Kepada aktivis anti rokok, saya mesti bilang “Permisi, ini bukan iklan rokok”. Apalagi,
menganjurkan untuk merokok ....................... Dari koleksi ratusan merek rokok yang popularitasnya
sebatas wilayah kewcamatan, kabupaten dan paling banter provinsi ini, aneka kajian memang bisa
dilakukan. Tapi untuk bikin kajian serius, itu jatahnya akedemisi dan peeneliti........
Jika anda mengaku “intelektual” dan belum mengisap rokok merek “DJA YEN NG”
segeralah anda mengisap rokok seharga Rp 2 500,- keluaran pabrik rokok PT. Djayeng Kudus,
Jawa Tengah. Setidaknya, begitulah harapan copy writer rokok ini. Soalnya rokok dengan kertas
kemasan warna hijau lumut dengan tampilan desain ala rokok legendaris DJI SAM SOE ini, di
balik kemasan memuat pernyataan serius tapi (kalau direnungkan) jenaka : “Rokok ini memakai
tembakau sangat canggih dan cocok untuk kaum intelektual”. Nah itu kalau boleh geli membaca iklan
berhuruf merah dalam sebuah lingkaran menyerupai tali itu. Namun kita juga boleh menaruh hormat
pada keliaran imajinasi pemilik merek ini sehingga ia mampu melahirkan pernyataan yang
menyentak kesadaran, betapapun “ngawur”nya yaitu usaha mempertemukan korelasi antara
intelektual dan sebatang rokok. Murahan lagi. Dicoba dicarikan sekedar ghothak-gathuk-nya pun
(gothak-gathuk bermakna kecocokannya, pen.) dicari orang orang akan kesulitan. Dan kesulitan itu
bisa ditingkatkan menjadi kebingungan karena dalam tradisi penentuan kualitas tembakau, para
ahlinya pun tak mengenal predikat tembakau seperti itu rasa tembakau kok canggih ?
Rokok dengan kemasan bertehnik cetak sablon yang bisa diperoleh di kios-kios di pedesaan
kawasan pesisir utara Jawa, tepatnya di sekitar Desa Dukuh Seti, Dayu, Pati Rembang,Jawa Tengah,
ini adalah salah satu dari ratusan merek rokok marginal. Rokok yang beriklannya cuma lewat
poster dan spanduk, atau bahkan tidak sama sekali. Rokok-rokok yang harga sebungkusnya tak
pernah lebih dari lima ribu perak ini, memang beredar dan bertarung di wilayah pinggiran. Konsumen
yang disasar (menjadi target pemasaran.pen.) masyarakat yang secara ekonomi dan sosial sedang
terpinggirkan (termarginalisasi).
Maka janganlah kemudian menerka, rokok murah meriah itu ikut-ikutan bertempur dalam
adu promosi sebagaimana merek-merek papan atas yang saban malam menghamburkan milyaran
rupiah melalaui perang iklan ti televisi. Juga jangan kurang kerjaan mencari merek- merek rokok
yang gambarnya bertebaran disini di (pasarkan) supermarket perkotaan. Mereka adanya Cuma di
warung, di kios-kios sederhana, itu-pun setinggi-tingginya di tingkat wilayah kecamatan dan
kabupaten.
Namun begitu dari mereka merek yang terkadang tanpa malu-malu mengekor bahkan
sengaja memirip-miripkan design grafisnya dengan rokok merek rokok kondang ini, orang bisa
membaca adanya perjuangan membangun eksistensi yang tak kenal lelah. Baik melalui ikhtiar
mematok harga jual, aspek pemasaran yang umumnya model konsinyasi alias jual dulu-bayar
kemudian, penamaan brand yang sugestif dan kadang berbau dukun, maupun pada usaha
meyakinkan konsumen dengan sihir kata-kata sebagaimana “rokok intelektual” itu.
Pendeknya, rokok yang konon sebagian besar dihasilkan secara home industry (industri
rumahan=industri kecil-industri rumahtangga) ini, mencoba tahu diri di wilayah mana mereka
mengais rezeki. Sehingga soal harga, pastilah mereka bermain di level bawah, antara Rp 1 500,-
-Rp 4 000,- sebungkusnya. Tentu sulit dibayangkan bagaimana pengusaha rokok bisa memetik
keuntungan dengan harga sebesar itu, apalagi sekarang ini upah buruh dan biaya transportasi
Sosiologi Agribisnis: Budaya Industrial-MAB SV-IPB Murdianto 2021
4
bertambah tinggi. Kalkulator ahli pemasaran bisa error jika dipaksa mengalkulasi.
Lalu, kualitas tembakaunya ? Dengan mudah orang menanam kecurigaan, jangan-jangan
bahan bakunya tergolong “subversif” untuk tidak menyebut bekas puntung rokok atau tembakau
sapon (kumpulan sisa tembakau setelah disapu) dari pabrik-pabrik besar. Orang memang boleh
apriori dan curiga. Tapi sebaiknya kita berfikiran positif, siapa tahu ada yang pengusaha rokok
kelas teri yang sedang ingin beramal dengan memberikan subsidi atas harga rokok yang dibikinnya
sendiri ?. Toh ternyata merek rokok itu tetap memiliki segmen pasarnya tersendiri. Dan mereka
sangatlah loyal.
Berfikir positif itu memang menyehatkan, termasuk ketika kita mencermati desain
visualnya yang dengan penuh kesadaran menunggangi merek terkenal yang telah menjadi ikon
publik. Orang mudah terkecoh menyangka merek aneh-aneh itu seakan-akan kembarannya DJI
SAM SOE, DJARUM 76, DJARUM SUPER, GUDANG GARAM atau WISMILAK.
Atas nama berfikir “positif” sebaiknya hal itu diartikan, kemiripan itu sengaja dilakukan.
untuk mengakomodasi kelas masyarakat yang pengen tampil gagah dengan merek terkenal, tapi
duitnya cekak (uangnya terbatas, daya belinya rendah, pen.). Mulia-kan ?. Percis ketika kita
memaklumi orang-orang pada bikin tato tahi lalat di dagunya, karena ingin tampil ala bu Megawati.
Jadi perkara mengimitasi dan plagiat dalam konteks ini, bukanlah perkara peng-idola- an yang over
dosis, macetnya kreativtas dan identitas. Melainkan ini perkara pelayanan terhadap konsumen yang
bertindak pada strategi pemasaran. Lihatlah ada yang sepintas sangat mirip kretek Gudang Garam
seperti Gudang Gandum, Gudang Gamping, Gudang Rasa, Gudang Baru, Prima Classict dan ”Parade
Banyak” (Gambar 7.1.2).
berlebihan, seperti tertera di wajah rokok DJA YEN NG yang “intelektualistik” itu. Dengan gagah ia
menyebut bahwa rokoknya adalah “dari umat untuk umat”.
Para emitator Dji Sam Soe selain melekatkan ke warna dominannya yang kuning
kecoklatan mereka bermain pada penyajian simbol angka, yang dikurung bulan sabit dalam psosisi
tengkurap dengan outline warna merah sembilan bintang di atas garis lengkung. Sedangkan merek
berupa ekspose angka ada yang di-Indonesia-kan seperti 168, 347, 252, (Permata Super atau Arto
Moro), namun demikian tak sedikit yang bertahan menterjemahkan seperti aslinya, 369 (Sam Liok
Kioe), 565 (Dja Yen Ng), 33 (sam Sam), 21 (Dji It), dan 444 (Soe-Soe Soe)
Angka angka dalam rokok pinggiran rupaya membawa sugesti keberhasilan dan
keberuntungan. Mungkin ini bertalian dengan Hongsui, Apalagi ini soal brand dan bisnis. Jangan
coba coba bermain dengan angka mati. Setidaknya ditemukan sejumlah brand yang
mengindikasikan ke angka pem-bawa keberuntungan, 9 atau angka yang jika dijumlah nilainyatetap
9. Misalnya 234, 928, 365,999 (Galam), 252 (Arto Moro), WL 9, Songosongo, Lodjie 99, Sembilan
baru, Sembilan Classic dan sebuah merek yang melangkapi “tembakan” visualnya pada Wismilak: 468
alias Soe Laa Pun. (Gambar 7.1.3) Usahanya memirip-miripkan itu disempurnakan dengan
peletakan komposisi bintang berjumlah sembilan dan warna hijau yang sangat dominan.
Pengimitasian terhadap rokok dari Surabaya ini terutama pada pilihan warna hijau, masih bisa
ditambah deretnya; Sumber Ajaib, Kumbang, Djangkung Ajaib, Matahari, Permata Biru, Pena
Mas, dan Grendel Jaya.
Menjejerkan rokok yang sepintas mirip seakan saudara kembar itu, tak ubahnya
menyaksikan medan peperangan rokok gurem. Warna, huruf, logo, angka dan kata-kata saling
bertempur. Secara fisik tampilan visual bisa saling menyerupai, tapi konsumen pada dasarnya tetap
memiliki kecerdasan membedakan kualitas. Sama halnya seandainya tahun 2004 nanti menyikapi
gambar partai yang menjadikan warna dan simbol visual sebagai takhyul baru yang dijajakan.
Tapi bukan hanya itu yang terbaca, di saat kita mendapat berbagai siasat dalam sebuah pertarungan,
bagaimaa jurus-jurus dikedepankan untuk merebut simpati, dan bagaimana sejumlah kepentingan
berlomba untuk saling menunggangi. Masalahnya siapa pemenangnya dan apa yang ditunggangi ?.
Ilmu pemasaran bisa menyebutkan yang ditunggangi bisa merasa keenakan, karena begitu sebuah
brand berhasil ditunggangi epigonnya, sesungguhnya hal itu justru akan makin memperkuat
eksistensi mereknya. Namun fakta bisa bicara lain yaitu ketika yang ditunggangi kehilangan
kepercayaan diri dan menganggap penunggangnya sebagai malapetaka yang harus dicegah
kehadirannya.
Saya yakin Liem Seeng Tee belum cukup puas menjejalkan angka 9 ke dalam jajaran nama
Sosiologi Agribisnis: Budaya Industrial-MAB SV-IPB Murdianto 2021
3
dan simbol perusahaannya. Pada tahun 1916, di tengah situasi keuangan yang sulit, Seeng Tee
tetap bertekad menjadikan perusahaannya sebagai “Raja Tembakau” dengan menempatkan
aksara Tionghoa “Wang” atau “Ong” (王), yang berarti “raja”, dalam produk unggulannya,
Dji Sam Soe. Lantas, ia menggabungkan aksara “Ong” dengan aksara Tionghoa yang berarti
“rakyat” sehingga menghasilkan kombinasi huruf Tionghoa yang bermakna SAMPOERNA
dan lagi-lagi dapat kita temui jumlah huruf dari kata “SAMPOERNA” adalah 9 huruf.
Perusahaan ini lantas meraih kesuksessan dengan merek kretek unggulan Dji Sam Soe pada
tahun 1930-an hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942 yang memporak- porandakan bisnis
tersebut. Setelah masa tersebut, putra Seeng Tee, Aga Sampoerna mengambil alih
kepemimpinan dan membangkitkan kembali perusahaan tersebut dengan manajemen yang
lebih modern. Nama perusahaan juga berubah seperti namanya yang sekarang ini.
Generasi berikutnya, Putera Sampoerna adalah generasi yang membawa PT. Sampoerna
melangkah lebih jauh dengan terobosan-terobosan yang dilakukannya, seperti perkenalan
rokok bernikotin rendah, A Mild dan perluasan bisnis melalui kepemilikan di perusahaan
supermarket Alfa (supermarket) dan untuk suatu saat, dalam bidang perbankan serta
telekomunikasi.
dengan
kepercayaan akan mitos angka 9 yang membawa keberuntungan selama lebih dari 90 tahun telah
membuahkan hasil Rp18.6 triliun pada saat Putera Sampoerna memutuskan untuk melepas
perusahaan rokok yang telah dirintis oleh kakek-nya, Liem Seeng Tee, kepadaperusahaan rokok
terbesar dunia asal Amerika, Phillip Morris di bulan Maret 2005.
Bagaimana pun, terlepas dari sederetan mitos angka 9 membawa peruntungan atau tidakseperti
yang telah dipaparkan diatas, hasil kerja keras dan jerih payah selama 4 generasi darikeluarga Liem
Seeng Tee yang menurut saya menghantarkan mereka ke gerbang kesuksesanserta menjadikan Dji
Sam Soe sebagai salah satu Mahakarya Indonesia. No pain, no gain!
Sumber:
sampoerna.html
Untungnya, pemmilik brand papan atas itu masih sehat jiwanya. Dan mungkin pula akan
mengganggu pasarnya. Hak hidup itu masih ada. Kalau sampai epigonisme rokok pinggiran ini
berbenturan dengan pasal-pasal hukum, terutama soal hak paten, dan rokok marginal akhirnya good
bye dari peredaran pastilah kolektor rokok marginal kehilangan hiburan dan peluang menambah
koleksinya.
Beberapa contoh pola epigonisme yang tetap berlangsung di sejumlah wilayah Indonesia,
diantaranya : rokok ditemukan “Gudang Baru” dan “Gudang Djati” sebagai epigon rokok Gudang
Sosiologi Agribisnis: Budaya Industrial-MAB SV-IPB Murdianto 2021
4
Garam di pedesaan Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, demikian pula rokok “ DJIT SAM
KIOE”merupanan epigon rokok “DJI SAM SOE” (Gambar 6.1.3). (Butet Kartaredjasa, kolektor
rokok dan pekerja seni).
1. Analisislah bahwa industri pedesaan yang berbasis budaya lokal (Community based industry)
atau Autonomous industry, tampaknya tidak dapat bertahan (dalam persaingan dagang)
apabila tidak bersedia beradaptasi dengan “budaya industri” yang dibawa industri besar-
modern dalam persaingan memperoleh pasar (konsumen).
Jawab :
Jika hanya berbasis budaya lokal dan tidak bersedia beradaptasi dengan budaya
industri yang dibawa industri modern, maka perusahaan tersebut tidak akan mampu bertahan
lama. Mengingat mereka, perusahaan-perusahaan berbasis industri modern dari mulai
teknologi pengolahan dan pengemasannya sudah canggih, promosi dan pemasaran luas,
terstruktur, terencana, dan memadai, serta lebih mampu menarik minat konsumen. Jadi jika
industri pedesaan yang berbasis budaya lokal ini ingin bertahan dalam persaingan dagang,
mereka harus mampu dan bersedia untuk beradaptasi dengan budaya industri modern.
2. Tunjukkan bahwa dalam industri pedesaan yang bersifat autonomuos industry, norma/nilai
tradisional masih tetap menjadi acuan proses produksi untuk mempengaruhi perilaku
konsumen (perilaku pasar) manakala sasaran (target pasar) mereka adalah konsumen pedesaan
khususnya lapisan sosial tertentu..
Jawab : Di dalam bacaan 1 terdapat paragraf yang mengatakan :
Jika anda mengaku “intelektual” dan belum mengisap rokok merek “DJA YEN NG”
segeralah anda mengisap rokok seharga Rp 2 500,- keluaran pabrik rokok PT. Djayeng Kudus,
Jawa Tengah. Setidaknya, begitulah harapan copy writer rokok ini. Soalnya rokok dengan
kertas kemasan warna hijau lumut dengan tampilan desain ala rokok legendaris DJI SAM SOE
ini, di balik kemasan memuat pernyataan serius tapi (kalau direnungkan) jenaka : “Rokok ini
memakai tembakau sangat canggih dan cocok untuk kaum intelektual”. Nah itu kalau boleh
geli membaca iklan berhuruf merah dalam sebuah lingkaran menyerupai tali itu. Murahan lagi.
Dicoba dicarikan sekedar ghothak-gathuk-nya pun (gothak-gathuk bermakna kecocokannya,
pen.) dicari orang orang akan kesulitan. Dan kesulitan itu bisa ditingkatkan menjadi
kebingungan karena dalam tradisi penentuan kualitas tembakau, para ahlinya pun tak
mengenal predikat tembakau seperti itu rasa tembakau kok canggih ?
Rokok dengan kemasan bertehnik cetak sablon yang bisa diperoleh di kios-kios di
pedesaan kawasan pesisir utara Jawa, tepatnya di sekitar Desa Dukuh Seti, Dayu, Pati
Rembang, Jawa Tengah, ini adalah salah satu dari ratusan merek rokok marginal. Rokok yang
beriklannya cuma lewat poster dan spanduk, atau bahkan tidak sama sekali. Rokok-rokok yang
harga sebungkusnya tak pernah lebih dari lima ribu perak ini, memang beredar dan bertarung
di wilayah pinggiran. Konsumen yang disasar (menjadi target pemasaran.pen.) masyarakat
yang secara ekonomi dan sosial sedang terpinggirkan (termarginalisasi).
Disini kita dapat melihat bahwa norma atau nilai tradisional masih tetap menjadi
acuan produksi untuk mencapai sasaran atau target pasar khususnya masyarakat yang secara
ekonomi dan sosial sedang terpinggirkan.
3. Tunjukkan bahwa “Peperangan” antar produsen rokok pinggiran memperebutkan segmen pasar
yang terbatas khususnya konsumen pedesaan, melalui ranah psikologi konsumen, tidak (belum)
bersinggungan dengan nilai-nilai modernitas (seperti hak paten), namun lebih menonjol pada
nilai keberuntungan yang “berbau perdukunan”.
Jawab :
Para emitator Dji Sam Soe selain melekatkan ke warna dominannya yang kuning
kecoklatan mereka bermain pada penyajian simbol angka, yang dikurung bulan sabit dalam
psosisi tengkurap dengan outline warna merah sembilan bintang di atas garis lengkung.
Sedangkan merek berupa ekspose angka ada yang di-Indonesia-kan seperti 168, 347, 252,
(Permata Super atau Arto Moro), namun demikian tak sedikit yang bertahan menterjemahkan
seperti aslinya, 369 (Sam Liok Kioe), 565 (Dja Yen Ng), 33 (sam Sam), 21 (Dji It), dan 444
(SoeSoe Soe)
Angka angka dalam rokok pinggiran rupaya membawa sugesti keberhasilan dan
keberuntungan. Mungkin ini bertalian dengan Hongsui, Apalagi ini soal brand dan bisnis.
Jangan coba coba bermain dengan angka mati. Setidaknya ditemukan sejumlah brand yang
mengindikasikan ke angka pem-bawa keberuntungan, 9 atau angka yang jika dijumlah
nilainya tetap 9. Misalnya 234, 928, 365,999 (Galam), 252 (Arto Moro), WL 9, Songosongo,
Lodjie 99, Sembilan baru, Sembilan Classic dan sebuah merek yang melangkapi “tembakan”
visualnya pada Wismilak: 468 alias Soe Laa Pun. Usahanya memirip-miripkan itu
disempurnakan dengan peletakan komposisi bintang berjumlah sembilan dan warna hijau yang
sangat dominan. Pengimitasian terhadap rokok dari Surabaya ini terutama pada pilihan warna
hijau, masih bisa ditambah deretnya; Sumber Ajaib, Kumbang, Djangkung Ajaib, Matahari,
Permata Biru, Pena Mas, dan Grendel Jaya.
Menjejerkan rokok yang sepintas mirip seakan saudara kembar itu, tak ubahnya
menyaksikan medan peperangan rokok gurem. Warna, huruf, logo, angka dan kata-kata saling
bertempur. Secara fisik tampilan visual bisa saling menyerupai, tapi konsumen pada dasarnya
tetap memiliki kecerdasan membedakan kualitas. Sama halnya seandainya tahun 2004 nanti
menyikapi gambar partai yang menjadikan warna dan simbol visual sebagai takhyul baru yang
dijajakan.
4. Loyalitas perokok khususnya “rokok pinggiran” sangatlah tinggi, dari sisi kelembagaan, apakah
ini merupakan bentuk integrasi sistem nilai, yang membuat para pengusaha rokok tersebut
tidak takut kalah bersaing dengan rokok modern, Jelaskan !
Jawab :
Ya, mereka tidak takut kalah bersaing dengan rokok modern karena target pasar
mereka hanya dipinggiran sedangkan rokok modern bisa di kota. Rokok dengan kemasan
bertehnik cetak sablon yang bisa diperoleh di kios-kios di pedesaan kawasan pesisir utara
Jawa, tepatnya di sekitar Desa Dukuh Seti, Dayu, Pati Rembang, Jawa Tengah, ini adalah
salah satu dari ratusan merek rokok marginal. Rokok yang beriklannya cuma lewat poster dan
spanduk, atau bahkan tidak sama sekali. Rokok-rokok yang harga sebungkusnya tak pernah
lebih dari lima ribu perak ini, memang beredar dan bertarung di wilayah pinggiran. Konsumen
yang disasar (menjadi target pemasaran.pen.) masyarakat yang secara ekonomi dan sosial
sedang terpinggirkan (termarginalisasi). Mereka adanya cuma di warung, di kios-kios
sederhana, itu-pun setinggi-tingginya di tingkat wilayah kecamatan dan kabupaten. Namun
begitu dari mereka merek yang terkadang tanpa malu-malu mengekor bahkan sengaja
memirip-miripkan design grafisnya dengan rokok merek rokok kondang ini, orang bisa
membaca adanya perjuangan membangun eksistensi yang tak kenal lelah. Baik melalui ikhtiar
mematok harga jual, aspek pemasaran yang umumnya model konsinyasi alias jual dulu-bayar
kemudian, penamaan brand yang sugestif dan kadang berbau dukun, maupun pada usaha
meyakinkan konsumen dengan sihir kata-kata sebagaimana “rokok intelektual” itu.
Pendeknya, rokok yang konon sebagian besar dihasilkan secara home industry (industri
rumahan=industri kecil-industri rumahtangga) ini, mencoba tahu diri di wilayah mana mereka
mengais rezeki. Sehingga soal harga, pastilah mereka bermain di level bawah, antara Rp 1
500,- -Rp 4 000,- sebungkusnya. Tentu sulit dibayangkan bagaimana pengusaha rokok bisa
memetik keuntungan dengan harga sebesar itu, apalagi sekarang ini upah buruh dan biaya
transportasi bertambah tinggi. Kalkulator ahli pemasaran bisa error jika dipaksa mengalkulasi.
Bacaan 2
Beretika atau Tidak Beretika ” Investigasi Bakso Tikus “
TV swasta Tran TV tiba – tiba mendapat hujatan para pedagang Bakso , sehari setelah penayangan
liputan tentang bakso tikus dan pembuatan saos busuk pada pertengahan januari 2006 , menuerut
pedagang bakso tersebut ,Tayangan Tran TV tersebut telah menurunkan omzet mereka hing 70 – 80
persen , karena pelanggan mereka jadi enggan untuk membeli bakso dan mereka nyaris bangkrut.
Tran TV telah dituding melebih – lebihkan tayangan tentang penjual bakso . Pada tayangan
tersebut terlihat bagaimana seorang pedagang bakso yang mencampurkan bakso jualannya dengan
daging tikus dan menjual saos busuk yang kemudian dijual pada komonitas . Walaupun isu tentang
bakso tikus itu sudah jauh merebak pada tahun sebelumnya ,secara spontan tayangan ini mendapat
reaksi cepat dari komunitas terutama pecinta bakso, yang memberikan respon langsung ” menjauhi ”
Abang tukang bakso kesayangan mereka.
Tran TV juga dituding telah merekayasa tayangannya, dan hal ini dibantah oleh Ichwan Murni, staf
juru bicara Tran TV, Iaya mengatakan bahwa tayangan yang mereka suguhkan bukan rekayasa.
Mereka menyatakan bahwa apa yang mereka tayangkan Fakta yang mereka temukan di lapangan dan
Tran TV bersedia memberikan saksi dan mengungkapkan para pelaku apabila dibutuhkan sebagai
bukti demi penyelidikan Polisi. (Lihat Box 5). Walaupun kemudian pihak Tran TV mencoba
mengklarifikasi dengan acara makan Bakso bersama untuk menyatakan bahwa tidak semua penjual
bakso melakukan hal tersebut.
Diskusi : Apakah pihak Tran TV bisa dibilang beretika atau tidak ? Disatu sisi Tran TV ingin
melihatkan suatu Fakta ” Kebenaran ” di komonitas bahwa ada tindakan kriminal yang akan
merugikan komunitas. Sedangkan disisi lain tayangan TranTV tersebut telah menurunkan omzet para
pedagang bakso yang notabene adalah kalangan ekonomi lemah.
Pendapat Saya apakah pihak Tran TV beretika atau tidak sebelumnya bisa kita lihat permasaahan
ini dari segala segi, dari sekian kasus pemberitaan media TV swasta Indonesia, yang memancing
reaksi massa paling keras, tampaknya adalah kasus “bakso tikus.” Liputan eksklusif tim Reportase
Investigasi Trans TV, semula hanyalah produk sampingan dari liputan tentang bakso yang
mengandung bahan pengenyal boraks. Ini juga terkait dengan liputan sebelumnya, tentang
penggunaan bahan pengawet formalin. Penggunaan boraks dan formalin sebetulnya lebih berbahaya
bagi konsumen ketimbang daging tikus. Tetapi, justru segmen tentang “bakso daging tikus” itulah
yang menimbulkan kehebohan.
Sekitar 500 tukang bakso, yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Bakso se-Jabotabek,
berdemonstrasi di depan pintu gerbang stasiun Trans TV, Jakarta Selatan, 12 Januari2006.Mereka
memprotes penayangan segmen “bakso tikus” . Selain itu, para tukang bakso juga sudah menyiapkan
15 truk dengan massa dari Tangerang dan Bekasi untuk “menyerbu” Trans TV. Untungnya, berkat
pendekatan persuasif dari pihak Trans TV, rencana itu akhirnya dibatalkan. Secara kaidah jurnalistik,
sebenarnya tidak ada yang salah dengan liputan factual itu, yang narasumbernya jelas dan dibuat
secara berimbang. Namun, tukang bakso merasa berang, karena omzet penjualan mereka yang sudah
merosot sejak merebaknya laporan tentang bakso dengan
bahan pengawet formalin makin ambruk dengan ramainya isu “bakso tikus.”
Tekanan dari massa pedagang bakso dengan bisnis terkait (penjual daging sapi, bakmi, dan
sebagainya) menghasilkan kesepakatan, di mana pihak Trans TV setuju untuk menghentikan
penayangan segmen “bakso tikus” tersebut. Selama dua minggu sesudahnya, Trans TV juga
menayangkan sejumlah event yang diselenggarakan oleh para tukang bakso, untuk menunjukkanbahwa
banyak tukang bakso yang membuat bakso secara “benar.” Selain itu, diadakan kampanye makan bakso
bersama di gedung Trans TV dan di Bandung. Namun, di luar itu, Trans TV tidak memberi
kompensasi apapun dalam bentuk uang kepada para tukang bakso.
Dari apa yang disampaikan Tran TV ada pula cerita konsumen langsung yang mengalaminya
namanya Sofyan Hadisaputra , Quality Assurance Section ,PT Panasonic Gobel Battery Indonesia.
Ceritanya .......................... “saat itu Jum'at sore ia makan Bakso di warung bakso " Goyang Lidah "
atau yang lebih populer disebut " GL " letaknya di pintu masuk kawasan Jababeka (belok kiri dan
sebelah kiri jalan dari arah dalam kawasan).
Saat itu mendapatkan pengalaman yang paling buruk, dimana sore itu saat ia makan, karena
sesuatu dan lain hal ia harus cuci tangan, dan saat itu ia paksakan untuk cuci tangan ke belakang
(dapur) dan pada saat itu akhwat tersebut terperanjat dan kaget bukan kepalang bercampur jijik karena
melihat kepala tikus berjejer dimana badanya sedang dicincang. Kontan saja ia menjerit sekuatnya.
Namun tak bisa karena langsung di bekap, seraya diintimidasi untuk tutup mulut dengan menawarkan
uang Rp 500 ribu asalkan ia tidak menceritakan pengalaman yang yang ia alami ini pada orang lain.
Karena panik, takut dan jijik bercampur ia tak tahu harus berbuat apa ia langsung lari dan naik angkot
ke kontrakanya di daerah Sempu (tak jauh dari Samsat Cikarang), sesampainya dirumah ia langsung
pingsan hingga hari Sabtu kemarin ,
Setelah siuman, teman kontrakannya mencoba untuk mencari tahu mengapa ia begitu histeris
hingga pingsan selama 2 hari. Dengan badan masih lemah gemetar dengan lirih ia menceritakan kalau
sewaktu ia akan cuci tangan ia melihat aktifitas pencincangan tikus besar (tikus got kali ya ) yang
sudah di bersihkan
dari bulu bulunya, dan kontan saja teman sekontrakan yang waktu itu makan bakso bersamanya
mual danmuntah karena tahu bakso yang ia makan kemungkinan adalah bakso Tikus !!
Sampai malam ini saat saya bertanya banyak tentang kasus ini operator saya tersebut sesekali
masih ingin muntah karena manahan rasa mual dengan kebayang bakso yang ia makan adalah
kemungkinan bakso tikus”.
Ketiga, metode pengajaran dan pembelajaran pada mata kuliah ini cenderung monoton.Pengajaran
lebih banyak menggunakan metode ceramah langsung. Kalaupun disertai penggunaan studi kasus,
sayangnya tanpa disertai kejelasan pemecahan masalah dari kasus- kasus yang dibahas. Hal ini
disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang cenderung
abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam menilai etis atau
tidaknya suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan sesuatu obat dengan
menyembunyikan informasi tentang indikasi pemakaian.
Gambar1. Praktek Mengabaikan Etika Bisnis, “Bakso Daging Sapi, Baksi Daging Tikus
dan Bakso Daging Babi. Konsumen sulit membedakan.
Sumber : https.//4.bpp.blogspot.com
Gambar.2. Praktek Mengabaikan Etika Bisnis. “Bakso Borax, Kenapa tidak dihujat?”
Sumber : https.//4.bpp.blogspot.com
Keempat, etika bisnis tidak terdapat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Nilai-
nilai moral dan etika dalam berperilaku bisnis akan lebih efektif diajarkan pada saat usia emas
(golden age) anak, yaitu usia 4–6 tahun. Karena itu, pengajarannya harus bersifat tematik. Pada
mata pelajaran agama, misalnya, guru bisa mengajarkan etika bisnis dengan memberi contoh
bagaimana Sri Kresna berdagang dengan tidak mengambil keuntungan setinggi langit.
Kelima, orangtua beranggapan bahwa sesuatu yang tidak mungkin mengajarkan anak di rumah
tentang etika bisnis karena mereka bukan pengusaha. Pandangan sempit ini dilandasi pemahaman
bahwa etika bisnis adalah urusan pengusaha.Padahal, sebenarnya penegakan etika bisnis juga menjadi
tanggung jawab kita sebagai konsumen. Orangtua dapat mengajarkan etika bisnis di lingkungan
keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam menghargai hak atas kekayaan
intelektual (HaKI),misalnya dengan tidak membelikan mereka VCD, game software, dan produk
bajakan lain dengan alasan yang penting murah.
Keenam, pendidik belum berperan sebagai model panutan dalam pengajaran etika bisnis.
Misalnya masih sering kita mendapati fenomena orangtua siswa memberi hadiah kepada gurunya pada
saat kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa terima kasih dan ikhlas. Pendidik menerima hadiah
tersebut dengan senang hati dan dengan sengaja menunjukkan hadiah pemberian orangtua siswa
tersebut kepada teman sejawatnya dengan memuji-muji nilai atau besaran hadiah tersebut. Tidakkah
kita sadari, kondisi seperti ini akan memberikan kesan mendalam pada anak kita?
Mengurangi praktik pelanggaran etika dalam berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua.
Sebagai pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi peningkatan peran dan tanggung
jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan pemberdayaan kualitas hidup masyarakat
melalui program corporate socialresponsibility (CSR).
- detikNews: https://news.detik.com/berita/521572/trans-tv-dituntut-buka-identitas-pedagang-
bakso-tikus.(ahm/)
Bandung - Pedagang bakso Bandung masih meradang dengan liputan Trans TV soal bakso
tikus. Mereka meminta agar pihak Trans TV membuka narasumber pedagang bakso daging tikus.
Para pedagang ini juga mengancam pihak Trans TV jika tidak bisa membuktikan kebenaran adanya
pedagangbakso daging tikus tersebut.
\\\"Sepanjang kami berdagang bakso, ini paling menyakitkan bagi kami. Pascaliputan itu kami
merasa dihakimi oleh masyarakat luas,\\\" ungkap Ketua Paguyuban Pedagang Bakso (PBB)
Bandung, Suparno Suud geram.Hal ini disampaikan Suud saat berdialog dengan Direktur Utama
Trans TV, Ishadi SK yang berlangsung di ruang rapat Komisi Penyiaran Indonesia Jabar, Jalan
Trunojoyo, Rabu (18\/1\/2006) di Bandung.
Ia menilai liputan Trans TV yang menggunakan ilustrasi pembuatan bakso tikus terlalu
menyudutkan para pedagang bakso umumnya. Ilustrasi pedagang bakso daging tikus terlalu
berlebihan dan mengada- ada. Dalam waktu dekat ini, para pedagang bakso ini akan melaporkan
kasus adanya pedagang bakso tikus ini ke pihak kepolisian. Mereka meminta agar pihak
kepolisian segera mengusut tuntas perihal adanya pedagang bakso tikus tersebut. Termasuk
mendesak agar pihak kepolisian juga melakukan penyidikan pedagang bakso tikus yang
digunakan narasumber oleh pihak Trans TV.
Rencananya, pada akhir pekan ini para pedagang bakso ini akan menggelar makan bakso gratis
di lapangan Gasibu, Jalan Diponegoro Bandung. Mereka akan menyiapkan sekitar 50 ribu
mangkuk bakso yang diangkut sekitar 500 roda baso keliling. Biaya pembuatan bakso massal ini
sendiri diperkirakan memakan biaya sekitar Rp 250 juta.Dialog ini sendiri berlangsung cukup
ramai dan berjalan hingga 2 jam.
Dalam dialog tersebut Dirut Trans TV, Ishadi Sk menjelaskan bahwa pihaknya siap membantu
mengembalikan citra para pedagang baso saat ini. Kepada para pedagang bakso, ia menuturkan
bahwa pihaknya memiliki tugas untuk mengawasi dan melakukan pemberitaan perihal yang
penting untuk publik. Salah satunya adalah adanya penemuan kasus pedagang bakso yang
menjual dengan menggunakan daging tikus tersebut. \\\"Kami sadar komunitas pedagang bakso
Kesimpulan : Pihak Tran TV bisa dibilang beretika dia melihatkan suatu Fakta ”Kebenaran” di
komonitas bahwa ada tindakan kriminal yang merugikan konsumen . walaupun disisi lain tayangan
TranTV tersebut telah menurunkan omzet para pedagang bakso yang notabene adalah kalangan
ekonomi lemah. Ini merupakan salah satu pembelajaran masyarat tentang etika didalam melakukan
usaha bisnis.
1. Budaya modern adalah budaya industri. Menurut L Spetrino, terdapat enam macam unsur atau
elemen Budaya masyarakat Industri. Kasus Bakso Tikus, merupakan penhimpangan budaya
masyarakat Industri apa Jelaskan !
Jawab :
Dalam kasus bakso tikus termasuk ke dalam obyektif dan taat hukum karena pedagang
bakso yang menjual dengan daging tikus jelas melanggar hukum yang ada. Pedagang bakso
tikus melakukan penyimpangan terhadap peduli lingkungan pada masyarakat industri karena
pedagang tidak melihat dampak bagi konsumen yang mengonsumsi bakso tikus tersebut dan
tidak ada kepedulian terhadap konsumen, sebab bakso tikus tidak baik untuk kesehatan.
2. Etika adalah ilmu ttg baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak boleh sesuatu perbuatan atau
aktivitas. . Kasus Bakso Tikus, tersebut pemaparan penulis dengan lebel “Beretika Atau Tidak
Beretika”; apakah etika kerja yang dilakukan oleh pedagang baso tidak mencerminkan etika
kerja (terkait aspek moral, etika, keadilan, dan integritas) ? Jelaskan !
Jawab :
Etika adalah ilmu ttg baik-buruk, benar-salah, boleh-tidak boleh sesuatu perbuatan
atau aktivitas. . Kasus Bakso Tikus, tersebut pemaparan penulis dengan lebel “Beretika Atau
Tidak Beretika”; apakah etika kerja yang dilakukan oleh pedagang baso tidak mencerminkan
Sosiologi Agribisnis: Budaya Industrial-MAB SV-IPB Murdianto 2021
1
4
etika kerja (terkait aspek moral, etika, keadilan, dan integritas) ? Jelaskan !
Pada Kasus Bakso Tikus kali ini, mencermintan pedagang bakso yang tidak mencerminkan
etika kerja, lantaran dia melanggar norma-norma etis. Pedagang bakso tikus tergolong egois
karena hanya mementingkan keuntungan untuk usahanya.
Aspek-aspek yang dilanggar pedagang bakso tikus
• Aspek moral
Pada kasus bakso tikus ini, pedagang tidak mementingkan Kesehatan pelangganya. Pedagang
bakso tikus hanya mementingkan keuntungan setinggi-tingginya.
• Aspek etika
Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha.. Pada kali ini,
pedagang bakso tikus tidak memiliki acuan dalam melaksanakan bisnis sehingga, pedagang itu
menjual bakso dengan mencampurkan daging tikus.
• Aspek keadilan
Aspek keadilan tidak dicerminkan oleh pedagang bakso tikus. Dengan meraih keuntungan
sebanyak mungkin dengan tidak mempertimbangkan dampak yang dirasakan oleh konsumen,
tentu saja pedagang bakso tikus ini banyak merugikan konsumen dan pedagang bakso lainya.
Dengan kasus bakso tikus, banyak pedagang bakso yang namanya ikut tercoreng lantaran para
konsumen sudah tidak percaya dengan pedagang bakso
• Aspek integritas
Tentu saja pebisnis yang berintegritas sangat mementingkan aspek Kesehatan dan dampak-
dampak yang akan terjadi pada bisnisnya. Para pedagang bakso tikus ini tidak mencerminkan
hal tersebut.
3. Tiga unsur Prinsip etika bisnis yaitu Otonomi, Kejujuran dan keadilan. Kasus Bakso Tikus,
tersebut merupakan penyimpangan penerapan prinsip etika bisnis dari komunitas bisnis.
Jelaskan tindakan Pedagang Baso dan TV yang menayangkan kasus tersebut!
Jawab :
1. Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi ini berkaitan dengan sikap dan kemampuan individu dalam
mengambil sebuah keputusan dan tindakan yang tepat. Dengan kata lain, seorang pelaku bisnis
harus bisa mengambil keputusan yang baik dan tepat, dan mempertanggungjawabkan
Pelaku usaha bisa dikatakan punya prinsip otonomi dalam berbisnis jika ia memiliki
kesadaran penuh akan kewajibannya dalam menjalankan usaha. Artinya, seorang pengusaha
memahami bidang usaha yang dikerjakan, situasi yang dihadapi, serta tuntutan dan aturan yang
berlaku di bidang tersebut.
Pelaku usaha juga dikatakan memiliki prinsip otonomi bila ia sadar bahwa keputusan
dan tindakan yang diambil sesuai atau bertentangan dengan nilai atau norma moral tertentu,
serta memiliki risiko yang dapat terjadi bagi dirinya dan perusahaan. Prinsip otonom bukanlah
sekedar mengikuti nilai dan norma yang berlaku, tapi juga kesadaran dalam diri bahwa yang
dilakukan adalah hal yang baik.
Nah dalam kasus ini Trans Tv yang kurang efektif dalam penayangan bakso tikus,di
mana dengan penayangan tersebut bukan hanya bakso tikus yang terkena imbasnya tetapi
pedagang bakso lainnya juga merasa kan imbasnya karena masyarakat mengira bahwa pasti
banyak pedagang yang membuat bakso tikus,dan di sini banyaknya pedagang bakso yang
kehilangan pelanggan karena melihat tayangan tentang bakso tikus.
Untuk tukang bakso di sini juga sangat melanggar etika bisnis atas apa yang ia
lakukan,di mana keputusan yang di ambil tukang bakso tikus demi keuntungan yang
banyak,dan di sini menunjukkan etika yang tidak baik dan juga akan mencemarkan tukang
bakso lainnya,karena konsumen akan menganggap tidak hanya tukang bakso satu ini
melakukan itu dan pasti banyak yang lainnya dan akan mengurangi pelanggan bakso lainnya.
2. Prinsip Kejujuran
Prinsip kejujuran seharusnya menjadi dasar penting dalam menjalankan usaha apapun.
Sebagian besar pengusaha sukses, baik pengusaha modern maupun pengusaha konvensional,
mengaku bahwa kejujuran adalah salah satu kunci keberhasilan dalam bisnis apapun.
Prinsip kejujuran ini sangat penting untuk dilakukan oleh para pengusaha. Pada
umumnya bisnis yang berjalan tanpa mengedapankan prinsip kejujuran tidak akan bertahan
lama.
Bagi pengusaha, kejujuran ini dikaitkan dengan kualitas dan harga barang yang
ditawarkan pada konsumen. Dengan kata lain, menjual produk bermutu tinggi dengan harga
pantas dan wajar merupakan bentuk kejujuran dari seorang pengusaha kepada konsumen.
3. Prinsip Keadilan
Adil dalam hal ini berarti semua pihak yang terlibat dalam bisnis memiliki hak untuk
mendapatkan perlakuan yang sama sesuai aturan yang berlaku. Dengan begitu, maka semua
pihak yang terkait dalam bisnis harus memberikan kontribusi terhadap keberhasilan bisnis
yang dijalankan, baik secara langsung maupun tak langsung.
Dengan menerapkan prinsip keadilan ini dengan baik, maka semua pihak yang terlibat di
dalam bisnis, baik relasi internal maupun relasi eksternal, akan mendapat perlakuan yang sama
sesuai dengan haknya masing-masing.
4. Menurut Penulis artikel tersebut, terdapat enam kendala menumbuh kembangkan etika bisnis:
Jelaskan !
Jawab :
1. Kekeliruan persepsi masyarakat bahwa etika bisnis hanya perlu diajarkan kepada mahasiswa
program manajemen dan bisnis karena pendidikan model ini mencetak lulusan sebagai
mencetak pengusaha. Padahal, semua lulusan program lain yang diarahkan menjadi pegawai
pun perlu memahami etika bisnis.
2. Pada program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis diajarkan sebagai mata kuliah
tersendiri dan tidak terintegrasi dengan pembelajaran pada mata kuliah lain. Mahasiswa
sebagai subjek didik harus mendapatkan pembelajaran secara komprehensif dan terintegrasi
antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses pembelajaran.
3. Metode pengajaran dan pembelajaran pada mata kuliah ini cenderung monoton. Metode
pengajaran lebih banyak mempelajari secara teori dibanding melakukan studi kasus secara
langsung.