Anda di halaman 1dari 24

TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

BAB 8
BERAGAMA SECARA UTUH MELALUI HUKUM ISLAM

DISUSUN OLEH

1. ADE IRA RAHMAWATI (01)


2. DESI FITRIYANI (08)
3. DHITA PRIMA APRILIANSYAH (09)
4. EKA SUSANTI (10)
5. GARNIS PUTRI SULANDARI (15)
6. MUTIARA RAMADHAN (20)
7. YULITA INDRIANI (36)
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Berkat karunia-Nya lah kita dapat
meneruskan pendidikan yang lebih tinggi seperti sekarang ini.
Alhamdulillah kami dari kelompok satu dapat menyelesaikan tugas
kelompok makalah yang berjudul Sumber Ajaran Islam. Semoga makalah
yang kami buat dari kelompok satu ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Aamiin Ya rabbaal alamiin. Apabila dalam makalah ini terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Apabila ada saran dan kritik, kami akan menerimanya sebagai perbaikan.
Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

TEAM PENYUSUN
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................................................... 3

BAB I...................................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN................................................................................................................................................ 4
A.    Latar belakang...................................................................................................................................... 4
B.   Tujuan...................................................................................................................................................... 4

BAB II.................................................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN................................................................................................................................................... 6
1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Pertama...............................................................6
A. Pengertian Al-Qur’an.................................................................................................................... 6
B. Fungsi  Al-Qur’an............................................................................................................................ 6
C. Kemukjizatan Al-Qur’an.............................................................................................................. 8
D. Validitas Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum.......................................................................8
E. Kandungan Isi Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum...........................................................9
F. Keistimewaan Al-Qur’an dibandingkan Kitab-Kitab Samawi yang Lain..................9
2. Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua........................................................................11
A. Pengertian Hadits........................................................................................................................ 11
B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an....................................................................................... 11
C. Macam-Macam Hadist................................................................................................................ 12
3. Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam Ketiga............................................................................ 14
A. Pengertian Ijtihā d........................................................................................................................ 14
B. Syarat-Syarat Berijtihā d............................................................................................................ 14
C. Kedudukan Ijtihā d....................................................................................................................... 14
D. Bentuk-bentuk Ijtihā d................................................................................................................ 15
4. Hukum Taklif..................................................................................................................................... 16
A. Pengertian Hukum Taklifi............................................................................................................ 16
B. Macam-macam hukum taklifi..................................................................................................... 16
C. Pembagian Hukum Taklifi............................................................................................................ 19
BAB III................................................................................................................................................................ 24
PENUTUP.......................................................................................................................................................... 24
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang


Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid
telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam
adalah Al-Qur’an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir
zaman.Di samping itu Al-Qur,an adalah panutan untuk semua muslimin dan
muslimah.dan Al-Qur,an mengandung bnyak sekali penyelesaian dalam masalah di
kehidupan kita
Disamping itu terdapat Hadist/as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an terhadap hal-
hal yang masih bersifat umum.Hadits merupakan yang ke2 setelah Al-Qur,an untuk
menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran islam.
Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas. Sebagai salah satu acuan
dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum.
Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut
seperti Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami
pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.

B.   Tujuan

·         Agar siswa mengerti sumber-sumber ajaran islam


·        Agar siswa mengerti tentang sumber ajaran islam melalui Al-Qur’an
·        Agar siswa mengerti tentang sumber ajaran islam melalui Hadits
·        Agar siswa mengerti tentang sumber ajaran islam melalui ijtihad
·         Agar siswa lebih taat beragama setelah mengetaui tentang sumber-sumber ajaran
islam

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran islam melalui Al-Qur’an?


2. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran islam melalui Hadits?
3. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran islam melalui Ijtihad?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam Pertama

A. Pengertian Al-Qur’an

Dari segi bahasa, al-Qur’ā n berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qirā ’atan –
qur’ā nan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur’ā n
adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga
akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber
pertama atau Asas Pertama Syara'.
Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci
lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Quran dari
waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun tidak ada
yang saling bertentangan. Surat yang pertama kali turun adalah surat al-alaq ayat 1-5.

B. Fungsi  Al-Qur’an

Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni 
sebagai berikut :

- Hudá (Petunjuk)
Sebagai  hudá , artinya Al-Qur’an merupakan  aturan yang harus diikuti  tanpa
tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan.
Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan
petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37).
Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah  bukan  cerita yang
dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam
mengelola bumi.

Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan  yakni hukum


alam  dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk  menampakkan kejayaan Islam
dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah ‘alá ddini  kullih)
sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah yang
Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an)
harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl dalam mengelola
bumi.

- Bayyinát (Penjelasan)

Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyiná t berfungsi memberikan penjelasan


tentang  apa-apa  yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai  bayyiná t,
Al-Qur'an  harus dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi
manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia
sering hanya bersifat  trial and error.

- Furqán (pembeda)

Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqá n atau  pembeda antara yang haq  dan
yang bá thill,  antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar oleh
mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufurr. 

- Syifa (obat, resep)

Ibarat resep dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi
memahaminya, akan  tetapi walaupun begitu,  pasien tetap percaya bahwa resep itu
benar mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran
otoritas.  Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti
benar mustahil salah karena Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian walaupun ada
beberapa ayat Al-Qur;an yang untuk sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio,
tak apa tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab  kalau menunggu dapat memahaminya
secara penuh bisa  keburu mati. 

Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan
agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat
aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian pula dengan
Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan (feeling) kemauan
(willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin mengamalkan
seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan ayat-ayat tertentu
untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu
biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
C. Kemukjizatan Al-Qur’an

Al-Quran merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW. Menurut bahasa,


mukjizat berarti melemahkan atau yang berarti melemahkan. Dalam istilah Al-Quran,
mukjizat dinamakan dengan ayat atau burhan yang berarti tanda bukti atau keterangan
yang jelas. Adapun bentuk-bentuk kemukjizatan Al-Quran tersebut adalah :
- Kemukjizatan yang berkaitan dengan kabar-kabar gaib yang dibawa Al-
Qur’an yang kemudian terjadi sesuai dengan berita tersebut. Misalnya
tercantum dalam QS. Ar Rum(30) : 2-3.
- Kemukjizatan yang berkaitan dengan aspek nuzum (susunan kata)
- Kemukjizatan yang berkaitan dengan aspek hukum dan reformasi
- Kemukjizatan ilmiah yaitu petunjuk dan isyarat atas hakikat-hakikat ilmiah
yang dikandung Al-Qur’an yang belum diketahui manusia pada saat Al-Qur’an
diturunkan

D. Validitas Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum

Al-Qur’an mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.


Kekhususan-kekhususan yang dimiliki Al-Qur’an baik lafaz maupun makna yang datang
dari Allah SWT, keindahan gaya bahasa yang tidak tertandingi, kemukjizatannya yang
mampu menundukkan manusia serta diturunkan secara mutawattir melahirkan suatu
kebenaran yang qat’i dan periwayatan secara mutlak. Berikut ini beberapa hal yang
menunjukkan validitas Al-Qur’an sebagai sumber hukum :
- Al-Qur’an diturunkan Allah SWT Kepada Muhammad SAW dengan jalan
mutawattir, tidak ada yang dapat mengubah atau menggantinya karena Allah
SWT telah menjamin untuk menjagannya sehingga menguatkan bahwa Al-
Qur’an benar-benar firman Allah SWT.
- Adanya kesahihan penisbahan Al-Qur’an kepada Allah SWT juga diperkuat
dengan dalil rasio yang kuat, yaitu jika Al-Qur’an datang bukan dari Allah
SWT, maka sudah dipastikan terjadi perbedaan dan kesimpangsiuran di
dalamnya. Pertentangan tersebut berada pada kosa katanya. Bahasa Arab
memiliki banyak arti yang luas. Tidak seorang pun yang dapat menguasainya
kecuali Nabi.
- Al-Qur’an merupakan mukjizat yang masih terus lestari sepanjang masa, baik
lafal maupun redaksi bahkan substansinya. Tidak ada yang mampu
menghadapi tantangan AL-Qur’an untuk mendatangkan satu surah saja yang
semisal dengan Al-Qur’an.
- Dengan adanya keyakinan yang mendalam terhadap eksistensni Al-Qur’an
sebagai kitab terkahir yang paling lengkap dan sempurna.
E. Kandungan Isi Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum

Ada beberapa macam hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, antara


lain :
- Ahqam I’tiqadiyah (hukum akidah)
Yaitu hukum-hukum yang terkait erat dengan masalah-masalah
keyakinan, yaitu Allah SWT, malaikat, kitab-kitab, para rasul, dan hari
pembalasan.
- Ahqam Khuluqiyah (hukum akhlak)
Yaitu hukum-hukum yang terkait erat dengan masalah-masalah yang
harus dipakai sebagai hiasan hidup bagi manusia. Seperti keutamaan-
keuatmaan dan menghindarkan diri dari kehinaan.
- Ahqam Amaliyah (hukum amal)
Yaitu hukum-hukum yang terkait erat dengan seluruh perbuatan mukalaf.
Dalam Al-Qur’an hukum amaliyah dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Hukum ibadah
b. Hukum muamalah

Hukum muamalah ini dibagi lagi menjadi beberapa cabang sesuai dengan
perekembangan pengetahuan dan kebutuhan zaman, diantaranya :

a. Ahqam Al-Ahqam Al-Saksiyah (hukum pembinaan keluarga)


b. Ahqam Al-Madaniyah (hukum kekayaan dan hak seseorang)
c. Ahqam Al-Jinayah (hukum pidana)
d. Ahqam Al-Murafa’at (hukum acara)
e. Ahqam Al-Dsuturu’iyah (hukum perundang-undangan)
f. Ahqam Al-Dauliyah (hukum ketatanegaraan)
g. Ahqam Al-Iqtisadiyah wa Al-Maliyah(hukum ekonomi dan harta benda)

F. Keistimewaan Al-Qur’an dibandingkan Kitab-Kitab Samawi yang


Lain

Al-Qur’an mempunyai banyak keistimewaan dibdanding kitab-kitab


Samawi lainnya. Diantara keistimewaan-keistimewaan itu adalah sebagai
berikut :
- Al-Qur’an terpelihara dari tahrif (perubahan) dan tabdil (penggantian) sesuai
dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Hijr (15):9.
- Al-Qur’an terjaga dari pertentangan atau kontradiksi apa yang ada di
dalamnya sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa (4):82.
- Al-Qur’an mempunyai mukjizat dan tidak seorang pun yang mampu untuk
mendatangkan yang semisalnya.
- Al-Qur’an mendatangkan ketenangan dan rahmat bagi siapa saja yang
membacanya.
- Al-Qur’an sebagai penawar hati dari penyakit syirik, nifak, dan yang lainnya.
- Al-Qur’an sebagai hakim atas kitab-kitab sebelumnya.
- Di dalam Al-Qur’an terdapat kisah nyata dan khayalan.
- Al-Qur’an menyeimbangkan antara kebutuhan dunia dan akhirat.
- Al-Qur’an memenuhi semua kebutuhan manusia, baik berupa akidah, ibadah,
hukum, muamalah, akhlak, politik, ekonomi, dan permasalahan-
permasalahan lainnya.
- Al-Qur’an memberitakan perkara-perkara gaib yang akan terjadi yang tidak
bisa di duga.
-
2. Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua

A. Pengertian Hadits

Perkataan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama,
ucapan, jalan, pembicaraan, dan cerita. Menurut istilah, hadis adalah segala berita yang
bersumber dari Nabi Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takkir
(persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW. (Syamsuri, 2006: 60).
As-Sunah atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara istilah adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau
ketetapan, dll.
Alasan mengapa Hadits di jadikan sumberhukum islam menurut :
Hidayatullah.Com–As-Sunah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran,
tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih Islam, terutama  pada masa para
imam mujtahid dengan berdirinya mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa  kejayaan
kajian ilmu hukum Islam di dalam dunia sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi
pada umat agama lain, baik di zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang
mendalami mazhab-mazhab fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-
Sunah di dalam penetapan hukum-hukum fiqih.

B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an

Fungsi hadis terhadap al-Qur’ā n dapat dikelompokkan sebagai berikut :

- Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ā n yang masih bersifat umum. Contohnya adalah


ayat al-Qur’ā n yang memerintahkan śalat. Perintah salat dalam al-Qur’ā n masih
bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang śalat,
baik tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Untuk menjelaskan
perintah śalat tersebut misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, “Śalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku śalat”. (H.R. Bukhari).

- Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ā n, seperti dalam al-Qur’ā n


terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka
berpuasalah!” Maka ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi, “...
berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari
dan Muslim).

- Menerangkan maksud dan tujuan ayat. Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34


dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak
membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang
pedih!” Ayat ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan
zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)

- Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ā n Maksudnya adalah
bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnyadalam al-Qur’ā n, diambil dari
hadis yang sesuai. Misalnya, bagaimanahukumnya seorang laki-laki yang menikahi
saudara perempuan istrinya. Maka hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis
Rasulullah saw . Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang
seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan
saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari
ibunya.” (H.R. Bukhari).

C. Macam-Macam Hadist

Ditinjau dari segi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti
berikut.

- Hadist Mutawattir
Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari
kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara
mereka tidak bersepakat dusta. Contohnya adalah hadis yang berbunyi:
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya adalah neraka.” (H.R.
Bukhari, Muslim)

- Hadist Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih
yang tidak mencapai derajat mutawattir namun setelah itu tersebar dan
diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’³n sehingga tidakmungkin bersepakat dusta.
Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang artinya, “Orang Islam adalah orang-orang
yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari,
Muslim dan Tirmizi)

- Hadist Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi
sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas orang yang
meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian berikut :

1. Hadis Śahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat
hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw.,
tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih
terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).

2. Hadis hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang
kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama
seperti hadis śahih, hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
3. Hadis dhaif, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śahih dan hadis
hasan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah,
tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.

4. Hadis Maudlu', yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau
hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas tidak
dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.
3. Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam Ketiga

A. Pengertian Ijtihād

Kata ijtihā d berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihā dan yang berarti


mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau
bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihā d adalah mencurahkan segenap tenaga dan
pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang
melakukan ijtihā d dinamakan mujtahid.

B. Syarat-Syarat Berijtihād

Karena ijtihā d sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid,
dimungkinkan hasil ijtihā d antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum
yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihā d dan
menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki
seseorang untuk melakukan ijtihā d :

- Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.


- Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul
- fikih, dan tarikh (sejarah).
- Memahami cara merumuskan hukum (istinba).
- Memiliki keluhuran akhlak mulia.

C. Kedudukan Ijtihād

Ijtihā d memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ā n dan
hadis. Ijtihā d dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-
Qur’ā n dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihā d tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’ā n maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah
saw. Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke
Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa
orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-
Qur’ā n).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan
sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan
menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak
menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan
mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihā du bi ra’yi) tanpa bimbang
sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. Yang memberikan
bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.”
(H.R. Darami)
Rasulullah saw, juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihā d sesuai dengan
kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihā dnya benar, maka ia mendapatkan dua
pahala, dan jika kemudian ijtihā dnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. Hal
tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis:
Artinya: “Dari Amr bin Aś, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang
hakim berijtihā d dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihā dnya benar, maka
ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihā d, kemudian ijtihā dnya salah, maka
ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

D. Bentuk-bentuk Ijtihād

Ijtihā d sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuahhukum terbagi
ke dalam beberapa bagian, seperti berikut.
- Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihā d dalam memutuskan suatu perkara atau
hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu
Ilahi yang berbentuk lembaranlembaran terpisah menjadi sebuah mus¥af al-Qur’ā n
yang seperti kita saksikan sekarang ini.

- Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat
dalam al-Qur’ā n atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’ā n dan
hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan
hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka, dan
narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu
memabukkan. Khamr dalam al-Qur’ā n diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan
keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu
beruntung.” (Q.S. al- Maidah/5:90)
4. Hukum Taklif

A. Pengertian Hukum Taklifi


Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau
menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya.
- Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:

َّ ‫الز َكو َة َواَ ِطْيعُوا‬


‫الر ُس ْو َل لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْرمَحُْو َن‬ َّ ‫َواَقِْي ُموا‬
َّ ‫الصلَو َة َوآتُوا‬

"Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi
Rahmat." (QS. An-Nur : 56)
- Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
ِ ‫والَ تَأْ ُكلُوا اَموالَ ُكم بينَ ُكم بِالْب‬
‫اط ِل‬َ ْ َْ ْ َ ْ ْ َ
"Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan bathil." (QS. Al-Baqarah :
188)
- Contoh firman Allah yang bersifat memilih:

‫ض ِم َن اْخلَْي ِط اْالَ ْس َو ِد ِم َن اْل َف ْج ِر‬


ُ َ‫ط اْالَْبي‬
ُ ‫َو ُكلُ ْوا َوا ْشَربُ ْوا َحىَّت َيتََبنَّي َ لَ ُك ُم اْخلَْي‬
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar." (QS. Al-Baqarah : 187)

B. Macam-macam hukum taklifi

- Ijab
Yaitu tuntutan syar'i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan. Orang yang meninggalkan dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur :
56

‫الز َكو َة‬ َّ ‫واَقِْي ُموا‬....


َّ ‫الصلَو َة َوآتُوا‬ َ
artinya:
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat..."
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut ahli para Ushul Fiqh
melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila
kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub,
sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan sholat dan membayar zakat),
disebut dengan wajib. Oleh sebab itu, istilah ijab menurut ulama Ushul Fiqh, terkait
dengan khithab (tuntutan) Allah, yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat
dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khithab Allah.

- Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat
memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk
meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut
untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb.
Misalnya, dalam surat Al-Baqarah : 282. Allah SWT berfirman:
ِ ِ ِ
ُ‫يَآ اَُّي َها الَّذيْ َن َآمُن ْوآ ا َذا تَ َدا َيْنتُ ْم بِ َديْ ٍن اىَل اَ َج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُُب ْوه‬....
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..."
Lafadz faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya
mengandung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu
kepada nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-Baqarah : 283):

... ُ‫ضا َف ْلُي َؤ ِّد الَّ ِذي ْاؤمُتِ َن اََمنَتَه‬


ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬
ِ ِ
ُ ‫فَا ْن اَم َن َب ْع‬....
Artinya:
"Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya..."
Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa
perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu allah menyatakan jika ada sikap saling
mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah
seperti ini disebut dengan nadb, sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan
itu, yaitu menuliskan utang-piutang disebut mandub, dan akibat dari tuntutan Allah di
atas disebut nadb.
- Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu
disebut dengan haram. Misalnya firman Allah dalam surat Al-An'am : 151:

... ُ‫س الَّيِت َحَّر َم اللَّه‬


َ ‫الن ْف‬
َّ ‫ َوالَ َت ْقُتلُوا‬....
Artinya:
"...Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah..."
Khithab (ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut harman, dan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang, disebut
dengan haram.
- Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu
diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang
mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman.
Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga karahah. Karahah ini merupakan kebalikan
dari nadb. Misalnya hadits Nabi Muhammad SAW:

‫ض اْحلَاَل ِل ِعْن َداللَّ ِه‬


ُ ْ‫اَب‬
‫الطَّاَل ُق‬
Artinya:
"perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak." (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-
Baihaqi dan Hakim).
khithab hadits ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan
karahah, sedangkan perbuatan yang dikenai khithab ini disebut makruh.

- Ibahah
Yaitu khithab Allah yang bersifat memilih, mengandung pilihan antara berbuat
atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan
ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah
dalam surat Al-Maidah : 2

... ‫اد ْوا‬ ِ


ُ َ‫اصط‬
ْ َ‫وا َذا َحلَْلتُ ْم ف‬....
َ
Artinya:
"Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu."
Ayat ini juga menggunakan lafadz amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh),
karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini
disebut ibahah, dan akibat dari khithab ini juga disebut dengan ibahah, sedangkan
perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.

C. Pembagian Hukum Taklifi

- Wajib
Para ulam Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari
berbagai segi, antara lain:
1.     Dilihat dari segi waktu.
 Wajib al-muthlaq
Sesuatu yang dituntut syari' untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa
ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai
hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah
tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka
kafarat-nya boleh dibayar kapan saja.
 Wajib al-mu'aqqat
Kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu
tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib (Shubuh, Zhuhur,
'Ashar, Maghrib, dan 'Isya') harus dikerjakan pada waktunya, demikian juga
puasa Ramadhan. Waktu di sini merupakan bagian dari kewajiban itu
sendiri, sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.

2.    Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan.


 Wajib al-muhaddad
Suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara' dengan ukuran
tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah raka'at
dalam shalat. Jumlah dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah, atau
dikurangi.
 Wajib ghairu al-muhaddad
Kewajiban yang tidak ditentukan syara' ukuran dan jumlahnya, tetapi
diserahkan kepada para ulama dan pemimpin umat untuk menentukannya.
Misalnya, penentuan hukuman dalam jarimah ta'zir (tindak pidana di luar
hudud dan qishash) yang diserahkan kepada para qadhi (hakim). Dalam
penentuan hukuman ini, para hakim harus berorientasi pada tercapainya
tujuan syara' dalam mensyari'atkan suatu hukuman dan bersifat adil.

3.     Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban.


 Wajib al-'aini
Kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf.
Misalnya, kewajibab melaksanakan shalat bagi setiap orang mukallaf.
 Wajib al-kifa'i
Kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila
telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah
terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk
melaksanakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah, melaksanakan amr
ma'ruf nahi munkar, dan menjawab salam ketika berkumpul bersama orang
banyak.
Akan tetapi, wajib al-kifa'i bisa berubah menjadi wajib al-'aini apabila
yang bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang.
Misalnya, menolong orang yang tenggelam di laut atau di sungai merupakan
wajib al-kifa'i, karena semua orang yang menyaksikannya wajib
menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang yang menyaksikan
peristiwa itu hanya satu orang yang pandai berenang, maka waib al-kifa'i
yang dikenakan kepada sejumlah orang itu berubah menjadi wajib al-'aini
bagi orang yang pandai berenang tersebut.

4.    Dilihat dari segi kandungan perintah.


 Wajib al-mu'ayyan
Kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti
sholat, puasa, dan harga barang dalam jual beli. Shalat dan puasa dikerjakan
yang pada dirinya adalah wajib, dan harga barang yang dibeli itu juga wajib
ada dan wajib diserahkan.
 Wajib al-mukhayyar
Suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya
firman Allah dalam surat al-Maidah:89, mengemukakan bahwa kafarat
sumpah itu terdiri atas, memberi makan fakir miskin, memberi pakaian
kepada mereka, atau memerdekakan budak.

- Mandub
Para ulama Ushul Fiqh membagi mandub menjadi 3 macam, antara lain:
a.     Sunnah al-Mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)
Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan
tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Di antaranya
adalah shalat-shalat sunah sebelum dan sesudah mengerjakan shalat lima waktu (shalat
fardu'), seperti shalat sunah dua raka'at sebelum shubuh, dua raka'at sebelum dan
setelah Zhuhur, dan berkumur-kumur waktu berwudhu', adzan, berjama'ah.
b.    Sunnah ghairu al-Mu'akkadah (sunah biasa)
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila ditinggalkan
tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar'i, seperti bersedekah, shalat
sunnah dhuha dan puasa setiap hari Senin dan Kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut
para ulama fiqh disyari'atkan, tetapi tidak senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW. Sunah
seperti ini disebut juga dengan istilah mushtahab atau nafilah.
c.     Sunnah al-Za'idah (sunah yang bersifat tambahan)
Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW,
sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa
dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-
tanduk Rasulullah SAW sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara makan, dan cara
berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti
apa yang dilakukan Rasulullah SAW, maka disebut sunah Za'idah.
- Haram
a.    Haram li dzatihi
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan Syar'i tentang
keharamannya. Misalnya memakan bangkai, babi, berjudi, meminum minuman keras,
berzina, membunuh dan memakan harta anak yatim. Keharaman dalam contoh ini
adalah keharaman pada zat (esensi) pekerjaan itu sendiri. Akibatnya, apabila
melakukan suat transaksi dengan sesuatu yang haram li dzathihi ini, hukumnya menjadi
batal, dan tidak ada akibat hukumnya.
b.    Haram li ghairihi
Yaitu sesuatu yang pada mulanya disyari'atkan, tetapi dibarengi oleh sesuatu yang
bersifat mudarat bagi manusia, maka keharamannya adalah disebabkan adanya
mudarat tersebut. Misalnya, melaksanakan shalat dengan pakaian hasil ghashab
(mengambil barang orang lain tanpa izin), melakukan transaksi jual beli ketika suara
adzan shalat Jum'at telah berkumandang, pernikahan tahalal, puasa di Hari Raya Idul
Fitri.

- Makruh
Ulama hanafiyyah membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu:
a.    Makruh Tanzil
Yaitu sesuatu yang dituntut Syar'i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntunan yang
tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama hanafiyyah ini sama dengan pengertian
makruh di kalangan Jumhur Ulama. Misalnya, memakan daging kuda yang dikemukakan
di atas.
b.    Makruh Tahrim
Yaitu tuntutan Syar'i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui
cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai
sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki, sebagaimana terdapat dalam sabda
Rasulullah SAW:
"Keduanya ini (emas dan sutera) haram bagi umatku yang laki=laki dan halal bagi
wanita." (H.R. Abu Daud, An-Nasai', Ibn Majah, dan Ahmad Ibn Hanbal).
- Mubah
Pembagian mubah menurut ulama Ushul Fiqh dilihat dari segi keterkaitannya
dengan mudarat dan manfaat, antara lain:
a.     Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat,
seperti makan, minum, berpakaian dan berburu.
b.    Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan
ini sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini di antaranya, melakukan
sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak
ada makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak dimakan, maka
seseorang akan meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti ini makan
daging babi untuk sekedar mempertahankan nyawa termasuk mubah. Atau sesuatu
yang pada dasarnya wajib dilaksanakan, tetapi karena darurat, maka boleh
ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi orang hamil, musafir dan ibu yang menyusui
anaknya.
Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut
syara', tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah.
Misalnya mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam, seperti mengawini bekas istri
ayah (ibu tiri) dan mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian
datang syari'at islam yang mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa
orang yang telah melakukannya sebelum islam dimaafkan.
BAB III

PENUTUP

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan


menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan
ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan
lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan
kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di
hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Anda mungkin juga menyukai