi wali sebelum mengijabkan anak perwaliannya mengucapkan
khuthbah karena aqad nikah. Sunnah pula berkhuthbah sebelum khitbah
(meminang) dan sebelum ijabah (penerimaan) pinangan. Sunnah bagi wali atau
wakilnya sebelum dilaksanakan aqad Nikah terlebih dahulu mengatakan “Saya
akan mengawinkanmu atas perintah Allah Azza Wa Jalla agar dipelihara dengan
baik atau dilepaskan dengan bagus. Sunnah bagi wali menawarkan puteri
perwaliannya kepada orang-orang shalih.
Haram meminang secara terang terangan kepada wanita tengah dalam Iddah
yang bukan darinya, baik dalam Thalaq Rajj’iy maupun Ba’in, baik iddah Thalaq
atau fasakh maupun kematian.

6
4.2 Syarat Rukun Nikah
Rukun Nikah ada lima yaitu: Calon isteri, calon suami, wali dua orang saksi
dan Shihah. Shighah disyaratkan adanya Ijab dari wali (calon Isteri), yaitu
mengucapkan semisal “Zawwajtuka/Ankahtuka Mauliyyatii Fualanah” (saya
kawinkan engkau/saya nikahkan engkau dengan anak perwalianku si Polanah).
Maka ijab tidak syah selain memakai salah satu lafadh di atas (Zawwajtuka
dan Ankahtuka), karena berdasar hadits Riwayat muslim : Taqwalah kalian ke
pada Allah kaitannya dengan kaum wanita, karena sesungguhnya kalian bisa
memungutnya dengan amanat Allah dan membuat halal farjinya dengan Kalimah
Allah ialah yang terdapat dalam Al-Qur’a, Sedang tidak terdapat di sana selain dua
lafadh tersebut. Atas dasar beberapa wajah, adalah tidak syah ijab dengan
“Uzawwijuka” (saya akan/sedang mengawinkanmu) dan “Unkihuka” (saya
akan/sedang menikahkan kamu), tidak syah pula dengan kinayah (sindiran)
misalnya “saya Halalkan puteriku untukmu” atau “saya ikat dia kepadamu”.
Disyaratkan pula Qabul dari pihak calon suami yang bersambung dengan Ijab
tersebut, ya itu semacam mengatakan “Tazawajtuha” (saya kawini dia) atau
“Nakahtuha” (saya nikahi dia) di sini harus terdapat kata yang menunjukkan calon
isteri, baik berupa semcam menyebut nama atau Dlamir (kata ganti) atau Isyarah
(kata petunjuk)
4.3 Disyaratkan Untuk Calon Suami
Ta’yin (menentukan siapa orangnya) maka “saya kawinkan anak puteriku
dengan salah satu diantara kalian berdua” adalah batal, sekalipun isyarat.
Tidak adanya telah mempunyai isteri sekalipun telah dalam kedaan iddah
Raj’iyyah karena iddah Raj’iyyah itu seperti halnya isteri dengan dalil masih
biasanya saling mewaris, yang itu adalah Mahram calon isteri, misalnya saudari
wanitanya atau bibi dan ayah atau ibunya baik dari jalur nasab maupun radla.
Apabila seseorang dalam satu aqad mengawini dua orang satu sama lainnya
ada hubungan mahram, maka batal pada kedua-duanya, karena tidak ada Mu’rajjih
(alas an yang memenangkan salah satunya) kalua dalam dua kali aqad, maka aqad

7
yang kedua di hukumi batal. Apabila lelaki merdeka menikahi 5 orang wanita
berturut-turut maka batal untuk yang nomor lima, kalua dilakukan sekaligus dalam
satu aqad, maka batal seluruhnya, kalua seorang hamba menikahi lebih dari dua
orang wanita, juga batal seperti cara tersebut. Apabila isteri yang menjadi mahram
calon isteri baru atau salah seorang dari 4 isteri itu berada pada iddah ba’in, maka
syah menikahi mahram dan calon isteri kelima tersebut, karena isteri dalam iddah
ba’in itu dihukumi sebagaimana orang Ajnabiyyah (orang lain, bukan isteri).
4.4 Disyaratkan Pada Dua Orang Saksi
Keahlian sebagai saksi, sebagai mana syarat-syaratnya akan dikemukakan
dalam Bab Syahadah (persaksian), yaitu merdeka dengan sempurna, jelas sebagai
lelaki dan adil, dan di antara persyaratan keadilan yang harus ada yaitu, Islam,
mukallaf, mendengar bisa berbicara dan melihat, karena pa yang akan diterangkan
dibelakang bahwa ucapan-ucapan itu tidak bisa ditetapkan adanya kecuali dengan
mu’ayanah (terlihat oleh mata) dan terdengar telinga.

8
BAB V
PENUTUP

5.1 Rangkuman Materi


Shalat merupakan salah satu kewajiban yang wajib dikerjakan karena shalat
merupakan pondasi utama Agama, alangkah baiknya kita mengetahui caranya
dengan baik dan benar, karena mengejar kesempurnaan dalam ibadah adalah
sesuatu yang sangat dianjurkan, apalagi kita dapat mengerjakan sunnah-sunnah
yang diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad Saw.
Zakat dalam islam adalah wajib bagi setiap kaum muslim karena zakat
merupakan harta untuk membersihkan kita dari dosa dan sebagai penyempurna
amal kita di bulan suci Ramadhan, zakat fitrah wajib setiap muslim begitu juga
untuk anak.
Pernikahan dalam islam merupakan penyempurna amal ibadah antara laki-laki
dan perempuan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Menikah
juga menghindarkan kita dari berbuat zina.

9
LAMPIRAN

Terjemah Fat-hul Mu’in oleh Drs. H. Aliy As’ad, bimbingan : Dr. H. Moh. Tolchah
Mansoer SH. Penerbit “Menara Kudus”. Jilid 1

10
11
Terjemah Fat-hul Mu’in oleh Drs. H. Aliy As’ad, bimbingan : Dr. H. Moh. Tolchah
Mansoer SH. Penerbit “Menara Kudus”. Jilid 2

12
13
Terjemah Fat-hul Mu’in oleh Drs. H. Aliy As’ad, bimbingan : Dr. H. Moh. Tolchah
Mansoer SH. Penerbit “Menara Kudus”. Jilid 3

14
15

Anda mungkin juga menyukai