Anda di halaman 1dari 17

CRITICAL BOOK REPORT

(Kecakapan Hidup Bagi Anak Berkebutuhan Khusus)

DISUSUN OLEH

NAMA : ARIFIN SILABAN


NIM : 3183121020
KELAS : REGULER C 2018
DOSEN PENGAMPU : Trisnawati Hutagalung, S.Pd.,M.Pd.
MATA KULIAH : Pendidikan Bahasa Indonesia

PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karna atas berkat dan bimbingannya
saya dapat menyelesaikan tugas Mata kuliah Bahasa Indonesia ini, yakni tentang Critical Book
Report sesuai jadwal yang ditetapkan.
Saya mengucapkan terimakasih kepada ibu dosen pengampu yang memberikan kami tugas,
sehingga mendorong saya untuk lebih rajin belajar.
Saya sendiri sebagai penulis menyadari bahwa tugas ini masih banyak kekurangannya oleh
karena itu saya mohon maaf jika ada kesalahan dan saya sangat mengharapkan saran yang
membangun dari ibu dosen pengampu dan pembaca.
Akhir kata saya mengucapkan Terima kasih semoga tugas ini dapat bermanfaat dalam proses
perkuliahan kita.

Medan,03,Maret 2020

Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
a) Latar belakang.
b) Tujuan
c) Manfaat.
BAB II Isi Buku
a) Identitas Buku
b) Ringkasan Buku.
BAB III Pembahasan
a) Kelebihan.
b) Kelemahan.
BAB IV Penutup.
a) Kesimpulan.
b) Saran.
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pembuatan Critical Book Review ini dilatar belakangi tuntutan tugas dari mata kuliah Bahasa
Indonesia. Dan pengerjaan CBR ini juga perlu dilaksanakan karena saat ini banyak buku yang beredar
di kalangan masyarakat dan mahasiswa yang kualitasnya tidak pas untuk dikonsumsi oleh orang
banyak karna berbagai alasan. Untuk itu perlu di kritisi buku mana yang layak untuk di baca oleh
masyarakat dan mahasiswa.
B.Tujuan penulisan CBR
Tujuan dari penulisan Critical Book Report ini adalah:
1. Mengulas isi sebuah buku secara detail kemudian.
2. Melatih diri untuk berfikir kritis dalam mencari informasi secara detail yang ada dalam
buku ini.
3. Menentukan sisi kelemahan dan kelebihan setiap buku serta menarik serta menentukan
kesimpulan rekomendasi buku yang lebih layak untuk digunakan.
4. Mengetahui lebih dalam tentang anak berkebutuhan khusus
C. Manfaat CBR
Manfaat akan didapatkan dari penulisan Critical Book Report (CBR) ini adalah:
1. Menambah wawasan pengetahuan dan Informasi bagi mahasiswa tentang anak
berkebutuhan khusus.
2. Mempermudah pembaca mendapatkan inti dari sebuah buku yang telah di lengkapi
dengan ringkasan buku, pembahasan  isi buku, serta kekurangan dan kelebihan buku
tersebut.
3. Melatih siswa merumuskan serta mengambil kesimpulan-kesimpulan atas buku-buku
yang dianalisis tersebut.
4. Melatih Mahasiswa untuk bersikap kritis.
BAB II
ISI BUKU

A. Identitas Buku

1. Buku utama
a)

2. Buku Kedua
a. Judul buku : Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus
b. Penulis : Dinie Ratri desiningrum
c. ISBN :-
d. Penerbit : Psikosain
e. Tahun terbit : 2016
f. Urutan cetakan : 1 ( satu )
g. Tebal buku : 157 halaman.
B. Ringkasan Buku
Anak – anak Dengan Kebutuhan Khusus Dan Pendidikan Kecakapan Hidup
A. Anak dengan Kebutuhan Khusus
1. Pengertian Anak Dengan Kebutuhan Khusus
Istilah anak berkebutuhan khusus ditunjukan kepada segolongan anak yang memilki
kelainan atau perbedaaan sedemikian rupa dari anak yang memiliki kelainan atau perbedaan
sedemikian rupa dari anak rata – rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial, atau
gabungan dari ciri – ciri itu dan menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk mencapai
perkembangan yang optimal.
M Amin dan Yusuf Kusumah ( 1989;3) mendefinisikan anak khusus atau anak
berkelainan adalah anak yang berbeda sari rata – rata anak normal dalam beberapa hal :

a. Ciri – ciri mental


b. Kemampuan Panca Indra
c. Perilaku sosial
d. Sifat fisiknya
Anak – anak yang memiliki kelainan secara edukatif dikategorikan sebagai anak
berkebutuhan khusus bilamana kelainannya itu menyebabkan perlunya mengubah program
pendidikan untuk menyesuaikan dengan kebutuhannya.
Dalam kehidupan sehari – hari tidak mudah bagi kita untuk memilah secara eksak antara
anak unggul, normal, dan kurang ( cacat ), sebab dalam kenyataannya ada anak cacat, tetapi juga
memilki keunggulan dan mampu meraih prestasi melebihi anak yang normal.
Membeda – bedakan anak dengan kebutuhan khusus dari anak – anak normal dalam
perlakuan sehari – hari adalah sangat merugikan perkembangan anak. Pemberian labl anak cacat,
anak berkelainan, anak khusus, dirasa sangat merugikan dan menyakitkan hati anak yang
bersangkutan dan keluarganya.
Perbedaan anak dengan kebutuhan khusus dari anak – anak biasa terletak pada kemampuannya
sebagai akibat kelainannya. Perbedaan kemampuan mereka pun bervariasi sesuai dengan tingkat
kelainannya.
2. Klasifikasi Anak Dengan kebutuhan Khusus.
Kirk dan Gallangher dalam Mohammed Amin dan Ina Yusuf Kusumah ( 1986 )
mengklasifikasikan anak dengan kebutuhan khusus berdasarkan ciri – ciri sebagai berikut :
a. Perbedaan intelektual
b. Perbedaan dalam indra
c. Perbedaan komunikasi
d. Perbedaan prilaku
e. Perbedaan fisik
f. Cacat ganda
Dembo dalam Depdiknas ( 2003 ) mengklasifikasi anak – anak dengan kebutuhan khusus untuk
keperluan pembelajaran sebagai berikut :
a. Tunagrahita (mental retardion)
b. Kesulitan belajar (learning disabilitas)
c. gr bicara dan bahasa (speech ang langue disorders)
d. Gangguan perilaku atau gangguan emonisional (behaviour disorders)
e. Kerusakan pendengaran ( Hearing impairments )
f. Kerusakan penglihatan ( Visual Impiarments )
g. Kerusakan fisik dan gangguan kesehatan ( physical and other health impairments )
h. Cacat berat atau cacat ganda ( severe and multiple handicap )
i. Berkecerdasan luar biasa tinggi atau berbakat ( gifted and talented ).
Peraturan pemerintah nomor 72 Tahun 1991 Tentang pendidikan luar biasa dikemukakan
klasifikasi anak dengan kebutuhan khusus sebagai berikut :
a. Kelainan fisik, meliputi :
1) Tuna netra
2) Tuna rungu
3) Tuna daksa
b. Kelainan mental, meliputi :
1. Tunagrahita ringan
2. Tunagrahita sedang
3. Tunagrahita berat
c. Kelainan perilaku meliputi tunalaras dan
d. Kelainan ganda
Karakteristik Anak Dengan Kebutuhan Khusus
a. Anak Tuna rungu
Istilah tuna rungu ditujukan pada individu atau anak yang mengalami kehilangan
kemampuan mendengar, baik kehilangan kemampuan mendengar sama sekali maupun
kehilangan kemampuan mendengar sebagian. Orang yang kehilangan kemampuan
mendengar sama sekali disebut tuli, sedangkan kemampuan mendengar sebagian disebut
kurang mendengar.
Frisina ( 1974 ) dalam Moh. Amin ( 1986:53 ) mendefinisikannya sebagai
berikut : seorang yang tuli adalah seseorang yang pendengarannya cacat sampai batas
yang menghambat pengertiannya akan pembicaraan melalui telinga, dengan atau tanpa
penggunaan alat bantu dengar. Orang yang kurang mendengar adalah pendengarannya
cacat sampai tingkat tertentu.
Hilang kemampuan mendengar, baik sebagian maupun keseluruhan jelas menimbulkan
masalah bagi yang bersangkutan, terutama dalam belajar, sehingga mereka membutuhkan
layanan pendidikan khusus. Mereka mengalami hambatan untuk menguasai bahasa,
terutama bahasa lisan dan praktis mereka juga mengalami hambatan dalam
berkomunikasi.
Kirk dan Gallangher dalam Mohamad Amin ( 1986 ) mengemukakan pengertian Tuna
Rungu sesuai dengan tingkatan kehilangan pendengaran sebagai berikut :
1. Tuna rungu ringan, 27 – 40 db, mempunyai kesulitan mendengar bunyi – bunyi dari
kejauhan, perlu terapi bicara
2. Tuna rungu sedang 41 – 55 db, mengerti percakapan, mungkin tidak dapat mengikuti
diskusi kelas
3. Tuna rungu berat 71 – 90 db, hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat,
membutuhkan pendidikan khusus, alat bantu dengar dan latihan bicara
4. Tuna rungu sudah berat 91 db, ke atas mungkin sadar akan adanya bunyi bergantung
pada penglihatan untuk mendapat informasi.
Ditinjau dari waktu atau saat terjadinya kehilangan pendengaran, tuna rungu dapat dikategorikan
menjadi tuna rungu pra Bahasa dan post Bahasa. Tuna rungu pra Bahasa adalah tuna rungu yang
terjadi sebelum Bahasa penyandang tuna rungu berkembang. Sedangkan tuna rungu post Bahasa
terjadi setelah si penyandang telah menguasai Bahasa. Tuna rungu pra Bahasa menimbulkan
dampak yang berat bagi penyandangnya terutama dalam masalah Pendidikannya bila
dibandingkan dengan tuna rungu post Bahasa.
Boothroyd dalam Depdiknas ( 2003 ) secara rinci memprediksi masalah akan muncul akibat
Tuna Rungu tersebut, antara lain :
1. Masalah dalam hal perceptual
2. Masalah dalam hal komunikasi dan bahasa
3. Masalah dalam bidang kognitif
4. Masalah dalam bidang pendidikan
5. Masalah dalam bidang komunikasi
6. Masalah dalam bidang sosial
7. Masalah dalam hal memperoleh pekerjaaan atau vokasional
8. Masalah bagi orang tua dan masyarakat
Akibat kehilangan kemampuan mendengar, baik sebagian mamupun keseluruhan, menyebabkan
anak tunarungu mengalami kesulitan untuk belajar berbahasa.
Ketiadaan bahasa merupakan hambatan yang amat besar bagi anak – anak tunarungu, sebab
bahasa merupakan media untuk memperoleh informasi dan pengetahuan.
Kemiskinan bahasa dan kesulitan berkomunikasi ternyata juga menyulitkan dalam pelayanan
pendidikannya, sehingga pendidikan bagi anak tunarungu hingga saat ini masih banyak yang
dilakukan secara terpisah dari satuan pendidikan yang lain ( segratif ) atau penyelenggaraan
pendidikan dalam satu sekolah khusus.
Jika dilihat secara fisik, anak tuna rungu tidak berbeda anak – anak lainnya yang normal.
Namun kita akan mengetahuinya bahwa tuna rungu bila mana mereka berkomunikasi dengan
orang lain. Mereka memakai Bahasa isyarat, mereka berbicara tetapi tidak bersuara, atau
bersuara tetapi tidak jelas artikulasinya, atau mengeluarkan bunyi tapi tidak bermakna, atau
bahkan tidak bersuara sama sekali.
Kemiskinan Bahasa dan kesulitan berkomunikasi ternyata juga menyulitkan dalam pelayanan
pendidikannya, sehingga Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus terkhusus tuna rungu
hingga saat ini masih banyak yang dilakukan secara terpisah dari satuan Pendidikan yang lain
(segregatif) atau penyelenggaraan Pendidikan dalam satuan khusus.
Dilihat dari pengaruh hilangnya kemampuan mendengar terhadap perkembangan anak
tunarungu, maka anak tunarungu mempunyai ciri - ciri yang khas, terutama dari segi intelegensi,
bahasa dan bicara, emosi seta sosial.
1.Karakteristik intelegensi
Seperti anak – anak normal, anak – anak tunarungu mempunyai intelegensi tinggi, sedang,
rendah. Pada umumnya anak tuna rungu cenderung memperlihatkan prestasi akademik yang
rendah, tetapi ini lebih disebabkan sebagai akibat kesulitan komunikasi dan Bahasa. Tentang
rendahnya prestasi akademik anak tuna rungu ini Ritthouse ( 1974, 1981 ) menyatakan bahwa
sebenarnya masalah belajar mungkin diakibatkan oleh kesulitan dalam Bahasa, bukan ketidak
mampuan koginitif “anak – anak tuna rungu mampu berprestasi dengan baik, bila menggunakan
Bahasa yang spesifik dan jelas dimengerti oleh mereka.
Dalam penelitiannya Iran Nejad, ortony dan rittenhose ( 1981 ) menemukan bahwa orang –
orang tunarungu menjelang dewasa yang tidak bisa mengerti bahasa kiasan sama sekali, ternaya
dapat melakukan tanpa kesulitan jika instrumen khusus dan umpan balik tugas diberikan kepada
mereka. Dalam penelitian selanjutnya Rittenhose dan Iran Nejad ( 1982 ) menemukan bahwa
kemampuan untuk memahami Bahasa kiasan sangat terikat dengan memecahkan masalah
kognitif.
2. karakteristik dalam segi bahasa.

Anak tuna rungu mengalami hambatan yang serius dalam berbahasa sehingga ini menjadi
kendala bagi mereka untuk mempelajari semua mata pelajaran. Bagi semua orang bahasa adalah
media utama untuk memperoleh pengetahuan dan alat untuk berinteraksi. Bahasa juga menjadi
factor penting dalam pembelajaran.

3. Prestasi Akademik

Dengan masalah – masalah yang serius dalam berbahasa maka tidak mengherankan bila anak –
anak tuna rungu juga mengalami kesulitan dalam prestasi akademik. Jensema ( 1975 ) dalam
penelitiannya menemukan bahwa umur pada waktu terjadinya ketuna runguan dan tingkat
kehilangan pendengaran itu menentukan prestasi sekolah. Prestasi membaca pada anak tuna
rungu yang mengalami tuna rungu setelah umur tiga tahun memiliki prestasi akademik lebih baik
dibandingkan dengan mereka yang menjadi tuna rungu sebelum usia tersebut. Prestasi akademik
makin buruk bila tingkat kehilangan pendegarannya makin meninggi.

4.Penyesuaian sosial dan pribadi

Kehilangan pendengaran mengakibatkan masalah dalam komunikasi, masalah komunikasi


menyebabkan kesulitan sosial dan perilaku. Minimnya kemampuan berbahasa menyebabkan
anak tuna rungu tidak memahami norma – norma dalam pergaulan di lingkungannya. Mereka
mengalami masalah dalam melakukan penyesuain diri terhadap lingkungannya. Meadwow
mengemukakan bahwa anak tuna rungu memperlihatkan kekhasan seperti kelakuan, egosentrik,
tanpa control diri, implusif, dan keras kepala.

Masalah ini akan meningkat dan bertambah berat ketika mereka memasuki dewasa saat mereka
harus berbaur di masyarakat. Davis (1981) menyatakan anak tuna rungu mengalami penolakan
dan kesepian ketika mereka dibaurkan dalam program sekolah setempat. Sebagian besar anak
tuna rungu hanya mempunyai teman satu atau dua teman akrab, dan hanya sedikit di antara
mereka yang terpilih sebagai petugas kelas atau dijadikan sebagai pimpinan dalam kelompok.

Kecendrungan berkelompok dengan sesame anak tuna rungu bukanlah hal yang aneh atau luar
biasa, sebab hal ini juga terjadi pada semua orang yang tidak tuna rungu, baik yang dewasa
maupun anak – anak. Berada dalam kelompok orang yang senasib memberikan rasa aman.
Namun demikian, tidak berarti bahwa anak tuna rungu tidak punya keinginan untuk berintegrasi
ke dalam masyarakat luas. Hanya masalahnya mereka mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi sehingga mereka seperti tidak punya jalan untuk memasuki dunia masyarakat
mendengar.

Konsekuensi dari hilangnya kemampuan mendengar maka anak tuna rungu mengoptimalkan
penglihatan dalam belajar Bahasa dan komunikasi, sehingga mereka biasa disebut sebagai insan
permata. Mereka mengandalkan kemampuan mata dalam memahami lingkungannya. Mereka
cenderung memiliki Hasrat ingin tahu yang amat besar, seakan mereka selalu haus untuk
melihat, dan ini seakan menambah egosentrisnya, akibat kehilangan kemampuan mendengar juga
menyebabkan anak tuna rungu kurang menguasai keadaan, sehingga ini akan menimbulkan rasa
khawatir dan menimbulkan ketakutan.

Ketergantungan kepada orang lain atau kepada siapa yang sudah dikenalnya dengan baik juga
menonjol pada anak – anak tuna rungu seolah – olah mereka putus asa karena tidak mampu
menaklukkan lingkungan sehingga mereka mencari bantuan dan bersandar kepada orang lain.

Kesulitan mengekspresikan keinginan dan perasaan melalui Bahasa kepada orang lain, sering
kali menekankan perasaannya dan menimbulkan rasa kecewa. Begitupun kesulitannya
memahami maksud dan pikiran orang lain membuat mereka kecewa, frustasi, dan marah. Sering
kali mereka mudah tersinggung dan salah sangka kepada orang lain akibat ketidak mengertian
terhadap Bahasa.

Ketertarikan sesuatu adakalanya menyebabkan anak tuna rungu menjadi asyik mengerjakan
sesuatu tersebut dan perhatiannya sulit dialihkan. Kemiskinan Bahasa membuat mereka sempit
dalam berpikir dan miskin dalam memberikan respon terhadap lingkungan. Alam pikiran
merekalebih terpaku kepada hal – hal yang konkrit.

Terbatasnya kemampuan berbahasa dan berkomunikasi telah menimbulkan hambatan yang


serius terhadap perkembangan anak tuna rungu. Oleh sebab itu Pendidikan Bahasa menjadi
bagian yang di prioritaskan untuk membantu anak tuna rungu agar dapat membatasi kendala
komunikasi dan membuka jalan untuk menguasai informasi dan pengetahuan serta keluar dari
keterasingan.

Diharapkan dengan penggunaan komunikasi total anak – anak tuna rungu akan sampai pada
penguasaan yang optimal dan mampu berkomunikasi secara maksimal sebagai dasar untuk
menguasai kecakapan hidup dan sebagai media untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan hidup.
Dengan hilangnya kemampuan mendengar tersebut, maka anak tuna rungu dapat disebut sebagai
children with problem in learning ( anak dengan problemad dalam belajar ), yang membawa
konsekuensinya kepada children with special nedds ( anak dengan kebutuhan khusus ).

Moores menyatakan bahwa keturunan tidak saja terbatas pada kehilangan pendengaran sangat
berat, melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang,
berat sampai sangat berat.

Keterbatasan perkembangan fungsi bahasa pada anak tuna rungu mengakibatkan kesulitan dalam
pembelajaran bahasa. Anak tuna rungu dihadapkan pada kesulitan memahami kata – kata. Dari
beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa intelegensi anak tunarungu berkisar pada level 90
dengan menggunakan tes IQ.

Dari beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa intelegensi anak tuna rungu berkisar pada level
90 dengan menggunakan tes IQ. Temuan terakhir tentang perkembangan fungsi intelegensi pada
anak tuna rungu menyebabkan hambatan pengembangan fungsi kognitif yang disebabkan dari
tidak berfungsinya saluran pendengaran dan keterampilan Bahasa sebagai media pengembangan
fungsi kognitif.

Perkembangan social anak tuna rungu selalu berkaitan dengan persepsi anak tuna rungu tentang
lingkungan, anak tuna rungu menujukkan sikap curiga terhadap orang yang baru dikenal pada
lingkungan sekitar.

Berdasarkan batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar adalah ketunarunguan, maka dapat
disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran
yang meliputi seluruh gradiasi ringan, sedang, berat, dan sangat berat.

Berdasarkan karakteristik anak tuna rungu, khususnya miskinnya Bahasa yang disebabkan
karena ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan Bahasa seperti
halnya anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tuna rungu harus
dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi, yang selanjutnya dapat di
implementasikan dalam pengajaran Bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan.

Dalam mengimplementasikan prinsip kurikulum seperti itu, metode yang tepat adalah metode
maternal refkektif, yaitu metode pengajaran Bahasa yang di angkat dari upaya seorang ibu
mengajarkan Bahasa kepada bayinya yang belum berbahasa, sehingga si anak menguasai
Bahasa, yang ditandai dengan kemampuannya merefleksikan kemampuan berbahasa.

Jelaslah bahwa dengan menggunakan pendekatan komunikasi total yang implementasinya


menggunakan metode maternal reflektif, maka anak tuna rungu akan sampai pada penguasaan
bahasa seperti halnya anak mendengar,kecakapan komunikasi sebagai dasar dari kecakapan
hidup ini.

B. Pendidikan Anak Tuna Rungu.

Anak – anak tuna rungu dapat bersekolah di SLB/B atau SDLB. Mereka dapat pula bersekolah di
sekolah – sekolah inklusi, terutama yang tingkat ketunarunguannya ringan. Adapun program
pendidikannya secara garis besar adalah sebagai berikut:

a. Tingkat TK dan SD kelas rendah.


Pada jenjang ini program pendidikannya ditekankan pada pengembangan kemampuan
sensorik, kemampuan berbahasa, dan khususnya kemampuan berkomunikasi.
b. Jenjang sekolah dasar kelas tinggi.
Pada jenjang ini program pendidikannyan ditekankan pada pengembangan kecakapan
sensorik, kecakapan berkomunikasi, pengembangan kemampuan dasar akademik dan
kecakapan sosial.
c. Jenjang SLTP khusus
Pada jenjang ini program pendidikannya ditekankan pada pengembangan kecakapan
sensomotorik, kecakapan berkomunikasi dan kecakapan akademik yang diarahkan pada
pemecahan masalah sehari – hari, peningkatan kecakapan social, serta kecakapan
vokasional.
d. Jenjang sekolah menengah
Pada jenjang ini dikembangkan kecakapan berkomunikasi, kecakapan akademik, dan
pengembangan kemampuan Vokasional.
Kecakapan vokasional anak yang mengalami kelainan pendengaran ( anak tuna rungu ) :
 Kecakapan hidup untuk sehari – hari, terintegrasi pada mata pelajaran PMDS
 Kecakapan personal, terintegrasi pada mata pelajaran IPS, bina bicara.
 Kecakapan social, terintegrasi pada mata pelajaran IPS dan bina bicara
 Kecakapan akademik, terintegrasi pada mata pelajaran Bahasa
 Kecakapan vokasional, terintegrasi pada mata pelajaran keterampilan.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Kelebihan
1. Buku Utama.
 Buku utama menjelaskan dengan lengkap tentang karakteristik anak dengan kebutuhan
khusus.
 Dalam buku ini juga dijelaskan tentang klasifikasi anak berkebutuhan khusus dan
pengertian dari anak berkebutuhan khusus.
 Dalam buku ini juga dijelaskan lebih detail tentang pengertian tuna rungu sesuai
tingkatannya dan juga dijelaskan tentang masalah yang dihadapi oleh anak – anak tuna
rungu.
 Di dalam buku juga ada pemaparan tentang ciri – ciri khas yang dimiliki oleh anak – anak
tuna rungu.
 Dalam buku ini penulis juga menjelaskan tingkatan pendidikan dari anak tuna rungu.
 Penggunaan bahasa dalam buku ini sederhana, sehingga mudah di pahami oleh pembaca.
 Buku ini menarik dan sangat bermanfaat karena membahas tentang pendidikan dari anak
– anak berkebutuhan khusus.
2. Buku Pembanding
 Didalam buku pembanding dijelaskan tentang ruang lingkup dan pengertian dari anak
berkebutuhan khusus.
 Didalam buku pembanding ini ada dijelaskan tentang penyebab anak berkebutuhan
khusus dan deteksi anak berkebutuhan khusus.
 Hampir sama dengan buku utama dalam buku pembanding ini juga ada dijelaskan tentang
gangguan yang dihadapai anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran dan intelektual
 Dalam buku juga dijelaskan tentang gangguan perilaku, gangguan fisik dan ganda.
 Dalam buku juga dijelaskan tentang sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.\
 Buku ini juga menjelaskan tentang terapi untuk anak berkebutuhan khusus.
 Buku ini juga menarik dan sangat bermanfaat dalam menambah pengetahuan dalam
memahami anak berkebutuhan khusus.
 Terdapat gambar yang membuat pembaca tertarik dan tidak bosan dalam membaca buku.

B. Kekurangan.
1. Buku Utama
 Didalam buku utama ini terdapat beberapa penulisan kata yang tidak tepat sehingga
membuat pembaca kebingungan.
 Cover dari buku menurut saya kurang menarik.
 Tidak ada gambar sehingga pembaca cepat bosan dan tidak tertarik dalam membaca.
2. Buku Pembanding
 Penggunaan bahasa dalam buku kedua ini menurut saya lumayan susah di pahami oleh
pembaca.
 Terdapat gambar namun tidak semua gambar dalam buku ini berwarna.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan :
Buku ini sangat menarik dan bermanfaat bagi pembaca karena dengan buku ini wawasan
pembaca tentang anak – anak berkebutuhan khusus semakin bertambah. Dan dengan membaca
buku ini rasa simpati pembaca juga meningkat terhadap anak anak berkebutuhan khusus. Dari
buku ini juga dijelaskan tentang pentinya pendidikan bagi anak – anak berkebutuhan khusus dan
masalah yang dihadapi dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus. Kedua buku sama – sama
membahas tentang pengertian dari anak – anak berkebutuhan khusus beserta
pengklasifikasiannya. Kedua buku ini juga menjelaskan tentang cara belajar yang efektif untuk
anak – anak berkebutuhan khusus. Dan saya selaku penulis tugas ini merasa tugas masih banyak
kekurangan oleh karena itu saya berharap para pembaca nanti dapat memberikan saran yang
membangun dan semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran.
Saran :
Harapan saya semoga buku yang membahas tentang anak-anak berkebutuhan khusus
semakin bertambah, sehingga dapat menambah wawasan masyarakat luas tentang pentingnya
menghargai dan membantu anak–anak berkebutuhan khusus. Dan besar juga harapan saya
semoga perhatian terhadap anak–anak berkebutuhan khusus semakin ditingkatkan terutama
dalam hal pendidikan. Dan saya juga berpesan kepada penulis buku kiranya dapat memperbaiki
kekurangan yang ada dalam buku yang saya sampaikan sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai