Anda di halaman 1dari 22

Hubungan Karyawan Perusahaan dan Tanggungjawab Sosial Perusahaan

MAKALAH
UTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Etika Bisnis dan profesi
Guru Pembimbing: Bapak Andro Agil Nur Rakhmad, S.E.I.,M.E.

OLEH
Aldian Dewanda Azharie (180413620723)
Alfandy Saga Triambodo (180413620612)
Angga Irawan (180413620614)
Ardyan Rahman Hadi (180413620765)
OFFERING QQ-QQ

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN
MARET 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebuah tanggung jawab perusahaan dalam menciptakan hubungan karyawan
yang baik dan bertanggung jawab terhadap keadaan social perusahaan. Timbulnya
gejala social budaya masyarakat sekitar dapat menghambat operasional perusahaan,
seperti kecemburuan social, perbedaan pendapat dan lain-lain. Dalam menghadapi
tantangan-tantangan kedepan budaya organisasi menjadi peluang dalam membangun
karyawan yang mampu menyesuaikan diri dengan tantangan yang sedang berjalan dan
yang akan datang. Dengan demikian menciptakan kebudayaan organisasi yang baik
merupakan salah satu langkah yang baik dalam menciptakan hubungan yang baik
perusahaan dengan karyawan maupun lingkungan sekitar.
Kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih
luas berdampak pada pembentukan citra dan hubungan perusahaan kepada seluruh
pihak. Tidak hanya terfokus pada peraingan bisnis dan profit saja dalam waktu jangka
panjang kedepan membangun hubungan dengan karyawan maupun lingkungan sekitar
akan membantu perusahaan dalam kelancaran operasionalnya maupun penjualannya.
Tanggung jawab social perusahan merujuk pada semua hubungan yang terjadi antara
sebuah perusahaan dengan semua stake holder, termasuk didalamnya adalah
pelanggan, pegawai, komunitas, pemilik atau investor, pemerintah, supplier dan
competitor.
Berdasarkan penelitian Hartini Retnaningsih,2015, yang berjudul
“Permasalahan Corporate Responsibility (CSR) Dalam Rangka Pemberdayaan
Masyarakat memberikan hasil kesimpulan bahwa program CSR merupakan
kewajiban perusahaan untuk kepentingan masyarakat sekitar, namun banyak CSR
tidak tepat sasaran yang akhirnya berdampak konflik antara perusahaan dan
masyarakat.
Dalam hal ini pemahaman hubungan karyawan perusahan dan tanggungjawab
perusahaan merupakan hal yang perlu dipahami lebih dalam. Kemajuan perusahaan
nantinya tidak hanya berdampak pada profit saja permasalahan kedepan akan menjadi
hal yang perlu diminimalisir juga. Maka dari itu dari hal yang telah dipaparkan, maka
penulis bermaksud untuk melakukan penulisan yang berjudul “ Hubungan
Karyawan Perusahaan dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
rumusan maslah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apa Kewajiban Karyawan terhadap Perusahaan?
2. Apa Kewajiban Perusahaan terhadap Karyawan?
3. Bagaimana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Kewajiban Karyawan terhadap Perusahaan
2. Untuk mengetahui Kewajiban Perusahaan terhadap Karyawan
3. Untuk mengetahui Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
BAB II
BAHASAN
A. KEWAJIBAN KARYAWAN DAN PERUSAHAAN
1. Kewajiban Karyawan terhadap Perusahaan
1.1. Tiga kewajiban karyawan yang penting
a. Kewajiban Ketaatan
Bagi orang yang memiliki ikatan kerja dengan perusahaan, salah satu implikasi
dari statusnya sebagai karyawan adalah bahwa ia harus mematuhi perintah dan
petunjuk dari atasannya. Tetapi, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh
mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral.
b. Kewajiban konfidensialitas
Merupakan kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial atau
rahasia. Dalam konteks perusahaan konfidensialitas memegang peranan penting.
Karena seseorang bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja ia mempunyai akses
kepada informasi rahasia. Sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa
karyawan harus menyimpan rahasia perusahaan karena alasan etika mendasari
kewajiban ini yaitu bahwa perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu.
c. Kewajiban loyalitas
Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung tujuan-
tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk turut
merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia harus menghindari
segala sesuatu yang bertentangan dengannya. Dengan kata lain, ia harus
menghindari apa yang bisa merugikan kepentingan perusahaan.
Selain memiliki kewajiban karyawan pun memiliki hak. Hak itu dicantumkan
dalam kontrak kerja, dimana pasti ada ketentuan bahwa karyawan wajib
memberitahaukan satu, dua, tiga bulan sebelumnya (tergantung posisinya dan
kesulitan mencari pengganti), jika ia ingin meninggalkan perusahaan.

1.2. Melaporkan kesalahan perusahaan


Whistle blowing mendapat arti khusus yaitu menarik perhatian dunia luar dengan
melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi. Dalam ranah bisnis,
whistle blowing dibagi menjadi whistle blowing internal dan whistle blowing eksternal.
Whistle blowing internal merupakan pelaporan kesalahan di dalam perusahaan sendiri
dengan melalui atasan langsung. Sedangkan whistle blowing eksternal adalah pelaporan
kesalahan perusahaan kepada instansi di luar perusahaan, entah kepada instansi
pemerintah atau kepada masyarakat melalui media komunikasi.
Dari sudut pandang etika, whistle blowing jelas bertentangan dengan kewajiban
loyalitas. Kalau memang diperbolehkan whistle blowing dapat dipandang sebagai
pengecualian dalam bidang kewajiban loyalitas. Dasarnya adalah kewajiban lain yang
lebih mendesak. Jadi, kadang-kadang mungkin ada kewajiban untuk melaporkan suatu
kesalahan demi kepentingan orang banyak. Meskipun sulit sekali untuk memastikan
kapan situasi seperti itu secara obyektif terealisasi. Pada kenyataannya hati nurani si
pelapor harus memutuskan hal itu, setelah mempertimbangkan semua faktor terkait.
Pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila memenuhi syarat berikut:
1. Kesalahan perussahaan harus besar
2. Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar
3. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi
pihak ketiga, bukan karena motif lain.
4. Penyelesdaiaan masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan
perusahaan dibawa keluar.
5. Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses.
Adanya whistle blowing selalu menunjukan bahwa perusahaan gagal dalam
menjalankan kegiatannya sesuai dengan tuntutan etika. Asalkan perusahaan mempunyai
kebijakan etika yang konsisten dan konsekuen, semua kesulitan sekitar pelaporan
kesalahan tidak perlu terjadi.
 
2. Kewajiban Perusahaan terhadap Karyawan
2.1. Perusahaan tidak boleh mempraktekan diskriminasi
a. Diskriminasi dalam konteks perusahaan
Diskriminasi dimaksudkan membedakan antara berbagai karyawan
karena alasan tidak relevan yang berakar dari prasangka. Deskriminasi terjadi
karena 2 alasan, yang pertama adalah alasan relevan seperti dalam hal imbalan,
bisa terjadi bahwa suatu karyawan mendapat bonus akhir tahun karena lebih
berprestasi daripada karyawan lainnya. Kemudian alasan tidak relevan, yakni
bila beberapa karyawan diperlakukan dengan cara yang berbeda, karena alasan
yang berakar atas suatu pandangan stereotip terhdap ras, agama atau jenis
kelamin bersangkutan.
b. Argumentasi etika melawan diskriminasi
- Dari pihak utilitarisme.
Dikemukakan argumen bahwa diskriminasi merugikan perusahaan itu
sendiri. Jika perusahaan memperhatikan faktor-faktor lain selain kualitas
karyawan ia bisa ketinggalan dalam kompetisi dengan perusahaan lain. Karena
itu perusahaan harus menghindari diskriminasi demi kepentingannya sendiri.
- Deontologi menyediakan argumentasi lain.
Berpendapat bahwa diskriminasi melecehkan martabat dari orang yang
didikriminasi. Berarti tidak menghormati martabat manusia yang merupakan
suatu pelanggaran etika yang berat.
- Teori keadilan
Berpendapat bahwa praktek diskriminasi bertentangan dengan
keadilan, khususnya keadilan distributif yang menuntut bahwa kita
memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, selama tidak ada alasan
khusus untuk memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda.
c. Beberapa masalah terkait
Masalah yang berkaitan dengan diskriminasi tapi harus dibedakan
dengannya adalah favoritisme. Dalam konteks perusahaan, favoritisme
dimaksudkan kecenderungan untuk mengistimewakan orang tertentu (biasanya
sanak saudara) dalam menyeleksi karyawan, menyediakan promosi, bonus,
fasilitas khusus dll. Seperti diskriminasi, favoritisme pun memperlukan orang
dengan cara tidak sama, tapi berbeda dengan diskriminasi, favoritisme tidak
terjadi karena prasangka buruk, melainkan justru prefensi dan bersifat positif
(mengutamakan orang-orang tertentu). Favoritisme terjadi, bila perusahaan
mengutamakan karyawan yang berhubungan famili, berasal dari daerah yang
sama, memeluk agama yang sama, dll.

2.2. Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja


a. Beberapa aspek keselamatan kerja
Di Indonesia masalah keselamatan dan kesehatan kerja dikenal sebagai
K3 dan banyak perusahaan mempunyai Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (P2K3). Sedangkan di Amerika Serikat  didirikan Occupational
Safety and Health Administration (OSHA) untuk mengawaasi pelaksanaan UU
yang bertujuan untuk to assure as far as possible every working man and woman
in the nation safe and healthful working conditions.
b. Pertimbangan etika
Tiga pendasaran segi etika dari masalah perlindungan kaum pekerja.
1. The right of survival (hak untuk hidup)
2. Manusia selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah
sebagai sarana belaka.
3. Kewajiban etis harus sejalan dengan cost benefit analysis. Masyarakat sendiri
dan terutama ekonomi negara akan mengalami kerugian besar jika proses
produksi tidak berlangsung dalam kondisi aman dan sehat.
c. Dua masalah khusus
Si pekerja sendiri harus mengambil keputusan, setelah diberi informasi
tentang risiko bagi pekerja. Mereka sendiri harus mempertimbangkan
kesejahteraan ekonomis mereka (gaji yang lebih tinggi) dan resiko bagi
keturunannya. Jika tidak sanggup bisa mengajukan permohonan untuk
dipindahkan ke bagian produksi lain dengan konsekuensi gaji yang lebih
rendah. Begitupun dengan kebijakan yang diterapkan suatu perusahaan,
terkadang secara tidak langsung terlihat memaksakan kepada para pekerja jika
didukung juga oleh suasana resesi ekonomi saat mencari pekerjaan lain menjadi
sulit. Sehingga membuat para pekerja tidak memiliki alternatif lain dan akhirnya
bertahan dengan resiko yang tidak kecil.

2.3. Kewajiban memberi gaji yang adil


- Menurut keadilan distributif
Bahwa dalam menentukan gaji yang adil, baik prestasi maupun
kebutuhan harus berperan. Gaji semua karyawan memang tidak perlu sama,
tetapi perbedaan juga tidak boleh terlalu besar. Jelas pemerataan pendapatan
adalah tuntutan etis yang berkaitan dengan prinsip ini. Prinsip-prinsip hak,
usaha dan kontribusi kepada masyarakat ikut pula menentukan gaji yang adil.
- Enam faktor khusus
Berikut adalah usulan dari Thomas Garrett dan Richard Klonoski
supaya gaji / upah itu adil / fair:
a. Peraturan Hukum
b. Upah yang lazim dalam sektor industri tertentu / daerah tertentu
c. Kemampuan perusahaan
d. Sifat khusus pekerjaan tertentu
e. Perbandingan dengan upah / gaji lain dalam perusahaan
f. Perundingan upah / gaji yang fair
- Senioritas dan imbalan rahasia
Senioritas sebagai kriteria untuk menentukan gaji karena dilihat dari
pengalamannya bekerja dengan waktu yang begitu lama dan kesetiaannya pada
perusahaan, zaman sekarang sudah tidak diperhitungkan lagi. Zaman modern
sekarang lebih memperhatikan prestasi dan hak. Pembayaran sama untuk
pekerjaan yang sama memang dilatarbelakangi suasana modern itu dan
karenanya dapat di mengerti jika tekanan pada senioritas akan berkurang.

2.4. Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena


  Menurut Garret dan Klonoski, dengan lebih konkret lewajiban majikan
(perusahaan) dalam memberhentikan perusahaan dapat dijabarkan ke dalam 3 poin
sebagai berikut:
a. Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat
b. Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya.
c. Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan samapai seminimal
mungkin.

B. TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN


1. Tanggung Jawab Legal dan Tanggung Jawab Moral Perusahaan
Perusahaan memiliki tanggung jawab legal karena sebagai badan hukum ia
memiliki status legal. Karena berbadan hukum, perusahaan memiliki banyak hak dan
kewajiban legal yang dimiliki juga oleh manusia perorangan dewasa seperti menuntut
di pengadilan, dituntut di pengadilan, memiliki milik, mengadakan kontrak dll.
Perusahaan pun harus mentaati peraturan hukum dan harus memenuhi hukumannya
bila terjadi pelanggaran. Singkatnya ia memiliki tanggung jawab legal.
Lebih lanjut, perusahaan juga merupakan suatu pelaku moral / tidak memiliki
argumen yang pro dan kontra. Di satu pihak harus diakui bahwa hanya individu /
manusia perorangan memiliki kebebasan untuk mengambil keputusan dan akibatnya
hanya individu dapat memikul tanggung jawab. Di lain pihak sulit juga untuk
menerima pandangan bahwa perusahaan hanyalah semacam benda mati yang
dikemudikan oleh manajer. Banyak pertanda yang menunjukan bahwa perusahaan
mempunyai kepribadian tersendiri.
Di antara para ahli etika bisnis terutama Peter French dengan gigih membela
status moral perusahaan. Argumennya, pertama, ada keputusan yang diambil oleh
korporasi yang hanya bisa dihubungkan dengan korporasi itu sendiri dan tidak
beberapa orang yang bekerja untuk korporasi tersebut. Kedua, korporasi melakukan
perbuatan seperti itu dengan maksud (intention) yang hanya bisa dihubungkan dengan
korporasi itu sendiri dan tidak dengan beberapa orang yang bekerja di korporasi
tersebut. Sehingga tidak ada konsekuensi untuk praktek bisnis sebab seandainya
perusahaan sendiri terlepas dari orang-orang yang bekerja di dalamnya tidak
merupakan pelaku moral dan karena itu tidak bisa memikul tanggung jawab moral,
namun pimpinan perusahaan tetap merupakan pelaku moral dan akibatnya memikul
tanggung jawab moral atas keputusan yang mereka ambil.

2. Pandangan Milton Friedman tentang Tanggung Jawab


Yang dimaksud disini adalah tanggung jawab moral perusahaan terhadap
masyarakat. Tanggung jawab moral perusahaan bisa diarahkan kepada banyak hal:
kepada diri sendiri, kepada para karyawan, kepada perusahaan lain, dan sebagainya. 
Namun yang paling disoroti adalah tanggung jawab moral terhadap masyarakat dalam
kegiatan perusahaan tersebut.
Tanggung jawab perusahaan adalah meningkatkan keuntungan menjadi
sebanyak mungkin.  Tanggung jawab ini diletakkan dalam tangan manajer.
Pelaksanaanya tentu harus sesuai dengan aturan-aturan main yang berlaku di
masyarakat, baik dari segi hukum, maupun dari segi kebiasaan etis.
Menurut Friedman maksud dari perusahaan adalah perusahaan publik dimana
kepemilkan terpisah dari manajemen. Para manajer hanya menjalakan tugas yang
dipercayakan kepada mereka oleh para pemegang saham. Sehingga tanggung jawab
social boleh dijalankan oleh para manajer secara pribadi, seperti juga oleh orang lain,
akan tetapi sebagai manajer mereka mereka mewakili pemegang saham dan tanggung
jwab mereka adlah mengutamakan kepentingan mereka, yakni memperoleh
keuntungan sebanyak mungkin.
Friedman menyimpulkan bahwa doktrin tanggung jawab social dari bisnis
merusak system ekomoni pasar bebas. Terdapat satu dan hanya satu tanggung jawab
social untuk bisnis, yakni memanfaatkan sumber dayanya dan melibatkan diri dalam
kegiatan-kegiatan yang bertujuan meningkatkan keuntungan, selama masih dalam
batas aturan main, artinya melibatkan diri dalam kompetisi yang terbuka dan bebas
tanpa penipuan atau kecurangan.

3. Tanggung Jawab Ekonomis dan Tanggung Jawab Sosial


Masalah tanggung jawab social perusahaan dapat menjadi lebih jelas, jika kita
membedakan dari tanggung jawab lain. Bisnis selalu mempunya dua tanggung jawab,
yakni tanggung jawab ekonomis dan tanggung jawab social.
Jika Milton Friedman menyebutkan peningkatan keuntungan perusahaan
sebagai tanggung jawab sosialnya, sebenarnya hal ini justru membicarakan tanggung
jawab ekonomi saja, bukan tanggung jawab social. Kinerja setiap perusahaan
menyumbangkan kepada kinereja ekonomi nasioal sebuah Negara.
Tanggung jawab social perusahaan adalah tanggung jawab terhadap
masyarakat di luar tanggung jawab ekonomis. Secara positif perusahaan bisa
melakukan kegiatan yang tidak membawa keuntungan ekonomis dan semata-mata
dilangsungkan demi kesejahteraan masyarakat atau salah satu kelompok di dalamnya. 
Secara negative perusahaan bisa menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-
kegiatan tertentu yang sbenarnya menguntungkan dari segi bisnis, tetapi akan
merugikan masyarakat atau sebagian masyarakat.
Dalam mengambil keputusan, perusahaan tentu tidak boleh menutup mata
terhadap akibat-akibat sosialnya., tetapi jika sudah diusahakan perbaikan ekononomis
dan tidak berhasil mereka tidak wajib menerima kerugian ekonomis itu demi suatu
tujuan di luar bisnis.

4. Kinerja Sosial Perusahaan


Jika kita menyimak sejarah industri, memang ada pengusaha-pengusaha besar
yang memperoleh nama harum bukan saja karena keberhasilan dibidang bisnis, tetapi
juga sebagai filantrop.
Ada beberpa alasan mengapa bisnis menyalurkan sebagian labanya kepada
karya amal melalui yayasan independent. Alasan pertama berkaitan dengan
perusahaan-perusahaan itu berstatus public. Rapat umum pemegang saham dapat
menyetujui bahwa sebagian laba tahunan disisihkan untuk karya amal sebuah yayasan
khusus. Disamping alasan financial seperti pajak, alasan lain lagi adalah bahwa
pemimpin perusahaan tidak bisa ikut campur dalam urusan suatu yayasan
independent, dan dengan demikian bantuan mereka lebuh tulus, bukan demi
kepentingan perusahaan saja.
Upaya kinerja sosial perusahaan sebaiknya tidak dikategorikan sebagai
pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan. Walaupun secara langsung tidak
dikejar keuntungan, namun usaha-usaha kinerja social perusahaan ini tidak bisa
dilepaskan dari tanggung jawab ekonomis perusahaan.
Konsepsi kinerja sosial perusahaan ini memang tidak asing terhadap tanggung
jawab ekonomis perusahaan, tetapi konsepsi ini sangat cocok juga dengan paham
stakeholders management.

5. Beberapa Kasus
- Susu formula Nestle
Hanya sebagian kecil ibu-ibu muda tidak dapat menyusui anaknya sendiri.
Maka, untuk membantu mereka pada abad ke-19 dikembangkan susu formula sebagai
pengganti Air Susu Ibu (ASI). Nestle mengkampanyekan promosi besar-besaran yang
akhirnya menurut banyak pengamat melanggar etika. Beberapa LSM mengadakan
aksi melawan Nestle, hingga jutaan orang dari puluhan negara memboikot semua
produk Nestle dan berlangsung selama enam setengah tahun. Pada Mei 1981, WHO
dan UNICEF menyelenggarakan World Health Assembly, sehingga diterimanya kode
etik pemasaran susu formula. Kode etik yang melarang pemasaran setiap kegiatan
pemasran yang tidak mengakui dengan jelas keunggulan ASI di atas susu formula.
Lama kelamaan Nestle menerima semua ketentuan hingga boikot di hentikan.
- Musibah pabrik Union Carbide di Bhopal
Pada 3 desember 1984 terjadi kecelakaan besar dalam pabrik pestisida milk
Union Carbide di kota Bhopal, India. Timbul pertanyaan siapa yang bertanggung
jawab atsa kejadian tragis ini. Kecelakaan yang disebabkan oleh beberapa faktor
berbeda yang memainkan peran skaligus. Sebagai pemilik mayoritas saham, Union
Carbide Amerika mempunyai tanggung jawab khusus. Pada saat itu ditemukannya
kekurangan pada tangki-tangki MIC, sehingga hal ini diperbaiki saat kecelakaan.
Terdapat lima system pengaman tangki yang bisa mencegah kecelakaan.
- Pabrik Multi Bintang Surabaya
Membangun fasilitas pengolahan limbah di Surabaya pada 1984, sehingga tidak akan
ada pengaduan dan protes masyarakat terhadap limbah.
C. BISNIS, LINGKUNGAN HIDUP, DAN ETIKA
1. Krisis Lingkungan Hidup
Masalah sekitar lingkungan hidup baru mulai disadari sepenuhnya pada tahun
1960-an. Sekaligus disadari pula bahwa masalah itu secara langsung / tidak langsung
disebabkan oleh bisnis modern, khususnya oleh cara berproduksi dalam industri yang
berlandaskan ilmu dan teknologi maju. Industri mengakibatkan timbulnya kota-kota
yang suram dan kotor. Sekarang polusi yang disebabkan oleh bisnis modern mencapai
suatu tahap global dan tidak terbatas pada beberapa daerah industri saja. Kita sungguh-
sungguh mengalami krisis lingkungan hidup akibat pencemaran dan perusakan
lingkungan, kelanjutan hidup sendiri terancam di bumi kita, termasuk hidup manusia.
Terutama ada 6 problem yang dengan jelas menunjukan dimensi global masalah
lingkungan hidup. Antara lain:
- Akumulasi bahan beracun
- Efek rumah kaca
- Perusakan lapisan ozon
- Hujan asam
- Deforestasi dan penggurunan
- Keanekaragaman hayati
 
2.Lingkungan Hidup dan Ekonomi
2.1. Lingkungan hidup sebagai “the commons”
The commons adalah ladang umum yang dulu dapat ditemukan dalam banyak
daerah pedesaan di Eropa dan dimanfaatkan secara bersama-sama oleh semua
penduduknya.  Sering kali diartikan padang rumput yang dipakai oleh semua
penduduk kampung sebagai tempat pengangonan bagi ternaknya.lam zaman modern,
seiring bertambahnya penduduk sistem itu tidak bisa dipertahankan lagi dan ladang
umum itu diprivatisasi dengan menjualnya kepada penduduk perorangan. Kejadian itu
merupakan suatu perubahan sosial-ekonomi yang besar antara lain karena menjadi
awal mula pemilikan tanah dalam kuantitas besar oleh orang kaya (the landlords).
Menurut Hardin, masalah lingkungan hidup dan masalah kependudukan dapat
dibandingkan dengan proses menghilangnya the commons. Solusi teknis hanya
bersifat sementara dan tidak menangani masalahnya pada akarnya. Jalan keluar yang
efektif terletak di bidang moral, yakni dengan membatasi kebebasan. Solusi itu
memang bersifat moral karena pembatasan kebebasan harus dilaksanakan dengan adil.
Membiarkan kebebasan dari semua orang justru akan mengakibatkan kehancuran bagi
semua orang.
The tragedy of commons dapat dipandang sebagai kebalikannya dari the
invisible hand menurut Adam Smith. Smith berpendapat bahwa kemakmuran umum
dengan sendirinya akan terwujud, jika semua orang mengejar kepentingan diri di
pasar bebas. Tetapi jika semua orang mengejar kepentingan diri masing-masing dalam
konteks lingkungan hidup, tidak akan dihasilkan kemakmuran umum, melainkan
kehancuran bersama.
2.2. Lingkungan Hidup tidak lagi eksternalis
Sumber daya alam pun ditandai dengan kelangkaan. Akibatnya, faktor
lingkungan hidup pun termasuk urusan ekonomi, karena ekonomi adalah usaha untuk
memanfaatkan barang yang langka dengan cara paling efisien, sehingga bisa dinikmati
semua peminat. Kini environmental economics diterima sebagai suatu cabang penting
dari ilmu ekonomi.
Karena sumber daya alam pun barang langka dan harus diberi suatu harga
ekonomis, komponen-komponen lingkungan hidup itu tidak lagi merupakan
eksternalities. Maksudnya adalah faktor-faktor yang sebenarnya bersifat ekonomis, tapi
tetap tinggal di luar perhitungan ekonomis. Eksternalitas seperti itu mengakibatkan pasar
menjadi tidak sempurna.
Sekarang lebih mudah disetujui bahwa efek atas lingkungan hidup itu tidak
lagi boleh diperlakukan sebagai eksternalitas ekonomis. Bukan saja dari sudut moral,
tetapi dai sudut ekonomis pun hal itu tidak sehat. Namun demikian belum disetujui
bagaimana sebaiknya faktor lingkungan diperhitungkan secara ekonomis.

2.3. Pembangunan berkelanjutan


Ekonomi selalu menekankan perlunya pertumbuhan. Ekonomi yang sehat merupakan
ekonomi yang tumbuh. Makin besar pertumbuhan, semakin sehat pula kondisi ekonomi
tersebut. Kapasitas alam untuk menampung tekanan dari polusi udara, air, degradasi
tanah dsb, tidak dapat diimbangi dengan teknologi baru. Ekonomi harus memikirkan
kemungkinan “zero growth” atau tidak pertumbuhan sama sekali.
Sebuah langkah penting dalam refleksi tentang konsekuensi masalah lingkungan
hidup untuk ekonomi adalah laporan dari World Commision on Environment and
Development (WCED) yang diberi judul Our Common Future (Masa Depan kita
bersama) tahun 1987. Disebut juga The Brundtland Report yang mempopulerkan
pengertian sustainable development (pembangunan yang berkelanjutan). Sedangkan
WCED mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari generasi sekarang, tanpa membahayakan
kesanggupan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka sendiri.
 
3. Hubungan Manusia dengan Alam
Pada dasarnya manusia adalah sebagian alam. Pandangan modern tentang alam
yang dibutuhkan adalah antroposentris karena menempatkan manusia dalam pusatnya.
Aliran dalm filsafat lingkungan yang dengan paling radikal mengemukakan pandangan
ini adalah deep ecology. Gagasan itu pertama kali dikemukakan oleh filsuf Norwegia,
Arne Naess. Deep ecology sangat menekankan kesatuan alam. Semua makhluk hidup
termasuk manusia tercantum dalam alam menurut relasi-relasi tertentu.
Deep ecology harus dibedakan dari shallow ecology, ekologi dangkal. Ekologi
dangkal itu tidak pernah sampai pada akar masalah-masalah lingkungan hidup dan
hanya mengakui nilai instrumental dari alam. Berikut adalah 8 prinsip sebagai
pandangan yang rata-rata dianut oleh pendukung ekologi dalam :
1. Kesejahteraan dan keadaan baik dari kehidupan manusiawi maupun bukan
manusiawi di bumi memiliki nilai intrinsik.
2. Kekayaan dan keanekaan bentuk-bentuk hidup menyumbangkan kepada
terwujudnya nilai-nilai ini dan merupakan nilai-nilai sendiri.
3. Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan keanekaan ini, kecuali untuk
memenuhi kebutuhan vitalnya.
4. Keadaan baik dari kehidupan dfan kebudayaan manusia dapat dicocokan dengan
dikuranginya secara substansial jumlah penduduk.
5. Campur tangan manusia dengan dunia bukan manusiawi kini terlalu besar dan
situasi memburuk dengan pesat.
6. Kebijakan umum harus berubah yang harus menyangkut struktur-struktur dasar di
bidang ekonomi, teknologis dan ideologis.
7. Perubahan ideologis adalah terutama menghargai kualitas kehidupan.
8. Berkewajiban secara langsung dan tidak langsung untuk berusaha mengadakan
perubahan yang diperlukan.
Pandangan ekosentris adalah benar sejauh manusia tidak mungkin dilepaskan
dari alam. Perlu diakui alam memiliki nilai intrinsik yang tidak tergantung kepada
manfaatnya untuk manusia. Maka tidak boleh jatuh dalam ekstrim lain yakni
ekofasisme di mana manusia sebagai individu dikorbankan kepada alam sebagai
keseluruhan. Namun demikian, dengan mengenakan martabat istimewa kepada pribadi
manusia, martabat alam tidak dikurangi sedikitpun tetapi justru ditingkatkan.  Karenas
itu manusia adalah makhluk yang memiliki tanggung jawab moral. Melalui manusia,
alam bertanggung jawab atas nasibnya sendiri.

4. Mencari Dasar Etika untuk Tanggung Jawab Terhadap Lingkungan Hidup


Dasar etika untuk tanggung jawab manusia itu sendiri disajikan oleh beberapa pendekatan
berbeda, anatara lain :
- Hak dan deontology
Manusia berhak atas lingungan yang berkualitas karena ia mempunyai hak
moral atas segala sesuatu yang perlu untuk hidup dengan pantas sebagai manusia,
artinya yang memungkinkan dia memenuhi kesanggupan sebagai makhluk yang
rasional dan bebas.
- Utilitarisme
Teori ini bisa menunjukan jalan keluar bagi beberapa kesulitan yang dalam hal
ini ditimbulkan oleh pandangan hak. Menurut teori ini suatu perbuatan dipandang
baik kalau membawa kesenangan paling besar untuk jumlah orang paling besar /
dengan kata lain kalau memaksimalkan manfaat. Jelas, pelestarian lingkungan hidup
membawa keadaan paling menguntungkan untuk seluruh umat manusia, termasuk
juga generasi-generasi yang akan datang. Sehingga lingkungan hidup tidak boleh lagi
diperlakukan sebagai suatu eksternalitas ekonomis.
- Keadilan
Keadilan di sini harus dipahami sebgai keadilan distributif, artinya keadilan
yang mewajibkan untuk membagi dengan adil. Lingkungan hidup pun menyangkut
soal kelangkaan dan karena itu harus dibagi dengan adil. Hal itu dapat dijelaskan
dengan 3 cara untuk mengaitkan keadilan dengan masalah lingkungan hidup:
a. Persamaan.
Lingkungan hidup harus dilestarikan karena hanya dengan cara memakai
sumber daya alam itulah memajukan persamaan (equality) sedangkan cara
memanfaatkan alam yang merusak lingkungan mengakibatkan ketidaksamaan karena
membawa penderitaan tambahan khusunya untuk orang kurang mampu.
b. Prinsip penghematan adil
John Rawls merumuskan the just savings principle yang artinya kita harus
menghemat dalam memakai sumber daya alam, sehingga masih tersisa bagi generasi-
generasi yang akan datang. Karena itu dalam posisi asali, semua generasi akan
menerima prinsip penghematan adil sebagai cara yang adil untuk membagi.
c. Keadilan sosial
Kini sudah tampak beberapa gejala yang menunjukan bagaimana lingkungan hidup
memang mulai disadari sebagai masalah keadilan sosial yang berdimensi global.
Meskipun para individu masing-masing tidak berdaya, itu tidak berarti bahwa
manusia perorangan sebaiknya diam saja. Tetap aktual seperti semboyan yang
dilontarkan Rene Dubos: think globally but act locally. Sehingga jika dipraktekan
bersama-sama berdasarkan kesadaran umum pada skala besar, pasti dapat dicapai
kemajuan besar dalam memperbaiki dan melestarikan lingkungan hidup.

5. Implementasi Tanggung Jawab Terhadap Lingkungan Hidup


Tanggung jawab moral untuk melindungi lingkungan harus dipertimbangkan
terhadap faktor-faktor lain, khususnya kegiatan-kegiatan ekonomis seperti berikut ini:
5.1. Siapa harus membayar?
Dalam konteks bisnis setiap tindakan untuk melindungi atau memperbaiki
lingkungan mempunyai konsekuensi finansial juga. Pertanyaannya kepada siapa
finansial tersebut harus dibebankan. Pertama, the polluter pays (si pencemar
membayar). Orang atau perusahaan yang mengakibatkan pencemaran harus juga
menanggung biaya untuk membersihkannya. Namun dalam prakteknya sangat sulit
diterapkan karena kuantitas disini mengakibatkan perubahan kualitas. Kedua yaitu
those who will benefit from environment improvement should pay the costs, yang
ingin menikmati lingkungan bersih harus menanggung juga biayanya. Namun pada
kenyataannya prinsip ini tidak menghiraukan tanggung jawab.
Kesimpulannya jawaban yang tepat adalah yang pertama dengan tekanan lebih
besar. Lingkungan yang bersih dan sehat memang menjadi tanggung jawab kita
semua tapi terutama yang mengakibatkan polusi.
5.2. Bagaimana beban dibagi?
Beban finansial dapat dibagi dengan fair jika dilakukan oleh pemerintah
dengan bekerja sama dengan bisnis. Bisa juga dengan memanfaatkan instrumen
ekonomis seperti mekanisme pasar. Terutama 3 cara telah diusahakan yang masing-
masing mempunyai kekuatan dan kelemahan.
1. Pengaturan
Kekuatan pengaturan kelebihannya adalah pelaksanaanya bisa dipaksakan
secara hukum. Bagi yang melanggar ada sanksinya. Tetapi kelemahannya:
o Pelaksanaan kontrol terhadap peraturan-peraturan macam itu menuntut
tersedianya teknologi tinggi serta personel berkualitas sehingga mahal.
o Pengontrolan efektif menjadi suatu kesulitan ekstra untuk negara-negara
berkembang.
o Meskipun bisa diterapkan dengan cara egalitarian untuk semua industri
dan karena itu harus dianggap fair tetapi dilain pihak situasi semua
industri dan lokasi tidak sama sehingga penerapan norma-norma yang
sama kadang-kadang menjadi tidak efektif.
o Pengaturan di bidang polusi industri dapat menimbulkan suatu sikap
minimalistis pada bisnis.
o Pengaturan ketat bisa menimbulkan efek negatif untuk ekonomi.
2. Insentif
Cara menangani biaya perbaikan lingkungan yang menemui lebih
banyak simpati pada bisnis adalah emmberikan insentif kepada industri yang
bersedia mengambil tindakan khusus untuk melindungi lingkungan / insentif
berupa penghargaan bagi perusahaan yang mempunyai jasa khusus dalam
memperbaiki lingkungan. Kekuatannya adalah peranan pemerintah dapat
dikurangi dan inisiatif bebas dari bisnis dimajukan sehingga penutupan
perusahaan / perpindahan pabrik ke tempat lain dapat dihindari. Tetapi
kelemahannya:
o Metodenya berjalan dengan perlahan-lahan.
o Menguntungkan para pencemar.
3. Mekanisme harga
Mereka yang mementingkan ekonomi pasar bebas cenderung
memasang harga pada polusi yang disebabkan industri. Sehingga cara
berproduksi yang paling bersih menjadi juga cara berproduksi yang paling
murah. Mekanisme harga itu memungkinkan lagi beberapa variasi sesuai
dengan situasi. Keuntungannya, yang harus membayar adalah si pencemar
namun kelemahannya berarti secara implisit tetap mengizinkan polusi dan
perusakan lingkungan. Dengan demikian hanya toleransi ekonomis dari
masyarakat dipertimbangkan bukan toleransi alam / kemampuan alam untuk
membersihkan diri.
Sehingga dapat disimpulkan dari 3 metode untuk membiayai perusakan
lingkungan tadi tidak ada yang memuaskan 100 % karena terdapat kelemahan
dan kelebihannya masing-masing.
 
5.3. Etika dan hukum lingkungan hidup
Apa yang berlaku tentang etika bisnis pada umumnya berlaku pula mengenai
masalah lingkungan hidup. Pembisnis belum tentu memenuhi norma etika
berpegang pada aturan-aturan hukum memang benar sebagian besar hukum
mempertegas norma-norma etika tetapi hal itu tidak berarti bahwa hukum
menampung semua nilai dan norma etika. Etika secara logis mendahului hukum
dan refleksi etis selalu mendampingi dan menilai hukum. Lingkungan hidup hanya
bisa dilindungi dengan baik jika tercipta peraturan hukum yang efektif dan lengkap
demi tujuan itu. Mestinya bisnis membantu dalam membuat sistem peraturan
hukum lingkungan yang baik. Tetapi jika bisnis memiliki tanggung jawab moral
dalam arti kewajiban positif untuk memajukan kepentingan lingkungan hidup, hal
itu tidak berarti bahwa seluruh tanggung jawab harus dipikul oleh produsen saja.
Produsen dan konsumen bersama-sama memikul tanggung jawab itu. Sangat
diharapkan kesadaran lingkungan pada konsumen akan bertambah besar. Jumlah
produsen dalam masyarakat sangat terbatas sedangkan jumlah konsumen luas
sekali sehingga pengaruhnya besar pula.
 
6. Beberapa Kasus Lingkungan Hidup
a. Musibah reaktor nuklir di Chernobyl Pada 26 april 1986 dini hari terjadi kecelakaan
dahsyat dengan reaktor no. 4 di kompleks Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di
Chernobyl, Ukraina, suatu republik dari Uni Soviet. Kecelakaan terjadi dalam rangka
menguji run down system-nya, yang dikombinasikan dengan pemeliharaan dan
pengisian beberapa elemen.
b. PT. Inti Indorayon Utama dan Danau Toba Pada 19 Maret 1999 Presiden B.J. Habibie
memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional industri bubur
kertas (pupl) yang berlokasi di Sosor Ladang, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba
Samosir. Penutupan pabrik PT. IIU diperintahkan sebagai percobaan meredakan
keresahan masyarakat, karena menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan sekitar
Danau Toba, yang permukaan airnya menurun drastis.
c. Kecelakaan kapal tangki Exxon Valders Kecelakaan paling besar dalam sejarah
Amerika Serikat terjadi pada malam 23-24 Maret 1989, ketika kapal tangki raksasa
Exxon Valders, milik perusahaan minyak Oxxon, kandas pada Bligh Reef dalam selat
Prince William Sound, Alaska. Kira-kira 41 juta liter minyak bumi, hanya 27 persen
muatan mengalir kelaut dan mencemari kawasan ekologis yang sangat berharga itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam materi Hubungan Karyawan Perusahaan dan Tanggungjawab Sosial
Perusahaan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Hubungan karyawan perusahaan
terbagi menajadi 2 yakni kewajiban karyawan terhadap perusahaan dan kewajiban
perusahaan terhadap karyawan. Dalam kewajiban karyawan terhadap perusahaan terdapat
kewajiban yang penting untuk dilaksakankan dan ditaati yakni kewajiban ketaatan, kewajiban
konfidensialitas dan kewajiban loyalitas, selain itu karyawan juga memiliki hak untuk
melaporkan kesalahan perusahaan yang biasa disebut dengan whistle blowing yaitu menarik
perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi.
Dalam ranah bisnis, whistle blowing dibagi menjadi whistle blowing internal dan whistle
blowing eksternal.
Disisi lain kewajiban perusahaan terhadap karyawan juga terbagi menjadi beberapa
yakni yang pertama perusahaan tidak boleh melakukan deskriminasi, deskrimminasi ras,
agama atau jenis kelamin yang bersangkutan. Kedua perusahaan juga harus menjamin
kesehatan dan keselamatan dalam bekerja untuk para karyawanya. Yang ketiga adalah
kewajiban gaji yang adil dalam perusahaan Bahwa dalam menentukan gaji yang adil, baik
prestasi maupun kebutuhan harus berperan. Gaji semua karyawan memang tidak perlu sama,
tetapi perbedaan juga tidak boleh terlalu besar dan yang terakhir Perusahaan tidak boleh
memberhentikan karyawan dengan semena-mena.
Dalam hal tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan harus bertanggung jawab
dalam hal legal dan tanggung jawab moral perusahaan, Perusahaan memiliki tanggung jawab
legal karena sebagai badan hukum ia memiliki status legal. Karena berbadan hukum,
perusahaan memiliki banyak hak dan kewajiban legal yang dimiliki juga oleh manusia
perorangan dewasa seperti menuntut di pengadilan, dituntut di pengadilan, memiliki milik,
mengadakan kontrak dll. Perusahaan pun harus mentaati peraturan hukum dan harus
memenuhi hukumannya bila terjadi pelanggaran. Dan perusahaan harus memiliki Pandangan
Milton Friedman tentang Tanggung Jawab yang dimaksud disini adalah tanggung jawab
moral perusahaan terhadap masyarakat. Tanggung jawab moral perusahaan bisa diarahkan
kepada banyak hal: kepada diri sendiri, kepada para karyawan, kepada perusahaan lain, dan
sebagainya.  Namun yang paling disoroti adalah tanggung jawab moral terhadap masyarakat
dalam kegiatan perusahaan tersebut. Dan hal lain perusahaan juga memiliki tanggung jawab
dalm hal ekonomis dan tanggung jawab sosial.
Saran
Dalam suatu proses kegiatan di perusahaan sebaiknya memperhatikan dan
menganalisis hubungan karyawan dan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika sebuah
perusahaan dan karyawan memahami dan melakukan materi yang diatas ini akan membantu
dan memeperbaiki kinerja dalam sebuah perusahaaan. Sehingga dengan begitu dapat tujuan-
tujuan yang disusun oleh perusahaan dapat berjalan dan tercapai dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN

Retnaningsih, Hartini.2015. jurnal. “Permasalahan Corporate Responsibility (CSR) Dalam


Rangka Pemberdayaan Masyarakat.

Ernawan, erni R. jurnal. “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social


Responsibility)
https://elearning2.unisba.ac.id/index.php/performa/article/viewFile/3026/1894 diakses
pada 11 maret 2021

Darmawan, Budi. “Hubungan Karyawan-Perusahaan dan Tanggung JAwab Sosial


Perusahaan”.
https://www.academia.edu/28859416/HUBUNGAN_KARYAWAN_PERUSAHAA
N_DAN_TANGGUNG_JAWAB_SOSIAL_PERUSAHAAN Diakses pada 11 maret
2021

Anda mungkin juga menyukai