Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TERATOLOGI

" TERATOLOGI EKSPERIMENTAL ”

Oleh :
Kelompok 2 Kelas S1-6C

Cut Anggraini (1801089)


Desi Setia Wati (1701055)
Dinda Putri Utami (1801090)
Muhammad Fadlil Hadie (1701114)
Muhammad Rifani (1701026)
Nimas Wulan Asih (1801105)
R. Pebliana Syahara (1801109)
Suci Bettiza Oktarisma (1801116)

Dosen Pengampu :

Apt. Mira Febrina, M.Sc

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehngga kami dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah Teratologi mengenai “ Teratologi Eksperimental ” ini tepat pada waktunya. Tidak
lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah Teratologi ini dapat menambah pengetahuan bagi
pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah ini
agar menjadi lebih baik lagi. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari bentuk penyusunan maupun materinya.Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Pekanbaru, 3 Februari 2021

                                                                                         
Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................1

1.3 Tujuan....................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................................3

2.1 Definisi Teratologi.................................................................................................................3

2.2 Jenis Uji Teratologi................................................................................................................3

2.3 Daur Estrus............................................................................................................................6

2.1 Teknik Pengawinan Hewan.................................................................................................13

2.2 Teknik Pemberian Senyawa.................................................................................................13

BAB III PENUTUP............................................................................................................................17

3.1. Kesimpulan..........................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini, banyak ditemui gangguan-gangguan kelainan perkembangan pada
anak-anak di negara kita yang tercinta ini, Indonesia. Ada kecenderungan seorang anak
terkena penyakit atau cacat seperti yang diderita ibu atau ayahnya, atau bahkan kakek
atau neneknya. Tak lain penyebabnya adalah faktor genetik, alias keturunan. Faktor
genetik ini tak lepas dari gen-gen maupun kromosom-kromosom yang merupakan
penyusun dasar tubuh makhluk hidup. Gen-gen atau pun kromosom-kromosom ini
mengalami gangguan, dengan kata lain mengalami suatu perubahan yang disebut mutasi.
Kelainan ini dapat dideteksi saat seorang anak dilahirkan.

Ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan “monster” tersebut
disebut dengan nama teratologi (bahasa Yunani), teratos berarti monster dan logos berarti
ilmu. Teratologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kelainan perkembangan
fisiologis; yang sering disebut juga sebagai studi tentang kelainan kongenital pada
manusia. Sedangkan teratogen sendiri adalah zat yang menyebabkan terjadinya cacat
lahir akibat dari adanya racun pada embrio atau janin.

Uji keteratogenikan merupakan uji ketoksikan yang khas dimana obat yang
diberikan selama masa organogenesis (pembentukan organ pada janin) yang dilihat apakah
dapat memberikan kelainan atau cacat bawaan pada janin yang dikandung hewan uji dan
apakah dosis berkaitan dengan cacat yang timbul tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi teratologi ?

2. Apa saja jenis uji teratologi ?

3. Apa itu daur estrus ?

4. Bagaimana teknik pengawinan hewan ?

5. Bagaimana teknik pemberian senyawa ?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi teratologi

2. Untuk mengetahui jenis uji teratologi

3. Untuk mengetahui tentang daur estrus

4. Untuk mengetahui teknik pengawinan hewan

5. Untuk mengetahuiteknik pemberian senyawa

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Teratologi


Terotologi atau teratologia berasal dari kata Yunani. Teratos = monster = bayi
yang lahir cacat hebat dan logos = ilmu, biasanya pada bayi yang lahir abnormal disebut
“bayi monster” (baby monster). Teratologi merupakan salah satu dari cabang embriologi
yang khusus mengenai pertumbuhan struktur abnormal yang luar biasa. Teratologi
adalah ilmu yang berhubungan dengan penyebab, mekanisme, dan wujud dari
perkembangan yang menyimpang dari sifat, struktur, dan fungsi alaminya yang meliputi
studi tentang perkembangan abnormal dan cacat bawaan. Zat kimia yang secara nyata
akan mempengaruhi perkembangan janin sehingga menimbulkan efek yang berubah –
ubah mulai dari letalis sampai kelainan bentuk (malformasi) dan keterhambatan
pertumbuhan yang disebut zat embriositik. Malformasi janin disebut terata dan zat kimia
yang menimbulkan terata disebut zat teratogen atau zat teratogenik (Loomis, 1978).
Teratologi eksperimental adalah suatu metode penelitian atau mempelajari
mempelajarisifat teratogen suatu zat dengan menggunakan hewan coba. Teratogen
adalah suatu zat yang dapat menimbulkan kelainan pada janin apabila induk yang sedang
hamil terdedah oleh zat tersebut.
Bebepara hal yang harus diperhatikan dalam teratologi eksperimental adalah :
a. Zat yang akan diuji
b. Hewan coba
c. Penentuan waktu pemberian zat
d. Penentuan besarnya konsentrasi atau dosis
e. Penentuan jalur administrasi
f. Manajemen hewan coba pasca perlakuan
g. Pengamatan

3
2.2 Jenis Uji Teratologi
Kajian teratologi dapat menggunakan berbagai metode seperti pendekatan dengan
metode CHEST dan FETAX. Pengertian CHEST dan FETAX adalah salah satu jenis
pendekatan dalam mempelajari teratologi yang digunakan untuk mengetahui terjadinya
cacat secara in vivo.

a. CHEST (Chick Embryotoxicity Screening Test)


CHEST (Chick Embryotoxicity Screening Test) adalah pendekatan teratologi
dengan menggunakan embrio ayam untuk mengetahui pengaruh atau dampak
teratogen terhadap perkembangan embrio ayam.
Contoh kasus penelitan teratologi dengan menggunakan pendekatan CHEST
adalah penggunaan teratogen berupa enrofloxacin pada embrio ayam (Gambar 1)
yang mengakibatkan embrio mengalami penurunan berat badan, anomali strukur
kepala, retardasi pembentukan tulang rawan, dan anomali pada struktur kepala. 

Gambar 1 Embrio usia 7 hari (a) kontrol; (b-d) Embrio yang mengalami
abnormal pada perlakuan enrofloxacin

b. FETAX (Frog Embryo Teratogenecity Xenopus)

FETAX (Frog Embryo Teratogenecity Xenopus) adalah pendekatan teratologi


dengan menggunakan embrio katak sebagai objek penelitian teratologi. Baik CHEST
maupun FETAX pada dasarnya untuk menguji organogenesis yang berguna untuk
memprediksi adanya potensi toksikan pada perkembangan manusia dan adanya suatu
efek teratogen.

Adapun pendekatan teratologi berdasarkan metode FETAX dapat diamati pada


perkembangan embrio katak dengan perlakuan pemberian insektisida (malathion)
yang mengakibatkan pembengkokan ekor pada larva katak (Gambar 2).

4
Gambar 2. Larva X. laevis. (A) kontrol; (B-D) ekor yang mengalami abnormal

Uji In Vitro

            Meskipun belum rutin dilakukan, uji in vitro memberikan harapan sebagai
prosedur penyaring dalam menentukan organ sasaran, atau dalam mempelajari cara kerja
teratogen. di bawah ini secara ringkas diterangkan beberapa uji in vitro. beberapa rincian
dan acuan diberikan oleh saxen (1991).
1. Biakan sel
Biakan sel dapat ditanam pada suspensi sebagai suatu lapisan tunggal, atau
pada berbagai bahan penyangga. efek teratogenik dapat dinilai dari berbagai
parameter. karena mudahnya, prosedur ini dapat digunakan sebagai uji
prapenyaringan.
Salah satu pengujian akhir adalah analisis protein yang disintesis oleh biakan
sel, misalnya biakan sel embrio ayam. untuk memastikan bahwa pengaruh
bioaktivasi dan sawar plasenta telah dipertimbangkan, biakan sel dipajankan pada
zat yang diuji dan metabolitnya diekstraksi dari cairan amnion mencit bunting yang
telah diberi zat itu.
Sel tumor tertentu pada biakan segera menempel pada lapisan permukaan
khusus. telah diketahui bahwa zat kimia yang bersifat teratogenik pada hewan
biasanya menghambat lekatnya sel ini. efek end point lainnya adalah berubahnya
diferensiasi sel oleh teratogen. perubahan ini dapat ditentukan secara biokimiawi
dan morfologik.
2. Biakan Organ
Ginjal metanefron, gigi yang sedang berkembang, dan beberapa organ lainnya
dapat digunakan dalam biakan organ. metanefron didapat dari mesenkim

5
metanefron embrio tikus hari ke-11 dan ditumbuhkan pada suatu penyaring
berpori. sebagai induktor, sumsum tulang embrionik direkatkan pada sisi
sebaliknya penyaring. indikator ini diambil kembali setelah 24 jam, saat telah
terjadi induksi. jaringan kemudian berdiferensiasi menjadi glomerulus, tubulus
proksimal, dan tubulus distal. beberapa zat kimia terbukti dapat mengurangi
jumlah tubulus yang terbentuk.Biakan organ terlalu rumit untuk digunakan sebagai
uji prapenyaringan. namun, tampaknya berguna untuk mempelajari cara kerja dan
tempat sasaran zat kimia yang dicurigai.
3. Biakan Hidra
Johnson dan gebel (1992) menjelaskan prosedur yang menggunakan
biakan hidra attenuata dalam kondisi laboratorium. pajanan zat kimia pada hidra
dewasa dan embrio buatan (terdiri atas sel yang diregresikan secara acak dari hidra
yang dihancurkan) menyebabkan berbagai perubahan morfologik, bahkan
menyebabkan kematian. perbandingan kadar lethal pada embrio terhadap kadar
letal pada yang dewasa telah ditentukan untuk beberapa zat kimia. rasio ini
menunjukkan korelasi yang baik dengan perbandingan dosis teratologik dan dosis
toksik pada hewan pengerat dewasa. prosedur ini tampaknya juga memberikan
harapan sebagai uji prapenyaringan

2.3 Daur Estrus


Estrus atau birahi adalah periode atau waktu hewan betina siap menerima pejantan
untuk melakukan perkawinan. Interval waktu antara timbulnya satu periode estrus
kepermulaan periode estrus berikutnya disebut siklus estrus. Saluran reproduksi hewan
betina akan mengalami perubahan-perubahan pada interval-interval tersebut. Siklus
estrus dikontrol secara langsung oleh hormon-hormon ovarium dan secara tidak langsung
oleh hormon-hormon adenohipofise.
Berdasarkan frekuensi terjadinya siklus estrus, hewan dibedakan menjadi tiga
golongan. Golongan pertama, hewan monoestrus yaitu hewan yang hanya satu kali
mengalami periode estrus per tahun, contohnya beruang, srigala, dan kebanyakan hewan
liar. Golongan kedua, hewan poliestrus yaitu hewan-hewan yang memperlihatkan estrus
secara periodik sepanjang tahun, contohnya sapi, kambing, babi, kerbau dan lain-lain.
Golongan ketiga, hewan poliestrus bermusim yaitu hewan-hewan yang menampakkan
siklus estrus periodik hanya selama musim tertentu dalam satu tahun, contohnya domba
yang hidup di negara dengan empat musim.

6
2..3.1 Fase-fase Siklus Estrus
Menurut perubahan-perubahan yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan
selama siklus estrus maka siklus estrus dibedakan menjadi empat fase yaitu
proestrus, estrus, metestrus/postestrus, dan diestrus. Pembagian yang lain
berdasarkan perkembangan folikel dan pengaruh hormon maka siklus estrus
dibedakan menjadi fase folikuler atau estrogenik yang meliputi proestrus dan
estrus, serta fase luteal atau progestational yang terdiri atas metestrus/postestrus
dan diestrus. Lama berbagai periode siklus estrus pada beberapa hewan tercantum
pada tabel berikut . Secara umum, siklus birahi pada babi, sapi, dan kuda berkisar
antara 20—21 hari, sedangkan pada domba 16—17 hari.

Tabel 1. Lama berbagai periode siklus estrus pada hewan peliharaan


Proestrus Metestrus Diestrus
Jenis ternak Estrus
(hari) (hari) (hari)
Sapi 3 12—24 jam 3—5 13
Kuda 3 4—7 hari 3—5 6—10
Babi 3 2—4 hari 3—4 9—13
Domba 2 1—2 hari 3—5 7—10

Menurut perubahan-perubahan yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan


selama siklus estrus maka siklus estrus dibedakan menjadi empat fase yaitu :
1. Proestrus
Proestrus merupakan periode persiapan yang ditandai dengan
pemacuan pertumbuhan folikel oleh Follicle Stimulating Hormone (FSH).
Folikel yang sedang tumbuh menghasilkan cairan folikel dan estradiol yang
lebih banyak.Penelitian yang dilakukan pada sapi Peranakan Friesian
Holstein (PFH) dijelaskan bahwa pada fase ini terjadi peningkatan dalam
pertumbuhan sel-sel dan lapisan bacillia pada tuba fallopi dalam
vaskularisasi mucosa uteri. Serviks mengalami relaksasi gradual dan makin
banyak mensekresikan mucus tebal dan berlendir dari sel-sel goblet pada
serviks dan vagina anterior. Mucus menjadi terang transparan dan
menggantung pada akhir proestrus .
Fase proestrus ini FSH yang dikeluarkan oleh kelenjar adenohipofisa
akan memicu perkembangan folikel di dalam ovarium, bersama Luteinizing

7
Hormone (LH) ovarium kemudian meningkatkan produksi estrogen melalui
peningkatan cairan folikel. Pada fase ini juga terjadi perkembangan organ-
organ reproduksi yaitu oviduct, uterus, dan vagina. Beberapa spesies hewan
mengalami pertumbuhan sel-sel X uterus. Serviks mengalami relaksasi dan
banyak mensekresikan mucus yang tebal dan berlendir dari sel-sel goblet
serviks dan vagina anterior, serta kelenjar kelanjar uterus. Sekresi estrogen ke
dalam urine mengalami peningkatan, sementara progesteron di dalam darah
menurun akibat terjadinya vakuolisasi degenerasi dan pengecilan corpus
luteum secara cepat. Proestrus merupakan fase yang berlangsung selama 1 - 2
hari dan terjadi sebelum fase estrus berlangsung.

2. Estrus
Periode estrus adalah masa puncak keinginan untuk kawin ditandai
dengan manifestasi birahi secara fisik. Dalam serviks jumlah lendir maupun
jumlah sekresi lendir dalam tiap-tiap kelenjar lendir bertambah. Lendir ini
bersifat transparan/tembus pandang, bening, dan dapat mengalir ke vagina
serta vulva hingga secara nyata terlihat menggantung di ujung vulva. Pada
fase estrus keseimbangan hormon hipofisa bergeser dari FSH ke LH.
Pengaruh peningkatan LH terlihat pada masa sesudah estrus, dimana LH
membantu terjadinya ovulasi dan pembentukan corpus luteum. Lama periode
estrus pada ruminansia kecil selama 2 - 3 hari.
Tanda-tanda keberadaan ternak berada pada siklus estrus dapat
diamati adanya perubahan secara fisik salah satunya adalah keluarnya lendir
sampai ke vulva yang sangat jelas. Perubahan fisik yang tampak dari luar
tersebut dapat dijadikan dasar oleh peternak untuk menentukan puncak
berahi. Fase estrus pada dasarnya dipengaruhi oleh sistem hormonal yang
mempengaruhi estrus berpusat pada gonadotropin dari hipofisa interior dan
hormon ovarium yaitu FSH dan estrogen.
Estrus masih masuk ke dalam fase folikuler dan akan terjadi setelah
fase proestrus. Dalam sebuah penelitian dijelaskan bahwa pada saat kambing
berada pada fase estrus terjadi peningkatan kadar estrogen yang bekerja pada
organ kelamin betina dan meningkatkan sekresi lendir serviks sehingga
dijumpai adanya lendir yang menempel pada bagian vulva. Dalam fase
estrus, hormon FSH dalam darah menurun, sedangkan sekresi LH meningkat

8
guna merangsang terjadinya ovulasi, selanjutnya ovum terlempar dari folikel
de Graaf ke bagian atas tuba uterin. Oviduct menegang, epitel menjadi
matang, sekresi cairan tuba meningkat, dan cilia aktif, serta terjadi kontraksi
oviduct dan ujung tuba yang berfimbrae merapat ke folikel de Graaf. Uterus
mengalami ereksi karena memperoleh suplai darah yang semakin tinggi,
mucosa tumbuh dengan cepat dan lendir disekresikan dalam jumlah yang
banyak. Lendir serviks dan vagina menjadi lebih banyak.
3. Metestrus/Postestrus
Metestrus merupakan periode segera setelah estrus, ditandai dengan
pertumbuhan cepat korpus luteum yang berasal dari sel-sel granulosa yang
telah pecah di bawah pengaruh LH. Metestrus sebagian besar berada di
bawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan korpus luteum.
Kehadiran progesteron akan menghambat sekresi FSH sehingga tidak terjadi
pematangan folikel dan estrus tidak terjadi.
Fase metestrus ditandai dengan adanya perubahan sekresi lendir
serviks oleh kelenjar-kelenjar serviks dari carir menjadi kental, lendir serviks
ini berfungsi sebagai sumbat lumen serviks . Metestrus merupakan fase mulai
tumbuhnya corpus luteum setelah terjadi ovulasi atau sering disebut dengan
fase luteal. Pada fase ini Luteotropic Hormone (LTH) akan disekresikan oleh
adenohipofisa guna mempertahankan corpus luteum. Terjadi peningkatan
sekresi progesteron yang dihasilkan oleh corpus luteum dan sekresi estrogen
menurun. Progesteron akan menekan keberadaan FSH untuk menghambat
terjadinya perkembangan folikel selanjutnya dan mencegah terjadinya estrus.
Sekresi mucus menurun dan terjadi pertumbuhan endometrium secara cepat.
Metestrus adalah masa setelah estrus yaitu masa dimana corpus luteum
tumbuh cepat dari sel granulosa . Metestrus terjadi setelah fase estrus
berakhir, fase metestrus berlangsung selama 2 - 3 hari.
4. Diestrus
Diestrus merupakan fase terakhir dan terlama dalam siklus estrus
ternak-ternak mamalia. Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh
progesteron menjadi dominan. Endometrium menebal, kelenjar uterina
membesar, dan otot uterus menunjukkan peningkatan perkembangan.
Perubahan ini ditunjukkan untuk mensuplai zat-zat makanan bagi embrio bila
terjadi kebuntingan. Kondisi ini akan terus berlangsung selama masa

9
kebuntingan dan korpus luteum akan dipertahankan sampai akhir masa
kebuntingan.
Serviks menutup rapat untuk mencegah benda-benda asing memasuki
lumen uterus, mukosa vagina menjadi pucat, serta lendirnya mulai kabur dan
lengket. Apbila tidak terjadi kebuntingan, maka endometrium dan kelenjar-
kelenjarnya beratrofi atau berregresi keukuran semula. Folikel-folikel mulai
berkembang dan akhirnya kembali ke fase proestrus.
Pada beberapa spesies yang tidak termasuk golongan poliestrus atau
poliestrus bermusim, setelah periode diestrus akan diikuti anestrus.Anestrus
yang normal akan diikuti oleh proestrus. Secara fisiologis, aneastrus ditandai
oleh ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi. Anestrus
fisiologis dapat diobservasi pada negara-negara yang mempunyai 4 musim,
yaitu musim semi dan panas pada domba serta selama musim dingin pada
kuda. Selama anestrus, uterus kecil dan kendor, mukosa vagina pucat,
lendirnya jarang dan lengket, serta serviks tertutup rapat dengan mukosa
yang pucat. Aktivitas folikuler dapat terjadi dan ovum dapat berkembang
tetapi tidak terjadi pematangan folikel dan ovulasi.

2..3.2 Pengaturan Hormonal pada Siklus Estrus


Pada dasarnya, pola siklus estrus sama tetapi berbeda antar spesies. Siklus
estrus secara langsung diatur oleh hormon-hormon tetapi secara tidak langsung
oleh hormon adenohipofise. Pengaturan hormon pada siklus estrus tergantung
sirkulasi hormon di dalam pembuluh darah hewan betina dan reaksi organ target
dari hormon yang bersangkutan.
1. Sapi
Pengaturan hormonal diawali oleh hormon hipotalamus yaitu
GnRHyang disekresikan oleh hipotalamus akan menstimuli FSH dan LH
dilepaskan dari adenohipofise, selama proestrus terjadi peningkatan,
mencapai puncaknya pada fase estrus, dan akhirnya menurun pada akhir
metestrus. Pada periode diestrus akan tetap rendah sampai periode proestrus.
Hormon-hormon hipofise yang ikut dalam pengaturan siklus estrus
adalah FSH dan LH. FSH dihasilkan oleh adenohipofise akan merangsang
perkembangan folikel pada ovarium yang akhirnya mengasilkan estrogen.
FSH ada di dalam darah dan jumlahnya meningkat pada hari ke-4 sampai

10
hari ke-6, akan terus meningkat dan merangsang perkembangan folikel
sampai terjadinya ovulasi. Hormon lainnya adalah LH yang menyebabkan
ruptur (pecah) folikel dan memulai perkembangan korpus luteum. LH
mencapai puncaknya pada awal estrus dan ovulasi akan terjadi 30 jam
kemudian.
Dua hormon ovarium yang langsung mengatur siklus estus adalah
estrogen dan progesteron. Estrogen dihasilkan oleh folikel yang sedang
tumbuh akbatnya rangsangan FSH. Perubahan konsentrasi estrogen sesuai
dengan perkembangan folikel dan mencapai puncaknya pada awal estrus.
Estrogen menyebabkan libido hewan menjadi kelihatan dan organ-organ
reproduksi mempersiapkan terjadinya konsepsi.
Progsteron dihasilkan oleh sel-sel luteal dari korpus luteum yang
mulai berfungsi pada hari ke-3 sampai ke-4 siklus estrus dan mulai
meningkat dalam hal konsentrasi dan reproduksi sampai pada hari ke-8
siklus. Konsentrasi progesteron akan bertahan sampai hari ke-16, pada saat
korpus luteum mulai mengalami regresi sehingga konsentrasi progesteron
sangat menurun. progesteron akan tetap dipertahankan dan berfungsi apabila
terjadi kebuntingan pada ternak.

2. Domba
Pengaturan hormon selama siklus estrus hampir sama dengan
pengaturan hormon pada sapi. Perbedaan terdapat pada lamanya siklus estrus
yang lebih pendek (16-17 hari) tetapi periode estrus lebih panjang (30 jam)
dan ovulasi terjadi 24—27 jam setelah awal estrus. Korpus luteum ada sejak
hari ke-4 sampai hari ke-14. Konsentrasi progesteron meningkat pada hari
ke-3 sampai hari ke-11.

3. Babi
Satu periode siklus estrus pada babi menghasilkan ovum matang
dalam jumlah banyak (12-20) kemudian diovulasikan. Pengaruh FSH
berlangsung selama 5-6 hari sampai folikel menjadi matang, kemudian
pengaruh LH menyebabkan terjadinya reptur ovum yang matang. Ovulasi
terjadi 35-40 jam setelah awal estrus dan konsentrasi LH mencapai
puncaknya. Ovum yang pecah akan membentuk korpus luteum. Sel-sel luteal

11
akan menghasilkan progesteron yang mencapai puncaknya pada pertengahan
siklus dan menurun pada hari ke-15 dan 16 siklus.

4. Kuda
Pada kuda sering mengalami periode anestrus pada musim dingin.
Periode estrus dapat berlangsung 5-7 hari terutama setelah anestrus musim
dingin. Perilaku birahi pada kuda berbeda dengan ternak lain, yaitu lambat
laun meningkat intensitasnya dalam beberapa hari. Fase perkembangan
folikel berkepanjangan, sekresi FSH mempunyai dua puncak dan puncak
yang kedua tercapai pada hari ke-15 siklus dan kadang-kadang terjadi
ovulasi. Puncak konsentrasi FSH yang pertama terjadi pada hari ke-7 siklus
dan akan tetap meningkat telah terjadi ovulasi. Ovulasi terjadi 24-48 jam
sebelum akhir estrus. Pada ternak lain, konsentrasi LH mencapai puncaknya
yang tajam sebelum ovulasi menjelang estrus. Pada kuda, konsentrasi LH
naik secara perlahan dan membentang eaktu ovulasi, mencapai puncaknya
setelah ovulasi terjadi.
Bila perkawinan tidak diikuti perubahan, mamalia betina dengan
siklus reproduksi yang normal akan mengalami rangkaian perubahan
ovarium yang berulang termasuk sekresi hormon yang berpengaruh terhadap
perilaku kelamin dan saluran reproduksi.
Tabel 2. Panjang siklus estrus dan lamanya birahi bervariasi antar
jenis hewan.

Jenis Lama siklus Waktu optimum


Lama estrus Waktu ovulasi
ternak estrus (hari) untuk dikawinkan
2—4 hari sebelum
1—2 hari
4,5—7,5 akhir estrus atau
Kuda 19—23 (21) sebelum
(5,5) hari hari ke-2—ke-3
akhirestrus
estrus
10—15 jam
12—28 jam Pertengahan sampai
Sapi 18—24 (21) sesudah akhir
(18 jam) akhir estrus
estrus
12—24 jam 18—24 jam
14—20
Domba 30—36 jam sebelum akhir sesudah permulaan
(16,5)
estrus estrus
Babi 18—24 (21) 1—4 (2—3) 30—40 jam 12—30 jam

12
sesudah
sesudah permulaan
hari permulaan
estrus
estrus

2.4 Teknik Pengawinan Hewan


Pengawinan hewan percobaan dilakukan pada masa estrus dengan perbandingan
jantan dan betina 1:4. Mencit jantan dimasukkan ke kandang mencit betina pada pukul
empat sore dan dipisahkan lagi besok paginya. Pada pagi harinya dilakukan pemeriksaan
sumbat vagina. Sumbat vagina menandakan mencit telah mengalami kopulasi dan berada
hari kehamilan ke-0. Mencit yang telah hamil dipisahkan dan yang belum kawin
dicampur kembali dengan mencit jantan (Almahdy 2011,Kauffman 1992).

2.5 Teknik Pemberian Senyawa


Pemberian sediaan uji dilakukan selama 10 hari berturut-turut mulai hari ke enam
sampai hari ke lima belas kehamilan secara oral, tanpa mempuasakan hewan.

1. Waktu Pemberian zat


Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan terhadap pengujian zat teratogenik, perlu
memperhatikan waktu pemberiannya.Ada dua jenis waktu pemberian yaitu:
a. pemberian zat sebelum implantasi,
Pemberian sebelum implantasi bertujuan untuk melihat pengaruh suatu zat
terhadap perkembangan embrio preimplantasi.
b. pemberian zat teratogenik setelah implantasi.
Pemberian zat setelah implantasi bertujuan untuk melihat pengaruh zat pada
perkembangan fetus, terutama pada masa organogenesis. Untuk pemberian zat
teratogenik setelah masa implantasi perlu memperhatikan masa kritis suatu
organogenesis.
Suatu zat yang bersifat teratogenik akan menyebabkan kelainan pada fetus apabila
diberikan pada masa kritis. Masa kritis adalah suatu waktu sepanjang masa
kebuntingan induk yang dapat menyebabkan terjadi kelainan pada fetus yang
dikandungnya apabila terdedah oleh zat teratogenik. Masa kritis induk biasanya
berada pada masa organogenesis. Pada masa pembentukan organ ini terjadi aktifitas
metabolisme berupa pembelahan maupun kematian sel sel dalam rangka pembentukan

13
organ. Proses pembelahan yang terhambat akan mengakibatkan terjadinya hambatan
pada pembentukan organ. Pemberian zat di luar masa organogenesis tidak
menyebabkan terjadinya kelainan pada fetus, sekalipun zat yang diberikan bersifat
teratogenik.
2. Pemberian Zat Kimia

Dosis sekurang-kurangnya diberikan tiga tingkat dosis. Dosis tertinggi harus


menyebabkan gejala keracunan pada beberapa induk (dan atau janin), seperti
berkurangnya berat badan. Dosis terendah harus tidak menampakkan efek buruk. Satu
atau lebih dosis harus berada di antara kedua ekstrim itu.

Selain itu, dibuat dua kelompok pembanding. Salah satu diberi pelarut atau larutan
garam fisiologis, sedangkan yang lain diberi zat yang diketahui bersifat teratogen
aktif. Kelompok ini akan memberikan informasi tentang insidens cacat spontan dan
kepekaan hewan dalam kondisi percobaan. Selain pembanding ini, data dari studi
yang lalu (historical control) juga berguna.

Waktu pemberian zat kimia sangat penting, seperti yang digambarkan pada percobaan
Tuchman-Duplesis yang dikutip oleh Lu (1995), dengan 6-merkaptopurin yang
mengakibatkan cacat saraf dan mata atau anomali kerangka tergantung dari saat
pajanan. Namun, untuk penelitian teratologi rutin, zat kimia biasanya diberikan
selama periode organogenesis, suatu periode paling rentan untuk embrio. Periode ini
bervariasi untuk setiap jenis. Periode rentan untuk beberapa jenis hewan dan
informasi yang berhubungan dengan itu tercakup dalam tabel 3.

Tabel 3. Penelitian Teratogenesis pada Beberapa Hewan


Tikus Mencit Hamster Kelinci
Usia induk 100- 60-90 60-90 hari Dewasa belum kawin
pada awalnya 120 hari
hari

Periode hari ke hari ke hari ke 5- hari ke 6-18


pemberian 6-15 6-15 10
dosis*

14
Seksio hari ke hari ke hari ke 14 hari ke 29
Caesaria* 20 17

Pembanding ASA, ASA, ASA, 250 6-aminonikotinamid


positif † 250 150 mg/kg 2,5 mg/kg
mg/kg mg/kg

* Hari 0 adalah ketika sperma ditemukan dalam vagina atau, pada kelinci, hari
terjadinya kopulasi atau inseminasi buatan.
  † ASA, asam asetilsalisilat, teratogen potensial pada hewan coba tertentu meskipun
hanya mampu menyebabkan perdarahan pada janin manusia dan hanya dalam dosis
besar.
3. Pengamatan
a. Hewan Bunting.
Hewan harus diperiksa setiap hari untuk melihat tanda-tanda nyata keracunan.
Betina yang menunjukan tanda-tanda akan keguguran atau melahirkan prematur
(seperti perdarahan vagina) harus dibunuh dan diperiksa.
b. Janin
Janin biasanya diambil melalui pembedahan kira-kira sehari sebelum perkiraan hari
kelahiran. Prosedur ini dimaksudkan untuk menghindari kanibalisme dan
memungkinkan penghitungan tempat yang diresorpsi dan kematian janin.
Kemudian dilakukan pengamatan berikutnya dan hasilnya dicatat, seperi:

 Jumlah korpora lutea


 Jumlah implantasi
 Jumlah resorpsi
 Jumlah janin yang mati
 Jumlah janin yang hidup
 Jenis kelamin janin yang hidup
 Berat janin yang hidup
 Panjang (ujung kepala-telapak kaki) janin yang hidup
 Kelainan pada janin yang hidup

15
4. Pemeriksaan Rinci.
Hal ini dilakukan untuk menentukan berbagai jenis kelainan. Setiap janin diperiksa
cacat luarnya. Selain itu, sekitar dua pertiga sampel janin diambil secara acak,
diwarnai dengan merah alizarin, dan diperiksa ada tidaknya kelainan rangka. Sisanya
sepertiga diperiksa cacat viseranya setelah difiksasi dalam  cairan Bouin dan diiris
dengan silet. Pada hewan yang lebih besar, seperti anjing, babi, dan primata bukan
manusia, struktur rangka bisa diperiksa dengan sinar-X, bukan dengan pewarnaan.
5. Pengaruh Tertunda
Untuk toksikan yang diduga mempengaruhi sistem saraf pusat atau sistem
genitourinaria janin, cukup banyak betina hamil yang dibiarkan melahirkan anaknya.
Anak-anak ini dirawat oleh ibu biologiknya, sehingga memungkinkannya terpajan
toksikan melalui air susu, atau oleh induk angkatnya. Pada kasus terakhir ini efek
potensial pajanan pasca pascalahir dihilangkan.
Uji neuromotor dan perilaku dapat digunakan untuk mendeteksi efek SSP. Hal ini
mencakup sikap tubuh, kegiatan motorik, koordinasi, ketahanan, penglihatan,
pendengaran, kemampuan belajar, respons terhadap lingkungan asing, perilaku kawin,
dan tingkah laku maternal.

16
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Teratologi adalah salah satu cabang embriologi yang khusus mengenai
pertumbuhan struktur abnormal yang luar biasa. Teratologi adalah ilmu yang
berhubungan dengan penyebab, mekanisme, dan wujud dari perkembangan menyimpang
dari sifat, struktur, dan fungsi alaminya y ang meliputi studi tentang perkembangan
abnormal dan cacat bawaan. Jenis-jenis uji teratologi sendiri terbagi menjadi uji CHEST
(Chick Embryotoxicity Screening Test), FETAX (Frog Embryo Teratogenecity
Xenopus), dan juga uji invitro.

Dalam hal ini terdapat siklus estrus. Estrus sendiri merupakan periode atau waktu
hewan betina siap menerima pejantan untuk melakukan perkawinan. Interval waktu
antara timbulnya satu periode estrus kepermulaan periode estrus berikutnya disebut
dengan siklus estrus. Siklus estrus dibedakan menjadi empat fase yaitu proestrus, estrus,
metestrus/postestrus, dan diestrus.

Dalam pemberian senyawa uji kepada hewan uji, perlu diperhatikan beberapa hal
agar pengujian teratologi berjalan dengan baik, diantaranya :

1. Waktu pemberian uji


2. Pemberian zat kimia
3. Pengamatan
4. Pemeriksaan rinci
5. Pengaruh tertunda

17
DAFTAR PUSTAKA

Anderson,D.,D.H.Coning. 1998. Experimental toxicology, The basic principle. Royal Society


of Chemistry. London

Akbar B. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif Yang Berpotensi Sebagai
Bahan Antifertilitas. Jakarta : Adabia Press pp 6-7

Bonfantia, P., et al. 2004. Comparative teratogenicity of Chlorpyrifos and Malathion


on Xenopus laevis development.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta: UGM. Press

Lenira. 2009. Textbook of Medical Physiology. F.A. Davis Company. Philadelphia.

Mobarak, Yomn M. 2010. Embryotoxicity and Teratogenicity of Enrofloxacin on Maternally


Treated Chick. 

Toelihere, M.R. (1979), Fisiologi Reproduksi pada Ternak, Penerbit Angkasa, Bandung.

18

Anda mungkin juga menyukai